BAB III ALAT MUSIK DALAM ADAT DAN GEREJA A. Pendahuluan Alat musik merupakan salah satu pelengkap dalam sebuah proses atau acara. Di Maluku pada umumnya alat musik merupakan salah satu instrument pendukung yang penting untuk melaksankaan suatu acara maupun proses-proses adat begitu pun di Negeri Soya. Adat hadir di tengah-tengah masyarakat Negeri Soya bukanlah sebagai suatu kebetulan, melainkan adat hadir sebagai suatu identitas atau jati diri dari masyarakat Maluku. Selain adat, gereja pun hadir sebagai suatu lembaga yang dapat mempersatukan dan mendamaikan masyarakat. Keberadaan gereja, bukanlah suatu tantangan bagi adat dan masyarakatnya. Akan tetapi lebih dari itu, gereja hadir sebagai pendamping bagi adat dan masyarakatnya. Dengan demikian, adat dan gereja merupakan hal yang tidak dapat dilepas pisahkan dari masyarakat Negeri Soya. Selanjutnya dapat dijelaskan pula bahwa gereja pun menggunakan alat musik sebagai pelengkap suatu proses peribadahan maupun acara-acara gerejawi lainnya. Oleh sebabnya, keberadaan dan penggunaan alat musik di tengah-tengah adat maupun gereja menjadi suatu hal yang telah dikenal sejak masa lampau. Gereja dan masyarakat adat di Maluku sama-sama menggunakan alat-alat musik tradisional tersebut ketika melakukan ritual keagamaan maupun ritual- 37 ritual adat. Alat musik tersebut digunakan untuk mengiringi proses ibadah dan ritual dimaksud. Namun seiring berkembangnya zaman alat musik tradisional yang biasanya dipakai dalam ritual keagamaan kelihatannya perlahan mulai hilang bahkan tidak lagi dipakai oleh gereja seperti yang terjadi di Jemaat GPM Soya. Kenyataan berbeda diperlihatkan oleh adat yang sampai sekarang ini masih tetap memakai alat-alat musik tradisional dalam ritual-ritual adat. Dalam bab ini penulis akan mendeskripsikan bagaimana penggunaan alat musik tradisional dalam suatu proses maupun acara dalam adat maupun gereja berdasarkan hasil informasi yang penulis peroleh selama penelitian yang dilakukan di Jemaat GPM Soya. B. Gambaran Umum Negeri Soya 1. Sejarah Negeri Soya Negeri Soya tidak dapat dipastikan kapan berdirinya. Yang pasti adalah Negeri Soya termasuk negeri yang tertua di Jazirah Leitimor. Berdasarkan penuturan dan cerita-cerita tua atau lampau, Leluhur yang mendiami Negeri Soya berasal dari Nusa Ina yang terletak di Pulau Seram, antara lain: Seram Utara, kurang lebih tempatnya dekat Sawai suatu wilayah yang bernama “Soya”, serta dari Seram Barat sekitar daerah Tala.1 1 “Profil Negeri Soya”, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Negeri, (Negeri Soya: 2013-2014), 4. 38 Dari sumber cerita yang ada, perpindahan para leluhur orang Soya datang secara bergelombang, dari pulau Seram yang kemudian menetap di Negeri Soya. Mereka membentuk klan atau marga baru dan menjadi nama pada tempat kediamannya yang baru. Negeri Soya kemudian berkembang menjadi satu kerajaan dengan sembilan Negeri kecil yang dikuasai Raja Soya. Adapun kesembilan negeri kecil tersebut yakni: Uritetu, suatu negeri yang diperintah oleh “Orang Kaya (Orang yang pada saat itu dianggap mampu untuk memimpin suatu 2 daerah dari sisi Sumber Daya Manusia) ”. Negeri ini letaknya sekitar Gunung Sirimau. Uritetu artinya dibalik bukit; Honipopu, adalah sebuah negeri yang diperintah oleh “Orang Kaya”. Negeri ini letaknya di