INTEGRASI SOSIAL DAN REPOSISI KEARIFAN LOKAL OLEH Dr. GDE MADE SWARDHANA, SH., MH* Fakultas Hukum Univ. Udayana A. Pengertian Konflik Sosial Istilah konflik secara etimologi berasal dari bahasa latin Confligere yang berarti saling memukul. “Con” berarti bersama, dan “fligere” berarti benturan atau tabrakan. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi, perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut cirri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individu dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi, sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. Dalam International Encyclopaedia of the social sciences vol. 3 (hlm. 236-241) diuraikan mengenai konflik dari segi anthropologis, yakni ditimbulkan sebagai akibat dari persaingan antara paling tidak dua pihak; di mana tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga, kelompok kekerabatan, satu komunitas, atau mungkin satu lapisan kelas sosial pendukung ideologi tertentu, satu organisasi politik, satu suku bangsa, atau satu pemeluk agama tertentu. ---------------------*). Disampaikan dalam Rangka Sosialisasi “Kerawanan Sosial dan Bencana Sosial” di Kantor Dinas Sosial Propinsi Bali tanggal 22 Oktober 2015. **). Pembicara adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana 1 Sementara itu, konflik sosial bisa diartikan menjadi dua hal. Pertama, perspektif atau sudut pandang yang manganggap konflik selalu ada dan mewarani segenap aspek interaksi manusia dan struktur sosial. Kedua, konflik sosial merupakan pertikaian terbuka seperti perang, revolusi, pemogokan, dan gerakan perlawanan. Soerjono Soekanto menyebutkan konflik sebagai pertentangan atau pertikaian, yaitu suatu proses individu atau kelompok yang berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan, disertai dengan ancaman dan atau kekerasan. Para teoritisi konflik banyak berpdedoman padaa pemikiran Karl Marx, meskipun memiliki pemikiran sendiri yang berlainan. Tokoh=tokoh teoritisi konflik di aantaranya Ralf Dahrendorf dan Randall Collins. Dahrendorf berpendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah yaitu konflik dan consensus, sehingga secara teori sosiologis harus dibagi menjadi dua bagian, teori konflik dan teori consensus. Dahrendorf juga mengakui bahwa masyarakat takkan ada tanpa consensus dan konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain. Tokoh lainnya Collins, menjelaskan bahwa konflik adalah proses sentral dalam kehidupan sosial sehingga tidak menganggap konflik itu baik buruk. Collins memandang setiap orang memiliki sifat sosial tetapi juga mudah konflik dalam hubungan sosial mereka. Konflik bisa terjadi dalam hubungan sosial karena penggunaan kekerasan oleh seseorang atau banyak orang dalam lingkungan pergaulannya. Ia melihat orang mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, jadi benturan mungkin terjadi karena adanya kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan. Undang-undang No. 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial memberi pengertian bahwa Konflik Sosial, adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional. ”Berbeda”, ”Bersengketa”, dan ”Berkonflik” adalah tiga situasi yang harus dipahami perbedaannya satu sama lain. ”Berbeda” adalah situasi alamiah yang merupakan kodrat manusia. ”Bersengketa” terjadi apabila dua orang atau dua kelompok (bisa lebih) bersaing satu sama lain untuk mengakui (hak atas) suatu benda atau kedudukan yang sama. Sedangkan ”Berkonflik” adalah suatu situasi di mana seseorang atau sekelompok orang (bisa lebih) menunjukan praktekpraktek untuk menghilangkan pengakuan (hak) orang atau kelompok lainnya mengenai benda atau kedudukan yang diperebutkan. 2 Untuk memahami konflik sosial ada beberapa hal yang harus diperhatikan: 1. Asumsi Dasar Tentang Konflik Ada lima asumsi dasar tentang konflik. Asumsi dasar ini biasanya dijadikan landasan untuk pengembangan dan penelusuran teori, atau sebagai orientasi dalam melihat konflik. Asumsi dasar yang pertama, ”konflik itu selalu ada dalam kehidupan manusia”. Asumsi dasar ini bertitik tolak dari fakta bahwa sejak awal manusia memang dilahirkan berbeda, tidak ada manusia yang identitas fisiknya sama persis, indikasinya dapat dilihat dari sidik jarinya. Perbedaan adalah sesuatu yang alami. Namun ketidakmampuan untuk menghadapi perbedaan, serta kebiasaan untuk lari dari masalah atau agresif menghadapi perbedaanlah yang menimbulkan persengketaan (dispute). Asumsi dasar kedua, menyatakan bahwa konflik dapat dianalogikan dengan ”drama”. Setiap drama selalu membutuhkan aktor, panggung dan skenario, begitu juga konflik. Untuk memahami konflik yang analog dengan drama, maka perlu dijabarkan siapa-siapa aktor yang terlibat dalam konflik. Apakah aktor politik atau militer? Siapakah sutradaranya? Siapa penunggang bebas? Siapa figuran? Panggung apa yang digunakan? Panggung merupakan media untuk mengekspresikan peran dari aktor. Panggung biasanya kelompok etnis, agama atau politik. Kemudian scenario apa di balik peran aktor dan panggung yang digunakan? Kemana tujuan yang ingin dicapai? Apakah wujudnya bisa mengembalikan dominasi kelompok? Status quo? Ekonomi? Kekuasaan? Skenario ini bisa bersifat struktural maupun kultural. Asumsi dasar ketiga, menyatakan bahwa konflik selalu mempunyai dua sisi, menciptakan perubahan dan dipengaruhi budaya. Secara inheren konflik membawa potensi resiko dan potensi manfaat. Dalam kaitan dengan perubahan, pada dasarnya konflik merupakan salah satu cara bagaimana sebuah keluarga, komunitas, perusahaan, dan masyarakat berubah. Konflik juga dapat mengubah pemahaman kita a kan sesama dan mendorong kita untuk memobilisasi sumber daya dengan cara-cara baru. Konflik membawa kita pada klarifikasi pilihan dan kekuatan untuk mencari penyelesaiannya. 