BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Kekerasan terhadap perempuan sudah lama berlangsung di dalam masyarakat meski secara kuantitas jumlahnya tidak pernah diketahui secara pasti karena tidak semua kekerasan terhadap perempuan dilaporkan, menjadikan isu kekerasan terhadap perempuan sebagai sebuah fenomena gunung es yang hanya terlihat puncaknya saja di permukaan namun menyimpan jumlah kasus yang tidak dapat ditentukan besarnya di bawah permukaan. Salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan seksual yang juga memiliki pola gunung es yang sama dengan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan lainnya seperti kekerasan fisik dan juga kekerasan psikis. Pemberian dukungan sosial sangat dibutuhkan bagi penyintas1 kekerasan seksual, terlebih bagi penyintas kekerasan seksual yang karena kasus kekerasan seksual yang dialaminya kemudian menjadi tidak bisa menjalankan fungsi-fungsi sosialnya. Dukungan sosial yang diberikan kepada penyintas kekerasan seksual akan mendorong mereka untuk bangkit kembali, pulih seperti sedia kala dan mampu menjalankan fungsi-fungsi sosialnya untuk mencapai kesejahteraan. Lentera Indonesia adalah organisasi berbasis komunitas yang peduli dengan isuisu kekerasan seksual, berpendapat bahwa dukungan sosial dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pendampingan terhadap penyintas kekerasan seksual dalam sebuah kelompok dukungan dan juga peningkatan kesadaran bagi masyarakat. 1 Diambil dari kata sintas yang pada KBBI Daring (http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php) memiliki arti terus bertahan hidup atau mampu mempertahankan keberadaannya. Penyintas merupakan istilah tidak baku yang merujuk pada korban yang selamat dalam konteks bencana atau orang yang selamat dari suatu peristiwa yang mungkin dapat membuat nyawa melayang atau sangat berbahaya. Kata ini pertama kali digunakan pada tahun 2005 di kalangan pegiat LSM. 7 Uraian yang telah dijelaskan tersebut membuat ‘Dukungan Sosial Lentera Indonesia Bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual Melalui Support Group dan Pemanmfaatan Twitter’ menjadi sebuah judul yang menarik untuk diangkat sebagai sebuah penelitian untuk mengetahui lebih dalam mengenai bentuk dukungan sosial yang dapat diberikan oleh sebuah organisasi berbasis komunitas kepada penyintas kekerasan seksual serta bagaimana dukungan sosial tersebut dapat disampaikan juga diterima. 1. Relevansi dengan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan merupakan studi yang mempelajari pembangunan dengan menekankan pada bagaiaman tujual sosial itu tercapai dalam pembangunan dengan tiga fokus konsentrasi yaitu community empowerment, social policy serta corporation social responsibility (CSR). Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan yang menjadikan masyarakat atau manusia sebagai objek materialnya dapat dibedakan dengan keilmuan sosial lainnya dengan melihat objek formalnya di mana Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan memandang masyarakat atau manusia dari kekurangan dan kebutuhan hidup (needs) serta agar masyarakat atau manusia menjdi sosial sehingga dengan bermasyarakat dapat memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian, penelitian ini memiliki relevansi dengan kajian jurusan di mana dukungan sosial merupakan aspek sosial yang dibutuhkan oleh manusia, khususnya yang tengah mengalami suatu masalah, agar dapat berfungsi dengan benar dalam mencapai kesejahteraan (social welfare). 8 2. Aktualitas Kekerasan terhadap perempuan yang terus terjadi dari tahun ke tahun dengan jumlah laporan kasus yang meningkat membuat pengangkatan tema kekerasan terhadap perempuan sebagai tema penelitian masih relevan dengan faktor aktualitas yang harus dipenuhi dalam sebuah penelitian. Sepanjang tahun 2013 saja, menurut Lembar Fakta Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2013 yang dipublikasikan oleh Komnas Perempuan pada tanggal 18 Maret 2014, terdapat 279.760 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan, di mana sebanyak 263.285 kasus di antaranya terjadi di ranah personal.2 Dari kasus kekerasan yang terjadi di ranah personal, kekerasan seksual menduduki peringkat ketiga dengan jumlah kasus 2.995 kasus, meningkat 9% bila dibandingkan dengan temuan yang didapatkan Komnas Perempuan pada tahun 2012, menempatkan tema kekerasan seksual masih relevan bila dipertimbangkan dari segi aktualitas. 3. Orisinalitas Tema kekerasan terhadap perempuan sudah cukup sering diangkat sebagai tema penelitian. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Astrid Astra Dewi pada tahun 2012 dengan penelitiannya yang berjudul Jaminan Sosial Bagi Perempuan Korban Tindak Kekerasan. Penelitian yang dilakukan oleh Astrid Astra Dewi tersebut memiliki kemiripan tema dengan mengangkat perempuan korban tindak kekerasan sebagai objek yang didampingi oleh sebuah Women Crisis Center di Yogyakarta, Rifka Annisa, dalam mendapatkan jaminan sosial. Dengan kemiripan tema, penelitian yang dilakukan oleh Astrid Astra Dewi dapat dibedakan dengan penilitian yang berjudul Dukungan Sosial Lentera Indonesia Bagi Perempuan Korban Kekerasan 2 http://www.komnasperempuan.or.id/wp‐content/uploads/2014/03/Lembar‐Fakta‐Catatan‐Tahunan‐2013.pdf 9 Seksual Melalui Support Group dan Pemanfaatan Twitter di mana penelitian tersebut mengkhususkan pada perempuan korban tindak kekerasan seksual yang mendapatkan dukungan sosial dari sebuah organisasi berbasis komunitas di Jakarta, Lentera Indonesia. Dengan demikian, dari sisi orisinalitas, penelitian dengan