NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA PENYALAHGUNA NAPZA SELAMA MASA REHABILITASI DISUSUN OLEH : FINA FEBIYANTI MIRA ALIZA RAHMAWATI PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2007 NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA PENYALAHGUNA NAPZA SELAMA MASA REHABILITASI Telah Disetujui Pada Tanggal ____________________ Dosen Pembimbing ( Mira Aliza Rahmawati S.Psi M.Si ) HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA PENYALAHGUNA NAPZA SELAMA MASA REHABILITASI Fina Febiyanti Mira Aliza Rachmawati INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara kepercayaan diri dengan kecemasan komunikasi pada penyalahguna NAPZA selama masa rehabilitasi. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara kepercayaan diri dengan kecemasan komunikasi pada penyalahguna NAPZA selama masa rehabilitasi. Semakin tinggi kepercayaan diri maka akan semakin rendah kecemasan komunikasi pada penyalahguna NAPZA selama masa rehabilitasi. Sebaliknya, semakin rendah kepercayaan dirinya maka semakin tinggi kecemasan komunikasi pada penyalahguna NAPZA selama masa rehabilitasi. Subjek penelitian ini adalah para penyalahguna NAPZA selama masa rehabilitasi di PSPP ”Sehat Mandiri” Yogyakarta dan LP Besi Nusakambangan Cilacap. Adapun skala yang digunakan untuk mengetahui kecemasan komunikasi diadaptasi dari McCroskey (1984). Skala kepercayaan diri disusun berdasarkan teori dari Davies (2004). Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS 12 untuk menguji apakah terdapat hubungan antara kepercayaan diri dengan kecemasan komunikasi pada penyalahguna NAPZA selama masa rehabilitasi. Korelasi Product Moment dari Karl Pearson menunjukkan korelasi sebesar -0,541 dengan p=0,000 (p<0,01), sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa da hubungan negatif antara kepercayaan diri dengan kecemasan komunikasi pada penyalahguna NAPZA selama masa rehabilitasi dapat diterima. Hasil uji korelasi tersebut menunjukkan adanya hubungan yang sangat signifikan antara kedua variabel penelitian. Kata kunci: Kecemasan komunikasi, Kepercayaan diri, Penyalahguna NAPZA selama masa rehabilitasi PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan untuk saling berhubungan antara satu dengan lainnya. Manusia tidak mampu hidup sendiri, sehingga manusia membutuhkan kehadiran dan penerimaan lingkungan di sekitarnya. Kehadiran dan penerimaan lingkungan tersebut dibutuhkan media untuk saling berhubungan yaitu komunikasi. Komunikasi memiliki kesempatan untuk saling berbagi perasaan. Mengalami suatu perasaan dan mengungkapkannya kepada orang lain merupakan sumber kebahagiaan, dimana kebahagiaan merupakan salah satu kebutuhan kesehatan psikologis. Mengalami dan saling berbagi perasaan merupakan upaya untuk mempertahankan hubungan intim dengan sesama (Mulyana, 2005). Komunikasi tidak akan pernah dapat dipisahkan dari manusia. Besarnya peranan komunikasi bagi manusia menjadi hal yang dapat memancing untuk melakukan sebuah penelitian berapa banyak waktu yang digunakan manusia untuk melakukan komunikasi. Penelitian yang dilakukan oleh Berlo tahun 1980 (Mariani, 1991) menunjukkan bahwa 70% waktu aktif manusia di Amerika Serikat digunakan untuk komunikasi. Banyak faktor yang dapat menimbulkan kecemasan, salah satunya adalah komunikasi. Masalah dalam komunikasi tersebut dikenal sebagai hambatan komunikasi (communication apprehension). Individu yang mengalami kecemasan ini akan menjadi takut, gugup, tegang, kaku, serta kehilangan topik pembicaraan dalam menjalin percakapan antar pribadi, situasi lingkungan baru, seseorang yang baru dikenal dan kecemasan komunikasi terhadap individu yang mempunyai tingkatan status lebih tinggi. Pada kondisi tersebut individu cenderung menghindari situasi komunikasi yang ragu, takut salah, serta tidak punya keberanian untuk menyampaikan informasi yang ingin dikemukakan. Reaksi hambatan komunikasi tersebut dilihat manifestasinya melalui reaksi negatif atas kecemasan berkomunikasi pada percakapan umum, rapat, kelompok kecil dalam diskusi, maupun interaksi face to face (McCroskey, 1984). Kecemasan dalam berkomunikasi dapat dilihat secara verbal maupun non verbal. Jabat tangan yang lemah, gerak-gerik yang gugup, dan menunjukkan ekspresi kegelisahan saat melakukan komunikasi dengan orang lain, merupakan bentuk adanya kecemasan dalam berkomunikasi. