BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
Kekerasan terhadap perempuan sudah lama berlangsung di dalam masyarakat meski
secara kuantitas jumlahnya tidak pernah diketahui secara pasti karena tidak semua kekerasan
terhadap perempuan dilaporkan, menjadikan isu kekerasan terhadap perempuan sebagai sebuah
fenomena gunung es yang hanya terlihat puncaknya saja di permukaan namun menyimpan
jumlah kasus yang tidak dapat ditentukan besarnya di bawah permukaan. Salah satu bentuk
kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan seksual yang juga memiliki pola gunung es
yang sama dengan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan lainnya seperti kekerasan fisik
dan juga kekerasan psikis.
Pemberian dukungan sosial sangat dibutuhkan bagi penyintas1 kekerasan seksual, terlebih
bagi penyintas kekerasan seksual yang karena kasus kekerasan seksual yang dialaminya
kemudian menjadi tidak bisa menjalankan fungsi-fungsi sosialnya. Dukungan sosial yang
diberikan kepada penyintas kekerasan seksual akan mendorong mereka untuk bangkit kembali,
pulih seperti sedia kala dan mampu menjalankan fungsi-fungsi sosialnya untuk mencapai
kesejahteraan. Lentera Indonesia adalah organisasi berbasis komunitas yang peduli dengan isuisu kekerasan seksual, berpendapat bahwa dukungan sosial dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu pendampingan terhadap penyintas kekerasan seksual dalam sebuah kelompok dukungan
dan juga peningkatan kesadaran bagi masyarakat.
1
Diambil dari kata sintas yang pada KBBI Daring (http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php) memiliki arti terus bertahan hidup atau mampu mempertahankan keberadaannya. Penyintas merupakan istilah tidak baku yang merujuk pada korban yang selamat dalam konteks bencana atau orang yang selamat dari suatu peristiwa yang mungkin dapat membuat nyawa melayang atau sangat berbahaya. Kata ini pertama kali digunakan pada tahun 2005 di kalangan pegiat LSM. 7 Uraian yang telah dijelaskan tersebut membuat ‘Dukungan Sosial Lentera Indonesia Bagi
Perempuan Korban Kekerasan Seksual Melalui Support Group dan Pemanmfaatan Twitter’
menjadi sebuah judul yang menarik untuk diangkat sebagai sebuah penelitian untuk mengetahui
lebih dalam mengenai bentuk dukungan sosial yang dapat diberikan oleh sebuah organisasi
berbasis komunitas kepada penyintas kekerasan seksual serta bagaimana dukungan sosial
tersebut dapat disampaikan juga diterima.
1. Relevansi dengan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan merupakan studi yang mempelajari
pembangunan dengan menekankan pada bagaiaman tujual sosial itu tercapai dalam
pembangunan dengan tiga fokus konsentrasi yaitu community empowerment, social policy serta
corporation social responsibility (CSR). Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan yang
menjadikan masyarakat atau manusia sebagai objek materialnya dapat dibedakan dengan
keilmuan sosial lainnya dengan melihat objek formalnya di mana Jurusan Pembangunan Sosial
dan Kesejahteraan memandang masyarakat atau manusia dari kekurangan dan kebutuhan hidup
(needs) serta agar masyarakat atau manusia menjdi sosial sehingga dengan bermasyarakat dapat
memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian, penelitian ini memiliki relevansi dengan kajian
jurusan di mana dukungan sosial merupakan aspek sosial yang dibutuhkan oleh manusia,
khususnya yang tengah mengalami suatu masalah, agar dapat berfungsi dengan benar dalam
mencapai kesejahteraan (social welfare).
8 2. Aktualitas
Kekerasan terhadap perempuan yang terus terjadi dari tahun ke tahun dengan jumlah
laporan kasus yang meningkat membuat pengangkatan tema kekerasan terhadap perempuan
sebagai tema penelitian masih relevan dengan faktor aktualitas yang harus dipenuhi dalam
sebuah penelitian. Sepanjang tahun 2013 saja, menurut Lembar Fakta Catatan Tahunan Komnas
Perempuan Tahun 2013 yang dipublikasikan oleh Komnas Perempuan pada tanggal 18 Maret
2014, terdapat 279.760 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan, di mana sebanyak
263.285 kasus di antaranya terjadi di ranah personal.2 Dari kasus kekerasan yang terjadi di ranah
personal, kekerasan seksual menduduki peringkat ketiga dengan jumlah kasus 2.995 kasus,
meningkat 9% bila dibandingkan dengan temuan yang didapatkan Komnas Perempuan pada
tahun 2012, menempatkan tema kekerasan seksual masih relevan bila dipertimbangkan dari segi
aktualitas.
3. Orisinalitas
Tema kekerasan terhadap perempuan sudah cukup sering diangkat sebagai tema
penelitian. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Astrid Astra Dewi pada tahun 2012 dengan
penelitiannya yang berjudul Jaminan Sosial Bagi Perempuan Korban Tindak Kekerasan.
Penelitian yang dilakukan oleh Astrid Astra Dewi tersebut memiliki kemiripan tema dengan
mengangkat perempuan korban tindak kekerasan sebagai objek yang didampingi oleh sebuah
Women Crisis Center di Yogyakarta, Rifka Annisa, dalam mendapatkan jaminan sosial. Dengan
kemiripan tema, penelitian yang dilakukan oleh Astrid Astra Dewi dapat dibedakan dengan
penilitian yang berjudul Dukungan Sosial Lentera Indonesia Bagi Perempuan Korban Kekerasan
2
http://www.komnasperempuan.or.id/wp‐content/uploads/2014/03/Lembar‐Fakta‐Catatan‐Tahunan‐2013.pdf 9 Seksual Melalui Support Group dan Pemanfaatan Twitter di mana penelitian tersebut
mengkhususkan pada perempuan korban tindak kekerasan seksual yang mendapatkan dukungan
sosial dari sebuah organisasi berbasis komunitas di Jakarta, Lentera Indonesia. Dengan demikian,
dari sisi orisinalitas, penelitian dengan judul “Dukungan Sosial Lentera Indonesia Bagi
Perempuan Korban Kekerasan Seksual Melalui Support Group dan Pemanfaatan Twitter” belum
pernah diangkat sebelumnya.