sekitar Kantor Kota Ambon saat ini; Hatuela, juga di bawah pimpinan seorang “Orang Kaya”, letaknya di antara Batu Merah dan Tantui sekarang. Hatuela artinya Batu Besar; Amantelu, dipimpin oleh seorang “Patih”, yang letaknya dekat Karang Panjang. Amantelu artinya, Kampung Tiga; Haumalamang, dipimpin seorang “Patih”, letaknya belum dapat dipastikan. (diperkirakan di negeri Baru dekat Air Besar); Ahuseng, dipimpin oleh “Orang Kaya”, letaknya di Kayu Putih sekarang; Pera, dipimpin oleh “Orang Kaya”, letaknya di Negeri Soya sekarang; Erang, dipimpin oleh “Orang Kaya”, letaknya di belakang Negeri Soya sekarang. Erang berasal dari nama “Erang Tapinalu” (Huamual di Seram); Sohia, adalah Negeri tempat kedudukan Raja, letaknya antara Gunung Sirimau dan Gunung Horil.3 2 3 Hasil wawancara dengan Bpk. B. P., pada 8 Desember 2014. Profil Negeri Soya”, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Negeri”,..., 5-6. 39 Setiap Rumah Tau (mata rumah) yang ada memilih salah satu batu yang dianggap sebagai batu peringatan kedatangan mereka pada pertama kalinya di negeri Soya. Batu-batu ini disebut “Batu Teung”, antara lain adalah: 1) Teung Samurele untuk Rumah Tau Rehatta, 2) Teung Saupele untuk Rumah Tau Huwaa, 3) Teung Paisina untuk Rumah Tau Pesulima, 4) Teung Souhita untuk Rumah Tau Tamtelahittu, 5) Teung Rulimena untuk Rumah Tau Soplanit, 6) Teung Pelatiti untuk Rumah Tau Latumalea, 7) Teung Hawari untuk Rumah Tau Latumanuwey, 8) Teung Soulana untuk Rumah Tau de Wana, 8) Teung Soukori untuk Rumah Tau Salakory, 10) Teung Saumulu untuk Rumah Tau Ririmesse, 11) Teung Rumania untuk Rumah Tau Hahury, 12) Teung Neurumanguang untuk Rumah Tau Latuputty.4 Diantara teung-teung yang ada, terdapat dua tempat yang memiliki arti tersendiri bagi anggota-anggota Klan, yaitu: 1) Baileo Samasuru, yaitu tempat untuk melangsungkan pembicaraan dan rapat negeri, 2) Tonisou, yaitu suatu perkampungan khusus bagi Rumah Tau Rehatta yang di dalam suhat pung disebut sebagai sebuah Teung.5 4 5 Ibid. Hasil wawancara dengan Bpk. W. H, pada 9 Desember 2014. 40 2. Letak Geografis dan Luas Wilayah Negeri Soya Secara administratif Negeri Soya termasuk dalam wilayah Kecamatan Sirimau, Kota Ambon dan terletak di pinggiran Kota Ambon dengan Gunung Sirimau sebagai icon-nya. Negeri ini berada di ketinggian ± 464 Meter dari permukaan laut, dengan membawahi 4 Dusun dan 19 Rukun tetangga, meliputi Dusun Sohia, Kayu Putih, Tabea Jou dan Dusun Air Besar. Luas wilayah Negeri Soya adalah 6.000 Ha dengan luas kawasan pemukiman adalah 233,15 Ha dengan batas-batas sebagai berikut6 : Sebelah Utara : Petuanan Negeri dan Negeri Passo Sebelah Timur : Petuanan Negeri Hatalai, Naku, Kilang dan Ema Sebelah Barat : Petuanan Negeri Urimesing Sebelah Selatan : Petuanan Negeri Hutumuri dan Leahari Suhu udara pada umumnya berkisar antara 20º – 30º Celcius. Untuk mencapai Negeri Soya dapat digunakan kendaraan jenis apapun dengan kondisi jalan yang berliku-liku namun mulus, dengan jarak ± 4 Km dari pusat Kota Ambon.7 Sebagaimana di daerah Pulau Ambon yang memiliki iklim tropis, kondisi iklim di Negeri Soya sangat dipengaruhi oleh 2 musim besar yang meliputi musim Timur atau musim hujan dan musim Barat atau musim panas.8 Sejumlah kekayaan peninggalan sejarah seperti Gereja Soya, memberi nilai tersendiri