REFERAT IV PERUBAHAN IMUNOLOGIS PADA ENDOMETRIOSIS PERITONEAL Penyaji : Dr. Januar Simatupang Pembimbing : Dr. Rizani Amran, SpOG, K-FER Pemandu : Dr. K. Yusuf. Effendi, SpOG BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA RSU. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG Dipresentasikan, Sabtu 22 Februari 2003 Pukul 12.30 WIB DAFTAR ISI DAFTAR ISI ............................................................................................................. i DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. ii DAFTAR TABEL...................................................................................................... iii I. PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 II.POLA UMUM PERKEMBANGAN ENDOMETRIOSIS ................................... 2 A. ANGKA KEJADIAN .......................................................................................... B. PATOGENESIS................................................................................................... 1. Teori transplatasi dan regurgitas .................................................................... 2. Teori metaplasia ............................................................................................. 3. Teori induksi .................................................................................................. 4. Teori hormonal............................................................................................... 5. Teori lingkungan (racun)................................................................................ 6. Teori genetik .................................................................................................. 7. Teori imunologi.............................................................................................. 2 3 3 4 4 5 5 5 5 III. PERKEMBANGAN ENDOMETRIOSIS PERTONEAL DAN GAMBARAN LESI ENDOSKOPIK ..................................................................................................... 7 1. Lesi mikroskopik............................................................................................ 9 2. Lesi dini aktif ................................................................................................. 10 3. Lesi aktif lanjut............................................................................................... 13 4. Lesi penyembuhan.......................................................................................... 14 IV. PERUBAHAN IMUNOLOGIS PADA ENDOMETRIOSIS PERITONEAL ...................................................................................................... 1. Makrofag ........................................................................................................ 2. Sel B peritoneal dan imunoglobulin............................................................... 3. Sel Natural Killer (NK).................................................................................. 4. Sel T ............................................................................................................... 5. Sitokin ............................................................................................................ 14 16 17 18 18 19 V. RINGKASAN ...................................................................................................... 23 VI. RUJUKAN.......................................................................................................... 24 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Skema teori transplantasi.................................................................... 3 Gambar 2. Skema teori metaplasia....................................................................... 4 Gambar 3. Skema teori induksi ............................................................................ 4 Gambar 4. Patogenesis endometriosis peritoneal................................................. 8 Gambar 5. Tipe lesi-lesi endometriosis................................................................ 9 Gambar 6. Reaksi peritoneum terhadap susukan endometriosis.......................... 9 Gambar 7. Skema interaksi sel-sel imun dan jaringan endometriosis pada rongga tubuh....................................................... 23 DAFTAR TABEL Tabel 1. Macam-macam lesi endometriosis menurut umur................................ Tabel 2. Perubahan makrofag, sel B dan sel T pada 13 wanita dengan Endometriosis ............................................................... 19 Tabel 3. Sitokinin dan fungsinya ........................................................................ 20 Tabel 4. Kadar sitokinin pada wanita dengan endometriosis ............................. 20 PERUBAHAN IMUNOLOGIS PADA ENDOMETRIOSIS PERITONEAL PENDAHULUAN Endometriosis merupakan satu masalah penting di bidang Ginekologi, berkenaan dengan timbulnya dampak dan progresifitasnya yang berjalan terus sepanjang kehidupan seorang wanita.Endometriosis adalah susunan mirip endometrium yang menampilkan perubahan klinis seperti endometrium normal kavum uteri yang dapat tumbuh di hampir semua organ tubuh1. Jika endometrium tumbuh dii peritoneum disebut endometriosis peritoneal1,2,3. Secara epidemiologis dari semua kasus operasi pelvik pada wanita ditemukan hampir 15% kasus endometriosis4. Kajian epidemiologik tentang endometriosis secara luas di Indonesia belum banyak dilakukan. Pada pasangan infertil dijumpai 25% diakibatkan oleh endometriosis, sedangkan pada kasus infertilitas idiopatik penyakit ini dijumpai 80%5. Di bagian Obstetri dan Ginekologi FK-UI RSCM selama tahun 1990 tercatat 15,7% kasus endometriosis di Poliklinik Imunoendokrinologi4. Telah