3 Pada akhirnya dalam kaitan dengan budaya, dapat dinyatakan bahwa cara seseorang bereaksi dan aturan budaya dapat membawa kita pada konflik. Asumsi dasar keempat, konflik dipengaruhi pola-pola emosi, kepribadian dan budaya. Konflik mengikuti gaya kepribadian seseorang. Reaksi psikologis (melamun, melawan, dingin/diam) berperan sangat kuat dalam mempengaruhi proses konflik. Budaya juga ikut membentuk aturan dan ritual yang membawa kita pada konflik. Asumsi dasar kelima, merujuk kepada fenomena konflik antar komunitas, umumnya pada konflik yang melibatkan masyarakat di satu sisi dan negara di sisi lain, maka dapat dinyatakan bahwa pada hakikatnya fenomena konflik dapat dianalogikan dengan kebakaran pada suatu hutan yang gundul. Dengan api yang kecil, rumput dan pohon yang sudah kering dengan cepat sekali terbakar, meluas, terlebih-lebih apabila ada angin panas yang kencang, maka kebakaran menjadi tidak terperikan dahsyatnya. Hal ini juga berlaku bagi konflik. Unsur-unsur dasar suatu hutan gundul yang terbakar adalah unsur rumput dan pohon kering, unsur api, serta unsur angin. Unsur-unsur inilah yang akan dianalogikan dengan dasar terjadinya suatu konflik. 2. Sumber Konflik di Indonesia Sumber konflik yang terjadi di Indonesia jarang diakibatkan dari satu sumber, kebanyakan mempunyai sebab-sebab ganda, biasanya kombinasi dari masalah-masalah dalam hubungan antara pihak yang bertikai yang mengarah pada konflik yang terbuka. Dari pengalaman empirik di berbagai daerah di Indonesia, maka dapat dinyatakan bahwa sumber konflik sosial di Indonesia ada 5. a. Konflik Struktural Terjadi ketika ada ketimpangan dalam melakukan akses dan kontrol terhadap sumber daya (tanah, air, tambang, hutan). Pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, 4 biasanya lebih memiliki peluang untuk menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak yang lain. Di sisi lain persoalan geografis dan faktor sejarah/waktu seringkali dijadikan alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan pada satu pihak tertentu/pihak dominan/pemerintah pusat. Kebijakan yang tidak adil serta penggunaan operasi militer dalam rangka mengamankan kebijakan pemerintah pusat. Sumber konflik ini sangat terlihat jelas di Aceh dan Papua. b. Konflik Kepentingan Disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan terjadi ketika satu pihak atau lebih, meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban, dan biasanya yang menjadi korban adalah pihak masyarakat kebanyakan. Ciri lain dari konflik kepentingan adalah terjadinya persaingan yang manipulatif atau tidak sehat antarkedua belah pihak. Konflik yang berdasarkan kepentingan ini bisa terjadi karena masalah yang mendasar (ekonomi, politik kekuasaan), masalah tata cara atau masalah psikologis. c. Konflik Nilai Disebabkan oleh sistem-sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian, entah itu dirasakan atau memang ada. Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada kehidupannya. Nilai menjelaskan mana yang baik dan buruk, benar atau salah, adil atau tidak. Perbedaan nilai tidak harus menyebabkan konflik. Manusia dapat hidup berdampingan dengan harmonis dengan sedikit perbedaan sistem nilai. Konflik nilai muncul ketika orang berusaha untuk memaksakan suatu sistem nilai kepada yang lain, atau mengklaim suatu sistem nilai yang eksklusif dimana di dalamnya tidak dimungkinkan adanya perbedaan kepercayaan. d. Konflik Hubungan Sosial Psikologis Dalam kehidupan bermasyarakat senantiasa ada interaksi antarkelompok, dan antarbangsa. Namun dalam berinteraksi sosial antarpribadi, da kecenderungan untuk 5 mengambil jalan pintas dalam mempersepsikan seseorang. Bias persepsi ini disebut stereotip yang merupakan cikal bakal dari munculnya prasangka, berlanjut pada dilakukannya diskriminasi yang berakhir pada terjadinya tindakan kekerasan. Prasangka adalah sifat yang negatif terhadap kelompok atau individu tertentu semata-mata Karena keanggotaannya dalam kelompok tertentu. Prasangka muncul karena adanya bias persepsi (stereotip), yang memunculkan penilaian yang tidak berdasar dan mengambil sikap sebelum menilai dengan cermat. Akibatnya, ada penyimpangan pandangan dari kenyataan yang sesungguhnya serta ada pula generalisasi. Kecenderungan generalisasi (memukul rata) tersebut akan memberi dampak negatif jika sasarannya adalah kelompok minoritas dalam arti, jumlah maupun status. Prasangka kemudian dikonkritkan dalam perilaku dan atau tindakan diskriminasi. e. Konflik Data Terjadi ketika orang kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana, mendapat informasi yang salah, tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan, menerjemahkan informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda. Beberapa Konflik Data mungkin tidak perlu terjadi karena hal itu disebabkan kurangnya komunikasi diantara orang-orang yang berkonflik. Konflik Data lainya bisa jadi karena memang disebabkan informasi dan/atau tatacara yang dipakai oleh orang-orang untuk mengumpulkan datanya tidak sama. 3. Ragam Konflik a. Wujud Konflik Konflik dapat berwujud tertutup (latent), mencuat (emerging) dan terbuka (manifest). Konflik tertutup dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak nampak yang tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak konflik. Seringkali satu atau dua pihak boleh jadi belum menyadari adanya konflik bahkan yang paling potensialpun. Konflik mencuat adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih teridentifikasi. Mereka mengakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses negosiasi dan penyelesaian masalahnya belum berkembang. Di sisi lain, konflik terbuka