judul “Dukungan Sosial Lentera Indonesia Bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual Melalui Support Group dan Pemanfaatan Twitter” belum pernah diangkat sebelumnya. B. Latar Belakang Berita mengenai kasus kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan akhir-akhir ini begitu marak di berbagai media. Kasus-kasus seperti pemerkosaan, pencabulan, pelecehan seksual, hingga kasus-kasus kekerasan seksual yang diikuti dengan kekerasan fisik bahkan hingga pembunuhan begitu mengejutkan berbagai kalangan. Agustus 2012, di Kecamatan Donorojo, Pacitan, terjadi kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang terjadi di ranah personal—kasus kekerasan seksual yang terjadi atau dilakukan oleh anggota keluarga korban sendiri—dimana seorang ayah mencoba mencabuli anak tirinya yang masih berusia 13 tahun. 3 Agustus 2011, kasus pemerkosaan terhadap Livia P. V. yang dilakukan di dalam angkot (sarana transportasi umum) membuat banyak kalangan merasa prihatin. Livia harus kehilangan nyawanya setelah diperkosa bergiliran oleh empat orang sebelum mayatnya dibuang ke parit sedalam 2 meter di Cisauk. 4 Akhir 2013, penulis puisi dan esai, Sithok Srengenge dilaporkan melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswi Universitas Indonesia hingga hamil dan 3 4 http://surabaya.detik.com/read/2012/08/25/112057/1998683/475/ http://megapolitan.kompas.com/read/2011/08/26/20210087/Livia.Tewas.dan.Diperkosa.dalam.Angkot 10 melahirkan Januari 2014 lalu, hingga pertengahan tahun 2014 kasusnya masih bergulir dan tengah berada dalam penanganan polisi. 5 Banyaknya kasus serupa yang terjadi beberapa tahun terakhir ini membuat banyak pihak bertanya-tanya, apakah sedemikian merosotnya moral masyarakat hingga begitu banyak terjadi kasus-kasus serupa, ataukah memang kasus-kasus kekerasan seksual tersebut hanya bersifat kasuistis semata—fenomena yang bisa menimpa siapapun, kapanpun, dan dimanapun—hingga tidak perlu mendapatkan perhatian khusus? Kejelasan nasib para perempuan korban kekerasan seksual juga tidak mudah dijabarkan dengan adanya stigma dari masyarakat tentang statusnya sebagai korban kekerasan seksual juga luka yang harus dibawanya sepanjang hidup pasca peristiwa. Ketidakpedulian terhadap kasus-kasus kekerasan seksual—terlebih yang tidak pernah dialami secara langsung—acap kali membuat kasus-kasus kekerasan seksual tersebut dianggap sepele, bahkan dijadikan bahan bercandaan seperti yang dilakukan oleh Olga Syahputra yang menyinggung korban pemerkosaan ketika mengisi acara Dekade, HUT Trans TV Ke-10 pada Desember 2011 lalu. 6 Tindakan menyepelekan perempuan korban kekerasan seksual seperti yang dilakukan oleh Olga Syahputra, tidak hanya menunjukkan rendahnya kepedulian yang diberikan oleh masyarakat terhadap kasus-kasus serupa, tetapi secara langsung juga membuat perempuan korban kekerasan seksual semakin susah kembali pada kehidupan lamanya sebelum peristiwa kekerasan seksual itu terjadi. Padahal, menurut Ketua Sub Komisi Pemantauan, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Arimbi Haroepoetri, sepanjang tahun 2010 saja terdapat sekitar 101.103 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah personal saja. Paling banyak (sebanyak 98.557 kasus) dilaporkan di Kantor Urusan 5 6 http://www.thejakartapost.com/news/2014/03/06/poet‐sitok‐grilled‐police‐ui‐student‐case.html http://www.suarapembaruan.com/hiburan/bercanda‐kelewat‐batas‐olga‐syahputra‐dilaporkan‐ke‐kpi/14943 11 Agama. 7 Angka tersebut belum mencakup kekerasan seksual yang menimpa perempuan di ranah publik—kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang di luar lingkup keluarga korban—dan juga belum termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan yang tidak dilaporkan. Dengan banyaknya kasus yang terjadi, kekerasan seksual terhadap perempuan sudah bukan sesuatu yang harus disepelekan lebih jauh dan membutuhkan penanganan, terlebih bagi perempuan korban kekerasan seksual itu sendiri supaya dapat melanjutkan hidupnya kembali dengan berbagai cara termasuk di dalamnya adalah mengikuti support group (ntuk selanjutkan akan disebut sebagai kelompok dukungan) bagi para perempuan korban kekerasan seksual. Hingga tahun 2011, terdapat lebih dari 384 lembaga pelayanan terhadap korban kekerasan seksual baik yang dikelola oleh pemerintah (salah satu di antaranya adalah Komnas Perempuan) maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang dikelola baik secara individu maupun komunitas yang mengawali kiprahnya dengan melakukan studi-studi kasus maupun penelitian-penelitian terhadap korban kekerasan seksual.8 Salah satu lembaga swadaya masyarakat yang juga memberikan pelayanan terhadap korban kekerasan seksual, khususnya pada perempuan, adalah Lentera Indonesia yang berangkat dari social media (media yang didedikasikan untuk memfasilitasi interaksi sosial yang tidak sepenuhnya terfokus pada jurnalisme tetapi juga informasi personal seseorang) 9 twitter. Bentuk pelayanan yang diberikan oleh Lentera Indonesia adalah dengan membentuk kelompok dukungan bagi perempuan korban kekerasan seksual untuk meringankan beban psikologis sehingga para perempuan korban kekerasan seksual yang didampingi diharapkan bisa segera kembali menjalankan fungsi-fungsi sosialnya di masyarakat pasca peristiwa kekerasan seksual 7 http://wartapedia.com/nasional/statistic/2078-komnas-perempuan--kekerasan-istri-capai-101128-kasus.html http://komnasperempuan.or.id/publikasi/Indonesia/Catahu%202002‐ 2008/Siaran%20Pers%20Catatan%20Tahunan%20tahun%202010.pdf 9 Susan Currie Sivek memaparkan dalam jurnalnya yang diterbitkan secara online berjudul Social Media Under Social Control: Regulating Social Media and the Future of Socialization oleh SAGE Publication, 2010. 