banyak hipotesa diajukan untuk menerangkan patogenesis endometriosis, tapi hingga kini belum ada satupun teori yang dapat menjelaskan secara keseluruhan kejadian endometriosis. Walaupun etiologinya belum diketahui secara pasti, tetapi perjalanan dan patogenesis penyakit ini telah banyak diteliti secara mendalam dan diungkapkan dalam beragam teori. Mulai dari teori klinik hingga biomolekuler. Secara klinik endometrosis tampil dengan keadaan gejala yang berat5. Hingga kini pengobatan yang digunakan adalah sama meskipun dengan perbedaan patogenesis yaitu pengobatan medik dengan hormon atau gabungan tindakan pembedahan dan hormonal. Tujuan pembedahan baik konvensional maupun pembedahan laparoskopik adalah menghilangkan lesi endometrosis peritoneal sebanyak mungkin dengan melakukan dekstruksi lesi-lesi yang ada, dilanjutkan dengan pengobatan hormonal. Permasalahan yang timbul kemudian adalah masih tingginya angka kekambuhan endometriosis pasca pengobatan pembedahan dan hormonal yaitu: 33%6, James M Wheller7 menemukan kekambuhan 40,3%. Menurut penelitian yang dilakukan Alex dkk8 di RSCM pada tahun 1991-1995 kekambuhan ditemukan sebesar 9,09%. Hal ini terjadi antara lain karena proses autoinum pada penyakit ini dan karena kurang adekuatnya pengenalan ragam tampilan endometriosis peritoneal pada saat pembedahan atau laparoskopi. Penggunaan laparoskopi untuk diagnostik endometriosis peritoneal mempunyai akurasi mencapai 93%9, jika pemeriksa dilakukan secara benar dan sistematik dan mampu mengenali jenis lokasi, luas dan derajat dari lesi endometriosis. Pemahaman dan pengenalan patogenesis endometriosis dan tampilan lesi endometriosis secara baik akan mempengaruhi diagnosis dan pengobatan yang adekuat, karena tertingginya lesi endometriosis saat dilakukan destruksi pada laparotomi operatif atau pembedahan akan memudahkan terjadinya kekambuhan. Pada sari pustaka ini akan diuraikan perubahan imunologis endometriosis peritoneal. Diharapkan dari pustaka ini dapat meningkatkan pemahaman perubahan imunologi yang terjadi pada endometriosis peritoneal dan pengenalan ragam gambaran lesi endometriosis. I. POLA UMUM PERKEMBANGAN ENDOMETRIOSIS A. ANGKA KEJADIAN Kejadian endometriosis ditemukan pada 15 % dari semua operasi pelvik4, bahkan Berger10 menemukan angka yang lebih tinggi yaitu 53%, Evers5 menemukan 85% wanita dengan infertilitas idiopatik ternyata menderita endometriosis. Sedangkan wanita infertilitas pada pemeriksaan laparoskopiknya dijumpai 80%. Di klinik kelainan ini tampil dengan beragam gejalanya : dismenorea (80%) nyeri pelvis (50%), infertilitas (40%), gangguan haid (20%) dan keluhan-keluhan lainnya5. Kekambuhan penyakit ini setelah dilakukan pengobatan pembedahan dan medikasi ditemukan oleh Candiani sebesar 33%, James M Wheller sebesar 40,3%, sedangkan di Indonesia Alex dkk di RSCM tahun 1991-1995 menemukan kekambuhan sebesar 9,09%. B. PATOGENESIS Sampai saat ini belum ada satupun teori yang dapat menjelaskan terjadinya endometriosis yang dapat diterima oleh semua pihak. Beberapa teori yang menerangkan hal ini yaitu: teori transplantasi dan regurgitasi, teori metaplasia, teori induksi, teori hormonal, teori lingkungan (racun), teori genetik, teori imunologi. 1. Teori transplantasi dan regurgitasi Teori ini dikemukakan oleh Sampson pada tahun 1927, dijelaskan bahwa endometriosis terjadi karena darah haid mengalir balik melalui tuba ke dalam rongga pelvik (retrograde). Sel-sel endometriosis yang masih hidup (viable) ini kemudian mengadakan implantasi di peritonium11,12,13,14,15. Tetapi teori ini tidak dapat menerangkan kasus endometriosis di luar pelvis, terjadi endometriosis di mata dan endometriosis yang terjadi pada tuba yang non paten. 2. Teori metaplasia Teori metaplasia ini dikemukakan oleh Robert Meyer yang menyatakan bahwa endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel yang berasal dari sel epitel selomik pluripoten dapat mempertahankan hidupnya di daerah pelvik, sehingga terbentuk jaringan endometriosis. Teori ini didukung oleh penelitianpenelitian yang mutakhir11,13. Teori ini dapat menerangkan terjadinya pertumbuhan endometriosis di toraks, umbilikus dan vulva. Dikutip dari Baziad11 3. Teori induksi Merupakan perluasan dari teori metaplasia. Terdapat faktor biokimia endogen yang dapat menginduksi sel yang tak terbedakan (undifferentiated) di peritoneum dan berkembang menjadi jaringan endometrium12,13. Studi eksperimental juga membuktikan endometriosis dapat diinduksi dengan pemaparan pelvik terhadap peningkatan jumlah regurgitasi dari darah haid. Implantasi dari jaringan endometrium secara eksperimental juga menginduksi terjadinya endometriosis pada kelinci1. Dikutip dari Patrono C1 4. Teori hormonal Disamping itu terdapat faktor-faktor lain yang juga berperan dalam patogenesis terjadinya endometriosis, yaitu faktor endokrin. Teori ini menyatakan bahwa kehamilan telah lama diketahui dapat meredam endometriosis, hal ini disebabkan rendahnya kadar FSH, LH dan E2 juga dapat menghentikan endometriosis. Disamping itu pemberian hormon steroid seks dapat menekan sekresi FSH, dan LH. Diperkirakan aktivitas endometriosis sebagian besar dipengaruhi oleh hormon steroid seks. Diketahui bahwa estrogen, khususnya estradiol (E2) merangsang dan progesteron (P) menghambat sekresi lgG dan IgA. Tetapi menurut Jacoeb pengaruh imunosupresif itu tidak diperlihatkan oleh P, sedangkan E2 masih memperlihatkan khasiat perangsang imun ringan terhadap lgG. Menurut Jacoeb, memberatnya endometriosis bukanlah mumi bergantung estrogen saja. Dengan demikian dalam perkembangan endometriosis tidak hanya terbatas pada peran steroid seks saja melainkan juga karena faktor imunologis16. 