B. Latar Belakang
Berita mengenai kasus kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan akhir-akhir ini
begitu marak di berbagai media. Kasus-kasus seperti pemerkosaan, pencabulan, pelecehan
seksual, hingga kasus-kasus kekerasan seksual yang diikuti dengan kekerasan fisik bahkan
hingga pembunuhan begitu mengejutkan berbagai kalangan. Agustus 2012, di Kecamatan
Donorojo, Pacitan, terjadi kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang terjadi di ranah
personal—kasus kekerasan seksual yang terjadi atau dilakukan oleh anggota keluarga korban
sendiri—dimana seorang ayah mencoba mencabuli anak tirinya yang masih berusia 13 tahun. 3
Agustus 2011, kasus pemerkosaan terhadap Livia P. V. yang dilakukan di dalam angkot (sarana
transportasi umum) membuat banyak kalangan merasa prihatin. Livia harus kehilangan
nyawanya setelah diperkosa bergiliran oleh empat orang sebelum mayatnya dibuang ke parit
sedalam 2 meter di Cisauk. 4 Akhir 2013, penulis puisi dan esai, Sithok Srengenge dilaporkan
melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswi Universitas Indonesia hingga hamil dan
3
4
http://surabaya.detik.com/read/2012/08/25/112057/1998683/475/ http://megapolitan.kompas.com/read/2011/08/26/20210087/Livia.Tewas.dan.Diperkosa.dalam.Angkot 10 melahirkan Januari 2014 lalu, hingga pertengahan tahun 2014 kasusnya masih bergulir dan
tengah berada dalam penanganan polisi. 5
Banyaknya kasus serupa yang terjadi beberapa tahun terakhir ini membuat banyak pihak
bertanya-tanya, apakah sedemikian merosotnya moral masyarakat hingga begitu banyak terjadi
kasus-kasus serupa, ataukah memang kasus-kasus kekerasan seksual tersebut hanya bersifat
kasuistis semata—fenomena yang bisa menimpa siapapun, kapanpun, dan dimanapun—hingga
tidak perlu mendapatkan perhatian khusus? Kejelasan nasib para perempuan korban kekerasan
seksual juga tidak mudah dijabarkan dengan adanya stigma dari masyarakat tentang statusnya
sebagai korban kekerasan seksual juga luka yang harus dibawanya sepanjang hidup pasca
peristiwa. Ketidakpedulian terhadap kasus-kasus kekerasan seksual—terlebih yang tidak pernah
dialami secara langsung—acap kali membuat kasus-kasus kekerasan seksual tersebut dianggap
sepele, bahkan dijadikan bahan bercandaan seperti yang dilakukan oleh Olga Syahputra yang
menyinggung korban pemerkosaan ketika mengisi acara Dekade, HUT Trans TV Ke-10 pada
Desember 2011 lalu. 6
Tindakan menyepelekan perempuan korban kekerasan seksual seperti yang dilakukan
oleh Olga Syahputra, tidak hanya menunjukkan rendahnya kepedulian yang diberikan oleh
masyarakat terhadap kasus-kasus serupa, tetapi secara langsung juga membuat perempuan
korban kekerasan seksual semakin susah kembali pada kehidupan lamanya sebelum peristiwa
kekerasan seksual itu terjadi. Padahal, menurut Ketua Sub Komisi Pemantauan, Komisi Nasional
Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Arimbi Haroepoetri, sepanjang
tahun 2010 saja terdapat sekitar 101.103 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di
ranah personal saja. Paling banyak (sebanyak 98.557 kasus) dilaporkan di Kantor Urusan
5
6
http://www.thejakartapost.com/news/2014/03/06/poet‐sitok‐grilled‐police‐ui‐student‐case.html http://www.suarapembaruan.com/hiburan/bercanda‐kelewat‐batas‐olga‐syahputra‐dilaporkan‐ke‐kpi/14943 11 Agama. 7 Angka tersebut belum mencakup kekerasan seksual yang menimpa perempuan di ranah
publik—kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang di luar lingkup keluarga korban—dan juga
belum termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan yang tidak dilaporkan. Dengan
banyaknya kasus yang terjadi, kekerasan seksual terhadap perempuan sudah bukan sesuatu yang
harus disepelekan lebih jauh dan membutuhkan penanganan, terlebih bagi perempuan korban
kekerasan seksual itu sendiri supaya dapat melanjutkan hidupnya kembali dengan berbagai cara
termasuk di dalamnya adalah mengikuti support group (ntuk selanjutkan akan disebut sebagai
kelompok dukungan) bagi para perempuan korban kekerasan seksual.
Hingga tahun 2011, terdapat lebih dari 384 lembaga pelayanan terhadap korban
kekerasan seksual baik yang dikelola oleh pemerintah (salah satu di antaranya adalah Komnas
Perempuan) maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang dikelola baik secara individu
maupun komunitas yang mengawali kiprahnya dengan melakukan studi-studi kasus maupun
penelitian-penelitian terhadap korban kekerasan seksual.8
Salah satu lembaga swadaya masyarakat yang juga memberikan pelayanan terhadap
korban kekerasan seksual, khususnya pada perempuan, adalah Lentera Indonesia yang berangkat
dari social media (media yang didedikasikan untuk memfasilitasi interaksi sosial yang tidak
sepenuhnya terfokus pada jurnalisme tetapi juga informasi personal seseorang) 9 twitter. Bentuk
pelayanan yang diberikan oleh Lentera Indonesia adalah dengan membentuk kelompok
dukungan bagi perempuan korban kekerasan seksual untuk meringankan beban psikologis
sehingga para perempuan korban kekerasan seksual yang didampingi diharapkan bisa segera
kembali menjalankan fungsi-fungsi sosialnya di masyarakat pasca peristiwa kekerasan seksual
7
http://wartapedia.com/nasional/statistic/2078-komnas-perempuan--kekerasan-istri-capai-101128-kasus.html http://komnasperempuan.or.id/publikasi/Indonesia/Catahu%202002‐
2008/Siaran%20Pers%20Catatan%20Tahunan%20tahun%202010.pdf 9
Susan Currie Sivek memaparkan dalam jurnalnya yang diterbitkan secara online berjudul Social Media Under Social Control: Regulating Social Media and the Future of Socialization oleh SAGE Publication, 2010. 8
12 yang dialami selain dengan berusaha menumbuhkan kesadaran sosial masyarakat untuk tidak
menyepelekean dan/atau menjadikan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan sebagai
bahan candaan sehubungan hal tersebut dapat membantu para perempuan korban kekerasan
seksual untuk lebih cepat pulih dari beban yang mereka terima pasca peristiwa kekerasan seksual
yang menimpa.