8 12 yang dialami selain dengan berusaha menumbuhkan kesadaran sosial masyarakat untuk tidak menyepelekean dan/atau menjadikan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan sebagai bahan candaan sehubungan hal tersebut dapat membantu para perempuan korban kekerasan seksual untuk lebih cepat pulih dari beban yang mereka terima pasca peristiwa kekerasan seksual yang menimpa. Berangkat dari media sosial twitter, Lentera Indonesia memiliki kelebihan tersendiri berkaitan dengan influence di sosial media mengingat pengaruh itu sendiri telah lama dipelajari dalam ranah sosiologi, komunikasi, marketing, dan ilmu politik untuk berbagai keperluan dimana influence memiliki peran penting dalam menunjukkan bagaimana transaksi-transaksi sosial bekerja maupun bagaimana mesyarakat berfungsi. 10 Dalam fungsinya sebagai lembaga yang memberikan pelayanan terhadap perempuan korban kekerasan seksual, influence yang dimiliki oleh Lentera Indonesia memiliki peran penting untuk mempengaruhi sebagian pengguna media sosial twitter untuk menumbuhkan kesadaran-kesadaran tertentu yang berkaitan dengan usahanya mengenai kekerasan seksual ini. Dengan influence yang dimilikinya di media sosial twitter, ditambah dengan adanya kelompok dukungan yang dilakukan secara tertutup (kelompok dukungan yang dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil yang keseluruhan anggotanya adalah perempuan korban kekerasan seksual sehingga bisa lebih mudah menjalani layanan pemulihan trauma paska mengalami kekerasan seksual), Lentera Indonesia berusaha memecah kesunyian dari para perempuan korban kekerasan seksual agar mereka mau menyuarakan keadaan mereka sehingga peristiwa-peristiwa kekerasan seksual yang memaksa para perempuan untuk tetap diam dan tidak memberikan perlawanan bagi pelakunya semakin berkurang. 11 10 Rogers 1962; Katz dan Lazarsfeld 1955 “Break the Silence, Break the Chain” merupakan salah satu program kerja Lentera Indonesia dalam memberikan kelompok dukungan terhadap perempuan korban kekerasan seksual 11 13 Kekerasan seksual bukanlah kejahatan terhadap kesusilaan semata, meskipun pandangan tersebut bahkan didukung oleh Negara melalui muatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan mengkategorikan kekerasan seksual sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan. Pengkategorian tersebut tidak hanya mengurangi derajat kekerasan seksual yang dilakukan tetapi juga menciptakan pandangan bahwa kekerasan seksual adalah persoalan moralitas semata sementara kekerasan seksual seutuhnya adalah persoalan kriminal yang mana pelakunya berhak diganjar dengan hukuman setimpal alih-alih dibiarkan dan hanya diberikan hukuman moral tanpa menjamin tidak akan terjadi kekerasan seksual secara berulang dan terusmenerus tanpa adanya kesadaran dari perempuan korban kekerasan seksual untuk melawan dan melaporkan.12 Bahkan setelah pelaku kekerasan seksual sudah dihukum sesuai dengan undangundang, masyarakat sering kali menyederhanakan kekerasan seksual tersebut sebagai sesuatu yang sudah terjadi tanpa memperhatikan bagaimana kondisi korban kekerasan seksual tersebut pasca peristiwa, terlebih perempuan sebagai korban kekerasan seksual dianggap lebih rentan karena ketimpangan relasi yang menempatkan perempuan sebagai marka atau penanda kesucian dan moralitas dari masyarakatnya sehingga masyarakat justru membungkam perempuan korban kekerasan seksual dan memungkinkan para perempuan korban kekerasan seksual tersebut tidak bisa sepenuhnya melakukan fungsi-fungsi sosialnya. 13 Kesadaran terhadap kekerasan seksual perlu ditingkatkan mengingat siapapun berpotensi mengalami kekerasan seksual tersebut dalam bentuk apapun. Dewasa ini, dengan rendahnya kesadaran sosial yang dimiliki, masyarakat cenderung menganggap kekerasan seksual sebagai sesuatu yang apa adanya dan tidak melihat kekerasa seksual sebagai sesuatu yang kasuistis. Perempuan cenderung mudah menjadi korban kekerasan seksual karena baik pihak laki-laki 11 & 12 komnasperempuan.or.id/wp=content/uploads/2011/11/Kekerasan‐Seksual.pdf 14 maupun pihak perempuan sama-sama memandang bahwa perempuan berada pada posisi di bawah atau terpinggirkan. Anggapan bahwa perempuan lebih berpotensi menjadi korban kekerasan seksual karena sejak awal pembentukan kultur, perempuan dianggap sebagai pihak yang lebih banyak berperan di bidang domestik. Padahal, dewasa ini kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan-perempuan yang dianggap terbelakang atau kurang terpelajar semata. Kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja dan dapat menimpa siapa saja, termasuk perempuan yang secara sosial bisa digolongkan sebagai kaum terpelajar. Kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang menimpa Livia Pavita Soelistio, seorang mahasiswi Universitas Bina Nusantara, merupakan contoh kasus bahwa kekerasan seksual tidak hanya menimpa perempuan yang kurang terpelajar saja tetapi juga menimpa perempuan terpelajar. Untuk itulah Lentera Indonesia yang memilih berangkat dari media sosial memiliki tanggung jawab sosial untuk mencerdaskan perempuan pada umumnya, dan khususnya pada kaum perempuan yang sudah memiliki akses kepada media-media sosial untuk meminimalisasi adanya kasus-kasus serupa. Berbeda dengan perempuan pada umumnya yang menganggap kekerasan seksual (khususnya dalam ranah privat) sebagai sesuatu yang taken for granted14, perempuan korban kekerasan seksual yang maju secara intelektual cenderung menutupi kasuskasus kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya. Layanan yang diberikan Lentera Indonesia dalam kasus tersebut memiliki fungsi supaya para perempuan korban kekerasan seksual secara perlahan dapat menerima kasus kekerasan seksual yang menimpa dirinya dan dengan demikian diharapkan mereka dapat menyuarakan kekerasan seksual yang selama ini cenderung mereka sembunyikan untuk membantu memulihkan dirinya sendiri dengan anggapan bahwa 14 Bahwa perempuan adalah pihak yang bergantung sebagai laki‐laki dan dengan itu kekerasan seksual yang dilakukan oleh laki‐laki adalah sesuatu yang tidak terhindarkan. 