1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya Western merupakan genre yang mengisahkan kehidupan di Old West Amerika dengan latar di Amerika Serikat bagian Barat (American West), sekitar pertengahan abad ke-19. Genre dengan sejarah lebih dari seratus tahun ini populer dalam berbagai macam media, dari bentuk novel, film, cerita-cerita, drama, program radio, komik, hingga pertunjukan Wild West. Untuk media film, karya Western telah mulai diproduksi sejak tahun 1903 dalam bentuk silent movie. Menurut Langford (2005: 56), film karya Edwin S. Porter berjudul The Great Train Robbery (1903) menjadi petunjuk sejarah film naratif dan sering diklaim sebagai film bergenre Western pertama, karena elemen-elemen utamanya mudah dikenali masyarakat sebagai film bergenre Western. Schatz (1981: 45) mengatakan bahwa “The Great Train Robbery was the birth not only of the movie Western but of the commercial narrative film in America [Film The Great Train Robbery tidak hanya menandakan kelahiran film genre Western, namun juga kelahiran film naratif komersial di Amerika]”. Untuk karya western, film menjadi media paling diminati masyarakat, dan pada tahap selanjutnya film Western semakin berkembang hingga merajai belantika perfilman. Genre sebagai suatu prinsip keteraturan ditentukan berdasarkan tipe struktur atau susunan sastra tertentu (Wellek dan Warren, 1995: 299). Dengan demikian, jenis sastra bukan sekedar nama, namun ada konvensi yang berlaku 2 pada suatu karya sehingga membentuk ciri karya tersebut. Karya Western mudah dikenali oleh masyarakat karena sifat ikonografi klasik yang dimilikinya – tokoh koboi dengan topi ten-gallon, saloon dengan pintu yang berayun-ayun, pistol Colt, kereta kuda, serangan pasukan kavaleri, schoolmarm, gadis saloon, bentrokan dan baku tembak. Bahkan elemen tematiknya – daerah perbatasan Amerika, gurun, hidup atau mati, dan balas dendam – sangat melekat pada diri penonton Amerika dan bahkan menjadi imajinasi populer bagi penonton secara global. Dengan kata lain, genre Western memiliki pola-pola yang telah mapan dalam suatu tradisi panjang sehingga berbagai konvensi yang ada menjadi ikatan yang kuat dan ketat, termasuk konvensi yang berlaku dalam struktur sastranya. Ketika elemen suara mulai diperkenalkan dalam media film pada pertengahan tahun 1920-an (Read dan Meyer, 2000: 210), film-film koboi atau Western movies mulai mengembangkan popularitasnya, dan pernah merajai belantika perfilman, baik melalui layar lebar maupun serial televisi. Saat itu muncul beberapa film yang tercatat sebagai box office, yaitu In Old Arizona (1928), The Virginian (1929), dan film dengan format layar lebar The Big Trail (1930). Pada tahun 1936 dan tahun 1939 diproduksi dua buah film Western yang cukup spektakuler, The Searcher yang dibintangi oleh John Wayne dan film Destry Rides Again dibintangi oleh James Steward dan aktris cantik Marlene Dietrich. Genre Western mencapai puncak kepopuleran pada tahun 1950-an (Etulain, 2002: 1843). Pada masa ini, film western mulai diproduksi dengan rasa baru yang lebih segar oleh Hollywood ketika tensi perang dingin mulai meninggi. Meski 3 dibawah tekanan ideologis, Corkin (2014: 1), seorang peneliti sosial dari Temple University, menyatakan bahwa film western adalah genre film yang paling dihormati dan paling menguntungkan Hollywood. Kondisi ini juga memicu para siswa dan guru untuk meneliti bentuk dan isi genre sastra populer seperti Western. Salah satu faktor yang menyebabkan film Western begitu populer adalah suguhan bentuk naratif yang baru berkenaan dengan mitos daerah perbatasan Amerika dan kisah kehidupan nyata para koboi legendris seperti Kit Carson, Wild Bill, Hickok, dan Jesse James. Hero koboi dalam film Western biasanya menekankan imaji ideal sosok seorang laki-laki, seperti menunjukan keagresifan seorang laki-laki yang powerful dan menekankan nilai-nilai kejantanan. Oleh karena itu, secara umum formula cerita koboi berupa baku tembak, duel senjata, dan perkelahian di bar (Adi, 2011: 85). Pada tahun 1990-an, kepopuleran cerita koboi merosot tajam karena penonton melihat film genre Western semakin kuno dan monoton (Adi, 2011: 86). Pengulangan formula cerita yang sama pada karya-karya western menimbulkan kejenuhan pada penonton. Akibatnya, film genre Western mulai ditinggalkan masyarakat. Kemerosotan tersebut juga ditandai oleh jumlah produksi jenis film ini semakin sedikit dari tahun ke tahun, dan penonton pun tidak lagi berbondongbondong ke bioskop untuk menyaksikan film-film Western. Walaupun untuk masa sekarang genre ini sulit meraih kesuksesannya seperti tahun 1950-an sampai 1990-an, bukan berarti genre ini benar-benar mati. Filmfilm Western tetap diproduksi dari tahun ke tahun, dan memperoleh banyak atensi dari penonton. Salah satu film genre Western yang memperoleh popularitas di 4 masyarakat adalah film The Quick and the Dead, yang dirilis pada tahun 1995 dengan menampilkan sosok hero koboi wanita, diperankan oleh Sharon Stone yang saat itu menjadi bintang yang sangat diminati masyarakat. Sebenarnya sosok hero koboi wanita sangat jarang, bahkan tidak ada dalam formula film Western. Tokoh wanita biasanya ditampilkan hanya sebagai pelengkap cerita dan memiliki peran marjinal dalam keseluruhan cerita. Film Wild Wild West yang dirilis pada tahun 1999 juga meraih banyak atensi penonton. Film ini mengisahkan keprihatinan Presiden Ulyssess S. Grant atas hilangnya sejumlah ilmuwan terkemuka Amerika. Untuk memecahkan kasus ini, Presiden menunjuk agen khusus Artemus Gordon (yang diperankan Kevin Kline), seorang pria dengan bakat mencipta berbagai peralatan canggih dan James West (yang diperankan oleh Will Smith), seorang koboi kulit hitam pemberani dan juga gegabah. Setelah dibantu seorang gadis cantik bernama Rita Escobar (yang diperankan oleh Salma Hayek), pembuat ulah ternyata adalah Dr. Arliss Loveless (yang diperankan oleh Kenneth Brannagh), seorang ilmuan narsis dengan sederetan bodyguard seksi super hebat yang dimilikinya. Dr Loveless memiliki keahlian menggunakan senjata api, senjata tajam, rayuan, dan juga berhasil membuat tank dan robot laba-laba setinggi 60 kaki untuk mendukung ambisinya menguasai Amerika. Dalam film western, tokoh ilmuan sebagai penjahat tidak pernah ditemukan. Koboi biasanya berkonfrontasi dengan suku Indian atau outlaw yang merupakan lambang kebrutalan dan kebodohan. Film Wild Wild West memperoleh penghargaan di berbagai festival film diantaranya menjadi film terbaik Box Office pada ajang ASCAP Film dan Televisi 5 Award (2000), Artis pendukung terfavorit pada ajang Block Buster Entertainment Award (2000), menang dalam ajang Bogey Award German (1999), dan lagu terfavorit pada ajang Kids’ Choice Award, USA (2000). Film koboi dengan atmosfer berbeda terlihat pada film Shanghai Noon yang dirilis pada tahun 2000. Film ini berlatar belakang kekaisaran Cina dengan sebutan Kota Terlarang dan Kota Carson Amerika di tahun 1881, menampilkan sosok