BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aterosklerosis adalah proses inflamasi kronis yang dapat menyebabkan terjadinya angina pektoris, infark miokard dan infark cerebral (Okada et al., 2007). Sindroma koroner akut (SKA) merupakan manifestasi klinik aterosklerosis koronaria akibat ketidakseimbangan antara pasokan dengan kebutuhan oksigen otot jantung (Ozben and Erdogan, 2008). Manifestasi klinis SKA berupa Angina Pektoris Tak Stabil (APTS) akibat vasospasme arteri koronaria dan Infark Miokard Akut (IMA) akibat ruptur plak aterosklerotik, diikuti terbentuknya trombus (Buffon et al., 2002; Avanzas et al., 2004; Malarstig et al., 2008). Survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1992 menunjukkan penyakit kardiovaskuler (PKV) terutama penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab kematian pertama untuk usia yang di atas 40 tahun (Anwar, 2004). Beberapa tahun terakhir, inflamasi telah diketahui memiliki peranan penting dalam patogenesis terjadinya aterosklerosis dan ketidakstabilan plak ateroma (Boer et al., 2000; Lamb et al., 2002; Kleemann et al., 2008). Beberapa penanda inflamasi juga telah diteliti dalam hubungannya dengan kejadian kardiovaskuler ulangan (KKv) seperti kematian karena penyebab vaskuler, IMA, stroke, dan 1 2 recurrent cardiac ischemia (Okada et al., 2007). Saat ini salah satu penanda inflamasi yang sering digunakan sebagai penanda risiko penyakit kardiovaskuler adalah high sensitive C reaktive protein (hs-CRP) (Rifai, 2005). Patogen infeksi yang persisten menyebabkan respon imun di dalam tubuh hostnya dan dapat merangsang patogenesis dari aterosklerosis (Okada et al., 2007). Salah satu penyebab inflamasi yang akhir-akhir ini sering dihubungkan dengan aterosklerosis adalah infeksi Helicobacter pylori (H. pylori). H. pylori merupakan salah satu penyebab infeksi saluran cerna terbanyak di dunia yang mengakibatkan bermacam-macam penyakit mulai dari gastritis kronis sampai pada adenokarsinoma gaster dan limfoma (Franceschi dan Gasbarrini, 2007; Okada et al., 2007; Ayada et al., 2009). Hampir sebagian populasi manusia telah terinfeksi oleh H. pylori (Okada et al., 2007; Ayada et al., 2009; McColl, 2010), namun sebagian besar (lebih dari 70%) populasi yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala (Pranoto, 2003; Okada et al., 2007; Ayada et al., 2009). Bukti menunjukkan bahwa infeksi H. pylori biasanya berlangsung seumur hidup kecuali bila dieradikasi dengan antimikroba (Pranoto, 2003; Zhao et al., 2007). Meskipun infeksi H. pylori bersifat non-invasif dan terbatas pada lambung, infeksi tersebut dapat merangsang respons imun lokal dan sistemik. Pelepasan sejumlah sitokin proinflamasi secara kronik ditambah adanya mimikri antara antigen H. pylori dan antigen host menimbulkan dugaan adanya efek klinis di bagian tubuh yang lain (Pranoto, 2003). Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan hasil yang bertentangan dalam mencari hubungan antara infeksi H. pylori dengan terbentuknya aterosklerosis. Salah 3 satu hipotesis mengatakan bahwa H. pylori secara indirek berperan pada perkembangan aterosklerosis sebab patogen tersebut secara permanen ada pada gastrointestinal (Lamb et al., 2002). Ameriso et al. (2001) menyatakan bahwa deoxy ribonucleic acid (DNA) H. pylori ditemukan pada 20 dari 38 plak ateroma dan tidak ditemukan pada arteri carotid yang normal. Pasceri et al. (1998) menemukan prevalensi infeksi H. pylori secara signifikan lebih tinggi pada kasus (pasien ischemic heart disease) dibandingkan kontrol (subyek yang tidak memiliki riwayat ischemic heart disease dan hasil elektrokardiografi (EKG) normal) dengan OR 2,8 (95% CI, 1,3 s.d. 7,4; P<0,001). Hal ini menunjukkan bahwa H. pylori berperan dalam aterosklerosis melalui proses inflamasi yang persisten. Beberapa peneliti lainnya mengemukakan adanya hubungan infeksi H. pylori dengan berbagai penyakit nongastroduodenal, seperti penyakit kardiovaskuler diantaranya hipertensi, penyakit jantung koroner, aritmia, fenomena Raynaud, aterosklerosis, stroke, dan migraine (Lamb et al., 2002; Pranoto, 2003; Masoud et al., 2005). Franceschi dan Gasbarrini (2007) menyatakan hal yang sebaliknya bahwa tidak ada hubungan yang jelas antara H. pylori dan penyakit jantung iskemik. Mach et al. (2002), dalam penelitiannya menggunakan tikus yang diberikan makanan tinggi kolesterol, ditemukan bahwa infeksi H. pylori tidak mempengaruhi progresivitas pembentukan lesi aterosklerotik maupun deposisi lemak. Makrofag dan Sel-T yang ditemukan pada lesi aterosklerotik tersebut tidak berbeda antara tikus yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi H. pylori. Penelitian in vivo ini mengindikasikan bahwa infeksi H. pylori tidak berperan dalam pembentukan aterosklerosis. Menurut 4 Heuschmann et al. (2002), peningkatan antibodi terhadap H. pylori tidak berhubungan dengan stroke iskemik dan menurut Folsom et al. (1998), seropositif H. pylori tidak berhubungan dengan peningkatan rata-rata ketebalan tunika intima-media arteri carotid. Dalam suatu metaanalisis, disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang kecil tetapi tidak bermakna pada viskositas plasma dan kadar glukosa darah antara sampel yang seropositif dengan sampel yang seronegatif H. pylori. Perbedaan bermakna hanya ditemukan pada indeks massa tubuh dan kadar kolesterol High Density Lipoprotein (HDL), tetapi perbedaan tersebut nilai absolutnya kecil sehingga kemungkinan merupakan suatu bias publikasi dan tidak relevan terhadap hubungan antara infeksi H. pylori dengan penyakit jantung koroner. Dalam metaanalisis tersebut juga disimpulkan bahwa tidak ada korelasi yang kuat dan signifikan antara jumlah sel darah putih, tekanan darah, kadar total kolesterol, trigliserida, C reaktive protein (CRP) maupun fibrinogen dengan infeksi kronis H. pylori (Danesh and Peto, 1998). Pada penelitian yang bertujuan untuk menemukan H. pylori pada plak ateroma dari 50 pasien dengan aneurisma aorta abdominal, ternyata DNA H. pylori tidak ditemukan pada seluruh plak ateroma tersebut. Danesh et al. (1997) menyatakan bahwa pada beberapa penelitian yang menggunakan 200 sampel dalam penelitiannya, tidak ada yang menemukan hubungan yang bermakna antara seropositif H. pylori dengan penyakit jantung koroner. Sebagian besar jurnal hasil penelitian, baik yang mendukung maupun tidak mendukung adanya hubungan antara H. pylori dengan aterosklerosis menyarankan 5 perlunya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui bagaimana mekanisme terjadinya hubungan ini (Ameriso et al., 2001; Heuschmann et al., 2002). Dalam plak ateroma pembuluh darah manusia telah ditemukan adanya heat shock protein (HSP). HSP adalah molekul pengantar yang ada di mana-mana dan diekspresikan oleh organisme prokariot maupun eukariot (Lamb et al., 2002). Patofisiologi adanya HSP dalam plak ini masih belum jelas (Snoecks et al., 2001). Pockley et al. (2000) dalam penelitiannya menemukan bahwa kadar HSP60 serum berhubungan dengan ketebalan tunika intima-media. Ekspresi HSP60 ini juga berhubungan dengan keadaan proinflamasi dan berperan dalam induksi maupun progresivitas aterosklerosis sehingga kemungkinan dapat digunakan sebagai penanda awal penyakit kardiovaskuler. Zhang et al. (2008) menyatakan bahwa peningkatan kadar HSP60 serum berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit jantung koroner dan ekspresi HSP60 meningkat pada infark miokard akut. HSP60 yang berasal dari patogen termasuk H.pylori-HSP60 (Hp-HSP60) diperkirakan memegang peranan utama dalam aterogenesis (Lamb et al., 2002). Dalam urutan lengkap asam amino yang menyusun HSP60, terdapat dua peptida yang homolog antara Hp-HSP60 dengan Human-HSP60. Kedua peptida tersebut adalah Hp-HSP60II dan Hp-HSP60IV-V. Hp-HSP60II merupakan peptida yang asam aminonya terletak antara Glutamat101 dan Serin200, sedangkan HSP60IV-V merupakan peptida yang asam aminonya terletak antara Isoleusin300 dan Glisin435. Urutan peptida yang lebih pendek yang merupakan bagian dari Hp-HSP60II dan terletak antara Glutamat141 dan Leusin160 merupakan kandidat epitop pembeda/khas yang 6 berhubungan dengan penyakit kardiovaskuler. Peptida ini disebut sebagai HpHSP60II3 atau peptida B1 (Okada et al., 2007). Inflamasi dan respon imun lokal terhadap H. pylori di lambung dapat menginduksi sehubungan dengan sifat alamiah dari infeksi. Infeksi mengakibatkan terbentuknya menginduksi reaksi imun sistemik H. pylori yang kronis imunoglobulin G (IgG) anti-Hp-HSP60II3 dan polarisasi T helper 1 (Th1) (Lamb et al., 2002). Sel-T yang telah teraktivasi akan memproduksi Interferon γ (IFN-γ). IFN-γ kemudian akan mengaktivasi makrofag dan sel-sel dalam pembuluh darah sehingga mengakibatkan terjadinya rekruitmen sel-sel imun ke daerah lesi, peningkatan produksi kemokin dan molekul adesi, penumpukan kolesterol pada foam cell, serta pembentukan plak dan trombosis (Harvey and Ramji, 2005). Inflamasi kronis, IFN-γ, dan aktivasi makrofag memegang peranan penting dalam terjadinya ruptur plak aterosklerosis. Risiko terjadinya SKA dan KKv dipengaruhi oleh vulnerabilitas plak dan derajat stenosis vaskuler (Grammer, 2009). Stabilitas plak salah satunya ditentukan oleh produksi dan degradasi matriks, di mana proses tersebut dipengaruhi oleh faktor inflamasi (Harvey and Ramji, 2005). IFN-γ nampaknya memegang peranan sebagai mediator sentral aterosklerosis. IFN-γ menyebabkan dan Tumor necrosis factor α (TNF-α) dapat penurunan stabilitas plak aterosklerosis (Hansson, 2005). Dalam suatu penelitian dengan menggunakan tikus sebagai binatang coba ditemukan bahwa pada tikus dengan kadar IFN-γ lebih rendah, terjadi plak yang lebih stabil oleh karena lesi yang terbentuk berukuran lebih kecil, selularitas dan akumulasi 7 lemak lebih sedikit, tetapi lebih banyak mengandung fibrosis dan kolagen (Ford et al., 2005). Sebagai sel yang diaktivasi oleh IFN-γ, makrofag juga memegang peranan penting dalam pembentukan plak ateroma, kerusakan sumbat fibrous, dan pembentukan trombus intrakoroner. Makrofag akan memfagosit oxidized Low Density Lipoprotein (oxLDL) untuk membentuk foam cell. Foam cell merupakan komponen utama dari lesi awal aterosklerotik yang merupakan hasil dari produksi radikal bebas selama metabolisme oxLDL. Foam cell kemudian menjadi sasaran stress, sehingga membentuk banyak HSP60 yang dapat dikenali oleh sistem imun sebagai antigen. Respon imun ini akhirnya mengakibatkan foam cell akan mati/lisis dan selanjutnya akan menjadi komponen nekrotik dari plak aterosklerotik (Xu, 2001). Plak yang intinya nekrotik serta dipenuhi oleh sisa-sisa sel dan kolesterol, sangatlah tidak stabil dan kemungkinan besar akan menjadi ruptur (Packard and Libby, 2008). Plak yang mudah ruptur biasanya terdiri dari lapisan fibrous yang tipis dan banyak sel-sel inflamasi (Harvey and Ramji, 2005). Mediator inflamasi dapat menghambat sintesis kolagen dan meningkatkan ekspresi kolagenase oleh makrofag dalam foam cell. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kolagen dalam sumbat fibrous sehingga plak akan mudah ruptur (Packard and Libby, 2008). Lapisan fibrous yang tipis tersebut juga sebagai akibat dari rekrutmen makrofag serta aktivasinya yang terus menerus, yang kemudian mengeluarkan metalloproteinase dan ensim proteolitik lainnya. Rupturnya sumbat fibrous menyebabkan faktor jaringan terpapar ke inti plak yang nekrosis, sehingga mengaktifkan kaskade koagulasi dan terbentuklah trombus 8 (Harvey and Ramji, 2005). Ruptur plak dan terbentuknya trombus dapat mengakibatkan terjadinya SKA maupun KKv (Packard and Libby, 2008). Bila diaktivasi oleh IFN-γ, makrofag akan mengeluarkan neopterin. Neopterin adalah hasil hidrolisis dan oksidasi dari 7,8 dihydroneopterin triphosphate. Kadar neopterin berhubungan dengan tingkat stress oksidatif yang disebabkan oleh aktivasi sistem imun dan tingkat aktivasi makrofag (Grammer, 2009). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuktikan peranan neopterin sebagai marker aktivasi makrofag dalam hubungannya dengan penyakit arteri koroner, kronik stabil angina pektoris, maupun pada sindroma koroner akut, pada populasi Eropa Mediterania. Hasil penelitian yang berbeda-beda dalam membuktikan peranan neopterin dalam menilai risiko kardiovaskuler pada orang sehat dan pada pasien dengan penyakit arteri koroner yang stabil maupun tidak stabil, membutuhkan adanya penelitian lebih lanjut. Masih adanya perbedaan hasil dari beberapa penelitian yang telah dilakukan dan perlunya mengetahui bagaimana mekanisme hubungan infeksi H. pylori dengan aterosklerosis, mendorong untuk dilakukannya penelitian tentang infeksi H. pylori sebagai faktor risiko terjadinya kejadian kardiovaskuler ulangan (KKv) dengan melakukan pemeriksaan IgG anti-Hp-HSP60 II3 pada sindroma koroner akut (SKA). Penelitian ini juga ingin mengetahui peranan Sel-Th dan makrofag yang teraktivasi dalam meningkatkan risiko terjadinya KKv pada penderita SKA, melalui pemeriksaan IFN-γ sebagai sitokin yang dihasilkan oleh Th dan neopterin sebagai produk aktivasi makrofag, dan sekaligus membandingkan peranan IgG anti-Hp- 9 HSP60 II3, IFN-γ, dan neopterin tersebut dengan hs-CRP sebagai biomarker risiko terjadinya KKv pada penderita SKA. 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Apakah kadar neopterin yang tinggi merupakan biomarker risiko KKv pada penderita SKA? 1.2.2 Apakah kadar IgG anti-Hp-HSP60II3 yang tinggi merupakan biomarker risiko KKv pada penderita SKA? 1.2.3 Apakah kadar IFN-γ yang tinggi merupakan biomarker risiko KKv pada penderita SKA? 1.2.4 Apakah neopterin merupakan biomarker risiko KKv yang lebih baik dibandingkan dengan hs-CRP? 1.2.5 Apakah IgG anti-Hp-HSP60II3 merupakan biomarker risiko KKv yang lebih baik dibandingkan dengan hs-CRP? 1.2.6 Apakah IFN-γ merupakan biomarker risiko KKv yang lebih baik dibandingkan dengan hs-CRP? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Penelitian ini ingin membuktikan peranan epitop imunogenik Hp-HSP60II3, IFN-γ, dan neopterin pada pathogenesis kejadian kardiovaskuler ulangan pada sindroma koroner akut. 10 1.3.2 Tujuan khusus 1.3.2.1 Untuk membuktikan bahwa kadar neopterin yang tinggi merupakan biomarker risiko KKv pada penderita SKA. 1.3.2.2 Untuk membuktikan bahwa kadar IgG anti-Hp-HSP60II3 yang tinggi merupakan biomarker risiko KKv pada penderita SKA. 1.3.2.3 Untuk membuktikan bahwa kadar IFN-γ yang tinggi merupakan biomarker risiko KKv pada penderita SKA. 1.3.2.4 Untuk membuktikan bahwa kadar neopterin yang tinggi merupakan biomarker risiko KKv yang lebih baik dibandingkan dengan hs-CRP. 1.3.2.5 Untuk membuktikan bahwa kadar IgG anti-Hp-HSP60II3 yang tinggi merupakan biomarker risiko KKv yang lebih baik dibandingkan hs-CRP. 1.3.2.6 Untuk membuktikan bahwa kadar IFN-γ yang tinggi merupakan biomarker risiko KKv yang lebih baik dibandingkan dengan hs-CRP. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat akademik / ilmiah Penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan yang berharga dalam menjelaskan bahwa inflamasi dan infeksi H. pylori mempunyai peranan pada patogenesis kejadian kardiovaskuler ulangan pada sindroma koroner akut dan epitop imunogenik Hp-HSP60II3, sitokin IFN-γ serta neopterin dapat digunakan sebagai biomarker prognostik sindroma koroner akut. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai dasar penelitian selanjutnya, seperti misalnya peranan inflamasi dan infeksi H. pylori pada patogenesis aterosklerosis khususnya pada kasus stroke 11 dan peranan epitop imunogenik Hp-HSP60II3, IFN-γ, serta neopterin sebagai biomarker prognostik stroke. 1.4.2 Manfaat praktis Pembuktian bahwa infeksi H. pylori berperan penting pada patogenesis sindroma koroner akut, diharapkan dapat mengarahkan strategi penapisan dan penatalaksanaan penderita terinfeksi H. pylori serta dapat dipakai sebagai dasar dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang besarnya risiko yang ditimbulkan oleh infeksi tersebut. Pembuktian bahwa epitop imunogenik Hp-HSP60II3, IFN-γ, serta neopterin sebagai biomarker prognostik SKA bermanfaat untuk pencegahan sekunder / pengendalian progresivitas perburukan SKA dengan mengembangkan pemeriksaan biomarker tersebut untuk dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan terhadap pasien SKA. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi dan Gambaran Klinis Sindroma Koroner Akut (SKA) Sindroma koroner akut (SKA) merupakan manifestasi klinik aterosklerosis koronaria akibat ketidakseimbangan antara pasokan dengan kebutuhan oksigen otot jantung (Ozben and Erdogan, 2008). SKA sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan yang serius dan sebagai penyebab utama kunjungan ke Unit Gawat Darurat Kardiologi (Libby and Theroux, 2005). Meskipun telah banyak kemajuan di bidang kardiologi termasuk perubahan gaya hidup dan penggunaan obat-obat baru, di Amerika Serikat, Eropa dan sebagian besar Asia, 20% dari pasien yang berkunjung ke Unit Gawat Darurat dengan risiko kematian yang tinggi adalah pasien SKA. Manifestasi klinis SKA berupa Angina Pektoris Tak Stabil (APTS) akibat vasospasme arteri koronaria dan Infark Miokard Akut (IMA) akibat ruptur plak aterosklerotik, yang (Buffon et al., kematian diikuti terbentuknya 2002; APTS yang Avanzas tidak trombus, seperti et al., 2004; mendapat pada Gambar 2.1 Malarstig et al., 2008). Angka terapi mencapai lima s.d. sepuluh %, sedangkan angka kematian infark miokard mencapai 10 s.d. 20% (Futterman, 2002; Prasad et al., 2003). 12 13 Erosi / ruptur plak Pembentukan thrombus dengan / tanpa emboli Iskemia jantung akut NSTEMI STEMI Penanda nekrosis Penanda nekrosis tidak meningkat miokard meningkat APTS NSTEMI Q waves (-) Penanda nekrosis miokard meningkat STEMI Q waves (+) Sindroma Koroner Akut Gambar 2.1 Gambaran Klinis pada SKA (Grech and Ramsdale, 2003) Pengetahuan tentang patogenesis dari aterosklerosis berkembang demikian pesatnya dalam periode 20 tahun terakhir (Rodriguez et al., 2009). Perkembangan tersebut mulai dari dominan peranan konsep metabolik sampai pada dominan konsep inflamasi (Libby and Theroux, 2005). Ruptur plak / erosi diikuti pembentukan 14 trombus dengan atau tanpa terjadinya emboli dapat menimbulkan iskemia jantung akut. Diagnosis SKA ditegakkan berdasarkan tiga kriteria dasar yaitu gejala klinis berupa nyeri dada (spesific chest pain / cardiac chest pain), gambaran elektrokardiogram (EKG), dan evaluasi penanda biokimia (enzim jantung / cardiac markers). 2.1.1 Nyeri dada (spesific chest pain / cardiac chest pain) Nyeri dada spesifik (angina) merupakan gejala kardinal penderita SKA dan tentunya harus dapat dibedakan dengan nyeri dada yang lainnya (non spesific chest pain / non cardiac chest pain). Ciri nyeri dada angina (spesific chest pain / cardiac chest pain) : 1. Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial. 2. Sifat nyeri : seperti ditekan / ditindih / berat, rasa terbakar, ditusuk, diperas. 3. Penjalaran : rasa nyeri menjalar ke arah lengan kiri bagian ulnar, leher, mandibula, gigi, punggung interskapula dan terkadang ke lengan kanan. 4. Lamanya lebih dari 20 menit. 5. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau dengan obat nitrat. 6. Faktor pencetus : latihan fisik, stres emosional, udara dingin dan sesudah makan. 7. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin dan lemas. 2.1.2 Elektrokardiogram (EKG) Elektrokardiogram pada penderita SKA dilakukan secara serial untuk evaluasi dan monitoring. Gambaran EKG pada SKA : 15 1. Angina Pektoris Tak Stabil (APTS) : depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T, kadang kadang elevasi segmen ST saat ada nyeri, tidak dijumpai gelombang Q. 2. Non ST Elevasi Miokard Infark (NSTEMI) : depresi segmen ST, inversi gelombang T dalam. 3. ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) : elevasi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang Q. 2.1.3 Penanda biokimia / cardiac markers Penanda biokimia adanya SKA ini mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Pada awalnya terdapat beberapa penanda biokimia yang digunakan untuk menunjang diagnosis SKA diantaranya adalah aspartate aminotransferase (AST), lactate dehydrogenase (LDH), dan creatin kinase muscle band (CKMB). Penanda biokimia yang saat ini digunakan untuk menunjang diagnosis SKA adalah : 1. CKMB : protein yang dikeluarkan oleh sel jantung yang mengalami kerusakan. Protein ini meningkat setelah tiga jam serangan infark miokard, mencapai kadar puncak dalam 10 s.d. 24 jam dan kembali normal dalam dua s.d. empat hari. Peningkatan di atas dua kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis otot jantung (infark miokard). 2. Troponin : protein ini meningkat dua jam setelah serangan infark miokard dan mencapai puncak dalam 10 s.d. 24 jam, serta masih dapat dideteksi lima – empat belas hari setelah infark. Terdapat dua macam troponin yang dapat digunakan untuk diagnosis infark, yaitu troponin T dan troponin I. Hasil positif pada 16 pemeriksaan troponin T atau troponin I menunjukkan adanya nekrosis otot jantung (infark miokard). 2.2 Faktor Risiko Klasik Sindroma Koroner Akut (SKA) Terdapat beberapa faktor yang sudah diyakini sebagai risiko SKA. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah dislipidemia (peningkatan oxLDL), merokok, diabetes melitus, hipertensi, obesitas, hemodinamik lokal/shear stress, dan infeksi (Clamydia pneumoniae, Cytomegalo virus, Helicobacter pylori). Faktor risiko tersebut berperan dalam terjadinya disfungsi endotel, yang merupakan awal proses aterosklerosis (Ross, 1999; Badimon et al., 2002). 2.2.1 Dislipidemia Menurut Adult Treatment Panel III (ATP III) 2002, yang dimaksud dengan dislipidemia adalah : 1. Kadar kolesterol total ≥ 200 mg/dL atau 2. Kadar kolesterol HDL < 40 mg/dL atau 3. Kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dL atau 4. Kadar trigliserida ≥ 150 mg/dL. Inflamasi dan ketidakseimbangan metabolisme lemak merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan dalam patogenesis aterosklerosis. Adanya infiltrasi retensi kolesterol LDL memicu respon inflamasi pada dinding dan vaskuler (Daugherty et al., 2005). Pada penelitian Framingham Heart Study, didapatkan bahwa hipertrigliseridemia merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit jantung koroner. LDL mempunyai fungsi utama untuk memenuhi kebutuhan kolesterol sel-sel 17 tubuh, juga sekaligus merupakan faktor penghambat sintesis kolesterol di dalam selsel tersebut. Tanpa adanya kompetisi penghambat sintesa ini, maka akan timbul overflow kolesterol ke dalam sistem pembersih (scavenger cells) tubuh, seperti makrofag (Suastika dan Sutanegara, 1992; Jialal and Sridevi, 1996). Makrofag yang tertahan di subendotel mengubah lipoprotein yang berdekatan dan dalam pemindahan lipoprotein yang telah berperan diubah tersebut dari ekstrasel (Daugherty et al., 2005). Lipoprotein akan mengalami modifikasi seperti oksidasi, lipolisis, proteolisis maupun agregasi (Rudd et al., 2009). Proses oksidasi dan enzimatik untuk memodifikasi kolesterol LDL menjadi oxLDL di tunika intima dapat menyebabkan terjadinya pelepasan phospolipid. Phospolipid akan mengaktivasi sel endotel terutama di bagian terjadinya shear stress. Kondisi ini akan menginduksi sel endotel untuk mengekspresikan molekul adesi leukosit. Molekul adesi leukosit akan mempengaruhi monosit dalam sirkulasi bermigrasi melewati inter-endothelial sehingga monosit akan menempel dan junction menuju subendothelial. Monosit/makrofag menangkap oxLDL dan membentuk foam cells. Akumulasi lipid dan shear stress memicu proses inflamasi pada dinding arteri (Hansson, 2005). Bila makrofag terpapar oleh lipoprotein dalam jumlah banyak, maka banyaknya kolesterol yang masuk ke dalam sel tidak bisa dikompensasi dengan penurunan uptake lipoprotein maupun penurunan sintesis kolesterol, sehingga kolesterol intrasel akan terus meningkat. Pada akhirnya foam cell tidak mampu lagi mengkompensasi peningkatan jumlah kolesterol intraseluler, diikuti peningkatan 18 konsentrasi unesterified cholesterol yang melebihi ambang batasnya sehingga memicu terjadinya apoptosis dan nekrosis sel (Crowe et al., 2010). 