15 menyuarakan kasus yang telah mereka alami tidak hanya memulihkan diri sendiri secara mental dan personal namun membantu pencegahan untuk terjadinya kasus-kasus sejenis.. 15 Dalam memberikan asistensi terhadap perempuan korban kekerasan seksual, Lentera Indonesia bukanlah satu-satunya lembaga yang bergerak di bidang tersebut. KOMNAS Perempuan yang dikelola oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang lain seperti Yayasan Pulih dan Rifka Anisa juga cukup gencar memberikan kampanye anti kekerasan berbasis gender,16 serta melakukan pendampingan-pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan seksual.17 Hampir semua lembaga (baik yang berada di bawah penanganan negara maupun yang dikelola secara swadaya oleh individu maupun organisasi) pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan seksual, bekerja dengan pendekatan community-based development. Namun, yang membuat Lentera Indonesia menarik untuk dikaji lebih jauh adalah metodenya yang berangkat terlebih dahulu dari media-media sosial seperti blog, facebook, dan terutama twitter. Berbeda dengan lembaga-lembaga lain yang baru membuat online presence di media sosial setelah memiliki kegiatan nyata, Lentera Indonesia seolah muncul sebagai antitesis dengan terlebih dahulu menjamah media-media sosial dan membentuk komunitasnya serta merencanakan masing-masing kegiatannya justru dari media sosial tersebut. Dengan metode tersebut, Lentera Indonesia memiliki kelebihan untuk menjangkau sasarannya, para perempuan korban kekerasan seksual yang sudah update dengan perkembangan teknologi atau mereka yang ada di twitter dengan gagasan bahwa mereka yang mengalami kekerasan seksual tidak hanya terbatas pada kaum perempuan yang belum mengenal teknologi sehingga mudah dibodohi tetapi bisa menimpa siapa saja termasuk perempuan yang sudah maju secara intelektual dan teknologi. 15 Bahwa kekerasan seksual juga bisa menimpa perempuan yang terpelajar dan bukan sesuatu yang harus ditutupi melainkan disuarakan hingga baik korban maupun pelaku kekerasan seksual dapat berkompromi dengan masing‐ masing kasus yang menimpa mereka. 16 http://www.pulih.or.id/berita.html?x=XPXl6yXV67UFhIWR1wRrH7lRYDbUUg%3D%3D 17 http://digilib.uin‐suka.ac.id/807/ 16 Meskipun demikian, Lentera Indonesia tetap tidak menutup mata terhadap perempuan korban kekerasan seksual yang berada di luar lingkup media sosial. Beberapa kegiatan kampanye anti-kekerasan seksual terhadap perempuan juga dilakukan oleh Lentera Indonesia di luar media sosial seperti dengan mengadakan workshop, talk show, maupun pelatihan bela diri terhadap perempuan untuk mengurangi resiko terjadinya kekerasan seksual. Dengan adanya programprogram tersebut di atas, Lentera Indonesia tidak hanya berkutat dengan membentuk kelompok dukungan terhadap perempuan korban kekerasan seksual yang menjadi fokusnya tetapi juga perempuan pada umumnya. C. Rumusan Masalah • Bagaimana pemberian dukungan sosial pada penyintas kekerasan seksual dengan melakukan kelompok dukungan serta pemanfaatan media sosial oleh Lentera Indonesia? D. Tujuan Penelitian Agar penelitian yang dilakukan keluar dari arahnya yang jelas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan-tujuan tertentu yang harus dipenuhi. Adapun tujuan yang dimaksud antara lain adalah: 1. Mengetahui bentuk dukungan sosial yang diberikan oleh Lentera Indonesia terhadap perempuan korban kekerasan seksual dengan pemanfaatan segala jenis media termasuk di dalamnya media sosial dalam ranah dunia maya pada umumnya, khususnya pada media sosial twitter. 17 2. Mengetahui bagaimana dukungan sosial yang diberikan oleh Lentera Indonesia dapat membantu penyintas kekerasan seksual yang telah mengikuti program yang diberikan oleh Lentera Indonesia. E. Tinjauan Pustaka 1. Perempuan Korban Kekerasan Seksual Memahami perempuan korban kekerasan seksual tentu tidak dapat terlepas dari pemaknaan terhadap kekerasan seksual itu sendiri. Sementara Mansour Fakih memaknai kekerasan (violence) sebagai serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang,18 John Galtung beranggapan bahwa terminologi kekerasan berasal dari bahasa latin vis vis yang berarti daya atau kekuatan serta lotus yang berarti membawa (dan secara harafiah keduanya dapat diartikan sebagai kekuatan untuk membawa).19 Lebih lanjut John Galtung menyatakan bahwa kekerasan adalah suatu kondisi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya.20 Ketika kedua definisi kekerasan tersebut dikaitkan dengan pemaknaan seksual menurut McCarthy maka kekerasan seksual dapat didefinisikan sebagai segala bentuk kontak seksual yang tidak diinginkan oleh salah seorang pasangan dan untuk memuaskan hasrat seksual seorang pasangan yang lain. Berbeda dengan kekerasan non-seksual yang merupakan tindakan pelaku yang tidak dikehendaki dan bersifat ofensif bagi korban, namun tidak disertai oleh adanya kehendak seksual,21 kekerasan seksual adalah tindakan ofensif terhadap seseorang yang juga diikuti dengan adanya kehendak seksual yang tidak dikehendaki. 