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam hal ini mengembangkan perasaan dan dugaan yang negatif dari komunikasi yang terjalin. Individu yang mengalami kecemasan tinggi saat komunikasi tidak memperoleh tujuan yang diharapkan dari komunikasi yang dibentuk karena rasa cemas atau takutnya ini lebih menguasai dirinya. Kecemasan dalam komunikasi dapat dialami oleh siapa saja dan dimana saja. Hasil penelitian McCroskey (dalam Mariani, 1991) menunjukkan bahwa 15-20% mahasiswa di Amerika Serikat menderita hambatan komunikasi (communication apprehension). Penelitian lainnya yaitu Hurt (1978) menunjukkan hasil penelitiannya bahwa 10-20% mahasiswa di berbagai Perguruan Tinggi Amerika menderita kecemasan berkomunikasi. Burgon dan Ruffner (1978) juga melakukan penelitiannya di Amerika Serikat, melaporkan bahwa 10-20% populasi di Amerika Serikat mengalami kecemasan berkomunikasi yang sangat tinggi, dan sekitar 20% yang mengalami kecemasan komunikasi yang cukup tinggi (Mariani, 1991). Di Indonesia, penelitian pada skala kecil tentang kecemasan komunikasi interpersonal juga telah dilakukan, Mariani (1991), menemukan bahwa 8% dari 189 subjek penelitian yang terdiri dari mahasiswa Fakultas Psikologi dan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta mengalami kecemasan komunikasi interpersonal. Data dari sahabat Remaja PKBI DIY (Nuryanti, 1998) juga menunjukkan bahwa pada tahun 1997, 19% remaja Yogyakarta meminta layanan karena masalah yang berhubungan dengan komunikasi interpersonal. Penyalahgunaan penggunaan NAPZA NAPZA dimana sebagai mental kondisi yang ketergantungan menimbulkan fisik atas hambatan dan ketidakmampuan untuk hidup secara wajar, sehingga menyebabkan pula pada terhambatnya berkomunikasi. Penyalahgunaan obat (NAPZA) dapat dilihat sebagai salah satu perilaku coping ketika individu berada pada situasi yang menekan. Perilaku negatif tersebut merupakan salah satu bentuk usaha yang dilakukan remaja untuk melarikan diri dari masalah yang ada agar terhindar dari ketegangan, kebingungan ataupun perasaan tidak aman lainnya dan bukan untuk menyelesaikan masalah tetapi akan menambah permasalahan yang baru. Penyalahguna NAPZA yang berada dibawah pengawasan panti rehabilitasi NAPZA setelah melalui proses detoksifikasi seharusnya tidak lagi mengalami kecemasan komunikasi. Karena adanya sebuah proses pendekatan yang sangat intens dari para pendamping ataupun konselornya. Disamping itu mereka berada di lingkungan orang-orang yang mempunyai masalah serta pengalaman yang sama, yang diasumsikan mereka lebih mudah untuk berkomunikasi. Tetapi kenyataannya berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan, diantara mereka penyalahguna NAPZA yang berada di panti rehabilitasi masih sering mengalami hambatan komunikasi di dalam proses rehabilitasi ataupun ketika peneliti melakukan perbincangan sederhana, penyalahguna NAPZA menunjukkan kecemasan komunikasi yang bisa dilihat manifestasinya lewat kata-kata yang tidak teratur, gugup, dan tegang saat berbicara. Penyalahguna NAPZA yang merasa yakin dengan dirinya sendiri akan merasa layak dan mampu mengatasi suatu situasi sehingga memandang situasi komunikasi sebagai hal yang positif pula, bukan suatu sumber ketakutan yang dihindari. Adanya rasa percaya diri akan mendorong penyalahguna NAPZA untuk aktif dalam berkomunikasi tanpa adanya rasa khawatir akan disalahkan atau dinilai negatif. Hal ini senada dengan pendapat Davies (2004) bahwa Percaya diri membuat individu mempunyai harapan-harapan yang realistis dan mampu menerima diri serta tetap positif meskipun dari harapan-harapan itu tidak terpenuhi. Individu yang percaya diri mempunyai sikap yang luwes, lebih bersedia mengambil resiko-resiko, dan menikmati pengalaman-pengalaman baru. Mereka merasa senang dengan dirinya dan cenderung bersikap santai di dalam situasi-situasi sosial. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kepercayaan diri dengan kecemasan komunikasi pada penyalahguna NAPZA selama masa rehabilitasi. B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kepercayaan diri dengan kecemasan komunikasi pada penyalahguna NAPZA selama masa rehabilitasi. C. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian tentang hubungan kepercayaan diri dengan kecemasan komunikasi pada penyalahguna NAPZA selama masa rehabilitasi dapat memberikan sumbangan dalam memperluas khasanah ilmu pengetahuan psikologi khususnya psikologi konseling bagi penyalahguna NAPZA. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi orangtua, konselor, dan khususnya penyalahguna NAPZA sendiri dalam menyikapi bagaimana dapat sehat dan sembuh dari ketergantungan NAPZA. Dengan kondisi sehat diharapkan penyalahguna NAPZA akan mampu kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari baik di rumah, di sekolah atau di kampus, di tempat kerja dan di lingkungan sosialnya. D. Keaslian Penelitian 1. Keaslian Topik Variabel tergantung yang digunakan dalam penelitian ini adalah kecemasan komunikasi. Penelitian sebelumnya terdapat variabel kecemasan komunikasi yang lebih dipersempit lagi menjadi kecemasan komunikasi interpersonal yang dilihat hubungannya dengan Pemantauan diri Mariani (1991); Konsep diri (Dewi, 1996 dalam Ahmad, 2006); dukungan sosial (Ahmad, 2006; Kartikasari, 1995). Selain itu pada penelitian Siska (1996); Marwati (2001) variabel kepercayaan diri pada mahasiswa, Nuryanti (1998) variabel kepercayaan diri pada penyandang cacat tubuh, Sa’diyah (2005) variabel kepercayaan diri pada remaja penyandang cacat tunarungu. Sedangkan dalam penelitian ini mencoba mengangkat topik kepercayaan diri pada penyalahguna NAPZA selama masa rehabilitasi. Pada penelitian ini menghubungkan variabel kecemasan komunikasi sebagai variabel tergantung dengan kepercayaan diri sebagai variabel bebasnya. 2. Keaslian Teori Penelitian yang dilakukan oleh Marwati (2001) menggunakan teori dari Burgoon dan Ruffner (1978); DeVito (1986). Dewi (2006) menggunakan teori kecemasan komunikasi interpersonal dari Mappiare (1982); Ramdani (1984). Penelitian yang dilaksanakan oleh Sa’diyah (2005) mengacu pada teori Rahmat (2004). Penelitian Ahmad (2006) menggunakan teori Barker (1982); Veale (2003). Pada penelitian yang dilaksanakan oleh Siska (1996), Nuryanti (1998), Marwati (2001), dan Sa’diyah (2005) menggunakan variabel kepercayaan diri sebagai variabel bebasnya serta mengacu pada teori Lauster (1978). Letak perbedaannya dalam penelitian ini menggunakan teori kecemasan komunikasi lebih mengacu pada teori yang dikemukakan oleh McCroskey (1984). Dalam penelitian ini menggunakan variabel kepercayaan diri sebagai variabel bebasnya dengan menggunakan teori dari Davies (2004). 3. Keaslian Alat Ukur Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini mengadopsi dan mengacu pada empat tipe hambatan komunikasi, yang dijelaskan pada generalized context CA (communication apprehension) McCroskey (1984). Empat tipe hambatan komunikasi tersebut sekaligus sebagai aspek kecemasan komunikasi, empat tipe hambatan komunikasi tersebut, yaitu: 1) CA about public speaking, adalah suatu hambatan dalam komunikasi pada situasi percakapan umum, 2) CA about speaking in meetings, adalah suatu hambatan dalam komunikasi pada situasi rapat, 3) CA about speaking in small group discussion, adalah suatu hambatan dalam komunikasi pada kelompok diskusi 4) CA about speaking in dyadic interaction, adalah suatu hambatan dalam komunikasi pada situasi komunikasi antara dua orang. Alat ukur kepercayaan diri mengadopsi skala kepercayaan diri Davies (2004), yang mempunyai Aspek kepercayaan diri, sebagai berikut: 1) menikmati hidup dan bergembira, 2) mengetahui dan menilai diri sendiri, 3) mempunyai keahlian-keahlian sosial yang baik, 4) mempunyai sikap yang positif, 5) tegas, 6) mempunyai tujuan yang jelas, 7) siap menghadapi tantangan-tantangan. 4. Keaslian Subjek Subjek penelitian ini menggunakan subjek penyalahguna NAPZA yang masih menjalani rehabilitasi di panti rehabilitasi dan telah melalui proses detoksifikasi, usia 14 tahun ke atas dan masih menjalani proses rehabilitasi. Keseluruhan subjek pada penelitian adalah laki-laki. Dari penjelasan di atas sepanjang yang diketahui oleh peneliti, penelitian dengan judul hubungan antara kepercayaan diri dengan kecemasan komunikasi pada penyalahguna NAPZA selama masa rehabilitasi belum ada yang meneliti. TINJAUAN PUSTAKA KECEMASAN KOMUNIKASI Kecemasan komunikasi adalah kondisi ketika individu merasa takut untuk melakukan komunikasi dengan individu lain dalam berbagai situasi umum, individual, maupun kelompok. Adanya kecemasan dalam komunikasi menyebabkan seseorang takut, gugup, tidak tertarik dalam percakapan serta perasaan tidak nyaman saat terlibat dalam suatu pembicaraan face to face maupun kelompok. Sehingga individu yang mengalami kecemasan komunikasi mengalami suatu hambatan komunikasi (communication apprehension), yang kemudian individu tersebut cenderung menarik diri dan menghindar dari situasi komunikasi McCroskey (1984). McCroskey (1984) menjelaskan lima tipe hambatan komunikasi (communication apprehension), lima tipe hambatan komunikasi tersebut, yaitu: 1. Traitlike CA adalah hambatan yang secara relatif bersifat kekal. 2. Generalized Context CA adalah hambatan komunikasi pada konteks general. Terdapat empat variasi pada tipe CA ini, yaitu: CA about public speaking (CA percakapan publik), CA about speaking in meetings (CA percakapan dalam rapat), CA about speaking in small group discussion (CA percakapan pada kelompok diskusi), dan CA about speaking in dyadic interactions (CA percakapan pada interaksi dua orang). 