TRADISI “DINA GEBLAG” DALAM KEPERCAYAAN MASYARAKAT

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN
A. Kepercayaan Masyarakat Jawa
Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan
manusia tentang sifat-sifat manusia tentang sifat-sifat Tuhan, serta mempercayai
adanya wujud dari alam gaib dan supernatural, dan juga pemahaman tentang hakekat
hidup dan maut, dan tentang wujud dewa-dewa atau mahkluk-mahkluk halus lainnya
yang mendiami alam gaib. (Koentjaraningrat, 1983 : 78).
Sistem kepercayaan dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa erat hubungannya
dengan kegiatan-kegiatan dan upacara-upacara yang berbau religius. Juga didalamnya
terdapat unsur-unsur serta rangkaian dan juga alat alat yang biasa digunakan untuk
kegiatan ini. Menurut Lukes E Durkheim menjelaskan Religi merupakan sesuatu yang
tidak dapat dielakkan dalam kehidupan suatu masyarakat. Dalam masyarakat
sederhana religi merupakan sumber utama kohesi sosial dalam masyarakat.(Drujetna
Imam Muhni, 1994 : 128)
Yang menjalankan seluruh rangkaian dari sistem kepercayaan itu adalah
masyarakat. Masyarakat diambil dari bahasa Yunani yaitu socius yang berarti teman
atau kawan. Arti tersebut menekankan pertemanan dan persahabatan yang kuat. Pada
abad ke-19 pengertian mengenai masyarakat dikembangkan menjadi lebih cenderung
ke sekelompok atau perkumpulan manusia dan komunitas yang menjadi wadah
pengalaman manusia, keluarga, desa, Jemaah gereja, kota dan kelas serta perkumpulan
suka rela. (Ken Plummer, 2011 : 24)
Jawa adalah pusat politik kepulauan Indonesia dan kampung halaman
kelompok etnis paling besar dan paling sophisticated (paling berpengalaman atau
pintar) diantara penduduk Indonesia yang amat beraneka. Secara etnis, Jawa
merupakan mayoritas Indonesia, namun diantara mereka sendiri secara religius ada
keanekaragaman, karena sekitar lima sampai sepuluh prosen menganut Islam dalam
versi yang sudah amat sinkretis dan dijawakan, sementara sebagian besar lainnya
menganggap dirinya Muslim Nominal, yaitu mengakui diri Islam namun tindakan dan
pikiran mereka lebih dekat kepada tradisi Jawa Hindu. (Niels Mulder, 1980 : 1)
Menurut James L Peakock bagi orang Jawa dewasa ini, sebenarnya mistik dan
praktek – praktek magis – mistis senantiasa merupakan arus bawah yang amat kuat,
Kalau bukan malah esensi dari kebudayaan mereka. Islam yang datang ke Jawa adalah
Islam Sufi yang mudah diterima serta diserap kedalam sinkritisme Jawa. (Niels
Mulder, 1980 1-2). Kepercayaan masyarakat Jawa tentang Roh sudah ada sejak jaman
dulu. Kepercayaan itu masih ada hingga saat ini sebagai bentuk penghormatan kepada
orang yang sudah meninggal. Masyarakat percaya bahwa roh orang yang telah mati
masih berada di sekitar mereka, Roh bisa melihat orang-orang yang masih hidup tetapi
ini tidak berlaku sebaliknya. Kepercayaan tentang Roh adalah animisme dan
dinamisme. Animisme adalah kepercayaan adanya jiwa atau roh yang menghuni suatu
tempat.
Sri Winarsih dalam tulisannya menyebut Animisme merupakan religi yang
tertua dikenal manusia yang mewarnai keyakinan dan kepercayaan masyarakat, serta
merupakan wujud nyata dalam pemujaan roh nenek moyang.(Clifford Geertz, 1981 :
13). Menurut (Suwardi Endraswara, 2005 : 80) roh dapat digolongkan menjadi 3 yaitu
:
1. Roh leluhur merupakan roh manusia yang sudah meninggal. Roh bersifat baik dan
akan menjaga anak cucunya.
2. Danyang merupakan roh yang menempati suatu desa, sumber mata air, bukit dan
sebagainya. Roh ini bersifat baik dan suka menolong manusia.
3. Lelembut merupakan roh yang paling rendah, mendiami tempat sepi, hutan, pohon dan
batu. Seperti : jin, banaspati, genderuwo, peri dan sebagainya. Memiliki sifat jahat
dan suka mengganggu manusia.