5. Teori lingkungan (racun) Penelitian Rier dkk menyebutkan faktor lingkungan juga memberikan pengaruh pada perkembangan endometriosis17, khususnya berhubungan dengan racun yang mempunyai efek pada hormon reproduksi dan respon pada sistem imun. Pada percobaan ini 79% dari kera-kera yang terpapar dioksin didapatkan endometriosis pada tubuhnya. 6. Teori genetik Penelitian lain menyebutkan bahwa endometriosis merupakan penyakit turunan. Hal ini didapatkan dari laporan bahwa wanita dengan endometriosis seringkali berasal dari keluarga dengan insiden endometriosis yang tinggi. 7. Teori imunologi J.A. Hill, mendapatkan adanya gangguan pada imunitas pada wanita endometriosis18. Dmowski dkk mendapatkan adanya kegagalan dalam sistem pengumpulan dan pembuangan sampah haid oleh makrofag dan fungsi sel NK yang menurun pada endometriosis. Sementara penelitian lain seperti Weed & Arquembourg15. Bartosik19 dan Mathur20 dan Jacoeb berpendapat bahwa endometriosis adalah suatu penyakit autoimun, karena memenuhi kriteria :cenderung lebih bayak wanita,bersifat familial,menimbulkan gejala klinik,melibatkan multi organ,menunjukkan aktivitas sel B-poliklonal. Disamping itu Gleicher mengemukakan bahwa danazol yang semula dipakai untuk pengobatan endometriosis, sekarang dipakai juga untuk mengobati penyakit autoinum. Danazol menurunkan tempat ikatan reseptor IgG (reseptor Fc) pada monosit sehingga mempengaruhi aktivitas fagositik dari selsel ini. Beberapa penelitian telah menemukan peningkatan IgA, IgG dan IgM dalam serum dan zalir peritoneal. Kadar C3 juga berfluktuasi, tetapi meningkat di dalam serum pada endometriosis yang lebih berat. Meskipun dalam batas normal, pada endometriosis berat kadarnya dalam zalir peritoneal meningkat. C3 merupakan komplemen yang memegang kunci penting yang berawalnya kaskade (riam) proses imunologis tubuh. Komplemen ini dipakai oleh antibodi (imunoglobulin) untuk proses penghancuran dinding sel sehingga merusak sel16. Bila kadar C3 ditemukan tinggi di dalam serum, maka ini berarti komplemen tersebut tidak dikonsumsi dalam proses imunologi tersebut dan proses sitolisis pun tidak berlangsung, tetapi keadaan ini tidak terlihat pada penelitian Jacoeb18. Proses autoimun biasanya dapat dihambat oleh kortikosteroid, sehingga diperlukan kadar kortisol yang tinggi dalam serum dan zalir peritoneal tetapi pada penelitian Jacoeb dijumpai keadaan sebaliknya. Kadar kortisol serum yang tinggi terdapat pada endometriosis sedang dan berat, tetapi rendah pada endometriosis minimal dan ringan. Hal ini memperlihatkan endometriosis bukan merupakan proses yang akut. Dari ke 7 teori tersebut ternyata yang paling mendekati patogenesis endometriosis dan dapat menjelaskan semua penyebaran adalah teori metaplasia, tetapi teori tersebut harus didukung oleh faktor-faktor imunologik sehingga banyak peneliti berpendapat bahwa endometriosis merupakan suatu penyakit imunologik1,13. Sementara untuk penyebaran endometriosis ada yang berpendapat melalui pembuluh limpa. Shaw berpendapat bahwa pemicuan metaplasia mengubah sel-sel selomik pluripoten menjadi endometriosis21. Pengubahan ini berlangsung akibat iritasi yang berulang pada epitel selomik yang menjadi faktor pencetus proses metaplasia. Belum diketahui secara pasti apakah susukan endometriosis merupakan turunan dari sel-sel pluripoten insitu atau dihasilkan oleh bibit metastasis. Selain itu juga faktor genetik, endokrin, racun dan imunologi merangsang pertumbuhan dan penyebaran pada pelvis dan organ-organ didekatnya. Patogenesis ini juga terjadi pada endometriosis peritoneal. III. PERKEMBANGAN ENDOMETRIOSIS PERITONEAL Dalam ragam tampilan morfologi dari endometriosis peritoneal tidak dapat kita pisahkan dari patogenesisnya. Hal ini disebabkan karena masing-masing tampilan berhubungan dengan tahap-tahap perkembangan dari endometriosis peritoneal. Sesuai dengan kesepakatan Brosens, lesi merah terjadi pada awal endometriosis dan lesi hitam pada endometriosis lanjut, sedangkan lesi putih merupakan endometriosis yang mulai sembuh atau tidak bergerak atau lesi laten. Hipotesis yang diajukan oleh Redwine dan Golstein dkk, menyatakan bahwa lesi merah mendahului lesi yang lain dan kemudian kehadirannya digantikan dengan lesi hitam dan lesi putih. Berdasarkan perkembangannya endometriosis peritoneal dapat kita bagi menjadi 4 stadium, yaitu : 1. Lesi mikroskopik 2. Lesi dini yang aktif 3. Lesi aktif lanjut (klasik) 4. Lesi penyembuhan Dikutip dari Jacob TZ16 Gambaran potongan penampang secara histologik dapat dilihat dibawah ini: 1. Lesi mikroskopi : - Intra mesotelial - Sub-mesotelial 2. Lesi dini aktif : - Papula vaskularisasi - Vesikel merah 3. Lesi aktif lanjut : - Kerutan hitam 4. Lesi Penyembuhan Gambar 5. Tipe lesi-lesi endometriosis Dikutip dari Brosens et al22 1. Lesi mikroskopik Dari adanya pertumbuhan jaringan endometriosis maka terdapat reaksi dari peritoneal yang dapat digambarkan sebagai berikut. Gambar 6. Reaksi peritonium terhadap adanya susukan endometriosis Dikutip dari Evers23 Pertumbuhan endometriosis banyak dipengaruhi oleh hormon streroid seks dan faktor-faktor dari luar lainnya. Pada jaringan, hormon steroid seks mempengaruhi terjadinya proliferasi sel-sel, pergerakan/motilitas sel, pembelahan dan mempertahankan hidup. Pemeriksaan mikroskop elektron dan studi histologik peritoneum diketahui mempunyai 2 tipe lesi mikroskopik yaitu daerah epitel torak tinggi dan bersilia yang diganti oleh mesotel. Hal ini ditemukan pada pasien dengan endometriosis baik yang terlihat atau tidak terlihat. Dan lesi ini mengandung kelenjar atau stroma yang ditutupi mesotel. Lesi ini merupakan