hero koboi Cina, Chon Wan (yang diperankan oleh Jackie Chan) dengan kemampuan seni bela diri kungfu yang luar biasa. Chon Wang datang ke Amerika untuk membebaskan Putri Pei-Pei yang diculik oleh Long Fang yang juga mengancam untuk membunuh sang putri jika tebusan sebasar 100.000 keping emas tidak dipenuhi. Sebenarnya sosok hero koboi Cina sangat jarang, bahkan tidak ada dalam formula film Western. Tokoh orang-orang Cina biasanya ditampilkan hanya sebagai pelengkap cerita, terutama sebagai pekerja konstruksi rel kereta api dengan peran sangat marjinal dalam keseluruhan cerita. Setelah perilisannya, film ini mendapatkan beberapa penghargaan, di antaranya memenangkan nominasi artis pendukung terbaik pada ajang Blockbuster Entertainment Award (2001), dan masuk beberapa nominasi pada ajang film lainnya seperti film action terbaik, film penampilan terbaik, dan film pertarungan terbaik (best fight film) (IMDb). Selanjutnya film 3:10 to Yuma yang dirilis pada tahun 2007 merupakan film Western yang juga menarik atensi banyak penonton. Film ini berkisah tentang seorang veteran perang saudara, Dan Evans (Christian Bale), yang mesti menggadaikan nyawanya guna mengawal Ben Wade (Russel Crowe) seorang 6 bandit kelas kakap berdarah dingin hingga naik gerbong kereta api ke Yuma untuk diadili. Beberapa orang disewa untuk mengantar Wade keatas kereta tahanan pukul 3:10 menuju penjara Yuma. Evans mengajukan diri dengan meminta imbalan $200. Meskipun petani dengan kaki cacat, Evans adalah mantan prajurit perang dengan berbagai kemampuan. Evans melakoni tugas berbahaya ini demi mendapatkan uang setelah panennya gagal. Sesaat setelah perilisannya, film 3:10 to Yuma memperoleh beberapa penghargaan, seperti memenangkan nominasi teatrikal motion picture pada ajang Western Heritage Award (2008) dan memperoleh penghargaan khusus dalam festival film San Diego Film Critics Society Award (2008). Film Western lainnya yang menarik atensi banyak penonton adalah film Cowboys and Aliens dirilis pada tahun 2011 berdasarkan novel grafik terbitan tahun 2006 dengan judul yang sama. Film ini berlatar Amerika thun 1873 bercerita tentang buronan yang kena amnesia (Jake Lonergan, yang diperankan oleh Daniel Craig), peternak kaya (Colonel Woodrow Dolarhyde, diperankan oleh Herrison Ford), dan traveler misterious (Ella Swenson, diperankan oleh Olivia Wilde) yang harus menyelamatkan sekelompok orang kota (town people) yang diculik oleh alien. Mereka yang diculik satu per satu dijadikan objek eksperimen untuk mengetahui kelemahan manusia. Dalam formula Western, tokoh alien tidak pernah ditampilkan sebagai antagonis. Tokoh hero koboi biasanya berkonfrontasi dengan suku Indian atau buronan. Film Cowboys and Aliens merupakan film yang meraih penghasilan tertinggi di Amerika Serikat dan Canada. Tercatat pada minggu pertama 7 penayangannya, film ini mampu menjadi film yang meraup pendapatan tertinggi di setiap minggunya yaitu $36,431,290. Sampai saat ini film Cowboys and Aliens telah memperoleh penghasilan sebesar $100,240,551 (Young, 2014: 2). Selain itu berbagai nominasi diraih film ini pada beberapa festival film, termasuk animasi terbaik pada ajang Annie Award ke-39 (2011), penampilan terbaik pada ajang Guild Award (2011), aktor pendukung terbaik pada ajang Academy of Science Fiction, Fantasy, and Horror, USA (2012), dan Film Fantasi Terbaik pada ajang Art Director Guild (2012) (IMDb, 2012). Selain itu, film genre Western yang laris di pasaran, terutama di Amerika muncul pada tahun 2012, yaitu Django Unchained. Film ini dibintangi oleh aktor berkulit hitam, Jamie Foxx, dan berlatar belakang Texas, dua tahun sebelum Perang Sipil – tepatnya tahun 1858. Film ini mengusung tema sejarah kelam bangsa Amerika, yaitu sejarah perbudakan. Banyak adegan dalam Django Unchained menampilkan situasi perbudakan yang pernah terjadi dalam sejarah Amerika. Sebenarnya, kisah utama film ini dapat dikatakan sederhana: seorang bekas budak bernama Django (Jamie Foxx) bersedia membantu seorang bounty hunter (pemburu buronan) sekaligus pembebasnya yang keturunan Jerman, Dr. Schultz (Christoph Waltz) untuk memburu para buronan demi ganjaran dollar, dengan jaminan bahwa nanti sang dokter Jerman itu akan membantu Django untuk membebaskan istrinya, Broomhilde (Kerry Washington), dari tangan seorang tuan tanah berdarah Perancis, Calvin Candie (Leonardo Dicaprio). Dalam formula cerita koboi cerita yang memiliki tema-tema sensitif yang menyangkut 8 sejarah kelam bangsa serta tokoh hero berkulit hitam juga jarang bahkan belum pernah ditampilkan. Film Django Unchained merupakan film pertama Quentin Tarantino yang meraih penghasilan tertinggi di Amerika Serikat. Hingga 17 Januari 2013, satu bulan setelah perilisan (film ini dirilis tanggal 25 Desember 2012), Django Unchained mampu meraup pendapatan US$ 130 juta dan masih akan terus bertambah. Pendapatan ini melampaui film Tarantino yang lain, seperti Inglourious Basterds, yang dirilis pada tahun 2009 dan menghasilkan US$ 120 juta. Selanjutnya, film Django Unchained meraih penghargaan naskah terbaik dalam ajang Golden Globes. Untuk ajang Academy Awards sendiri, film ini meraih lima nominasi, termasuk film terbaik, naskah terbaik, dan aktor pendukung terbaik Christoph Waltz (Kompas, 18 Januari 2013). Dari uraian singkat mengenai enam film genre Western diatas, dapat diasumsikan bahwa telah terjadi degradasi apresiasi genre Western baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Produser film Western berusaha menarik atensi penonton dengan melakukan revitalisasi unsure-unsur karya Western dengan berbagai cara yang inovatif. Dengan kata lain, produser berusaha mengemas kembali cerita-cerita koboi dengan jalan mengambil formula genre Western yang mapan dan mengombinasikannya dengan inovasi-inovasi formula, dengan tujuan menciptakan suatu karya yang lebih menarik, yang memiliki atmosfer berbeda, sehingga dapat memenuhi selera penonton saat ini. 9 1.2. Rumusan Masalah Pada masa sekarang, cerita-cerita koboi dengan konvensi cerita yang ditawarkan sulit memperoleh kesuksannya seperti pada era 1950-an sampai 1990an karena kurang memenuhi selera penonton masa sekarang. Untuk dapat merebut atensi banyak penonton, maka produser film menawarkan variasi cerita koboi dengan pola yang lebih menarik, dengan tidak menghilangkan konvensi-konvensi utama genre ini sehingga karya yang dihasilkan diminati masyarakat luas. Dengan demikian, dapat dirumuskan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini yaitu mengenai konvensi dan invensi dalam film-film Western periode 1995-2012, dan alasan yang melatarbelakangi terjadinya perubahan formula pada karya tersebut. 