perspektif kebijakan otonomi khusus dalam tinjauan ekonomi dan

advertisement
eJournal Administrative Reform, 2016, 4 (3): 363-374
ISSN 2338-7637, ar.mian.fisip-unmul.ac.id
© Copyright 2016
PERSPEKTIF KEBIJAKAN OTONOMI KHUSUS DALAM
TINJAUAN EKONOMI DAN POLITIK DI PROPINSI
KALIMANTAN TIMUR
Surpani 1, Antonius Margono 2, Syahrani 3
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana kebijakan otonomi
daerah khusus (assimetric decentralization) secara umum terhadap pengelolaan
keuangan (fiskal) daerah dan kewenangan pemerintahan daerah (politik daerah),
yakni terkait dengan pelimpahan kekuasaan, proses demokrasi. Dengan
menggunakan kajian deskriptif kualitatif diperoleh kesimpulan bahwa NKRI pada
dasarnya menganut menganut prinsip otonomi yang tidak simetris (assimetric
autonomic), sehingga pelaksanaan pembagian kewenangan antar daerah dibagi
secara proporsional berdasarkan sosio historis, kebutuhan keuangan dan tipologi
wilayah masing-masing. Bahwa usulan otonomi khusus yang diwacanakan di
Kalimantan Timur tidak hanya muncul dan berputar pada lingkaran elite saja,
tetapi juga didorong oleh organisasi masyarakat sipil dalam mewacanakan dan
merumuskan konsep otonomi khusus di Kaltim, sekalipun dalam kelompok yang
masih terbatas dan tidak massif. Pemberian otonomi khusus di Kalimantan Timur
setidaknya dapat memberikan dorongan bagi pelestarian dan penghargaan hakhak masyarakat adat setempat sebagai kebijakan politik atas warganegara
(political citizenship), yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Kata Kunci: perspektif, analisis kebijakan, otonomi khusus, ekonomi, politik,
kalimantan timur.
1
Mahasiswa Program Magister Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Mulawarman.
2
Dosen Program Magister Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Mulawarman.
3
Dosen Program Magister Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Mulawarman.
eJournal Administrative Reform, Volume 4, Nomor 3, 2016: 363-374
abstract
This study seeks to explain how the policy of special regional autonomy
(assimetric Decentralization) generally to financial management (fiscal) area and
the authority of local government (regional politics), which is associated with the
devolution of power, the democratic process. By using qualitative descriptive
study we concluded that the Homeland basically adhere to the principle of
autonomy is not symmetrical (assimetric autonomic), so that the implementation
of the division of authority between the regions divided proportionally based on
the socio-historical, financial need and typology of each region. That the
proposed special autonomy discourse in East Kalimantan not only appears and
rotates in elite circles, but also driven by civil society organizations in the
discourse and formulate the concept of special autonomy in East Kalimantan,
although the group is still limited and not massive. Granting special autonomy in
East Kalimantan at least can give a boost to the preservation and respect the
rights of local indigenous peoples as political policies on citizen (political
citizenship), which in turn can improve the welfare of the people.
Keywords : perspective, policy analyze, assimetric decentralization, economic,
political, east kalimantan.
Pendahuluan
Seiring dengan penerapan otonomi daerah, yang diberlakukan
sejak tanggal 1 Januari 2001, tentunya telah membawa implikasi pada bentuk
pelimpahan kewewenangan antara pusat dan daerah. Kebijakan tersebut tertuang
dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Undang-Undang ini dalam perkembangannya selanjutnya diperbaharui dengan
dikeluarkannya UU No.32 tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004.
Dengan diberlakukannya undang-undang ini, tentunya memberikan
peluang bagi daerah untuk menggali potensi lokal dan meningkatkan kinerja
keuangannya dalam rangka mewujudkan kemandirian daerah. Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 memiliki muatan utama terkait pembagian kewenangan dan
fungsi (power sharing) antara pemerintah pusat dan daerah. Sementara UndangUndang No. 33 Tahun 2004 mengatur pembagian sumber-sumber daya keuangan
(financial sharing) antara pusat-daerah yang didesain dengan menggunakan
prinsip money follow function atau “uang mengikuti kewenangan”. Artinya,
penyerahan kewenangan daerah juga dibarengi dengan penyerahan sumbersumber pembiayaan yang sebelumnya masih dipegang oleh pemerintah pusat
(Mahi dkk, 2001).