2.2.2 Diabetes melitus Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya hiperglikemia. Pada DM tipe satu, terjadi defisiensi absolut insulin yang disebabkan oleh destruksi sel beta pankreas yang memproduksi insulin. DM tipe satu sering ditemukan pada usia lebih muda, sedangkan DM tipe dua lebih sering ditemukan pada usia lanjut (Bennet and Knowler, 2005). Pada DM tipe dua terjadi gangguan metabolik yang meliputi hiperglikemia, advance glycation end products (AGE), kadar free fatty acid (FFA), dan dislipidemia. Hiperglikemia akut akan memicu terbentuknya penurunan sintesis radikal bebas, peningkatan stres oksidatif, nitric oxide (NO) yang mengakibatkan terjadinya disfungsi endotel (Faxon, 2004; Ceriello, 2005). Berdasarkan konsensus Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) 2010, diabetes melitus ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan : 1. Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL atau 2. Kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL atau 3. Kadar glukosa darah pada dua jam setelah pemberian glukosa 75 gr ≥ 200 mg/dL atau 4. Penderita telah terdiagnosis DM 19 2.2.3 Merokok Merokok akan memicu terbentuknya radikal bebas, yang selanjutnya akan menimbulkan stres oksidatif dan mengakibatkan terjadinya disfungsi endotel (Ross, 1999). Risiko untuk mengalami SKA lebih tinggi pada perokok, (walaupun rokok rendah tar) dibandingkan dengan bukan perokok. Risiko SKA akan meningkat 30% pada perokok pasif dan 80% pada perokok aktif. Dalam suatu penelitian invitro, ditemukan bahwa merokok berhubungan dengan penurunan jumlah NO sehingga akan mempengaruhi fungsi vasomotor, proses inflamasi, adesi leukosit, aktivasi platelet dan trombosis. Oleh karena itu, berkurangnya sintesis NO berdampak pada inisiasi dan perkembangan aterosklerosis serta proses trombosis. Merokok dapat meningkatkan jumlah leukosit darah tepi 20% s.d. 25% dan berhubungan dengan peningkatan penanda inflamasi seperti CRP, Interleukin 6 (IL-6) dan TNF-. Kadar E-selectin, vascular cell adhesion melecules-1(VCAM-1), intercellular adhesion melecules-1 (ICAM-1), kolesterol total, trigliserida, dan LDL kolesterol lebih tinggi pada perokok dibandingkan bukan perokok (Ambrose and Barua, 2004). 2.2.4 Hipertensi Pada keadaan hipertensi terjadi peningkatan aktivitas pro inflamasi, peningkatan pembentukan hydrogen peroxide, radikal bebas (anion superoxide) dan radikal hidroksil pada plasma. Substansi tersebut akan menekan pembentukan nitric oxide pada endotel sehingga terjadi peningkatan adesi leukosit dan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer (Ceriello, 2005). 20 Menurut Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and treatment high blood pressure (JNC) VII untuk usia ≥ 18 tahun, hipertensi ditegakkan bila ditemukan tekanan darah sistol ≥ 140 mmHg dan atau diastol ≥ 90 mmHg atau penderita dengan riwayat hipertensi dan sedang mengonsumsi obat antihipertensi. 2.2.5 Obesitas Hasil penelitian yang dilakukan dalam waktu 20 tahun terakhir menunjukkan bahwa obesitas khususnya obesitas viseral, merupakan faktor risiko yang kuat terjadinya DM tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler (Depres, 1999). Obesitas viseral berhubungan dengan resistensi insulin, dislipidemia aterogenik, perubahan status protrombosis, dan proinflamasi yang semuanya dapat meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis (Depres, 1999; Tjokroprawiro, 2005). Pada obesitas viseral akan terjadi dislipidemia, penurunan produksi adiponectin, dan pelepasan adipocytokines oleh sel-sel adiposit. Adiponectin berperan dalam regulasi sensitivitas insulin dan homeostasis glukosa. Penurunan adiponectin menyebabkan terjadinya resistensi insulin, sedangkan pelepasan adipocytokines mengakibatkan terjadinya keadaan proinflamasi. Oleh karena itu, akumulasi lemak viseral tersebut dapat menyebabkan terjadinya resistensi insulin, hiperinsulinemia, status protrombosis dan proinflamasi serta dislipidemia aterogenik. Dislipidemia aterogenik terdiri atas 9 komponen diantaranya adalah peningkatan trigliserida, asam lemak bebas, rasio kolesterol : kolesterol HDL, lipoprotein remnant, Apo-B, small dense LDL, penurunan kolesterol HDL dan “normal” kolesterol LDL. Perubahan status protrombosis dan proinflamasi yang dapat terjadi pada obesitas viseral adalah 21 peningkatan PAI-1, fibrinogen, CRP, IL-6, TNF- dan penurunan adiponectin. Semua hal tersebut dapat merangsang terjadinya aterosklerosis yang kemudian akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler (Tjokroprawiro, 2005). Indikator untuk menentukan adanya obesitas adalah indeks masa tubuh (IMT). Seseorang dengan IMT 25 s.d. 29,9 dikategorikan sebagai obese I, IMT 30 dikategorikan sebagai obese II. IMT dihitung dengan cara membagi berat badan dengan kuadrat tinggi badan (Depres, 1999; Tjokroprawiro, 2005). 2.2.6 Hemodinamik lokal/shear stress Shear stress berkaitan dengan aliran darah/hemodinamik lokal yaitu aliran darah relatif lebih lambat tetapi mengalami oskilasi cepat yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan dan berlanjut dengan disfungsi endotel. Disfungsi endotel merupakan cikal bakal proses aterosklerosis. Oleh karena itu, shear stress merupakan salah satu faktor fisik penting pada proses aterosklerosis. Rupturnya plak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu plak yang eksentrik nonkalsifikasi, tipisnya fibrous cap, large lipid core (>50% luas plak), jumlah sel radang yang berinfiltrasi, neovaskulerisasi dan hemodinamik lokal/shear stres. Ruptur plak yang berlanjut dengan trombogenesis merupakan patogénesis dari SKA (Fukumoto et al., 2008). 2.2.7 Infeksi Terdapat pergeseran fokus dalam pemahaman tentang aterosklerosis, di mana aterosklerosis tidak hanya berhubungan dengan faktor risiko klasik seperti merokok, hipertensi dan tingginya kadar kolesterol, tetapi juga berhubungan dengan 22 infeksi bakteri maupun Patogen infeksi yang virus yang persisten (Osterud and Bjorklid, 2003). persisten seperti H. pylori dapat menyebabkan respon imun di dalam tubuh hostnya dan merangsang patogenesis dari aterosklerosis (Franceschi and Gasbarrini, 2007; Okada et al., 2007). Beberapa penelitian seroepidemiologi membuktikan bahwa infeksi dapat menginisiasi dan mendorong aterogenesis. Patogen aterogenik memicu terjadinya inflamasi kronik sehingga berakibat pada dikeluarkannya berbagai macam sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6, dan TNF-. IL-6 merangsang hepatosit membentuk protein fase akut seperti CRP dan fibrinogen (Binder et al., 2002). Beberapa peneliti dapat membuktikan adanya perubahan seluler dan molekuler pada aterogenesis terkait infeksi Chlamydia pneumoniae, Cytomegalo Virus, dan Helicobacter pylori (Okada et al., 2007). 2.3 Patogenesis Aterosklerosis dan Ruptur Plak Aterosklerotik Aterosklerosis adalah kelainan progresif lambat, multifaktorial yang ditandai dengan adanya penumpukan lemak di intima dinding pembuluh darah, berhubungan dengan infiltrasi sel mononuklear dan proliferasi sel otot polos (Mandal et al., 2004). Penumpukan lemak ini diikuti oleh pembentukan kemokin, sitokin dan growth factor (Winther et al., 2005). Aterosklerosis berawal dari adanya proses inflamasi kronis dan dapat menyebabkan terjadinya angina pektoris, infark miokard dan infark cerebral (Pockley, 2002; Okada et al., 2007; Kleemann et al., 2008). Pada fase awalnya, lapisan plak terdiri dari relatif sedikit lapisan lemak dan relatif banyak sel 23 inflamasi seperti limfosit T teraktivasi, sel mastosit, makrofag dan imunoglobulin, yang menunjukkan keterlibatan proses inflamasi dan proses imun pada aterogenesis (Mandal et al., 2004; Yang et al., 2006; Kleemann et al., 2008). Plak ateroma dari manusia dan hewan coba mengandung limfosit T dalam jumlah yang banyak, yang sebagian besar mengekspresikan antigen Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II dan beberapa ada yang mengekspresikan reseptor IL-2 sehingga menunjukkan keadaannya yang teraktivasi (Mandal et al., 2004). Sebagian besar Sel-T yang ditemukan pada plak ateroma manusia dan hewan coba adalah Sel-T cluster of differentiation 4 (CD4) yang proinflamasi memiliki karakteristik sebagai Th 1 (Baidya and Zeng, 2005; Gotsman et al., 2007). Penelitian lain menunjukkan bahwa Sel-T pada ateroma manusia sebagian besar adalah Sel-Th 1 yang berhubungan dengan reseptor alpha / beta. Adanya Sel-T pada lesi aterosklerotik mempunyai implikasi penting di mana sel ini bisa berfungsi sebagai sel efektor dan TNF-α, mengeluarkan faktor kemotaktik seperti misalnya IFN-γ, IL-2 untuk merekrut sel mast, makrofag, dan sel otot polos (Wick et al., 2001; Davenport dan Tipping, 2003; Mandal et al., 2004). Sel-T ini juga bisa menentukan diferensiasi dan fungsi sel B serta monosit (Wick et al., 2001; Mandal et al., 2004). Sel-T mengenali secara spesifik antigen-antigen termasuk oxLDL dan HSP60. Sel-T ini akan teraktivasi mempresentasikan antigen bila makrofag maupun sel dendritik ini kepada Sel-T yang terdapat dalam plak maupun jaringan limfoid (Gotsman et al., 2007). Dalam sebuah penelitian didapatkan bahwa Sel-T yang spesifik terhadap beberapa bakteri meningkat pada plak aterosklerotik 24 dibandingkan pada darah tepi pasien, yang mengarahkan pada kesimpulan bahwa Sel-T spesifik tersebut memiliki peran pada proses inflamasi pembentukan plak aterosklerotik (Van Der Meer et al., 2008). Gambar 2.2 Tahap Pembentukan Aterosklerosis (Faxon et al., 2004) LDL masuk ke sub-endotelium dan dioksidasi oleh makrofag dan sel otot polos (proses 1,2). Pengeluaran growth factor dan sitokin untuk menarik monosit tambahan (proses 3,4). Penumpukan sel dan proliferasi sel otot polos menghasilkan pertumbuhan plak(proses 6,7,8). Secara ringkas, aterosklerosis diawali dengan adanya kerusakan lapisan endotel dinding arteri yang diikuti dengan perubahan permiabilitas sel endotel, peningkatan ekspresi molekul adesi pada permukaannya dan produksi sitokin. Monosit dan Sel-T akan bermigrasi ke dalam lapisan intima dinding pembuluh darah. Di dalam intima, monosit berdiferensiasi menjadi makrofag yang kemudian akan memakan oxLDL dan membentuk foam cell, seperti pada Gambar 2.2. Penumpukan foam cell, Sel-T dan beberapa sel otot polos ini membentuk fatty streak. Proses pembentukan fatty streak ini telah terjadi sejak usia dini. Foam cell mensekresikan cytokines attracting monocytes dan terperangkapnya makrofag menyebabkan terjadinya proses rekrutmen 25 monosit yang terus menerus, yang berakibat pada perluasan volume lesi. Pada perkembangan selanjutnya, fatty streak ini akan bertambah luas seiring dengan bertambahbanyaknya migrasi sel mononuklear dari aliran darah ke dalam sub endotel pembuluh darah yang diikuti dengan migrasi sel otot polos dari tunika media ke tunika intima, proliferasi sel dan pembentukan matriks ekstraseluler untuk membentuk sumbat fibrous. Selanjutnya, plak tersebut akan mengalami kalsifikasi atau memiliki vaskulerisasi baru, seperti pada Gambar 2.3 (Harvey and Ramji, 2005). Gambar 2.3 Pembentukan Sumbat Fibrous (Ross, 1999) Sumbat fibrous berfungsi menutupi inti nekrotik dari aterosklerotik. Inti yang nekrotik berasal dari sisa-sisa foam cell yang telah mati akibat apoptosis ataupun nekrosis (Harvey and Ramji, 2005). Akumulasi makrofag dan peningkatan jumlah kolesterol menyebabkan ketidakseimbangan komponen seluler pada pembuluh darah dan memperbesar inflamasi yang telah terjadi. Bila makrofag terpapar oleh 26 lipoprotein dalam jumlah banyak, maka banyaknya kolesterol yang masuk ke dalam sel tidak bisa dikompensasi dengan penurunan uptake lipoprotein maupun penurunan sintesis kolesterol, sehingga kolesterol intrasel akan terus meningkat. Pada akhirnya foam cell tidak mampu lagi mengkompensasi peningkatan jumlah kolesterol intraseluler, diikuti peningkatan konsentrasi unesterified cholesterol yang melebihi ambang batasnya sehingga memicu terjadinya apoptosis dan nekrosis sel. Sel makrofag yang mati mengeluarkan protease yang menyebabkan degradasi matriks ekstraseluler dan nekrosis sel-sel di sekitarnya termasuk sel endotel yang menutupi plak serta membiarkan kolesterol dalam jumlah besar yang nantinya akan ditangkap oleh makrofag lainnya (Crowe et al., 2010). Stabilitas plak ditentukan oleh produksi dan degradasi matriks, di mana proses tersebut dipengaruhi oleh faktor inflamasi. Stabilitas tersebut juga dipengaruhi oleh kalsifikasi dan neovaskulerisasi yang terjadi (Harvey and Ramji, 2005). Plak yang intinya nekrotik serta dipenuhi oleh sisa-sisa sel dan kolesterol sangatlah tidak stabil dan kemungkinan besar akan menjadi ruptur (Packard and Libby, 2008). Plak yang mudah ruptur biasanya terdiri dari lapisan fibrous yang tipis dan banyak sel-sel inflamasi (Harvey and Ramji, 2005). Mediator inflamasi dapat menghambat sintesis kolagen dan meningkatkan ekspresi kolagenase oleh makrofag dalam foam cell. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kolagen dalam sumbat fibrous sehingga plak akan mudah ruptur (Packard and Libby, 2008). Lapisan fibrous yang tipis tersebut juga sebagai akibat dari rekrutmen makrofag serta aktivasinya yang terus menerus, yang kemudian mengeluarkan metalloproteinase dan ensim proteolitik lainnya. Ensim ini 27 menyebabkan degradasi matriks dan perdarahan dari pembuluh darah yang ada dalam plak tersebut atau dari lumen arteri yang mengakibatkan terbentuknya trombus dan oklusi arteri. Rupturnya sumbat fibrous menyebabkan faktor jaringan terpapar ke inti plak yang nekrosis sehingga mengaktifkan kaskade koagulasi dan terbentuklah trombus (Harvey and Ramji, 2005). Ruptur plak dan terbentuknya trombus dapat mengakibatkan terjadinya sindroma koroner akut (Packard and Libby, 2008) Risiko terjadinya SKA dipengaruhi oleh vulnerabilitas plak dan derajat stenosis vaskuler. Faktor risiko SKA meliputi faktor lokal dan faktor sistemik, yang terdiri dari kelainan dinding vaskuler, aliran darah, trombogenisitas. Vulnerabilitas plak dipengaruhi oleh luasnya akumulasi lipid core dari plak, tebalnya fibrous cap, bentuk eksentrik, jumlah sel-sel inflamasi yang berinfiltrasi, tingginya kadar sitokin pro inflamasi dan derasnya aliran darah akibat perubahan hemodinamik (mechanical stress) terutama pada shoulder of the cap (mengandung kolagen dan otot polos terbatas) (Davies, 2000; Fukumoto et al., 2008). Lipid core dapat mencapai ≥ 40% dari volume plak, yang terdiri dari protrombotik, oxLDL, dan faktor jaringan dari makrofag. Kondisi tersebut yang menyebabkan paparan komponen lipid core ke dalam sirkulasi sangat trombogenik. Di samping itu, terdapat juga serbukan sel-sel radang terutama monosit-makrofag di samping juga sel limfosit-T maupun sel mast. Sel-sel radang tersebut dapat mencapai daerah plak aterosklerotik karena difasilitasi oleh molekul adesi seperti; VICAM-1 (Vascular Cell Adhesion Molecule1), dan chemokines seperti MCP-1 (Ross, 1999). 28 2.3.1 Interferon-γ (IFN-γ), peranannya dalam pembentukan dan ruptur plak aterosklerosis Plak aterosklerotik yang diinfiltrasi oleh makrofag yang teraktivasi, limfosit-T, limfosit-B, sel plasma dan sel mast akan mengeluarkan molekul inflamasi yang meningkatkan keparahan penyakit. Komponen penting dari aterosklerosis diperankan oleh respon imun terhadap self dan atau antigen luar yang dimediasi oleh Sel-Th (Benagiano et al., 2005). Sel-T yang teraktivasi akan memproduksi sitokin-Th (IFN-γ) yang akan mengaktivasi makrofag dan sel pembuluh darah mengakibatkan terjadinya rekruitmen sel-sel imun ke daerah lesi, peningkatan produksi kemokin, molekul adesi, penumpukan kolesterol pada foam cell, pembentukan plak dan trombosis, seperti pada Gambar 2.4 (Harvey and Ramji, 2005). Gambar 2.4 Peranan IFN-γ dalam Aterosklerosis (Harvey and Ramji, 2005) 29 IFN-γ nampaknya memegang peranan sebagai mediator sentral aterosklerosis. Pada penelitian dengan menggunakan tikus yang kadar IFN-γ nya rendah didapatkan pembentukan lesi yang ukurannya lebih kecil, sedikit akumulasi lemak maupun selularitasnya tetapi banyak mengandung fibrosis dan kolagen sehingga terjadi plak yang lebih stabil (Ford et al., 2005). Plak yang stabil ditandai dengan infiltrat inflamasi kronis, sedangkan plak yang rapuh dan ruptur ditandai dengan inflamasi aktif yang terjadi di dalam kapsul jaringan ikat yang tipis (Spagnoli et al., 2007). Hiperkolesterolemia dan hipertensi merupakan keadaan yang juga dapat meningkatkan rekruitmen sel leukosit ke dinding pembuluh darah yang akan berlanjut pada aktivasi inflamasi dan proses pembentukan plak (Hansson, 2001). LDL teroksidasi (oxLDL) dapat bersifat sebagai autoantigen dan memegang peranan penting pada pembentukan aterosklerosis (Zhou et al., 2005). Peranan penting oxLDL dalam respon imun sebagai antigen yang ini meliputi merangsang respon aktivasi IFN-γ dan berperan juga Sel-T yang dapat mengakibatkan instabilitas plak (Baidya and Zeng, 2005). Interferon (IFN) terdiri dari dua tipe yaitu tipe I dan tipe II. Tipe I terdiri dari IFN-, IFN-, IFN- dan IFN- yang memiliki sekuen yang homolog dan diproduksi oleh banyak tipe sel. Interferon tipe II adalah IFN-γ yang diproduksi selama adanya inflamasi. Produksinya diatur oleh sekresi sitokin seperti IL-12 dan IL-18 oleh antigen presenting cell (APC). IFN-γ sendiri disekresi killer cell (sel NK) dan Sel-Th1. Th1 secara oleh natural umum memiliki respon 30 proinflamasi dan memperburuk perkembangan aterosklerosis yang ditunjukkan dengan sekresi IFN-γ, Gambar 2.5. Gambar 2.5 Beberapa Kelas Limfosit dengan Sitokin yang Diproduksi dan Peranannya dalam Aterosklerosis (Libby et al., 2009) Dalam salah satu kepustakaan disebutkan bahwa IFN-γ memiliki beberapa fungsi/sifat. Sifat pro-aterogenik IFN-γ ditunjukkan melalui perannya dalam merekrut sel-sel imun ke daerah lesi. Peran ini menyangkut kemampuannya dalam meningkatkan produksi kemokin, merangsang ekspresi molekul adesi seperti VCAM-1, ICAM-1 pada sel endotel dan sel otot polos, meningkatkan ekspresi 31 integrin pada permukaan sel otot polos pembuluh darah, serta mengaktivasi makrofag dan Sel-T. IFN-γ juga meningkatkan kalsifikasi dan neovaskulerisasi pada plak dan berperan dalam apoptosis foam cell yang mengakibatkan plak menjadi tidak stabil. IFN-γ merangsang peningkatan produksi matrix metalloproteinases (MMP) oleh makrofag dan sel otot polos. Di samping memiliki peran pro aterogenik, IFN-γ juga dikatakan memiliki peran anti aterogenik. Peran IFN-γ sebagai anti aterogenik adalah menurunkan uptake oxLDL dan menghambat oksidasi LDL oleh makrofag. Peranan pro maupun anti aterogenik masih diperdebatkan. Peran IFN-γ tergantung dari tingkat patologi / perkembangan aterosklerosis dan adanya faktor lain pada ateroma. Perlu diteliti lebih lanjut tentang peran dari IFN-γ sesuai tingkat perkembangan aterosklerosis (pembentukan foam cell, angiogenesis, kalsifikasi, atau ruptur plak) (Harvey and Ramji, 2005). 2.3.2 Neopterin, hubungannya dengan pembentukan dan ruptur plak aterosklerosis Bila diaktivasi oleh IFN-γ, makrofag akan mengeluarkan neopterin. Neopterin adalah substansi dengan berat molekul rendah, hasil hidrolisis dan oksidasi dari 7,8 dihydroneopterin triphosphate dengan bantuan enzim guanosine-triphosphatecyclohydrolase I (GCH I), Gambar 2.6. IFN-γ merupakan satu-satunya sitokin yang dapat merangsang pembentukan neopterin. Neopterin merupakan penanda yang unggul untuk aktivasi sistem imun seluler. Dalam hal monitoring, neopterin memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan IFN-γ sebab neopterin lebih lama di dalam tubuh dan half-life nya hanya ditentukan oleh ekskresi ginjal. Sedangkan IFN-γ setelah 32 disekresikan sangat cepat diikat oleh organ target. Neopterin dapat diperiksa kadarnya sebab secara kimia dan biologi neopterin ini stabil di dalam cairan tubuh (Ray et al., 2007; Rodriguez et al., 2009). Kadar neopterin berhubungan dengan tingkat stress oksidatif yang disebabkan oleh aktivasi sistem imun dan tingkat aktivasi makrofag (Grammer et al., 2009). Gambar 2.6 Produksi Neopterin oleh Makrofag (Fuchs et al., 2009) Sel inflamasi seperti makrofag berperan pada tahap awal pembentukan lesi aterosklerotik dan aktivasinya berperan pada proses ketidakstabilan plak (Ray et al., 2007). Neopterin ditemukan meningkat pada penyakit infeksi, keganasan, penyakit autoimun, anemia, gangguan jantung, gangguan ginjal, penyakit arteri koroner rejeksi setelah dan pencangkokan organ (Grammer et al., 2009; Ray et al., 2007 ). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar neopterin lebih tinggi pada penderita SKA dibandingkan dengan penderita angina pektoris kronis dan individu sehat. Peningkatan kadar neopterin berhubungan dengan adanya plak yang mudah ruptur dan beberapa tahun terakhir ini aktivasi sel endotel dan aktivasi monosit / makrofag 33 memegang peranan penting pada aterogenesis maupun ketidakstabilan plak. Marker inflamasi sitemik dan aktivasi makrofag seperti kadar neopterin serum berhubungan dengan adanya stenosis dan perkembangan ke arah kejadian kardiovaskuler yang serius (Zouridakis et al., 2004). Masih sedikit penelitian klinik yang dapat mendukung pendapat bahwa peningkatan aktivasi monosit dapat digunakan untuk mengidentifikasi bahwa pasien dengan SKA tersebut memiliki peningkatan risiko SKA ulang, sekaligus memperkuat dugaan aktivasi imun yang meningkat berperan pada aterosklerosis (Ray et al., 2007). 2.3.3 High sensitive C reaktive protein (hs-CRP) hubungannya dengan pembentukan dan ruptur plak aterosklerosis High Sensitive C Reaktive Protein (hs-CRP) adalah suatu protein fase akut yang merupakan pentraxin family, protein plasma yang berikatan dengan ligandnya. Molekul CRP manusia tersusun atas lima subunit polipeptida nonglikosilasi yang identik, masing-masing mengandung 206 residu asam amino (Yudkin et al., 1999). Regulator utama dalam sintesis CRP adalah IL-6, Gambar 2.7. diinduksi oleh TNF-α. Kadar IL-6 ditemukan meningkat Sintesis IL-6 pada kejadian aterosklerosis (Harris et al., 1999; Calabro et al., 2003). Hs-CRP berikatan dengan afinitas tertinggi pada residu phosphocholine. hs-CRP juga berikatan dengan varietas ligand autolog dan ekstrinsik (ribonukleoprotein nuklear, sel apoptosis). Setelah berikatan dengan ligandnya, hs-CRP mempunyai efek sekunder yaitu menginisiasi, opsonisasi, fagositosis dan melisiskan respon terhadap inflamasi (Pepys and Hirschfield, 2003). sel sebagai 34 Hs-CRP dikaitkan dengan kondisi dan keparahan aterosklerosis serta dapat memprediksi kejadian kardiovaskuler baik pada individu dengan atau tanpa penyakit kardiovaskuler. Peningkatan konsentrasi mediator-mediator inflamasi dapat menggambarkan inflamasi dalam dinding arteri yang berkaitan dengan aterosklerosis. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kadar hs-CRP meningkat pada pasien dengan penyakit aterosklerosis. Hubungan antara hs-CRP dengan ketebalan intima media arteri karotis tetap merupakan kontroversi (Porcu, 2004). Gambar 2.7 Pembentukan CRP (Hanson, 2005) Diantara beberapa biomarker yang telah diteliti dapat digunakan sebagai prediktor infark miokard, CRP merupakan marker yang paling baik secara aplikasi klinisnya. Kadar CRP ini relatif stabil, tidak memerlukan perlakuan khusus saat pengambilan bahan/sample, memiliki waktu paruh yang relatif lama dan tanpa variasi 35 diurnal. Beberapa penelitian kohort berskala besar telah membuktikan bahwa hsCRP dapat digunakan sebagai prediktor infark miokard, stroke dan kematian kardiovaskuler (Libby et al., 2009). 