Kehidupan Jawa bersifat ritualistis, perubahan- perubahan dan kejadiankejadian baru harus dimasukkan secara formal ke dalam struktur keadaan yang sudah
ada. Mereka harus diakui secara ritual dulu baru kemudian dapat diterima. (Mulder,
1980 : 53). Sebagai bentuk hubungan yang baik karena manusia tidak bisa melihat roh
orang yang telah mati maka bentuk hubungan dan komunikasinya adalah diwujudkan
dalam bentuk ritual dan doa sesuai dengan kepercayaan.
B. Prinsip Hidup
Sifat manusia Jawa yang low profil memiliki arti tidak boleh menonjol, dan
tidak untuk bersaing satu sama lain, yang ada mereka harus bergotong royong, saling
berbagi, dan patuh dan menjalin hubungan baik terhadap sesama manusia, terhadap
alam semesta, dan yang paling utama yaitu menjalin hubungan baik terhadap
Tuhannya. Sesuai dengan falsafah orang Jawa yaitu Hamemayu Hayuning Bawana
dalam bahasa Indonesia artinya memelihara dan mempercantik dunia. Diterjemahkan
dengan mempercantik yang dimaksudkan sebagi usaha positif dari individu Jawa.
Teguh Pranoto dalam bukunya yang berjudul “Spiritualitas Kejawen” menjelaskan
usaha mempercantik dunia yang sudah cantik ini terdapat tiga hubungan yang harus
dilakukan setiap masing-masing manusia yaitu :
1. Gegayutaning Manungsa karo Manungsa dalam bahasa Indonesia yakni Hubungan
antar manusia dengan manusia. Dalam hal ini terdapat hubungan yang harmonis dalam
masyarakat yang majemuk, Tepa Slira atau tenggang rasa yang tinggi, menghormati
perbedaan dan mencari kesamaannya, menggalang persatuan dan kesatuan, tidak
memaksakan kehendak sendiri pada orang lain, Bisa Rumangsa (bisa menyadari,
mawas diri, rendah diri) dan bukan Rumangsa Bisa (menyadari bisa melakukan) dan
lain-lain.
2. Gegayutaning Manungsa karo Alam dalam bahasa Indonesia artinya hubungan antara
manusia dengan alam semesta. Dengan menyadari bahwa alam telah banyak
memberikan kesejahterahan pada manusia dan melalui alam maka manusia dapat
belajar banyak darinya maka sudah seharusnya manusia berterima kasih dan
mensyukuri kepada alam yang demikian bersahabat dan bukan sebaliknya yaitu
kebaikan hati alam dibalas dengan merusak alam mentang-mentang alam tidak bisa
berbicara dan melawan kesewenang-wenangan atas ulah manusia.
3. Gegayutaning Manungsa Karo Gusti Kang Murbeng Dumadi Ingkang Akarya Jagad
arti dalam bahasa Indonesia yaitu hubungan manusia dengan Tuhan yang Maha Esa,
Sang Pencipta Alam. Dengan menyadari siapa diri kita ini dihadapan Tuhan Yang
Maha Kuasa, sudah semestinya kita harus senantiasa mengikuti aturan-aturan Tuhan.
Kejadian-kejadian yang tidak enak yang menimpa diri bangsa ini menurut pendapat
penulis merupakan ungkapan dari perbuatan manusia yang telah banyak mengingkari
aturan Tuhan , bukan karena kemarahan Tuhan atau bukan pula hukuman Tuhan tetapi
disebabkan karena ulah manusia itu sendiri yang telah begitu banyak mengingkari
aturan Tuhan, sudah tidak lagi Aja Dumeh (jangan sok), manusia tidak lagi Eling
(Ingat) dan sudah tidak lagi waspada tapi sudah “semau gue”. (Teguh Pranoto, 2007 :
68-70)
Pemikiran orang jawa yang didasari dengan paham Kejawen berfikir bahwa alam
semesta ini memberikan begitu banyak sumbangan untuk manusia yang begitu
banyak, sampai alam seakan ikut saja ketika manusia itu berbuat apapun terhadap
alam.
C. Kasedan Jati (Kematian yang Sebenar-benarnya)
Sifat hidup itu adalah suatu saat akan mati dan kembali kepada penciptanya.