3. Person Group CA adalah hambatan komunikasi pada suatu kelompok individu. 4. Situational CA adalah hambatan komunikasi atas reaksi individu terhadap komunikasi pada situasi komunikasi individual atau kelompok individu. 5. Pathological CA adalah hambatan komunikasi yang disebabkan oleh faktor patologis. Faktor – Faktor yang mempengaruhi kecemasan komunikasi McCroskey (DeVito, 1995) berpendapat bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan meningkatnya kecemasan komunikasi, faktor-faktor tersebut yaitu: a. Kurangnya keterampilan dan pengalaman komunikasi Individu dengan ketrampilan komunikasi yang kurang akan sulit berkomunikasi dengan efektif. b. Tingkat evaluasi Sifat komunikasi yang evaluatif cenderung membuat individu lebih cemas. c. Status yang lebih rendah Munculnya perasaan bahwa individu lain merupakan komunikator yang lebih baik dan tahu lebih banyak daripada diri sendiri, hal ini yang akan menyebabkan timbulnya kecemasan. d. Jumlah kelompok Individu cenderung akan merasa cemas ketika berbicara di dalam kelompok besar daripada kelompok kecil. e. Tingkat kepastian Saat situasi tidak teramalkan maka kemungkinan munculnya cemas akan lebih besar, misalnya ketika berbicara dengan orang yang dikenal. f. Tingkat kesamaan Banyaknya perbedaan diantara teman bicara memungkinkan timbulnya kecemasan. g. Pengalaman kegagalan atau kesuksesan Pengalaman masa lalu akan mempengaruhi respon individu bila menghadapi situasi yang sama. DeVito (1997) mengemukakan ancangan pragmatis untuk efektivitas komunikasi interpersonal. Kualitas efektivitas komunikasi tersebut terdiri dari lima faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan komunikasi interpersonal, faktor-faktor tersebut yaitu: a. Kepercayaan diri (Confidence) Komunikator yang efektif memiliki kepercayaan diri sosial, perasaan cemas tidak dengan mudah dilihat oleh individu lain. b. Kebersatuan (Immediacy) Kebersatuan yaitu ketika terciptanya rasa kebersamaan dan kesatuan antara pembicara dan pendengar. c. Manajemen interaksi (Interaction Management) Dalam manajemen interaksi tidak ada yang merasa diabaikan atau merasa menjadi tokoh penting, masing-masing memiliki kontribusi dalam keseluruhan komunikasi. d. Pemantauan diri (Self Monitoring) Pemantauan diri adalah manipulasi citra yang individu tampilkan kepada pihak lain. e. Orientasi kepada orang lain (Other orientation) Orientasi ini mengacu pada kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lawan bicara selama komunikasi. Dapat disimpulkan oleh peneliti bahwa faktor-faktor kecemasan komunikasi interpersonal dapat berasal dari dalam dan luar individu. Adapun penyebab kecemasan komunikasi dari dalam individu yaitu kurangnya keterampilan berkomunikasi dan kepercayaan diri dari dalam individu untuk melakukan pembicaraan, mengembangkan pembicaraan serta ketidakmampuan untuk mengikuti alur pembicaraan. Sedangkan penyebab kecemasan komunikasi dari luar individu yaitu situasi komunikasi yang membuat individu tersebut cemas, tingkat kepastian situasi yaitu situasi yang masih baru, dan adanya perbedaan tingkat kesamaan yaitu adanya perbedaan dengan lawan berbicara sehingga menyebabkan timbulnya kecemasan. Aspek – aspek Kecemasan komunikasi McCroskey (1984) menerangkan empat tipe hambatan komunikasi, yang dijelaskan pada generalized context CA (communication apprehension). Empat tipe hambatan komunikasi tersebut sekaligus sebagai aspek kecemasan komunikasi, empat tipe hambatan komunikasi tersebut, yaitu: 1) CA about public speaking, adalah suatu hambatan dalam komunikasi pada situasi percakapan umum, 2) CA about speaking in meetings, adalah suatu hambatan dalam komunikasi pada situasi rapat, 3) CA about speaking in small group discussion, adalah suatu hambatan dalam komunikasi pada kelompok diskusi 4) CA about speaking in dyadic interaction, adalah suatu hambatan dalam komunikasi pada situasi komunikasi antara dua orang. KEPERCAYAAN DIRI Kepercayaan diri sering dihubungkan dengan perasaan bahagia, bersemangat, bergembira, dan pada umumnya memegang kendali atas kehidupan. Kepercayaan diri juga memberi keberanian untuk menghadapi tantangan karena memberikan suatu kesadaran bahwa belajar dari pengalaman jauh lebih penting daripada keberhasilan atau kegagalan (Davies, 2004). Sarason dan Sarason (dalam Koentjoro, 2000) berpendapat bahwa kepercayaan diri terbentuk dan berkembang melalui proses belajar individual atau sosial. Proses belajar individual berhubungan dengan umpan balik dari lingkungan melalui pengalaman psikologik, sedangkan proses belajar sosial diperolah melalui interaksi individu dengan orang lain yang dijalin lewat berbagai aktifitas. Sejalan