2.4 Helicobacter pylori dan Aterosklerosis 2.4.1 Helicobacter pylori Helicobacter pylori (H. pylori) telah mengubah diagnosis dan pengobatan penyakit gastroduodenal secara dramatis sejak keberhasilan isolasi mikroorganisme berbentuk spiral ini pada tahun 1982. Meskipun H. pylori merupakan salah satu bakteri patogen paling umum pada manusia, sebagian besar (lebih dari 70%) orang yang terinfeksi tidak bergejala (Pranoto, 2003; McColl, 2010). Penyakit primer yang terjadi setelah kolonisasi H. Pylori adalah gastritis kronis aktif. Tingkat keparahan dari proses inflamasi kronis ini tergantung pada karakteristik strain yang membentuk koloni, respon imun dan genetik host serta banyaknya produksi asam (Kusters et al., 2006) H. pylori merupakan bakteri microaerophilik, gram negatif dengan empat sampai enam flagela unipolar. Bakteri yang sangat motil ini memberikan hasil positif pada pengujian enzim urease, katalase, dan oksidase. Pada spesimen biopsi lambung, H. pylori berwujud spiral berujung bulat dengan panjang 2,5 sampai lima m dan lebar 0,5 sampai satu m, Gambar 2.8. H. pylori bersifat mikroaerofilik dan kapnofilik, yaitu tumbuh optimal pada kadar O2 5% sampai 15% dan CO2 5%. Ketahanan hidupnya berkurang pada inkubasi aerob dan pertumbuhannya sangat jelek pada kondisi anaerob. Bakteri ini sangat fastidious 36 dan pada penderita yang diketahui terinfeksi, kegagalan kultur bisa mencapai 10%. H. pylori hanya tumbuh pada suhu 30 sampai 37C, tetapi dilaporkan dapat bertahan hidup pada suhu kurang dari 30C dalam beberapa makanan segar (buah, sayuran, daging, ikan) (Kusters et al., 2006). Gambar 2.8 Hasil Mikrograf Elektron Scanning H. pylori di Permukaan Sel Lambung (Pranoto, 2003) Secara keseluruhan, bakteri ini memiliki komposisi amplop yang sama dengan bakteri gram negatif lainnya, yang terdiri dari inner membrane, periplasma dengan peptidoglikan dan outer membrane. Outer membrane terdiri dari fosfolipid dan lipopolisakarida (LPS). Variasi LPS H. pylori berperan dalam heterogenitas populasi dan memungkinkan terjadinya adaptasi H. pylori terhadap perubahan kondisi mukosa gaster. Secara keseluruhan, genome H. pylori terdiri dari dua protein metalloregulatory, dua regulator heat shock, dua regulator respon orphan dan beberapa protein regulator lainnya. Paparan stres oksidatif terhadap H. Pylori mengakibatkan ekspresi gen oxidative stress defense. H. pylori memiliki struktur jaringan regulator yang baik yang memungkinkan terjadinya respon optimal terhadap stres lingkungan termasuk lingkungan gaster (Kusters et al., 2006). H. pylori dapat 37 dikultur pada pH 4,5 sampai dengan 9 pada kelembaban tinggi (Pranoto, 2003; Kusters et al., 2006). H. pylori hidup di lapisan mukus lambung dalam jumlah besar (104 sampai 107 coloni forming unit (CFU) per gram mukus lambung). Hanya sedikit bagian selnya yang melekat pada mukosa dan tidak sampai masuk dalam mukosa. Karena itu bakteri ini dikatakan tidak invasif (Pranoto, 2003; McColl, 2010). Kemampuan uniknya untuk tumbuh dalam lambung manusia diperoleh melalui aktivasi urease dalam sitoplasmanya, yang berfungsi mengubah urea menjadi amonia. Amonia ini akan menetralkan asam lambung yang memasuki membran luar bakteri sehingga mencegah pengasaman membran dalam. Suatu kanal (channel) yang melintasi membran sel bakteri membantu masuknya urea ke dalam sitoplasma H. pylori. Adanya asam akan meningkatkan urea yang masuk 300x lipat sehingga terbentuk cukup banyak amonia untuk menetralkan periplasma (area antara membran dalam dan membran luar bakteri) (Pranoto, 2003). A A B Gambar 2.9 Gambaran Histologis Mukosa Lambung (Pranoto, 2003) A: mukosa antrum yang normal, dengan infiltrasi limfosit yang jarang pada lamina propria; dan B: gastritis aktif dengan epitel yang diinfiltrasi neutrofil dan infiltrasi limfosit yang menyolok di lamina propria. 38 Lambung manusia merupakan satu-satunya reservoir H. pylori yang diketahui. Belum ditemukan reservoir lain (hewan atau lingkungan) yang signifikan. Jalur penularan infeksi H. pylori masih belum jelas, namun tiga kemungkinan jalur telah dikemukakan : iatrogenik, fecal-oral, dan oral-oral. Penularan iatrogenik terjadi melalui tabung nasogastrik atau endoskop yang telah bersentuhan dengan mukosa lambung penderita. Jalur fecal-oral dan oral-oral dimungkinkan karena H. pylori diketahui dapat dikultur dari tinja (khususnya anak-anak), rongga mulut, ludah, dan muntahan. Tidak terdapat asosiasi antara infeksi H. pylori dengan transmisi seksual (Pranoto, 2003). Infeksi terutama terjadi pada masa anak-anak. Hampir semuanya didapat sebelum usia 10 tahun. Namun bukti menunjukkan bahwa infeksi H. pylori biasanya berlangsung seumur hidup kecuali bila dieradikasi dengan antimikroba (Pranoto, 2003; McColl, 2010). H. pylori menyebabkan inflamasi lambung atau gastritis, Gambar 2.9. Hal ini didukung oleh beberapa bukti : ditemukannya H. pylori pada hampir semua penderita gastritis, timbulnya gastritis (akut atau kronis) pada relawan yang menelan H. pylori, sembuhnya gastritis setelah eradikasi H. pylori, dan identiknya pola epidemiologis dan geografis antara infeksi H. pylori dengan gastritis (Pranoto, 2003). Meskipun sebagian besar infeksi H. pylori bersifat kronik aktif, banyak pasien yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala dan tidak menunjukkan adanya komplikasi. Hal ini menimbulkan pemikiran bahwa beberapa strain lebih virulen dibandingkan strain lainnya. Strain yang lebih virulen ini mampu meningkatkan patogenisitasnya dengan cara mengubah morfologi, merangsang vakuolisasi dan degenerasi pada 39 kultur sel in vitro. Aktivitas ini berhubungan dengan adanya protein dengan berat molekul 140 kilodalton ( kDa) yang diberi nama CagA (cytotoxin-associated gene A). Protein CagA adalah protein dengan sifat imunogenik yang tinggi yang di encoded oleh gene cagA. Gen ini terdapat pada 50% - 70% strain H. pylori. Pasien yang terinfeksi oleh strain CagA menunjukkan respon inflamasi yang lebih hebat dan lebih berisiko untuk berkembang menjadi ulkus peptikum atau karsinoma lambung. Strain lain dari H. pylori adalah VacA vacuolating cytotoxin. Kurang lebih 50% dari seluruh strain H. Pylori mengeluarkan VacA, suatu protein 95 kDa dengan tingkat imunitas yang tinggi dan dapat menginduksi vakuolisasi pada sel epitel secara in vitro. Protein VacA ini juga memegang peranan penting pada patogenesis ulkus peptikum maupun karsinoma lambung. Ekspresi VacA berbeda dari waktu ke waktu mengikuti evolusi bakteri yang merupakan usaha adaptasi genetiknya sehingga mampu menimbulkan infeksi persisten. Peranan CagA maupun VacA sampai saat ini masih kontroversial sebab beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hasil yang berbedabeda (Kusters et al., 2006). Meskipun tidak menimbulkan gejala, gastritis ini meningkatkan risiko tukak lambung dan duodenal, adenokarsinoma lambung, dan penyakit limfoproliferatif mukosa lambung. Proses inflamasi dimulai dengan melibatkan neutrofil, disusul limfosit B dan T, sel plasma, dan makrofag, sejalan dengan kerusakan sel epitel. Berhubung H. pylori tidak bersifat invasif, respon penjamu terutama dipicu oleh perlekatan H. pylori ke sel epitel. Selama fase dini infeksi, perlekatan tersebut menyebabkan induksi kemotaksis dan aktivasi neutrofil, baik secara langsung 40 ataupun tidak langsung. Induksi secara langsung terjadi melalui sejumlah produk H. pylori seperti: urease, porin dan neutrophil activating protein (HP-NAP). Secara tak langsung, induksi terjadi melalui sekresi beberapa sitokin oleh epitel lambung sebagai respon terhadap infeksi H. pylori, yaitu: Interleukin 8 (IL-8), epithelial-cellderived neutrophil-activating peptide 78 (ENA-78) dan growth-related oncogen (GRO-) (Pranoto, 2003; Takenaka et al., 2004; Lin et al., 2005). Secara garis besar, pemeriksaan penunjang untuk menentukan diagnosis infeksi H. pylori dibedakan menjadi tes Endoskopi dan tes non-Endoskopi. Tes non- Endoskopi terdiri atas tes serologi, urea breath test, dan fecal antigen test. Tes serologi adalah tes yang paling sering digunakan untuk mendeteksi infeksi. Akan tetapi sebuah penelitian metaanalisis terhadap beberapa pemeriksaan serologi kuantitatif yang komersial menunjukkan bahwa secara keseluruhan sensitivitas pemeriksaan tersebut adalah 85% dan spesifisitasnya 79%. Terdapat variasi nilai cut off antara populasi satu dengan lainnya dan hasil yang dikeluarkan lebih sering berupa positif, negatif, atau meragukan. Tes ini juga kecil kegunaannya dalam mengkonfirmasi eradikasi dari infeksi karena antibodi akan tetap ada selama beberapa bulan setelah eradikasi. Urea breath test dilakukan dengan meminta pasien untuk meminum C-labeled urea yang akan diubah menjadi karbondioksida berlabel oleh urease pada H. pylori. Gas berlabel ini diukur pada sampel nafas. Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksan ini 95%, akan tetapi jarang menggunakan bahan radioaktif. Fecal antigen test adalah dilakukan karena pemeriksaan antigen 41 H. pylori pada sampel feses dengan menggunakan antibodi monoklonal atau poliklonal. Akan tetapi penggunaan antibodi monoklonal memberikan hasil lebih akurat. Pemeriksaan urea breath test maupun fecal antigen test dapat diturunkan sensitivitasnya bila pasien menggunakan obat yang mengandung antagonis reseptor H2, inhibitor pompa proton dan antibiotika. Pemeriksaan endoskopi sekaligus biopsi mukosa lambung biasanya dilanjutkan dengan pemeriksaan metode urease untuk melihat perubahan pH dan warna larutan, pemeriksaan histopatologi dan kultur (McColl, 2010). Isolasi H. pylori dari biopsi gaster sulit dilakukan dan kebanyakan tidak berhasil (Kusters et al., 2006). Pemeriksaan kultur yang biasa dilakukan relatif kurang sensitif dan tidak banyak laboratorium yang bisa melakukannya (McColl, 2010). 2.4.2 Heat shock protein (HSP) Bila terjadi kerusakan endotel yang disebabkan oleh karena infeksi maupun keadaan aterogenik, endotel akan mengekspresikan molekul adesi untuk mengikat leukosit (Meurman et al., 2004). Bila ditemukan Sel-T yang tereaktivasi pada plak aterosklerosis, maka hal yang paling utama untuk diidentifikasi adalah molekul atau autoantigen yang dapat merangsang reaktivasi tersebut, dan salah satu molekul yang diperkirakan adalah HSP (Pockley, 2002). Akhir-akhir ini HSP60 diduga berperan sebagai autoantigen penting dalam proses aterosklerosis (Baidya and Zeng, 2005; Yang et al., 2006). HSP merupakan protein mitokondrial yang ditemukan pada permukaan sel yang diekspresikan oleh organisme prokariot maupun eukariot (Wick et al., 2001; 42 Benagiano et al., 2005; Okada et al., 2007). HSP adalah protein intraseleluler yang secara umum memiliki fungsi protektif pada keadaan infeksi maupun stress seluler (Osterud and Bjorklid, 2003). HSP merupakan molekul yang ada di mana-mana, konstan dan memiliki urutan asam amino yang sangat homolog antar spesies mulai dari tingkat bakteri sampai manusia (Mandal et al., 2004; Okada et al., 2007; Puijvelde et al., 2007). HSP dapat disekresikan oleh beberapa patogen (salah satunya H. pylori), sel pembuluh darah mamalia, dan sel-sel dalam plak aterosklerosis. HSP dibedakan berdasarkan berat molekulnya (Lamb et al., 2002; Okada et al., 2007). HSP memiliki fungsi yang beraneka ragam dalam keadaan normal maupun stress (Mandal et al., 2004). HSP berperan dalam mempertahankan berbagai macam protein seluler pada bentuk lipatan fungsionalnya (Moseley, 2000; Lamb et al., 2002; Okada et al., 2007). Dalam keadaan normal maupun stress, HSP memfasilitasi pembentukan lipatan protein baru, melarutkan kembali agregat protein, memperbaiki atau mencegah degradasi dari denaturasi protein, membantu pelipatan kembali protein yang sudah didenaturasi, membantu dalam transport molekular masuk ke membran intrasel, dan meningkatkan kemampuan sel untuk bertahan dari rangsangan stress (Zugel and Kaufmann, 1999; Jolly and Marimoto, 2000; Mandal et al., 2004; Benagiano et al., 2005; Macario, 2007). Secara fisiologi, HSP dikeluarkan dalam jumlah sedikit dan bertujuan untuk melindungi sel dari apoptosis (Zugel and Kaufmann, 1999; Xu, 2002; Mandal et al., 2004). Selain membantu pelipatan protein yang salah agar menjadi bentuk yang native, HSP juga mampu melakukan autoregulasi. HSP dikeluarkan oleh 43 sel-sel yang rusak dan menempati permukaan sel. Adanya HSP pada permukaan sel ini memberi tanda bahwa telah terjadi tekanan dan kerusakan pada sel sehingga dapat dideteksi dan dibersihkan oleh sistem imun. Ada pendapat lain bahwa HSP sendiri bersifat antigenik atau dapat berfungsi sebagai molekul tambahan pada presentasi antigen (Jolly and Marimoto, 2000). Dalam keadaan patologi, bermacam-macam stressor diantaranya infeksi, stress biomekanik, oxLDL, radikal bebas, toksin, heat shock, dan stress yang lain, mengakibatkan sel-sel banyak yang mati (Zugel and Kaufmann, 1999; Xu, 2002; Mandal et al., 2004). Sel-Sel-Tersebut mengeluarkan HSP intrasel ke ekstrasel dalam kadar yang tinggi untuk membentuk HSP soluble (HSPs) (Xu, 2002; Mandal et al., 2004; Benagiano et al., 2005; Rigano et al., 2007). HSP intra sel bersifat sitoprotektif, sedangkan HSP ekstra sel / terikat membran memiliki fungsi imunologi (Rigano et al., 2007). Pada individu yang hiperlipidemia, diabetes, merokok, dan hipertensi, dapat terjadi stress oksidatif, dan stress oksidatif ini dapat merangsang ekspresi HSP pada sel otot polos pembuluh darah (Pockley, 2002). Endotel dan sel lain pada dinding pembuluh darah bereaksi terhadap stressor dengan memproduksi HSP dengan kadar yang tinggi untuk dapat mempertahankan hidupnya (Okada et al., 2007). Dinding pembuluh darah adalah komponen fungsional yang terintegrasi dari sistem sirkulasi yang selalu melakukan remodeling untuk merespon berbagai jenis stress seperti stress oksidatif/radikal bebas, heat shock / heat treatment, etanol, overload hemodinamik, stress operasi, infeksi, injuri karena iskemia atau sepsis, toksin (lipopolisakarida, oxLDL), merokok, dan hiperkolesterol 44 (Mandal et al., 2004; Ford et al., 2005; Puijvelde et al., 2007). Rangsangan ini secara langsung atau tidak langsung menyebabkan perubahan dalam tekanan darah dan kerusakan dinding pembuluh darah dan akhirnya menyebabkan kekakuan pembuluh darah dan obstruksi. Untuk mempertahankan homeostasis, sel endotel memproduksi HSP yang melindungi pembuluh darah dari kerusakan selama stress hemodinamik. Selain sel endotel, ekspresi HSP oleh makrofag juga dapat diinduksi oleh fluid shear stress, oxidized lipoprotein, dan sitokin. Ekspresi HSP ini dapat terjadinya reaksi imun, namun ternyata reaksi imun terhadap menyebabkan HSP ini justru berperan dalam terbentuknya aterosklerosis, Gambar 2.10 (Mandal et al., 2004). Gambar 2.10 Reaksi Imun terhadap HSP sebagai Autoantigen dalam Hubungannya dengan Aterosklerosis (Mandal et al., 2004) 45 Protein stress merupakan antigen utama yang dikenali oleh sistem imun pada keadaan patologi termasuk infeksi bakteri, penyakit autoimun, inflamasi dan penyakit neurodegeneratif. Beberapa penelitian awal menunjukkan bahwa HSP atau fragmen dari HSP dapat berfungsi sebagai antigen dan dikenali oleh sistem imun (Jolly and Marimoto, 2000). Saat menginfeksi manusia, patogen meningkatkan ekspresi HSP untuk mempertahankan hidupnya. Dengan peningkatan jumlah HSP patogen dalam sel menyebabkan terjadinya penghancuran HSP secara cepat oleh antigen presenting cell (APC). Determinan yang berasal dari patogen kemudian akan dipresentasikan oleh sel host untuk mempermudah dikenalinya sel yang terinfeksi oleh sistem imun. Walaupun peranan pasti HSP dalam imunitas terhadap infeksi mikroba tidak diketahui dengan lengkap, nampaknya HSP berperan sebagai antigen yang penting dalam pertahanan terhadap agen infeksi. Faktanya, respon imun terhadap HSP telah ditemukan pada bermacam-macam penyakit infeksi. Dengan ditemukannya HSP pada bermacam-macam patogen, nampaknya HSP merupakan antigen utama. HSP diketahui dapat merangsang respon imun humoral maupun seluler yang sangat kuat pada beberapa infeksi. Ada dua faktor yang berperan menjadikan HSP sebagai antigen utama pada infeksi spektrum yang luas yaitu : 1. Protein ini terdapat dalam jumlah yang banyak pada patogen terutama pada keadaan di bawah stress. 2. Memori imunologik terhadap determinan cross reactive dari HSP yang tetap dibentuk selama hidup berdasar pada frekuensi restimulasi terhadap paparan yang berulang-ulang oleh mikroba dengan derajat virulensi yang berbeda-beda. 46 Oleh karena itu, infeksi oleh patogen virulen akan dapat menyebabkan sistem imun yang telah ada bereaksi dengan cepat sebelum respon imun yang lebih spesifik terhadap antigen terbentuk (Zugel and Kaufmann, 1999). Antibodi terhadap HSP yang ada di sirkulasi mungkin diinduksi dan dipertahankan oleh beberapa mekanisme : 1. Infeksi mikroba yang mengandung protein HSP homolog dapat merangsang respon imun anti-self melalui molekular mimikri pada individu yang rentan. 2. HSP itu sendiri bisa menjadi imunogenik karena perubahan struktur akibat perubahan metabolik atau infeksi virus. 3. Antigen self atau antigen dari luar dapat bereaksi dengan HSP untuk membentuk kompleks imunogenik dimana Sel-B mengenali HSP dan Sel-T secara langsung merespon antigen tersebut. 4. HSP mungkin tidak dikenal sebagai protein self oleh populasi Sel-T dan Sel-B karena pada keadaan fisiologis HSP terletak di intrasel. 5. Vaksinasi rutin, khususnya menggunakan bakteri yang diinaktivasi dengan panas dapat berperan dalam pembentukan antibodi terhadap HSP (Mandal et al., 2004). Hasil salah satu penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kadar anti-HSP yang tinggi ditemukan pada pasien dengan aterosklerosis dan anti-HSP menyebabkan efek sitotoksik pada sel endotel melalui aktivasi komplemen atau antibody-dependent cellular cytotoxicity (Zhu et al., 2004). HSP dibedakan menjadi beberapa famili berdasarkan pada berat molekulnya diantaranya adalah HSP kecil, HSP10, HSP40, HSP60, HSP70, HSP90 dan HSP110, yang masing-masing memiliki fungsi 47 fisiologis yang luas mulai dari pelipatan protein, degradasi, sampai pada signal seluler, Tabel 2.1 (Jolly and Marimoto, 2000; Lamb et al., 2002; Macario, 2007; Okada et al., 2007). Salah satu penelitian menghipotesiskan bahwa HSP27 dapat dijadikan biomarker aterotrombosis (Kardys et al., 2008). Tabel 2.1 Berbagai Jenis Sitosol Berdasarkan Berat Molekulnya dan Tempat Pembentukannya (Jolly and Marimoto, 2000; Macario, 2007) Famili Hsp 100 Lokasi Sitosol Hsp 90 Sitosol Retikulum endoplasma Hsp 70 Sitosol Mitokondria Retikulum endoplasma Hsp 60 Sitosol Mitokondria Kloroplas Famili Hsp 40 Sitosol Hsp kecil Sitosol HSP60 terdiri atas HSP60 Okada et al., 2007). Di antara respon imun, dan HSP65 (Lamb et al., 2002; HSP60 yang berasal dari patogen mungkin memegang peranan utama dalam aterogenesis. HSP60 (60-kDa) adalah bentuk yang telah diidentifikasi paling konsisten sebagai autoantigen yang berperan dalam perkembangan awal aterosklerosis (Lamb et al., 2002; Okada et al., 2007), dan HSP60 bakteri merupakan determinan antigen utama selama berlangsungnya infeksi 48 (Ford et al., 2005). Efek HSP60 yang menyerupai sitokin berhubungan dengan penyakit jantung koroner (Osterud and Bjorklid, 2003). Terdapat homologi antara HSP60 manusia dengan HSP60 bakteri. HSP60 bakteri memiliki sifat imunogen yang sangat kuat (Tousil et al., 2006). Homologi urutan asam amino HSP60 yang lebih dari 95% didapatkan pada bermacam-macam bakteri dan 50 s.d. 55% antara HSP60 bakteri dengan manusia. Pada region yang konstan, homologinya mencapai lebih dari 70% (Wick et al., 2001; Benagiano et al., 2005). Risiko autoimunitas terhadap HSP60 muncul sebagai akibat dari tingkat homologinya yang sangat tinggi antar spesies mulai dari prokariot sampai human (Wick et al., 2001; Osterud and Bjorklid, 2003). Urutan asam amino primer dan struktur konformasional HSP60 yang sama antar spesies mengakibatkan HSP 60 host dapat menjadi target dari respon imun terhadap HSP60 mikroba yang telah terbentuk sebelumnya sehingga HSP berperan dalam proses inflamasi awal yang mendanai tahap awal aterosklerosis (Okada et al., 2007). Dalam memiliki peran yang sebuah bermakna penelitian pada disimpulkan bahwa HSP70 endotel melalui jalur phosphatidylinositol 3-kinase dan dapat digunakan sebagai dasar pengembangan strategi terapi baru untuk angiogenesis (Shiota et al., 2010). 