Manusia Jawa akan mengalami Kasedan Jati atau mati yang sebenarnya-benarnya.
Dalam hal ini adalah pemahaman tentang Sangkan Paraning Dumadi yaitu darimana
kita berasal dan kepada siapa kita akan kembali. Tujuan mati yang sebenar-benarnya
ini yakni menghadap Tuhan yang Maha Esa dengan terpuji dan kematian yang sejati.
Orang akan mati ketika sudah melanggar Tata Paugeraning Urip atau aturan yang
menciptakan kehidupan. Kasedan Jati terdapat falsafah yakni Urip Sepisan Mati
Sepisan dalam bahasa Indonesia artinya hidup sekali dan mati sekali atau Kematian
yakni bila semua anasir yang ada didalam tubuh kita yang terdiri dari anasir tanah, air,
api, tanah dan roh pada waktu mati nanti dapat langsung kembali ke asalnya masingmasing. Jangan sampai terjadi “kekacauan” misalnya dari angin kembali ke api dan
yang dari tanah kembali ke air dan seterusnya dan lain-lain. (Teguh Pranoto, 2007 :
114-115).
Kasedan Jati atau kematian dianggap hal yang membutuhkan ritual yang
benar-benar sesuai dengan pemahaman Kejawen , yaitu dari hari kematian (Geblag)
hingga mengebumikan (metak). Karena pemahaman dari falsafah hidup orang Jawa
Mati adalah menghadap Tuhan Yang Maha Esa, maka orang mati benar-benar harus
diperlakukan dengan cara yang penuh hikmah dan kerabat yang mengurus
memperlakukan orang yang telah mati dengan sesempurna mungkin. Sebagai orang
yang berkeyakinan, pasti terdapat cara dan doa sebagai bagian penyempurnaan dari
sebuah ritual. Pada serat Wirid yang mengajarkan kebatinan Islam yang umum juga
membahas banyak tentang istilah “Kematian” yang menguraikan tanda-tanda
kedatangan maut setahun sebelum saat kematian. Dengan demikian manusia sempurna
sudah bisa tahu dengan pasti, bilamana ia akan meninggalkan dunia yang fana ini dan
masuk ke dalam alam kekal. (Harun Hadiwidjono, 1975 : 50)
Ajaran serat Wirid ini memberi instruksi tentang apa yang harus dilakukan
manusia sempurna agar supaya ia tidak tersesat di bagian terakhir dari pangkat
hidupnya, misalnya yang terdapat dalam halaman ke empat puluh lima serat wirid
diuraikan demikian :
“Keenam, jika sudah nampak warnanya sendiri, tanda bahwa kurang setengah
bulan, disitulah tempat orang harus memuja, menanyakan kehendak Tuhan , dengan
cara, tiap kali hendak tidur, memuja seperti tersebut di bawah ini : Ada pujaan satu
Zatnya adalah Zatku, sifatnya adalah sifatku, namamnya adalah namaku, af’alnya
adalah af’alku, kupuja dalam peretemuan tunggal karena “ada”ku sempurna dengan
kuasaku, disitu pikiran nenek, anak-isteri, cucu dan sebagainya. Apa yang dipusatkan
dalam pikiran itu adalah bahwa mereka dipersatukan (dengan dia) dia alam yang
kekal. (Raden Ngabehi Ronggowarsito, 1935 : 45)
Sepintas lalu uraian ini memberi kesan seolah - olah mengajarkan ajaran yang
ortodoks, karena disebutkan tentang pemujaan serta menyanyakan kehendak Tuhan,
tetapi pentrapannya menunjukan bahwa tak ada gagasan sedikitpun yang ortodoks.
Pemujaan terdiri dari mengucapkan lafal sebagai mantera yang menghasilkan kesatuan
dengan Allah serta mempersatukan nenek moyang dan keturunannya di zaman akhirat
(Harun Hadiwidjono, 1975 : 50-51)
Berarti disini telah ada bentuk sinktitisme antara kepercayaan asli dengan
penyebutan Allah yang dasarnya bukan penyebutan Tuhan dalam Kepercayaan
Kejawen. Melihat proses islamisasi di Jawa agama Islam mulai masuk di pulau Jawa,
diduga jauh sebelum abad XIII masehi. Pusat-pusat tertua penyebaran agama Islam
adalah didaerah Gresik dan Surabaya. Kesimpulan ini didasarkan pada kenyataan yang
menuturkan bahwa di Gresik terdapat banyak sekali makam Islam yang tua sekali.