bagi negeri ini. Letak Gereja Tua Soya yang selama ini telah 6 “Profil Negeri Soya”, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Negeri, 6. Ibid. 8 Ibid. 7 41 ditetapkan sebagai cagar budaya, berada di tengah-tengah Negeri Soya, merupakan tempat yang sangat strategis karena berdampingan dengan sekolah dan Balai Pertemuan serta Rumah Raja. Sebagai Negeri yang kaya dengan nilai budaya dan adat istiadat, Negeri Soya merupakan salah satu daerah tujuan wisata di Maluku. Situs Gereja Tua Soya adalah salah satu tempat yang selama ini paling banyak dikunjungi oleh wisatawan dalam maupun luar negeri, disamping tempat-tempat lain seperti;Tempayang yang selalu berisi air walaupun tidak hujan yang berada di tengah puncak Gunung Sirimau.9 Secara Topografis, Negeri Soya berbukit-bukit yang merupakan gejala morpologis. Keadaan demikian menjanjikan kesuburan tanah yang dapat diusahakan dengan tanaman buah-buahan dan tanaman umur panjang lainnya. Dengan Letaknya di ketinggian daerah pegunungan serta curah hujan yang cukup tinggi, maka Negeri Soya memiliki hutan yang subur, dengan ditumbuhi aneka ragam tanaman dan tumbuh-tumbuhan liar. Semua sungai/kali yang bermuara di pantai Teluk Ambon mulai dari Waihaong sampai ke pantai Passo, bersumber di lereng-lereng Gunung Sirimau dari petuanan Negeri Soya.10 3. Demografi Negeri Soya Jumlah penduduk Negeri Soya sebanyak 8.679 jiwa, dengan komposisi terdiri dari laki-laki sebanyak 4.342 jiwa dan perempuan sebanyak 4.337 jiwa. Dari jumlah penduduk secara keseluruhan pada Negeri Soya, ternyata menyebar 9 Hasil wawancara dengan Bpk. W.H, pada 9 Desember 2014. Ibid. 10 42 pada empat lokasi yakni pada negeri induk atau pusat pemerintahan sebanyak 2.043 jiwa/456 KK, Dusun Kayu Putih sebanyak 3.257 jiwa/674 KK, Dusun Tabea Jou sebanyak 1.902 jiwa/398 KK, serta Dusun Air Besar sebanyak 1.477 jiwa/376 KK.11 Tabel II.1: Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur No. 1 2 3 4 5 Kelompok Umur (Tahun) 0-5 6-15 16-24 25-20 50 Tahun Keatas Jumlah Laki-laki (Jiwa) 521 634 743 1.721 602 4.221 Perempuan (Jiwa) 510 871 712 1.718 647 4.458 Jumlah (Jiwa) 1.031 1.505 1.455 3.439 1.249 8.679 Sumber : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Negeri (RPJMN) Negeri Soya, Tahun 2013-2014 4. Sistem Pemerintahan Negeri Soya Sistem pemerintahan negeri Soya pada mulanya merupakan sistem Saniri Latupati yang terdiri dari: Upulatu (Raja); Para Kapitan; Kepala-kepala Soa, Patih dan Orang Kaya; Kepala Adat (Maueng); dan Kepala Kewang. Saniri Latupati dilengkapi dengan "Marinyo" yang biasanya bertindak sehari-hari sebagai yang menjalankan fungsi hubungan masyarakat yang dikenal sekarang dengan nama HUMAS (Hubungan Masyarakat) dan pembantu bagi badan tersebut. Saniri Latupati dapat dianggap sebagai Badan Eksekutif pada saat ini. 11 “Profil Negeri Soya”, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Negeri, 7. 