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 33 Tahun
2004 dikenal dengan Undang-Undang Otonomi Daerah, merupakan dasar pijakan
364
Perspektif Kebijakan Otonomi Khusus dalam Tinjauan Ekonomi (Surpani)
hukum atas implementasi desentralisasi fiskal di Indonesia. Dengan ditetapkannya
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, maka akan terjadi perluasan wewenang
pemerintah daerah. Sedangkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 diharapkan
akan menciptakan peningkatan kemampuan keuangan bagi daerah-daerah.
Oleh karena itu, otonomi daerah diharapkan bisa menjadi jembatan bagi
pemerintah daerah untuk mendorong efisiensi ekonomi, efisiensi pelayanan
publik sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta
meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal melalui berbagai efek multiplier dari
desentralisasi yang diharapkan bisa terwujud (Khusaini, 2006).
Inti dari otonomi daerah atau desentralisasi adalah demokratisasi dan
pemberdayaan. Otonomi daerah sebagai perwujudan dari demokratisasi
maksudnya adalah adanya kesetaraan hubungan antara pusat dan daerah, di mana
daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan,
kebutuhan dan aspirasi masyarakatnya.
Melihat kondisi keuangan daerah di seluruh Indonesia pada era otonomi
sangat berbeda dengan kondisi keuangan daerah sebelum berlakunya otonomi
daerah. Bentuk dana perimbangan, khususnya dana transfer dari pusat yang
dialokasikan untuk pembiayaan kegiatan otonomi daerah telah mengalir dan
meningkat dari tahun ke tahun dalam jumlah yang relatif besar.
Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal mengharapkan pemerintah
daerah memiliki kemandirian yang lebih besar dalam pengelolaan keuangan
daerah. Oleh karena itu, peranan PAD sangat menentukan kinerja keuangan
daerah. Pengukuran kinerja keuangan daerah yang banyak dilakukan saat ini
antara lain dengan melihat rasio antara PAD dengan APBD.
Teori Good Governance
Good Governance, bila dianalisis: "Good" rnaknanya adalah nilai-nilai yg
menjunjung tinggi kehendak rakyat dan meningkatkan kemampuannya dalam
pencapaian tujuan serta berdayaguna & berhasil guna dalam pelaksanaan
tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut. "Governance" maknanya pemerintahan
berfungsi secara efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan nasional yang
telah digariskan, dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945.
Menurut Andi Faisal Bakti, istilah good governance memiliki pengertian
pengejewantahan nilai-nilai luhur dalam mengarahkan warga Negara (citizens)
kepada masyarakat dan pemerintahan yang berkeadaban melalui wujud
pemerintahan yang suci dan damai. Dalam kontek Indonesia substansi wacana
good governance dapat dipadankan dengan istilah pemerintahan yang baik bersih
dan berwibawa. Senada dengan bakti, Santosa menjelaskan bahwa good
governance sebagaimana didefinisikan UNDP adalah pelaksanaan politik,
ekonomi dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa. Prinsip
demokrasi yang bertumpu pada peran sentral warga Negara dalam proses social
dan politik bertemu dengan prinsip-prinsip dasar good governance, yaitu
365
eJournal Administrative Reform, Volume 4, Nomor 3, 2016: 363-374
pengelolaan pemerintahanyang bersih dan berwibawa yang dirumuskan bersama
oleh pemerintah dan komponen masyarakat madani.
Teori Kebijakan
Kata policy secara etimologis berasal dari kata polos dalam bahasa
Yunani (greek) berarti Negara atau Kota. Dalam bahasa latin berubah menjadi
kata polotia yang berarti Negara, dan dalam bahasa Inggris lama (midlle english)
menjadi policy yang berarti berkaitan dengan urusan administrasi pemerintahan.