Melalui pintu gerbang daerah-daerah pesisir utara pulau Jawa, seperti Gresik, Tuban,
Jepara, dahulu merupakan pelabuhan-pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh saudagar
-saudagar asing itulah agama Islam masuk ke daerah pesisir Jawa utara yang
kemudian dengan berpusat di Demak, penyebarannya ke daerah-daerah lain bahkan di
pulau lain, semakin pesat. (Ridin Sofan dkk 2000 : 229 – 230)
Adapun yang berjasa menyebarkan Agama Islam ke Jawa adalah Sembilan
pendakwah yang tergabung dalam satu dewan yang disebut Walisongo. Kata
Walisongo merupakan sebuah perkataan majemuk yang berasal dari kata Wali dan
Songo. Kata wali berasal dari bahasa Arab, suatu bentuk singkatan dari Waliyullah
yang berarti orang yang dicintai Allah. Sedangkan Songo berasal dari bahasa Jawa
yang berarti Sembilan. Jadi, dengan demikian Walisongo berarti Wali Sembilan, yakni
orang yang mencintai dan dicintai Allah. Mereka dipandang sebagai ketua kelompok
dari sejumlah besar mubaligh Islam yang bertugas mengadakan dakwah Islam di
daerah-daerah yang belum memeluk agama Islam di Jawa. (Ridin Sofan dkk, 2000 : 1
- 7). Yang termasuk kelompok Walisongo (Walisanga) adalah sebagai berikut :
1. Syekh Maulana Malik Ibrahim
2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)
3. Sunan Giri (Raden Paku)
4. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
5. Sunan Bonang ( Makdum Ibrahim)
6. Sunan Drajat
7. Sunan Kalijaga
8. Sunan Kudus
9. Sunan Muria (Raden Prawata)
Agama islam bergabung dengan kepercayaan asli Jawa maka menghasilkan
Islam Kejawen . Kedua budaya tersebut saling berjalan beriringan dengan budaya
Islam tetapi masih melakukan tradisi Kejawen biasanya dengan upacara selamatan.
Perihal kematian juga dijelaskan dalam “Kitab Primbon” yang menjelaskan tentang
kematian itu memuat empat perkara yaitu: Lunga (Pergi), Teka (Datang), Mulih
(Pulang), Ilang (Hilang). Yang pulang dan hilang yakni ruhnya, dan yang dimaksud
datang dan pergi yaitu jati dirinya. Kematian yang sebenarnya yaitu yang ber-pulang
itu adalah jasadnya, dan yang hilang itu sifatnya. Wejangan orang yang meninggal
dalam kepercayaan Kejawen yang tertulis dalam Primbon. Primbon berasal dari kata
rimbu atau imbon yang berarti simpan atau simpanan, maka primbon berisi bermacammacam catatan oleh suatu generasi ysng diturunkan ke generasi berikutnya. Dalam
primbon perihal kematian dapat diibaratkan seperti di bawah ini :
Ana dene jenenge pati iku kaya srengenge, lawang pati iku kaya tanggal sapisan,
wetuning pati iku kaya sagara banjir, lanjuting pati iku kaya lintang ngalih, bangeting
pati iku kaya angina,lungguhing pati iku kaya gunung, kubure pati iku kaya geni,
paugerane pati iku kaya tunggal, belabare pati iku kaya rambut tinemune pati iku iya
suka lila,enggone pati iku eguh, pasrahe pati iku wedi eling.( Raden Ngabehi
Ronggowarsito 61-62).
Serat Wirid dan wejangan yang berasal dari Kitab Primbon ini adalah hasil dari
pujangga-pujangga Jawa yang memiliki kelebihan dalam melihat sesuatu hal yang
akan terjadi di dunia ini. Namun, semua kembali kepada siapa yang menciptakan
kehidupan yaitu Tuhan yang Maha Esa. Manusia memang diberi kelebihan untuk bisa
meraskan kejadian termasuk pertanda jika kematian akan datang tetapi semua berada
pada kehendak-nya. Manusia yaitu hanya menerima apa yang telah Tuhan tuliskan
atau dengan kata lain manusia hanya bisa menerima takdir. Tetapi manusia diberi
kelebihan oleh Tuhan yakni bisa berfikir dan melakukan. Seperti apa tanda-tanda
kematian itu yang bisa merasakan hanya orang yang akan mengalaminya.