dengan Koentjoro, Afiatin dan Andayani (1997) menyimpulkan bahwa kepercayaan diri terbentuk melalui interaksi individu dengan lingkungannya. Melalui interaksi sosial individu akan melihat keadaan dirinya, lalu berpikir bagaimana orang lain menilai dirinya, dan akhirnya timbul perasaan bangga atau kecewa akan dirinya. Adanya kemampuan penglihatan, perasaan, pemikiran manusia terhadap dirinya, sehingga mengakibatkan seseorang menyadari siapa dirinya. Brennecke dan Amick (Kumara, 1988) menyatakan bahwa orang yang percaya diri tidak memerlukan orang lain sebagai standar karena dapat menentukan standar sendiri dan selalu mampu mengembangkan motivasinya karena merasa cukup aman dan tenang serta mempunyai ukuran sendiri mengenai kegagalan dan kesuksesan. Sejalan dengan pendapat Brennecke dan Amick, Waterman (Kumara, 1988) mengemukakan bahwa orang yang percaya diri memiliki ciri-ciri mamapu bekerja secara efektif, mampu melaksanakan tugas-tugas dengan baik dan secara relatif bertanggungjawab serta merencanakan masa depan. Individu membutuhkan kepercayaan diri untuk dapat menikmati hidup dan bergembira, mengetahui dan menilai diri sendiri, mempunyai keahlian-keahlian sosial yang baik, mempunyai sikap yang positif, tegas, mempunyai tujuan yang jelas, dan siap menghadapi tantangan-tantangan (Davies, 2004). Manusia merupakan makhluk sosial, oleh sebab itu manusia membutuhkan kepercayaan diri untuk dapat bertahan hidup dan mampu berkomunikasi dengan individu lainnya tanpa ada batas dan kecemasan. Rahmat (2004) berpendapat bahwa individu yang mempunyai kepercayaan dirinya kurang, cenderung sedapat mungkin menghindari situasi komunikasi, karena takut orang akan mengejek dan menyalahkannya. Rasa rendah diri yang berlebihan hanya akan mendatangkan kesulitan pada diri sendiri, karena individu akan menarik diri dari kehidupan sosial, berusaha sekecil mungkin melakukan komunikasi, dan hanya berbicara jika keadaan mendesak. Jadi dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri adalah suatu perasaan yakin pada pendapatnya sendiri tetapi tidak berlebih, menyukai tantangan, berpikir positif, mampu memahami dan mengenali diri sendiri, tidak memerlukan orang lain sebagai standar atas dirinya, melainkan orang yang mempunyai rasa percaya diri mempunyai standar sendiri bagi dirinya. Adanya kemampuan penglihatan, perasaan, pemikiran manusia terhadap dirinya, sehingga mengakibatkan seseorang menyadari siapa dirinya. Dapat disimpulkan pula bahwa orang yang percaya diri mampu memegang kendali kehidupannya. Aspek – Aspek Kepercayaan diri Aspek-aspek kepercayaan diri yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada teori Davies (2004), yang dapat disimpulkan melalui tujuh aspek individu yang mempunyai percaya diri, yaitu: 1) Menikmati hidup dan bergembira 2) Mengetahui dan menilai diri sendiri 3) Mempunyai keahlian-keahlian sosial yang baik 4) Mempunyai sikap yang positif 5) Tegas 6) Mempunyai tujuan yang jelas 7) Siap menghadapi tantangan-tantangan Kepercayaan Diri dengan Kecemasan Komunikasi Pada Penyalahguna NAPZA Selama Masa Rehabilitasi Kemampuan berkomunikasi dengan efektif sangat penting bagi penyalahguna NAPZA selama menjalani masa rehabilitasi, untuk tetap dapat eksis di dalam kehidupan sosial di lingkungan rehabilitasi maupun di kehidupan sosial pada umumnya. Namun pada kenyataannya, kecemasan yang menyertai seringkali membuat hasil dari komunikasi tidak optimal atau bahkan dihindari oleh penyalahguna NAPZA. Kondisi tersebut diperparah dengan tanggapan negatif dari sebagian masyarakat yang mereka terima. Sikap dan perlakuan masyarakat yang menjadikan penyalahguna NAPZA sebagai sampah masyarakat, bahkan menolak kehadiran mereka. Hal tersebut akan membuat para penyalahguna NAPZA merasa rendah diri, merasa cemas, dan mengalami krisis percaya diri. Keadaan akibat dari tidak adanya percaya diri, merasa tidak mampu dan rendah diri akan meningkatkan kecemasan komunikasi pada penyalahguna NAPZA. Berbeda dengan penyalahguna NAPZA yang memiliki cukup kepercayaan diri maka akan merasa mampu dan nyaman berkomunikasi dengan individu lain, tidak kaku dan santai sehingga akan mengurangi kecemasan komunikasinya. Rasa cemas yang dialami ini seringkali disebabkan karena adanya kekhawatiran akan dinilai negatif atau diacuhkan. Penyalahguna NAPZA membutuhkan kepercayaan diri untuk dapat mengatasi masalah kecemasan berkomunikasi. Dengan adanya rasa percaya diri, penyalahguna NAPZA akan mempunyai keyakinan bahwa dia mampu menyampaikan suatu informasi dan menampilkan diri dengan baik. Rasa optimis ini akan menimbulkan rasa aman dalam berkomunikasi sehingga rasa cemas yang biasa