perkembangan dari proses metaplasia2 2. Lesi dini aktif Setelah tumbuhnya jaringan endometriosis tersebut, maka sel-sel makrofag akan memberikan reaksi perlekatan. Sejumlah besar dari protein pelekat dan proteoglikan telah dapat ditentukan secara biokimia selama dekade terakhir ini. Laminin dan fibronektin adalah dua glikoprotein pelekat yang utama yang memainkan peranan sebagai kunci pengaturan penempatan sel-sel epitel pada membrana basalis dan sel-sel stroma pada matriks interstitial. Penelitian lain terjadinya perkembangan dan progresivitas dari endometriosis pada baboon yang mendapatkan imunosupresi24. Integrin adalah sel glikoprotein permukaan yang bekerja sebagai reseptor dari protein matriks ekstra sellular (ECM). Ekspresi dari beberapa integrin telah dapat didiskripsikan pada endometrium yang normal. Hal ini penting dalam interaksi antara kelenjar dan elemen-elemen dari stroma. Deskripsi pertama dari glikoprotein-glikoprotein ini pada jaringan endometriosis diberikan oleh Beliarg dkk pada tahun 1992. Penyerbuan fragmen-fragmen jaringan endometrium ke dalam peritoneum dapat diterangkan dengan mendeteksi selsel molekul perlekatan2. Bridges dkk menerangkan perubahan yang siklik, ekspresi intergrin, tidak terdapat perbedaan antara jaringan endometrium dan endometriosis. Beliard dkk tidak menemukan perbedaan ekspresi dari laminin dan fibronektin pada kedua jaringan, tetapi pada studi mereka, ekspresi integrin ditemukan disekitar jaringan endometriosis ketika dibandingkan dengan jaringan endometrium. Banyak perbedaan pada ekspresi dari reseptor-reseptor fibronektin antara jaringan endometriosis dan endometrium tidak ditemukan pada studi Bridges dkk dan Van der Linden dkk2. Perlekatan dari sel-sel endometrium yang viabel kemungkinan difasilitasi oleh produk sekresi dan makrofag antara lain fibronektin epidermal growth factor (EGF), transforming growth factor (TGF)α, TGFβ dan insulin like growth factor (IGF)-125. Setelah terjadi pelekatan dan penyelamatan jaringan endometriosis tersebut maka reaksi dari makrofag tersebut ada melakukan perusakan jaringan untuk memulai terjadinya invasi jaringan dengan mengadakan proses proteolitik. Pada proses ini dibutuhkan degerasi lokal dariECM. Akhir-akhir ini, Marbaik dkk dan Kokorine dkk mengamati bahwa penurunan konsentrasi P pada akhir dari siklus menstruasi akan mengawali sintesis dan aktivasi dari matriks metalloproteinase (MMPs) yang menyebabkan kerusakan ECM, jaringan menjadi kolaps dan menstruasi. Kehadiran kolagenase dapat dibuktikan selama periode menstruasi dan kemungkinan terdapat pada cairan peritoneum, bersama dengan regurgitasi dari sel-sel endometrium, dapat menjadi salah satu elemen pada degenerasi lokal dari ECM peritoneum. Adapula yang menyatakan adanya estrogen atau progresteron dibutuhkan untuk implantasi atau pertumbuhan dini dari sel endometrium2. Baru-baru ini, Kokorine dkk mendeteksi keberadaan dari MMPs pada lesi merah di peritoneum dan pada endometrioma pada ovarium yang tidak tergantung pada siklus menstruasi, diperkirakan banyaknya lesi dapat mewakili MMPs tersebut tidak tergantung pada penurunan konsentrasi P. Hipotesis ini didasari dengan mentasah propeptid aminoterminal tipe III prokolagen pada cairan peritoneal yang merupakan tanda dari peningkatan metabolisme dari ECM. Setelah terjadinya kerusakan pada membrana basalis maka terjadilah proses migrasi pada organ pejamunya. Studi secara in vitro menunjukkan kemampuan invasi dari sel endometriosis mempunyai bagian dalam patogenesis pada endometriosis pada rongga pelvik yang didiskripsikan oleh Jenkin dkk dan berkorelasi dengan prinsip transplantasi dari sel-sel eksfoliatif. Data-data ini memberi kesan bahwa pemaparan peritoneum pelvik dengan refluks dari darah haid dan menghasilkan peningkatan resiko terjadinya endometriosis. Sebab regurgitasi darah haid dipertimbangkan merupakan fisiologik yang muncul pada wanita dengan tuba yang paten, tetapi tidak semua wanita mengalami endometriosis. Pada tahap ini didapatkan jaringan kelenjar muncul dibawah mesotel sebagai kista (papul yang berekskresi) atau sebagai polip (vesikel). Kelenjar berupa papul ini menonjol dari permukaan mesotel dengan lesi yang dapat dengan vaskularisasi yang halus. Vesikel endometriosis tampak sebagai lepuhan atau sekelompok lepuhan pada mesotelium. Pada lesi ini pada gambaran endoskopik mulai tampak pengisian cairan-cairan serosa, Cairan hemoragik atau merah mudah yang dikelilingi oleh vaskularisasi yang berbentuk sentripetal. Pada lesi-lesi ini jaringan endometriosis polipoid muncul dari kelenjar yang robek dan pada tahap awal lesi papul dan vesikel ini banyak mengandung pembuluh darah dan belum terdapat jaringan fibrotik. Lesi merah seperti api dan lesi kelenjar berekskresi merupakan stadium awal dari implantasi dini kelenjar dan stroma endometrium. Pada studi ini vivo diperlihatkan lesi merah hemoragik sangat aktif memproduksi prostoglandin. Pada tampilan 3 dimensi tampak bentuk kelenjar tersebut merupakan struktur yang bercabang di bawah mesotel dan dapat terlihat karena adanya sekresi, perdarahan atau terjadi diskuamasi. Akhir-akhir ini lesi papul atau vesikel merah ini ditemukan hilang timbul seperti jamur pada permukaan peritoneal. Sehingga hilangnya tampilan pada saat dilakukan laparoskopi setelah pengobatan hormonal tidak menjadi lesi hilang dan pemberian terapi hormonal dalam waktu lama dapat memberikan kedok pada lesi tersebut. 