D. Petungan atau Perhitungan
Dalam adat kematian orang Jawa mempunyai tata cara sendiri yang Njlimet
atau rumit, berciri khas perhitungan numerologi atau Petungan yaitu menurut
penanggalan Jawa. Petungan adalah sistem yang cukup berbelit-belit yang terletak
pada konsep metafisis orang Jawa yang fundamental : cocog berarti sesuai,
sebagaimana kesesuaian kunci dengan gembok, obat mujarab dengan penyakit, suatu
pemecahan untuk soal matematik, serta penyesuaian seorang pria dan wanita yang
akan dinikahinya. Petungan merupakan cara untuk menghindarkan semacam
disharmoni dengan tatanan umum alam yang hanya akan membawa ketidakuntungan.
Di pihak lain, waktu adalah getaran, suatu periode waktu tertentu merupakan hasil dari
koinsidensi hari dalam siklus lima dan tujuh hari, dan dalam sistem Petungan yang
lebih cermat merupakan bagian dari Wuku minggu yang tiga puluh tujuh hari, bagian
dari salah satu bulan dalam dua belas bulan Islam menurut perhitungan rembulan dan
akhirnya bagian dari salah satu tahun dari perhitungan windu. (Geertz, 1981 : 39).
Petungan sudah ada sejak dahulu, yang merupakan rangkaian hasil dari leluhur
berdasarkan pengalaman dan perjalanan hidup tentang baik buruk kehidupan yang
dicatat dan dihimpun dalam Primbon.
E. Dina Geblag atau Hari Kematian
Pada Masyarakat Jawa ketika seseorang meninggal terjadi maka hari dimana dia
meninggal itulah yang di anggap sebagai hari yang sial atau na’as bagi keluarga yang
ditinggalkan. Dalam istilah Jawa hari na’as ini disebut Dina Geblag, hari kematian
seseorang. Dina Geblag adalah hari meninggalnya seseorang berdasarkan perhitungan
kalender Jawa yaitu Pasaran. Pasaran ada lima yaitu : Legi , Pahing, Pon, Wage,
Kliwon. Penyebutan Dina Geblag dikombinasikan dengan hari yaitu: Ahad atau
Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu.
Perhitungannya tidak sama dengan kalender masehi, Dina Geblag dihitung juga
berdasarkan jam meninggalnya seseorang. Jika meninggal diantara pukul 00.00
sampai pukul 12.00 masih terhitung tepat pada hari itu juga, namun jika meninggalnya
diatas
pukul 12.00 itu sudah masuk ke hari berikutnya dalam kalender Jawa.
Masyarakat Jawa tidak hanya menyebut Dina Geblag dalam kalender Jawa saja tetapi
juga menyebut hari masehinya. Misalnya seorang nenek meninggal pada hari sabtu,
dan hari Pasarannya pahing dan meninggal pukul 10.00 maka Dina Geblag-nya yaitu
Sabtu Pahing, tetapi jika meninggalnya pukul 18.00 maka Dina Geblag jatuh pada hari
Minggu Wage. Dibawah ini contoh perhitungan jatuhnya Dina Geblag : Bapak Juwari
meninggal pada Hari Nasional hari Rabu, 21 September 2006 meninggal Pukul 16.30
Wib maka Dina Geblag almarhum hari Kamis Pahing. Maka Dina Geblag atau hari
na’as nya adalah hari Kamis Pahing. Hari itulah yang dianggap sebagai hari na’as atau
hari sial oleh Keluarga Bapak Juwari. Juga merupakan hari pantangan bagi keluarga
Almarhum. Masyarakat Dusun Toyogiri yang sebagian masyarakatnya mempercayai
kepercayaan tradisional yakni Islam Kejawen percaya bahwa hari na’as itu akan
membawa malapetaka bagi anak cucu dari orang yang meninggal jika melakukan
aktifitas sehari-hari, termasuk bekerja juga berpergian jauh.