adalah konflik dimana pihak-pihak 6 yang berlisih secara aktif terlibat dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai untuk negosiasi, dan mungkin juga mencapai jalan buntu. b. Kategori Konflik. Dalam studi-studi konflik, kita juga mengenal kategori-kategori lain dari konflik. Berdasarkan isunya maka kita mengenal jenis konflik sumber daya alam, perburuhan dan sebagainya. Berdasarkan pihak-pihak yang berkonflik, kita mengenal kategori konflik horisontal dan vertikal. Konflik horisontal merupakan konflik antarkelompok dalam masyarakat seperti konflikantar komunitas, konflik antarkelompok etnis/agama, dan konflik antarkelompok politik. Sementara konflik vertikal adalah konflik antara kelompok masyarakat dengan negara. Konflik antara gerakan separatis dengan negara merupakan salah satu contohnya. Peristiwa demonstrasi mahasiswa pada Mei 1998 juga merupakan contoh dari konflik vertikal. B. Faktor-Faktor Penyebab Konflik Faktor penyebab terjadinya konflik sosial terdiri dari: a. Perbedaan individu Peredaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbedabeda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik. b. Perbedaan latar belakang kebudayaan dan kepentingan Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang orang melakukan hal yang sama tetapi untuk tujuan yang berbeda. Konflik akibat perbedaan kepentingan dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. 7 c. Perubahan – perubahan nilai yang cepat Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasa bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai – nilai yang berubah seperti nilai kegotongroyongan menjadi nilai kontrak kerja, hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural. Data ini hanyalah data dipermukaan saja atau sering disebut hanya permukaan gunung es saja. Oleh karena itu, tidak mungkin sepenuhnya dapat dianalisis, tetapi hanyalah memberikan deskripsi / gambaran bahwa masalah tersebut dapat diselesaikan melalui kearifan lokal tersebut. Penyelesaian masalah batas desa : agar tanah/ batas tsb dicatatkan di buku Agraria, masalah setra, demikian pula agar dicatatakan/ dibukukan agraria. Solusi tidak pada semua kasus tetapi menggambarkan semua kasus yang terjadi di masing2 tempat penelitian. Reposisi Kearifan Lokal. Di bawah ini dikemukakan mengenai kearifan lokal masyarakat Bali yang secara turun temurun diakui sebagai pegangan di dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari, antara lain Tri Hita Karana, Sekeha Teruna Teruni, Karmaphala, Panca Yadnya, Tri Kaya Parisudha, dan lainlain. Manusia dan masyarakat Bali mempunyai hak untuk berubah, menuju ke arah yang lebih baik, yaitu menuju kehidupan yang lebih sejahtera dalam berbagai aspek, atau menuju masyarakat yang jagadhita. Jejak langkah perjalanan menuju Jagadhita ini hanya mungkin bisa dijalani apabila manusia dan masyarakat Bali tetap memegang nilai-nilai yang ada pada jatidiri kebudayaannya yang memang selama ini telah memandu perjalanan tersebut. Salah satu 'panduan' tersebut, yang sesungguhnya sudah meliputi berbagai aspek dalam kehidupan, adalah Tri Hita Karana .Tri Hita Karana bukan saja pegangan atau panduan, tetapi juga proses dan 8 hasil. Artinya, Tri Hita Karanaharus menjadi panduan dan pegangan bagi masyarakat Bali di dalam menggambarkan peta perjalanannya; kemudian melaksanakan Tri Hita Karana dalam proses perjalanan; dan akhirnya menjadi masyarakat yang maju, modern, sejahtera, yang tetap merupakan wujud dari implementasi Tri Hita Karana. Tri Hita Karana sebagai all-inclusive concept berintikan keseimbangan atau harmoni. Berbagai usikan dan gangguan yang ada, berbagai riak-riak konflik yang ada (yang memang tidak bisa dihindari dalam proses perubahan), harus dikembalikan kepada titik keseimbangan baru (new-equilibri-) sesuai dengan homeostasis masyarakat Bali. Mengenai keseimbangan ini, masyarakat Bali memang mempunyai akar sejarah yang kuat. Dalam hubungannya dengan keseimbangan terhadap alam, misalnya, Gregor Krause (1912) mengatakan bahwa manusia Bali selalu berbuat dengan menyeimbangan diri dengan alam. Covarrubias (1937) mengatakan, tidak ada etnik lain di dunia yang mampu menyamai Bali di dalam keselarasannya dengan alam. "... no other race gives the impression of living on such close touch with nature, creates such a feeling of harmony tween the people and its surrounding' (1937: 260). Itu terjadi karena manusia Bali selalu 'regulate every act of their lives so that it shall be in harmony with natural forces' (h. 260). Sebagai hasilnya, seperti apa yang dikatakan oleh de Zoete dan Walter Spies (1973: 2), "the Balinese is so perfectly in harmony with his surrounding...". Mengenai konsepsi Tri Hita Karana tidak akan dijelaskan secara detil di sini, yang perlu adalah bagaimana konsepsi itu ada, mungkin dimengerti, dan sifat penerapannya, dari masa ke masa. Seperti umum dimengerti bahwa konsepsi Tri Hita Karana adalah sebuah konsep filosofis mengenai persepsi masyarakat Bali tentang kehidupan manusia, dan hubungannya dengan yang lain. Dimengerti bahwa Tri Hita Karana mengandung konsep bahwa untuk dapat hidup 9 sejahtera, maka manusia perlu melakukan hubungan seimbang dengan: (1) sesama, (2) dengan Tuhan, dan (3) dengan alam. Ketiga hubungan itu secara filosofis dimengerti sebagai hubungan keseimbangan antara: manusia-manusia, manusia-Tuhan, dan manusia dengan alam, yang di dalam praktek kehidupan digambarkan dengan wujud tiga elemen: Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan. Bentuk hubungan yang saling memperhatikan, atau melindungi satu sama lain, akan membuat manusia hidup damai, sejahtera di dunia dan akhirat. Di Bali salah satu wujud pembangunan kepemudaan adalah melalui pelestarian wadah yang ada