43 Saniri Besar, yaitu persidangan besar yang biasanya diadakan sekali setahun atau bila diperlukan. Persidangan Saniri Besar dihadiri oleh Saniri Latupati dan semua Laki-laki yang telah dewasa dan orang-orang tua yang berada dan berdiam di dalam Negeri Soya. Persidangan Saniri Besar merupakan suatu bentuk implementasi sistem demokrasi langsung.12 Dalam perkembangannya, kemudian dibentuk pula Saniri Negeri yang terdiri dari Saniri Latupatih ditambah dengan unsur-unsur yang ada dalam negeri. Misalnya: Pemuda, dan organisasi-oraganisasi dari anak negeri yang ada. Persidangan Saniri Negeri dapat di anggap sebagai persidangan legislatif.13 5. Keadaan Ekonomi, Sosial-Budaya Negeri Soya a. Mata Pencaharian Mata pencaharian masyarakat Negeri Soya didominasi oleh Pegawai Negeri Sipil. Dari jumlah penduduk Negeri Soya sebanyak 8.679 jiwa, rincian mata pencahariannya dapat dilihat pada tabel berikut14 : Tabel III.1 : Penduduk Menurut Mata Pencaharian No. Jenis Pekerjaan Jumlah (orang) 1 PNS 936 2 Wirausaha 327 3 Petani 186 4 Sopir 115 5 TNI/POLRI 112 6 Buru/Swasta 203 7 Pengusaha 229 12 Julian Soplanit, Son of Alifuru: Negeri Soya, diunduh penulis dari http://www.juliansoplanit.blogspot.com, tanggal 1 Desember 2014. 13 Ibid. 14 “Profil Negeri Soya”, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Negeri, 8. 44 8 9 10 11 12 Pedagang Penjahit Tukang Batu Peternak Lain-lain Jumlah 283 85 156 78 432 3.142 Sumber : Pemerintah Negeri Soya b. Pendidikan Keunggulan kompetitif kualitas masyarakat di setiap jenjang peendidikan menunjukkan kemajuan suatu daerah dan merupakan potensi yang cukup besar bagi pembangunan masyarakat. Kualitas pelayanan kepada masyarakat seyogianya perlu didukung dengan sumber daya manusia yang berkualitas. Sampai dengan tahun 2011, klasifikasi pendidikan anggota masyarakat negeri Soya sangat bervariasi mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai dengan Magister. Dari jumlah penduduk sebanyak 8.679 jiwa, adapun rincian jenis pendidikan sebagai berikut15 : Tabel III.2 : Tingkat Kualifikasi Pendidikan No. Jenis Pendidikan Jumlah 1 SD/Sederajat 1.974 2 SMP 1.050 3 SMA/SMK 2.984 4 Diploma (D II dan D III) 102 5 Sarjana (S1) 522 6 Magister (S2) 15 7 Doktor (S3) 4 Sumber : Pemerintah Negeri Soya Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia tersebut, maka dalam wilayah negeri Soya tersedia berbagai prasarana dan sarana pendidikan yang 15 Ibid., 10. 45 dikelola oleh pemerintah maupun lembaga keagamaan/swasta, yang dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel III.3 : Jumlah Fasilitas Pendidikan No. Jenis Fasilitas Pendidikan Jumlah 1 PAUD 2 2 TK 3 3 SD 4 4 SMP 1 Sumber : Pemerintah Negeri Soya C. Alat Musik dalam Adat dan Gereja 1. Alat Musik dalam Adat Alat musik adalah benda yang dipakai untuk menghasilkan nada atau suara yang disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu dan keharmonisan. Adat merupakan aturan yang dilakukan sejak dahulu kala dengan cara yang sudah menjadi kebiasaan.16 Negeri Soya adalah sebuah negeri yang sampai sekarang masih memiliki struktur adat pemerintahan atau negeri dan ritual-ritual adat di Pulau Ambon, khususnya di bagian Selatan pulau Ambon, Leitimor, yang pada umumnya mayoritas penduduk beragamakan Kristen Protestan. Pada umumnya setiap ritual adat yang dilakukan di Negeri Soya selalu menggunakan alat musik tradisional misalnya: suling bambu, tahuri, gong, totobuang dan tifa. Alat musik yang terkenal adalah tahuri 17, totobuang18, gong19 16 17 Hasil wawancara dengan Bpk. B. P, pada 8 Desember 2014. Alat musik tiup yang terbuat dari kerang. 