Kata policy diartikan sebagai sebuah rencana kegiatan atau pernyataan mengenai
tujuan-tujuan, yang diajukan atau diadopsi oleh suatu pemerintahan, partai politik,
dan lain-lain. Kebijakan juga diartikan sebagai pernyataan-pernyataan mengenai
kontrak penjaminan atau pernyataan tertulis (Hornby, 1995 : 893). Pengertian ini
mengandung arti bahwa yang disebut kebijakan adalah mengenai suatu rencana,
pernyataan tujuan, kontrak penjaminan dan pernyataan tertulis baik yang
dikeluarkan oleh pemerintah, partai politik, dan lain-lain. Dengan demikian
siapapun dapat terkait dalam suatu kebijakan.
Carl J. Friedrich dalam (Irfan Islamy 2004:7) mengatakan bahwa
kebijakan adalah serangkaian konsep tindakan yang diusulkan oleh seseorang atau
sekelompok orang atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan
menunjukkan hembatan-hambatan dan peluang terhadap pelaksanaan tersebut
dala rangka untuk mencapai suatu tujuan.
Richard Rose dalam (Wibawa 2011:2) mengemukakan definisi kebijakan
adalah serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta
konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan, bukan berarti
keputusan yang berarti sendiri. Pendapat Richard Rose tersebut memberi
pemahaman bahwa kebijakan tidak diputuskan secara sepihak melainkan atas
proses kerjasama antar kelompok kepentingan, partai politik, pemerintah
(eksekutif, legislatif, dan yudikatif), masyarakat dan lapisan lainnya. Adapun
pendapat B.N. Marbuan (2003:263) kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas
yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan dalam pemerintahan dan organisasi, pernyataan cita-cita, tujuan,
prinsip atau maksud sebagai garis pedoman dalam mencapai tujuan.
William Dunn dalam (Abidin 2002:4) mengemukakan istilah kebijakan
atau kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy memang bisa dikaitkan
dengan keputusan pemerintah, karena pemerintahlah yang mencapai wewenang
atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat dan bertanggungjawab melayani
kepentingan umum.
Soenarko (2005:43) Kebijakan publik adalah merupakan suatu keputusan
yang dilakukan oleh pejabat pemerintah yang berwenang, untuk kepentingan
rakyat, dimana kepentingan rakyat ini merupakan suatu keseluruhan yang utuh
dari perpaduan kristalisasi pendapat-pendapat, keinginan-keinginan dan tuntutantuntutan dari rakyat.
366
Perspektif Kebijakan Otonomi Khusus dalam Tinjauan Ekonomi (Surpani)
Thomas R. Dye dalam (Subarsono 2005:2) mengatakan bahwa kebijakan
publik sebagai apapun pilihan pemerintah untuk melakukan (public policy is
whaterver governments shoose to do or not to do)
Dari beberapa pengertian di atas, secara keseluruhan penulis dapat
menyimpulkan bahwa kebijakan dan kebijakan publik merupakan serangkaian
tindakan yang keputusan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah yang
berwenang, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertujuan untuk
memecahkan masalah untuk kepentingan rakyat, keinginan-keinginan dan
tuntutan-tuntutan dari rakyat.
Tahap-Tahap Kebijakan
Dalam pembuatan kebijakan terdapat tahap-tahap yang harus dilewati
agar suatu kebijakan dapat disusun dan dilaksanakan dengan baik. Kebijakan
yang dimunculkan sebagai sebuah keputusan terlebih dahulu melewati beberapa
tahap penting. Tahap-tahap penting tersebut sangat diperlukan sebagai upaya
melahirkan kebijakan yang baik dan dapat diterima sebagai sebuah keputusan.
Robert B. Denhardt dan Janet V. Denhardt dalam (Winarno, 2009 :33-34)
menyatakan tahap-tahap dalam kebijakan tersebut yaitu: penyusunan agenda,
formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi
kebijakan.
Otonomi Daerah dalam Konteks Ekonomi dan Politik
Secara umum konsep desentralisasi pada dasarnya terdapat empat jenis
desentralisasi (Sidik, 2002), yaitu:
1. Desentralisasi politik (political decentralization), yaitu pemberian hak kepada
warga Negara melalui perwakilan yang dipilih suatu kekuasaan yang kuat
untuk mengambil keputusan publik.