2.4.3 Hubungan antara infeksi H.pylori dengan aterosklerosis Beberapa peneliti mengemukakan adanya hubungan antara infeksi H. pylori dengan berbagai penyakit non-gastroduodenal, seperti penyakit kardiovaskuler (aterosklerosis, hipertensi, penyakit jantung koroner, aritmia, fenomena Raynaud, stroke, migrain); dermatologi (rosasea, psoriasis, urtikaria kronik); autoimun (artritis 49 rematoid, skleroderma, sindroma Sjögren), hematologi (anemia defisiensi besi, trombositopenia), retardasi pertumbuhan pada anak, dan lain-lain (Pranoto, 2003). H. pylori dalam hubungannya dengan aterosklerosis telah banyak diteliti, tetapi belum dapat disimpulkan karena masih kontroversial (Osterud and Bjorklid, 2003). Namun data tentang hubungan yang bermakna antara infeksi H. pylori dengan penyakit arteri koroner lebih banyak daripada data yang menyangkalnya (Longo, 2008). Salah satu teori yang melandasinya adalah adanya respon imun terhadap antigen dari organisme patogen yang bereaksi silang dengan protein homolog dari host dalam bentuk molekular mimikri. Antigen yang paling mungkin dikenali oleh Sel-B ini adalah HSP, yang hipotesisnya didukung oleh ditemukannya Sel-T pada ateroma kelinci yang secara spesifik merespon HSP65 in vitro. Sel-T yang didapatkan pada lesi aterosklerosis tersebut menunjukkan reaktivitas HSP65 yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan Sel-T yang didapat dari darah tepi dari donor yang sama (Mandal et al., 2004). Pada penelitian lain, antibodi terhadap HSP juga ditemukan meningkat pada lebih dari 70% sampel penelitian yang mengalami aterosklerosis. Prevalensi penyakit arteri koroner lebih tinggi pada kelompok yang seropositif H. pylori, sedangkan keparahan penyakitnya berkorelasi dengan titer antibodi dan tidak dipengaruhi oleh faktor risiko tradisional. Oleh karena itu, peningkatan kadar antibodi terhadap HSP60 dapat digunakan sebagai penanda risiko prognostik aterosklerotik (Mandal et al., 2004). Penelitian lain menunjukkan bahwa terjadi peningkatan titer antibodi anti-HSP 60 secara bermakna pada lesi aterosklerotik, dibandingkan 50 dengan lesi tanpa aterosklerotik (Wick and Xu, 1999; Mandal et al., 2004). Penelitian pada penderita penyakit jantung iskemik menunjukkan bahwa prevalensi infeksi H. pylori meningkat pada penderita penyakit jantung iskemik. Kadar antibodi terhadap H. pylori lebih tinggi pada pasien penyakit jantung iskemik dan penderita yang meninggal karena infark miokard dibandingkan dengan orang normal. Prevalensi infeksi H. pylori juga ditemukan tinggi pada penderita stroke iskemik (Boer et al., 2002). Sawayama dan kawan-kawan pada tahun 2008 menyatakan bahwa prevalensi infeksi H. pylori lebih tinggi pada penderita penyakit arteri perifer dibandingkan dengan kontrol, dan dengan analisis regresi logistik didapatkan bahwa infeksi H. pylori dan hipertensi memiliki pengaruh yang bermakna pada terjadinya penyakit arteri perifer sehingga dapat disimpulkan bahwa infeksi H. pylori merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit arteri perifer. Penelitian lain menunjukkan bahwa penderita dengan seropositif kronis terhadap strain virulen dari H. pylori memiliki risiko yang cenderung lebih tinggi untuk mengalami stroke iskemik (Odd ratio = 2,68, CI 2,2-3,37) dan penyakit jantung koroner (Odd ratio = 2,11, CI 1,7-2,62) (Shuo et al., 2008). Titer antibodi H. pylori meningkat pada penderita aterosklerosis (Faxon et al., 2004; Hansson, 2005). Antibodi terhadap HSP bakteri, khususnya HSP60 bereaksi silang dengan bagian dari antigen human dan hal ini diduga membangkitkan respon autoimun yang berimplikasi pada aterosklerosis (Danesh et al., 1997; Osterud and Bjorklid, 2003). Kadar autoantibodi spesifik terhadap HSP60 manusia memiliki hubungan dengan penyakit arteri koroner 51 (Tedgui and Mallat, 2006). Dalam sebuah studi populasi yang besar, ditemukan bahwa kadar HSP60 serum tinggi pada subjek dengan aterosklerosis karotid dan hubungan ini tidak dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan faktor risiko lainnya (Mandal et al., 2004). Antibodi terhadap HSP60/65 yang merupakan faktor risiko aterosklerosis ditemukan meningkat secara bermakna pada penderita penyakit jantung iskemik dan infeksi H. pylori. Titer antibodi ini menurun setelah eradikasi H. pylori, yang menyebabkan dugaan bahwa paparan H. pylori menyebabkan peningkatan risiko terjadinya aterosklerosis melalui proses autoimun (Franceschi and Gasbarrini, 2007). Imunisasi dengan HSP 65 mycobakterium (yang homolog dengan HSP60 mamalia) merangsang lesi aterosklerotik pada tikus normokolesterol, sehingga diduga bahwa respon imun terhadap HSP65 mungkin secara langsung berperan pada patogenesis aterosklerosis. Dalam keadaan invitro, sel endotel aorta membentuk HSP60 dengan kadar yang tinggi saat diberikan temperatur tinggi, endotoksin bakteri dan hidrogen peroksida. Kadar HSP60 yang lebih tinggi pada endotel yang berada di atas plak aterosklerosis dibandingkan dengan kadar HSP60 pada intima arteri yang normal, mendukung konsep bahwa HSP60 sangat mungkin terlibat di dalam perkembangan aterosklerosis (Lamb et al., 2002; Ayada et al., 2009). Semua penjelasan tersebut menunjukkan bahwa HSP60 merupakan autoantigen penting dalam aterosklerosis dan mungkin memegang peranan yang sama dengan oxLDL dalam merangsang respon Sel-T autoreaktif (Tedgui and Mallat, 2006). Antibodi HSP60 di sirkulasi berhubungan dengan peningkatan keparahan penyakit arteri 52 koroner yang mendukung diagnosis bahwa reaksi autoimun terhadap HSP yang terdapat di jaringan pembuluh darah berperan dalam inisiasi dan progresivitas penyakit. Antibodi terhadap HSP65 dapat dijadikan faktor prediktif kematian penderita dengan aterosklerosis berat sehingga bisa digunakan sebagai nilai prognostik dari penyakit arteri koroner. Data dari percobaan binatang menunjukkan bahwa autoimunitas terhadap HSP65 mempercepat proses aterogenesis ditunjukkan dengan peningkatan rasio neointimal / medial yang yang diukur dari arteri karotis tikus yang telah diimunisasi dibandingkan dengan tikus kontrol (Rigano et al., 2007). Dengan cara imunohistokimia dan Polymerase Chain Reaction (PCR) ditemukan adanya H. pylori pada 38 kasus plak aterosklerotik. Penelitian lain menunjukkan bahwa DNA H. pylori ditemukan pada lesi aterosklerotik dari 47,8% penderita penyakit jantung iskemik (Franceschi and Gasbarrini, 2007). Walaupun HSP diketahui merupakan protein intrasel, HSP60 ditemukan pada serum orang normal dan peningkatan kadar HSP60 di sirkulasi berhubungan dengan aterosklerosis dini pada subyek yang terlihat normal secara klinis. Selain sebagai autoantigen, HSP juga dapat meningkatkan produksi sitokin (Tedgui and Mallat, 2006). Semua sel, khususnya sel pada jaringan pembuluh darah, meningkatkan ekspresi HSP saat terpapar oleh stressor. Setelah terpapar oleh stressor, sel endotel yang teraktivasi akan mengeluarkan HSP intrasel untuk membentuk soluble HSP (HSPs) (Xu, 2002; Mandal et al., 2004; Franceschi and Gasbarrini, 2007). Monosit yang direkrut saat aktivasi endotel berdiferensiasi menjadi makrofag. HSPs berikatan dan 53 mengaktivasi toll like reseptor (TLR) pada makrofag sehingga makrofag teraktivasi dan mengeluarkan sitokin, kemokin, protease dan radikal yang mengakibatkan terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan (Wick et al., 2004; Hansson, 2005; Franceschi and Gasbarrini, 2007). HSPs yang berikatan dengan kompleks TLR4 / Cluster of Differentiation 14 (CD14) juga menghasilkan respon proinflamasi lainnya seperti ekspresi molekul adesi oleh sel endotel, proliferasi sel otot polos, perekrutan sel-sel inflamasi, dan reaksi autoimun, yang berperan dalam aterosklerosis. Secara simultan, makrofag mempresentasikan antigen HSP kepada Sel-T dan B yang akan memproduksi sel autoantibodi dan autoreaktif terhadap HSP (Xu, 2002; Mandal et al., 2004). HSP yang dipresentasikan oleh makrofag dan sel dendritik (APC) merangsang aktivasi Sel-T spesifik antigen di arteri. Sebagian Sel-T yang teraktivasi akan memproduksi IFN -γ yang akan mengaktivasi darah mengakibatkan terjadinya makrofag dan sel pembuluh inflamasi, Gambar 2.11 (Whitman et al., 2000; Hansson, 2005). Kesemuanya ini berperan terhadap perkembangan aterosklerosis. Jadi, respon seluler (autoreaktif Sel-T dan B) dan humoral (autoantibodi) langsung terhadap HSP telah ditemukan pada pasien aterosklerosis penelitian. Data dari percobaan hewan dan penelitian peranan HSP60 sebagai invitro pada beberapa mendukung autoantigen (Xu, 2002; Mandal et al., 2004). 54 Gambar 2.11 Aktivasi Makrofag oleh Sitokin dari Sel-Th1 (Hansson, 2005) HSP60 autologus berfungsi menyampaikan signal berbahaya kepada sistem imun alamiah yang menyebabkan produksi sitokin proinflamasi TNF-α, IL-12 dan IL-15 dan memediasi adesi monosit ke sel endotel (Mandal et al., 2004). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa HSP60 manusia memiliki aktivitas seperti sitokin dan merangsang makrofag (manusia maupun tikus) untuk memproduksi TNF-α dan MMP-9. HSP60 (manusia dan tikus) merangsang ekspresi E-selectin, ICAM-1, VICAM-1 dan produksi IL-6 pada sel endotel. Temuan ini menimbulkan dugaan bahwa HSP60 secara langsung merangsang sel endotel pembuluh darah dan makrofag 55 sebagai respon terhadap inflamasi, yang berperan pada patogenesis aterosklerosis (Xu, 2001, Wick et al., 2004). IFN-γ dan TNF-α juga dapat menyebabkan penurunan stabilitas plak aterosklerosis (Hansson, 2005). Respon imun terhadap HSP yang didapat dari patogen diduga bereaksi silang dengan HSP endogen, sehingga HSP juga dapat menjadi autoantigen (Franceschi and Gasbarrini, 2007). Peningkatan sintesis HSP dalam keadaan stress diikuti dengan peningkatan penghancuran HSP menjadi peptide HSP dalam sitosol. Peptide HSP ini kemudian terikat dengan MHC klas I. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menemukan bahwa ternyata peptide HSP self ini bisa terikat pada molekul MHC klas I maupun MHC klas II (Zugel and Kaufmann, 1999). Reaksi silang Sel-T dipengaruhi oleh dua faktor yaitu hal-hal yang diperlukan agar epitop dapat berikatan dengan molekul MHC harus dipenuhi dan homologi antara peptide yang terikat MHC dengan peptide yang telah merangsang sebelumnya. Pada aterosklerosis, intensitas ekspresi HSP60 berhubungan dengan rekruitment Sel-T spesifik HSP. Bila terjadi ekspresi berlebih dari HSP termasuk determinan HSP yang homolog, maka aktivasi dari Sel-T yang spesifik akan terjadi. Pemetaan epitop menunjukkan bahwa respon terhadap Sel-T spesifik HSP60 ditujukan terhadap epitop yang homolog tersebut. Pada kesimpulannya, determinan yang homolog dari HSP mikroba dapat memberi dasar Sel-T reaktif terhadap HSP endogen (Zugel and Kaufmann, 1999). H. pylori mengaktivasi makrofag dan limfosit pada mukosa lambung yang diikuti oleh respon imun sistemik terhadap Hp-HSP60. Th1 spesifik Hp-HSP60 56 mengeluarkan IFN- dan merangsang endotel untuk mengeluarkan antigen HSP60 pada permukaannya (Lamb et al., 2002; Mandal et al., 2004; Ayada et al., 2009). Di lain pihak, setiap terjadi ekspresi HSP di permukaan endotel oleh karena stress apapun, homologi yang tinggi antara urutan asam amino Hp-HSP60 dan endogen HSP60 mengakibatkan Th1 spesifik Hp-HSP60 yang telah tersensitisasi di mukosa gaster dapat direaktivasi oleh HSP60 endogen yang ada di endothelium . Respon imun sistemik terhadap Hp-HSP60 yang diinduksi oleh infeksi H. pylori pada mukosa gaster dapat merangsang aterosklerosis melalui Anti-Hp-HSP60 yang direaktivasi (Ayada et al., 2009). Th1 spesifik HSP60 yang telah teraktivasi bereaksi dengan komponen HSP60 yang terpapar keluar endotel sehingga terjadi kerusakan sel endotel. Antibodi akan menembus sel yang rusak, memasuki intima untuk berikatan dengan HSP60 (yang kadarnya juga tinggi pada makrofag atau foam cell) yang telah ada sebelumnya, sehingga berperan pada pembentukan foam sel baru dengan cara mengaktivasi makrofag, Gambar 2.12 (Lamb et al., 2002; Mandal et al., 2004; Ayada et al., 2009). Di lain pihak, sel endotel yang rusak akan memproduksi oxLDL dan disimpan di bawah endotel. Makrofag akan memfagosit membentuk oxLDL ini untuk foam cell. Foam cell merupakan komponen utama dari lesi aterosklerotik awal, merupakan hasil dari produksi radikal bebas selama metabolisme oxLDL dan menjadi sasaran stress, sehingga foam cell membentuk banyak HSP60 yang dapat dikenali oleh sistem imun sebagai antigen. Respon imun ini akhirnya 57 mengakibatkan foam cell akan mati/lisis yang kemudian akan menjadi komponen nekrotik dari plak aterosklerotik (Xu, 2001). Gambar 2.12 Peranan Th1 Spesifik HSP60 dalam Aterogenesis (Ayada et al., 2009) Selain mengaktivasi makrofag, IFN- yang dikeluarkan oleh Th1 spesifik HpHSP60 akan mempengaruhi pembentukan antibodi (IgG anti Hp-HSP60) oleh limfosit B. Sistem imun humoral dimulai dengan dikenalinya antigen oleh limfosit B yang spesifik terhadap masing-masing antigen. Limfosit B yang teraktivasi akan mempresentasikan kompleks epitop-MHC II di permukaannya. Sel-Th2 akan mengenali kompleks tersebut melalui T Cell Receptor (TCR) dan CD4. Reseptor 58 CD40 pada Sel-Th2 akan berikatan dengan molekul CD40 pada permukaan Sel-B yang menyebabkan terjadinya proliferasi Sel-B. IL-4, IL-5 dan IL-6 yang dikeluarkan oleh Sel-Th2 akan memfasilitasi aktivasi dan diferensiasi Sel-B menjadi Sel-B memori dan Sel plasma. Sel plasma akan membentuk imunoglubulin dengan bantuan B-cell differentiation factor- (BCDF) dan BCDF. BCDF- merangsang produksi IgM sedangkan BCDF menyebabkan perubahan kelas (class-switch) IgM yang diproduksi menjadi IgG. Imunoglobulin G ini akan berikatan dengan reseptor Fcy dari fagosit dan mengaktifkan komplemen yang akan menginduksi terjadinya fagositosis dan opsonisasi dari mikroba (H. pylori) (Abbas and Lichtman, 2003). 2.4.4 Peptida Hp-HSP60II3 Penelitian terbaru mengindikasikan adanya epitop imunogenik HSP60 yang berhubungan dengan aterogenesis yang dapat digunakan untuk diagnosis maupun terapi aterosklerosis. Urutan asam amino lengkap dari Hp-HSP60 terdiri dari 545 asam amino (Metionin1-Metionin545), Gambar 2.13. Dari urutan lengkap ini, terdapat dua peptida yang homolog antara Hp-HSP60 dengan Hu-HSP60. Kedua peptida tersebut adalah Hp-HSP60II dan Hp-HSP60IV-V. Hp-HSP60II merupakan peptida yang asam aminonya terletak antara Glutamat 101Serin200, sedangkan HSP60IV-V merupakan peptida yang asam aminonya terletak antara Isoleusin300-Glisin435. Hp-HSP60II kemudian dipersempit lagi menjadi enam peptida sebagai berikut : 1. Hp-HSPII1 (Lisin100-Metionin119) 59 2. Hp-HSPII2 (Aspartat120-Glisin139) 3. Hp-HSPII3 (Glutamat141-Leusin160) 4. Hp-HSPII4 (Isoleusin161-Valin176) 5. Hp-HSPII6 (Aspartat173-Serin200) 6. Hp-HSPII5 (Aspartat184-Serin200) Gambar 2.13 Homologi Urutan Asam Amino HSP60 (Okada et al., 2007). (Baris atas adalah Hu-HSP60, sedangkan baris bawah adalah Hp-HSP60) 60 Dalam sebuah penelitian diperoleh hasil bahwa IgG anti Hp-HSP60II3 dapat digunakan sebagai penanda diagnostik independen untuk penyakit kardiovaskuler dengan cut off 0,36 OD (Okada et al., 2007). BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Infeksi H. pylori Th1 spesifik Hp-HSP60 IFN- Endotel HSP60 Rokok, lemak, tekanan darah, dan glukosa Makrofag Limfosit B IgG anti Hp-HSP60II3 Foam cell aterosklerosis Neopterin SKA / KKV hs-CRP Gambar 3.1 Kerangka Berpikir Sindroma Koroner Akut (SKA) sering dikaitkan dengan plak ateromatus yang tidak stabil yang cenderung menjadi fisura atau erosi pada endotel vaskuler. Pengelolaan terhadap faktor risiko klasik seperti dislipidemia, DM, hipertensi, 61 62 merokok, obesitas, dan usia lanjut pada dekade terakhir ini telah berkembang, namun angka kematian penyakit kardiovaskuler tetap tinggi. Risiko terjadinya SKA dipengaruhi oleh vulnerabilitas plak dan derajat stenosis vaskuler. Peran inflamasi pada aterosklerosis sebagai mekanisme dasar SKA sangat besar. Stabilitas plak yang ditentukan oleh produksi dan degradasi matriks, juga dipengaruhi oleh faktor inflamasi. Inflamasi yang berlangsung secara terus menerus salah satunya bisa disebabkan oleh infeksi kronis H.pylori yang ditandai dengan tingginya kadar IgG anti-HpHSP60II3. Infeksi H. pylori yang kronis juga menginduksi polarisasi Th1 dan Sel-T yang telah teraktivasi akan memproduksi IFN-γ. IFN-γ nampaknya memegang peranan sebagai mediator sentral aterosklerosis. Sifat pro-aterogenik IFN-γ ditunjukkan melalui perannya dalam merekrut sel-sel imun ke daerah lesi. Peran ini menyangkut kemampuannya dalam meningkatkan produksi kemokin, merangsang ekspresi molekul adesi, meningkatkan ekspresi integrin, penumpukan kolesterol pada foam cell, serta mengaktivasi makrofag dan Sel-T. IFN-γ juga meningkatkan kalsifikasi dan neovaskulerisasi pada plak dan berperan dalam apoptosis foam cell yang mengakibatkan plak menjadi tidak stabil. Makrofag yang teraktivasi oleh IFN-γ dapat memfagosit oxLDL untuk membentuk foam cell sebagai proses awal pembentukan plak ateroma dan berperan pula dalam instabilitas plak ateroma. Lapisan fibrous yang tipis pada plak ateroma merupakan akibat dari rekrutmen makrofag serta aktivasinya yang terus menerus, yang kemudian mengeluarkan metalloproteinase dan ensim proteolitik lainnya. Bila 63 diaktivasi oleh IFN-γ, makrofag akan mengeluarkan neopterin. Neopterin adalah hasil hidrolisis dan oksidasi dari 7,8 dihydroneopterin triphosphate. Neopterin merupakan penanda yang unggul untuk aktivasi sistem imun seluler. Kadar neopterin berhubungan dengan tingkat stress oksidatif yang disebabkan oleh aktivasi sistem imun dan tingkat aktivasi makrofag. Dalam aplikasi klinis, diantara beberapa biomarker yang telah diteliti untuk digunakan sebagai marker independent risiko kardiovaskuler, hs-CRP merupakan marker yang paling baik. Beberapa penelitian kohort berskala besar telah membuktikan bahwa hs-CRP dapat digunakan sebagai prediktor infark miokard, stroke dan kematian kardiovaskuler. Dengan diketahuinya peranan berbagai penanda tersebut pada proses perkembangan dan ruptur plak aterosklerosis, diharapkan nantinya pada penelitian ini dapat dibuktikan bahwa tingginya kadar IgG anti-Hp-HSP60II3, IFN-γ, dan neopterin mempunyai hubungan yang bermakna dan dapat dijadikan biomarker risiko terjadinya KKv pada SKA serta IgG anti-Hp-HSP60II3, IFN-γ, dan neopterin merupakan biomarker risiko KKv yang lebih baik dibandingkan hs-CRP. 64 3.2 Kerangka Konsep Inflamasi / Infeksi : IgG anti-HpHSP60II3 IFN-γ Neopterin hs-CRP KKv -Kematian vaskuler -IMA -Stroke -Reccurent cardiac ischemia SKA -APTS -NSTEMI -STEMI Faktor risiko tradisional -DM -Dislipidemia -Hipertensi -Merokok -Obesitas -Usia Keterangan : Gambar 3.2 Kerangka Konsep variabel yang diteliti variabel yang tidak diteliti Peran inflamasi dan infeksi pada aterosklerosis sebagai mekanisme dasar Sindroma Koroner Akut sangat besar. Kadar IgG anti-Hp-HSP60II3, IFN-γ, dan neopterin yang tinggi berperan pada proses awal pembentukan plak ateroma dan berperan pula dalam instabilitas / rupturnya plak ateroma, baik yang berakibat pada 65 terjadinya SKA maupun terjadinya KKv. Saat ini, salah satu penanda inflamasi yang sering digunakan sebagai penanda risiko penyakit kardiovaskuler adalah hs-CRP. Kadar hs-CRP meningkat saat terjadinya SKA maupun KKv. Dislipidemia, DM, hipertensi, merokok, obesitas dan usia lanjut telah diketahui sebagai faktor risiko klasik terhadap terjadinya aterosklerosis, SKA maupun KKv. Pada penelitian ini faktor risiko tersebut akan dikendalikan (controled by analysis). 3.3 Hipotesis Penelitian 3.3.1 Kadar neopterin yang tinggi merupakan biomarker risiko KKv pada penderita SKA 3.3.2 Kadar IgG anti-Hp-HSP60II3 yang tinggi merupakan biomarker risiko KKv pada penderita SKA 3.3.3 Kadar IFN-γ yang tinggi merupakan biomarker risiko KKv pada penderita SKA 3.3.4 Kadar neopterin yang tinggi merupakan biomarker risiko KKv yang lebih baik dibandingkan dengan hs-CRP 3.3.5 Kadar IgG anti-Hp-HSP60II3 yang tinggi merupakan biomarker risiko KKv yang lebih baik dibandingkan dengan hs-CRP 3.3.6 Kadar IFN-γ yang tinggi merupakan biomarker risiko KKv yang lebih baik dibandingkan dengan hs-CRP BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan kohort untuk membuktikan bahwa penderita SKA dengan kadar IgG anti-Hp-HSP60II3, IFN-γ, dan neopterin yang lebih tinggi memiliki risiko KKv yang lebih tinggi dibandingkan dengan penderita SKA dengan kadar IgG anti-Hp-HSP60II3, IFN-γ, dan neopterin yang rendah, sekaligus membuktikan bahwa kadar IgG anti-Hp-HSP60II3, IFN-γ, dan neopterin merupakan biomarker risiko KKv yang lebih baik dibandingkan hs-CRP. Penderita SKA dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok penderita SKA dengan biomarker yang positif (kadar IgG anti-Hp-HSP60II3, IFN-γ, neopterin, dan hs-CRP yang tinggi) dan kelompok penderita SKA dengan biomarker negatif (kadar IgG anti-Hp-HSP60II3, IFN-γ, neopterin, dan hs-CRP yang rendah), kemudian dilakukan pengamatan selama enam bulan saat di rumah sakit (pengamatan langsung di Unit Pelayanan Intensif Jantung (UPIJ)), maupun di rumah (menghubungi lewat telpon, bila perlu kunjungan rumah). Luaran (outcome) yang dimonitor adalah KKv. Penelitian ini akan menghasilkan incidence rate ratio, kurve survival dari masing-masing biomarker terhadap KKv dan analisis jalur hubungan antara biomarker tersebut dengan KKv. Semua penderita diberikan terapi standar sesuai dengan AHA guidelines. 66 67 KKv (+) Biomarker risiko (+) Kadar IgG anti-Hp-HSP60II3 tinggi IFN-γ tinggi neopterin tinggi hs-CRP tinggi 6 bl KKv (-) Penderita SKA KKv (+) Biomarker risiko (-) Kadar IgG anti-Hp-HSP60II3 rendah IFN-γ rendah neopterin rendah hs-CRP rendah 6 bl KKv (-) Gambar 4.1 Rancangan Penelitian Kohort 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan selama dua tahun untuk mencapai jumlah sampel, pemeriksaan, analisis, dan penulisan. Pengambilan sampel dilakukan di UPIJ Bagian / SMF Kardiologi FK Unud-Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar. Pemeriksaan spesimen dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik RSUP Sanglah dan Unit Biologi Molekular FK Unud. 68 4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi penelitian Populasi target penelitian adalah semua penderita SKA. Populasi terjangkau adalah penderita SKA yang ditangani di IRD dan atau dirawat di UPIJ RSUP Sanglah Denpasar. 4.3.2 Sampel Sampel diambil secara consecutive dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi, hingga mencapai jumlah yang direncanakan. 4.3.2.1 Kriteria inklusi : 1. Warga Negara Indonesia usia 20-80 tahun; 2. Menderita SKA; 3. Dengan keluhan dispepsia; dan 4. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian serta menandatangani formulir persetujuan. 4.3.2.2 Kriteria eksklusi : 1. Penderita penyakit katup jantung; 2. Penderita gagal jantung kongestif; 3. Penderita penyakit hati akut maupun kronis; 4. Penyakit ginjal kronis; 5. Infeksi akut / kronis; 6. Sepsis; 7. Keganasan; dan 69 8. Mendapat obat kortikosteroid atau obat anti inflamasi non steroid atau obat imunosupresif. 4.4 Besar Sampel Dalam penelitian ini, besar sampel dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut (Sastroasmoro dan Ismael, 2008) : n1 = n2 = (zα 2PQ + zβ P1Q1 + P2Q2) 2 (P1 – P2)2 (1) Keterangan : n1 = n2 = besar sampel minimal untuk masing masing kelompok Z = 1,96 Z = 0,842 Dengan rentang kepercayaan 95%, tingkat kemaknaan () = 0,05, power test (1) = 80%, proporsi = 20% dan RR yang dianggap bermakna = 1,75, besar sampel minimal untuk masing-masing kelompok dari penghitungan rumus di atas didapatkan 29,9 atau dibulatkan menjadi 30, ditambah 10% (proporsi sampel yang tidak dapat difollow up), sehingga masing-masing kelompok berjumlah 33, dan jumlah sampel seluruhnya adalah 66 orang. 4.5 Variabel Penelitian 4.5.1 Identifikasi dan klasifikasi variabel penelitian 1. Variabel tergantung : KKv 2.Variabel bebas : Kadar IgG anti-Hp-HSP60 II3, IFN-γ, neopterin, hs-CRP 3. Variabel kendali : Umur, kadar lemak darah, kadar glukosa darah, tekanan darah, IMT, dan merokok. 70 4.5.2 Definisi operasional variabel 4.5.2.1 Sindrom koroner akut (SKA) meliputi APTS, STEMI dan NSTEMI. Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria American Heart Association (AHA), dan American College of Cardiology (ACC), 2009 : 1. APTS : nyeri dada spesific chest pain dengan atau tanpa perubahan segmen ST (depresi segmen ST) pada EKG, dengan kadar enzim jantung (CK-MB dan troponin T atau troponin I) masih dalam batas normal pada saat masuk rumah sakit. 2. NSTEMI : Nyeri dada spesific chest pain tanpa peningkatan segmen ST pada EKG, dengan peningkatan CKMB > dua kali normal atau positif troponin T atau troponin I pada saat masuk rumah sakit. 3. STEMI : Nyeri dada spesific chest pain dengan peningkatan segmen ST pada EKG dan peningkatan CKMB > dua kali normal atau positif troponin T atau troponin I pada saat masuk rumah sakit. 4.5.2.2 Efek utama yang dievaluasi adalah kejadian kardiovaskuler ulangan (KKv) yang merupakan salah satu atau kombinasi dari kondisi berikut / komposit (PLATO study, 2006) : 1. Kematian karena penyebab vaskuler / vascular death adalah kematian kardiovaskuler, kematian serebrovaskuler, dan setiap kematian yang tidak jelas penyebab non-vaskulernya (The primary composite endpoint) selama observasi. 71 2. Infark miokard akut (IMA) (ACC/AHA, 2007) a. Nyeri dada sepsifik lebih dari 20 menit b. Gambaran EKG : NSTEMI : depresi segmen ST, inversi gelombang T , tidak ada gelombang Q; STEMI : elevasi segmen ST, inversi gelombang T, ada gelombang Q. c. Petanda biokimia : kenaikan nilai ensim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung (infark miokard). 3. Stroke : terjadinya defisit neurologis yang disebabkan oleh iskemik susunan saraf pusat dengan gejala sisa / residual symptoms minimal 24 jam setelah serangan atau meninggal. 4. Recurrent cardiac ischemia : specific chest pain yang timbul ≥ 10 menit pada saat istirahat. 4.5.2.3 IgG anti-Hp-HSP60II3 : kadar IgG anti-Hp-HSP60II3 serum yang diambil 48 jam setelah masuk rumah sakit dan diperiksa dengan metode ELISA di Unit Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Peptida HpHSP60II3 didapatkan dari Universitas Okayama Jepang. 4.5.2.4 IFN-γ : kadar IFN-γ serum yang diambil 48 jam setelah masuk rumah sakit dan diperiksa dengan metode ELISA di Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah menggunakan kit dari R D systems (Quantikine ELISA). 72 4.5.2.5 Neopterin : kadar neopterin serum yang diambil 48 jam setelah masuk rumah sakit dan diperiksa dengan metode ELISA di Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah menggunakan kit dari IBL International GMBH. 4.5.2.6 Hs-CRP : kadar hs-CRP serum yang diambil 48 jam setelah masuk rumah sakit dan diperiksa dengan metode immunochemiluminescent di Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar menggunakan kit dari Roche Diagnostic. 4.5.2.7 Indonesia : sesuai kewarganegaraan yang tercatat di Kartu Tanda Penduduk. 4.5.2.8 Merokok : Riwayat merokok berdasarkan anamnesis. Status perokok ditentukan bila merokok paling sedikit satu batang per hari selama lebih dari satu bulan terakhir atau berhenti merokok kurang dari tiga bulan (Wita, 1992). 