46 suling bambu20 dan tifa21. Dalam kehidupan masyarakat di Maluku, adat merupakan suatu budaya yang terjadi sejak masa lampau serta memiliki nilai dan norma. Dalam ritual adat yang dilakukan dalam masyarakat selalu menggunakan alat musik tradisional sebagai paduan musik dari suatu ritual dan dianggap sakral sehingga dalam proses ritual adat, alat musik tradisional akan menjadi bagian terpenting. Alat musik yang digunakan oleh adat adalah alat-alat musik tradisional yang sejak dulu hingga saat ini tidak mengalami perubahan. Alat-alat musik tradisional masih sangat kuat keberadaannya. Hal ini dikarenakan alat-alat musik tradisional merupakan warisan para leleuhur yang keberadaannya sangat dijaga serta kegunaannya yang tidak pernah berubah. Tidak dipungkiri bahwa ketika alat-alat musik tradisional tersebut jika diganti, maka acara-acara adat atau ritual adat tidak dapat berjalan dengan baik. Alat musik tradisional itu memiliki fungsinya masing-masing. Tifa berfungsi untuk memanggil atau mengundang masyarakat untuk terlibat dalam suatu acara maupun peribadahan pada zaman dahulu. Tahuri berfungsi sebagai tanda bahwa suatu acara yang diselenggarakan akan dimulai atau berfungsi sebagai tanda 18 Alat musik pukul dari bahan logam perunggu yang bukan saja terbuat di pulau Jawa dan Bali tetapi juga Maluku dengan pukulan khas daerah Maluku yaitu gaba-gaba. 19 Alat musik pukul yang paling rendah bunyinya, berbentuk bundar dengan tojolan pencu di tengahnya, dibunyikan dengan pemukul kayu yang berujung bulat dari bahan lunak. 20 Alat musik yang terbuat dari bambu yang sering dimainkan dengan cara ditiup. 21 Alat musik yang dimainkan dengan cara dipukul dan terbuat dari sebatang kayu yang dikosongi atau dihilangi isinya dan pada salah satu sisi ujungnya ditutupi, dan biasanya penutupnya digunakan kulit rusa yang telah dikeringkan. 47 awal dari proses tabaos22. Serta suling bambu yang hanya berfungsi sebagai pelengkap dari nyanyian-nyanyian yang akan dinyanyikan pada saat acara berlangsung, totobuang dan gong dipakai seperlunya dalam acara-acara adat tersebut.23 Dijelaskan pula oleh kepala soa adat bahwa penggunaan alat musik tradisional dalam adat ini sudah dipakai sejak zaman para leluhur dengan fungsinya yang tetap sama hingga saat ini.24 Alat musik tradisional dalam adat dianggap sebagai alat musik yang harus dilestarikan oleh masyarakat Negeri Soya sehingga masih ditemukan hingga saat ini.25 Hal ini dikarenakan alat musik tradisional memiliki nilai spiritual bagi masyarakat adat Negeri Soya yang tidak dapat ditinggalkan sejak zaman para leluhur hingga sekarang ini. Alat-alat musik tersebut tidak dapat diubah dengan alat musik lainnya. Hal ini dikarenakan masyarakat Negeri Soya sangat menjaga kelestarian dari alat musik tersebut dalam segi penggunaan dan pembuatan alat-alat musik tersebut dalam wilayah Negeri Soya. Dalam ritual adat di Negeri Soya, semua alat-alat musik tersebut harus digunakan dan ritual adat tidak dapat berjalan jika alat-alat musik tersebut tidak dipakai. Hal ini dikarenakan oleh fungsi dari alat-alat musik tersebut yang sudah sangat dikenal oleh seluruh masyarakat Negeri Soya dan 22 Kata Tabaos berasal dari dialeg Maluku, yang memiliki arti menyampaikan berita kepada orang lain atau masyarakat. 23 Hasil wawancara dengan Bpk. J. R, pada 13 Desember 2014. 24 Hasil wawancara dengan Bpk. W. H, 9 Desember 2014. 25 Hasil wawancara dengan Bpk. P. K, pada 17 Januari 2014. 