2. Desentralisasi administratif (administrative decentralization), yaitu
pelimpahan wewenang guna mendistribusikan wewenang, tanggung jawab
dan sumber-sumber keuangan untuk menyediakan pelayanan publik, terutama
yang menyangkut perencanaan, pendanaan dan manajemen fungsi-fungsi
pemerintahan dari pemerintah pusat kepada aparat di daerah, badan otoritas
tertentu atau perusahaan tertentu.
3. Desentralisasi fiskal (fiscal dezentralization) yaitu pelimpahan wewenang
dalam mengelola sumber-sumber keuangan, yang mencakup:
a. Self-financing atau cost recorvery dalam pelayanan publik terutama
melalui pengenaan retribusi daerah.
b. Cofinancing atau coproduction, dimana pengguna jasa berpartisipasi
dalam bentuk pembayaran jasa atau kontribusi tenaga kerja.
c. Transfer dari pemerintah pusat terutama berasal dari Dana Alokasi Umum
(DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), sumbangan darurat, serta pinjaman
daerah (sumber daya alam)
367
eJournal Administrative Reform, Volume 4, Nomor 3, 2016: 363-374
4. Desentralisasi ekonomi (economic or market decentralization), yaitu
kebijakan tentang privatisasi dan deregulasi yang intinya berhubungan dengan
kebijakan pelimpahan fungsi-fungsi pelayanan masyarakat dari pemerintah
kepada sektor swasta sejalan dengan kebijakan liberalisasi dan ekonomi pasar.
Otonomi Khusus
Pemberian otonomi yang berbeda atas satu daerah atau wilayah dari
beberapa daerah merupakan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang cukup
umum ditemui dalam pengalaman pengaturan politik di banyak negara.
Pengalaman ini berlangsung baik di dalam bentuk negara kesatuan yang
didesentralisasikan, maupun dalam format pengaturan federatif. Dalam khasanah
ilmu politik dan pemerintahan, pola pengaturan yang tidak sebanding ini disebut
sebagai asymmetrical decentralization, asymmetrical devolution atau
asymmetrical federalis, atau secara umum asymmetrical intergovernmental
arrangements. (Joachim Wehner dalam Djojosoekarto, 2008 :10).
Jenis Penelitian
Jika diklasifikasikan berdasarkan jenis penelitian, maka penelitian ini
termasuk pada jenis penelitian deskriptif, dimana penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis, mendeskripsikan dan menjelaskan tentang rencana kebijakan
otonomi khusus di Propinsi Kalimantan Timur dalam tinjauan politik daerah dan
fiskal.
Fokus Penelitian
Sebagaimana diungkapkan dalam tinjauan pustaka bahwa kebijakan
otonomi daerah (decentralization) secara umum akan berimbas pada pengelolaan
keuangan (fiskal) daerah dan kewenangan pemerintahan daerah (politik daerah),
dengan demikian maka fokus penelitian ini diarahkan pada :
1. Kebijakan Otonomi Khusus dalam Tinjauan Ekonomi
a. Dana Perimbangan (DAU, DAK, DBH)
b. Desentralisasi fiskal
c. Transfer dana ke daerah
2. Kebijakan Otonomi Khusus dalam Tinjauan Politik
a. Pelimpahan kekuasaan, demokrasi, penguatan DPRD
b. Penyerahan wewenang pemerintahan
c. Hubungan pusat-daerah
Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode yang tidak menggunakan sampel dan
hipotesis, tetapi penelitian harus dilakukan secara teliti, mendalam dan
menyeluruh untuk memperoleh gambaran mengenai prinsip-prinsip umum atau
pola-pola yang berlaku umum sehubungan dengan gejala-gejala yang ada dalam
368
Perspektif Kebijakan Otonomi Khusus dalam Tinjauan Ekonomi (Surpani)
kehidupan sosial masyarakat yang diteliti sebagai kasus itu sendiri. Maka analisis
data yang digunakan adalah analisis data kualitatif melalui data sekunder.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Miles, Huberman dan Saldana Miles dan
Huberman (2004: 20) mengatakan bahwa analisis data model interaktif melalui
tahapan-tahapan, sebagai berikut : 1. Pengumpulan data; 2. Reduksi data; 3.
Penyajian data (data display); 4. Pengambilan kesimpulan atau verifikasi
(drawing and verifying conclusition).