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki dua jenis tujuan yang ingin dicapai, yaitu tujuan teoritis dan tujuan praktis. Secara teoritis penelitian ini bertujuan untuk mengakumulasi ilmu, terutama berkaitan dengan kajian formula, serta untuk menambah khasanah kajian tentang sastra populer yang jumlah kajiannya masih terbilang sedikit jika dibandingkan dengan kajian sastra adiluhung. Adapun tujuan yang bersifat praktis adalah untuk memberikan sumbangan fikiran kepada masyarakat mengenai konvensi dan invensi film-film Western 1995-2012 sebagai wujud penggarapan karya genre Western yang lebih menarik sehingga dapat merebut atensi banyak penonton masa sekarang, dan melatarbelakangi terjadinya perubahan formula pada karya tersebut. alasan yang 10 1.4. Manfaat penelitian Manfaat penelitian ini terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis. Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk menerapkan kajian teori formula pada fiksi populer. Secara praktis diharapkan dapat menjadi pijakan pengetahuan mengenai teori formula pada cerita-cerita koboi Amerika bagi peneliti-peneliti selanjutnya. 1.5. Tinjauan Pustaka Dalam penelitian ini ada dua jenis kepustakaan yang perlu ditinjau sebagai pustaka acuan dan pembanding: pertama, kepustakaan yang berkaitan dengan objek material penelitian ini; dan kedua kepustakaan yang berkaitan dengan penerapan teori formula. Penelitian dengan topik yang sama dengan penelitian ini, khususnya kajian formula terhadap film-film Western periode 1995 - 2012, sejauh yang dapat dijangkau belum ditemukan. Akan tetapi, penelitian yang menggunakan sudut pandang yang berbeda berkaitan dengan film Western dan analisis formula banyak dilakukan. Penelitian mengenai film Western dilakukan oleh Martinuska (2009) dengan judul The Evolution of the Western Genre Resulting from Social Changes in USA. Penelitian ini menggunakan film Stagecoach (1939), High Noon (1952), Little Big Man (1970), dan Dances with Wolves (1990) sebagai objek materialnya. Peneliti menganalisis latar belakang sejarah dan perubahan masyarakat Amerika, dengan tujuan membuktikan bahwa adanya hubungan antara masyarakat dan Western. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, sejalan dengan perkembangan masyarakat 11 Amerika, genre Western juga mengalami transformasi. Dengan perkembangan persepsi baru, beberapa isu disampaikan dengan cara yang berbeda, khususnya gambaran suku asli Amerika yang berbeda. Amerika berubah menjadi masyarakat yang lebih sensitif terhadap etnis minoritas, “sisi lain”. Western menjadi sarana bagi mimpi masyarakat Amerika karena sesungguhnya mereka menepatkan mimpi tersebut pada kehidupan nyata. Penenelitian lainnya mengenai film Western dilaksanakan oleh Paakko (2012) dalam tesisnya yang berjudul Violence in Western Movies. Penelitian ini merupakan studi tentang bagaimana kekerasan digunakan dalam film Western. Penelitian berpusat pada pentingnya kekerasan dalam susunan elemen narasi yang khas dari genre ini, sebagai alat karakterisasi, dan sebagai agen penanda moralitas dan ideologi. Dasar tesis ini mengenai asumsi bahwa kekerasan merupakan suatu definisi dan bagian integral dalam cerita Western. Cara kekerasan digambarkan dan dipergunakan sebagai alat plot terus berubah, sepanjang waktu, dan menyebabkan perubahan pesan yang disampaikan oleh film. Peneliti menggunakan film The Tin Star (1957) dan Unforgiven (1992) sebagai objek materialnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekerasan merupakan elemen penting dalam kedua film tersebut. Kedua film ini menunjukkan cara kekerasan yang digunakan untuk membentuk cerita dan tokoh Western. Namun, hero digambarkan secara positif: pada film The Tin Star hero menggunakan kekerasan untuk kebaikan masyarakat, sedangkan kekerasan tidak terencana terdapat pada film Unforgiven. 12 Suatu penelitian yang berkaitan dengan formula adalah tesis yang berjudul Formula dan Ekapisme dalam novel Harry Potter: Kajian Sastra Formula oleh Rosyidi (2008). Tujuan penelitian ini untuk mengungkap daya tarik novel Harry Potter, yang diduga mampu menarik minat jutaan pembaca di Indonesia, dengan menjelaskan formula-formula yang ada dalam series ini dan mendeskripsikan isu serta masalah dalam novel Harry Potter (misalnya pola penceritaannya), serta distribusinya di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode dialektika ketertarikan artistik dan kultural. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa (1) fenomena kepopuleran Harry Potter sebagai produk budaya populer bukan semata-mata disebabkan komuditas industri, melainkan karena ada nilai-nilai cultural dan fungsional di dalamnya; (2) series ini didistribusikan untuk kepentingan komunitas tertentu kalau dibandingkan dengan harga jual novelnovel terjemahan yang hadir di Indonesia; (3) sistem distribusi series Harry Potter ini melalui penerjemahan ke dalam banyak bahasa dan situs-situs internet yang membahas novel ini; (4) series Harry Potter ini ditujukan untuk pembaca anak, sehingga penulis tidak menggunakan cara pikir orang dewasa dalam membangun karakter atau tokoh anak; (5) daya tarik Harry Potter, khususnya di Indonesia, adalah unsur petualangan, spectacle, dan misteri, yang membuat pembaca terus membaca hingga selesai. Penelitian formula lain yang ditemukan berjudul Romance Formula pada Novel the Scarlet Letter dan film The Scarlet Letter (Saktiningrum, 2002). Tujuan penelitian ini untuk mempelajari fungsi dan peran romance formula dalam novel dan film The Scarlet Letter, dengan tujuan menemukan persamaan dan 13 perbedaannya, serta menelusuri sebab atau latar belakang adanya perbedaan kedua karya tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan intertekstual. Dari penelitian ini, dapat diketahui bahwa perubahan teks terjadi pada proses pengadaptasian suatu karya sastra ke dalam bentuk yang baru, dan bahwa ini adalah suatu yang wajar. Penelitian-penelitian di atas berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan. Perbedaan terletak pada teori yang digunakan, objek formal yang dipilih, serta permasalahan yang diangkat. Film-film Western dalam kurun waktu 1995 - 2012 yang menjadi objek material penelitian sepengetahuan penulis belum pernah diteliti dengan menggunakan teori formula Cawelti. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini belum pernah dilakukan peneliti lain secara menyeluruh, yaitu konvensi dan invensi dalam film Western periode 1995-2012, dan interaksi cerita-cerita koboi tersebut terhadap budaya Amerika mutakhir. 1.6. Landasan Teori Penggunaan teori sebagai alat anlisis adalah salah satu ciri penelitian ilmiah. Kedudukan teori dalam penelitian, termasuk penelitian sastra dipandang penting dalam rangka menjawab masalah yang hendak diteliti. Fokkema dan Kunne Ibsch (1998:1) menjelaskan bahwa studi ilmiah mengenai sastra tidak dapat dimengerti tanpa dasar-dasar teori sastra tertentu. Di antara sedikit teori-teori tentang formula dalam kajian sastra popular, teori yang dikemukan oleh John G. Cawelti di dalam bukunya yang berjudul Adventure, Mystery, and Romance: Formula Stories as Art and Popular Culture 14 merupakan teori paling banyak dibaca dan digunakan sebagai acuan dalam membahas karya-karya sastra popular abad ke-21. Sedangkan Pengertian Western sendiri bervariasi sesuai dengan aspirasi dan apresiasi ahli mengenai hal ini. Cawelti (1999), dalam bukunya The Six-Gun Mystique Sequel, yang merupakan revisi dan pengembangan dari The Six-Gun Mistique (1971), menyajikan karakteristik formula karya Western. Dengan demikian, penelitian ini menggunakan teori formula Cawelti (1976) dan karakteristik formula karya Western Cawelti (1999). 