4.5.2.9 Hipertensi : Menurut Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and treatment high blood pressure (JNC) VII untuk usia ≥ 18 tahun, hipertensi ditegakkan bila ditemukan tekanan darah sistol ≥ 140 mmHg dan atau diastol ≥ 90 mmHg atau penderita dengan riwayat hipertensi dan sedang mengkonsumsi obat antihipertensi. Pemeriksaan tekanan darah dalam penelitian ini dilakukan dalam posisi berbaring, pengukuran dilakukan dua kali dengan jeda waktu satu sampai dua menit. 4.5.2.10 Kadar lemak darah : Kadar pemeriksaan total kolesterol, LDL kolesterol, HDL kolesterol, dan trigliserida dalam serum yang diperiksa menggunakan 73 alat Cobas C501 dengan metode kolorimetri, yang dilakukan setelah puasa minimal selama 10 jam. Dislipidemia menurut ATP III, 2002 : 1. Kadar kolesterol total ≥ 200 mg/dL atau 2. Kadar kolesterol HDL < 40 mg/dL atau 3. Kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dL atau 4. Kadar trigliserida ≥ 150 mg/dL. 4.5.2.11 Kadar glukosa darah : Kadar glukosa dalam serum yang diperiksa menggunakan alat Cobas C501 dengan metode hexokinase, yang dilakukan setelah puasa paling sedikit delapan jam. Berdasarkan konsensus Perkeni 2010, Diabetes melitus (DM) ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa (BSN) ≥ 126 mg/dL atau kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL atau kadar glukosa darah dua jam setelah pemberian glukosa 75 g (BS 2jpp) ≥ 200 mg/dL atau penderita telah terdiagnosis DM. 4.5.2.12 Obesitas : IMT ≥ 25 kg/m2. IMT ditentukan dengan rumus (Chan and Woo, 2010) : IMT = BB (kg) (TB (m))2 Keterangan : BB = berat badan; TB = tinggi badan (2) 4.5.2.13 Usia : ditentukan berdasarkan tanggal lahir yang tercantum pada kartu tanda penduduk (KTP) sampai dengan saat masuk rumah sakit, dengan satuan tahun (dibulatkan pada tahun terdekat). 74 4.5.2.14 Penyakit katup jantung : adanya gejala dan tanda yang didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang (foto thorax, EKG, echocardiography). 4.5.2.15 Gagal jantung kongestif : adanya gejala dan tanda yang didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang (foto thorax, EKG, echocardiography). 4.5.2.16 Penyakit hati akut maupun kronis : adanya gejala dan tanda yang didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (kadar SGOT, SGPT meningkat lebih dari dua kali batas tertinggi normal) 4.5.2.17 Penyakit ginjal kronis : ditentukan dengan menggunakan tes klirens kreatinin menggunakan rumus Crokroft-Gault (K/DOQI, 2002) : Klirens kreatinin (mL/mnt) = (140 – umur (tahun)) x berat badan (kg) 72 x serum kreatinin (mg/dL) (3) Rumus ini dikalikan 0,85 untuk wanita. Penyakit ginjal kronis ditentukan bila hasil klirens < 60 mL/1,73m2/menit) 4.5.2.18 Infeksi akut atau kronis : 1. Penderita dengan infeksi akut : adanya gejala dan tanda infeksi akut yang dapat diketahui dari klinis dan pemeriksaan fisik, serta adanya sel darah putih yang meningkat. 2. Penderita dengan infeksi kronik : adanya gejala dan tanda infeksi yang berlangsung pelan dalam jangka waktu yang lama yang ditentukan dari pemeriksaan fisik dan penunjang sesuai dengan organ yang terinfeksi. 75 4.5.2.19 Sepsis : penderita yang memenuhi kriteria SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) dengan sumber infeksi yang jelas. Kriteria terpenuhi bila didapatkan dua atau lebih kriteria tersebut (Balk and Casey, 2000) : 1. Demam (temperatur > 380C) atau hipotermi (temperatur < 360C) 2. Takipneu (frekuensi nafas > 24 kali / menit) 3. Takikardia (denyut jantung > 90 kali / menit) 4. Leukositosis (hitung sel darah putih > 12.000 / L) 5. Leukopenia (hitung sel darah putih < 4.000 / L). 4.5.2.20 Keganasan : penderita yang diketahui menderita keganasan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. 4.5.2.21 Kortikosteroid : penderita pernah atau sedang menggunakan obat-obatan kortikosteroid selama dua minggu atau lebih yang diketahui dari anamnesis. 4.6 Prosedur Penelitian Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian dan pengumpulan data agar didapatkan hasil yang lebih akurat, maka disusun tahap-tahap penelitian sebagai berikut : 4.6.1 Alur penelitian 1. Setiap penderita SKA yang berusia 20-80 tahun dan dirawat di UPIJ RSUP Sanglah Denpasar diberikan penjelasan bahwa di UPIJ sedang dilakukan penelitian tentang KKv pada penderita SKA. 76 2. Penjelasan diberikan secara rinci tentang latar belakang, tujuan penelitian, keuntungan Demikian maupun juga kerugian bagi subyek penelitian yang bersedia ikut. perlindungan pasien yang bersedia ikut, prosedur dan lama penelitian serta biaya. 3. Subyek yang bersedia ikut dalam penelitian ini diminta untuk menandatangani informed consent. Penderita diberikan penanganan medis sesuai dengan tata laksana medis baku SKA (ACC/AHA, 2007) dan bila fase kegawatdaruratannya telah teratasi (dalam 2x24 jam), dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan IgG anti-HpHSP60 II3, IFN-γ, neopterin, dan hs-CRP. 4. Selanjutnya, subyek dikelompokkan menjadi dua yaitu : kelompok penderita SKA dengan biomarker risiko (kadar IgG anti-Hp-HSP60II3, IFN-γ, neopterin, dan hs-CRP tinggi) dan kelompok penderita SKA tanpa biomarker risiko (kadar IgG anti-HpHSP60II3, IFN-γ, neopterin, dan hs-CRP rendah). 5. Langkah selanjutnya adalah pengamatan terhadap subyek penelitian selama enam bulan, baik saat masih di UPIJ / di rumah sakit dengan kunjungan langsung, maupun setelah keluar rumah sakit / di rumah melalui telpon serta kunjungan rumah bila diperlukan. 6. Dalam pengamatan hingga enam bulan, didapatkan penderita SKA yang mengalami KKv dan penderita SKA yang tidak mengalami KKv, kemudian dilakukan analisis. 77 Populasi terjangkau Kriteria inklusi dan eksklusi Sampel (consecutive) Informed consent Ambil darah 10 mL SKA dengan biomarker risiko (+) : SKA dengan biomarker risiko (-) : kadar IgG anti-Hp-HSP60II3 tinggi kadar IgG anti-Hp-HSP60II3 rendah kadar IFN-γ tinggi kadar IFN-γ rendah kadar neopterin tinggi kadar neopterin rendah hs-CRP tinggi hs-CRP rendah 6 bulan 6 bulan KKv (+) KKv (-) 6 bulan KKv (+) 6 bulan KKv (+) Analisis statistik Simpulan Penelitian Gambar 4.2 Alur Penelitian 4.6.2 Prosedur penanganan spesimen Sampel yang diperlukan dalam penelitian ini adalah 10 mL. 0,5 mL darah dimasukkan dalam tabung kecil dengan antikoagulan Ethylenediaminetetraacetic 78 (EDTA) untuk dilakukan pemeriksaan darah lengkap. Empat mL darah dimasukkan dalam dua tabung dengan antikoagulan EDTA dan 5,5 mL sisanya dimasukkan dalam tabung tanpa antikoagulan. Tabung tanpa antikoagulan, didiamkan minimal 30 menit, disentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit untuk mendapatkan serum. Serum yang dihasilkan (kurang lebih 2 mL) dibagi menjadi tiga bagian. Sebanyak 1,25 mL serum dimasukkan ke dalam cuvette untuk dilakukan pemeriksaan kolesterol total, kolesterol HDL, kolesterol LDL, trigliserida, kadar glukosa darah, dan hs-CRP. Sebanyak 0,75 mL sisanya dimasukkan dalam tiga sample cup masing-masing 0,25 mL dan disimpan dalam suhu -800C. Sampel serum digunakan untuk pemeriksaan IgG anti-Hp-HSP60 II3. Sampel dalam dua tabung antikoagulan EDTA disentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit untuk mendapatkan plasma. Plasma ini dimasukkan dalam enam sample cup masing-masing 0,25 mL dan disimpan dalam suhu -800C. Sampel ini digunakan untuk pemeriksaan IFN-γ, dan neopterin. Pemeriksaan IgG anti-HpHSP60II3, IFN-γ, dan neopterin dikerjakan bila jumlah sampel penelitian telah mencukupi. Prosedur pemeriksaan terlampir. 4.7 Analisis Data Setelah data terkumpul, lebih dahulu dilakukan pemeriksaan data. Untuk menjawab permasalahan penelitian, dilakukan serangkaian tahapan analisis data sebagai berikut : 79 1. Analisis statistik deskriptif Menggambarkan karakteristik umum dan distribusi frekuensi berbagai variabel yaitu : umur, jenis kelamin, tekanan darah, status perokok, kadar lemak darah, kadar glukosa darah, kadar Anti-Hp-HSP60 II3, IFN-γ, neopterin, dan hs-CRP antar kelompok. 2. Uji normalitas, digunakan untuk menguji distribusi semua variabel penelitian. 5. Uji homogenitas varians antar kelompok dengan uji-Levene, untuk mengetahui homogenitas / varians variabel antar kelompok. 6. Uji non parametrik untuk menentukan nilai median 7. Uji t bersama (diskriminant) digunakan untuk mengetahui perbedaan rerata variabel di masing-masing kelompok. 8. Penentuan incidence rate ratio, untuk menilai risiko relatif kadar Anti-HpHSP60II3, IFN-γ, neopterin, dan hs-CRP yang sama atau lebih tinggi dari median terhadap tingginya KKv dihubungkan dengan waktu terjadinya KKv. 9. Analisis bivariat, kurva survival Kapplan-Meier dengan log rank test digunakan untuk menggambarkan kelompok dengan biomarker risiko (kadar IgG anti-Hp-HSP60II3, IFN-γ, neopterin, dan hs-CRP) di atas dan di bawah nilai median terhadap KKv dan waktu pemantauan. 10. Analisis multivariat, cox regression model digunakan untuk menilai risiko relatif (RR) kadar Anti-Hp-HSP60II3, IFN-γ, neopterin, dan hs-CRP yang sama atau lebih tinggi dari median terhadap tingginya KKv, dengan mengendalikan faktor-faktor perancu, seperti umur, dislipidemia, hipertensi, 80 DM, obesitas, dan merokok. Taksiran RR yang disajikan dalam bentuk interval keyakinan 95%. 11. Analisis jalur (Path analysis) untuk menilai peranan variabel bebas (Anti-HpHSP60 II3, IFN-γ, dan neopterin) terhadap variabel tergantung (KKv). Anti-Hp-HSP60 II3 IFN-γ neopterin KKv Efek Anti-Hp-HSP60II3 terhadap KKv merupakan efek langsung maupun tidak langsung melalui IFN-γ dan neopterin; efek IFN-γ terhadap KKv merupakan efek langsung maupun tidak langsung melalui neopterin. Analisis statistik tersebut di atas menggunakan nilai = 0,05 sebagai batas kemaknaan. Analisis memakai perangkat lunak statistika untuk komputer, yaitu: SPSS for Window version-16.0 dan STATA 9.1. 81 BAB V HASIL PENELITIAN Pengambilan sampel penelitian ini dimulai pada Bulan Pebruari 2012 sampai Juli 2012, setelah mendapatkan Surat Kelaikan Etik (Ethical Clearance) dari Komisi Etik Unit Penelitian dan Pengembangan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dan Surat Ijin Penelitian dari Direktur SDM dan Pendidikan RSUP Sanglah Denpasar. Pemantauan penderita berlangsung sampai Bulan Januari 2013 dan pemeriksaan laboratorium dilakukan pada Bulan Januari sampai Maret 2013. Subjek dalam penelitian ini adalah pasien Sindroma Koroner Akut (SKA) yaitu Angina Pektoris Tak Stabil (APTS), Non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) maupun ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) yang memenuhi kriteria inklusi. Sebanyak 66 pasien SKA yang menjalani perawatan di Unit Perawatan Intensif Jantung (UPIJ) RSUP Sanglah Denpasar bersedia menjadi subyek dalam penelitian ini dan diamati sampai terjadinya Kejadian Kardiovaskuler ulangan (KKv) atau sampai periode enam bulan (180 hari). Variabel yang dianalisis dalam penelitian ini adalah anti-Hp-HSP60II3, IFN-, neopterin, dan hs-CRP sebagai variabel yang merupakan biomarker risiko KKv. Dari 66 pasien SKA yang menjadi subjek dalam penelitian ini, terdapat 13 orang (19,7%) yang menderita APTS, 11 orang (16,7%) menderita NSTEMI dan 42 orang (63,6%) menderita STEMI. Dalam pengamatan selama periode enam bulan yaitu 82 mulai pasien SKA masuk RS dan berlanjut setelah keluar RS sampai timbul KKv atau sampai enam bulan, didapatkan sebanyak 15 (22,7 %) pasien yang mengalami KKv, yang terdiri dari 11 (16,7%) pasien mengalami kematian vaskuler, tiga (4,5%) pasien mengalami IMA dan satu (1,5%) pasien mengalami reccurent cardiac ischemia. Tiga belas orang pasien yang mengalami KKv adalah penderita STEMI dan dua orang sisanya adalah penderita APTS. Semua subjek datanya lengkap dan dapat dianalisis. 5.1 Karakteristik Data Statistik deskriptif yang menggambarkan persentase kejadian berdasarkan karakteristik subjek terdapat pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Kejadian Kardiovaskuler berdasarkan Karakteristik Subjek Karakteristik Laki-laki Perempuan Dislipidemia Tidak dislipidemia Obese Tidak obese Merokok Tidak merokok Hipertensi Tidak hipertensi DM Tidak DM KKv 22,6% 23,1% 21,7% 33,3% 25,7% 19,4% 17,1% 29,0% 29,7% 13,8% 36,4% 20,0% Tanpa KKv 77,4% 76,9% 78,3% 66,7% 74,3% 80,6% 82,9% 71,0% 70,3% 86,2% 63,6% 80% Setelah diikuti selama enam bulan, KKv terjadi dalam persentase yang hampir sama pada subjek laki-laki dan perempuan. Untuk faktor risiko hipertensi, DM, dan obese, KKv lebih banyak ditemukan pada subjek dengan faktor risiko, dibandingkan 83 tanpa faktor risiko. Hal ini memiliki arti yang sangat penting secara klinis. Bertentangan dengan hal tersebut, pada faktor risiko dislipidemia dan merokok, KKv ditemukan lebih banyak pada subjek tanpa faktor risiko dibandingkan subjek dengan faktor risiko. Akan tetapi perbedaan karakteristik ini tidak bermakna. Tabel 5.2 Karakteristik Demografik, Faktor Risiko Klasik, dan Penanda Inflamasi Karakteristik Umur (tahun) Kolesterol Total ( mg/dL) Kolesterol HDL (mg/dL) Kolesterol LDL (mg/dL) Trigliserida (mg/dL) Sistole (mmHg) Diastole (mmHg) BSN (mg/dL) BS 2jpp (mg/dL) Neopterin (nmol/L)** IFN- (pg/mL) Anti-Hp-HSP60II3 (OD) Hs-CRP (mg/L) Total KKv (Mean ± SD) (Mean ± SD) 57,29 ± 11,33 118,97 ± 25,45 39,96 ± 10,51 130,30 ± 47,66 147,60 ± 82,06 118,97 ± 25,45 75,65 ± 14,99 102,71 ± 27,01 126,39 ± 48,14 17,73 ± 13,65 0,75 ± 0,09 1,24 ± 0,25 31,64 ± 36,34 58,73 ± 11,28 200,96 ± 61,03 41,57 ± 10,53 130,95 ± 60,42 162,76 ± 70,83 112,67 ± 28,96 77,07 ± 17,17 109,62 ± 21,22 123,78 ± 25,33 29,32 ± 22,49 0,75 ± 0,08 1,24 ± 0,24 24,75 ± 32,00 Tanpa KKv (Mean ± SD) 56,68 ± 11,42 193,58 ± 46,29 39,49 ± 10,56 130,11 ± 43,93 143,14 ± 85,21 120,82 ± 24,33 75,24 ± 14,46 100,71 ± 28,35 127,16 ± 53,20 14,32 ± 6,96 0,75 ± 0,09 1,24 ± 0,25 33,64 ± 37,57 Keterangan: ** p < 0,01; * p < 0,05 Statistik deskriptif yang menggambarkan ukuran nilai tengah dan karakteristik data demografik, faktor risiko klasik, dan penanda inflamasi terdapat pada Tabel 5.2. Rerata umur subjek adalah 57,29 (± 11,33) tahun, rerata kadar neopterin 17,73 (± 13,65) nmol/liter, rerata kadar anti-Hp-HSP60II3 1,24 (± 0,25) OD, rerata kadar IFN- 0,75 (± 0,09) nmol/L, dan rerata kadar hs-CRP 31,64 (± 36,34) mg/L. Tidak terdapat perbedaan karakteristik jenis kelamin, obesitas dan dislipidemia antara kelompok subjek dengan KKv dan tanpa KKv. Perbedaan nampak pada karakteristik hipertensi dan diabetes. 73% subjek dengan KKv memiliki riwayat hipertensi dan 27% memiliki 84 riwayat DM. Sedangkan pada kelompok tanpa KKv, 51% subjek memiliki riwayat hipertensi dan 14% memiliki riwayat DM. Hal sebaliknya terjadi pada karakteristik merokok, dimana perokok ditemukan pada 40% subjek dengan KKv dan 57% subjek tanpa KKv. Perbedaan ini secara statistik tidak bermakna. Rerata kadar/hasil pengukuran variabel yang merupakan faktor risiko klasik maupun marker inflamasi antara subjek yang mengalami KKv dan yang tidak mengalami KKv tidak jauh berbeda, kecuali kadar neopterin. Rerata kadar neopterin pada subjek yang mengalami KKv lebih tinggi daripada subjek yang tidak mengalami KKv. Rerata kadar neopterin pada subjek yang mengalami KKv sebesar 29,32 (± 22,49) sedangkan pada subjek yang tidak mengalami KKv sebesar 14,32 (± 6,96). Secara statistik perbedaan tersebut bermakna dengan nilai p < 0,01. 5.2 Gambaran Klinis Penderita SKA dan KKv Terdapat enam puluh enam penderita SKA (APTS, NSTEMI dan STEMI) yang diikutkan pada penelitian ini dan diamati selama periode enam bulan. Dalam pengamatan tersebut didapatkan sebanyak 15 (22,7%) pasien mengalami KKv, termasuk kematian vaskuler, IMA ulangan dan reccurent cardiac ischemia. Dalam pengamatan tersebut, KKv dapat terjadi di RS saat dirawat, maupun setelah keluar RS. Sebelas (16,7%) pasien mengalami kematian vaskuler, tiga (4,5%) pasien mengalami IMA dan satu (1,5%) pasien mengalami reccurent cardiac ischemia. Sepuluh orang (15%) mengalami KKv kurang dari 30 hari setelah masuk rumah sakit dan lima orang (7,5%) mengalami KKv lebih dari 30 hari setelah masuk rumah sakit. Tiga belas orang pasien yang mengalami KKv adalah penderita STEMI dan dua 85 orang sisanya adalah penderita APTS, sedangkan pada penderita NSTEMI tidak dijumpai adanya KKv (Tabel 5.3). Tabel 5.3 Gambaran Klinis SKA dan KKv Gambaran klinis SKA APTS NSTEMI STEMI KKV (%) 2 (3%) 0 13 (19,7%) Keterangan 1. Reccurent cardiac ischemia :1(1,5%) 2. IMA : 1 (1,5%) Tidak ada KKv 1. Kematian Vaskuler : 11 (16,7%) 2. IMA : 2 (3%) KKv yang berupa kematian vaskuler (16,7%), dapat dibedakan menjadi kematian di RS (12,1%) dan kematian di luar RS (4,6%). Kematian vaskuler pada penderita SKA di RS dapat terjadi pada perawatan RS yang pertama kali (9%) atau perawatan berikutnya (3%). 5.3 Uji Normalitas dan Homogenitas Data Normalitas data umur, kadar kolesterol total, kolesterol HDL, kolesterol LDL, trigliserida, tekanan darah sistole, diastole, BSN, BS 2jpp, neopterin, IFN-, anti-HpHSP60II3, dan hs-CRP diuji dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji normalitas menunjukan bahwa sebagian besar data yang diteliti tidak berdistribusi normal pada kedua kelompok KKv dan tanpa KKv dengan nilai p < 0,05. Hanya beberapa variabel yang berdistribusi normal seperti umur, kadar kolesterol HDL, dan kadar anti-HpHSP60II3 dengan nilai p > 0,05 pada kelompok KKv dan tanpa KKv. Homogenitas varians data penelitian antara kelompok KKv dan tanpa KKv diuji dengan uji Levene’s. Hasil analisis homogenitas varian kelompok KKv dan tanpa 86 KKv menunjukkan bahwa kedua kelompok memiliki varian yang sama pada semua variabel penelitian (p > 0,05), kecuali variabel neopterin. 5.4 Penentuan Titik Potong (Cut off Point) Kadar Anti-Hp-HSP60II3, IFN-, Neopterin, dan hs-CRP Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa sebagian besar variabel berdistribusi tidak normal, sehingga dilanjutkan dengan uji nonparametrik untuk menentukan nilai median. Nilai median ini yang akan digunakan sebagai titik potong (Cut off point) yaitu batas antara kadar rendah dengan kadar tinggi (Tabel 5.4). Tabel 5.4 Rentang Nilai dan Titik Potong Anti-Hp-HSP60II3, IFN-, Neopterin, dan hs-CRP Variabel Anti-HpHSP60II3 (OD) IFN (pg/mL) Neopterin (nmol/L) Hs-CRP (mg/L) Rentang 0,69 s.d. 1,8 0,67 s.d. 1,28 4 s.d. 95 0,01 s.d. 6.829 Median 1,26 0,73 15,18 17,92 Nilai median sebagai titik potong, artinya kadar anti-HpHSP60II3 rendah adalah kadar anti-HpHSP60II3 < 1,26 (OD) dan kadar anti-HpHSP60II3 tinggi adalah kadar anti-HpHSP60II3 ≥ 1,26 (OD). Kadar IFN- rendah adalah kadar IFN- < 0,73 pg/mL dan kadar IFN- tinggi adalah kadar IFN- ≥ 0,73 pg/mL. Kadar neopterin rendah adalah kadar neopterin < 15,18 nmol/L dan kadar neopterin tinggi adalah kadar neopterin ≥ 15,18 nmol/L. Kadar hs-CRP rendah adalah kadar hs-CRP < 17,92 mg/L dan kadar hs-CRP tinggi adalah kadar hs-CRP ≥ 17,92 mg/L. 87 5.5 Perbedaaan Angka Insiden KKv antara Kelompok Kadar Neopterin tinggi dan Rendah Perbedaan angka insiden KKv antara kelompok subjek dengan kadar neopterin tinggi dengan kadar neopterin rendah digambarkan dari rasio angka insiden (Incidence Rate Ratio) antara kelompok subjek dengan kadar neopterin tinggi dan rendah (Tabel 5.5). Hasil analisis rasio angka insiden KKv antara kelompok subjek dengan kadar neopterin tinggi dan rendah menunjukkan bahwa angka insiden KKv pada kelompok subjek dengan kadar neopterin tinggi lebih besar 5,216 kali dibandingkan dengan angka insiden KKv pada kelompok subjek dengan kadar neopterin rendah. Perbedaan angka insiden tersebut secara statistik sangat bermakna dengan nilai p = 0,005. Tabel 5.5. Perbedaan Angka Insiden KKv antara Kelompok Kadar Neopterin Tinggi dan Rendah Kadar Neopterin Jumlah KKv Tinggi Rendah 12 3 Jumlah nonKKv 21 30 Total 15 51 Jumlah OrangHari 4260 5555 9815 Angka Rasio Angka Nilai P Insiden Insiden (dua KKv (CI 95%) sisi) 0,0028 5,216 0,0051 0,0005 (1,407 s.d. 28,803) 5.6 Perbedaaan Angka Insiden KKv antara Kelompok Kadar IFN- Tinggi dan Rendah Analisis perbedaan angka insiden KKv, menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara kelompok subjek dengan kadar INF- tinggi dan rendah. Besarnya 88 nilai rasio angka insiden KKv antara kelompok subjek dengan kadar IFN- tinggi dan rendah sebesar 0,959 (CI 95%: 0,304 s.d. 3,109) dengan nilai p = 0,9335 (Tabel 5.6). Tabel 5.6 Perbedaan Angka Insiden KKv antara Kelompok Kadar IFN- tinggi dan rendah Kadar IFN- Tinggi Rendah Total Jumlah KKv 8 7 15 Jumlah nonKKv 27 24 51 Jumlah OrangHari 5335 4480 9815 Angka Insiden KKv 0,0015 0,0015 Rasio Angka Insiden (CI 95%) 0,959 (0,304 s.d. 3,109) Nilai P (dua sisi) 0,9335 5.7 Perbedaan Angka Insiden KKv Antara Kelompok Kadar Anti-Hp-HSP60II3 Tinggi dan Rendah Analisis perbedaan angka insiden KKv, menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan antara kelompok subjek dengan kadar Anti-Hp-HSP60II3 tinggi dan rendah. Besarnya nilai rasio angka insiden KKv antara kelompok subjek dengan kadar anti-Hp-HSP60II3 tinggi dan rendah sebesar 0,832 (CI 95%: -0,257 s.d. 2,627) dengan nilai p = 0,7310 (Tabel 5.7). Tabel 5.7 Perbedaan Angka Insiden KKv antara Kelompok Kadar Anti-Hp-HSP60II3 Tinggi dan Rendah Kadar antiHpHSP60II3 Jumlah KKv Tinggi Rendah 7 8 Jumlah nonKKv 27 24 Total 15 51 Jumlah OrangHari 5030 4785 9815 Angka Insiden KKv 0,0014 0,0017 Rasio Angka Insiden (CI 95%) 0,832 (-0,257 s.d. 2,627) Nilai P (dua sisi) 0,7310 89 5.8 Perbedaan Kejadian KKv Antara Kelompok Kadar hs-CRP Tinggi dan Rendah Analisis perbedaan angka insiden KKv, menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan antara kelompok subjek dengan kadar hs-CRP tinggi dan rendah. Besarnya hs-CRP nilai rasio angka tinggi dan insiden KKv antara kelompok subjek dengan kadar rendah sebesar 0,820 (CI 95%: 0,253 s.d. 2,587) dengan nilai p = 0,709 (Tabel 5.8). Tabel 5.8. Perbedaan Angka Insiden KKv antara Kelompok Kadar hs-CRP Tinggi dan Rendah Kadar CRP Jumlah KKv Tinggi Rendah 7 8 Total 15 Jumlah Jumlah nonOrangKKv Hari 36 5067 15 4748 51 Angka Insiden KKv 0,0014 0,0017 Rasio Angka Insiden (CI 95%) 0,820 (0,253 s.d. 2,587) Nilai P (dua sisi) 0,709 9815 5.9 Analisis Perbedaan Rerata Waktu Terjadinya KKv antara Kadar Neopterin Tinggi dan Rendah Analisis perbedaan rerata waktu terjadinya KKv antara kelompok subjek dengan kadar neopterin tinggi dan rendah yang dianalisis dengan metode Kaplan-Meier, mendapatkan hasil bahwa rerata waktu terjadinya KKv pada kelompok subjek dengan kadar neopterin tinggi lebih singkat dibandingkan kelompok subjek dengan kadar neopterin rendah. Rerata waktu terjadinya KKv pada kelompok subjek dengan kadar neopterin tinggi adalah 129,09 hari, sedangkan pada kelompok subjek dengan kadar 90 neopterin rendah adalah 168,33 hari. Perbedaan tersebut secara statistik sangat bermakna dengan nilai p = 0,008 (Tabel 5.9). Tabel 5.9. Hasil Analisis Kaplan Meier Perbedaan Rerata Waktu Terjadinya KKv antara Kelompok Subjek dengan Kadar Neopterin Tinggi dan Rendah Kadar Neopterin Tinggi Rendah Keseluruhan Rerata Waktu Terjadinya KKv 129,091 168,333 148,712 SE Waktu Terjadinya KKv 13,83 6,99 8,14 Log Rank Chi-square Nilai P 7,101 0,008 Gambar 5.1 Kurva Insiden Kumulatif KKv menurut Waktu antara Kelompok Subjek dengan Kadar Neopterin Tinggi dan Rendah 91 Kejadian KKv secara kumulatif menurut waktu pengamatan antara kelompok subjek dengan kadar neopterin tinggi dan rendah menunjukkan bahwa kejadian kumulatif pada kelompok subjek dengan kadar neopterin tinggi selalu lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok subjek dengan kadar nepterin rendah, dan KKv pada kelompok subjek dengan kadar neopterin tinggi terjadi lebih awal dibandingkan dengan kelompok subjek dengan kadar neopterin rendah (Gambar 5.1). 