ditingkat Banjar yang tersebar di seluruh desa di Bali yang di kenal dengan Sekaha Teruna. Sekaha Teruna merupakan salah satu wadah organisasi kepemudaan yang keberadaannya sudah mentradisi di seluruh Banjar di setiap desa Pakraman di Bali yang mana Sekaha Teruna diharapkan mampu sebagai filter atau alat penyaring budaya-budaya asing yang masuk, serta memperkuat adat budaya Hindu, yang pada akhirnya Sekaha Teruna mampu melanjutkan pembangunan bangsa Indonesia pada umumnya dan pembangunan Daerah Bali pada khususnya. Keberadaan Sekaha Teruna sebagai organisasi sosial kemasyarakatan sangat terikat pada adat, agama dan budaya Hindu, oleh karena itu pembinaan dan pengembangan Sekaha Teruna sangat strategis sebagai wadah penciptaan kader pembangunan yang berwawasan budaya dan sekaligus merupakan asset pembangunan di bidang kepariwisataan di Bali. Istilah Sekaha Teruna sudah mencakup pengertian Teruna (Pemuda), Teruni (Pemudi), karena pengertian Sekaha Teruna sudah mencakup anggota pria dan wanita. Untuk itulah Sekaha Teruna - Teruni diseragamkan, sehingga yang masih memakai istilah Sekaa Teruna-Teruni supaya menggunakan istilah SEKAHA TERUNA. Hal ini ditegaskan dengan surat edaran Gubernur Kdh.Tk.I Bali, Nomor : 427/10083/Binsos Mental tanggal 28 Juni 1985. 10 Dasar hukum pendirian sekaa teruna adalah Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali No. 84/Kesra.II/a/541/1980, yang merupakan tindak lanjut dari keputusan Presiden RI No. 23 tahun 1979. Dalam hal ini Pemda Tingkat I Bali membentuk Badan Koordinasi Penyelenggaraan Pembinaan dan Pengembangan Generasi Muda (BKPPPGM). Generasi muda seperti kita ketahui bersama memiliki peranan yang sangat strategis dalam pembangunan bangsa, baik pembangunan pisik maupun pembangunan mental spiritual. Kedua pembangunan tersebut haruslah berjalan serasi dan seimbang dengan perkembangan jaman. Jika kita lihat dari aspek pembangunan, maka pemuda merupakan sumber tenaga kerja di masa mendatang dan sebagai sumber insani dari potensi bangsa perlu dipersiapkan untuk berpartisipasi dan memberikan sumbangan yang nyata kepada pembangunan bangsa dan negara. Oleh karena itu diperlukan penataan kehidupan pemuda, karena pemuda memainkan peranan penting dalam pelaksanaan pembangunan yang didasari bahwa masa depan adalah kepunyaan generasi muda. Untuk itu pembinaan dan pengembangan generasi muda harus menanamkan motivasi kepekaan terhadap masa yang akan datang. Bila dicermati kehidupan sejak mula, maka responden anak-anak siswa SMA yang beragama Hndu menyadari betul bahwa sejak lahir hingga meninggal akan mengalami prosesi upacara (yadnya) semacam ini. Landasan utama Yadnya (pengorbanan) adalah keikhlasan dan kesucian hati. Yadnya yang tidak dilandasi dengan keikhlasan dan kesucian hati tidak ada manfaatnya. Yadnya hendaknya dilakukan dengan ikhlas tanpa terikat oleh hasilnya. Menghaturkansesajen adalah yadnya dan melakukan sembahyang adalah yadnya. Menolong orang dalam kesusahan adalah yadnya. Berdana punia (pemberian) adalah yadnya. 11 Jadi, yadnya adalah segala kegiatan yang dilakukan dengan tulus ikhlas tanpa pamrih. Karena yadnya dipersembahkan kepada Sang Hyang Widhi Wasa, yadnya juga berarti persembahan suci. Dalam agama Hindu, yadnya terdiri atas lima jenis yang disebut PancaYadnya. Adapun kelima jenis yadnya itu adalah : a. DewaYadnya, adalah persembahan yang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi dan manifestasi-NYA . Dewa yadnya dilakukan di pura, merajan atau tempat suci yang baik, bersih dan mempunyai. Tujuan pelakanaan DewaYadnya adalah untuk menyampaikan rasa bakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa,atas segala anugerah yang telah diberikanNya. b. PitraYadnya, adalah persembahan kepada leluhur dan bathara-bathari, di mana tujuan pelaksanaan PitraYadnya adalah mensucikan roh-roh leluhur agar mendapat tempat yang baik dan tinggi. Pelaksanaan pitrayadnya diwujudkan dengan melakukan upacara Ngaben atau menubur jasad anggota keluarga yang meninggal. Semuanya bertujuan untuk mengembalikan unsur-unsur Panca Maha Butha ke asalnya seperti tulang, daging, kuku, rambut, dan otot kembali ke tanah (Pertiwi), darah, lendir, dan cairan tubuh kembali ke air (Apah), panas badan atau suhu badan kembali ke Teja, hawa panas kembali ke unsur Bayu, dan rongga-rongga yang ada dalam tubuh kita kembali ke unsur Eter. c. RsiYadnya, adalah persembahan kepada para Rsi dan guru untuk menjaga kesejahteraanya. Rsi adalah orang-orang yang bijaksana dan berjiwa suci. Pendeta atau Sulinggih atau guru dapat juga disebut orang suci karena beliau merupakan orang 12 bijaksana yang memberikan bimbingan dan tunutanan kepada sisya atau muridmuridnya. d.ManusiaYadnya, upacara yang dipersembahkan untuk memelihara hidup, kesempurnaan, dan kesejahteraan manusia. Misalnya upacara hari kelahiran, otonan, perkawinan, dll. e. ButhaYadnya, adalah persembahan kepada para bhuta kala dan makhluk bawahan, yang umumnya dilakukan melalui persembahan upacara mecaru pada setiap hari menjelang dilaksanakannya pujawali / piodalan, pada hari menjelang hari raya Nyepi, dan lain sebagainya. Yang bertujuan agar kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif menjadi kekuatan positif sehingga membantu manusia untuk menjaga ketenteraman dunia ini. Dalam konteks yang lainnya keyakinan terhadap Tri Kaya Parisudha, ditanamkan sejak kecil agar pikiran, perkataan, dan perbuatan dapat dijaga sehingga menimbulkan suatu keharmonisan dalam hidup bermasyarakat. Tri Kaya Parisudha adalah bagian dari etika / susila agama Hindu. Timbulnya kata Tri Kaya Parisudha berasal dari sebuah semboyan dharma yang berbunyi : “paropakaran punya ya, papaya, para piadanam“ mempunyai pengertian yaitu dari Tri