Hasil dan Pembahasan
Pertimbangan untuk melaksanakan otonomi khusus di Kalimantan Timur
setidaknya dapat ditinjau dari 2 (dua) perspektif, yakni dengan pendekatan
ekonomi dan pendekatan politik, dimana dapat dijelaskan sebagai berikut:
Perspektif Kebijakan Otonomi Khusus dalam Tinjauan Ekonomi
Dana Perimbangan (DAU, DAK, dan DBH)
Sebagaimana telah dijeaskan sebelumnya bahwa Dana perimbangan
merupakan dana yang bersumber dari penerimaan Anggaran Pendaparan Belanja
Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan
daerah, dimana meliputi :
a. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah
untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Dana Alokasi Umum (DAU) dari pemerintah Pusat kepada
daerah dilakukan untuk menjagadan menjamin tercapainya standar pelayanan
minimal di seluruh daerah.
b. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang dialokasikan kepada daerah
tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan kegiatan daerah
sesuai fungsi yang dtetapkan dalam APBN
c. Dana Bagi Hasil (DBH) terbagi menjadi 2 (dua) jenis, yakni Dana Bagi Hasil
(DBH) yang bersumber dari pungutan atas pajak dan Dana Bagi Hasil (DBH)
yang bersumber dari sumber daya alam (Minyak dan Gas).
Proporsi pembagian dana bagi hasil dapat dihitung dengan tetap mengacu
pada formula pembagian UU 33/ 2004 secara konsisten, yakni 85,5 % untuk pusat
dan 15,5 % untuk daerah, namun perhitungan ini harus berdasarkan pada nilai riel
litfing migas, bukan pada nilai asumsi (prognosis). Selama ini Kaltim hanya
memperoleh rata-rata 2,8 trilyun dan Kabupaten/ Kota sebesar 9,8 trilyun
pertahunnya, padahal jika dihitung secara konsisten seharusnya total nilai yang
diterima Kaltim sebesar 19,4 trilyun pertahun. Jika demikian maka Kaltim
tentunya akan mendapat tambahan dana dari bagi hasil migas rata-rata sekitar 4-5
trilyun rupiah pertahunnya.
369
eJournal Administrative Reform, Volume 4, Nomor 3, 2016: 363-374
Desentralisasi Fiskal (Pembagian Dana Otonomi)
Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk
mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan
banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan.
Jika melihat pada tugas pembangunan yang diamanatkan kepada
Pemerintah Daerah Kalimantan Timur, akan terlihat bahwa terjadi disparitas
antara beban biaya yang harus dikeluarkan dalam rangka belanja pembangunan
dengan kemampuan anggaran daerah, sehingga menghambat kerja pemerintahan
dalam proses pembangunan. Beberapa proyek multiyears yang terbengkalai serta
infrastruktur yang masih minim di beberapa daerah mengindikasikan bahwa
Propinsi Kalimantan Timur masih membutuhkan tambahan biaya pembangunan.
Tambahan dana pembangunan tersebut dapat diperoleh dengan dana
otonomi khusus yang dihitung dengan merujuk pada besaran kebutuhan
pembiayaan pembangunan Kaltim, dimana rata-rata kebutuhan dana
pembangunan sebesar 29,30 trilyun rupiah pertahunnya, sementara celah fiskal
yang dimiliki Kaltim hanya berkisar 8,35 trilyun rupiah, artinya terdapat selisih
defisit (kekurangan pembiayaan) pembangunan sebesar 20,95 trilyun pertahun,
selisih tersebut yang menjadi besaran kebutuhan tambahan yang harus dapat
terpenuhi.
Mekanisme Transfer Dana ke Daerah
Mekanisme transfer dana kedaerah merupakan konsekuensi atau akibat
dari tidak meratanya kemampuan keuangan dan ekonomi di daerah. Tujuan dari
transfer dana ke daerah adalah untuk mengurangi disparitas keuangan horizontal
antar daerah serta mengurangi kesenjangan vertikal Pusat-Daerah, dalam rangka
mengatasi persoalan dan efek pelayanan publik di daerah untuk menciptakan
stabilitas aktivitas perekonomian di daerah.