Berangkat dari media sosial twitter, Lentera Indonesia memiliki kelebihan tersendiri
berkaitan dengan influence di sosial media mengingat pengaruh itu sendiri telah lama dipelajari
dalam ranah sosiologi, komunikasi, marketing, dan ilmu politik untuk berbagai keperluan dimana
influence memiliki peran penting dalam menunjukkan bagaimana transaksi-transaksi sosial
bekerja maupun bagaimana mesyarakat berfungsi.
10
Dalam fungsinya sebagai lembaga yang
memberikan pelayanan terhadap perempuan korban kekerasan seksual, influence yang dimiliki
oleh Lentera Indonesia memiliki peran penting untuk mempengaruhi sebagian pengguna media
sosial twitter untuk menumbuhkan kesadaran-kesadaran tertentu yang berkaitan dengan
usahanya mengenai kekerasan seksual ini. Dengan influence yang dimilikinya di media sosial
twitter, ditambah dengan adanya kelompok dukungan yang dilakukan secara tertutup (kelompok
dukungan yang dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil yang keseluruhan anggotanya adalah
perempuan korban kekerasan seksual sehingga bisa lebih mudah menjalani layanan pemulihan
trauma paska mengalami kekerasan seksual), Lentera Indonesia berusaha memecah kesunyian
dari para perempuan korban kekerasan seksual agar mereka mau menyuarakan keadaan mereka
sehingga peristiwa-peristiwa kekerasan seksual yang memaksa para perempuan untuk tetap diam
dan tidak memberikan perlawanan bagi pelakunya semakin berkurang. 11
10
Rogers 1962; Katz dan Lazarsfeld 1955 “Break the Silence, Break the Chain” merupakan salah satu program kerja Lentera Indonesia dalam memberikan kelompok dukungan terhadap perempuan korban kekerasan seksual 11
13 Kekerasan seksual bukanlah kejahatan terhadap kesusilaan semata, meskipun pandangan
tersebut bahkan didukung oleh Negara melalui muatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) dengan mengkategorikan kekerasan seksual sebagai pelanggaran terhadap
kesusilaan. Pengkategorian tersebut tidak hanya mengurangi derajat kekerasan seksual yang
dilakukan tetapi juga menciptakan pandangan bahwa kekerasan seksual adalah persoalan
moralitas semata sementara kekerasan seksual seutuhnya adalah persoalan kriminal yang mana
pelakunya berhak diganjar dengan hukuman setimpal alih-alih dibiarkan dan hanya diberikan
hukuman moral tanpa menjamin tidak akan terjadi kekerasan seksual secara berulang dan terusmenerus tanpa adanya kesadaran dari perempuan korban kekerasan seksual untuk melawan dan
melaporkan.12 Bahkan setelah pelaku kekerasan seksual sudah dihukum sesuai dengan undangundang, masyarakat sering kali menyederhanakan kekerasan seksual tersebut sebagai sesuatu
yang sudah terjadi tanpa memperhatikan bagaimana kondisi korban kekerasan seksual tersebut
pasca peristiwa, terlebih perempuan sebagai korban kekerasan seksual dianggap lebih rentan
karena ketimpangan relasi yang menempatkan perempuan sebagai marka atau penanda kesucian
dan moralitas dari masyarakatnya sehingga masyarakat justru membungkam perempuan korban
kekerasan seksual dan memungkinkan para perempuan korban kekerasan seksual tersebut tidak
bisa sepenuhnya melakukan fungsi-fungsi sosialnya. 13
Kesadaran terhadap kekerasan seksual perlu ditingkatkan mengingat siapapun berpotensi
mengalami kekerasan seksual tersebut dalam bentuk apapun. Dewasa ini, dengan rendahnya
kesadaran sosial yang dimiliki, masyarakat cenderung menganggap kekerasan seksual sebagai
sesuatu yang apa adanya dan tidak melihat kekerasa seksual sebagai sesuatu yang kasuistis.
Perempuan cenderung mudah menjadi korban kekerasan seksual karena baik pihak laki-laki
11 & 12
komnasperempuan.or.id/wp=content/uploads/2011/11/Kekerasan‐Seksual.pdf 14 maupun pihak perempuan sama-sama memandang bahwa perempuan berada pada posisi di
bawah atau terpinggirkan. Anggapan bahwa perempuan lebih berpotensi menjadi korban
kekerasan seksual karena sejak awal pembentukan kultur, perempuan dianggap sebagai pihak
yang lebih banyak berperan di bidang domestik. Padahal, dewasa ini kekerasan seksual tidak
hanya terjadi pada perempuan-perempuan yang dianggap terbelakang atau kurang terpelajar
semata. Kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja dan dapat menimpa siapa saja, termasuk
perempuan yang secara sosial bisa digolongkan sebagai kaum terpelajar.
Kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang menimpa Livia Pavita Soelistio, seorang
mahasiswi Universitas Bina Nusantara, merupakan contoh kasus bahwa kekerasan seksual tidak
hanya menimpa perempuan yang kurang terpelajar saja tetapi juga menimpa perempuan
terpelajar. Untuk itulah Lentera Indonesia yang memilih berangkat dari media sosial memiliki
tanggung jawab sosial untuk mencerdaskan perempuan pada umumnya, dan khususnya pada
kaum perempuan yang sudah memiliki akses kepada media-media sosial untuk meminimalisasi
adanya kasus-kasus serupa. Berbeda dengan perempuan pada umumnya yang menganggap
kekerasan seksual (khususnya dalam ranah privat) sebagai sesuatu yang taken for granted14,
perempuan korban kekerasan seksual yang maju secara intelektual cenderung menutupi kasuskasus kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya. Layanan yang diberikan Lentera Indonesia
dalam kasus tersebut memiliki fungsi supaya para perempuan korban kekerasan seksual secara
perlahan dapat menerima kasus kekerasan seksual yang menimpa dirinya dan dengan demikian
diharapkan mereka dapat menyuarakan kekerasan seksual yang selama ini cenderung mereka
sembunyikan untuk membantu memulihkan dirinya sendiri dengan anggapan bahwa
14
Bahwa perempuan adalah pihak yang bergantung sebagai laki‐laki dan dengan itu kekerasan seksual yang dilakukan oleh laki‐laki adalah sesuatu yang tidak terhindarkan. 15 menyuarakan kasus yang telah mereka alami tidak hanya memulihkan diri sendiri secara mental
dan personal namun membantu pencegahan untuk terjadinya kasus-kasus sejenis.. 15
Dalam memberikan asistensi terhadap perempuan korban kekerasan seksual, Lentera
Indonesia bukanlah satu-satunya lembaga yang bergerak di bidang tersebut. KOMNAS
Perempuan yang dikelola oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang
lain seperti Yayasan Pulih dan Rifka Anisa juga cukup gencar memberikan kampanye anti
kekerasan berbasis gender,16 serta melakukan pendampingan-pendampingan terhadap perempuan
korban kekerasan seksual.17 Hampir semua lembaga (baik yang berada di bawah penanganan
negara maupun yang dikelola secara swadaya oleh individu maupun organisasi) pendampingan
terhadap perempuan korban kekerasan seksual, bekerja dengan pendekatan community-based
development. Namun, yang membuat Lentera Indonesia menarik untuk dikaji lebih jauh adalah
metodenya yang berangkat terlebih dahulu dari media-media sosial seperti blog, facebook, dan
terutama twitter. Berbeda dengan lembaga-lembaga lain yang baru membuat online presence di
media sosial setelah memiliki kegiatan nyata, Lentera Indonesia seolah muncul sebagai antitesis
dengan terlebih dahulu menjamah media-media sosial dan membentuk komunitasnya serta
merencanakan masing-masing kegiatannya justru dari media sosial tersebut. Dengan metode
tersebut, Lentera Indonesia memiliki kelebihan untuk menjangkau sasarannya, para perempuan
korban kekerasan seksual yang sudah update dengan perkembangan teknologi atau mereka yang
ada di twitter dengan gagasan bahwa mereka yang mengalami kekerasan seksual tidak hanya
terbatas pada kaum perempuan yang belum mengenal teknologi sehingga mudah dibodohi tetapi
bisa menimpa siapa saja termasuk perempuan yang sudah maju secara intelektual dan teknologi.
15
Bahwa kekerasan seksual juga bisa menimpa perempuan yang terpelajar dan bukan sesuatu yang harus ditutupi melainkan disuarakan hingga baik korban maupun pelaku kekerasan seksual dapat berkompromi dengan masing‐
masing kasus yang menimpa mereka. 16
http://www.pulih.or.id/berita.html?x=XPXl6yXV67UFhIWR1wRrH7lRYDbUUg%3D%3D 17
http://digilib.uin‐suka.ac.id/807/ 16 Meskipun demikian, Lentera Indonesia tetap tidak menutup mata terhadap perempuan
korban kekerasan seksual yang berada di luar lingkup media sosial. Beberapa kegiatan kampanye
anti-kekerasan seksual terhadap perempuan juga dilakukan oleh Lentera Indonesia di luar media
sosial seperti dengan mengadakan workshop, talk show, maupun pelatihan bela diri terhadap
perempuan untuk mengurangi resiko terjadinya kekerasan seksual. Dengan adanya programprogram tersebut di atas, Lentera Indonesia tidak hanya berkutat dengan membentuk kelompok
dukungan terhadap perempuan korban kekerasan seksual yang menjadi fokusnya tetapi juga
perempuan pada umumnya.
C. Rumusan Masalah
•
Bagaimana pemberian dukungan sosial pada penyintas kekerasan seksual dengan
melakukan kelompok dukungan serta pemanfaatan media sosial oleh Lentera
Indonesia?
D. Tujuan Penelitian
Agar penelitian yang dilakukan keluar dari arahnya yang jelas, maka penelitian ini
dilakukan dengan tujuan-tujuan tertentu yang harus dipenuhi. Adapun tujuan yang dimaksud
antara lain adalah:
1. Mengetahui bentuk dukungan sosial yang diberikan oleh Lentera Indonesia terhadap
perempuan korban kekerasan seksual dengan pemanfaatan segala jenis media
termasuk di dalamnya media sosial dalam ranah dunia maya pada umumnya,
khususnya pada media sosial twitter.
17 2. Mengetahui bagaimana dukungan sosial yang diberikan oleh Lentera Indonesia dapat
membantu penyintas kekerasan seksual yang telah mengikuti program yang diberikan
oleh Lentera Indonesia.
E. Tinjauan Pustaka
1. Perempuan Korban Kekerasan Seksual
Memahami perempuan korban kekerasan seksual tentu tidak dapat terlepas dari
pemaknaan terhadap kekerasan seksual itu sendiri. Sementara Mansour Fakih memaknai
kekerasan (violence) sebagai serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas
mental psikologis seseorang,18 John Galtung beranggapan bahwa terminologi kekerasan berasal
dari bahasa latin vis vis yang berarti daya atau kekuatan serta lotus yang berarti membawa (dan
secara harafiah keduanya dapat diartikan sebagai kekuatan untuk membawa).19 Lebih lanjut John
Galtung menyatakan bahwa kekerasan adalah suatu kondisi sedemikian rupa sehingga realisasi
jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya.20 Ketika kedua definisi
kekerasan tersebut dikaitkan dengan pemaknaan seksual menurut McCarthy maka kekerasan
seksual dapat didefinisikan sebagai segala bentuk kontak seksual yang tidak diinginkan oleh
salah seorang pasangan dan untuk memuaskan hasrat seksual seorang pasangan yang lain.
Berbeda dengan kekerasan non-seksual yang merupakan tindakan pelaku yang tidak dikehendaki
dan bersifat ofensif bagi korban, namun tidak disertai oleh adanya kehendak seksual,21 kekerasan
seksual adalah tindakan ofensif terhadap seseorang yang juga diikuti dengan adanya kehendak
seksual yang tidak dikehendaki.