18 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) Windhu Warsana, Kekuasaan dan Kekerasan menurut John Galtung, (Yogyakarta, 1992) 20 Noeke Sri Wardana, Persepsi Masyarakat Bengkulu Tentang Kejahatan. Thesis.UNDIP (Semarang, 1995) 21 Rosemarie Skaine, Power and Gender: Issues in Sexual Dominance and Harassment.(London: McFarland & Company Inc.) 19 18 Sementara itu, dalam pandangan PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa), tindak kekerasan terhadap perempuan harus diartikan meliputi kekerasan yang bersifat fisik, sesksual, dan psikologis. Kekerasan itu dapat terjadi: pertama, di dalam keluarga, seperti, pemukulan, penyalahgunaan secara seksual terhadap anak perempuan di dalam rumah tangga, perkosaan di dalam perkawinan, praktek tradisi yang membahayakan perempuan, kekerasan berupa eksploitasi seks. Kedua, di dalam masyarakat, termasuk perkosaan, pelecehan seksual, intimidasi di tempat kerja, di tempat pendidikan, dan di tempat lain, dan perdagangan perempuan (trafficking women); dan ketiga, memaksa untuk melacur dilakukan atau diperbolehkan oleh negara, di manapun terjadi.22 Merujuk pada definisi kekerasan seksual tersebut di atas, pemaknaan terhadap perempuan korban kekerasan seksual adalah setiap perempuan yang mengalami perilaku ofensif yang tidak dikehendakinya dari pihak kedua yang mengakibatkannya terluka baik secara fisik maupun integritas mental psikologisnya untuk memenuhi hasrat seksual pihak kedua sebagai pelaku, termasuk di dalamnya adalah tindakan-tindakan pemerkosaan, pencabulan maupun pelecehan seksual baik yang diikuti dengan kekerasan seksual baik secara fisik maupun verbal hingga tidak mampu merealisasikan potensinya secara jasmani dan mental aktualnya. Kekerasan—kekerasan pada umumnya dan kekerasan seksual pada khususnya—dapat terjadi karena adanya dua relasi yang tidak seimbang. Pihak yang kuat akan menjadi pelaku sementara pihak yang lemah akan muncul sebagai korbannya. Dalam hal ini, perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual karena adanya ketidakadilan gender (gender inequalities) yang merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-laki dan terutama perempuan menjadi korban dari sistem tersebut,23 yang seringkali dimanifestasikan dalam bentuk proses subordinasi, stereotipe, double-burden, serta 22 23 Fathul Jannah dkk. Kekerasan Terhadap Isteri. (Yogyakarta: LkiS, 2002). Mansour Fakih. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) 19 marginalisasi yang melemahkan kedudukan perempuan dalam tatanan masyarakat dan membuatnya rentan terhadap tindak-tindak kekerasan seksual. Bentuk-bentuk dari kekerasan seksual antara lain: ditatap penuh nafsu, disenyumi nakal, disiuli, diajak berbicara cabul, ditelepon seks, diraba bagian tubuh, dipaksa memegang bagian tubuh pelaku, dicuri cium/dipeluk, dipertontonkan alat kelamin, dipertontonkan foto/benda porno, diserang untuk diperkosa dan diperkosa.24 Di antara bentuk-bentuk kekerasan seksual tersebut, yang paling menyengsarakan bagi perempuan adalah perkosaan karena seorang perempuan—khususnya yang masih berada di bawah usia—yang menjadi korban pemerkosaan akan mengalami efek tertentu yang bisa juga dipakai sebagai ciri-ciri untuk mengidentifikasi perempuan yang telah menjadi korban kekerasan seksual sebagai berikut: a. Betrayal (pengkhianatan). Departemen Kehakiman Amerika Serikat, sampai akhir tahun 2006 menyebutkan bahwa di Amerika Serikat, 20% pelaku pemerkosa adalah orang tua korban sendiri, 26% dilakukan oleh orang terdekat korban, sementara 51% dilakukan oleh orang yang dikenal oleh korban. Pelaku pemerkosaan yang tidak berhubungan langsung dengan korban hanya sekitar 3% saja. Sementara itu, di Indonesia sendiri banyaknya kasus pemerkosaan yang dilaporkan didominasi oleh kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah personal. Dengan besarnya persentase pelaku kekerasan seksual yang berhubungan dekat dengan korban, tentu saja korban akan merasakan pengkhianatan dan bukan tidak mungkin rasa percaya yang tadinya diberikan oleh korban pada orang-orang terdekatnya akan dianggap sebagai sesuatu yang mengancam setelah terjadinya kasus kekerasan seksual yang menimpa mereka. 24 Anna Marie Wattie. “Kekerasan Terhadap Perempuan di Ruang Publik: Fakta, Penanganan dan Rekomendasi. (Yogyakarta: PPK dan Ford Foundation, 2002)” Kekerasan Seksual di Klaten; Persepsi Masyarakat.Laporan Riset.(Lembaga Kajian Untuk Transformasi Sosial. 2002) 20 b. Traumatic sexualization (trauma secara seksual). Perempuan yang mengalami kekerasan seksual—bahkan sampai dalam bentuk perkosaan, cenderung akan menolak berhubungan seksual karena ingatan yang tidak menyenangkan mengenai hubungan seksual yang diberikan oleh pelaku kekerasan seksual saat memaksakan hasrat seksualnya secara ofensif kepada korban menjadi semacam trauma secara seksual yang akan menghilangkan fungsi dan juga kesenangan seksual yang seharusnya dialami oleh korban ketika melakukan hubungan seksual. c. Powerlessness (perasaan tidak berdaya). Perempuan korban kekerasan seksual tidak akan mudah beraktivitas seperti semula setelah mengalami kekerasan seksual. Trauma yang didapat beserta perasaan terintimidasi yang tertanam ketika terjadi peristiwa kekerasan seksual, akan membuatnya merasa tidak berdaya dan ketakutan untuk melakukan sesuatu sehingga tidak bisa segera memenuhi fungsi sosialnya di dalam masyarakat. d. Stigmatization (pelabelan). Perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual secara tidak sadar akan melakukan self-stigma (pemberian label kepada dirinya sendiri) pasca-kejadian dengan merasa bahwa tubuhnya sudah tidak lagi sama dengan tubuh orang-orang di sekitarnya. Tidak jarang korban kekerasan seksual cenderung marah pada dirinya sendiri dengan ketidakberdayaannya sehingga menyebabkan dirinya harus mengalami peristiwa kekerasan seksual tersebut. Terlebih dengan adanya pelabelan yang diberikan juga oleh masyarakat terhadap dirinya, efek yang diberikan oleh kekerasan seksual tersebut akan terasa semakin besar. 