F. Simbol atau Lambang
Simbol atau Lambang adalah sesuatu hal atau keadaan yang merupakan perantara
pemahaman terhadap objek. Simbol atau lambang juga bisa diartikan sebagai sesuatu
hal atau keadaan yang memimpin pemahaman si subjek pada objek. (Budiono
Herusatoto, 2008 : 18) Dalam Dina Geblag ini, masyarakat juga menggunakan makna
simbolis sebagai perantaranya. Sebelum ada kegiatan ke ziarah makam kerabat
menyiapkan berbagai sesaji yang merupakan simbol dari kereligiusannya. Sistem
upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewadewa atau mahkluk halus yang mendiami alam gaib. Sistem upacara religius ini
melaksanakan dan melambangkan, menyimbolkan, konsep-konsep yang terkandung
dalam sistem kepercayaan. Sistem upacara merupakan wujud kelakuan atau
Behavioral Manifestation dari religi. Seluruh sistem upacara itu terdiri dari aneka
macam upacara yang bersifat harian seperti Dina Geblag, atau musiman atau kadangkala.
Masing-masing upacara terdiri dari kombinasi dari berbagai macam unsur
upacara, seperti misalnya berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari
dan menyanyi, berprosesi, berseni drama suci, berpuasa dan bertapa. Acara- acara dan
tata urut dari pada unsur-unsur tersebut adalah sudah tentu buatan manusia dahulu
kala., dan merupakan ciptaan akal manusia. Apalagi peralatan dan upacara seperti
misalnya gedung pemujaan (masjid, gereja, pagoda, puri dan sebagainya), patungpatung orang suci, patung dewa, alat bunyi-bunyian untuk membuat musik suci (orgel,
gendering, gong, seruling suci, dan sebagainya). Semuanya adalah hasil akal manusia,
dan oleh karena itu merupakan bagian dari kebudayaan. Walaupun demikian upacara
agama belum lengkap kalau tidak dihinggapi dan dijiwai emosi keagamaan. Disinilah
masuk komponen pertama ialah cahaya Tuhan yang membuat upacara itu menjadi
suatu aktivitas yang keramat. (Kontjaraningrat, 1983 : 98)
Masyarakat
Jawa
menggunakan
pola
seperti
ini
untuk
mewujudkan
kesempurnaan dari rangkaian kegiatan religiusanya dalam hal ini yakni penyajian
sesaji secara simbolik dalam rangkaian doa pada Dina Geblag. Pada hari yang
bertepatan pada Dina Geblag ini masyarakat setempat biasa menyajikan :
1. Wedhang atau Unjukan maksudnya adalah tamba kanggo segeran artinya obat untuk
penyegar. (Teguh Pranoto, 2007 : 140)
2. Endhog pitik, maksudnya wong urip ojo nganti kecele artinya orang hidup jangan
sampai tertipu. (Teguh Pranoto, 2007 : 141)
3. Wajik, maksudnya wani tumindak becik artinya berbuat kebaikan. (Teguh Pranoto,
2007 : 140)
4. Gedhang Raja, maksudnya dadi mukti lan mulya, artinya menjadi bahagia dan mulia.
(Teguh Pranoto, 2007 : 142)
5. Rokok, maksudnya bisa mekrok tanpa kedok artinya berkembang tanpa penutup.
(Teguh Pranoto, 2007 : 145)
6. Jajan pasar, maksudya urip yen adedasar tatanane Gusti temtu ora bakal nyasar
artinya Hidup bila mengikuti aturan Tuhan tentu tidak akan salah jalan. (Teguh
Pranoto, 2007 : 145)
G. Ziarah Kubur
Secara umum ziarah kubur berarti kunjungan ke kubur untuk memintakan ampun
bagi si mayat. Sedang hukumnya sunah bagi laki-laki, sedangkan untuk wanita jika
dikhawatirkan mentalnya tidak kuat, memecah tangis, lemah hati, sudah susah dam
berkeluh kesah maka hukumnya makruh. Jika sampai berlebih-lebihan, hingga
meratap maka haram hukumnya. Ziarah kubur bisa dilakukan satu minggu sekali atau
bisa dilakukan disaat memperingati upacara kematian. (Muhammad Sholikhin, 2010 :
127).
Bunga yang dipakai untuk beziarah ke makam saat Dino Geblag antara lain
sebagai berikut :
1. Sekar setaman, maksudnya urip neng ndonya kaya dagelan kebak tontonan artinya
hidup didunia seperti halnya banyak sandiwara yang juga banyak yang menyaksikan.