Tidak meratanya porsi pembangunan mengakibatkan beberapa daerah
tertinggal dibanding daerah lainnya, Kalimantan Timur
Besaran dana mengacu pada proporsi Dana otsus Aceh dan Papua, yakni
rata-rata sekitar 5 trilyun rupiah, ditambah dengan dana tambahan infrastruktur
otsus sebesar 2 trilyun rupiah pertahunnya, sehingga total sebesar 7 trilyun rupiah
pertahun. Jumlah tersebut hanya sebesar 8,37 % saja dari kontribusi kaltim
terhadap pusat, jika dibandingkan nilai kontribusi migas Kaltim teradap
pendapatan Negara yang diasumsikan rata-rata sekitar 95,56 trilyun rupiah
pertahunnya., nilai ini tentunya tidak akan terlalu berpengaruh pada struktur
APBN dan pengalokasian dana pembangunan di level nasional.
Perspektif Kebijakan Otonomi Khusus dalam Tinjauan Politik
Pelimpahan Kekuasaan, Demokrasi, Penguatan DPRD
Pelaksanaan otonomi khusus tentunya akan diberangi dengan pelimpahan
kekuasaan dari pemerintah pusat, sehingga diperlukan penguatan kelembagaan
370
Perspektif Kebijakan Otonomi Khusus dalam Tinjauan Ekonomi (Surpani)
baik ditataran eksekutif maupun legislatif, dimana otonomi khusus harus
memberikan ruang yang lebih efektif dan efisien dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat, dengan memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah
dalam merencanakan pembangunan dan mengembangkan potensi sumber daya di
daerah.
Pada dasarnya keberadaan otonomi khusus di Kaltim tidak akan terlalu
berimplikasi pada sistem dan struktur pemerintahan di daerah, karena tipologi
sosio-historisnya yang berbeda dengan Propinsi Aceh dan Papua, dimana kedua
daerah tersebut penerapan otonomi khusus berimplikasi signifikan terhadap
model pemerintahan daerah setempat.
Secara sosio historis keberadaan pemerintahan di Kalimantan Timur
merupakan sebuah evolusi budaya dari masa-kemasa yang memiliki dasar
kekhususan yang heterogen. Pengelolaan pembangunan hendaknya diarahkan
pada upaya penciptaan kesetaraan, keadilan dalam masyarakat multi etnik yang
majemuk sebagai perwujudan pencapaian cita-cita negara Indonesia yakni
kesejahteraaan masyarakat.
Hal tersebut sejalan dengan fenomena mobilitas sosial dan pelembagaan
struktur sosial masyarakat di Kalimantan Timur, yang memerlukan pemberian
kewenangan dalam mengelola dan mengembangkan masyarakat yang berbeda
dengan daerah lainnya. Pemberian otonomi khusus di Kalimantan Timur dapat
memberikan dorongan bagi pelestarian dan penghargaan hak-hak masyarakat
setempat sebagai kebijakan politik atas warganegara (political citizenship).
Penyerahan Wewenang Pemerintahan
Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka terdapat penyerahan
kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah yang merupakan fungsi
dekonsentrasi dalam aspek administratif pemerintahan, dimana pelaksaaan
otonomi memberikan ruang yang lebih efektif dan efisien dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat berdasarkan karakteristik wilayah setempat.
Penerapan otonomi khusus tentu akan berimplikasi pada naiknya
anggaran dana pembangunan, kondisi ini harus dibarengi dengan penguatan
kelembagaan baik ditataran eksekutif maupun legislatif, agar mampu mengelola
dana tersebut sesuai atuan dan ketentuan yang berlaku secara tranparan dan
akuntabel, dengan melibatkan partisipasi publik dalam pengawasan dan
pengelolaannya.