1.6.1. Formula Penelitian genre fiksi populer pada dasarnya dilakukan dengan melihat unsur-unsur atau elemen fiksi populer. Namun berbeda dengan unsur-unsur karya sastra. Unsur-unsur dalam konteks sastra populer disebut dengan formula. Cawelti (1976: 5) mendefinisikan formula sebagai berikut: “In general, a literary formula is a structure of narrative or dramatic conventions employed in a great number of individual works” [pada umumnya formula sastra adalah suatu struktur konvensi-konvensi naratif atau dramatik yang digunakan dalam berbagai karya individual]. Konsep formula mengacu pada unsur-unsur konvensi sastra populer. Terbentuknya genre suatu fiksi populer dapat berupa gabungan formula yang ada dalam fiksi populer seperti yang dikatakan Cawelti (1976: 7): “It is said formula appears as a popular story type that can also decide a work of literature belong to” [formula sama seperti tipe cerita populer yang bisa menentukan termasuk ke dalam jenis apa karya sastra tersebut]. Dari pernyataan tersebut, dapat ditarik 15 suatu kesimpulan bahwa penelitian formula pada dasarnya meneliti tentang unsurunsur yang ada dalam fiksi populer. Cawelti (1976: 6) juga menjelaskan bahwa: “Formula is the combination or synthesis of a number of specific cultural conventions with a more universal story for or archetype”. [Formula adalah kombinasi atau sintesis dari sejumlah konvensi budaya tertentu dalam pola dasar cerita yang lebih universal atau arketipe]. Konsep sebuah formula menunjukkan suatu cara konvensional dalam memperlakukan hal yang spesifik. Hal yang spesifik merujuk pada pola-pola konvensi spesifik suatu budaya dalam periode tertentu. Formula merujuk kepada tipe alur yang lebih luas. Maksudnya, formula merujuk pada tipe-tipe alur yang merepresentasikan tipe-tipe cerita yang bersifat universal hingga menjadi populer dalam budaya yang berbeda dan dalam waktu yang berbeda. Dengan demikian, formula merupakan cara tema dan streotipe budaya yang spesifik menjadi bentukan dalam pola-pola dasar (arketipe) cerita yang lebih universal. Formula adalah unsur yang menyajikan pola budaya. Cawelti (1976: 20) menyatakan bahawa: “Formulas are cultural products and in turn presumably have some sorts of influence on culture because they become conventional ways of representing and relating certain images, symbols, themes, and myths; the process through which formulas develop, change, and give way to other formulas is a kind of cultural evolution with survival through audience selection”. [Formula adalah produk budaya dan pada gilirannya berdampak pada budaya karena formula menjadi cara konvensional merepresentasikan dan menghubungkan pencitraan, simbol-simbol, tema, dan mitos tertentu; proses dimana formula berkembang, berubah, dan terlepas dari formula lain merupakan bentuk evolusi budaya yang tidak dapat terlepas dari audiens]. 16 Proses yang berkembang, berubah, dan terlepas dari formula lain merupakan sejenis evolusi kultural dengan penyelamatan melalui seleksi pembaca atau penonton. Formula merupakan suatu pola, ketika pembaca atau penonton berhasil mendefinisikan formula, maka mereka telah mengisolasi satu basis popularitas sejumlah karya. Ketika menjadi formula yang berhasil, sebuah pola cerita secara jelas memiliki ketertarikan dan makna khusus bagi banyak orang dalam budaya. Pada umumnya, definisi konvensional genre cenderung berdasarkan pada unsur-unsur teks fiksi, seperti tema dan latar. Namun, suatu fiksi dapat juga baru dalam plot, narasi, dan unsur-unsur lain dalam cerita. Hal ini terjadi karena karyakarya kaya akan invensi. Menurut Cawelti (1980: 384), “All cultural products contain a mixture of two kinds elements: convention and invention” (Semua produk budaya terdiri dari gabungan dua jenis unsur: konvensi dan invensi). Genre sebagai sekelompok teks yang menjadi dikenal oleh pencipta, kritikus, dan audiens sepanjang waktu dilihat dalam istilah struktur konvensinya yang terdiri dari plot yang berulang, tokoh yang stereotipe, dan ide yang bisa diterima. Sebaliknya, invensi elemen yang berupa imajinasi unik dari penciptanya seperti jenis karakter, ide, dan bentuk narasi baru. Konvensi dan invensi memiliki fungsi budaya yang berbeda. Menurut Cawelti (1999: 15): “Conventions help maintain a culture’s stability while invemtions help it respond to changing circumstances and provide new information about the world”. [Konvensi-konvensi membantu mempertahankan stabilitas budaya sementara invensi-invensi membantu merespon perubahan keadaan dan memberikan informasi baru mengenai dunia]. 17 Konvensi sebagai refleksi unsur yang streotipe dan makna yang dikenal menegaskan kontinuitas nilai secara terus menerus, kemudian pada elemen aslinya akan muncul persepsi baru atau makna yang belum kita sadari sebelumnya. Disini tujuan konvensi untuk melihat unsur yang bersifat regualritas dalam suatu genre, sedangkan invensi ditujukan untuk melihat perubahan-perubahan unsur dalam suatu genre, dalam hal ini genre Western. 1.6.2. Karakteristik Formula Karya Western Terdapat berbagai cara yang dilakukan kritikus fiksi populer dalam mengategorikan genre. Jika di dalam pembahasan sastra klasik kita mengenal pembagian genre seperti novel, drama, dan puisi, di dalam sastra populer, Cawelti (1976: 36-47) mengategorikan fiksi populer menurut tema dan formulanya, yaitu adventure, mystery, romance, alien beings and states, melodrama atau tragedy, genre film yaitu Crime, Detective, Action, Western, dan masih banyak lagi kategori yang muncul. Jika ditinjau dari pengertian tersebut, film Western adalah salah satu bagian dari keseluruhan sastra populer. Pengertian Western sendiri bervariasi sesuai dengan aspirasi dan apresiasi ahli mengenai hal ini. Cawelti (1999), dalam bukunya The Six-Gun Mystique Sequel, yang merupakan revisi dan pengembangan dari The Six-Gun Mistique (1971), menyajikan karakteristik formula karya Western. Dengan satu cara tertentu, karya Western dapat dikenali karena ketika tampak dua hal utama, tokoh yang mengenakan topi ten-gallon dan menunggang kuda, penonton langsung menduga bahwa itu adalah film Western. Tradisi Western 18 memiliki banyak jenis pola plot. Frank Gruber, seorang penulis kawakan pulp Western, menyarankan bahwa ada tujuh dasar plot Western: (1) cerita penyatuan Pasifik (The Union Pacific Story) yang berpusat pada pembangunan jalan raya, jalur telegrap, dan jalur kereta, atau petualangan iringan-iringan kereta berkuda; (2) cerita peternakan dengan fokus pada konflik antara pemilik peternakan dengan pencuri atau peternak dan pengembala; (3) cerita kerajaan, yang merupakan versi epik dalam cerita peternakan; (4) cerita balas dendam; (5) cerita pasukan berkuda (kavaleri) dan Indian; (6) cerita tentang buronan; (7) cerita tentang Marshal (penegak hukum) (Cawelti, 1999: 19). Walaupun beberapa pola dasar tindakan film Western cenderung mengenai peternakan, pasukan berkuda, buronan atau marshal, kemungkinan banyak perbedaan pola plot, perlu diketahui bahwa yang paling utama dalam Western adalah menghadirkan topi ten-gallon dan kuda. hal ini mengharuskan peneliti melihat latar karya sebagai langkah awal untuk mengenali karya Western. Secara utuh analisis karakteristik formula Western meliputi unsur latar, kompleksitas tokoh, jenis situasi dan pola tindakan. Berikut dijelaskan secara rinci mengenai formula dalam pendefinisian karya genre Western. 