21 2. Media Sosial Twitter Susan Currie Sivek memaparkan dalam jurnalnya yang berjudul Social Media Under Social Control bahwa social media bisa menjadi kekuatan yang signifikan dalam mengubah pola sosialisasi bagi jurnalis-jurnalis baru di masa depan. Media konvensional umumnya akan terkonsentrasi pada sisi jurnalisme semata, akan tetapi berbeda dengan hal tersebut, social media memfasilitasi tidak hanya interaksi sosial dalam internet yang terfokus pada jurnalisme saja tetapi juga memberi ruang pada informasi-informasi personal seseorang. Misalnya saja dalam jejering-jejaring sosial seperti Facebook dan MySpace, situs-situs layanan blog seperti WordPress dan Blogger, serta layanan micro-blogging seperti Twitter, begitu juga dengan situs layanan berbagi video dan foto layaknya YouTube dan Flickr.25 Situs-situs yang disebutkan di atas merupakan ragam bentuk media yang tergolong dalam media sosial yang dimaksud, di mana media-media tersebut dapat difungsikan sebagai tempat untuk bertemu, melakukan transaksi perdagangan, dan juga sebagai jaringan informasi tempat seseorang bisa mendapatkan informasi tertentu untuk kemudian menyebarkannya pada orang-orang di sekitarnya seperti layaknya media jurnalisme konvensional. Bagian yang membedakan antara media jurnalisme konvensional dengan media sosial adalah pada media sosial, seseorang dapat memfungsikan akun-akun jejaring sosial yang dimilikinya tidak sepenuhnya sebagai channel untuk menyalurkan informasi yang bersifat jurnalisme, tetapi juga dapat mencantumkan informasi-informasi personal dirinya termasuk juga informasi yang ada dalam ranah privat. Mudahnya seseorang mengakses informasi-informasi yang ada dalam sebuah media sosial, kemudian menyebarkan atau menggunakan informasi tersebut untuk melakukan interaksi 25 Susan Currie Sivek. Social Media Under Social Control: Regulating Social Media and the Future of Socialization. Research Paper.(SAGE Publication, 2010). 22 sosial baik dengan media konvensional maupun menggunakan channel-channel media sosial yang dimilikinya, menandakan bahwa media sosial sebagai jaringan informasi mampu mengatasi batasan-batasan yang selama ini ada pada komunikasi. Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media interaksi sosial dengan aksesbilitas yang tinggi ini sebagai sebuah kelompok aplikasi berbasis internet, dibangun di atas fondasi Web 2.0 yang memungkinkan adanya kreasi dan pertukaran konten di antara pengguna26. Dengan aksesibilitasnya yang tinggi dan mungkinnya seseorang melakukan kreasi dan pertukaran informasi dengan menggunakan media sosial, maka media sosial juga muncul sebagai media yang dapat digunakan untuk membentuk massa serta lebih lanjut lagi mengeluarkan satu pemikiran tertentu dan mengajak orang-orang yang sependapat dengan pemikiran yang dilahirkan tersebut untuk mewujudkan pemikiran yang bersangkutan. Berkaitan dengan Lentera ID, media sosial yang paling sering digunakan sebagai media untuk berkegiatan adalah Twitter. Menurut Gita Aprinta, twitter merupakan suatu situs web layanan jaringan sosial dan mikroblogging yang memberikan fasilitas bagi pengguna untuk mengirimkan ‘update’ berupa informasi personal, bisnis dan lain sebagainya dengan panjang 140 karakter, yang disebut sebagai tweets. Tweets dapat ditampilkan dalam profile pengguna ataupun digunakan untuk mengomentari status dari teman. Keistimewaan dari Twitter ini adalah, setiap tweets dapat dikirimkan melalui layanan situs web, pesan singkat, maupun aplikasi-aplikasi lainnya.27 Twitter didirikan oleh Jack Dorsey, Biz Stone dan Evan Williams pada bulan Maret tahun 2006 dan baru diluncurkan pada bulan Juli di tahun yang sama. Ide dasarnya adalah sebagai sarana untuk mengembangkan produk-produk yang dikeluarkan oleh perusahaan tempat 26 Andreas Kaplan & Michael Hanlaein. Users of the world, unite! The challenges and opportunities of Social Media.(Business Horizon, 2010). 27 Gita Aprinta. Dominasi Simbolik Dalam Media Baru (Studi Analisis Semiotika Dalam Teks Twitter tentang Stigmatisasi Terhadap Penderita HIV/AIDS dan Kaum Gay). Thesis.(Universitas Indonesia, 2011). 23 Jack Dorsey bekerja melalui tampilan ide-ide kreatif yang berupa layanan sms berbasis kelompok. Sejak diperkenalkan, Twitter mengalami perkembangan yang cukup pesat di dunia situs jejaring sosial. Twitter dapat dijuluki sebagai ‘SMS of the internet’, sebagai program aplikasi internet untuk mengirim pesan pendek ke aplikasi-aplikasi lain.28 Sejak diciptakan pada bulan maret 2006, hingga November 2012 Twitter sudah memiliki sekitar lima ratus juta pengguna aktif yang menghasilkan 340 juta tweets per harinya di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Perkembangan twitter di Indonesia sejak awal mula hingga sekarang terus mengalami peningkatan sejak pertama kali layanan mikroblogging tersebut diperkenalkan pada tahun 2007. Rinaldi Firmansyah, Presiden Direktur PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, menyatakan bahwa tercatat sudah ada