3. Lesi aktif lanjut (klasik) Pada tahap ini terjadi proses angiogenesis. Vaskularisasi susukan endometriosis kemungkinan adalah salah satu dari faktor yang terpenting pada pertumbuhan dan invasi ke jaringan lain oleh kelenjar endometriosis. Tampilan 3 dimensi dari lokasi jaringan vaskuler yang berada antara lesi merah dan peritoneum menunjukkan adanya peran angiogenesis di dalamnya. Vaskularisasi yang tinggi pada stroma memberi kesan adanya induksi angiogenesis oleh implantasi melalui growth factor atau sitokin. Salah satu dari growth factor angiogenesis ini adalah growth factor endotelial, yang akhir-akhir ini dideteksi terdapat pada cairan peritoneum pada pasien endometriosis. Studi imunohistokimia telah memperlihatkan adanya faktor-faktor angiogenesis pada endometrium eutopik dan ektopik. Pada tahun 1993, Ferriani dkk mendeteksi imunoreaktifitas dari growth factor fibroblas normal dan jaringan endometrium dan endometrium ektopik. Pada penelitian lain ditemukan kadar antigen CA 125 meningkat pada endometriosis22,26. Pada lesi ini terdapat proses inflamasi, fibrosis, perdarahan dan pigmentasi sehingga sering disebut sebagai lesi klasik. Lesi-lesi ini sangat mudah dikenali sebagai endometriosis. Dengan terjadi fibrosis maka respon hormonal pada lesilesi ini menjadi berkurang. Redwine mendapatkan lesi-lesi papul dan vesikel merah muncul lebih dahulu dari lesi gelap atau lesi hitam. Bermacam-macam gambaran lesi tampak pada semua sebaran usia reproduksi seperti dibawah ini (tabel 1). Tabel 1. Gambaran macam-macam lesi endometriosis menurut umur Dikutip dari Evers23 4. Lesi penyembuhan Selama kehidupan reproduksi lesi tanpa fibrosis dan dengan fibrosis terdapat bersama-sama, tetapi lesi fibrotik timbul setelah lesi kelenjar atau lesi merah menghilang dari peritoneum. Lesi-lesi aktif awal akan menghilang secara spontan atau menjadi lesi fibrotik. Dengan meningkatnya jaringan fibrotik respon terhadap hormonpun menjadi berkurang. IV. PERUBAHAN IMUNOLOGIS PADA ENDOMETRIOSIS PERITONEAL Untuk mempertahankan kehidupannya manusia memerlukan sistem kekebalan yang digunakan untuk melindungi tubuhnya dari bahaya yang akan ditimbulkan oleh berbagai bahan disekitarnya. Sistem pertahanan tubuh tersebut terdiri dari : a. Sistem imun non spesifik (alamiah) b. Sistem imun spesifik (didapat) Pertahanan non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme. Komponen-komponen sistem imun non spesifik itu terdiri dari pertahanan fisik dan mekanik, petahanan biokimiawi, pertahanan humoral dan pertahanan selular. Sedangkan pertahanan spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Sistem pertahanan spesifik ini dibagi atas : a. Sistem imun spesifik humoral yang berupa limfosit B dan sel B b. Sistem imun spesifik selular berupa limfosit T. Pada endometriosis didapatkan adanya perubahan dari sistem imun tersebut berupa defisiensi dari sistem imun. Dari studi penderita endometriosis didapatkan perubahan beberapa komponen imunologi pada zalir peritoneal antara lain makrofag fagosit, monosit sel NK, limsosit Tc, sel B, mediator inflamasi seperti komplemen dan sitokin, dan sel-sel perusak sel endometriosis yang memungkinkan terjadinya perlekatan, migrasi dan angiogenesis. Sesuai dengan teori Meyer yang disebutkan bahwa endometriosis terjadi akibat rangsangan pada sel-sel epitel selom yang terjadi masih bersifat pluripoten yang berdiferensiasi tinggi sehingga terbentuk jaringan endometriosis. Adapun bentuk rangsangan yang terjadi pada endometriosis peritoneal adalah terjadinya reaksi inflamasi yang terus menerus terjadi akibat adanya regurgitasi darah haid yang terjadi pada 80-90 % wanita normal dengan tuba paten. Kejadian ini akan berulang secara siklik setiap bulannya. Darah haid tersebut terdiri dari cairan ekstraselular, darah, jaringan endometrium yang lepas yang mengandung sel-sel endometrium baik yang mati maupun yang masih hidup (viable). Regurgitasi ini terjadi akibat kontraksi uterus yang ritmik atas pengaruh prostaglandin F2 pada saat haid dan terjadi pula hipotoni relatif dari sambungan uterotuba (uterotubal junction). Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya sel-sel endometrium dalam cairan peritoneal mencapai 90 % pada wanita normal 25,26 . Jumlah darah haid yang terkumpul berbeda-beda dari satu individu dengan individu lain, demikian pula dengan lamanya paparan regurgitasi yang terjadi 12 . Crainer menghubungkan periode siklik yang cepat dan jumlah darah yang banyak merupakan salah satu risiko yang memperberat keadaan tersebut27. Dari analisis biokimiawi sel-sel endometrium yang berada pada debris darah haid ternyata mengandung PGF2α dan pengaruh hormon seks steroid terhadap sel ini menunjukkan kemampuan mitosis yang lebih tinggi di banding sel endometrium27. Setelah terjadinya regurgitasi tersebut, debris haid yang masuk ke rongga peritoneum mengandung sel darah, jaringan-jaringan yang mati dan sel-sel endometrium yang mati maupun yang masih hidup. Ini semua dibersihkan oleh satu sistem pembersih dan penghancuran sebagai respon dari rongga peritoneum. Sistem ini disebut sebagai sistem pengumpulan dan pembuangan sampah haid (Garbage Collection and Disposal System)28. Sistem pembersih ini mempunyai kemampuan terbatas baik kuantitas maupun kualitas dari sampah haid yang ada atau biasanya disebut sebagai buang yang tidak mencukupi (disposal insufficien)28. Sistem ini berlangsung berulang-ulang sesuai siklik haid yang terjadi, oleh sebab itu faktor imunitas berperan sangat penting29. diperankan oleh sistem imun humoral atau selular. SPPSH atau GCDS ini Pada sistem SPPSH yang dimediakan oleh imunitas selular dilakukan oleh sel limfosit T baik itu T cytoxic, T helper, T suppresor, monosit dan makrofag pada sel NK dan sel K. Makrofag Makrofag merupakan tipe sel yang paling banyak ditemukan pada zalir peritoneal dan memegang peranan dalam patogenesis endometriosis. Pada pasien endometriosis dengan infertilitas didapatkan makrofag aktif dan sekresi produksi makrofag seperti enzim proteolitik, sitokin dan faktor pertumbuhan (growth factor) lebih banyak dibandingkan dengan wanita tanpa endometriosis30. Adapun makrofag penghuni (resident) peritoneum ini mempunyai aktivitas31 : 1. Memproses antigen dan mempresentasikan kepada limfosit. 