artinya tiga, Kaya artinya gerak atau perbuatan dan Parisudha artinya suci. Tri Kaya Parisudha artinya tiga gerak atau perbuatan yang harus disucikan. Untuk mempertegas arti harfiahnya dikemukakan pula pengertian Tri Kaya Parisudhayang berasal dari kata “Tri” yang berarti tiga, “Kaya” berarti perilaku atau perbuatan, dan “Parisudha” yang berarti baik, bersih, suci atau disucikan. Tri Kaya Parisudha artinya tiga perilaku manusia berupa pikiran, perkataan, dan perbuatan yang harus disucikan. Pikiran, 13 perkataan, dan perbuatan yang disucikan dimaksudkan perilaku manusia yang baik atau perilaku manusia itu tidak boleh dikotori dengan perilaku yang tidak baik. Ketiga perilaku yaitu berpikir, berkata, dan berbuat yang baik harus selalu dijadikan pedoman khususnya bagi ummat Hindu dan bagi umat manusia pada umumnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari, sehingga tercipta hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan maha pencipta. Tri Kaya Parisudha dapat juga diartikan sebagai tiga dasar perilaku manusia yang harus disucikan, yaitu manacika, wacika, dan kayika. Manacika berarti pikiran yang baik, wacika berarti perkataan yang baik, dan kayika berarti perbuatan yang baik. Adanya pikiran yang baik akan mendasari perkataan yang baik sehingga terwujudlah perbuatan yang baik pula. Jadi pada dasarnya perkataan dan perbuatan bersumber atau berawal dari pikiran. Pikiran yang baik akan menunutun manusia berkata atau berbuat yang baik pula. Dari prinsip itu, maka yang paling awal harus dikendalikan manusia adalah pikirannya. Hal-hal yang mempengaruhi pikiran haruslah selalu terjaga, seperti kestabilan jiwa dan emosi, kebutuhan akan kesehatan jiwa dan raga, termasuk kebutuhan akan estetika, dengan jiwa yang tenang orang dapat mengendalikan pikirannya sehingga dapat berpikir dengan jernih yang akhirnya akan dicetuskan dalam bentuk perkataan yang baik dan perbuatan yang baik. Kitab suci Weda mengajarkan agar ummat manusia menjauhkan diri dari kejahatan / kenakalan dan perbuatan dosa serta menyingkirkan kedengkian. Umat manusia agar selalu berbuat dharma, dengan ucapan yang manis hendaknya dan selalu berbuat kebaikan. Manusia semestinya juga selalu menyucikan pikiran dan budhinya. Pernyataan tersebut sama seperti yang diajarkan dalam Tri Kaya Parisudhayaituberpikir baik, berkata, dan berbuat baik. Berpikir baik, berkata baik dan berbuat baik menjadi dasar dan pedoman hidup bagi umat Hindu dan bagi umat 14 manusia pada umumnya, sehingga kerukunan, ketentraman, dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat dapat tercipta sesuai dengan tujuan agama Hindu dan tujuan pendidikan pada umumnya. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki kelebihan, dibandingkan dengan makhluk lainnya. Manusia memiliki kelebihan berupa manas atau manah. Manas atau manah itu berarti pikiran. Pikiran adalah inti segalanya. Dari ketiga unsur Tri Kaya Parisudha pikiran adalah paling pokok, yang dapat menimbulkan adanya perkataan maupun perbuatan. Karena itu pikiran adalah paling penting untuk dikendalikan. Jadi pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang aktif berpikir. Dari kenyataan itu, manusiamemiliki dua karakter atau sifat pikiran yaitu pikiran baik dan pikiran buruk. Pikiran yang baik menjadi pedoman untuk berkata dan berbuat yang baik, sebaliknya pikiran yang buruk akan menggiring seseorang untuk berkata dan berbuat yang tidak baik. Tri Kaya Parisudhayaitu berpikir baik, berkata baik, dan berbuat baik, hendaknya dapat dilakukan dengan sebaik mungkin. Secara empiris kenyataan hidup manusia, sering kita jumpai dua sifat manusia yaitu manusia yang berperilaku baik dan manusia yang berperilaku buruk. Hal ini sering dijumpai di sekolah, yaitu anak-anak siswa peserta diik yang berperilaku baik dan berperilaku tidak atau kurang baik. Faktor-faktor yang dapat menghambat dan mendukung dalam penanaman nilai-nilai etika yang terkandung dalam Tri Kaya Parisudha, antara lain: 1). Faktor sosial budaya Sosial budaya merupakan perilaku atau kebiasaan manusia dalam kehidupan sehari-hari, pembelajaran, termasuk dalam penanaman nilai-nilai etika yang terkandung dalam Tri Kaya Parisudha. Anak yang tumbuh di lingkungan masyarakat yang memiliki tata karma 15 bermasyarakat yang baik, memiliki sopan santun dan memiliki sikap saling menghargai, tentu anak tersebut juga akan terbiasa melihat dan melakukan perilaku-perilaku yang baik. Demikian juga, anak yang dibesarkan di lingkungan keluarga yang tidak harmonis, tentu juga akan berpengaruh terhadap masalah perkembangan piskologis si anak yang cenderung mengarah ke hal-hal negatif. 2). Faktor lingkungan Faktor lingkungan yang dimaksud berpengaruh terhadap proses penanaman nilai-nilai etika yang terkandung dalam Tri Kaya Parisudha adalah faktor lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Pada faktor sosial budaya telah disinggung tentang kebiasaan masyarakat dan orang tua yang dapat mempengaruhi perkembangan pendidikan anak. Misalnya, perilaku anak yang berdampak pada perilaku si anak seperti anak yang timbuh di lingkungan masyarakat suka minum-minuman keras (alkohol – mabuk-mabukan), anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang merokok dan anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang gemar berjudi. Kebiasaankebiasaan seperti inilah yang dapat menghambat dalam penanaman nilai-nilai etika kepada peserta didik. Sebaliknya, anak yang dibesarkan di lingkungan keluarga baik-baik akan sangat mendukung dan memudahkan di dalam menanamkan nilai-nilai etika. Sekolah merupakan tempat untuk menyelenggarakan pendidikan formal. Lingkungan sekolah yang mendukung proses pembelajaran adalah memiliki lingkungan belajar yang kondusif, sehingga memungkinkan peserta didik dapat belajar, termasuk dalam penanaman nilainilai etika untuk mengembangkan akhlak mulia peserta didik. 