sekitar empat puluh juta orang Indonesia pengguna Twitter atau sekitar seperempat dari 245 juta jumlah penduduk Indonesia per November 2011 (dalam penelitian yang dilakukan oleh Mark Graham dari Oxford Internet Institue dijelaskan bahwa pengguna Twitter di Indonesia menduduki peringkat ketiga dari negara-negara pengguna Twitter di dunia dan merupakan negara pengguna Twitter terbesar di Asia).29 Terlebih hampir 90% interaksi percakapan yang terjadi di Twitter tidak diunggah dari web resmi Twitter melainkan melalui layanan pesan teks pada telepon genggam, layanan instant messaging, atau aplikasi-aplikasi di luar situs resmi Twitter yang menandakan bahwa banyak orang tidak terpaku di depan layar komputer ketika mengirimkan tweets melainkan melakukannya secara mobile, menunjukkan bahwa Twitter bisa diakses kapan saja serta dari mana saja. 3. Kelompok Dukungan Berbentuk Survivor Anonymous 28 29 Yohan jati Waloeyo. Twitter: Best Social Networking. (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2010). http://www.oii.ox.ac.uk/vis/?id=4fe09570 24 Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial (social being) yang membutuhkan ikatan atau hubungan yang intim dengan orang-orang terdekat dalam masyarakat. Gordon, dalam Passage To Intimacy, menyatakan bahwa ikatan itu sangat penting bagi manusia sebab menjadikan seseorang tahan terhadap stress dan kecemasan.30 Manusia membutuhkan dukungan sosial (social support) dari sesamanya, yakni berupa penghiburan, perhatian, penerimaan atau bantuan dari orang lain. Terdapat batas-batas yang tipis antara mental yang sehat (normal) dengan yang tidak sehat (abnormal) berikut dengan kategori-kategorinya. Salah satu ciri mental yang tidak sehat adalah ketidakmampuan seseorang dalam menerima hal-hal buruk yang terjadi pada dirinya dan perasaan tersebut bersifat destruktif dimana dengan melakukan pembiaran terhadap perasaan semacam itu, seseorang akan lebih susah untuk mempertahankan kestabilan mentalnya. Pada kasus tertentu, pendampingan atau konseling merupakan sesuatu yang dibutuhkan untuk dapat membantu seseorang menerima hal-hal buruk yang terjadi pada dirinya dan tidak lagi menjadikannya sebagai ganjalan untuk apa yang akan terjadi dalam hidupnya. Bentuk dukungan sosial tersebut dapat disalurkan dalam sebuah kelompok dukungan. Sebuah kelompok yang masing-masing anggotanya memiliki persamaan karakteristik masalah sehingga memudahkan mereka untuk saling berbagi bantuan (umumnya bantuan yang diberikan tidak dilakukan secara profesional atau komersil). Sebuah kelompok dukungan bekerja dengan memelihara hubungan interpersonal antar anggotanya dalam berbagai cara juga sementara untuk hubungan ke luar anggota, kelompok dukungan umumnya merengkuh masyarakat luar dengan selebaran, jaringan komunikasi, forum-forum di dunia maya atau mailing list. Survivor Anonymous adalah bentuk kelompok dukungan yang mengadopsi sistem konseling dalam Alcoholic Anonymous (AA) yang merupakan bentuk konseling kelompok untuk 30 Lori, Gordon. Passage To Intimacy. (Ney York: Afireside Book, 1993) 25 menanggulangi para pecandu alkohol. Baik dalam Survivor Anonymous maupun Alcoholic Anonymous konseling dilakukan dalam satu kelompok kecil yang bersifat rahasia di mana masing-masing peserta harus mengikuti program yang disediakan oleh konselor atau fasilitator dalam kelompok tersebut. Masing-masing program yang dilakukan pada tahap ini bertujuan untuk mengurangi beban psikologis yang dimiliki oleh peserta serta berfungsi juga sebagai tindakan rehabilitasi agar peserta konseling kelompok dapat memenuhi fungsi-fungsi sosialnya di dalam masyarakat. Dalam konseling kelompok semacam ini, peserta diberi semangat untuk mencoba mengatasi kesukaran yang melanda mereka terkait subjek konseling secara mandiri hingga nantinya peserta dapat melangkah maju dalam menghadapi masalahnya. Konseling berkelompok semacam ini sering kali memposisikan korban untuk menghadapi ketakutannya dengan pertama-tama menceritakan kepada forum tertutup mengenai masalah serta dampakdampak yang mereka alami pasca peristiwa (dalam Survivor Anonymous hal ini merujuk pada kasus kekerasan seksual yang mereka alami dan menjadi beban baik secara fisik maupun mental). Di samping menyemangati korban untuk bercerita dan menghadapi ketakutan yang berasal dari diri sendiri, program-program lainnya menyemangati korban untuk menghadapi objek-objek lain dalam hidupnya yang di luar personal secara positif. Konseling berbasis anonymous umumnya dilakukan setelah masing-masing anggota forum mendapatkan konseling secara personal. Hal ini penting dilakukan untuk mempersiapkan korban dalam menghadapi peserta lain dalam konseling berkelompok. Penyintas sering kali baru diizinkan untuk terlibat dalam konseling berkelompok setelah menunjukkan kemajuan yang berarti pada saat menjalani konseling secara personal dan dianggap telah siap untuk bertemu dengan sesama penyintas. 