1.6.2.1. Latar Pada umumnya, latar dipahami sebagai tempat dan waktu cerita terjadi. Namun hal ini berbeda dalam film Western, sebagaimana dijelaskan Cawelti (1999:19):“Western setting is a matter of geography and costume; [Latar karya Western merupakan masalah geografi dan kostum]. Latar dalam karya Western tidak hanya berkaitan dengan masalah geografis, tetapi juga berkaitan dengan 19 kostum yang menjadi ciri utama genre ini. Hal ini menjadi alasan mengapa unsur latar menjadi unsur formula utama dalam mendefinisikan film Western. Dalam film Western, definisi geografis harus memenuhi kualifikasi definisi sosial dan latar sejarah. Menurut Cawelti (1999: 20): “The Western is a story which takes place on or near a frontier and consequently the Western is generally set at a particular moment in the past” [Karya Western adalah cerita yang terjadi di atau dekat perbatasan Amerika namun karya Western umumnya berlatar pada saat tertentu di masa lampau]. Western sebagai cerita yang terjadi di sekitar perbatasan Amerika memiliki tokohtokoh yang mengenakan kostum dengan gaya tertentu sebagai pembeda dengan karya-karya Amerika lainnya. Periode latar Western terjadi pada masa Wild West dan secara geografis di perbatasan Amerika (antara Sungai Mississippi dan Pesisir Barat). Pendapat ini diperjelas oleh Buscombe (2003: 23), bahwa latar dalam film Western dibedakan menjadi dua jenis; pertama adalah outdoor setting, yaitu beberapa tempat tertentu di Amerika – gurun, pegunungan, dataran luas, dan hutan belantara; kedua adalah indoor setting, yaitu jenis ruang tertentu pada masa lampau seperti: saloon, penjara, ruang sidang, rumah-rumah dengan peternakan dan perkebunan, hotel, perahu (riverboats), dan lokalisasi. Kostum merupakan keistimewaan lain dari unsur latar yang memberikan kontribusi terhadap kesuksesan film Western (Cawelti, 1999: 27). Hal senada juga disampaikan Buscombe (dalam Grant 2007: 12): “…Iconography of the Western in drawing a distinction between a film’s inner and outer forms. Inner form refers to a film’s theme, while outer form refers to the various objects that are to be found repeatedly in genre movies – in Western, for example, horses, wagons, buildings, clothes, and weapons. In genre films, iconography refers to particular objects, archetypal characters, and even specific actors”. 20 [Iconografi karya Western dibedakan menjadi bentuk dalam dan bentuk luar. Bentuk dalam mengacu pada tema film, sementara bentuk luar mengacu pada berbagai objek yang ditemukan berulang-ulang dalam genre film – contoh dalam film Western seperti kuda, kereta, bangunan, pakaian, dan senjata. Dalam genre film, ikonografi mengacu kepada objek-objek tertentu, karakter arketipe, dan bahkan aktor tertentu]. Konsep yang ditawarkan Buscombe pada dasarnya sama dengan Caweli, namun menggunakan istilah yang berbeda dan pengertian yang lebih luas yaitu ikonografi yang tidak hanya terbatas pada kostum saja. Pemahaman ini dapat memperjelas pernyataan Cawelti mengenai kostum karya Western. Kostum film Western memperoleh keefektifan, baik bagi kepentingan intrinsiknya maupun dari cara penulis dan pembuat film mempelajari bagaimana menjadikan kostum tersebut merefleksikan tokoh dan tema. Cawelti (1999: 27) menjelaskan bahwa “in simplest form, costumes symbolized moral oppositions”. [Dalam bentuk yang paling sederhana, kostum melambangkan pertentangan moral]. Artinya, tokoh yang baik mengenakan pakaian yang bersih, rapi, dan topi berwarna putih. Penjahat berpakaian tidak rapi atau berpakaian hitam. Cawelti menjelaskan bahwa tradisi pada kostum Western juga memiliki arti yang kompleks, terutama untuk membedakan hero dan penjahat dari orang-orang kota. Orang-orang kota biasanya mengenakan pakaian biasa yang berkaitan dengan fashion pada abad ke-19 – setelan untuk laki-laki dan gaun panjang untuk perempuan (28). Elaborasi kesederhanaan fashion ini merupakan salah satu cara mengekspresikan kewesternan melalui kostum. Kostum yang lebih mencolok berkaitan erat dengan tokoh hero dan buronan atau orang liar (Cawelti, 1999: 28) sepatu bot koboi dan ikat pinggang yang ketat atau kapel, kemeja tebal dan bandana, pistol dan topi ten-gallon, semua 21 melambangkan adaptasi dari hutan belantara. Terkadang eksplorasi kostum juga cenderung pada keeleganan dengan menepatkan fringes (rumbai-rumai pada sepatu), tassels (rumbai-rumabai pada baju) dan scrollwork (ukiran) seperti rococo drawing room (ruang tengah dengan perabot gaya hiasan barat pada abad ke-18) (28). Baudelaire (gaya masa lalu) dikagumi oleh orang-orang liar, yang digambarkan sebagai “perwujudan ide tertinggi yang dibawa ke dalam materi dunia”. Kemudian formula kostum koboi dikembangkan dengan potongan yang sama. Pada kerangka dasar, ini lebih mirip pakaian orang kota daripada pakaian Indian, namun lebih fungsionil untuk menyeberangi dataran luas daripada pakaian orang kota (28). Di era yang sama, muncul pakaian koboi bergaya elegan dan megah berdasarkan model Indian dan Mexico, yang mulai meninggalkan fashion orang-orang kota (29). 1.6.2.2. Kompleksitas Tokoh Tokoh merupakan elemen penting dalam suatu karya. Cawelti (1999: 29) menjelaskan bahwa, dalam Western: “Three central character roles dominate the Western: the townpeople or agents of civilization, the savages or outlaws who threaten this first group, and heroes who are above all “Men in the middle,” possessing many qualities and skills of the savages fundamentally committed to the town people.” [Tiga jenis tokoh memiliki posisi sentral dalam genre Western: orangorang kota, atau agen peradaban; orang-orang liar atau orang-orang penjahat yang mengancam kelompok pertama; dan kelompok ketiga adalah tokoh hero yang lebih tinggi dari semua kelompok, yaitu tokoh dengan berbagai sifat dan kemampuan namun pada dasarnya berkomintmen dengan orang kota]. 