48 jika dolanggar maka akan ada hukumannya sesuai aturan-aturan adat yang telah ada sejak dulu.26 Hal ini pun diakui oleh kepala soa Negeri Soya, baginya ritual adat tidak dapat berjalan dan tidak lengkap apabila alat-alat musik tersebut tidak digunakan berdasarkan fungsinya masing-masing. Diakuinya pula bahwa alat-alat musik tersebut sangat dijaga kelestariannya oleh masyarakat Negeri Soya sebagai salah satu bagian dari kesatuan komunitas adat Negeri Soya di Maluku. Selain itu, kepala soa juga menambahkan bahwa acara adat tidak bisa dilakukan seenaknya atau menggantikan alat-alat musik tradisional yang sejak dulu dipakai dengan sembarangan, karena jika diubah maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya: sakit dan kerasukan. Selain itu, mereka juga mendapat sanksi-sanksi sosial dari masyarakat karena telah melanggar hukum-hukum adat yang ada pada Negeri Soya.27 Dijelaskan pula oleh Bpk. B.P bahwa dalam banyak kasus yang terjadi di Maluku khususnya dalam acara-acara adat, jika ritual-ritual yang dilakukan dalam adat tidak berjalan sesuai dengan tatanan hukum-hukum adat atau peraturan-peraturan adat maupun kebiasaan-kebiasaan yang telah berlaku sejak zaman leluhur, maka tidak dapat dipungkiri, bahwa pasti akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya: sakit, kerasukan dan lain sebagainya. Selain itu juga akan ada sanksi-sanksi sosial dari masyarakat, misalnya: orang yang melanggar aturan-aturan adat akan diasingkan ke hutan. Hal ini kemudian 26 27 Hasil wawancara dengan Bpk. J. R., pada 13 Desember 2014. Hasil wawancara dengan Bpk. W.H., pada 9 Desember 2014. 49 menjadikan semua yang berkaitan dengan adat menjadi sangat sakral termasuk di dalamnya alat-alat musik tradisional.28 Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa mayarakat Negeri Soya sangat setia terhadap penggunaan alat-alat musik tradisional yang dipakai sejak zaman leluhur dan juga sangat mematuhi hukum-hukum adat yang berlaku dalam wilayah Negeri adat Soya sehingga alat musik tradisional dapat dikatakan sakral dalam ritual adat di Negeri Soya. Hal ini dikarenakan Negeri Soya adalah salah satu negeri adat di Maluku yang memiliki integrasi dalam komunitas adat dan tidak dapat merubah penggunaan alat musik tradisional dengan alat-alat musik lainnya, karena jika dilanggar maka akan ada sanksi-sanksi sosial terhadap pelanggaran hukum-hukum adat yang berlaku di Negeri Soya itu sendiri. Hal ini dengan tegas menjelaskan bahwa masyarakat Negeri Soya sangat menjaga kelestarian alat-alat musik tradisional yang telah dipakai sejak para leluhur dan berusaha untuk tetap menurunkannnya dari generasi ke generasi serta sangat mematuhi hukum-hukum adat yang berlaku sejak pada lampau. 2. Alat Musik dalam Gereja Masyarakat Negeri Soya dikenal dengan keramahan dan religiusitas, serta gotong royong yang dijadikan sebagai ciri khas masyarakat negeri ini. Negeri ini juga dikenal sebagai negeri penghasil durian dan salak. Sebelum kedatangan bangsa Portugis di Maluku, Negeri Soya merupakan sebuah kerajaan 28 Hasil wawancara dengan Bpk. B.P., pada 8 Desember 2014. 