5.10 Analisis Perbedaan Rerata Waktu Terjadinya KKv antara Kelompok Kadar IFN- Tinggi dan Rendah Analisis Kaplan-Meier dari perbedaan rerata waktu terjadinya KKv antara subjek dengan kadar IFN- tinggi dan rendah menunjukkan tidak terdapat perbedaan rerata waktu terjadinya KKv antara kedua kelompok. Hasil analisis menunjukkan bahwa rerata waktu terjadinya KKv pada subjek dengan kadar IFN- tinggi sebesar 152,43 (± 10,66) hari dan pada subjek dengan kadar IFN- rendah sebesar 144,52 (±12,35) hari. Perbedaan rerata tersebut secara statistik tidak bermakna dengan nilai P = 0,902 (Tabel 5.10). Tabel 5.10 Hasil Analisis Kaplan-Meier Perbedaan Rerata Waktu Terjadinya KKv Subjek dengan Kadar IFN- Tinggi dan Rendah Kadar IFN- Tinggi Rendah Keseluruhan Rerata Waktu Terjadinya KKv 152,429 144,516 148,712 SE Waktu Terjadinya KKv 10,66 12,35 8,142 Log Rank Chi-square Nilai P 0,015 0,902 92 Grafik kejadian KKv secara kumulatif menurut waktu pengamatan antara kelompok subjek dengan IFN- tinggi dan rendah (Gambar 5.2) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kejadian kumulatif KKv antara kedua kelompok dan tampak waktu terjadinya KKv pada kelompok IFN- rendah lebih awal akan tetapi tidak bermakna. Kejadian kumulatif pada kelompok subjek dengan kadar IFN- tinggi justru lebih rendah dibandingkan dengan kelompok subjek dengan kadar IFN- rendah. Gambar 5.2 Kurva Insiden Kumulatif KKv menurut Waktu antara Kelompok Subjek dengan Kadar IFN- Tinggi dan Rendah 93 5.11 Perbedaan Waktu Terjadinya KKv antara Kelompok Anti-Hp-HSP60II3 Tinggi dan Rendah Perbedaan rerata waktu terjadinya KKv antara subjek dengan kadar anti-HpHSP60II3 tinggi dan rendah dengan metode Kaplan-Meier menunjukan tidak terdapat perbedaan rerata waktu terjadinya KKv antara kedua kelompok (Tabel 5.11). Hasil analisis menunjukkan bahwa rerata waktu terjadinya KKv pada subjek dengan kadar anti-Hp-HSP60II3 tinggi sebesar 152,42 (± 10,38) hari dan pada subjek dengan kadar anti-Hp-HSP60II3 rendah sebesar 145,00 (±12,59) hari. Perbedaan rerata tersebut secara statistik tidak bermakna dengan nilai P = 0,782. Tabel 5.11 Hasil Analisis Kaplan Meier Perbedaan Waktu Terjadinya KKv pada Subjek dengan Kadar Anti-Hp-HSP60II3 Tinggi dan Rendah Kadar AntiHp-HSP60II3 Tinggi Rendah Keseluruhan Rerata Waktu Terjadinya KKv 152,42 145,00 148,71 SE Waktu Terjadinya KKv 10,38 12,59 8,14 Log Rank Chi-square 0,077 Nilai P 0,782 Grafik kejadian KKv secara kumulatif menurut waktu pengamatan antara kelompok subjek dengan kadar anti-Hp-HSP60II3 tinggi dan rendah (Gambar 5.3) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kejadian kumulatif KKv antara kedua kelompok. Kejadian kumulatif pada kelompok subjek dengan kadar anti-HpHSP60II3 tinggi sebelum hari ke-50 pengamatan, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok dengan kadar anti-Hp-HSP60II3 rendah. Pada pengamatan hari ke50 sampai ke-150, kejadian kumulatif pada kelompok subjek dengan kadar anti-Hp- 94 HSP60II3 tinggi justru lebih rendah dibandingkan dengan kelompok subjek dengan kadar anti-Hp-HSP60II3 rendah. Setelah hari ke-150, kejadian kumulatif pada kelompok subjek dengan kadar anti-Hp-HSP60II3 tinggi kembali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok subjek dengan kadar anti-Hp-HSP60II3 rendah. Gambar 5.3 Kurva Insiden Kumulatif KKv menurut Waktu antara Kelompok Subjek dengan Kadar Anti-HpHSP60II3 Tinggi dan Rendah 5.12 Perbedaan Waktu Terjadinya KKv antara Kelompok hs-CRP dan Rendah Tinggi Perbedaan rerata waktu terjadinya KKv antara subjek dengan kadar hs-CRP tinggi dan rendah dengan metode Kaplan-Meier menunjukan tidak terdapat perbedaan rerata waktu terjadinya KKv antara kedua kelompok. Hasil analisis menunjukkan bahwa rerata waktu terjadinya KKv pada subjek dengan kadar hs-CRP tinggi sebesar 153,54 (± 11,10) hari dan pada subjek dengan kadar hs-CRP rendah sebesar 143,88 95 (±11,85) hari. Perbedaan rerata tersebut secara statistik tidak bermakna dengan nilai P = 0,705 (Tabel 5.12). Tabel 5.12 Hasil Analisis Kaplan Meier Perbedaan Waktu Terjadinya KKv pada Subjek dengan Kadar hs-CRP Tinggi dan Rendah Kadar hsCRP Tinggi Rendah Keseluruhan Rerata Waktu Terjadinya KKv 153,54 143,88 148,71 SE Waktu Terjadinya KKv 11,10 11,85 8,14 Log Rank Chi-square 0,143 Nilai P 0,705 Gambar 5.4 Kurva Insiden Kumulatif KKv menurut Waktu antara Kelompok Subjek dengan Kadar hs-CRP Tinggi dan Rendah Grafik kejadian KKv secara kumulatif menurut waktu pengamatan antara kelompok subjek dengan kadar hs-CRP tinggi dan rendah (Gambar 5.4) menunjukkan 96 bahwa tidak terdapat perbedaan kejadian kumulatif KKv antara kedua kelompok tersebut. Kejadian kumulatif KKv pada kelompok subjek dengan kadar hs-CRP tinggi selalu lebih rendah dibandingkan dengan kelompok dengan kadar hs-CRP rendah, kecuali pada pengamatan hari ke-130 sampai ke-150, terjadi kesamaan kejadian kumulatif KKv antara kedua kelompok. 5.13 Cox Regression model Pengaruh kadar neopterin, IFN-, anti-Hp-HSP60II3, dan hs-CRP terhadap rasio angka insiden KKv pada penderita SKA (APTS, NSTEMI, dan STEMI), dianalisis dengan model regresi cox. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa dari keempat variabel bebas yang dianalisis pengaruhnya terhadap variabel tergantung (kejadian KKv), hanya kadar neopterin yang berpengaruh terhadap insiden KKv dengan rasio angka insiden sebesar 5,44 (CI 95%; 1,46 s.d. 20,33) dengan nilai P = 0,012. Sebaliknya, tiga variabel lainnya yaitu kadar IFN-, anti-Hp-HSP60II3, dan hs-CRP tidak terbukti berpengaruh dengan nilai P > 0,05 (Tabel 5.13). Tabel 5.13 Hasil Analisis Regresi Cox Pengaruh Neopterin, IFN-, Anti-Hp-HSP60II3, dan hs-CRP terhadap Insiden KKv Nilai P Variabel Neopterin IFN- Anti-Hp-HSP60II3 Hs-CRP 0,012 0,394 0,888 0,653 Hazard Ratio 5,438 0,630 1,082 0,779 CI 95% HR Batas bawah Batas atas 1,455 20,325 0,218 1,823 0,362 3,228 0,263 2,308 97 Bila faktor perancu seperti dislipidemia, DM, hipertensi, obesitas, merokok, dan umur dikendalikan, maka didapatkan bahwa hanya kadar neopterin yang berpengaruh terhadap insiden KKv dengan rasio angka insiden sebesar 6,46 (CI 95%; 1,45 s.d. 28,74) dengan nilai P = 0,014 (Tabel 5.14). Tabel 5.14 Hasil Analisis Regresi Cox Pengaruh Neopterin, IFN-, Anti-Hp-HSP60II3, hsCRP, Dislipidemia, DM, Hipertensi, Obesitas, Merokok, dan Umur terhadap Insiden KKv Variabel Nilai P Hazard Ratio CI 95% HR Batas Batas bawah atas Neopterin IFN- 0,014 0,157 0,313 0,555 0,166 0,599 0,212 0,300 0,334 0,696 6,46 0,363 0,504 0,692 2,29 0,641 0,433 1,975 1,94 1,01 1,454 0,089 0,133 0,204 0,709 0,122 0,116 0,545 0,506 0,957 Anti-Hp-HSP60II3 Hs-CRP Obese Dislipidemia Merokok Hipertensi DM Umur 5.14 28,74 1,477 1,906 2,347 7,46 3,61 1,613 7,154 7,457 1,068 Analisis Jalur Hubungan Neopterin, IFN-, dan Anti-Hp-HSP60II3 terhadap KKv Analisis jalur ini digunakan untuk menganalisis pola hubungan antar variabel dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh langsung maupun tidak langsung variabel bebas yaitu neopterin, IFN-, dan anti-Hp-HSP60II3 terhadap variabel tergantung yaitu KKv (luaran / outcome). 98 Tabel 5.15 Hasil Analisis Jalur Hubungan Neopterin, IFN-, dan Anti-HpHSP60II3 terhadap KKv Variabel Efek Langsung Efek Tidak Langsung Anti-Hp-HSP60II3 0,113 ( P > 0,05 ) 0,001 ( P > 0,05 ) IFN- 0,027 ( P > 0,05 ) 0,006 ( P > 0,05 ) Neopterin 0,491 ( P < 0,05 ) - Analisis ini menggunakan program Partial List Square (PLS). Hasil analisis jalur menunjukkan bahwa kadar anti-HpHSP60II3 tidak berpengaruh terhadap KKv baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Anti-Hp-HSP60II3 memiliki efek langsung sebesar 0,113 (P > 0,05) dan efek tidak langsung melalui IFN- dan neopterin sebesar 0,001 (P > 0,05). Kadar anti-Hp-HSP60II3 juga tidak berpengaruh terhadap kadar IFN-. Efek langsung anti-Hp-HSP60II3 terhadap IFN- adalah sebesar – 0,24 (P > 0,05). Kadar IFN- tidak berpengaruh terhadap KKv baik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui neopterin. Hasil analisis jalur menunjukkan bahwa efek langsung IFN- terhadap KKv sebesar 0,027 (P > 0,05) dan efek tidak langsungnya sebesar 0,006 (P > 0,05). Hanya kadar neopterin yang memberi pengaruh yang bermakna terhadap KKv, dengan efek langsung sebesar 0,491 atau 49,1% (P < 0,05) (Gambar 5.5). 99 Gambar 5.5 Bagan Model Analisis Jalur Hubungan Anti-Hp-HSP60II3, IFN-, dan Neopterin terhadap KKv 100 BAB VI PEMBAHASAN Penelitian ini melibatkan semua tipe gambaran klinis penderita SKA (APTS, NSTEMI dan STEMI). Ketiga tipe gambaran klinis tersebut pada dasarnya mempunyai patomekanisme yang sama, yaitu inflamasi yang berlanjut dengan terjadinya ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan O2 dari miokard / otot jantung sehingga timbul nyeri dada. Perubahan anatomis yang terjadi berbeda diantara ketiga gambaran klinis SKA. Pada APTS terjadi vasospasme koroner (dynamic maupun progressive mechanic obstruction) dan dapat juga diikuti terbentuknya trombus. Sedangkan pada NSTEMI dan STEMI yang terjadi adalah obstruksi partial pada NSTEMI, obstruksi total pada STEMI dan dapat berlanjut dengan terbentuknya trombus (Braunwald, 1998; Ozben and Erdogan, 2008). Telah dilakukan analisis hubungan antara beberapa biomarker risiko seperti neopterin, IFN-, anti-Hp-HSP60II3 dan hs-CRP dengan Kejadian Kardiovaskuler (KKv) pada penderita SKA (APTS, NSTEMI dan STEMI) yang diamati selama enam bulan. 6.1 Karakteristik Data Dari 66 pasien SKA yang menjadi subjek dalam penelitian ini, terdapat 13 orang (19,7%) yang menderita APTS, 11 orang (16,7%) menderita NSTEMI dan 42 orang (63,6%) menderita STEMI. KKv dialami oleh 22,7% subjek penelitian. Karakteristik dasar subjek penelitian menunjukkan rata-rata umur subjek adalah 57 tahun, 80,3% 101 adalah laki-laki, 53% merokok, 16,6% memiliki riwayat DM, dan 56 % memiliki riwayat hipertensi. Ray et al. (2007) mendapatkan, 17% subjek penelitiannya mengalami KKv, ratarata umur subjek adalah 58 tahun, 33% subjek mengalami APTS, 33% mengalami STEMI dan 33% sisanya mengalami NSTEMI. Dari total jumlah subjek penelitian, 17 % menderita DM, dan 37% merokok. Kaski et al. (2008) hanya melakukan penelitian pada penderita APTS (37%) dan NSTEMI (63%). KKv terjadi pada 15% subjek penelitian, rata-rata umur subjek penelitiannya adalah 64 tahun, 74% adalah laki-laki, 28% menderita diabetes, 60% menderita hipertensi, dan 28% merokok. Berbeda dengan penelitian ini, Kaski et al. mendapatkan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada karakteristik umur, riwayat diabetes dan hipertensi antara subjek dengan KKv dan tanpa KKv. Perbedaan karakteristik hasil ketiga penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan populasi, jumlah sampel dan waktu lamanya observasi. Kaski et al. melakukan penelitian khusus pada populasi mediterania dengan jumlah sampel 397 orang APTS dan NSTEMI. 6.2 Neopterin sebagai Biomarker Risiko KKv pada SKA Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar neopterin berpengaruh terhadap insiden KKv. Perbedaan rerata waktu terjadinya KKv antara subjek dengan kadar neopterin tinggi dan rendah secara statistik bermakna. Bila faktor perancu seperti dislipidemia, DM, hipertensi, obesitas, merokok dan umur dikendalikan, maka didapatkan bawah hanya kadar neopterin yang berpengaruh terhadap insiden KKv dengan hazard rasio sebesar 6,46 (CI 95%; 1,45 s.d. 28,74), p = 0,014 dan dari 102 analisis jalur hubungan didapatkan bahwa pengaruh neopterin terhadap KKv sebesar 49,1% (P < 0,05). Kaski et al. (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa hazard rasio terjadinya KKv adalah 1,762 (CI 95%; 1,023 s.d. 3,036), sedangkan Ray et al. (2007) menemukan hazard rasio 1,33 (CI 95%; 1,09 s.d. 1,63), yang keduanya lebih rendah dibandingkan hazard rasio yang ditemukan dalam penelitian ini. Kedua penelitian tersebut dilakukan pada populasi Eropa Mediterania. Di Asia, Tanaka et al., (2004) pernah melakukan penelitian untuk mencari hubungan antara kadar neopterin pada pasien penyakit arteri koroner dengan hasil angiografi koroner. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang lemah antara kadar neopterin dengan tingkat keparahan aterosklerosis koroner. Peningkatan kadar neopterin terjadi rata-rata pada hari keempat sampai sembilan setelah serangan, dengan rata-rata kadar 11,2 nmol/L (6,39 s.d. 20,41) (Nazer et al., 2011). Ray et al. (2007) dalam penelitiannya melakukan pengambilan darah subjek pada perawatan hari ketujuh, dan menggunakan titik potong berdasarkan nilai quartile teratas yaitu 12,11 nmol/L. Sedangkan Kaski et al. (2008) melakukan pengambilan darah dalam 12 jam setelah perawatan dan menggunakan titik potong berdasarkan nilai tertile teratas yaitu 9,56 nmol/L. Berbeda dengan penelitianpenelitian tersebut, sampel darah untuk pemeriksaan neopterin pada penelitian ini diambil 48 jam setelah subjek masuk rumah sakit dengan nilai median 15,18 nmol/L. Rata-rata kadar neopterin pada subjek yang mengalami KKv (29,3 nmol/L) lebih tinggi dibandingkan subjek yang tidak mengalami KKv (14,3 nmol/L). 103 Ruptur plak aterosklerosis terjadi pada tempat dimana sumbat fibrous dipenuhi oleh infiltrasi makrofag yang teraktivasi. Makrofag yang teraktivasi akan membentuk metalloproteinase yang berperan dalam degradasi kolagen dan melemahnya sumbat fibrous (Fuchs et al., 2009). Neopterin adalah penanda aktivasi makrofag dan berperan dalam meningkatkan sitotoksisitas makrofag dengan cara bereaksi dengan reaktif oksigen, nitrogen dan klorida. Pemeriksaan neopterin digunakan untuk mengetahui aktivasi imun seluler dan memperkirakan oksidatif stress. Saat makrofag distimulasi oleh IFN-, guanosine triphosphate (GTP) dipecah oleh ensim GTP siklohidrolase menjadi produk intermediate (7-8 dihidroneopterin), yang kemudian teroksidasi membentuk neopterin (Nazer et al., 2011). Jumlah neopterin yang disekresi berkorelasi dengan pengeluaran oksigen radikal reaktif oleh sel yang menggambarkan kadar stres oksidatif yang diakibatkan oleh aktivasi sistem imun (Grammer et al., 2009). Dalam suatu penelitian yang dilakukan pada hewan coba, stres oksidatif memegang peranan penting dalam fase awal aterogenesis dan progresivitas aterosklerosis. Neopterin dapat mengaktifkan konstitutif maupun indusibel NO sintase dan meningkatkan produksi radikal bebas NO yang sitotoksik. Secara in vitro, neopterin merangsang translokasi nuclear factor-B ke dalam inti yang mengakibatkan aktivasi gen inflamatori dan memproduksi molekul adesi, sitokin inflamasi, mediator imun dan faktor jaringan. Semua hal tersebut berperan aktif dalam proses inflamasi yang mengarah pada aterotrombosis (Kaski et al., 2008). 104 Sel-sel inflamasi dari sistem monosit-makrofag berperan dalam fase awal lesi aterosklerotik, sedangkan aktivasi sel-sel tersebut berperan dalam ketidakstabilan plak (Ray et al., 2007). Kadar neopterin yang tinggi berhubungan dengan perluasan aterosklerosis maupun plak ateroma koroner yang mudah ruptur (Ray et al., 2007; Avanzas et al., 2009; Fuchs et al., 2009). Kejadian serangan ulangan (KKv) diprediksi dengan tingginya kadar neopterin (Fuchs et al., 2009). Neopterin adalah low molecular weight dan stabil secara kimia maupun biologi dalam darah dan urine. Neopterin mudah diperiksa, kadarnya tidak berbeda pada sampel serum maupun plasma EDTA, stabil dalam suhu ruangan selama tiga hari, dan dapat disimpan dalam suhu 4oC selama satu minggu (Fuchs et al., 2009; Nazer et al., 2011). Oleh karena itu, neopterin baik digunakan sebagai penanda untuk memonitoring aktivitas penyakit dan respon terapi (Nazer et al., 2011). 6.3 IFN -γ sebagai Biomarker Risiko KKv pada SKA Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan rerata waktu terjadinya KKv antara subjek dengan kadar IFN- tinggi dan rendah secara statistik tidak bermakna. Tidak ada perbedaan kejadian kumulatif KKv antara kelompok subjek dengan kadar IFN- tinggi dan rendah dan rasio angka insiden KKv antara kedua kelompok tersebut tidak berbeda bermakna. Sebagian besar penelitian terdahulu yang mendukung bahwa IFN -γ berperan dalam pembentukan lesi aterosklerosis adalah penelitian pada hewan coba dan bersifat eksperimental. Pemberian rekombinan IFN-γ meningkatkan luas lesi dua kali 105 lipat, meningkatkan jumlah limfosit T dan meningkatkan MHC klas II. Hal-hal tersebut membuktikan peran pro-aterogenik IFN-γ. Pada penelitian lain, hewan coba yang kekurangan reseptor IFN-γ dan apolipoproten E dibandingkan dengan hewan coba yang hanya kekurangan apolipoproten E saja. Ternyata perkembangan menjadi aterosklerosis lebih sedikit terjadi hewan coba yang kekurangan reseptor IFN-γ dan apolipoproten E (Whitman et al., 2000). Peran IFN-γ sebagai pro-inflamasi aterosklerosis juga dibuktikan dengan ditemukannya mRNA dan protein IFN-γ pada lesi aterosklerosis tikus dan manusia. Kekurangan reseptor IFN-γ menyebabkan penurunan tingkat keparahan aterosklerosis dan pemberian rekombinan IFN-γ merangsang proses aterogenik (Whitman et al., 2002). Peran IFN-γ dalam patogenesis lesi aterosklerosis bagai pisau bermata dua, di satu sisi dapat bersifat pro-aterogenik, namun di sisi lain dapat besifat anti-aterogenik. IFN-γ merangsang ekspresi VCAM-1 di sel endotel, MHC klas II di makrofag dan otot polos, merangsang reseptor lipoprotein di sel otot polos, yang semuanya itu bersifat pro-aterogenik. Di pihak lain, IFN-γ menurunkan ekspresi reseptor lipoprotein di makrofag, menurunkan pembentukan kolagen di otot polos dan menghambat proliferasi sel otot polos, yang semuanya berefek anti-aterogenik (Gupta et al., 1997). Secara ringkas, peran IFN-γ dalam aterosklerosis adalah dalam hal akumulasi lemak / pembentukan sel busa dan menentukan struktur sel dalam plak. Perannya 106 dalam menentukan struktur sel dalam plak terdiri dari merangsang proliferasi sel otot polos, aktivasi makrofag, merangsang apoptosis makrofag, stimulasi Sel-Th 1 (autokrin), menghambat stimulasi Sel-Th 2 dan meningkatkan ekspresi MHC klas II pada makrofag dan sel otot polos. IFN-γ juga memegang peranan dalam ketidakstabilan plak melalui pembentukan matriks ekstraseluler. IFN-γ merupakan regulator dari cathepsin S, protease serine yang diekspresikan di sel otot polos vaskuler. Cathepsin S memiliki peranan dalam pemecahan matriks ekstraseluler (Baidya and Zeng, 2005). Peningkatan aktivasi Sel-T mengakibatkan peningkatan produksi IFN- dan produksi neopterin oleh makrofag merupakan respon primer terhadap IFN- yang dikeluarkan oleh Sel-T yang teraktivasi tersebut, sehingga IFN-γ merupakan stimulus sentral pembentukan neopterin (Ray et al., 2007; Kaski et al., 2008). Bila dalam penelitian ini neopterin terbukti sebagai biomarker KKv pada SKA, maka sesuai dasar teori pembentukan neopterin, peranan IFN-γ semestinya menunjukkan hasil yang serupa. IFN-γ merupakan sitokin pro-aterogenik yang diekspresikan di plak arteri dan Sel-T di sirkulasi pada pasien aterosklerosis. Tetapi, kadar IFN-γ plasma sulit dideteksi, yang disebabkan oleh pendeknya half-life IFN-γ di sirkulasi. Saat beredar di sirkulasi, IFN-γ sangat cepat diikat oleh organ target atau dinetralisir oleh soluble receptor. Selain itu, sitokin yang diproduksi secara lokal sering tidak dapat mencapai sirkulasi darah dan tidak dapat digunakan untuk pemeriksaan rutin di laboratorium (Fuchs et al., 2009). Keterbatasan dalam pemeriksaan juga dapat 107 menyebabkan kadar IFN-γ tidak terdeteksi atau seperti yang terjadi pada penelitian terdahulu bahwa kadar IFN-γ terdeteksi dalam kadar yang sangat rendah (0,2 pg/ml). Dalam salah satu penelitian didapatkan bahwa IFN-γ dalam sirkulasi jarang ditemukan pada keadaan kadar IL-12 yang rendah. Penelitian pada sel plak arteri karotis menemukan bahwa dan IL-12 meningkatkan sekresi oxLDL merangsang IFN-γ pembentukan IL-12 pada sel mononuklear darah tepi (Ranjabaran et al., 2007). 6.4 Anti-Hp-HSP60II3 sebagai Biomarker Risiko KKv pada SKA Salah satu autoantigen yang berperan dalam aterosklerosis adalah HSP. Terdeteksinya antibodi terhadap HSP60 berhubungan erat dengan keparahan penyakit arteri koroner. Baidya and Zeng, (2005) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara aterosklerosis dengan beberapa patogen seperti Chlamydia pneumonia, Herpes simplex dan Cytomegalovirus. Patogen-patogen tersebut ditemukan pada lesi aterosklerotik. Namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan antara aterosklerosis dengan patogen-patogen tersebut maupun dengan patogen-patogen lainnya, termasuk H.pylori. Penelitian ini adalah merupakan salah satu langkah untuk membuktikan hubungan antara H.pylori dengan aterosklerosis yang selama ini masih menjadi kontroversi. H. pylori secara indirek berperan pada perkembangan aterosklerosis sebab patogen tersebut secara permanen ada pada gastrointestinal (Lamb et al., 2002). Ameriso et al. (2001) menyatakan bahwa deoxy ribonucleic acid (DNA) H. pylori ditemukan pada 20 dari 38 plak ateroma dan tidak ditemukan pada arteri carotid 108 yang normal. Pasceri et al. (1998) menemukan prevalensi infeksi H. pylori secara signifikan lebih tinggi pada kasus (pasien ischemic heart disease) dibandingkan kontrol (subyek yang tidak memiliki riwayat ischemic heart disease dan hasil elektrokardiografi (EKG) normal) dengan OR 2,8 (95% CI, 1,3 s.d. 7,4; P<0,001). Hal ini menunjukkan bahwa H. pylori berperan dalam aterosklerosis melalui proses inflamasi yang persisten. Mach et al. (2002), dalam penelitiannya menggunakan tikus yang diberikan makanan tinggi kolesterol, menemukan bahwa infeksi H. pylori tidak mempengaruhi progresivitas pembentukan lesi aterosklerotik maupun deposisi lemak. Makrofag dan Sel-T yang ditemukan pada lesi aterosklerotik tersebut tidak berbeda antara tikus yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi H. pylori. Pada penelitian yang bertujuan untuk menemukan H. pylori pada plak ateroma dari 50 pasien dengan aneurisma aorta abdominal, ternyata DNA H. pylori tidak ditemukan pada seluruh plak ateroma tersebut. Okada et al. (2007) menemukan bahwa kadar anti-Hp-HSP60II3 merupakan penanda diagnosis independen untuk penyakit kardiovaskuler. Dalam penelitian tersebut didapatkan cut off untuk diagnostik sebesar 0,36 OD dengan sensitivitas 86% dan spesivisitas 71,6%. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan peranan anti-Hp-HSP60II3 bukan sebagai penanda diagnostik penyakit kardiovaskuler, melainkan sebagai penanda risiko terjadinya KKv pada penderita yang sudah menderita penyakit kardiovaskuler (SKA). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan rerata waktu terjadinya 109 KKv antara subjek dengan kadar anti-Hp-HSP60II3 tinggi dan rendah secara statistik tidak bermakna. Tidak terdapat perbedaan antara kelompok subjek dengan kadar antiHp-HSP60II3 tinggi dan rendah. Terdapat dua kemungkinan yang dapat menjelaskan hal tersebut. Kemungkinan pertama adalah bahwa memang anti-Hp-HSP60II3 ini merupakan penanda diagnostik penyakit kardiovaskuler sehingga semua subjek penderita SKA dalam penelitian ini memiliki kadar yang tinggi atau kemungkinan kedua adalah kadar anti-Hp-HSP60II3 orang Indonesia memang semua lebih tinggi daripada cut-off Okada, mengingat H. pylori merupakan salah satu patogen paling umum pada manusia, dan lebih dari 70% orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala. Median kadar anti-Hp-HSP60II3 subjek penelitian ini adalah 1,26 OD, dengan rentang kadar 0,69 OD s.d. 1,80 OD. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui berapa kadar anti-Hp-HSP60II3 pada orang sehat di Indonesia, berapa titik potongnya, dan apakah anti-Hp-HSP60II3 dapat digunakan sebagai penanda diagnostik penyakit kardiovaskuler pada populasi Indonesia. 6.5 Hs-CRP sebagai Biomarker Risiko KKv pada SKA Hs-CRP merupakan penanda inflamasi yang tidak spesifik. Hs-CRP diproduksi di hati dengan adanya stimulasi dari IL-6. Hs-CRP juga dapat disintesis secara lokal dalam plak aterosklerosis. Hs-CRP memiliki peranan dalam menstimulasi sel-sel dalam plak, meningkatkan ekspresi faktor kemotaktik dan meningkatkan ekspresi MMP1, sehingga hs-CRP merupakan faktor pro-inflamasi pada aterosklerosis dan progresivitasnya (Baidya and Zeng, 2005). 