2. Memproduksi IL-1 dan mengaktivasi limfosit. 3. Memproduksi sitokin dan mengaktivasi respon makrofag-makrofag. 4. Menstimulasi produksi promonosit dan monosit dan mengaktivasi makrofag pada rongga peritoneum. 5. Memproduksi TNF, prostaglandin dan faktor-faktor komplemen. 6. Memfagositosis sel Target dan mengaktifasi sitotoksik. 7. Perusakan jaringan. 8. Pembentukan perlekatan dan penyelamatan jaringan. 9. Perbaikan jaringan (fibroblast stimulating factor, fibronectin, elastase, kolagenase). Pada cairan peritoneal penderita endometriosis didapatkan banyak mengandung makrofag. Makrofag ini kemudian memproduksi hormon pertumbuhan (growth hormon). Growth hormon tersebut berhubungan dengan proses susukan pada endometriosis dan memelihara pertumbuhan endometriosis tersebut. Adapun growth hormon tersebut antara lain : 1. Platelet derived growth factor. Hormon ini bertanggung jawab atas terjadinya inflamasi dan proses mitogen untuk fibroblas dan sel angiogenik. 2. Transforming growth factor. Faktor pertumbuhan ini mempunyai aktivitas sebagai mitogen pada sel endometriosis yang berperan dalam inflamasi dan memelihara kehidupan endometriosis. 3. Transforming growth factor α (TGF -α) Hormon ini mengikat reseptor EGF, menstimulasi proliferasi pada sel-sel stroma. Hormon ini juga menginduksi terjadinya endometriosis, bersifat menginduksi terjadinya fibrosis, proses angiogenesis, juga dapat menghambat fungsi limfosit T, limfosit B dan NK. 4. Epidermal growth factor (EGF) EGF ini menginduksi proliferasi dari sel endometrium. 5. Sel U 937 Sel dengan aktifitas mitogen untuk fibroblas dan sel otot-otot polos. 6. Vaskular endothelial growth factor. Merupakan glikoprotein yang mempromosikan sel endometrium tumbuh pada invivo dan menginduksi terjadinya angiogenesis. Faktor-faktor tersebut juga besifat kemotatik dan mengumpulkan sel-sel inflamasi. Salah satu yang diproduksi oleh makrofag peritoneal adalah fibronektin yang mempunyai kemampuan sebagai pelekat, fibronektin ini berupa protein molekul besar. Setelah terjadi migrasi dari jaringan endometriosis ini kemudian makrofag tersebut memberikan reaksi perbaikan jaringan dengan terbentuknya jaringan parut dengan bantuan proses kolagenase, tetapi lesi-lesi dalam keadaan ini dapat aktif kembali bila terdapat penurunan imunitas dari pejamunya. Sel B peritoneal dan imunoglobulin Sejak 10 tahun yang lalu telah diperkirakan pasien-pasien dengan endometriosis mempunyai autoantibodi dan IgG yang utama. Kosentrasi autoantibodi ini berbanding terbalik dengan luasnya penyakit. Pada pasien endometirosis dapat kita dapatkan antibodi antiendometrial yang titernya berkolerasi dengan derajat beratnya penyakit. Gleicher dkk menyatakan bahwa sindroma autoimun ini disebabkan oleh sel B poliklonal teraktifkan. Pada analisis immunophenityping didapatkan sel mononuklear di zalir peritoneal tetapi tidak memperhatikan perubahan kuantitatif pada populasi sel B. Proporsi sel B pada zalir peritoneal tidak berhubungan dengan beratnya endometriosis 31. Sel Natural Killer (NK) Oosterlynck dkk melaporkan tidak efektifnya aktivitas sel NK pada pasien endometriosis menyebabkan gangguan pembersihan debris darah haid dan jaringan endometriosis32. Hirata dkk berpendapat terdapat faktor imunosupresi yang dihasilkan oleh jaringan endometriosis yang menyebabkan penurunan aktifitas sel NK. Weed dkk, menemukan tidak terdapat cacat secara kuantitatif dari penurunan aktifitas NK pada zalir peritoneal atau pada darah tepi. Bahkan Hill dkk19 melaporkan populasi sel NK peritoneal meningkat pada endometriosis. Fungsi sel NK kemungkinan diatur oleh sekret dari makrofag dan limfosit T. Sel T Karena sel T terlibat dalam sistem imun untuk menolak transplantasi homologous, terdapat beberapa perubahan fungsi sel T terjadi pada wanita dengan endometriosis. Perubahan tersebut bukan karena jumlah yang menurun melainkan fungsinya berkurang. Beberapa studi menyatakan rasio Th/Ts (CD4/CD8) meningkat pada darah perifer dan zalir peritoneal pada penderita endometriosis. Sel T dapat mempengaruhi sel B, makrofag-makrofag, sel NK dan sel T sendiri. Pada endometriosis terjadi penurunan CD 25 pada zalir peritoneal dan darah perifer dan penuruanan CD 69. Penurunan aktivitas sel T ini berhubungan dengan penurunan produksi IL-2. Di bawah pengaruh makrofag melalui sitokin, bagian dari sel T (Th 1 dan Th 2) dapat berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel yang aktif, tetapi adanya pengaruh dari IL-10 yang banyak terjadi penekanan pada Th 1. SEL PERITONEAL PERUBAHAN RUJUKAN Meningkat Halme38 Tidak berubah Oosterlynck39 Sel B rosettes Meningkat Badawy40 Sel B (CD22/CD19) Tidak berubah Wu MY41 Meningkat Badawy40 Tidak berubah Olive42 Ig G, Ig A, Ig M Menurun Cofino E43 Sel T Meningkat Badawy40 Sel T rosettes Meningkat Khorram44 Sel T (CD3) Tidak berubah Oosterlynck39 CD 25 CD3 Menurun Wy MY41 Sel T proliferasi Menurun Ho HN45 CTL Menurun Stelle RW46 CD4/CD8 Meningkat Badawy40 Menurun Oqsterlynck39 Tidak berubah Wu MY41 Makrofag teraktifkan Sel B Tabel 2. Perubahan makrofag, sel B dan sel T pada wanita dengan endometriosis Dikutip dari Ho Hong33 Sitokin Pada para penderita endometriosis didapatkan pula perubahan sitokin pada zalir 32 peritonealnya . Seperti diketahui sitokin tersebut disekresi