22 Penjelasan ini menegaskan bahwa suatu karya Western memiliki konvensi tiga jenis tokoh yaitu: orang kota, orang liar, dan tokoh hero, yang menciptakan pola cerita dengan tema yang streotipe. Pengelompokan tokoh dalam Western sering menunjukkan dua, bahkan tiga, pertentangan sekaligus: tokoh hero dan orang-orang liar adalah tokoh laki-laki, sementara orang kota didominasi oleh tokoh wanita (Cawelti, 1999: 30),. Pembagian jenis kelamin ini sering menjadi antitesis peradaban dan ketidakberadaban, karena wanita – pada dasarnya – merupakan simbol peradaban pada karya Western. Tokoh wanita yang diacu adalah seorang schoolmarm. Konvensi selanjutnya adalah sering hadirnya dua jenis tokoh wanita di karya Western, yaitu si pirang dan si rambut coklat (Cawelti, 1999: 30). Si rambut pirang merepresentasikan kesopanan, feminitas murni, sementara si rambut coklat lebih melambangkan ketotokan, nafsu, dan spontanitas alam karena mereka sering dinodai oleh darah campuran atau masa lalu yang meragukan. Gadis-gadis berkulit gelap merupakan perwujudan feminine kebuasan hero, dari sisi spontanitas. Mereka memahami nafsunya yang dalam, kode kebuasan, kehormatan dan perlunya menggunakan kekerasan pribadi. Kode berbudaya schoolmarm ditunjukan dengan sifat menolak dorongan nafsu, kebebasan dan keagresifan. Ketika hero terlibat dengan schoolmarm, wanita berkulit gelap dimusnahkan atau ditinggalkan. Terdapat tiga jenis orang kota yang berulang kali muncul dalam karya Western: pioneer, orang pelarian dari peradaban, dan penjahat Bankir (Cawelti, 1999: 31). Kelompok orang kota pertama adalah pioneer. Mereka adalah orang- 23 orang yang sopan menyerupai tokoh hero, orang yang berbudi luhur dan terhormat, namun mereka kurang memiliki kemampuan untuk menanggulangi kebuasan. Pada umumnya, mereka memiliki tujuan yang berbeda; tokoh hero mencoba untuk menjaga dirinya sendiri, dengan martabat individu dan kehormatan pada lingkungan yang liar dan keras, sementara tokoh pioneer adalah sekelompok kekuatan yang mentransformasi perubahan hutan belantara menjadi tatanan sosial yang baru. Nilai pioneer berpusat pada pembentukan keluarga yang stabil dan membangun rumah, membuka perkebunan dan bisnis. Selain itu tokoh pioneer juga menghargai kerja keras, kesetiaan bersama, dan prestasi politik dan ekonomi. Kelompok orang kota kedua adalah orang pelarian (escapee). Mereka merupakan sosok yang paling menonjol pada karya-karya akhir Western (later Western), dengan menggabungkan ambiguitas tiap-tiap individu yang sebaliknya muncul dalam konflik antara tokoh hero dan pioneer. Kelompok orang kota seperti ini terdiri dari orang-orang yang melarikan diri ke bagian Barat Amerika (West) (32). Bagi mereka, wilayah Barat Amerika (West) bukan tempat yang tepat untuk membangun peradaban, tapi merupakan tempat berlindung dari kegagalan atau tragedi pribadi di daerah Timur Amerika (East). Sosok tokoh laki-laki pada umumnya adalah seorang professional pemabuk, seorang dokter atau pengacara yang memberikan pengertian, memiliki karir yang menjanjikan di daerah Timur Amerika, namun hal itu tidak lagi menarik baginya. Sedangkan tipe tokoh wanitanya yaitu gadis penari bar (dancehall girl). 24 Kelompok ketiga dari sosok orang kota adalah orang yang melambangkan sisi negative dari peradaban. Mereka adalah bankir yang jahat, pemilik peternakan atau agen perusahaan kereta api yang kadang-kadang berperan sebagai penjahat utama, dengan menjadi majikan atau manipulator suku Indian atau penjahat. Berbeda dari tokoh pioneer, tokoh ini hendak membangun masyarakat di hutan belantara hanya demi kekayaan dan kekuatan pribadi. Selain memiliki kehormatan dan kesetiaan bersama penjahat, Banker memiliki kemampuan memanipulasi dan mengeksploitasi orang-orang kota demi kepentingannya pribadi. Sosok ini bisa saja muncul sebagai pemilik peternakan yang tirani, atau agen Indian yang jahat yang membuat persetujuan buruk dengan suku Indian pada jalan yang akan ditempuh ketika perang. Jenis tokoh utama kedua yang berperan dalam karya Western adalah orang liar. Dalam bentuk paling sederhana, “orang liar” ini terdiri dari suku Indian yang ganas dan buronan yang tidak patuh pada hukum (Cawelti, 1999: 34). Mereka merupakan musuh yang tak dapat berdamai dengan tokoh hero ataupun orang kota. Sementara, dalam beberapa karya Western, orang liar tidak selalu menjadi penjahat. Ada juga orang Indian yang berbudi dan buronan yang baik. Dua pandangan mengenai orang liar ini mencerminkan makna ganda pada hutan belantara. Orang liar melambangkan kekerasan, kebrutalan, dan kebodohan yang berusaha dikontrol dan dihapuskan oleh masyarakat berbudaya. Seperti yang dikemukakan Cawelti (1999: 34), suku Indian dan buronan kadang juga berpihak pada nilai-nilai positif tertentu yang dibatasi dan dihancurkan oleh perkembangan peradaban: kebebasan dan spontanitas kehidupan hutan belantara, rasa 25 kehormatan pribadi dan penguasaan individu, dan persahabatan manusia yang tidak dihalangi oleh ikatan domestik. Bisa saja dalam karya Western tidak ada suku Indian ataupun buronan. Namun, beberapa tokoh harus berperan sebagai orang liar untuk pertentangan antar orang-orang kota dan kebuasan sebagai sumber plot. Peranan orang liar banyak sedikitnya dapat ditukar antara orang Indian atau outlaw karena kedua kelompok ini berkaitan dengan ketidakpatuhan terhadap hukum, suka melakukan pelanggaran, dan penolakan terhadap cara hidup masyarakat kota. Cawelti (1999: 35) menjelaskan bahwa dalam karya Western abad ke-20, tokoh outlaw memiliki peran yang lebih buruk daripada orang liar, sementara suku Indian nampak semakin menunjukan nilai-nilai kebaikan yang bersifat positif. Lebih lanjut Cawelti (1999: 35) menjelaskan bahwa aspek kekejaman dalam formula karya Western berhubungan dengan kegilaan (madness), yaitu menggunakan hubungan untuk membedakan antara orang liar terhormat dengan yang kejam. Hal ini berfungsi sebagai salah satu pembeda antara kedisiplinan dan moral tokoh hero atas kekejaman dan ketidakterkontrolan penyerangan yang menilai “buruk” orangorang liar. Kegilaan dan kekejaman merupakan reaksi terhadap tata tertib yang sah di kota. Jenis tokoh penting lainnya dalam karya Western adalah tokoh hero. Ketentuan dasar peran tokoh hero dalam karya Western adalah sebagai tokoh yang memecahkan konflik antara pioneer dengan orang liar. Konflik utamanya adalah antara nilai-nilai baru mengenai peradaban dan kepahlawanan serta kehormatan individu hutan belantara kuno (old Wilderness), yang cenderung mengalihkan 26 pertentangan antara orang-orang liar dengan orang-orang kota (Cawelti, 1999: 37). Lebih lanjut, Cawelti menjelaskan adanya arketipe yang lebih kompleks mengenai tokoh hero karya Western, yaitu sosok dongeng seperti Achilles, yang merupakan pejuang hebat yang bimbang karena pertentangan kesetiaannya dan rasa hormatnya yang sangat besar. Ketika akhirnya ia digambarkan dalam konflik yang menghancurkannya, masa lampau penuh kekerasan dan perang menjadi takdir pahit dan nasib yang harus diterima. Ada berbagai macam tipe yang muncul dari jenis tokoh hero dalam karya Western. Salah satunya adalah koboi liar (wild cowboy), yang menjadi pemimpin pioneer dan biasanya menikah dengan schoolmarm (Cawelti, 1999: 37). Tipe hero