18
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) Windhu Warsana, Kekuasaan dan Kekerasan menurut John Galtung, (Yogyakarta, 1992) 20
Noeke Sri Wardana, Persepsi Masyarakat Bengkulu Tentang Kejahatan. Thesis.UNDIP (Semarang, 1995) 21
Rosemarie Skaine, Power and Gender: Issues in Sexual Dominance and Harassment.(London: McFarland & Company Inc.) 19
18 Sementara itu, dalam pandangan PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa), tindak kekerasan
terhadap perempuan harus diartikan meliputi kekerasan yang bersifat fisik, sesksual, dan
psikologis. Kekerasan itu dapat terjadi: pertama, di dalam keluarga, seperti, pemukulan,
penyalahgunaan secara seksual terhadap anak perempuan di dalam rumah tangga, perkosaan di
dalam perkawinan, praktek tradisi yang membahayakan perempuan, kekerasan berupa
eksploitasi seks. Kedua, di dalam masyarakat, termasuk perkosaan, pelecehan seksual, intimidasi
di tempat kerja, di tempat pendidikan, dan di tempat lain, dan perdagangan perempuan
(trafficking women); dan ketiga, memaksa untuk melacur dilakukan atau diperbolehkan oleh
negara, di manapun terjadi.22
Merujuk pada definisi kekerasan seksual tersebut di atas, pemaknaan terhadap perempuan
korban kekerasan seksual adalah setiap perempuan yang mengalami perilaku ofensif yang tidak
dikehendakinya dari pihak kedua yang mengakibatkannya terluka baik secara fisik maupun
integritas mental psikologisnya untuk memenuhi hasrat seksual pihak kedua sebagai pelaku,
termasuk di dalamnya adalah tindakan-tindakan pemerkosaan, pencabulan maupun pelecehan
seksual baik yang diikuti dengan kekerasan seksual baik secara fisik maupun verbal hingga tidak
mampu merealisasikan potensinya secara jasmani dan mental aktualnya. Kekerasan—kekerasan
pada umumnya dan kekerasan seksual pada khususnya—dapat terjadi karena adanya dua relasi
yang tidak seimbang. Pihak yang kuat akan menjadi pelaku sementara pihak yang lemah akan
muncul sebagai korbannya. Dalam hal ini, perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual
karena adanya ketidakadilan gender (gender inequalities) yang merupakan sistem dan struktur
dimana baik kaum laki-laki dan terutama perempuan menjadi korban dari sistem tersebut,23 yang
seringkali dimanifestasikan dalam bentuk proses subordinasi, stereotipe, double-burden, serta
22
23
Fathul Jannah dkk. Kekerasan Terhadap Isteri. (Yogyakarta: LkiS, 2002). Mansour Fakih. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) 19 marginalisasi yang melemahkan kedudukan perempuan dalam tatanan masyarakat dan
membuatnya rentan terhadap tindak-tindak kekerasan seksual.
Bentuk-bentuk dari kekerasan seksual antara lain: ditatap penuh nafsu, disenyumi nakal,
disiuli, diajak berbicara cabul, ditelepon seks, diraba bagian tubuh, dipaksa memegang bagian
tubuh pelaku, dicuri cium/dipeluk, dipertontonkan alat kelamin, dipertontonkan foto/benda
porno, diserang untuk diperkosa dan diperkosa.24 Di antara bentuk-bentuk kekerasan seksual
tersebut, yang paling menyengsarakan bagi perempuan adalah perkosaan karena seorang
perempuan—khususnya yang masih berada di bawah usia—yang menjadi korban pemerkosaan
akan mengalami efek tertentu yang bisa juga dipakai sebagai ciri-ciri untuk mengidentifikasi
perempuan yang telah menjadi korban kekerasan seksual sebagai berikut:
a. Betrayal (pengkhianatan).
Departemen Kehakiman Amerika Serikat, sampai akhir tahun 2006 menyebutkan
bahwa di Amerika Serikat, 20% pelaku pemerkosa adalah orang tua korban sendiri,
26% dilakukan oleh orang terdekat korban, sementara 51% dilakukan oleh orang
yang dikenal oleh korban. Pelaku pemerkosaan yang tidak berhubungan langsung
dengan korban hanya sekitar 3% saja. Sementara itu, di Indonesia sendiri banyaknya
kasus pemerkosaan yang dilaporkan didominasi oleh kasus-kasus kekerasan seksual
yang terjadi di ranah personal. Dengan besarnya persentase pelaku kekerasan seksual
yang berhubungan dekat dengan korban, tentu saja korban akan merasakan
pengkhianatan dan bukan tidak mungkin rasa percaya yang tadinya diberikan oleh
korban pada orang-orang terdekatnya akan dianggap sebagai sesuatu yang
mengancam setelah terjadinya kasus kekerasan seksual yang menimpa mereka.
24
Anna Marie Wattie. “Kekerasan Terhadap Perempuan di Ruang Publik: Fakta, Penanganan dan Rekomendasi. (Yogyakarta: PPK dan Ford Foundation, 2002)” Kekerasan Seksual di Klaten; Persepsi Masyarakat.Laporan Riset.(Lembaga Kajian Untuk Transformasi Sosial. 2002) 20 b. Traumatic sexualization (trauma secara seksual).
Perempuan yang mengalami kekerasan seksual—bahkan sampai dalam bentuk
perkosaan, cenderung akan menolak berhubungan seksual karena ingatan yang tidak
menyenangkan mengenai hubungan seksual yang diberikan oleh pelaku kekerasan
seksual saat memaksakan hasrat seksualnya secara ofensif kepada korban menjadi
semacam trauma secara seksual yang akan menghilangkan fungsi dan juga
kesenangan seksual yang seharusnya dialami oleh korban ketika melakukan
hubungan seksual.
c. Powerlessness (perasaan tidak berdaya).
Perempuan korban kekerasan seksual tidak akan mudah beraktivitas seperti semula
setelah mengalami kekerasan seksual. Trauma yang didapat beserta perasaan
terintimidasi yang tertanam ketika terjadi peristiwa kekerasan seksual, akan
membuatnya merasa tidak berdaya dan ketakutan untuk melakukan sesuatu sehingga
tidak bisa segera memenuhi fungsi sosialnya di dalam masyarakat.
d. Stigmatization (pelabelan).
Perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual secara tidak sadar akan
melakukan self-stigma (pemberian label kepada dirinya sendiri) pasca-kejadian
dengan merasa bahwa tubuhnya sudah tidak lagi sama dengan tubuh orang-orang di
sekitarnya. Tidak jarang korban kekerasan seksual cenderung marah pada dirinya
sendiri dengan ketidakberdayaannya sehingga menyebabkan dirinya harus mengalami
peristiwa kekerasan seksual tersebut. Terlebih dengan adanya pelabelan yang
diberikan juga oleh masyarakat terhadap dirinya, efek yang diberikan oleh kekerasan
seksual tersebut akan terasa semakin besar.
21 2. Media Sosial Twitter
Susan Currie Sivek memaparkan dalam jurnalnya yang berjudul Social Media Under
Social Control bahwa social media bisa menjadi kekuatan yang signifikan dalam mengubah pola
sosialisasi bagi jurnalis-jurnalis baru di masa depan. Media konvensional umumnya akan
terkonsentrasi pada sisi jurnalisme semata, akan tetapi berbeda dengan hal tersebut, social media
memfasilitasi tidak hanya interaksi sosial dalam internet yang terfokus pada jurnalisme saja
tetapi juga memberi ruang pada informasi-informasi personal seseorang. Misalnya saja dalam
jejering-jejaring sosial seperti Facebook dan MySpace, situs-situs layanan blog seperti
WordPress dan Blogger, serta layanan micro-blogging seperti Twitter, begitu juga dengan situs
layanan berbagi video dan foto layaknya YouTube dan Flickr.25 Situs-situs yang disebutkan di
atas merupakan ragam bentuk media yang tergolong dalam media sosial yang dimaksud, di mana
media-media tersebut dapat difungsikan sebagai tempat untuk bertemu, melakukan transaksi
perdagangan, dan juga sebagai jaringan informasi tempat seseorang bisa mendapatkan informasi
tertentu untuk kemudian menyebarkannya pada orang-orang di sekitarnya seperti layaknya media
jurnalisme konvensional. Bagian yang membedakan antara media jurnalisme konvensional
dengan media sosial adalah pada media sosial, seseorang dapat memfungsikan akun-akun
jejaring sosial yang dimilikinya tidak sepenuhnya sebagai channel untuk menyalurkan informasi
yang bersifat jurnalisme, tetapi juga dapat mencantumkan informasi-informasi personal dirinya
termasuk juga informasi yang ada dalam ranah privat.
Mudahnya seseorang mengakses informasi-informasi yang ada dalam sebuah media
sosial, kemudian menyebarkan atau menggunakan informasi tersebut untuk melakukan interaksi
25
Susan Currie Sivek. Social Media Under Social Control: Regulating Social Media and the Future of Socialization. Research Paper.(SAGE Publication, 2010). 22 sosial baik dengan media konvensional maupun menggunakan channel-channel media sosial
yang dimilikinya, menandakan bahwa media sosial sebagai jaringan informasi mampu mengatasi
batasan-batasan yang selama ini ada pada komunikasi. Andreas Kaplan dan Michael Haenlein
mendefinisikan media interaksi sosial dengan aksesbilitas yang tinggi ini sebagai sebuah
kelompok aplikasi berbasis internet, dibangun di atas fondasi Web 2.0 yang memungkinkan
adanya kreasi dan pertukaran konten di antara pengguna26. Dengan aksesibilitasnya yang tinggi
dan mungkinnya seseorang melakukan kreasi dan pertukaran informasi dengan menggunakan
media sosial, maka media sosial juga muncul sebagai media yang dapat digunakan untuk
membentuk massa serta lebih lanjut lagi mengeluarkan satu pemikiran tertentu dan mengajak
orang-orang yang sependapat dengan pemikiran yang dilahirkan tersebut untuk mewujudkan
pemikiran yang bersangkutan.
Berkaitan dengan Lentera ID, media sosial yang paling sering digunakan sebagai media
untuk berkegiatan adalah Twitter. Menurut Gita Aprinta, twitter merupakan suatu situs web
layanan jaringan sosial dan mikroblogging yang memberikan fasilitas bagi pengguna untuk
mengirimkan ‘update’ berupa informasi personal, bisnis dan lain sebagainya dengan panjang 140
karakter, yang disebut sebagai tweets. Tweets dapat ditampilkan dalam profile pengguna ataupun
digunakan untuk mengomentari status dari teman. Keistimewaan dari Twitter ini adalah, setiap
tweets dapat dikirimkan melalui layanan situs web, pesan singkat, maupun aplikasi-aplikasi
lainnya.27 Twitter didirikan oleh Jack Dorsey, Biz Stone dan Evan Williams pada bulan Maret
tahun 2006 dan baru diluncurkan pada bulan Juli di tahun yang sama. Ide dasarnya adalah
sebagai sarana untuk mengembangkan produk-produk yang dikeluarkan oleh perusahaan tempat
26
Andreas Kaplan & Michael Hanlaein. Users of the world, unite! The challenges and opportunities of Social Media.(Business Horizon, 2010). 27
Gita Aprinta. Dominasi Simbolik Dalam Media Baru (Studi Analisis Semiotika Dalam Teks Twitter tentang Stigmatisasi Terhadap Penderita HIV/AIDS dan Kaum Gay). Thesis.(Universitas Indonesia, 2011). 23 Jack Dorsey bekerja melalui tampilan ide-ide kreatif yang berupa layanan sms berbasis
kelompok. Sejak diperkenalkan, Twitter mengalami perkembangan yang cukup pesat di dunia
situs jejaring sosial. Twitter dapat dijuluki sebagai ‘SMS of the internet’, sebagai program
aplikasi internet untuk mengirim pesan pendek ke aplikasi-aplikasi lain.28
Sejak diciptakan pada bulan maret 2006, hingga November 2012 Twitter sudah memiliki
sekitar lima ratus juta pengguna aktif yang menghasilkan 340 juta tweets per harinya di seluruh
dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Perkembangan twitter di Indonesia sejak awal mula hingga
sekarang terus mengalami peningkatan sejak pertama kali layanan mikroblogging tersebut
diperkenalkan pada tahun 2007. Rinaldi Firmansyah, Presiden Direktur PT Telekomunikasi
Indonesia Tbk, menyatakan bahwa tercatat sudah ada sekitar empat puluh juta orang Indonesia
pengguna Twitter atau sekitar seperempat dari 245 juta jumlah penduduk Indonesia per
November 2011 (dalam penelitian yang dilakukan oleh Mark Graham dari Oxford Internet
Institue dijelaskan bahwa pengguna Twitter di Indonesia menduduki peringkat ketiga dari
negara-negara pengguna Twitter di dunia dan merupakan negara pengguna Twitter terbesar di
Asia).29 Terlebih hampir 90% interaksi percakapan yang terjadi di Twitter tidak diunggah dari
web resmi Twitter melainkan melalui layanan pesan teks pada telepon genggam, layanan instant
messaging, atau aplikasi-aplikasi di luar situs resmi Twitter yang menandakan bahwa banyak
orang tidak terpaku di depan layar komputer ketika mengirimkan tweets melainkan
melakukannya secara mobile, menunjukkan bahwa Twitter bisa diakses kapan saja serta dari
mana saja.