Sebagaimana prinsip dasar pemerintahan yang bersih dan berwibawa
(good governance), hanya dapat terbentuk dengan kolaborasi dan partisipasi aktif
tiga unsur utama yakni pihak Pemerintah, pihak Swasta dan partisipasi
Masyarakat. Sehingga pelaksanaan otonomi khusus hanya mungkin terwujud
dengan baik jika dibarengi dengan penguatan kelembagaan ditataran eksekutif
maupun legislatif, agar mampu mengelola dana tersebut sesuai atuan dan
ketentuan yang berlaku secara tranparan dan akuntabel, dengan melibatkan
partisipasi publik dalam pengawasan dan pengelolaannya
371
eJournal Administrative Reform, Volume 4, Nomor 3, 2016: 363-374
Hubungan Pusat-Daerah
Struktur sosial di Kalimantan Timur yang terbentuk secara alamiah,
dimana Propinsi Kalimantan Timur telah mengalami proses dialektika budaya
yang majemuk sehingga terbentuk menjadi daerah yang heterogen dengan
berbagai etnik dan suku di dalamnya yang berasal dari berbagai daerah di
Indonesia. Keragaman tersebut menjadi khasanah kekayaan budaya di satu sisi,
namun juga menimbulkan problem disisi lain. Kompleksitas budaya menjadikan
model masyarakat di Kalimantan Timur menjadi terfragmentasi berdasarkan
tipologi primordial sehingga cukup sulit menyatukan dalam satu gerakan
perjuangan membangun kedaerahan, sehingga posisi tawar Kaltim menjadi cukup
lemah dimata pemerintah pusat.
Kondisi tersebut membutuhkan penanganan yang komprehensif dalam
pembangunan struktur sosial kemasyarakatannya, dimana memerlukan sebuah
regulasi khusus yang mampu mengayomi dan melingkupi struktur masyarakat
yang beragam. Disisi lain keberadaan organisasi masyarakat sipil, organisasi
kemasyarakatan dan organisasi non pemerintah telah memberikan dorongan untuk
terbentuknya suatu struktur sosial kemasyarakatan kearah yang lebih ideal,
sehingga Pola hubungan antara pemerintah Pusat dan Daerah dapat terbangun
secara seimbang dengan baik dan sinergis.
Kesimpulan
1. Bahwa dalam pembagian kewenangan terhadap daerah dibawahnya Negara
Kesatuan Republik Indonesia menganut prinsip otonomi yang tidak simetris
(assimetric autonomic), dimana dalam pelaksanaan pembagian kewenangan
antar daerah dibagi secara proporsional berdasarkan sosio historis, kebutuhan
keuangan dan tipologi wilayah masing-masing.
2. Pelaksanaan otonomi khusus (otsus) di Kalimantan Timur dilatarbelakangi
karena adanya ketimpangan dalam pembangunan, dan ketidakadilan
pembagian dana perimbangan dari pusat terhadap daerah, sementara kondisi
di daerah Kaltim masih membutuhkan banyak pembangunan dibidang
infrastruktur dan peningkatan SDM, serta pemulihan degradasi lingkungan
akibat eksploitasi sumber daya alam selama ini.
3. Bahwa dalam perspektif fiskal, sumber alokasi dana otonomi khusus di
Kaltim dapat diperoleh dari dana perimbangan yang bersumber dari dana bagi
hasil atas sumber daya alam di Kaltim, mengingat kontribusi Kaltim dari
sektor ini relatif besar sementara proporsi pembagian (sharing revenue) yang
diberikan ke daerah masih relatif rendah.
4. Bahwa tidak ada acuan baku yang menjadi dasar argumentasi kebijakan
penetapan pembagian dana otonomi khusus. Sehingga dapat dilakukan
beberapa alternatif kebijakan terkait pengalokasian besaran dana otonomi
khusus di kaltim, sebagaimana tertuang dalam alternatif berikut :
a. Alternatif 1 ; Proporsi pembagian dana bagi hasil dihitung dengan tetap
mengacu pada formula pembagian UU 33/ 2004 secara konsisten, dan
372
Perspektif Kebijakan Otonomi Khusus dalam Tinjauan Ekonomi (Surpani)
5.
6.
7.
8.
9.
berdasarkan pada nilai riel produksi litfing migas, bukan pada nilai asumsi
(prognosis).
b. Alternatif 2 ; Dana otsus dihitung dengan merujuk pada selisih besaran
kebutuhan pembiayaan pembangunan Kaltim terhadap celah fiskal daerah.