26 4. Dukungan Sosial Dalam Human Development: A Life Span View, Pierce mendefnisikan dukungan sosial sebagai sumber emosional, informasional atau pendampingan yang diberikan oleh orang-orang di sekitar individu untuk menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang terjadi sehari-hari dalam kehidupan.31 Definisi dari Pierce mengisyaratkan bahwa dukungan sosial bukan berasal dari diri seseorang yang membutuhkannya melainkan datang dari orang-orang lain di sekitarnya namun diberikan untuk memperbaiki fungsi sosial yang terjadi dalam kehidupan orang tersebut. Tidak berbeda dengan pendapat yang diberikan oleh Gottlieb dalam Psikologi Kesehatan di mana ia menyebutkan bahwa dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal maupun non-verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang didapatkan karena kehadiran orang lain dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima.32 Pemberian dukungan sosial tidak hanya terbatas pada pemberian materi secara langsung semata namun juga bisa dilakukan secara verbal dengan membesarkan semangat penerima melalui kalimat-kalimat penyemangat. Baik Pierce maupun Gottlieb mengindikasikan bahwa dukungan sosial datang dari pihak di luar pihak penerima atau dalam hal ini korban yang membutuhkan dukungan sosial sebagai sesuatu yang esensial untuk membantunya keluar dari masalah. Dukungan sosial dapat diberikan secara materi yang bersifat fisik maupun sesuatu yang akan menolong pihak penerima secara emosional. Dukungan sosial sangat diperlukan seseorang yang tengah terlibat dalam sebuah masalah untuk membantunya keluar dari masalah tersebut baik secara langsung maupun dengan membantunya menghadapi masalah yang menimpa dengan membuatnya lebih menerima kondisi serta posisi dirinya dalam masalah yang menimpa. Masih dalam Psikologi Kesehatan, Rook 31 32 Kail & Cavanaugh (2000). Human Develepoment: A Life Span View. USA: Wadswoth Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: Pt. Grasindo 27 menyatakan bahwa dukungan sosial juga berfungsi sebagai salah satu fungsi pertalian sosial yang menggambarkan tingkat dan kualitas umum dari hubungan interpersonal yang akan melindungi seorang individu dari konsekuensi stress. Dukungan sosial yang diterima dapat membuat individu merasa tenang, diperhatikan, lebih percaya diri serta kompeten. Tersedianya dukungan sosial akan membuat individu merasa dicintai, dihargai dan menjadi bagian dari kelompok.Pendapat tersebut, bagaimanapun juga, menunjukkan bahwa dukungan sosial juga dapat diberikan oleh suatu kelompok secara eksklusif kepada anggota kelompoknya. Ketika definisi-definisi dukungan sosial oleh Pierce, Gottlieb serta Rook tersebut digabungkan, dukungan sosial dapat dimaknai sebagai bantuan yang berasal dari orang lain di luar individu di mana bantuan ini dapat mengambil banyak bentuk, termasuk di dalamnya adalahnya informasi, tingkah laku tertentu ataupun materi dan juga kehadiran yang dapat menjadikan individu mendapatkan manfaat emosional juga membuat individu penerima bantuan dapat menjalin hubungan intrapersonal dengan individu penerima bantuan yang akan melindungi individu tersebut dari konsekuensi stres. Sementara itu, dalam Social Support and Health dukungan sosial diklasifikasikan dalam empat kategori yang dapat dijabarkan sebagai berikut:33 1. Dukungan informasi atau pemberian penjelasan tentang situasi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah yang tengah dihadapi individu. Kegiatan yang termasuk ke dalam jenis dukungan ini antara lain adalah pemberian nasehat, petunjuk, masukan ataupun penjelasan mengenai bagaimana seseorang bersikap. 2. Dukungan emosional atau mengekspresikan empati yang bisa dilakukan dengan mendengarkan, bersikap terbuka, menunjukkan sikap percaya terhadap apa yang tengah dikeluhkan, mau memahami serta mengekspresikan kasih sayang dan juga 33 Cohen, S & Syme, S. L. 1985.Social Support and Health. San Fransisco: Academic Press. 28 perhatian. Hasil yang dituju oleh bentuk dukungan emosional adalah agar penerima merasa berharga, nyaman, aman, terjamin serta disayangi. 3. Dukungan instrumental atau pemberian bantuan secara langsung dan sifatnya bisa berupa fasilitas ataupun materi, misalnya dengan menyediakan fasilitas yang diperlukan, meminjamkan uang, memberikan makanan atau bantuan-bantuan lain. 4. Dukungan appraisal atau penilaian yang sering kali berbentuk penilaian yang positif, penguatan atau pembenaran untuk melakukan sesuatu, umpan balik atau menunjukkan perbandingan sosial yang dimaksudkan untuk membuka wawasan seseorang yang tengah berada dalam keadaan tertekan. Berdasarkan uraian di atas, pemberian dukungan sosial dapat dilakukan dengan caracara tertentu oleh individu terhadap individu lainnya yang dimaksudkan untuk membuat keadaan penerima bantuan menjadi lebih baik tidak hanya secara material namun sering kali justru ditekankan pada kondisi psikis penerima. Dukungan sosial dapat datang dari siapa saja yang ada di lingkungan penerima namun sering kali dilakukan oleh individu yang sudah memiliki kedekatan emosional dengan penerima. Dukungan sosial yang diberikan oleh individu yang memiliki kedekatan personal maupun emosional dengan penerima akan membuat penerima merasa lebih diperhatikan dan dicurahi kasih sayang sedangkan dukungan sosial yang sama yang diberikan oleh individu yang lebih jauh dari penerima baik secara personal maupun emosional memiliki bobot yang lebih rendah. Dengan demikian, penilaian penerima terhadap dukungan sosial yang diberikan oleh seseorang sangat dipengaruhi oleh kedekatan personal maupun emosional penerima dengan individu yang memberikan dukungan sosial tersebut. Dukungan sosial tidak tertutup pada individu yang 29 dekat secara personal dan emosional dengan penerima saja. Dukungan sosial dari masyarakat umumnya juga dapat dilakukan dengan perwakilan anggota masyarakat atau yang dikenal sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta dilakukan secara professional sesuai dengan kompetensi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Proses yang terjadi dalam pemberian dan penerimaan dukungan sosial tersebut dipengaruhi oleh kemampuan penerima dukungan untuk mempertahankan dukungan yang diperoleh. 30