oleh makrofag. Adapun macam-macam sitokin tersebut antara lain dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Sitokin Fungsinya Interleukin-1 Mengaktivasi sel T, menginduksi demam, meningkatkan (IL-1) pertumbuhan, merangsang produksi limfokin diantaranya IL-2, B cell growth factor, IFNy dan faktor kemotaktik Interleukin-2 T cell growth factro (TCGF), mengaktivasi sel NK (IL-2) sitotoksik dan sel Ts Interleukin-6 Merangsang produksi IgM dalam sel B (IL-6) Interleukin-10 Menghambat produksi sitokin dan pertumbuhan (IL-10) mastosit tumor meningkatkan ekspresi reseptor terhadap IL-2, IFNy dari Necrosis sel T. menjadi sitotoksin langsung pada sel tumor Factor-α tertentu, merangsang tidur, demam (TNF-α) Interferony Meningkatkan MHC kelas II dari makrofag, meningkatkan (INFy) produksi IL-1 atas pengaruh endotoksin TGFβ Kemoreakton makrofag, menghambat sel T, sel B dan sel NK Tabel 3. Sitokin dan fungsinya. Dikutip dari Petrono1 Macam-macam sitokin yang mengalami perubahan pada penderita endometriosis dapat dilihat pada tabel berikut ini : Sitokin Kadar IL-1 Meningkat IL-5 Meningkat IL-6 Meningkat IL-10 Meningkat Meningkat TGF β Menurun IL-2 Menurun INFy Meningkat TNF α Tabel 4. Kadar sitokin pada wanita dengan endometriosis Dikutip-dari-Bartosik19 Dari fungsi makrofag penghuni (resident) sebagai pengumpulan dan penyaluran kotoran debris dari darah haid, makrofag tersebut memproses antigen dan mempresentasikan kepada limfosit. Selain itu makrofag memproduksi sitokin berupa IL-1 yang mengaktivasi dan meningkatkan proliferasi limfosit. IL-1 secara umum terjadi akibat adanya inflasi, IL-1 juga terlibat dalam sintesa prostaglandin sintesa protein dan memainkan peranan dalam fungsi imunitas. IL-1 aktif pada makrofag. IL-1 juga mengaktivasi sel T dalam memproduksi IL-2 dan ekspresi dari IL-2 reseptor. Pada studi lain subpopulasi limfosit CD25CD3 ditekan pada pasien endometriosis, sehingga diduga bahwa peningkatan IL-1, IL-6 dan TNF-α menghasilkan reaksi inflasi pada jaringan endometrium ektopik pada rongga peritoneum dan mengkontribusi progresivitas dari lesi endometrium.31 Makrofag terlibat pada fagositosis dan produksi sekresi pada reaksi inflasi. Makrofag terlibat pada inisiasi dari respon inflamasi sebagai antigen keberadaan sel dan pada fase aktif sebagai tumorisida dan mikrobisida sel. Dibawah stimulasi, residen makrofag peritoneal memproduksi faktor-faktor yang menstimulasi proliferasi dari monosit pada susunan darah. Halme dkk menemukan peningkatan aktivitas makrofag peritoneum pada wanita infertil dengan endometriosis ringan. Enzim proteolik, lisosim, Y interferon, interleukin 1dan 2, tumor necrosis factor (TNF) dan growth factor adalah produk dari aktifitas makrofag.2,31,33 Menurut Dunselman dkk memperlihatkan makrofag yang aktif meningkat secara in vivo, akan memfagositosis sel darah merah tetapi kerjanya tidak efektif. Steel dkk menemukan penurunan sel T sitotoksik sedangkan Oosterlynck dkk melaporkan aktifitas sel Nk yang tidak efektif pada pasien edometriosis dan didapatkan penurunan imunitas sellular.34. Kadar kemotaktik makrofag teraktifkan yang tinggi dan faktor-faktor yang berperan dalam pengambilan dan pengaktifan makrofag, ditemukan pada cairan peritoneum dikontribusi oleh patogenesis endometrium melalui sekresi sitokin dan growth factor. Akoum, dkk mendemontrasikan fibrinoid dan sel epitel dari endometrium ektopik dapat mensekresi kemotaktik spesifik dan faktor aktifitas yaitu monosit MPC-1 (Monocyte Chemotactic Protein-1)34, setelah menstimulasi dengan IL-1β dan TNFα. Peningkatan IL-1β dan TNFα pada cairan peritoneum pasien dengan endometriosis kemungkinan dihasilkan dari sekresi jaringan endometrium yang mampu memproduksi aktifitas atau faktor kemotaktik untuk marofag peritoneum. IL-6 dan INFy yang dikenal mengatur respon imun. IL-6 mempermudah proliferasi dari sel dan INFY menghambat proliferasi pada epitel. Pada penderita endometriosis didapatkan IL6 yang meningkat dan IFNY yang rendah. Pada tahun 1991, Oosterlynck dkk32 melaporkan kerusakan aktifitas sel NK, pada pasien-pasien dengan endometriosis, juga terjadi penurunan imunitas selular. Temuan ini dapat memberi kesan bahwa pada pasien dengan endometriosis, makrofag tidak mempunyai kapasitas yang cukup untuk membersihkan rongga pelvik dari debris regurgitasi. Rana dkk melaporkan stimulasi pada in vitro meningkatkan secara bermakna produksi makrofag seperti :tumor Necrosis factro-α (TNF-α), IL-8 dan IL-10 pada cairan peritoneum pasien dengan endometriosis29 TNF-α dan IL-8 adalah proinflamator sitokin dan terlibat pada proses angiogenesis. Lebih lanjut TNF-α dapat memfasilitasi proses perlekatan dari sel-sel stroma pada mesotel secara in vitro. Penurunan konsentrasi IFNY merupakan sebab atau hasil dari supresi sel NK. Pada studi terakhir diperlihatkan bahwa terdapat peningkatan ekspresi aktivitas dari sel T pada endometriosis dan menunjukkan bahwa sitokin mengaktivasi sel T dan terlibat dalam pengaturan proses selular dari jaringan endometriosis. Sitokin ini memodulasi jaringan endometrium dan faktor imunosupresi juga terlibat pada perkembangan dari endometriosis ini. Pada cairan peritoneal pasien endometriosis terdapat peningkatan sitokin dan sitokin tersebut mempengaruhi imunitas selular dan mengatur regulasi proliferasi sel endomentriosis pada rongga tubuh dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 7. Skema interaksi sel-sel imun dan jaringan endometriosis pada rongga tubuh31 Dikutip dari Ho Hong31 Sesuai aturan pada trauma atau inflamasi Van der Linder dkk melakukan kultur dari sel-sel endometriosis pada membran amnion. Perlekatan pada sel-sel endometrium pada permukaan epitel belum pernah didapatkan ketika epitel masih utuh. Pada penelitian ini didapatkan bahwa pada epitel yang utuh mekanisme pertahanan merupakan hal yang penting dalam mencegah perlekatan dari fragmen endometrium pada peritoneum31. V. RINGKASAN 1. Patogenesis endometriosis dapat diterangkan dengan teori metaplasia. 