3. Kelompok Dukungan Berbentuk Survivor Anonymous
28
29
Yohan jati Waloeyo. Twitter: Best Social Networking. (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2010). http://www.oii.ox.ac.uk/vis/?id=4fe09570 24 Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial (social being) yang membutuhkan ikatan
atau hubungan yang intim dengan orang-orang terdekat dalam masyarakat. Gordon, dalam
Passage To Intimacy, menyatakan bahwa ikatan itu sangat penting bagi manusia sebab
menjadikan seseorang tahan terhadap stress dan kecemasan.30 Manusia membutuhkan dukungan
sosial (social support) dari sesamanya, yakni berupa penghiburan, perhatian, penerimaan atau
bantuan dari orang lain. Terdapat batas-batas yang tipis antara mental yang sehat (normal)
dengan yang tidak sehat (abnormal) berikut dengan kategori-kategorinya. Salah satu ciri mental
yang tidak sehat adalah ketidakmampuan seseorang dalam menerima hal-hal buruk yang terjadi
pada dirinya dan perasaan tersebut bersifat destruktif dimana dengan melakukan pembiaran
terhadap perasaan semacam itu, seseorang akan lebih susah untuk mempertahankan kestabilan
mentalnya. Pada kasus tertentu, pendampingan atau konseling merupakan sesuatu yang
dibutuhkan untuk dapat membantu seseorang menerima hal-hal buruk yang terjadi pada dirinya
dan tidak lagi menjadikannya sebagai ganjalan untuk apa yang akan terjadi dalam hidupnya.
Bentuk dukungan sosial tersebut dapat disalurkan dalam sebuah kelompok dukungan.
Sebuah kelompok yang masing-masing anggotanya memiliki persamaan karakteristik masalah
sehingga memudahkan mereka untuk saling berbagi bantuan (umumnya bantuan yang diberikan
tidak dilakukan secara profesional atau komersil). Sebuah kelompok dukungan bekerja dengan
memelihara hubungan interpersonal antar anggotanya dalam berbagai cara juga sementara untuk
hubungan ke luar anggota, kelompok dukungan umumnya merengkuh masyarakat luar dengan
selebaran, jaringan komunikasi, forum-forum di dunia maya atau mailing list.
Survivor Anonymous adalah bentuk kelompok dukungan yang mengadopsi sistem
konseling dalam Alcoholic Anonymous (AA) yang merupakan bentuk konseling kelompok untuk
30
Lori, Gordon. Passage To Intimacy. (Ney York: Afireside Book, 1993) 25 menanggulangi para pecandu alkohol. Baik dalam Survivor Anonymous maupun Alcoholic
Anonymous konseling dilakukan dalam satu kelompok kecil yang bersifat rahasia di mana
masing-masing peserta harus mengikuti program yang disediakan oleh konselor atau fasilitator
dalam kelompok tersebut. Masing-masing program yang dilakukan pada tahap ini bertujuan
untuk mengurangi beban psikologis yang dimiliki oleh peserta serta berfungsi juga sebagai
tindakan rehabilitasi agar peserta konseling kelompok dapat memenuhi fungsi-fungsi sosialnya
di dalam masyarakat. Dalam konseling kelompok semacam ini, peserta diberi semangat untuk
mencoba mengatasi kesukaran yang melanda mereka terkait subjek konseling secara mandiri
hingga nantinya peserta dapat melangkah maju dalam menghadapi masalahnya. Konseling
berkelompok semacam ini sering kali memposisikan korban untuk menghadapi ketakutannya
dengan pertama-tama menceritakan kepada forum tertutup mengenai masalah serta dampakdampak yang mereka alami pasca peristiwa (dalam Survivor Anonymous hal ini merujuk pada
kasus kekerasan seksual yang mereka alami dan menjadi beban baik secara fisik maupun
mental). Di samping menyemangati korban untuk bercerita dan menghadapi ketakutan yang
berasal dari diri sendiri, program-program lainnya menyemangati korban untuk menghadapi
objek-objek lain dalam hidupnya yang di luar personal secara positif.
Konseling berbasis anonymous umumnya dilakukan setelah masing-masing anggota
forum mendapatkan konseling secara personal. Hal ini penting dilakukan untuk mempersiapkan
korban dalam menghadapi peserta lain dalam konseling berkelompok. Penyintas sering kali baru
diizinkan untuk terlibat dalam konseling berkelompok setelah menunjukkan kemajuan yang
berarti pada saat menjalani konseling secara personal dan dianggap telah siap untuk bertemu
dengan sesama penyintas.
26 4. Dukungan Sosial
Dalam Human Development: A Life Span View, Pierce mendefnisikan dukungan sosial
sebagai sumber emosional, informasional atau pendampingan yang diberikan oleh orang-orang
di sekitar individu untuk menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang terjadi sehari-hari
dalam kehidupan.31 Definisi dari Pierce mengisyaratkan bahwa dukungan sosial bukan berasal
dari diri seseorang yang membutuhkannya melainkan datang dari orang-orang lain di sekitarnya
namun diberikan untuk memperbaiki fungsi sosial yang terjadi dalam kehidupan orang tersebut.