50 yang berdaulat dengan wilayah kekuasaan yang meliputi: Teluk Ambon sampai ke Passo, pesisir Pantai Timur Selatan Jazirah Leitimor, di bawah pemerintahan Raja yang terkenal saat itu yakni “Latu Selemau” bersama panglima perangnya yaitu “Kapitan Hauluang”. Masyarakat Negeri Soya ternyata tidak menerima bangsa Portugis untuk masuk ke dalam daerahnya melainkan mereka mengangkat senjata untuk melawan mereka. Perlawanan antara masyarakat Negeri Soya dan bangsa Portugis dipimpin oleh tujuh anak Latu Selemau, namun tidak membuahkan hasil. Negeri Soya akhirnya harus menerima kekalahan atas perlawanannya terhadap bangsa Portugis. Rakyatnya diinjili dan dibaptis oleh Fransiscus Xaverius dan menjadikan orang Soya beragama Kristen Katolik. Masyarakat Soya tidak mau menyerah dan terus bertahan di puncak Sirimau. Pada tahun 1605 armada dibawah pimpinan Steven vander Hagen, masyarakat Portugis memasuki kawasan Benteng Portugis lalu diberi nama Victoria.29 Kemenangan VOC atas Portugis dan membuka peluang bagi masyarakat yang menganut agama Kristen Katolik beralih menjadi Kristen Protestan. Kegiatan penginjilan ini dikaitkan dengan kepentingan VOC dalam menegakkan kekuasaan kolonial di Pulau Ambon. Dengan hak-hak istimewa yang mereka miliki dari Kerajaan Belanda, mereka gunakan untuk mengangkat pegawai asal pribumi termasuk juga mendidik dan menthabiskan pendeta baru asal pribumi untuk kepentingan penginjilan diantaranya: Lazaurus Hitijahubessy yang diutus ke Negeri Soya untuk menyebarkan Injil pada tahun 1817. Melalui penginjilan 29 Son of Alifuru: Negeri Soya, Julian Soplanit, diunduh penulis dari http://www.juliansoplanit.blogspot.com, tanggal 1 Desember 2014. 51 tersebut, Negeri Soya menjadi Kristen. Hal ini ternyata mempengaruhi adatistiadat masyarakat setempat.30 Jika digambarkan dalam angka, maka perkembangan kekristenan pada saat itu adalah sebagai berikut: Anggota Sidi 22 orang, Anggota Baptis Dewasa 21 orang, Anak Sekolah 10 orang, Anak di luar sekolah 7 orang, dan Anak yang di Baptis 1 orang. Dari angka-angka tersebut dapat dikatakan bahwa proses pekabaran Injil di Negeri Soya ternyata berjalan lambat. Hal ini disebabkan karena masyarakat Soya yang masih terisolir dan karenanya tidak mudah untuk dibaptis akibat peperangan yang terjadi dengan Bangsa Portugis. Faktor lainnya adalah angka kelahiran yang sangat rendah disamping kehidupan sosial ekonomi. Harus diakui pula bahwa kedatangan Joseph Kam merupakan peluang besar bagi penginjilan di Maluku secara umum dan Negeri Soya secara khusus.31 Hal ini menjadikan jumlah pemeluk agama Kristen dari waktu ke waktu bertambah banyak. Dalam kaitannya dengan penyebaran Agama Kristen di Maluku, maka Gedung Gereja Soya memiliki catatan sejarah tersendiri, di mana pertumbuhan Gedung Gereja Soya awalnya tidak diketahui dan untuk menampung kebutuhan kegiatan ibadah, maka pada tahun 1876 Raja Stepahnus Jacob Rehatta memimpin orang Soya untuk memperbaiki serta memperluas dan memperbarui menjadi bangunan Gereja semi permanen yang digunakan sampai tahun 1927.32 Pada tahun 1996 kembal direnovasi dibawah panduan Bidang Museum Sejarah dan Kepurbakalaan Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan 30 Ibid. Ibid. 32 Ibid. 31 52 Maluku. Hal ini hanya bertahan sampai 28 April 2002 saat Negeri Soya diserang oleh kaum perusuh yang mengakibatkan gedung gereja ini terbakar, sehingga dibangun kembali dan diresmikan oleh Ketua Sinode Gereja Protestan Maluku dan Gubernur Maluku.33 Relasi