3). Faktor perkembangan teknologi 16 Pengaruh global sangat memungkinkan peserta didik mudah terkontaminasi oleh hal-hal yang dapat merusak perilaku mereka, seperti pengaruh teknologi berupa handphone (HP), laptop dan media internet yang memudahkan dalam mentranformasikan suatu pesan dalam bentuk gambar maupun video atau film. Di satu sisi, hasil-hasil tekonologi sangat diperlukan untuk memudahkan dan mempercepat aktivitas-aktivitas manusia termasuk aktivitas dalam belajar, sedangkan di sisi lain hasil-hasil teknologi dapat menjerumuskan penggunanya ke hal-hal negatif. Penggunaan HP, Komputer (Laptop), yang merupakan alat komunikasi memiliki fasilitas-fasilitas canggih, seperti music, gambar, film, kamera, dan fasilitas internet. Dengan fasilitas tersebut manusia dapat melakukan komunikasi dengan cepat walaupun rekan komunikasi berada di tempat yang jauh atau di negara lain. Tetapi apabila si pengguna alat tersebut, tidak dilandasi akhlak mulia yang memadai tentu akan mudah terjerumus melakukan hal-hal yang aneh atau negatif dengan fasilitas yang ada pada teknologi tersebut. Untuk menghindari dan merubah penyimpangan-penyimpangan perilaku, maka diperlukan usaha bagi kalangan pendidik di sekolah dalam mengembangkan potensi akhlak mulia peserta didik, yaitu dengan penanaman nilai-nilai etika seperti nilai-nilai etika yang terkandung dalam Tri Kaya Parisudha. Tri Kaya Parisudhadewasa ini masih cukup berperan baik dalam menumbuhkan akhlak mulia kepada peserta didik seperti yang diamanatkan agar tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa Tri Kaya Parisudha terdiri dari tiga bagian yaitu (1) Manacika, atau berpikir yang baik atau suci. Berpikir baik tanpa kekotoran, dan tanpa 17 ada rasa kebencian atau kemarahan. Hindarkanlah pikiran mengecilkan dan mencurigai orang lain, akibat rasa sombong dan merasa lebih tinggi. Karena pikiran itu, ibarat menanam benih celaka; (2) Wacika, atau berkata yang baik. Upaya konkritnya adalah berkata sopan terhadap sesama tanpa memandang stautsnya seperti usia, jabatan, posisi, dll. Berawal dari pikiran, akan timbul perkataan. Perkataan adalah sabda pemikiran yang akan berlanjut menjadi tindakan. Tutur kata yang santun, enak, sedap dan tidak keras. Maksud yang diutarakan jelas disusun secara teratur. Untaian kata mengundang keakraban dan mudah untuk diterima. Kata-kata dipilih yang santun dan tak berkepanjangan. Sikap dan gaya bicara, cukup seperlunya tidak perlu dilebihlebihkan, yang penting, apa yang diuraikan membuat senang siapapun yang mendengarkannya; dan (3). Kayika, berbuat yang baik/suci. Upaya konkritnya dari kayika adalah dengan melakukan kegiatan membantu sesama manusia baik berupa phisik maupun non-phisik. Perilaku atau perbuatan harus dilaksanakan dengan baik dan benar. Setiap perbuatan yang dilakukan baik ataupun buruk akan dapat memnimbulkan apa yang disebut dengan karma. Buah karmaitu adalah pahala atau hasil dari perbuatan kita. Semua manusia tentu tidak ingin memetik buah karma yang buruk, dan semua orang ingin memperoleh buah karma yang baik. Karena itu janganlah berbuat yang tidak baik yang dapat menciptakan buah karma buruk. Menurut orang bijak, waspadalah terhadap pikiran anda, karena ia akan menjadi kata-kata anda. Waspadalah terhadap kata-kata anda, karena ia akan menjadi tindakan anda. Waspadalah terhadap tindakan anda, karena ia akan menjadi sikap anda1. Jika dicermati tampaklah konsep ideologi Tri Hita Karana pada dasarnya terdiri atas dua bagian,yaitu ideologi dan Tri Hita Karana. Sebagaimana di ketahui ada sejumlah pengertian 1 .(http://arsip.pontianakpost.com) diakses pada tanggal 20 Januari 2011 18 yang bebeda-beda tentang istilah ideologi yang di acu dalam penelitian ini, yakni sebagaimana di jelaskan oleh Takwin 2, sebagai berikut. ,,....ideologi di artikan sebagai kumpulan gagasan yang menjadi panduan dalamkelompok manusia dalam bertingkah laku mencapai tujuan tertentu, dengan cara menurunkan gagasan dalam ideologi menjadi sejumlah kerangka aksi dan aturan aturan tindakan, sekelompok manusia bertindak .... ideologi menjadi keyakinan (belief) bagi kelompok itu,,. Jadi yang di maksud dengan ideologi dalam penelitian adalah gagasan atau ide-ide sebagai panduan ideologis bargi masyarakat yang bersangkutan dengan melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. Gagasan atau ide-ide tersebut dapat di tuangkan di dalam kerangka aksi atau kerangka tindakan yang mengandung aturan-aturantertentu sesuai dengan gagasan atau ide-ide, tujuan, kepentingan, dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.ideologi dalam arti seperti ini tampak identik dengan pengertian dengan gagasan kulektif menurut durkheim, yakni suatu gagasan mengenai berbagai hal, termasuk juga mengenai keyakinan keagammaan yang dapat berfungsi sebagai acuan dan memberi arah bagi tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat3. Selanjutnya, istilah Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan,yaitu keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan (parhyangan),hubungan manusia dengan 4 manusia (pawongan),dan hubungan manusia dengan lingkungan alam (palemahan) . 2 Takwin, Bagus. 2003. Akar-Akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi Dari Plato Hingga Buerdeu. Yogyakarta: jalasutra hal.7 3 Koentjaraningrat, 1993. Masalah kesukubangsaan dan integrasi nasional.” Jakarta Universitas Indonesia Press.hal 90-92 4 Kaler, I Gusti , Ketut. 