Tidak berbeda dengan pendapat yang diberikan oleh Gottlieb dalam Psikologi Kesehatan di
mana ia menyebutkan bahwa dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal maupun
non-verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang didapatkan karena kehadiran orang lain dan
mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima.32 Pemberian dukungan
sosial tidak hanya terbatas pada pemberian materi secara langsung semata namun juga bisa
dilakukan secara verbal dengan membesarkan semangat penerima melalui kalimat-kalimat
penyemangat.
Baik Pierce maupun Gottlieb mengindikasikan bahwa dukungan sosial datang dari pihak
di luar pihak penerima atau dalam hal ini korban yang membutuhkan dukungan sosial sebagai
sesuatu yang esensial untuk membantunya keluar dari masalah. Dukungan sosial dapat diberikan
secara materi yang bersifat fisik maupun sesuatu yang akan menolong pihak penerima secara
emosional. Dukungan sosial sangat diperlukan seseorang yang tengah terlibat dalam sebuah
masalah untuk membantunya keluar dari masalah tersebut baik secara langsung maupun dengan
membantunya menghadapi masalah yang menimpa dengan membuatnya lebih menerima kondisi
serta posisi dirinya dalam masalah yang menimpa. Masih dalam Psikologi Kesehatan, Rook
31
32
Kail & Cavanaugh (2000). Human Develepoment: A Life Span View. USA: Wadswoth Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: Pt. Grasindo 27 menyatakan bahwa dukungan sosial juga berfungsi sebagai salah satu fungsi pertalian sosial
yang menggambarkan tingkat dan kualitas umum dari hubungan interpersonal yang akan
melindungi seorang individu dari konsekuensi stress. Dukungan sosial yang diterima dapat
membuat individu merasa tenang, diperhatikan, lebih percaya diri serta kompeten. Tersedianya
dukungan sosial akan membuat individu merasa dicintai, dihargai dan menjadi bagian dari
kelompok.Pendapat tersebut, bagaimanapun juga, menunjukkan bahwa dukungan sosial juga
dapat diberikan oleh suatu kelompok secara eksklusif kepada anggota kelompoknya.
Ketika definisi-definisi dukungan sosial oleh Pierce, Gottlieb serta Rook tersebut
digabungkan, dukungan sosial dapat dimaknai sebagai bantuan yang berasal dari orang lain di
luar individu di mana bantuan ini dapat mengambil banyak bentuk, termasuk di dalamnya
adalahnya informasi, tingkah laku tertentu ataupun materi dan juga kehadiran yang dapat
menjadikan individu mendapatkan manfaat emosional juga membuat individu penerima bantuan
dapat menjalin hubungan intrapersonal dengan individu penerima bantuan yang akan melindungi
individu tersebut dari konsekuensi stres. Sementara itu, dalam Social Support and Health
dukungan sosial diklasifikasikan dalam empat kategori yang dapat dijabarkan sebagai berikut:33
1. Dukungan informasi atau pemberian penjelasan tentang situasi dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan masalah yang tengah dihadapi individu. Kegiatan yang
termasuk ke dalam jenis dukungan ini antara lain adalah pemberian nasehat, petunjuk,
masukan ataupun penjelasan mengenai bagaimana seseorang bersikap.
2. Dukungan emosional atau mengekspresikan empati yang bisa dilakukan dengan
mendengarkan, bersikap terbuka, menunjukkan sikap percaya terhadap apa yang
tengah dikeluhkan, mau memahami serta mengekspresikan kasih sayang dan juga
33
Cohen, S & Syme, S. L. 1985.Social Support and Health. San Fransisco: Academic Press. 28 perhatian. Hasil yang dituju oleh bentuk dukungan emosional adalah agar penerima
merasa berharga, nyaman, aman, terjamin serta disayangi.
3. Dukungan instrumental atau pemberian bantuan secara langsung dan sifatnya bisa
berupa fasilitas ataupun materi, misalnya dengan menyediakan fasilitas yang
diperlukan, meminjamkan uang, memberikan makanan atau bantuan-bantuan lain.
4. Dukungan appraisal atau penilaian yang sering kali berbentuk penilaian yang positif,
penguatan atau pembenaran untuk melakukan sesuatu, umpan balik atau
menunjukkan perbandingan sosial yang dimaksudkan untuk membuka wawasan
seseorang yang tengah berada dalam keadaan tertekan.
Berdasarkan uraian di atas, pemberian dukungan sosial dapat dilakukan dengan caracara tertentu oleh individu terhadap individu lainnya yang dimaksudkan untuk membuat
keadaan penerima bantuan menjadi lebih baik tidak hanya secara material namun sering kali
justru ditekankan pada kondisi psikis penerima. Dukungan sosial dapat datang dari siapa saja
yang ada di lingkungan penerima namun sering kali dilakukan oleh individu yang sudah
memiliki kedekatan emosional dengan penerima. Dukungan sosial yang diberikan oleh
individu yang memiliki kedekatan personal maupun emosional dengan penerima akan
membuat penerima merasa lebih diperhatikan dan dicurahi kasih sayang sedangkan
dukungan sosial yang sama yang diberikan oleh individu yang lebih jauh dari penerima baik
secara personal maupun emosional memiliki bobot yang lebih rendah. Dengan demikian,
penilaian penerima terhadap dukungan sosial yang diberikan oleh seseorang sangat
dipengaruhi oleh kedekatan personal maupun emosional penerima dengan individu yang
memberikan dukungan sosial tersebut. Dukungan sosial tidak tertutup pada individu yang
29 dekat secara personal dan emosional dengan penerima saja. Dukungan sosial dari masyarakat
umumnya juga dapat dilakukan dengan perwakilan anggota masyarakat atau yang dikenal
sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta dilakukan secara professional sesuai
dengan kompetensi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Proses yang terjadi
dalam pemberian dan penerimaan dukungan sosial tersebut dipengaruhi oleh kemampuan
penerima dukungan untuk mempertahankan dukungan yang diperoleh.
30 
Download