lainnya adalah seseorang yang datang ke bagian Barat Amerika (West) dan menjadi tokoh hero sesungguhnya. Tipe ini menunjukannya sifat orang Timur Amerika (Easterner), biasanya dengan pembawaan yang bersifat sangat aristokratik. Tokoh hero adalah seorang laki-laki yang menunggang kuda, dan kuda secara langsung mengikat kebebasan hutan belantara untuk mewujudkan kemampuannya untuk bergerak dengan bebas menyebrangi dan mendominasi serta mengontrol semangatnya (Cawelti, 1999: 38). Tokoh hero Western pada umumnya adalah seorang laki-laki yang berpistol (Cawelti, 1999: 38). Hal ini menunjukan bahwa interaksi sikap Amerika terhadap kekerasan dan citra penembak dalam karya Western sangatlah kompleks. Jenis pistol yang digunakan hampir menjadi properti universal petualangan tokoh hero. 27 Perbedaan karakteristik tokoh hero koboi tidak hanya pada kepemilikan pistol, namun juga cara ia menggunakannya. Hero koboi biasanya menemukan lawannya pada jarak yang jauh dan mengalami ritual yang kompleks dan keras “dalam menarik pistol” sebelum akhirnya menembak musuhnya (Cawelti, 1999: 40). Implikasi terpenting dari prosedur pembunuhan ini merupakan harga diri seorang koboi, kontrol dan keluwesan yang berkaitan dengan tokoh hero. Tokoh hero koboi tidak mencari-cari peperangan demi kepentingan pribadi; melainkan ia menunjukan harga diri dengan pertumpahan darah. Membunuh adalah tindakan yang memaksa, dan membawanya pada ketelitian dan kemampuan membunuh, dan hal ini merupakan bagian dari suatu seni. Pistol dengan enam peluru (the sixgun) adalah senjata yang memungkinkan tokoh hero menunjukan objektivitas, yang tidak terpengaruh ketika menggunakan pistol tersebut melawan musuh dalam peperangan individu. Tokoh hero kadang-kadang bertarung dengan tangan kosong pada aksi awalnya, namun ia tidak pernah membunuh dalam pertarungan seperti ini; dalam pertarungan jarak dekat, ia jarang menggunakan senjata, karena pisau dan alat pemukul memberi kesan kekerasan yang terlalu agresif dan tidak terkontrol untuk tokoh hero koboi (Cawelti, 1999: 41). Karakteristik terkemuka lainnya dari tokoh hero yaitu tokoh hero yang pendiam (laconic style) (Cawelti, 1999: 41). Sikap enggan tokoh hero dalam berkata-kata sering menyesuaikan dengan kondisi keengganannya terhadap tokoh wanita, akibatnya karya Western cenderung untuk menghindari roman. Namun, tidak semua tokoh hero Western membisu, tipe pendiam (42). Beberapa dari mereka ada yang banyak bicara dan tangguh, dan pada periode lain terdapat tokoh 28 hero koboi sebagai pencinta (oft-noted laconic style). Karakteristik khas lainnya dari tokoh hero adalah cerita kepahlawanan komik (comic hero). Karena menerima tanggung jawab tertentu tokoh buronan berubah menuju tokoh hero. Sebagai buronan mereka berkomitmen untuk melawan hokum, sebagai hero mereka harus menjaga kedamaian domestisitas peradaban (43). 1.6.2.3. Jenis Situasi dan Pola Tindakan Penjelasan mengenai berbagai tipe tokoh hero mengindikasikan berbagai macam situasi dan plot yang dapat dibuat dalam karya Western, asalkan konvensi dasarnya – terutama hubungan setting dan tokoh-tokohnya – tetap dipertahankan. Ada suatu jenis situasi dasar western yang berkembang disebut dengan momen epik (epic moment), di mana masyarakat menepatkan keseimbangan terhadap hutan belantara yang liar (Cawelti, 1999: 45). Situasi ini melibatkan tokoh hero yang memiliki beberapa dorongan pada kekerasan dan juga kemampuan, kepahlawanan dan kehormatan pribadi yang dianggap berasal dari cara hidup hutan belantara. Situasi tersebut menempatkan tokoh hero dalam posisi di mana ia terlibat atau berkomitmen dengan agen dan nilai-nilai peradaban. Sifat dasar situasi ini, dan konflik antara orang kota dan hutan belantara yang terletak di belakangnya, mengimplikasikan bahwa pola formula tindakan tersebut dianggap pengejaran dan pencarian karena dalam pola ini perselisihan orang liar dengan orang kota merupakan perwujudan dirinya sendiri. Orang-orang liar menyerang orang-orang kota dan dikejar oleh pioneer. Beberapa dari pioneer meninggalkan kota dan dikejar oleh orang liar. Orang-orang liar menangkap satu atau lebih orang kota dan dikejar oleh tokoh hero. Sejumlah variasi mungkin dalam pola 29 penangkapan, penghalauan, dan pengejaran dan mayoritas karya Western tersusun sekitar satu atau lebih jenis tindakan semacam ini. Pola yang paling khas dari karya Western adalah menukarkan atau membolak balik antara penghalauan dan pengejaran (Cawelti, 1999: 46). Tindakan buronan atau suku Indian menyerang orang kota dan dikejar oleh tokoh hero dan pioneer kadang-kadang terjadi untuk membalikkan situasi, penyerangan atau kesalahan dalam membagi kekuatan, dan pengejar tersebut menjadi dikejar. Karya Western dengan setting sejarahnya, penekanan tematiknya pada penegakan hukum dan tata tertib, dan penyelesaian konfliknya antara kebudayaan dan kebuasan di perbatasan Amerika (frontier), merupakan ritual dasar (Cawelti, 1999: 49). Ritual dasar tersebut merepresentasikan pengulangan kontemplasi momen epik ketika perbatasan berlalu dari cara hidup lama menuju cara hidup sekarang. Melalui dramatisasi momen ini, dan menghubungkannya dengan tokoh hero, karya Western secara ritual menegaskan kembali penciptaan Amerika dan mengeksplorasi tidak hanya apa yang telah didapat, tetapi juga apa yang telah hilang dalam sejarah perkembangan Amerika. 1.7. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian tekstual, yang menempatkan film sebagai suatu teks; sedangkan aspek-aspek teknik di dalam film itu sendiri tidak dibicarakan. Menurut Klarer (2004: 56): “Film idiosyncratic model of presentation –such as camera angle, editing, montage, slow and fast motion – parallel features of literary texts or can be explained within a textual framework … it is possible to analyze film by drawing on methods of literary criticism…” 30 (Tampilan model film yang berbeda – seperti sudut kamera, editing, montage, gerakan cepat atau lambat – sama dengan struktur teks sastra atau bisa dijelaskan dalam kerangka kerja tekstual … Hal ini memungkinkan menganalisis film dengan menggunakan kritik sastra)”. Ketika film ditempatkan sebagai teks, metode analisis yang diacu adalah strukturalisme (Storey, 2006: 67) karena strukturalisme memperlakukan karya sastra sebagai akumulasi unsur-unsurnya secara total. Dengan demikian unsur – unsur tersebut dapat dipahami integritasnya dengan totalitas karya sastra. Penelitian ini memanfaatkan pendekatan sinkronik dan diakronik. Saussure (1959: 81) menjelaskan bahwa: “Everything that relates to the static side of our science is synchronic; everything that has to do with evolution is diachronic”. [segala sesuatu yang berhubungan dengan sisi statis dari ilmu kita adalah sinkronik; segala sesuatu yang berhubungan dengan evolusi adalah diakronik].” Dalam konteks kajian sastra populer, peneliti memfokuskan bagaimana jalinan antar unsur atau struktur karya individu bisa dilihat, dengan membuat potongan terhadap rentangan waktu agar dapat menarik suatu generalisasi tentang fenomena suatu genre sebagai struktur pewadahnya, dalam hal ini genre Western (sinkronik). Kemudian, peneliti menelusuri genre sebagai fenomena partikular dari tahun 1995 hingga 2012 sehingga memperlihatkan struktur-struktur yang muncul, berkembang, hilang atau tertutup dan akhirnya digantikan dengan struktur-struktur lainnya (diakronik). Masyarakat mengetahui bahwa suatu film dapat dikategorikan fiksi populer karena banyak penontonya, indikatornya adalah hasil penjualannya yang disebut box office. Produser, penulis skenario, sutradara, dan penonton yang terlibat dalam 31 produksi film akan melihat konvensi yang ada dalam masyarakat dan disesuaikan dengan film melalui konvensi yang ada untuk memperoleh popularitas. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendekatan strukturalisme dalam penelitian fiksi populer berkaitan erat dengan konvensi dalam masyarakat yang berkaitan dengan fiksi populer. Oleh sebab itu, ketika peneliti mengkritisi sebuah fiksi populer, peneliti berarti terikat dalam wilayah kesepakan. Hal ini disebabkan intensi strukturalis adalah mendefinisikan kondisi yang memungkinkan munculnya karya fiksi, mengkaji sistem kepercayaan, pemikiran, konsepsi, gagasan yang memungkinkan terciptanya produk sastra penting untuk dikaji (Adi, 2011: 141). Dengan demikian, konteks fiksi populer dalam kajian strukturalisme berarti mengkaji juga sistem kepercayaan, budaya, pemukiran yang mendasari penyebab fiksi itu muncul, seperti apa yang dikatakan Culler (1975: 4): “Structuralism is thus based in the first instance, on the realization that if human action and productions have a meaning there must be an underlying system of distinction and convention which makes meaning possible”. (Strukturalisme berdasarkan contoh pertama, pada realisasi bahwa apabila tindakan manusia dan produksi mempunyai arti, pastilah ada sistem pembedaan dan konvensi yang mendasari yang menyebabkan pemaknaan dimungkinkan). 1.7.1. Metode Pengumpulan Data Setelah popularitas film Western merosot tajam pada tahun 1990-an, muncul berbagai film genre Western dengan karakteristik struktur yang berbeda. Hal ini terjadi sebagai respon terhadap perubahan situasi, dan memberikan informasi baru mengenai dunia pada ruang dan waktu tertentu. Sejalan dengan ini, penentuan populasi penelitian didasarkan pada terjadinya perubahan karakteristik struktur 32 yang dominan pada film-film Western sejak tahun 1995, yang terus berkembang hingga 2012. Oleh sebab itu, pemilihan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan metode purposif. Menurut Lyons dan Doueck (2010: 122): “As its name implies, purposive sampling is done with a purpose in mind; typically researchers have one or more specific predefined groups whom they are seeking”. [Seperti namanya, sampel purposif dilakukan dengan tujuan yang dimaksud peneliti. Peneliti tertentu memiliki satu atau lebih cara pendefinisian awal terhadap apa yang mereka cari].” Selama proses penelitian berlangsung, peneliti memilah-milah film-film sesuai dengan tujuan penelitian sehingga dianggap layak menjadi sampel penelitian. Berdasarkan argumentasi di atas, dikumpulkan berupa enam film Hollywood genre Western sebagai data primer. Pertama, film The Quick and the Dead, yang diproduksi oleh Sony Picture Entertainment pada tahun 1995 disutradarai oleh Sam Raimi; skenario film ini ditulis oleh Simon Moore. Kedua, film Wild Wild West yang diproduksi oleh Peters Entertainment, Sonnenfield Josephson , dan Worldwide Entertainment pada tahun 1999 disutradarai oleh Barry Sonnenfeld. Penulis skenario adalah S.S. Wilson, Brent Maddock, Jefferey Price, dan Peter S. Seaman. Ketiga, film Shanghai Noon yang diproduksi oleh Touchstone Pictures dan Spyglass Entertainment pada tahun 2000 dan disutradarai oleh Tom Dey; penulis skenario adalah Miler Millar dan Alfred Bough. Keempat, film 3:10 to Yuma yang di produksi oleh Relativity Media pada tahun 2007 disutradarai oleh James Mangold. Skenario film ini ditulis oleh Halsted Welles, Derek Haas, dan Michael Brandt. Kelima, film Cowboys and Aliens yang diproduksi oleh Dreamwork Picture, Relativity Media, Image Entertainment, K/O 33 Paper Products, Fairview Entertainment, dan Platinum Studios pada tahun 2011 dan disutradarai oleh John Favreau; skenarionya ditulis oleh Roberto Orci, Alex Kurtzman, Damon Lendelof, Mark Fergus, dan Hawk Ostby. Keenam, film Django Unchained yang diproduksi oleh A Band Apart, The Weinstein Company, dan Columbia Picture pada tahun 2012 dan disutradarai serta ditulis oleh Quentin Tarantino. Selain itu, penulis juga menggunakan data sekunder berupa sumbersumber referensi tertulis (buku, makalah, jurnal, dan laporan penelitian) yang berkaitan dengan objek kajian dan menunjukan aspek-aspek formula film Western. Menurut teori formula yang dikemukakan Cawelti, semua film yang digunakan sebagai objek material diatas dapat dikategorikan sebagai film genre. Pada dasarnya, film genre adalah cerita yang telah dikenali jenisnya karena mempunyai streotipe tertentu (Cawelti, 1971, Adi, 2011, dan Pramono, 2011: 46). Suatu film dapat dikategorikan sebagai film genre apabila suatu sistem naratifnya dapat diuji dari terma-terma komponen struktur dasarnya: plot, tokoh, setting, tema, gaya dan sebagainya (Schatz, 1981: 16). Keenam film tersebut memenuhi kriteria struktur dasar karya Western sehingga layak menjadi objek penelitian ini. Kemudian dilakukan penelusuran untuk memperoleh berbagai teks sebagai informasi yang mendukung kerja analisis; mengidentifikasi seluruh teks, baik yang berupa dialog, narasi, ataupun potongan gambar yang berkaitan dengan formula. Setelah memperoleh data yang valid, tahap selanjutnya dilakukan analisis data yang mendalam untuk mengategorikan konvensi dan invensi karya Western dalam rentang waktu 1995-2012, dan alasan yang melatarbelakangi terjadinya perubahan formula pada karya tersebut. 34 1.7.2. Metode Analisis Data Analisis data dilakukan dengan cara menganalisis cara yang berbeda dari karya-karya Western dalam mengorganisasikan unsur-unsur tersebut ke dalam susunan pola plot, sehingga dapat dikategorikan unsur-unsur yang bersifat regularitas (konvensi) dan unsur-unsur yang berevolusi (invensi). Selanjutnya peneliti fokus pada unsur-unsur yang berevolusi untuk meneliti perkembangan genre Western dari waktu ke waktu. Hal ini menuntut peneliti fokus pada unsurunsur secara terisolasi. Unsur-unsur diisolasi dari sistem genre dalam waktu 19952012 dan mengeksplorasi faktor-faktor eksternal yang menjadi sebab-sebab evolusi. 1.8. Sistematika Laporan Penelitian Penelitian ini disajikan dalam empat bab. Bab I berisikan pendahuluan, latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II membahas konvensi dan invensi film Western periode 1995-2012, dan faktor eksternal yang mempengaruhi perubahan formula cerita-cerita koboi. Bab III berisikan kesimpulan hasil analisis dari penelitian ini.