mengganggu efektifitas komunikasi bisa teratasi. Keadaan yang dialami penyalahguna NAPZA baik dari dalam dirinya yaitu merasa tidak mampu dan tidak berharga maupun tanggapan dari masyarakat yang negatif menjadikan penyalahguna NAPZA merasa tidak percaya diri. Penyalahguna NAPZA yang memiliki cukup kepercayaan diri akan merasa mampu dan akan mengembangkan penilaian positif terhadap dirinya walaupun dia sadar telah melanggar norma sosial. Tetapi dengan kepercayaan diri tersebut penyalahguna NAPZA memiliki motivasi untuk kembali hidup normal tanpa jatuh pada kesalahan yang sama, sehingga dapat diterima kembali di masyarakat. Salah satu permasalahan dalam kecemasan komunikasi adalah adanya kecemasan penilaian dari individu lain terhadap dirinya yaitu apa yang disampaikannya dan bagaimana individu tersebut meyampaikannya. Kecemasan adanya penilaian dari individu lain terhadap dirinya merupakan indikasi individu yang kurang percaya diri (McCroskey, 1984). Demikian halnya dengan kepercayaan diri, diartikan sebagai suatu perasaan atau sikap yang tidak perlu membandingbandingkan diri dengan orang lain karena telah merasa cukup aman dan tahu apa yang dibutuhkan dalam hidup ini. Mereka tidak memerlukan orang lain sebagai standar, karena dapat menentukan standar sendiri dan selalu mampu mengembangkan motivasi (Kumara, 1988). Hal ini senada dengan Davies (2004), individu yang percaya diri memiliki ciri mengetahui dan menilai diri sendiri secara positif, mereka merasa senang dengan dirinya dan cenderung bersikap santai di dalam situasi-situasi sosial. Sehingga penyalahguna NAPZA yang percaya diri tidak akan merasa cemas atas penilaian orang lain terhadapnya bila akan mengkomunikasikan sesuatu, karena telah mempunyai keyakinan dan penilaian sendiri apa yang dilakukannya. Dari penjelasan di atas bisa dilihat bahwa bagaimana cara individu menghadapi orang lain dipengaruhi oleh bagaimana ia memandang dirinya. Krech (dalam Siska, 1996) berpendapat bahwa Respon-respon interpersonal individu merupakan refleksi dari kognisinya terhadap diri sendiri. Penyalahguna NAPZA yang merasa yakin dengan dirinya sendiri akan merasa layak dan mampu mengatasi suatu situasi sehingga memandang situasi komunikasi sebagai hal yang positif. Adanya rasa percaya diri akan mendorong penyalahguna NAPZA untuk aktif dalam berkomunikasi tanpa adanya rasa khawatir akan disalahkan atau dinilai negatif oleh individu lain. Penelitian tentang hubungan kepercayaan diri dengan kecemasan komunikasi yang lebih dipersempit lagi menjadi kecemasan komunikasi interpersonal telah dilakukan pada beberapa kelompok. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Siska (1996) tentang hubungan kepercayaan diri dengan kecemasan komunikasi interpersonal pada mahasiswa. Penelitian serupa dengan kelompok subjek mahasiswa dilakukan oleh Marwati (2001) yaitu hubungan kepercayaan diri dengan kecemasan komunikasi interpersonal pada mahasiswa tahun awal Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Penelitian dengan kelompok subjek penyandang cacat tubuh tetapi normal dalam pendengaran pernah dilakukan oleh Nuryanti (1998). Penelitian yang hampir serupa dilakukan oleh Sa’diyah (2005) mengenai hubungan antara kepercayaan diri dengan kecemasan komunikasi interpersonal pada penyandang cacat tunarungu. Hasil penelitian di atas menunjukkan ada hubungan antara kepercayaan diri dengan kecemasan komunikasi interpersonal. Melihat adanya hubungan tersebut, peneliti ingin mengetahui apakah kepercayaan diri pada penyalahguna NAPZA dimana bagi mereka komunikasi akan sulit dilakukan karena penyalahguna NAPZA sebagai kondisi ketergantungan fisik atas penggunaan NAPZA dimana mental yang menimbulkan hambatan dan ketidakmampuan untuk hidup secara wajar, sehingga menyebabkan pula pada terhambatnya berkomunikasi juga mempunyai hubungan dengan kecemasan komunikasi yang biasa mereka alami. METODE PENELITIAN Subjek Penelitian Subjek penelitian ini menggunakan subjek penyalahguna NAPZA yang masih menjalani rehabilitasi di panti rehabilitasi dan telah melalui proses detoksifikasi, usia 14 tahun ke atas dan masih menjalani proses rehabilitasi. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan skala sebagai alat ukur pengumpulan data. Penggunaan skala diharapkan dapat merefleksikan keadaan subjek yang sebenarnya. Peneliti menggunakan skala kecemasan komunikasi yang dimodifikasi dari skala kecemasan komunikasi McCroskey (1983) dan skala kepercayaan diri yang di modifikasi dari alat ukur kepercayaan diri Davies (2004). Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan menggunakan statistik. Tehnik statistik yang digunakan dalam menganalisis data penelitian ini adalah teknik statistik korelasi product moment dari Pearson. Teknik ini digunakan karena dalam penelitian ini mencari korelasi antara variabel tergantung dengan variabel bebas. Proses analisisnya dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer Statistical Package for Social Science (SPSS) for Windows 12. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran singkat mengenai data penelitian secara umum yang berisikan fungsifungsi statistik dasar dari masing-masing variabel dapat dilihat secara lengkap pada tabel berikut. Tabel Deskripsi Data Penelitian Variabel Xmax Kecemasan 128 Hipotetik Empirik Xmin Mean SD Xmax Xmin 32 80 16 104 47 komunikasi Kepercayaa n diri 96 24 60 12 95 49 Mean SD 70, 12, 7703 79185 71, 9, 1351 30654 Mean = X min ? X max 2 SD = X max ? X min 6 Skala kecemasan komunikasi menunjukkan 32 aitem sahih dan 8 aitem gugur. Berdasarkan deskripsi data penelitian pada tabel dapat diketahui bahwa mean empirik untuk variabel kecemasan komunikasi sebesar 70, 7703 dan mean hipotetik sebesar 80. Mean empirik variabel kecemasan komunikasi lebih kecil daripada mean hipotetiknya. Hal ini menunjukkan bahwa subjek dalam penelitian ini mempunyai kecemasan komunikasi yang rendah. Skala kepercayaan diri terdiri dari 50 aitem yang diujicobakan, 24 aitem sahih dan 26 aitem gugur. Berdasarkan deskripsi data penelitian pada tabel dapat diketahui bahwa mean empirik untuk variabel penyesuaian diri sosial sebesar 71, 1351 dan mean hipotetik sebesar 60. Mean empirik variabel kepercayaan diri lebih besar daripada mean hipotetiknya. Hal ini menunjukkan bahwa subjek dalam penelitian ini mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan negatif yang sangat signifikan antara kecemasan komunikasi dan kepercayaan diri pada penyalahguna NAPZA selama masa rehabilitasi. Adanya hubungan antara kedua variabel, ditunjukkan oleh koefisien korelasi (r) sebesar -0, 541 dengan p=0,000 (p<0,01). Hubungan antara kedua variabel ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kepercayaan diri maka akan semakin rendah kecemasan komunikasi pada penyalahguna NAPZA selama masa rehabilitasi. Sebaliknya, semakin rendah kepercayaan dirinya maka semakin tinggi kecemasan komunikasi pada penyalahguna NAPZA selama masa rehabilitasi. Jadi hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima. Diterimanya hipotesis penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan diri berhubungan dengan kecemasan komunikasi. Seperti yang telah diungkapkan oleh DeVito (1997), bahwa kepercayaan diri merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari setiap individu, dimana kepercayan diri dapat memepengaruhi pembentukan dan perkembangan kepribadian, oleh sebab itu individu dapat menentukan sikap dan perilaku dalam berinteraksi dengan individu lain. Timbulnya pikiran negatif merasa dirinya tidak mampu, tidak akan berhasil, rendah diri, dan merasa akan dinilai negatif oleh individu lain adalah ciri-ciri kepercayaan diri rendah yang merupakan penyebab timbulnya kecemasan komunikasi. Berbanding terbalik dengan sebelumnya, bila individu memiliki kepercayaan diri dimana selalu merasa nyaman bersama individu lain dalam situasi komunikasi umumnya, mampu bersikap santai, tidak kaku, fleksibel dalam suara dan gerak tubuh, terkendali, tidak gugup atau canggung dapat mengurangi tngkat meningkatkan keefektifan komunikasi. kecemasan komunikasi dan mampu PENUTUP A. Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara kepercayaan diri dengan kecemasan komunikasi pada penyalahguna NAPZA selama masa rehabilitasi. Semakin tinggi kepercayaan diri maka akan semakin rendah kecemasan komunikasi pada penyalahguna NAPZA selama masa rehabilitasi. Sebaliknya, semakin rendah kepercayaan dirinya maka semakin tinggi kecemasan komunikasi pada penyalahguna NAPZA selama masa rehabilitasi. B. Saran Berkaitan dengan penelitian ini, saran yang diajukan peneliti berdasarkan hasil yang diperoleh: 1. Saran bagi subjek penelitian Bagi subjek penelitian agar dapat berkomunikasi lancar dengan orang lain tanpa ada kecemasan komunikasi yang berlebihan, disarankan agar memiliki dan memupuk kepercayaan diri, karena kepercayaan diri terbukti memberikan sumbangan dalam mengurangi kecemasan komunikasi. Dengan kepercayaan diri ini pula dapat tercipta komunikasi yang efektif. 2. Saran bagi orang tua dan konselor Bagi para orang tua yang memliki anak penyalahguna NAPZA sebaiknya mendukung dan mendorong anaknya agar memiliki kepercayaan diri yang tinggi walaupun mereka memiliki kekurangan. Salah satunya dengan menerima anak sebagai individu sepenuhnya, mendukung dan memberikan kesempatan penyalahguna NAPZA untuk mampu berkomunikasi dengan siapa saja, menekankan kelebihan yang dimiliki untuk meningkatkan kepercayaan diri. Bagi konselor yang mendampingi proses rehabilitasi sebaiknya mendorong penyalahguna NAPZA untuk berbicara lebih terbuka dengan tidak memaksa, mencermati kelebihan dan membantu mengembangkan kemampuannya. 