(Teguh Pranoto, 2007 : 144)
2. Sekar telon, maksudnya wong urip aja ninggal telung perkoro yaiku naluri, agami,
nagari. Artinya hidup jangan meninggalkan tiga hal yaitu naluri, agama dan Negara.
(Teguh Pranoto, 2007 : 144)
3. Sekar kantil, maksudnya tansah kumantil artinya selalu mengikuti. (Teguh Pranoto,
2007 : 144)
4. Sekar kenanga, maksudnya kenane dalan swarga, ora mung luru bandha donya.
Artinya mendapatkan jalan surga, tidak hanya mencari harta di dunia. (Teguh Pranoto,
2007 : 144)
5. Sekar mawar, maksudnya manungsa urip bisa sumebar. Artinya manusia hidup
hendaknya dapat berkembang. (Teguh Pranoto, 2007 : 144)
6. Sekar melathi, maksudnya luru dalane mukti artinya mencari jalannya kebahagiaan.
(Teguh Pranoto, 2007 : 144)
7. Menyan madu dupa wangi, maksudnya nyuwun bagas waras slamet rahayu, rejeki
tansah lumintu mbayu mili artinya memohon kekuatan, kesehatan, selamat sejahtera
rejeki yang seperti air mengalir tanpa henti. (Teguh Pranoto, 2007 : 140)
H. Tahlilan
Tahlil secara bahasa berasal dari sighat mashdar dari kata halla (yuhallili,
tahlilan) , yang bisa berarti membaca kalimat la ilaha illallah. Tahilan dalam istilah
Islam-Jawa, dalam bahsa Indonesia yaitu “Bertahlil”. Adalah menggunakan atau
memakai bacaan tahlil tersebut untuk maksud tertentu. Jika dianalogkan ke dalam
istilah ke-Indonesiaan tahlil dan tahlillan semisal dengan ungkapan Klambi (baju)
sebagai alat pakaian, maka klamben adalah memakai baju sebagai alat penutup aurat
atau menutup bagian tubuh tertentu. (Muhammad Sholikhin, 2010 : 151)
I. Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian Sri Winarsih yang berjudul Bentuk Sinkritisme Jawa Islam
Dalam Rangkaian Upacara Kematian Nyewu Dina Di Desa Lembu, Kecamatan
Bancak, Kabupaten Semarang mengemukakan bahwa dalam masyarakat Jawa masih
kental adat istiadat atau yang dihormati dan diyakini sebagai suatu keharusan yang
harus dilaksanakan sampai sekarang adalah adat yang berhubungan dengan kematian.
Salah satu upacara kematian adalah upacara memperingati seribu hari atau Nyewu
Dina dari kematian seseorang yang dilaksanakan untuk terakhir kalinya dalam
rangkaian upacara Kematian.
Upacara Nyewu Dino dilakukan untuk mengirim do’a kepada ahli waris yang
sudah meninggal dan untuk mengetahui bentuk sinkritisme Jawa Islam pada upacara
tersebut. Terdapat bentuk sinkritisme Jawa Islam dalam Upacara Nyewu Dina berupa ;
doa atau donga dalam bentuk bahasa Jawa dan Islam serta adanya bentuk pemujaan
kepada roh yang telah meninggal dunia dengan ditandai persembahan sesaji kepada
roh orang yang meninggal. Pemujaan ini tampak diyakini oleh masyarakat yang
ketentraman dan kedamaian hidup di dunia serta bebas darigangguan atau ancaman
yang bersumber pada keharmonisan hubungan antara yang memuja dan yang dipuja.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui bentuk-bentuk sinkritisme Jawa Islam
yaitu terdapat sesaji, doa Islam yang diterjemahkan dalam doa Jawa.
Yang membedakan penelitian yang berjudul Bentuk Sinkritisme Jawa Islam Dalam
Rangkaian Upacara Kematian Nyewu Dina Di Desa Lembu, Kecamatan Bancak,
Kabupaten Semarang dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu penelitian diatas
membahas dan menguraikan kegiatan-kegiatan adat kematian yang dilakukan masyarakat
setelah jenazah dikuburkan yaitu 1000 hari atau Nyewu Dino, sedangkan penelitian Makna
Dina Geblag dalam Kepercayaan Masyarakat Jawa Dusun Toyogiri Kecamatan Tuntang
Kabupaten Semarang adalah penelitian ini menguraikan tentang tradisi Dina Geblag yaitu
hari kematian seseorang pada masyarakat Jawa
Download