110 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan rerata waktu terjadinya KKv antara subjek dengan kadar hs-CRP tinggi dan rendah secara statistik tidak bermakna. Rasio angka insiden KKv antara kedua kelompok tersebut juga tidak berbeda bermakna. Tidak ada perbedaan kejadian kumulatif KKv antara kelompok subjek dengan kadar hs-CRP tinggi dan rendah. Nazer et al. (2011) menyatakan bahwa waktu yang baik dalam melakukan pemeriksaan hs-CRP untuk memprediksi gagal jantung adalah dalam dua hari setelah SKA atau satu bulan setelah SKA. Pada penelitian ini, pengambilan darah dilakukan dalam waktu 48 jam setelah pasien masuk rumah sakit. Ketidakbermaknaan hasil hs-CRP pada penelitian ini sejalan dengan hasil beberapa penelitian lain. Ray et al. (2007) mendapatkan bahwa pada kadar hs-CRP ≥ 2 mg/L didapatkan hazard rasio terjadinya kejadian kardiovaskuler ulang adalah 1,49 (95% CI 1,16 s.d. 1,9). Namun Kaski et al. (2008), mendapatkan bahwa dengan titik potong 11,77 mg/L, kadar hs-CRP tidak berbeda secara bermakna antara subjek yang mengalami KKv dengan yang tidak mengalami KKv, dengan hazard rasio 0,98 (p = 0,89; 95% CI 0,8 s.d. 1,21). Pada analisis univariat, hs-CRP menunjukkan peranan yang signifikan dalam memprediksi KKv, tetapi pada analisis multivariat, peranan tersebut menjadi tidak bermakna. Ray et al. (2007) dan Kaski et al. (2008) sama-sama mendapatkan hubungan yang lemah antara hs-CRP dan neopterin (r = 0,23; p<0,001 dan r = 0,147; p = 0,003). Grammer et al. (2009) dalam penelitiannya menemukan bahwa kadar hs-CRP sangat bervariasi dan hanya tinggi pada keadaan akut. Jika dibandingkan dengan subjek tanpa penyakit arteri koroner, 111 peningkatan hs-CRP terjadi secara signifikan pada subjek dengan penyakit arteri koroner tidak stabil, NSTEMI atau STEMI. Kadar hs-CRP tidak meningkat pada subjek dengan penyakit arteri koroner yang stabil. Kaski et al. (2008) menyatakan bahwa nilai prediktif hs-CRP tidak dapat diberlakukan secara universal. Hs-CRP memang telah digunakan sebagai marker independen penyakit kardiovaskuler (untuk mengetahui risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler), namun belum terbukti dapat digunakan sebagai marker untuk memprediksi terjadinya KKv pada penderita SKA. Di samping hal tersebut, perbedaan populasi, karakteristik subjek penelitian, waktu pengambilan sampel dan lamanya pengamatan, kemungkinan merupakan penyebab perbedaan hasil yang ditemukan pada penelitian ini dengan penelitian lain yang menemukan kebermaknaan hs-CRP sebagai biomarker risiko KKv pada SKA. 6.6 Analisis Jalur Hubungan Neopterin terhadap KKv Hasil analisis jalur menunjukkan bahwa kadar anti-Hp-HSP60II3 dan IFN- tidak berpengaruh terhadap KKv baik secara langsung maupun tidak langsung. Hanya kadar neopterin yang memberi pengaruh yang bermakna terhadap KKv dengan besar pengaruh 0,491 atau 49,1% (P < 0,05). Sesuai dengan hasil penelitian ini, IFN- tidak memiliki pengaruh langsung terhadap KKv pada SKA. Hal ini sesuai dengan teori bahwa peranan IFN- dalam terjadinya KKv adalah melalui kemampuannya untuk mengaktivasi makrofag. Akan tetapi, dalam penelitian ini juga didapatkan bahwa IFN- tidak memiliki pengaruh 112 langsung terhadap neopterin, yang dalam hal ini merupakan marker aktivasi makrofag. Bila IFN- tidak memiliki pengaruh langsung terhadap neopterin, berarti ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi makrofag untuk mengeluarkan neopterin atau neopterin tidak hanya dihasilkan oleh makrofag, tetapi juga oleh sel lain. Secara teori, neopterin dihasilkan oleh sel makrofag dan sel dendritik, dan neopterin adalah hasil primer dari aktivasi makrofag oleh IFN-. Oleh karena itu, ketidakbermaknaan peranan IFN- sebagai biomarker KKv pada SKA dalam penelitian ini, besar kemungkinannya disebabkan oleh keterbatasan dalam pemeriksaan kadar IFN- plasma. Koefisien pengaruh neopterin terhadap KKv adalah 0,491 atau 49,1%, yang berarti bahwa peranan makrofag yang teraktivasi dalam terjadinya KKv adalah 49,1% dan sisanya (50,9%) adalah peranan atau pengaruh dari faktor lain. Hal ini tentunya sesuai dengan teori yang ada saat ini bahwa vulnerabilitas plak tidak hanya dipengaruhi oleh aktivasi makrofag, tetapi juga oleh faktor lain seperti luasnya akumulasi lipid core dari plak, tebalnya fibrous cap, tingginya kadar sitokin proinflamasi dan derasnya aliran darah akibat perubahan hemodinamik (mechanical stress) terutama pada shoulder of the cap (Davies, 2000; Fukumoto et al., 2008). 6.7 Nilai Baru / Novelty Penelitian ini menemukan bahwa neopterin dapat digunakan sebagai biomarker risiko KKv pada SKA untuk populasi Indonesia khususnya Bali. Dengan populasi 113 yang berbeda, maka karakteristik dan angka insiden yang ditemukan pun berbeda dengan penelitian sebelumnya. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa neopterin merupakan biomarker risiko KKv yang lebih baik dibandingkan hs-CRP. Hs-CRP telah diakui sebagai marker independent untuk risiko penyakit kardiovaskuler. Namun dalam penelitian ini, dengan populasi yang berbeda ternyata hs-CRP tidak terbukti dapat digunakan sebagai biomarker risiko KKv pada SKA. Pemeriksaan anti-Hp-HSP60II3 pada penelitian ini adalah pemeriksaan yang pertama kali dilakukan di Indonesia. Namun anti-Hp-HSP60II3 tidak terbukti dapat digunakan sebagai biomarker risiko KKv pada SKA. 6.8 Keterbatasan Penelitian Penanda inflamasi seperti neopterin, IFN-γ, dan Anti-Hp-HSP60II3 sampai saat ini belum ada standar baku titik potong / Cut off point-nya. Pada penelitian ini oleh karena sebagian besar variabel berdistribusi tidak normal, maka titik potong / Cut off point ditetapkan berdasarkan nilai median. Penelitian ini menggunakan sampel darah untuk pemeriksaan neopterin, IFN-γ, dan anti-Hp-HSP60II3. Half-life IFN-γ di sirkulasi sangat pendek. Saat beredar di sirkulasi, IFN-γ sangat cepat diikat oleh organ target atau dinetralisir oleh soluble receptor. Dengan keterbatasan tersebut, maka sebaiknya pemeriksaan IFN-γ pada penelitian lebih lanjut dilakukan dengan pemeriksaan histopatologis pada lesi/plak aterosklerosis atau penelitian eksperimental pada hewan coba. 114 Dalam penelitian ini, lamanya pengamatan setelah subjek mengalami SKA hanya 6 bulan. Pengambilan sampel untuk pemeriksaan neopterin, IFN-γ, dan Anti-HpHSP60II3 hanya dilakukan sekali. Perlu dilakukan penelitian dengan waktu pengamatan yang lebih lama dan pengambilan sampel secara serial, sehingga fluktuasi kadar marker-marker tersebut dapat diketahui dan waktu pengambilan sampel terbaik dapat ditentukan. 115 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Studi kohort prospektif telah dilakukan untuk membuktikan peranan inflamasi kronis pada progresivitas SKA. Berdasarkan hasil yang didapatkan pada penelitian ini dan pembahasannya dapat dibuat simpulan sebagai berikut : 1. Kadar neopterin yang tinggi merupakan biomarker risiko terjadinya KKv pada SKA. 2. Kadar anti-Hp-HSP60II3 dan kadar IFN- plasma yang tinggi tidak terbukti sebagai biomarker risiko KKv pada SKA. 3. Kadar neopterin yang tinggi merupakan biomarker risiko KKv yang lebih baik dibandingkan hs-CRP. 4. Kadar anti-Hp-HSP60II3 dan kadar IFN- plasma yang tinggi tidak terbukti sebagai biomarker risiko KKv yang lebih baik dibandingkan hs-CRP. 5. Penderita SKA dengan kadar neopterin tinggi, memiliki risiko lima kali lebih besar untuk mengalami KKv dibandingkan dengan penderita SKA dengan kadar neopterin rendah. 6. Rerata waktu terjadinya KKv pada subjek dengan kadar neopterin tinggi adalah 129 hari setelah SKA. 7. KKv pada SKA dengan kadar neopterin tinggi terjadi lebih cepat dibandingkan dengan SKA dengan kadar neopterin rendah. 116 8. Analisis jalur hubungan menunjukkan bahwa neopterin memiliki pengaruh langsung sebesar 49,1% terhadap terjadinya KKv. 9. Kadar anti-Hp-HSP60II3 subjek penelitian ini berkisar antara 0,69 OD s.d. 1,80 OD, dengan median 1,24 OD. 7.2 Saran 1. Pemeriksaan kadar IFN- dalam plasma memiliki keterbatasan, sehingga penelitian lebih lanjut untuk membuktikan peranan IFN- pada aterosklerosis sebaiknya dilakukan dengan pemeriksaan histopatologis pada lesi/plak aterosklerosis atau penelitian eksperimental pada hewan coba. 2. Waktu yang diperlukan untuk pengamatan didasarkan pada karakteristik penyakit atau efek yang diteliti. KKv pada penderita SKA dapat terjadi sejak bulan pertama setelah SKA. Namun untuk mendapatkan gambaran yang lebih sesuai, pada penelitian selanjutnya diharapkan pengamatan dilakukan dalam waktu yang lebih lama dan pemeriksaan marker dilakukan secara serial. 3. Mengingat sifat-sifat neopterin yang waktu paruhnya hanya ditentukan oleh ekskresi ginjal, stabil secara kimia dan biologi dalam darah dan urine, serta mudah diperiksa, maka secara teknis pemeriksaan neopterin dapat dikembangkan tidak hanya untuk penelitian, tetapi juga untuk pelayanan kesehatan. 117 4. Untuk dapat digunakan secara rutin dalam pelayanan, perlu dilakukan penelitian untuk menentukan standar baku titik potong / Cut off point dari kadar neopterin tersebut. 118 DAFTAR PUSTAKA Abbas, A.K., and Lichtman, A.H. 2003. Cellular and Molecular Immunology. Fifth Edition. USA : Saunders. Ambrose, J.A., and Barua, R.S. 2004. The Pathophysiology of Cigarette Smoking and Cardiovascular Disease. Journal of the American College of Cardiology, 43 : 1731-37 Ameriso, S.F., Fridman, E.A., Leiguarda, R.C., and Sevlever, G.E. 2001. Detection of Helicobacter pylori in Human Carotid Atherosclerotic Plaques. Stroke, 32 : 385-92 Anwar, T.B. 2004. Dislipidemia sebagai Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner. EUSU Repository : Universitas Sumatera Utara : 1-10 Avanzas, P., Espliguero, A., Sales, J.C., Aldama, G., Pizzi, C., Quiles, P., and Kaski, J.C. 2004. Markers of Inflammation and Multiple Complex Stenoses (Pancoronary Plaque Vulnerability) in Patients with non-ST Segment Elevation Acute Coronary Syndromes. Heart, 90 : 847 – 52 Avanzas, P., Arroyo, R., Espliuguero, Kaski, J.C. 2009. Role of Neopterin in Cardiovascular Medicine. Rev Esp Cardiol, 62 (11): 1332-44 Ayada, K., Yokota, K., Kobayashi, K., Shoenfeld, Y., Matsumura, E., and Oguma, K. 2007. Chronic Infection and Atherosclerosis. Ann.N.Y.Acad.Sci., 1108 : 594602 Ayada, K., Yokota, K., Kobayashi, K., Shoenfeld, Y., Matsuura, E., and Oguma, K. 2009. Chronic Infections and Atherosclerosis. Clinic Rev Allerg Immunol, 37 : 44 – 8 Badimon, L., Badimon, J.J., Vilahur, G., Segales, E., and Lorente, V. 2002. Pathogenesis of The Acute Coronary Syndromes and Therapeutic Implications. Pathophysiol Haemost Thromb., 32 : 225 - 31 Baidya, S.G., and Zeng, Q.T. 2005. Helper T Cells and Atherosclerosis : The Cytokine Web. Postgrad Med J., 81 : 746-52 Benagiano, M., D’Elios, M.M., Amedei, A., Azzurri, A., Zee, R.V.D., Ciervo, A., Rombola, G., Romagnani, S., Cassone, A., and Prete, G.D. 2005. Human 60kDa Heat Shock Protein is a Target Autoantigen of T Cells Derived from Atherosclerotic Plaques. The Journal of Immunology, 174 : 6509 – 17 119 Bennet, H.P., and Knowler, W.C. 2005. Definition, Diagnosis, and Classification of Diabetes Mellitus and Glucose Homeostasis. In : Khan, C.R., Weir, G.C., King, G.L., Jacobson, A.M., Moses, A.C., Smith, R.J., editors. Joslin’s Diabetes Mellitus. 14th. Ed. Philadelpia : Lippincott William & Wilkins. p. 331-8. Binder, C.J., Chang, M.K., Shaw, P.X., Miller, Y.I., Hartvigsen, K., Ginneti, F. 2002. Innate and Acquired Immunity in Atherogenesis. Nature Medicine, 8 : 1218 26 Boer, O.J.D., Wal, A.C.V.D., and Becker, A.E. 2000. Atherosclerosis, Inflamation, and Infection. J Pathol, 190 : 237 – 43 Braunwald, E. 1998. Unstable Angina: An Etiologic Approach to Management . Circulation,98”:2219-22 Buffon, A., Biasucci, L.M., Liuzzo, G., D’onofrio, G., Crea, F., and Maseri, A. 2002. Widespread Coronary Inflammation in Unstable Angina. N Eng J Med, 347: 5 - 12 Calabro, P., Willerson, J.T., Yeh, E.T.H. 2003. Inflammatory Cytokines Stimulated C-Reactive Protein Production by Human Coronary Artery Smooth Muscle Cell. Circulation, 108 : 1930-32 Ceriello, A. 2005. Acute Hyperglycaemia : a ‘new’ risk factor during myocardial infarction. European Heart Journal; 26 : 328-31 Crowe S.M., Westhorpe C.L.V., Mukhamedova N., Jaworowsky A., Sviridov D., Bukrinsky M. The macrophage : the intersection between HIV infection and atherosclerosis. 2010. Journal of Leukocyte Biology, 87: 589-95 Dahlan, M.S. 2005. Besar Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Cetakan Pertama. Jakarta : Arkans Danesh, J., and Peto, R. 1998. Risk Factors for Coronary Heart Disease and Infection with Helicobacter pylori : meta-analysis of 18 studies. Br Med J, 316 : 113032 Danesh, J., Collins, R., and Peto, R. 1997. Chronic Infection and Coronary Heart Disease: Is There a Link?. Lancet, 350 : 430-6 Daugherty, A., Webb, N.R., Rateri, D.L., King V.L. 2005. Thematic review series: The Immune System and Atherogenesis. Cytokine regulation of macrophage functions in atherogenesis. The Journal of Lipid Research, 46: 1812-22 120 Davenport, P., and Tipping, P.G. 2003. The Role of Interleukin 4 and Interleukin 12 in The Progression of Atherosclerosis in Apolipoprotein E Deficient-Mice. American Journal of Pathology, 163 : 1117-25 Davies, M.J., 2000. Coronary Disease The Pathophysiology of Acute Coronary Syndrome. Heart, 83 : 361-6 Despres, J.P., Marette, A. 1999. Obesity and Insulin Resistance. In : Reaven, G.M., Laws, A., editors. Insulin Resistance The Metabolic Syndrome X. 1st. ed. New Jersey : Humana Press. p. 51-81 Faxon. D.P., Fuster, V., Libby, P., Beckman, J.A., Hiatt, W.R., Thompson, R.W., Topper, J.N., Annex, B.H., Rundback, J.H., Fabunmi, R.P., Robertson, R.M., and Loscalzo, J. 2004. Atherocslerotic Vascular Disease Conference. Circulation, 109 : 2617-25 Folsom, A.R., Nieto, F.J., Sorlie, P., Chambless, L.E., and Graham, D.Y. 1998. Helicobacter pylori Seropositivity and Coronary Heart Disease Incidence. Circulation, 98 : 845-50 Ford, P., Gemmell, E., Walker, P., West, M., Cullinan, M., and Seymour, G. 2005. Characterization of Heat Shock Protein-Specific T Cells in Atherosclerosis. Clinical and Diagnostic Laboratory Immunology, 12 : 259-67 Franceschi, F., and Gasbarrini, A. 2007. Helicobacter pylori and extragastric disases. Best Practice and Research Clinical Gastroenterology, 21 : 325-34 Fuchs D, et al. 2009. The role of neopterin in atherogenesis and cardiovascular risk assessment. Curr Med Chem,16: 4644-53 Fukumoto, Y., Hiro, T., Fujii, T., Hashimoto, G., Fujimura, T., Yamada. 2008. Localizad Elevation of Shear Stress is Related to Coronary Plaque Ruptura. JACC, 51 : 645 - 50 Futterman, L.G. 2002. Novel Markers in The Acute Coronary Syndrome : BNP, IL-6, PAPP-A. Am J Crit Care; 11 : 168-72 Gotsman, I., Gupta, R., and Lichtman, A.H. 2007. The Influence of the Regulatory T lymphocytes on Atherosclerosis. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 27 : 2493-5 Grammer, T.B., Fuch D., Boehm, B.O., Winkelmann, B.R., and Maerz W. 2009. Neopterin as a Predictor of Total and Cardiovascular Mortality in Individuals Undergoing Angiography in The Ludwigshafen Risk and Cardiovascular Health Study. Clinical Chemistry, 55 : 1135 - 46 121 Grech, E.D., and Ramslade, D.R. 2003. Acute Coronary Syndrome : Unstable Angina and non-ST Segment Elevation Myokardial Infarction. BMI, 326 : 1259 – 61 Gupta, S., Pablo, A.M., Jiang, X.C., Wang, N., Tall, A.R., and Schindler, C. 1997. IFN Potentiates Atherosclerosis in ApoE Knock-out Mice. J. Clin. Invest., 99 : 2752–61 Hansson, G.K., 2001. Immune Mechanisms in Atherosclerosis. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 21 : 1876-90 Hansson, G.K., 2005. Inflamation, Atherosclerosis, and Coronary Artery Disease. NEJM, 352 : 1685-95 Harris, T.B., Luigi, F., Tracy, R.P., Corti, M.C., Wacholder, S., Attinger W.H. et al. 1999. Associations of Elevated Interleukin-6 and C-Reactive Protein Levels with Mortality in The Elderly. Am J Med, 106 : 506-12 Harvey, E.J., and Ramji, D.P. 2005. Interferon and atherosclerosis : Pro or anti atherogenic?. Cardiovascular Research, 67 : 11-20 Heuschmann, P.U., Neureiter, D., Gesslein, M., Craiovan, B., Maass, M., Faller, G., Beck, G., Neundoerfer, B., and Kolominsky-Rabas, P.L. 2002. Association between infection with Helicobacter pylori and chlamidia pneumoniae and risk of ischemic stroke subtypes : Results from a population-based casecontrol study. Stroke, 33(6) : 1453-4 Jialal, I., Sridevi, D. 1996. Low Density Lipoprotein Oxidation, antioxidants, and atherosclerosis : A Clinical Biochemistry Perspective. Clin Chem, 42(4) : 498-506 Jolly, C., and Marimoto, R. I. 2000. Role of the Heat Shock Response and Molecular Chaperones in Oncogenesis and Cell Death. Journal of the National Cancer Institute, 92 : 1564-72 K/DOQI. 2002. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease : Evaluation, Classification, and Stratification. Kardys, I., Rifai, N., Meilhac, O., Michel, J., Ventura, J.L.M., Buring, J.E., Libby, P., and Ridker, P.M. 2008. Plasma Concentration of Heat Shock Protein 27 and Risk of Cardiovascular Disease: A Prospective, Nested Case-Control study. Clinical Chemistry, 54 : 139 – 46 122 Kaski, J.C. 2008. Elevated derum neopterin levels and adverse cardiac events at 6 months follow up in mediterania patients with non ST segmen elevation acute coronary syndrome. Atherosclerosis, 201: 176 – 83 Killic, T., Ural, D., Ural, E., Yumuk, Z., Agacdiken, A., Sahin, T. 2006. Relation between proinflammtory to anti-inflammatory cytokine ratios and long-term prognosis in patients with non-ST elevation acute coronary syndrome. Heart, 92:1041-6. Kleemann, R., Zadelaar, S., and Kooistra, T. 2008. Cytokin and atherosclerosis : a comprehensive review of studies in mice. Cardiovascular Research, 79 : 36076 Kusters, J.G., Vliet, A.H.M., and Kuipers, E. 2006. Pathogenesis of Helicobacter pylori Infection. Clinical Microbiology Reviews, 19 : 449-90 Lamb, D.J., El-Sankary, W., and Ferns, G.A.A. 2002. Molecular mimicry in atherosclerosis : a role for heat shock proteins in immunization. Atherosclerosis, 167 : 177-85 Libby, P., and Theroux, P. 2005. Pathophysiology of Coronary Artery Disease. Circulation, 111 : 3481 – 8 Lin, S.N., Ayada, K., Zhao, Y., Yokota, K., Takenaka, R., Okada, H., Kan, R., Hayashi, S., Mizuno, M., Hirai, Y., Fujinami, Y., and Oguma, K. 2005. Helicobacter pylori heat-shock protein 60 induces production of the proinflamatory cytokine IL8 in monocytic cells. Journal of Medical Microbiology : 225-33 Longo-Mbenza B. 2008. Helicobacter pylori and atherosclerosis : Can current data be useful for clinical practice ?. International Journal of Cardiology, 127 : 288 - 9 Mach, F., Sukhova, G.K., Michetti, M., Libby, P., and Michetti P. 2002. Influence of Helicobacter pylori Infection during Atherogenesis In vivo in Mice. Circulation Research, 11 : 1-3 Macario, A. J. L., and Macario, E. C. D., 2007. Chaperonopathies by Defect, Excess or Mistake. Ann.N.Y.Acad.Sci 1113 : 178-91 Malarstig, A., Eriksson, P., Hamsten, A., Lindahl, B., Wallentin, L., and Siegbahn, A. 2008. Raised Interleukin-10 is an Indicator of Poor Outcome and Enhanced Systemic Inflammation in Patients with Acute Coronary Syndrome. Heart, 94 : 742 - 29 123 Mandal, K., Jahangiri, and M., Xu, Q. 2004. Autoimmunity to Heat Shock Proteins I atherosclerosis. Autoimmunity reviews, 3 : 31-7 Masoud, S.A., Arami, M.A., and Kucheki, E. 2005. Association between infection with Helicobacter pylori and cerebral noncardioembolic ischemic stroke. Neurology India, 53 : 303-7 McColl, K.E.L. 2010. Helicobacter pylori Infection. NEJM, 362 : 1597 – 604 Meurman, J.H., Sanz, M., and Sok, J.J. 2004. Oral health, atherosclerosis, and cardiovascular disease. Crit. Rev.Oral Biomed, 15 : 403-13 Moseley, P. 2000. Stress proteins dan the immune response. Immunopharmacology, 48 : 299-302 Nazer, B., Ray, K.K.,Sloan, S., Scirica, B., Morrow, D.A., Cannon, C.P., and Braunwald, E. 2011. Prognostic utility of neopterin and risk of heart failue hospitalization after an acute coronary syndrome. European Heart Journal, 32 : 1390 – 97 Okada, T., Ayada, K., Usui, S., Yokota, K., Cui, J., Kawahara, Y., Inaba, Y., Hirohata, S., Mizuno, M., Yamamoto, D., Kusachi, S., Matsuura, E., and Oguma, K. 2007. Antibodies against heat shock protein 60 derived from Helicobacter pylori : Diagnostic implications in cardiovascular disease. Journal of Auitoimmunity, 29 : 106-15 Osben, B., and Endorgan, O. 2008. The Role of Inflammation and Allergy in Acute Coronary Syndromes. Inflammation and Allergy-Drug Targets, 7 : 136 - 44 Osterud, B., and Bjorklid, E. 2003. Role of Monocytes in Atherogenesis. Physiol Rev, 83 : 1069-112 Packard, R. R. S., and Libby, P. 2008. Inflammation in Atherosclerosis : From Vascular Biology to Biomarker Discovery and Risk Prediction. Clinical Chemistry, 54 : 24-38 Pasceri, V., Cammarota, G., Patti, G., Cuoco, L., Gasbarrini, A., Grillo, R., Fedeli, G., Gasbarrini, G., and Maseri, A. 1998. Association of Virulent Helicobacter pylori Strains with Ischemic Heart Disease. Circulation, 97 : 1675-79 Pepys, M.B., Hirschfield, G.M. 2003. C-Reactive Protein : A Critical Update. The Journal of Clinical Investigation, 111 (no.12) : 1805-12 Perkeni. 2010. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta : PB Perkeni 124 Pockley, A.G., Wu, R., Lemne, C., Kiessling, R., Faire, U., and Frostegard, J. 2000. Circulating Heat Shock Protein 60 is Associated with Early Cardiovascular Disease. Hypertension, 36 : 303 Pockley, A.G. 2002. Heat Shock Protein, Inflammation and Cardiovascular Disease. Circulation, 105 : 1012 Porcu, P. 2004. Circulating Tissue Kallikrein Levels Correlate with Severity of Carotid Atherosclerosis. Journal of American Heart Association. Arterioscler. Thromb. Vasc. Biol, 24 : 1104-10 Pranoto, H. 2003. Pemeriksaan Laboratorium Non-invasif untuk Diagnosis Infeksi Helicobacter pylori. Laboratorium/Instalasi Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Puijvelde, G.H.M., Van Es, T., Van Wanrooij, E.J.A., Habets, K.L.L., De Vos, P.,Zee, R.V.D., Eden, W.V., Berkel, T.J.C., and Kuiper, J. 2007. Induction of oral tolerance to HSP60 or an HSP60-peptide activates T cell Regulation and Reduces Atherosclerosis. Arterioscler.Thromb.Vasc.Biol., 27 : 2677-83 Ranjbaran, H., Sokol, S.I., Gallo, A., Raymond, E.E., Iakimov, A.O., D'Alessio, A., Kapoor, J.R., Akhtar, S., Howes, C.J., Aslan, M., Pfau, S., Pober, J.S., Tellides, G., 2007. An Inflammatory Pathway of IFN- Production in Coronary Atherosclerosis. J Immunol, 178 : 592-604 Ray, K.K., Morrow, D.A., Sabatine, M.S., Shui, A., Rifai, N., Cannon, C.P., Braunwald, E. 2007. Long-Term Prognostic Value of Neopterin : A Novel Marker of Monocyte Activation in Patients with Acute Coronary Syndrome. Circulation, 115 : 3071-78 Rifai,N. 2005. High-Sensitivity C Reactive Protein : A Useful Marker for Cardiovascular Disease Risk Prediction. Clin Chem , 51 : 504-5 Rigano, R., Profumo, E., Buttari, B., Tagliani, A., Petrone, L., D’amati, G., Ippoliti, F., Capoano, R., Fumagalli, L., Salvati, B., and Businaro, R. 2007. Heat Shock Proteins and Autoimmunity in Patients with Carotid Atherosclerosis. Ann.N.Y.Acad.Sci., 1107 : 1-10 Rodriguez, A., Gonzales, P.A., and Kaski, J.C. 2009. Inflammatory Systemic Biomarkers in Setting Acute Coronary Síndromes Effects of The Diurnal Variation. Current Drug Targets, 101 : 1767 – 72 Ross, R. 1999. Atherosclerosis-An Inflammation Disease. N Eng J Med, 340 : 115 – 26 125 Rudd, J.H.F., Hyafil, F., Fayad, Z.A. 2009. Inflammation Imaging in Atherosclerosis. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29(7): 1009–16. Sastroasmoro, S., dan Ismael, S. 2008. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi Ketiga. Jakarta : Sagung Seto Sawayama, Y., Hamada, M., Otaguro, S., Maeda, S., Ohnishi, H., Fujimoto, Y., Taira, Y., and Hayashi, J. 2008. Chronic Helicobacter pylori Infection is Associated with Peripheral Arterial Disease. J Infect Chemother, 14 : 250-4 Shiota, M., Kusakabe, H., Izumi, Y., Hikita, Y., Nakao, T., Funae, Y., Miura, K., and Iwao, H. 2010. Heat Shock Cognate Protein 70 is Essential for Akt Signaling in Endothelial Function. Arteriosclerosis, Thrombosis, and Vascular Biology, 30 : 491 Shuo, Z., Yang, G., Yan, M.A., and Yue, T. 2008. Cytotoxin-associated gene-Aseropositive virulent strains of Helicobacter pylori and atherosclerotic diseases : a systematic review. Chin Med J, 121 : 946-51 Snoecks, L.H.E.H., Cornelussen, R.N., Nieuwenhoven, F.A.V., Reneman, R.S., and Vusse, G.J.V. 2001. Heat Shock Proteins and Cardiovascular Pathophysiology. Physiol Rev, 81 : 1461-97 Spagnoli, L.G., Bonanno, E., Sangiorgi, G., and Mauriello A. 2007. Role of Inflammation in Atherosclerosis. J Nucl Med, 48 : 1800-15 Suastika, K., Sutanegara, D.N. 1992. Hiperlipidemia, metabolisme lemak dan protein. Denpasar : Sublab Endokrinologi Lab-UPF IPD FK Unud RSUP Sanglah : 910 Takenaka, R., Yokota, K., Ayada, K., Mizuno, M., Zhao, Y., Fujinami, Y., Lin, S.N., Toyokawa, T., Okada, H., Shiratori Y., and Oguma K. 2004. Helicobacter pylori heat-shock protein 60 induces inflammatory responses through the tolllike receptor-triggered pathway in cultured human gastric epithelial cells. Microbiology, 150 : 3913 – 22 Tedgui, A., and Mallat, Z. 2006. Cytokines in Atherosclerosis : Patogenic and Regulatory Pathways. Physiol Rev, 86 : 515-81 Tjokroprawiro, A. 2005. The Core of Metabolic Syndrome (Is the Visceral Obesity the Missing Link?). Dalam : Naskah Lengkap The Metabolic Syndrome (The Mets) Anticipating Life Style Related Diseases. Editor : Tjokroprawiro A, Hendromartono, Sutjahjo A, Pranoto A, Murtiwi S, Adi S, Wibisono S. Surabaya, 19-20 Februari 2005, halaman 78-88. 126 Tousil, A.S., Stephens, J.W., Bin, R., Cooper, J.A., Steptoe, A., Coates, A.R.M., Henderson, B., and Humphries, S.E. 2006. Association Between Plasma Levels of Heat Shock Protein 60 and Cardiovascular Disease in Patients with Diabetes Mellitus. Eur Heart J, 27 : 1565-70 Van Der Meer, J.J., Van Der Wal, A.C., Teeling, P., Idu, M.M., Van Der Ende, A., and De Boer, O.J. 2008. Multiple Bacteria Contribute to Intraplaque T-Cell Activation in Atherosclerosis. Eur J Clin Invest, 38 : 857-62 Whitman, S.C., Ravisankar, P., Elam, H., and Daugherty, A. 2000. Exogenous Interferon- Enhances Atherosclerosis in Apolipoprotein E -/- mice. American Journal of Pathology, 157 : 1819-24 Whitman, S.C., Ravisankar, P., and Daugherty, A. 2002. Interleukin-18 Enhances Atherosclerosis in Apolipoprotein E-/- Mice Through Release of Interferon90 : e34-e38 Wick, G., and Xu, Q. 1999. Atherosklerosis-an Autoimmune Disease. Experimental Gerontology, 34 : 559-66 Wick, G., Perschinka, H., and Millonig, G. 2001. Atherosclerosis as an autoimmune disease : an update. TRENDS in Immunology, 22 : 665-7 Wick, G., Knoflach, M., and Xu, Q. 2004. Autoimmune and Inflamatory Mechanisms in Atherosclerosis. Annu.Rev.Immunol, 22 : 361-403 Winther, M.P.J., Kanters, E., Kraal, G., and Hofker, M.A. 2005. Nuclear Factor Signaling in aterogenesis. Arterioscler thromb Vasc Biol, 25 : 904-14 Widimsky, P., and Danel, M. 2000. Prevalence of Coronary Atherosclerosis in Asymptomatic Population. European Heart Journal, 21 : 13-14 Wita, W. 1992. Program Intervensi Terpadu Mengendalikan Faktor Risiko Koroner dan Meningkatkan Kualitas Hidup Pasca IMA. (disertasi). Surabaya : Universitas Airlangga Xu, Q. 2001. Heat Shock Proteins and Atherosclerosis. European Journal of Clinical Investigation, 31 : 283-4 Xu, Q. 2003. Role of Heat Shock Proteins in Atherosclerosis. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 22 : 1547-59 Yang, K., Li, D., Luo, M., and Hu, Y. 2006. Generation of HSP60-specific regulatory T cell and effect on atherosclerosis. Cellular Immunology, 243 : 90 – 5 127 Yudkin, J.S., Stehouwer, C.D.A., Emeis, J.J., Cppack, S.W. 1999. C-Reactive Protein in Healthy Subjects : Associations with Obesity, Insulin Resistance and Endothelial Dysfunction, A Potential Role for Cytokines Originating from Adipose Tissue. ATVB, 19 : 972 - 8 Zao, Y., Yokota, K., Ayada, K., Yamamoto, Y., Okada, T., Shen, L., and Oguma, K. 2007. Helicobacter pylori heat-shock protein 60 induces interleukin-8 via a toll-like receptor (TLR)2 and mitogen-activated protein (MAP) kinase pathway in human monocytes. Journal of Medical Microbiology, 56 : 154-64 Zhang, X., He, M., Cheng, L., Chen, Y., Zhou, L., Zeng, H., Pockley, A.G., Hu, F.B., and Wu, T. 2008. Elevated Heat Shock Protein 60 Levels are Associated with Higher Risk of Coronary Heart Disease in Chinese. Circulation, 118 : 2687-93 Zhou, X., Anna, K.L.R., Rudling, M., Parini, P., and Hansson, G.K. 2005. Lesion Development and Response to Immunization Reveal a Complex Role for CD4 in atherosclerosis. Circ Res, 96 : 427-34 Zhu, J., Katz, R.J., Ouyyumi, A.A., Canos, D.A., Rott, D., Csako, G., Ganley, A.Z., Ogunmakinwa, J., Wasserman, A.G., and Epstein, S.E. 2004. Association of Serum Antibodies to Heat Shock Protein 65 with Coronary Calcification Levels. Circulation, 109 : 36-41 Zouridakis, E., Avanzas, P., Espliguero, R.A., Fredericks, S., and Kaski, J.C. 2004. Markers of Inflammation and Rapid Coronary Artery Disease Progression in Patients with Stable Angina Pectoris. Circulation, 110 : 1747 - 53 Zugel, U., and Kaufmann, S.H.DE. 1999. Role of Heat Shock Proteins in Protection from and Patogenesis of Infectious Diseases. Clinical Microbiology Reviews, 12 : 19 – 39 128 Lampiran 1: Cara Pemeriksaan Laboratorium untuk Penunjang Disertasi 1. Pemeriksaan Glukosa Darah Pemeriksaan kadar glukosa dalam darah menggunakan alat Cobas C501 menggunakan prinsip heksokinase. Stabilitas sampel tujuh hari pada suhu 20C s.d. 80C atau 30 hari pada suhu -700C. 2. Pemeriksaan HDL Kolesterol Pemeriksaan kadar HDL kolesterol dalam darah menggunakan alat Cobas C501 menggunakan prinsip homogeneous enzymatic colorimetric test. Stabilitas sampel tujuh hari pada suhu 20C s.d. 80C atau 30 hari pada suhu -700C. 3. Pemeriksaan LDL Kolesterol Pemeriksaan kadar LDL kolesterol dalam darah menggunakan alat Cobas C501 menggunakan prinsip homogeneous enzymatic colorimetric test. Stabilitas sampel tujuh hari pada suhu 20C s.d. 80C atau 30 hari pada suhu -700C. 4. Pemeriksaan Trigliserida Pemeriksaan kadar trigliserida dalam darah menggunakan alat Cobas C501 menggunakan prinsip enzymatic colorimetric test (TGO-PAP). Stabilitas sampel tujuh hari pada suhu 20C s.d. 80C, 3 bulan pada suhu -150C s.d. -250C atau beberapa tahun pada suhu -600C s.d. -800C. 129 5. Pemeriksaan Kolesterol Total Pemeriksaan kadar kolesterol total dalam darah menggunakan alat Cobas C501 menggunakan prinsip enzymatic colorimetric test (CHOD-PAP). Stabilitas sampel tujuh hari pada suhu 150C s.d. 250C atau pada suhu 20C s.d. 80C dan tiga bulan pada suhu -150C s.d. -250C 6. Pemeriksaan hs-CRP Pemeriksaan kadar hs-CRP dalam darah menggunakan alat Cobas C501 menggunakan metode immunochemiluminescent. Stabilitas sampel tujuh hari pada suhu 20C s.d. 80C dan tiga bulan pada suhu -150C s.d. -250C 7. Protokol ELISA IgG anti-Hp-HSP60II3 a. Coated 96-well microtiter plate dengan Hp-HSP60II3 protein (1.0 ug /100 ul / well) dalam 0.1 M carbonate-bicarbonate buffer pH 9.6. Diinkubasi pada 4⁰C, overnight. b. Cuci 3 x 200 ml per well dengan menggunakan PBS 0.05% Tween 20 c. Blocking dengan PBS yang mengandung 10% skim milk 200 ul / well d. Inkubasi 1 s.d. 2 jam, suhu ruang e. Cuci dengan PBS 0.05% Tween 20, 3x200 ul / well f. Inkubasi dengan 100 ul dari serum yang diencerkan 100 kali dalam blocking solution selama 2 jam, suhu ruang g. Cuci dengan PBS 0.05% Tween 20, 3x200 ul / well 130 h. Tambahkan secondary antibody rabbit anti-mouse IgG 1: 3000-HRP sebanyak 100 ul / well. Inkubasi 1 s.d. 2 jam, suhu ruang i. Cuci dengan PBS 0.05% Tween 20, 3x200 ul / well j. Tambahkan color development solution 150 ul / well. Inkubasi 20 menit, suasana gelap, suhu ruang k. Tambahkan stop solution 4N H2SO4 50 ul / well l. Baca dengan ELISA reader 490 nm 8. Prosedur pemeriksaan IFN-γ (Quantikine ELISA) a. Siapkan sampel, reagen dan standard b. Tambahkan 100 L diluen ke dalam masing-masing well c. Tambahkan 100 L standard atau sampel atau control ke dalam well. Tutup dengan adhesive strip dan inkubasi selama dua jam di suhu ruang. d. Aspirasi masing-masing well dan cuci dengan wash buffer empat kali e. Tambahkan 200 L IFN γ conjugate ke dalam well, tutup dengan adhesive strip dan inkubasi selama dua jam di suhu ruang f. Aspirasi masing-masing well dan cuci dengan wash buffer empat kali g. Tambahkan 200 L larutan substrat ke masing-masing well, inkubasi selama 30 menit di suhu ruang, hindari dari cahaya h. Tambahkan 50 L larutan stop solution ke dalam well. Warna larutan harus berubah dari warna biru menjadi warna kuning. i. Baca dengan panjang gelombang 450 nm dalam waktu tidak lebih dari 30 menit. 131 9. Prosedur pemeriksaan neopterin (IBL international) a. Siapkan sampel, reagen dan standard b. Tambahkan 10 L standard atau sampel atau control ke dalam well. c. Tambahkan 100 L enzime conjugate ke dalam well. d. Tambahkan 50 L neopterin antiserum ke dalam well e. Tutup dengan adhesive foil hitam dan inkubasi selama 90 menit di suhu ruang dalam shaker 500 rpm. f. Aspirasi masing-masing well dan cuci dengan wash buffer 4 kali g. Tambahkan 150 L TMB substrat dan inkubasi selama 10 menit di suhu ruang h. Stop reaksi dengan menambahkan 150 L TMB stop solution, letakkan pada shaker agar tercampur baik i. Baca dengan panjang gelombang 450 nm dalam waktu tidak lebih dari 15 menit. 132 Lampiran 2. Surat Keterangan Kelaikan Etik 133 Lampiran 3. Surat Ijin Penelitian 134 Lampiran 4. INFORMASI KEPADA PASIEN DAN FORMULIR PERSETUJUAN PENJELASAN YANG DISAMPAIKAN KEPADA PENDERITA SEBELUM MENANDATANGANI FORMULIR PERSETUJUAN IKUT SERTA DALAM PENELITIAN Pendahuluan Persetujuan (Informed concent) pada hakekatnya adalah untuk menghargai hak individu untuk memperoleh penjelasan yang cukup dan tepat berkaitan dengan penelitian yang akan dilaksanakan sebelum yang bersangkutan / calon peserta penelitian membuat keputusan yang benar. Informed concent seyogyanya mengandung hal-hal penting sebagai berikut : 1. Penjelasan rinci dengan mempergunakan bahasa yang mudah dimengerti berkaitan dengan penelitian yang akan dilaksanakan. 2. Adanya jaminan bahwa penderita mendapatkan kebebasan untuk memutuskan apakah akan ikut serta atau menolak, oleh karena secara moral maupun legal penderita memiliki hak untuk itu. Penelitian ini tentang : KADAR IGG ANTI-HP-HSP60II3, IFN-γ, DAN NEOPTERIN YANG TINGGI MEMBERI RISIKO KKV LEBIH TINGGI PADA PENDERITA SKA Tata laksana penelitian : 1. Prosedur yang dilaksanakan pada penderita sesuai dengan protap rutin terkait pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya maupun pengelolaan / perawatan 135 2. Prosedur tambahan pada penelitian ini adalah adanya pengambilan darah vena untuk pemeriksaan IgG anti-Hp-HSP60II3, IFN-γ, neopterin, dan hs-CRP Pembiayaan terkait : Poin 1; adalah ditanggung penderita Poin 2; adalah ditanggung peneliti Risiko selama prosedur penelitian berlangsung : Akibat langsung dari penelitian ini (pengambilan darah vena) tidak ada, hanya berupa rasa sakit / nyeri saat pengambilan sampel darah Hal-hal lain yang juga perlu mendapatkan perhatian : 1. Meskipun prosedur penelitian telah dilaksanakan secara cermat, apabila terjadi risiko atau ketidaknyamanan selama penelitian berlangsung yang diakibatkan langsung oleh pengambilan darah maka akan dirundingkan bersama. 2. Penelitian ini bersifat sukarela maka penderita dapat mengundurkan diri jika terdapat hal-hal yang dirasakan merugikan 3. Hasil penelitian sepenuhnya akan dipakai untuk kepentingan keilmuan, tidak untuk kepentingan publikasi (media massa) 4. Penjelasan ini serta surat persetujuan dibuat rangkap dua; satu untuk penderita dan satu untuk peneliti. Penutup : Untuk dapat berlangsungnya penelitian dengan baik, maka mutlak diperlukan kerjasama yang baik antara penderita / keluarga dan peneliti. 136 Surat Persetujuan Ikut Serta Dalam Penelitian Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Umur : Jenis kelamin : Suku bangsa : Pekerjaan : Alamat : No.KTP : No.Telp/HP : Nama pendamping : No.telp/Hp pendamping : Setelah mendapatkan keterangan secukupnya dan memahami serta menyadari manfaat maupun risiko penelitian tentang : ”KADAR IGG ANTI-HP-HSP60II3, IFN-γ, DAN NEOPTERIN YANG TINGGI MEMBERI RISIKO KKV LEBIH TINGGI PADA PENDERITA SINDROMA KORONER AKUT” Dengan sukarela menyetujui diikutsertakan dalam penelitian tersebut serta mematuhi segala ketentuan penelitian yang sudah dipahami, dengan catatan apabila suatu saat merasa dirugikan dalam bentuk apapun, berhak membatalkan persetujuan ini. Denpasar, 2011 Mengetahui Yang menyetujui Penanggung jawab penelitian Peserta penelitian (dr.A.A.Wiradewi Lestari,SpPK) ( ) Saksi ( ) 137 Lampiran 5. Kuesioner Penelitian KUESIONER PENELITIAN KADAR IGG ANTI-HP-HSP60II3, IFN-γ, DAN NEOPTERIN YANG TINGGI MEMBERI RISIKO KKV LEBIH TINGGI PADA PENDERITA SINDROMA KORONER AKUT Pascasarjana Universitas Udayana 2011 I. IDENTITAS 1. Nama : 2. Sex : 3. Umur : 4. Suku Bangsa : 5. Alamat : 6. Nomor telp : 7. Pendidikan : 8. Pekerjaan : 9. MRS tgl : 10. Nama Pendamping : 11. No Telp Pendamping : II. ANAMNESA 1. Keluhan Utama a. Nyeri dada ( ) Ya b. Lama nyeri dada ( ) Tidak ( ) < 20 menit ( ) 20 mnt – 2 jam ( ) 2 – 6 jam ( ) > 6 jam a. ( ) berdebar f. ( ) lemas k. ( ) lain-lain b. ( ) sesak g ( ) masuk angin c. ( ) keringat dingin h ( ) pusing d. ( ) mual i. ( ) kembung 2. Keluhan lain 138 e. ( ) muntah j. ( ) kesadaran menurun 3. Riwayat pada keluarga ( ) ya ( ) tidak Hubungan dengan penderita : ( ) Bapak ( ) Ibu ( ) Kakek ( ) Nenek 4. Faktor risiko a. Olah raga 1. Apakah sampai sekarang melakukan olah raga ? ( ) ya ( ) tidak 2. Jika ya, apakah olah raga secara rutin minimal 3x/minggu ? ( ) ya ( ) tidak b. Hiperlipidemia 1. Apakah menderita penyakit kolesterol ? ( ) ya ( ) tidak 2. Bila ya, apakah minum obat ? ( ) ya ( ) tidak Nama : c. Merokok 1. Apakah Anda merokok ? ( ) ya ( ) tidak 2. Jika ya, lama merokok........................tahun ()1–4 ()5–9 ( ) ≥ 10 3. Banyaknya merokok.............batang/hari ( ) 11 – 14 ( ) 15 – 34 ( ) ≥ 35 4. Berhenti merokok sejak...............tahun ()<1 ()1–4 ()5–9 ( ) ≥ 10 d. Hipertensi 1. Apakah pernah menderita penyakit darah tinggi ? ( ) ya ( ) tidak 2. Jika ya, sudah berapa lama...............tahun Sudah minum obat ? ( ) ya Nama obat : ............. ( ) tidak 139 3. Apakah keluarga menderita darah tinggi ? ( ) ya ( ) tidak e. Diabetes Mellitus 1. Apakah pernah menderita sakit kencing manis ? ( ) ya ( ) tidak 2. Jika ya, sudah berapa lama.............tahun Sudah minum obat ? ( ) ya ( ) tidak Nama obat : 3. Apakah keluarga menderita kencing manis ? ( ) ya ( ) tidak 4. Dyspepsia Apakah pernah menderita nyeri uluhati atau perasaan tidak enak di uluhati/lambung ? ( ) ya ( ) tidak III. PEMERIKSAAN FISIK Diperiksa tanggal : ....................oleh : ......................... Berat badan :........................kg Tinggi badan : .......................cm Lingkar pinggang : ......................cm Tekanan darah :........................mmHg Frekuensi pernafasan :........................x / mnt Suhu :.........................0C Denyut nadi :........................x / mnt Irama : ( ) teratur ( ) tidak teratur Keadaan umum : ( ) baik ( ) sedang Sianosis : ( ) ada ( ) tidak ada Anemia : ( ) ada ( ) tidak ada Telinga :()tak ( ) kelainan ( ) buruk 140 Hidung :()tak ( ) kelainan Mulut / gigi :()tak ( ) kelainan Tenggorokan :()tak ( ) kelainan Leher :()tak ( ) kelainan JANTUNG 1. Aktivitas ventrikel kanan ( ) normal ( ) meningkat 2. Aktivitas ventrikel kiri ( ) normal ( ) meningkat 3. Thrill ( ) tidak ada ( ) ada, lokasi : ........... 4. Iktus kordis : intercostal...............kiri / kanan, garis................. 5. Irama jantung a. S1 ( ) normal ( ) mengeras b. S2 ( ) normal ( ) mengeras c. S3 ( ) single ( ) split ( ) normal ( ) tetap ( ) memendek ( ) memanjang ( ) tidak ada ( ) ada d. Galloping : ( ) tidak ada ( ) ada e. Opening snap : ( ) tidak ada ( ) ada f. Clik : ( ) tidak ada ( ) ada g. Bising jantung : ( ) tidak ada Jenis......................... Waktu......................... Derajat......................... Lokasi......................... Penjalaran.................... PARU Suara nafas :...................... Ronchi :.......................... Wheezing :......................... ( ) ada 141 ABDOMEN Hepar : ( ) tidak teraba ( ) teraba...........cm Limpa : ( ) tidak teraba ( ) teraba...........cm Ascites : ( ) tidak ada ( ) ada Edema : ( ) tidak ada ( ) ada Sianosis : ( ) tidak ada ( ) ada Clubbing : ( ) tidak ada ( ) ada EXTREMITAS IV. ELEKTROKARDIOGRAM ( ) Normal ( ) Q waves ( ) ST depression ( ) Inverted T ( ) ST elevation V. FOTO RONTGEN TORAK ( ) Normal ( ) Kardiomegali ( ) Sembab paru ( ) Efusi pleura VI. PEMERIKSAAN LABORATORIUM DARAH No Jenis pemeriksaan 1 Troponin 2 CK-MB 3 IFN Gamma 4 HpHSP60II3 5 Neopterin 6 Hs-CRP 7 SGOT 8 SGPT 9 Ureum 10 Kreatinin 11 Kolesterol total 12 Kolesterol LDL Nilai 142 13 Kolesterol HDL 14 Trigliserida 15 Gula darah puasa 16 Gula darah 2 jam PP VII. DIAGNOSIS ( ) APTS ( ) NSTEMI Killip ( ) I ( ) II ( ) STEMI ( ) III ( ) IV VIII. TERAPI Aspirin ( ) Ya ( ) Tidak Ticlodipin/Clopidogrel ( ) Ya ( ) Tidak Betablocker ( ) Ya ( ) Tidak Calcium antagonist ( ) Ya ( ) Tidak Fibrinolitik ( ) Ya ( ) Tidak ( ) Enoxaparin ( ) Fondaparin ACE-I ( ) Ya ( ) Tidak Statins ( ) Ya ( ) Tidak PTCA/stent ( ) Ya ( ) Tidak CABG ( ) Ya ( ) Tidak ( ) Lain-lain 143 IX. Pengamatan Penderita KKV Pengamatan (tanggal kejadian) a. Kematian karena vaskular - Kematian vascular (Sudden Cardiac Death, IMA, APTS, Stroke, Aritmia kardiak) - Kematian yang tidak jelas penyebab non vaskularnya (30 hari setelah diagnosis SKA) b. IMA c. Stroke (SNH dan SH) d. Ruccurent cardiac ischemia Denpasar, Pemeriksa ( ) 144 Lampiran 6. Data Hasil Penelitian ID JK KKv Waktu hiper Sistole Diastole umur chol hdl ldl tg lipid bsn 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 180 180 15 180 180 180 180 180 180 180 180 180 180 180 180 180 180 180 180 180 180 150 180 1.00 0.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.00 1.00 1.00 1.00 1.00 0.00 0.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.00 130.00 120.00 110.00 110.00 100.00 110.00 110.00 140.00 100.00 180.00 149.00 120.00 95.00 140.00 160.00 100.00 140.00 150.00 120.00 160.00 110.00 90.00 110.00 90.00 70.00 80.00 80.00 70.00 70.00 70.00 90.00 80.00 100.00 90.00 70.00 60.00 90.00 110.00 70.00 80.00 90.00 70.00 80.00 70.00 60.00 70.00 45 60 68 75 45 55 63 68 60 61 57 46 75 58 49 71 52 66 42 42 45 65 50 195 186 123 179 148 217 189 147 163.9 206 190 209 167 112 213 176 303.1 110 228 154.9 165 154 188 30 23 44 32 29 34 49 47 53.3 78 44 39 49 40 35 31 39.7 28.8 36 34.7 40.4 37 41 169 128 61.8 125 85.8 152.6 122 78.8 85.97 115.6 118.8 139.8 107.6 59.8 143.6 114 203.2 69.5 160.8 98.26 111.2 91.8 119.2 144.8 175 86 110 166 152 90 106 123.1 62 136 151 52 61 172 155 300.9 58.74 156 110 67.22 126 139 1 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 173 126 107 99 83 94 95 94 73.2 90 109 78 99 76 91 70 96.1 87.1 94 120 95.5 125 83 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 1 2 2 1 1 2 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 180 180 180 180 180 126 180 180 42 180 1.00 1.00 1.00 0.00 0.00 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 150.00 150.00 170.00 100.00 110.00 150.00 128.00 70.00 85.00 110.00 100.00 100.00 110.00 60.00 70.00 90.00 77.00 40.00 60.00 60.00 52 56 69 59 29 46 48 55 53 50 148.3 302 187 182.2 215.4 338 197.5 132.5 187.1 301 39.1 40 45 43.4 25.4 47.3 30.4 32.4 40.8 45 85.7 219 127.4 119.9 99.28 253.1 146.1 79.13 127.4 231.4 117.6 212 73 94.7 453.7 188 105.2 104.8 94.13 123 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 121 81 77 66.9 161 86 90.1 88 72.6 77 34 35 2 1 0 1 180 21 1.00 1.00 120.00 100.00 80.00 70.00 65 73 240 171 44 46 162 107.4 170 88 1 1 116 124 36 1 0 180 1.00 100.00 70.00 45 186.5 23.6 132.2 153.6 1 91.3 145 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 1 2 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 2 1 1 1 2 1 1 1 1 2 1 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 180 180 180 180 4 180 6 180 180 180 180 14 1 2 170 180 15 180 180 180 180 180 55 180 180 1 180 180 3 180 0.00 1.00 0.00 0.00 1.00 0.00 1.00 1.00 0.00 0.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.00 0.00 1.00 1.00 0.00 1.00 0.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 0.00 1.00 1.00 0.00 100.00 130.00 90.00 130.00 150.00 80.00 150.00 90.00 110.00 100.00 120.00 135.00 100.00 80.00 100.00 120.00 110.00 80.00 130.00 110.00 110.00 160.00 120.00 150.00 130.00 60.00 100.00 130.00 150.00 130.00 80.00 80.00 60.00 80.00 90.00 50.00 100.00 60.00 70.00 70.00 70.00 96.00 80.00 60.00 80.00 70.00 70.00 50.00 80.00 60.00 70.00 90.00 80.00 80.00 70.00 40.00 60.00 80.00 100.00 70.00 70 70 50 63 51 56 58 70 44 80 52 44 49 85 58 77 68 61 61 80 41 48 49 49 47 55 46 65 59 57 179.5 146.5 222 238 262.5 224 256 177 216 142 158 168 195 135 298 224 175 158 134.3 203 206.5 327 161.8 189.7 235 195 182.8 156 195 214 36.3 28.4 51 33 24 26 34 38 55 62 49 25 46 58 59 58 43 32 39 51 33.6 39 27.5 39.4 42.6 46 38.6 24 46 36 217 164.8 145 196 244.5 174 179 128 159 69 119 100 115 60 201 140 103 98 87.6 126 143.1 238 90.2 56.33 154 115 98.2 73.6 115 138.4 110.8 109.8 73 136 141.7 138 298 86 113 55 41 236 224 105 81 97 105 92 108.7 152 149 152 220.6 470.9 193 224 229.8 300 224 198 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 75.9 70.7 105 122 124 180 130 108 100 91 102 102 124 132 66 136 109 78 119 99 101 77 94.7 198 121 124 98.1 95 124 63 146 ID riw DM mrokk obese Neop 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 0 1 0 1 1 0 1 0 16 8 9 9 12 9 10 11 25 16 22 9 11 33 8 16 16 10 8 10 18 23 4 9 10 27 11 28 13 7 17 17 19 10 25 9 14 IFN 0.78 0.8 0.82 0.84 0.75 0.68 0.68 0.7 0.81 1.28 0.74 0.73 0.71 0.76 0.69 0.77 0.76 0.72 0.77 0.72 0.71 0.84 0.7 0.87 0.69 0.75 0.97 0.69 0.67 0.71 0.74 0.74 0.7 0.68 0.7 0.79 0.7 dx HpHSP 1 1 3 3 3 3 2 1 3 2 2 2 3 3 3 3 2 3 3 3 2 3 1 1 1 1 3 2 3 2 3 3 3 3 3 2 1 1.31 1.00 1.42 1.80 1.14 1.35 1.56 1.44 1.23 0.69 1.35 1.47 0.99 1.06 1.57 1.22 0.77 1.58 1.19 1.52 0.86 1.42 1.44 1.52 1.40 1.46 1.38 1.28 1.49 1.46 1.27 1.15 0.69 0.94 1.19 0.95 1.57 hsCRP 0.5 3.6 77.9 22.87 10 43.2 0.5 7.5 164 120.3 13 26.2 59 59.3 23.7 4.5 1.85 9.3 17.4 35.77 43.13 6.5 34.69 17.83 8.494 1.6 72.6 82.75 60.74 2.75 26.7 25.42 16.4 40.8 7.9 14 1.549 Trop CKMB 49 320 49 49 100 190 49 49 2000 220 49 2000 1100 1200 49 49 49 890 49 2140 49 783 2000 49 49 100 2000 50 2000 50 49 205 49 100 237 49 49 3.3 40 4.5 3.2 40 40 8.72 1.24 40 40 3.83 40 40 40 12.8 2.93 5.57 7.3 22.6 40 6.36 40 40 2.32 2.85 6.74 40 2.78 40 2.82 1.58 33.6 8.31 8.74 8.2 8.5 3.23 147 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 0 1 1 12 17 16 95 18 60 14 9 24 17 15 19 28 0.71 0.72 0.78 0.73 0.74 0.71 0.64 0.74 0.74 0.91 0.73 0.72 0.7 3 3 3 3 3 3 2 3 3 1 3 3 3 1.05 1.12 0.94 0.95 1.10 1.11 1.13 0.89 1.19 1.26 1.10 1.55 1.63 67.23 60.1 8.8 6.829 18 106.2 120 31.3 114.4 1.1 1.2 2.1 2.2 2000 2000 49 1115 1796 100 2000 49 2000 49 404 49 185 7.62 40 2.5 40 16.7 10 40 4.4 40 3.86 16.7 2.3 18.2 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1 1 0 0 1 1 0 1 1 0 1 1 0 49 12 21 14 9 25 16 7 16 31 5 26 4 26 26 10 0.77 0.77 0.98 0.81 0.73 0.7 0.7 0.71 0.77 0.79 0.73 0.69 0.69 0.72 0.71 0.7 1 3 3 3 1 3 3 2 1 3 3 3 3 3 3 1 0.93 1.40 0.83 1.24 1.45 1.30 1.12 1.34 1.39 1.30 1.11 1.35 1.03 1.40 1.12 1.60 20.9 1.5 22.7 35.6 1.977 5.4 99.16 2.7 1 0.01 57.4 2.7 49.28 42.9 27 14.3 49 49 2000 2000 49 2000 2000 395 49 128 49 103 683 2000 2000 352 3.89 4.7 40 6.74 1.23 40 23.4 2.93 1.51 5.29 4.42 13.1 40 40 31.6 12.2