3. Saran bagi peneliti selanjutnya Bagi peneliti lain yang tertarik dan ingin mengkaji bahasan yang sama, disarankan dilengkapi data wawancara. Penelitian dengan metode kualitatif dan menggunakan metode analisis yang mendetail sebaiknya juga dilakukan jika ingin menggunakan variabel yang sama. DAFTAR PUSTAKA Afiatin, T. dan Andayani, B. 1997. Peningkatan Kepercayaan Diri Remaja Penganggur Melalui Kelompok Dukungan Sosial. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Afiatin, T. 1998. Bagaimana menghindarkan diri dari Penyalahgunaan Napza. Buletin psikologi. Tahun VI No 2 Hal 27-39. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Afiatin, T. 2001. Persepsi terhadap diri dan lingkungan pada remaja penyalahguna NAPZA. Jurnal Psikologika, No. 12, Hal 11-61. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Ahmad, D. R. 2006. Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Kecemasan Komunikasi Interpersonal Pada Remaja Penyalahguna NAPZA Selama Menjalani Rehabilitasi. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Unversitas Islam Indonesia. Azwar, S. 1997. Validitas dan Reliabilitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Azwar, S. 2005. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Cangara, H. 1998. Pengantar ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Dally, J.A.,& McCroskey, J.C. (Eds.). (1984). Avoiding Communication: Shyness, Reticence & Communication Apprehension. Beverly Hills: Sage Publications. Davies, P. 2004. Meningkatkan Rasa percaya Diri. Jogjakarta: Torrent Books. DeVito, J.A. 1997. Komunikasi Antar Manusi. Edisi kelima (Terjemahan). Jakarta: Professional Books. ----------. 1995. The Interpersonal Communication. New York: Harper College Publisher Hadi, S. 1996. Metodologi Research Jilid 1. Yogyakarta : Penerbit Andi Hambly, K. 1992. Bagaimana Cara Meningkatkan Rasa Percaya Diri. (Alih Bahasa: Budiyanto). Jakarta: Arcan Hart, H. (2005). Engineering communication: Overcoming speech anxiety Retrieved February 14, 2005, from The University of Texas at Austin, CE 333t: Engineering Communication Web site http://www.ceutexas.edu/ prof/hart/33t/anxiety.cfm.html.03/18/06 Hawari, D. 2003. Penyalahgunaan & Ketergantungan NAZA. Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Iindonesia. Kartikasari, B. D. 1995. Hubungan Dukungan Sosial Dengan Kecemasan Dalam Komunikasi Interpersonal. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Koentjoro. 2000. Pengaruh Cerita Keberhasilan Hidup Penderita Tuna Netra dan Tuna Daksa Terhadap Peningkatan Kepercayaan Diri Cacat Sejenis. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Kumara, A. 1988. Studi Pendahuluan Tentang Validitas dan Reliabilitas The test of Self Confidence. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Mariani, K. 1991. Hubungan Antara Sifat Pemantauan Diri dengan Kecemasan Dalam komunikasi Interpersonal Pada Mahasiswa Psikologi dan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. Skripsi Sarjana. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Martani, W., dan Adiyanti, M. G. 1991. Kompetensi Sosial Dan Kepercayaan Diri Remaja. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Marwati, S. 2001. Kepercayaan Diri Dan Kecemasan Dalam Komunikasi Interpersonal Pada Mahasiswa Tahun Awal Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Mulyana, Dedi. 2005. Ilmu Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Nuryanti, L. 1998. Hubungan Kepercayaan Diri Dengan Kecemasan Komunikasi Interpersonal pada Penyandang Cacat Tubuh. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Rakhmat, J. 2004. Psikologi Komunikasi. Bandung: Penerbit Remadja Karya. Sa’diyah, H. 2005. Hubungan Antara Kepercayaan Diri Dengan Kecemasan Komunikasi Interpersonal Pada Penyandang Cacat Tunarungu. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia. Siska. 1996. Kepercayaan Diri dan Kecemasan Komunikasi Interpersonal Pada Mahasiswa. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Supratiknya, A., Dr. 1995. Komunikasi Antarpribadi. Yogyakarta: Kanisius Wulandari, L.H. 2004. Efektivitas modifikasi perilaku Kognitif untuk Mengurangi Kecemasan Komunikasi antar Pribadi. Skripsi (tidak diterbitkan). Medan: Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran USU. http://www.library.usu.ac.id/download/fk/psikologi-lita.pdf.24/11/06