2. Adanya gangguan sistem imun merupakan salah satu dasar terjadinya endometriosis. 3. Pada penderita endometriosis terjadi penekanan aktivitas sel NK dan limfosit T. 4. Endometriosis peritoneal dengan ragam tampilannya berbeda-beda sesuai tahap evolusinya. 5. Lesi merah merupakan lesi yang teraktif dan paling banyak mengandung pembuluh darah. 6. Penggunaan istilah kekambuhan pada penyakit ini kurang tepat mengingat penyakit ini didasari oleh penyakit autoimun. VI. RUJUKAN 1. Patrono C. Arachdoic acid metabolin in the ovary: biochemistry, metology and physiologi. In Serra B. (ed). Comprehensive Endocronology: The ovary. New York: Raven Press, 1983:45-56. 2. Nisolle M, Donnez J. Peritoneal endometriosis, ovarian endometriosis and adenomyotic nodules of rectovaginal septum are three different entities. Fertil Steril 1997; 68: 585-96 3. Nisolle. M. et.al. Histogenesis of peritoneal endometriosis; in: Endometriosis advanced management and surgical techniques. New York. Springer-Verlag. 1995: 19-25 4. Baziad A, dkk. Endometriosis. Dalam endokrinologi. KSERI. Jakarta . 1993. 107-24 5. Evers J. L. H. Do all women have endometriosis? Reflection on pathogenesis. In: Endometriosis today advances in reseach and practice. England. The Parthenon Publishing Group : 1997; 14-20 6. Candiani G, et. Al. Recurent endometriosis. In : Endometriosis advanced management and surgical techniques. New York. Springer-Verlag. 1994: 159-71 7. Wheeler James M, Malinak L.R. Recurrent endometriosis: incidence, management and prognosis. Am. J. Obset. Gynecol 1983; 146-52 8. Chandra A, K Yanto, Jacoeb T.Z. Rekurensi endometriosis pasca terapi operatif dan hormonal. Bagian Obstetri dan Ginekologi KFUI/RSCM. 1995 9. Martin DC, et.al. Laparoscopic appearances of peritoneal endometriosis. Fertil Steril. 1989; 51;63 10. Berger G. S. Epidemiology of endometriosis. In: Endometriosis advanced management and surgical techniques. New York. Springer-Verlag. 1994. 3-7 11. Baziad A, Affandi B. Paduan penanganan endometriosis. BP FKUI. Jakarta 1997 12. Hooghe T M, Hill Joseph A. Endometriosis. In; Novak’s Gynecology. 12 th ed. Williams & Wilkins. Baltimore, Maryland. 1996. 887-914 13. Kitchin IH. J.D, Nunley W.C. Endometriosis. Clinical Gynecology. 1998; 20; 1-28 14. Harada T, et al. Inscreased interleukin-6 levels in pertoneal fluid of infertile patients with active endometriosis. Am J Obstet Gynecol 1997; 176; 593-7 15. Weed JC, Arquemborg PC. Endometriosis: Can it produce an autoimmune response resulting in infertility? Clin Obstet Gynecol 1980;23; 885-93 16. Jacoeb T.Z, Faktor imunneondokrinologis dan seluler lingkungan mikro zalir pertioneal yang berperan pada infertilitas idiopatik wanita. Disertai. FKUI. Jakarta 1990 17. Rier S E, et al. Endometriosis in rhesus monkeys following chronic exposure to 2,3,7,8tetrachlorodibenzo-dioxin. Fundamental and Applied Toxicology 21. 1993: 433-41 18. Hill. J.A, et al. Characterization of leukocyte subpopulations in the peritoneal fluid of women with endometriosis. Fertil Steril 1988; 50:216-222 19. Bartosik D. Immunologic aspects of endometriosis. Seminars in reproductive Endocrinology 1985: 299-337 20. Mathur, et al. Target antigen(s) in endometrial autoimmunity of endometriosis. Autoimmunity 1995; 20; 211-22 21. Shaw R.W. Endometriosis: London. Blackwell Science Ltd. 1995. 18 22. Brosens Ivo, et al. Pathogenesis of endometriosis. In: Endometriosis advanced management and surgical techniques. New York. Springer Verlag. 1995; 9-25 23. Evers J.L.H. The immune system in endometriosis. Introduction. In: endometriosis today advances in research and practice. England. The Parthenon Publising Group. 1993; 223-33 24. D’Hooge T M, et al. The effects of immunosuppression on development and progression endometriosis in baboons (Papio anubis). Fertil Steril. 1995; 64: 1972-8 25. Harada T, et al. Increased interleukin-6 levels in peritoneal fluid of infertile patients with active endometriosis. Am J Obstet Gynecol 1997;176;593-7 26. Ho Hong N, et al. Decrease in interferon gamma production and impairment of T lymphocyte proliferation in peritoneal fluid of women with endometriosis. Am J Obstet Gynecol 1996; 175: 126-41 27. Crainer D A. Incedence and causes of pelvic adhesions. In: infertility and reproductive medicine. Clinic of North America. 1994; 5: 391-404 28. Vernon M.W. Biochemical activity: Differential responsivencess of endometriotic implants. In: The current status of endometriosis research and management. New York. Pathenon Publising Group. 1993; 185-206 29. Metzger D.A. Cyclic changes in endometriosis implant. In: The current status of endometriosis reasearch and management. New York. Parthenon Publising Group. 1993; 89-108 30. Punnonen J, et al. Increased level of interleukin-6 and interleukin-10 in the peritoneal fluid of patients with endometriosis. Am J Obstet Gynecol 1996; 174: 152-6 31. Ho Hong N, et al. Peritoneal cellular immunity and endometriosis. AJRI. 1997; 38; 400-12 32. Rana N, et al. Basal and stimulated secretion of cytokines by peritoneal macrofages in women with endometriosis. Fertil Steril. 1996: 925-30 33. Ho Hong N, et al. Decrease in interferon gamma production and impairment of T lymphocyte proliferation in peritoneal fluid of woment with endometriosis. Am J Obstet Gynecol. 1996; 175: 126-41