1982. Subak Selaku Subjek Dan Objek Pembangunan makalah dalam seminar lustrum IV dan wisuda sarjana, XVI. Denpasar, Universitas Udayana, hal 3 19 Berdasarkan konsep ideologi dan konsep Tri Hita Karana di atas, maka yang di maksud dengan ideologi Tri Hita Karana dalam penelitian ini adalah gagasan-gagasan atau ide-ide yang bersifat eko sintrisme, yaitu beroreantasi pada kharmonisan hubungan antara manusia dengan lingkungan dalam arti luas. Dengan mengacu pendapat Soemarwoto (1989)5, ideologi Tri Hita Karana yang demikian itu dapat di katakan sebagai kristalisasi citra lingkungan masyarakat Bali yang bersifat ekosantrisme, yaitu panduan ideologi bagi tindakan manusia dalam hubungannya dalam lingkungan supernatural, lingkungan sosial, dan lingkungan alam. Dalam ajaran Hindu penghormatan pada guru adalah sangat mulia, karena bagaimanapun juga pengetahuan tentang ajaran dharma dapat diberikan oleh ketiga guru tersebut. Pengertian tentang guru sesuai dengan isi lontar Panca siksa lamp. 3 adalah: “Guru ngaranya,wwang awreddha, tapowreddha, jñānawreddha.Wwang awreddha ng. Sang matuha matuha ring wayah, kadyangganing bapa, ibu. pangajyan, nguniweh sang sumangāskāra rikita. Tapowreddha ng. sang matuha ring brata, Jñāna- wreddha ng. sang matuha rting aji” – Yang disebut guru adalah orang yang sudah Awreddha, Tapo- wreddha, Jñānawreddha. Orang Awreddha adalah orang yang sudah lanjut usianya seperti bapa, ibu, orang yang mendidik (mengajar/pangjyan), lebih-lebih orang yang mentasbihkan (mensucikan/sumangāskāra)engkau.Tapowreddha disebut bagi orang matang di dalam pelaksanaan brata. Jñānawreddha adalah orang yang ahli di dalam ilmu pengetahuan (spiritual). Ditinjau tentang jenis-jenis yang disebut guru atau yang berfungsi sebagai guru, maka sebagai guru tertinggi dari alam semesta ini tidak lain adalah Hyang Widhi yang disebut Guru Param Brahma sebagai dinyatakan dalam Gurupūjā 2, berikut: 5 Soemarwoto, O. 1989. LingkunganHidupdanPembangunan. Jakarta jabatan, hal... 20 Oṁ Gurur Brahma Gurur Viṣṇu Gurur deva Maheśvara, Gurur sākṣat Param Brahma tasmai Śrī gurave namaḥ – Oṁ Hyang Widhi, Engkau adalah Brahma, Viṣṇu dan Maheśvara, sebagai guru agung, pencipta, pemelihara pelebur alam semesta. Engkau adalah Guru Tertinggi, Param Brahma, kepada-Mu aku memuja. Di samping Parameṣtiguru, guru tertinggi di dalam lontar-lontar di Bali kita mengenal Tri Kang Sinanggeh Guru (tiga orang yang disebut guru) atau Triguru, yaitu: Guru rūpaka (orang tua, bapa-ibu), Guru pangajyan (guru yang memberi pendidikan dan pengetahuan suci untuk mendapatkan kesempurnaan) dan Guru viśesa (pemerintah yang menjadi abdi kesejahtraan rakyat dan tempat berlindung di kala kesusahan). Dalam ajaran agama Hindu dikupas mengenai pengertian Tat Twam Asi seperti berikut ini: A. Pengertian Tat Twam Asi6 Di dalam kitab CandayogaUpanisad, ada disebutkan Tat Twam Asi. Di dalam filsafat Hindu dijelaskan bahwa Tat Twam Asi adalah ajaran kesusilaan yang tanpa batas, yang identik dengan perikemanusiaan dalam Pancasila. Konsepsi sila perikemanusiaan dalam Pancasila, bila kita cermati secara sungguh-sungguh merupakan realisasi ajaran Tat Twam Asi yang terdapat dalam kitab suci weda. Dengan demikian, dapat dikatakan mengerti dan memahami, serta mengamalkan/melaksanakan Pancasila berarti telah melaksanakan ajaran weda. Karena maksud yang terkandung didalam ajaran Tat Twam Asi “ia adalah kamu, saya adalah kamu, dan semua makhluk adalah sama” sehingga bila kita menolong orang lain berarti juga menolong diri kita sendiri. 6 Ni Ketut Patri, Sumber Buku : Widya Dharma Agama Hindu (21 juni 2009 blogspot.com) 21 B. Bentuk-bentuk ajaran Tat Twam Asi. Tat Twam Asi adalah ajaran moral yang bernafaskan ajaran agama Hindu. Wujud nyata /riil dari ajaran ini dapat kita cermati dalam kehidupan dan prilaku keseharian dari umat manusia yang bersangkutan. Manusia dalam hidupnya memiliki berbagai macam kebutuhan hidup yang dimotifasi oleh keinginan(kama) manusia yang bersangkutan.Sebelum manusia sebagai makhluk hidup itu banyak jenis, sifat, dan ragamnya, seperti manusia sebagai makhluk, individu, sosial, religius, ekonomis, budaya, dan yang lainnya. Semua itu harus dapat dipenuhi oleh manusia secara menyeluruh dan bersamaan tanpa memperhitungkan situasi dan kondisinya serta keterbatasan yang dimilikinya, betapa susah yang dirasakan oleh individu yang bersangkutan. Disinilah manusia perlu mengenal dan melaksanakan rasa kebersamaan, sehingga seberapa berat masalah yang dihadapinya akan terasa ringan. Dengan memahami dan mengamalkan ajaran Tat Twam Asi, manusia akan dapat merasakan berat dan ringan hidup dan kehidupan ini.Semua diantara kita ini tahu bahwa berat dan ringan Rwabhineda itu ada dan selalu berdampingan adanya, serta sulit dipisahkan keberadaanya. Demikian adanya maka dalam hidup ini kita hendaknya selalu sering tolong menolong, merasa senasib dan sepenanggungan. Misalnya, bila masyarakat Bali ditimpa bencana Bom, sebagai akibat dari bencana itu bukan hanya dirasakan oleh masyarakat Bali sendiri, melainkan juga dirasakan oleh masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat duniapun juga ikut terkena biasnya. Bila seorang anak mendapat halangan /kecelakaan sehingga merasa sedih, rasa sedih yang diderita oleh anak yang bersangkutan juga dirasakan oleh orang tuanya. Demikian juga yang lainnya akan selalu dirasakan secara kebersamaan /sosial oleh masing-masing individu yang bersangkutan. Jiwa sosial ini seharusnya diresapi dengan sinar-sinar kesusilaan tuntunan Tuhan dan tidak dibenarkan dengan jiwa kebendaan semata.Ajaran Tat Twan Asi selain merupakan jiwa 22 filsafat social, juga merupakan dasar dari tata susila Hindu di dalam usaha untuk mencapai perbaikan moral. Susila adalah tingkah laku yang baik dan mulia untuk membina hubungan yang selaras dan rukun diantara sesama makhluk hidup lainnya yang diciptakan oleh Tuhan. Sebagai landasan/pedoman guna membina hubungan yang selaras, maka kita mengenal, mengindahkan, dan mengamalkan ajaran moralitas itu dengan sungguh-sungguh sebagai berikut : 1. Kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran /norma-norma masyarakat yang timbul dari hatinya sendiri (bukan paksaan dari luar). 