Pelaksanaan otonomi khusus dalam konteks kebijakan politik lokal,
setidaknya memiliki 2 (dua) alasan utama, yakni alasan politis dan alasan
administratif. Secara politik, otonomi khusus dapat muncul karena tumbuhnya
kesadaran dari setiap warga negara (civic counsciousness) untuk
memperjuangkan hak-haknya dalam bidang sipil dan politik, selain itu tingkat
kedewasaan dalam berpolitik dari kelembagaan politik dan organisasi
masyarakat sipil memegang peranan yang cukup penting dalam membangun
kebersamaan ide gerakan politik di masyarakat , Selain itu politik bertujuan
untuk mengakomodir keanekaragaman budaya (pluralisme) yang muncul
dalam konteks negara moderen, selanjutnya bagaimana mencegah munculnya
kecenderungan sentrifugal karena perbedaan etnis, agama dan unsur
primordialisme lainnya.
Bahwa dalam konteks administratif, pelaksaaan otonomi khusus dapat
memberikan ruang yang lebih efektif dan efisien kepada pemerintah daerah
dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat, serta memberikan keleluasaan
bagi pemerintah daerah dalam merencanakan pembangunan dan
mengembangkan potensi sumber daya di wilayahnya.
Bahwa usulan otonomi khusus yang diwacanakan di Kalimantan Timur tidak
hanya muncul dan berputar pada lingkaran elite saja, tetapi juga didorong oleh
organisasi masyarakat sipil dalam mewacanakan dan merumuskan konsep
otonomi khusus di Kaltim, sekalipun dalam kelompok yang masih terbatas
dan tidak massif.
Pemberian otonomi khusus di Kalimantan Timur setidaknya dapat
memberikan dorongan bagi pelestarian dan penghargaan hak-hak masyarakat
adat setempat sebagai kebijakan politik atas warganegara (political
citizenship), yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat,
meningkatkan fungsi pelayanan publik serta mewujudkan penguatan
demokrasi ditingkat lokal.
Bahwa penerapan otonomi khusus di Kaltim tentunya berimplikasi pada
naiknya anggaran dana pembangunan di Kaltim, kondisi ini tentunya harus
dibarengi dengan penguatan kelembagaan baik ditataran eksekutif maupun
legislatif, agar mampu mengelola dana tersebut sesuai atuan dan ketentuan
yang berlaku secara tranparan dan akuntabel, dengan melibatkan partisipasi
publik dalam pengawasan dan pengelolaannya.
Saran
1. Bahwa dalam pelaksanaan Otonomi Khusus di Propinsi Kalimantan Timur,
hendaknya dapat melibatkan seluruh elemen masyarakat di Propinsi
373
eJournal Administrative Reform, Volume 4, Nomor 3, 2016: 363-374
Kalimantan Timur, sehingga gerakan otsus dapat lebih tersosialisasikan dan
membumi, bukan menjadi wacana elit semata.
2. Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur harus lebih progresif mengawal dan
mendorong usulan otonomi khusus kepada pemerintah pusat, dengan
menawarkan beberapa alternatif kebijakan fiskal yang rasional dan
argumentatif
3. Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur harus lebih meningkatkan sistem
pengelolaan keuangan daerah secara lebih akuntabel dan transparan,
berdasarkan perencanaan prioritas pembangunan sebagai bukti kemampuan
daerah dalam pengelolaan anggaran dana yang lebih besar.
Daftar Pustaka
Anonim, Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah
-----------, Undang-Undang RI Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah.
Djojosoekarto, Agung, Sumarwono, Suryaman, 2008, Kebijakan Otonomi Khusus
Papua, Cet. I - Jakarta: Kemitraan.
Dunn, William N., 2000, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Hornby, AS. 1995, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English,
Oxford: Oxford University Press.
Islamy, Irfan. 2003. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta: PT
Bumi Aksara
Kuncoro, Mudrajad, 2014, Otonomi Daerah: Menuju Era Baru Pembangunan
Daerah, Jakarta : Erlangga.
Miles, Mathew B.A, Michael Huberman. 2004. Analisis Data Kualitatif.
Penerjemah Tjetjep Rohendi. UI Press. Jakarta.
Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Alfabeta.
-----------. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabet.
Suharto, Edi, 2005, Analisis Kebijakan Publik; Panduan Praktis Mengkaji
Masalah dan Kebijakan Sosial, Bandung: CV. Alfabeta.
Winarno, Budi, 2012, Kebijakan Publik (Teori, Proses dan Studi Kasus),
Yogyakarta : CAPS
374
Download