2. Rasa tanggung jawab atas tindakannya itu. 3. Lebih mendahulukan mementingkan umum dari pada kepentingan pribadi. Sastra-sastra agama adalah sumber atau dasar dari tata susila(ethika) yang bersifat kokoh dan kekal, ibarat landasan dari suatu bangunan dimana bangunan yang bersangkutan harus didirikan. Jika landasannya itu tidak kuat/kokoh, maka bangunan itu aakan mudah roboh dengan sendirinya.Demikian pula halnya dengan tata susila bila tidak dilandasi dengan pedoman sastra-sastra agama yang kokoh dan kuat, maka tata susila tidak akan meresap dan mendalam di hati sanubari kita. Ajaran agama yang menjadi dasar dan pedoman tata susila Hindu diantaranya adalah ajaran Tri Kaya Parisudha. Ajaran Tri Kaya Parisudha merupakan tiga kesusilaan yang penting sebagai bagian dari ajaran Dharma. Dengan demikian barang siapa yang dengan kesungguhan hati mengamalkan ajaranya itu sudah barang tentu akan selalu dalam keadaan selamat dan bahagia, karena ia selalu akan mendapat perlindungan dari perbuatanya yang baik itu.Tata susila sering juga disebut dengan ethika(sopan santun). Ethika itu dapat diterapkan sesuai dengan tujuannya, bila manusia memiliki wiweka, yaitu kemampuan membedakan dan memilih diantara yang baik dengan yang buruk , yang benar dengan yang salah dan lain sebagainya. Demikianlah tata susila dengan wiweka, keduanya saling melengkapi kegunaanya dalam hidup dan kehidupan ini.Namun dewasa ini bila kita mau secara jujur mengakui, sesungguhnya banyak sekali tanda-tanda kemerosotan moral yang terjadi dilingkungan masyarakat, terutama dikalangan anak-anak (para remaja) kita, hal itu disebabkan oleh karena antara lain : 1. Kurang tertanamnya jiwa agama pada setiap individu yang ada dalam masyarakat. 23 2. Keadaan masyarakat yang kurang stabil, baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial, politik dan keamanan. 3. Pendidikan moral belum terlaksana sebagaimana mestinya baik dilingkungan sekolah, masyarakat, maupun ditingkat rumah tangga. 4. Situasi dan kondisi rumah tangga yang kurang stabil/baik. 5. Diperkenalkan secara popular obat-obatan dan sarana anti hamil. 6. Banyaknya tulisan-tulisan, gambar-gambar, siaran-siaran, kesenian-kesenian yang kurang mengindahkan dasar-dasar,norma-norma/aturan-aturan tentang tuntunan moral. 7. Kurang adanya individu /organisasi/lembaga yang memfasilitasi tempat-tempat bimbingan dan penyuluhan moral bagi anak-anak/remaja yang menganggur. Bila ajaran Tat Twam Asi dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat secara menyeluruh dan sungguh-sungguh,dalam sifat dan prilaku kita maka kehidupan ini akan menjadi sangat harmonis.Satu dengan yang lainnya diantara kita dapat hidup saling menghormati, mengisi dan damai. Demikianlah ajaran Tat Twam Asi patut kita pedomi, cermati dan amalkan kehidupan sehari-hari ini. Karmaphala7:terdiri atas kata 'karma' dan 'phala', yang artinya setiap perbuatan akan menghasilkan 'phala' yang sesuai dengan 'karmanya'. Barang siapa berbuat baik, akan memetik buahnya berupa kebaikan. Sebaliknya, barangsiapa berbuat buruk, keburukan jugalah yang akan diterimanya. Cepat atau lambat, baik atau buruk, 'phala' yang diterimanya bergantung pada 'karma' yang telah dilakukannya. Kajian 'karmaphala' dalam karya sastra Jawa ini, khususnya hasil karya sastra Jawa R Ng. Sindusastra yang berjudul 'Serat Arjunasasrabahu Jarwa Sekar 7 Kajeng, I. Nyoman. Tanpa tahun, Sarasamuccaya, Widyalaya, Jakarta 24 Macapal'. Di dalam 'seral' tersebut terdapat tokoh-tokoh dalam ceritera, yang dapat' dijadikan kajian sebagai bahan pengajaran 'bahasa Jawa. Karya sastra Jawa bukan saja seni untuk seni, melainkan seni yang mengandung unsur pedagogik, dan merupakan 'pandangan hidup' masyarakat Jawa khususnya. Karmaphala dalam bahasa Kawi atau bahasa Sansekerta, ditulis 'karmaphala'. Karmaphala terdiri atas kata 'karma' dan 'pala'. Dalam beberapa kamus, kata 'karma' diberi arti (arti leksikal) 'tindak kang linakonan' perbuatan yang telah dijalankan 'pala' berarti 'woh', (ent. piguna, pakoleh, lelabuhan', buah, guna (kias), hasil, jasa) 'Karma' berarti 'tata, basa, tata krama' aturan, bahasa, sopan-santun; 'phala' berarti 'uwoh, wohwohan, labet, pakantuk'; buah, buah-buahan, jasa, hasil. 'Karma' berarti perbuatan, pekerjaan jasa, jumlah perbuatan baik dan buruk, nasib/takdir, perbuatan dahulu. 'Phala' berarti buah, hasil, faedah, akibat, hadiah, upah. Arti karmapala dalam kalimat (arti gramatikal) terdapat di dalam ajaran agama Hindu maupun Buddha sebagai berikut: (Sarasamuccaya, 1958:19). a. "Kunang ikang wwang gumawayekang cubhakarma, janmanyan sangke ring swarga delaha, litu hayu, maguna, sujanma, sugih, mawirya, phalaning cubhakarmawasana tinemunya." Artinya: Maka orang yang melakukan perbuatan baik, kelahirannya dari surga kelak menjadi orang yang rupawan, gunawan, muliawan, hartawan, dan berkekuasaan; buah hasil perbuatan yang baik, didapat olehnya. (Upadeca 1980:25). Ajaran agama Hindhu Dharma mengenal hukum Karmapala, Subhakarma dan 25 Asubhakarma. Phala adalah hasil dari karma, ada tiga macam pula: a. Sandra ialah pala dari perbuatan dalam kehidupan terdahuIu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan sekarang atau yang akan datang. b. Prarabda pala dari perbuatan dalam kehidupan ini, tanpa ada sisanya lagi. Kriyamana pala dari perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat, sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang. 26