gereja dan pemerintah merupakan suatu hal yang penting dewasa ini, karena gereja merupakan bagian dari kehidupan sosial masyarakat yang berada di bawah otoritas pemerintahan. Relasi ini perlu terus dibangun agar terjadi hubungan yang saling mneguntungan di antara kedua belah pihak, mengingat jemaat yang merupakan binaan langsung gereja juga adalah bagian dari masyarakat setempat.34 Dalam konteks kehidupan bergereja dan bermasyarakat di Maluku, bukanlah suatu hal yang baru ketika suatu jemaat terkadang identik dengan suatu Negeri atau Desa, misalnya dari sisi nama dan batas wilayah pelayanan kebanyakan mengikuti nama Negeri atau wilayah pemerintahan desa setempat.35 Jemaat GPM Soya sebagai salah satu jemaat tua di kota Ambon, juga identik dengan Negeri Soya tempatnya berada. Bukan saja nama dan wilayah pelayanan namun ada pengaruh yang saling menguntungkan di antara kedua belah pihak. Relasi semacam ini, telah dibangun sejak gereja protestan ini ada dan dikenal oleh para leluhur di Negeri Soya dan terus berlangsung sampai saat ini melalui pranata-pranata sosial yang ada. Hal ini penting mengingat proses 33 34 Ibid. “Relasi Gereja dan Pemerintah”, Rencana Strategi Jemaat GPM Soya Tahun 2012- 2015, 21. 35 Ibid. 53 pembangunan jemaat/masyarakat secara utuh tidak dapat dilakukan hanya oleh satu pihak saja, melainkan dibutuhkan adanya bentuk-bentuk penanganan yang sinergis. Sejauh ini relasi kedua belah pihak telah dibangun melalui berbagai bentuk, mulai dari pranata adat istiadat sampai pada kerjasama tiga batu tungku (Pemerintah Negeri, Guru, Gereja). Namun berkaca pada berbagai kondisi riil yang terkadi dalam jemaat/masyarakat Negeri Soya, dewasa ini baik dari aspek sosial, ekonomi, politik dan keamanan, maka sangatlah penting mengoptimalkan relasi dimaksud.36 Sejak kekristenan masuk di Negeri Soya, maka ibadah di Jemaat GPM Soya menggunakan alat musik tradisional yang hampir sama dengan alat-alat musik tradisional yang dipakai dalam adat yakni: tifa, suling bambu dan tahuri.37 Namun pada dasarnya, dijelaskan bahwa penggunaan alat musik tradisional dalam gereja memiliki fungsi yang berbeda dengan adat. Di mana tifa dipakai sebagai tanda panggilan kepada jemaat untuk beribadah, suling bambu dipakai sebagai pengiring lagu pujian yang dinyanyikan oleh jemaat, tahuri biasa dipakai sebagai tanda ibadah telah dimulai dan pendeta serta mejelis jemaat akan masuk ke dalam ruangan gereja.38 Berdasarkan hasil wawancara, penulis menemukan data bahwa alat-alat musik tradisional yang dulunya dipakai dalam gereja, kini tidak dipakai lagi kecuali suling bambu yang fungsinya tetap sama yakni untuk mengiringi nyanyian jemaat dalam proses ibadah. Sedangkan kedua alat musik tradisional 36 Ibid. Hasil wawancara dengan Bpk. T. T., pada 17 Januari 2015. 38 Hasil wawancara dengan Bpk. B. P., pada 8 Desember 2014. 37 54 lainnya, seperti tifa dan tahuri kini tidak lagi dipakai sesuai fungsinya serta tidak dilibatkan lagi seperti yang dipakai pada zaman lalu.39 Jemaat Negeri Soya memiliki paduan suling bambu yang khusus dibuat untuk berkolaborasi dengan alat-alat musik modern pada ibadah-ibadah minggu tertentu, misalnya ibadah pemuda atau ibadah minggu biasa dengan tata ibadah etnik sehingga memungkinkan alat musik tradisional tersebut dipakai sebagai pelengkap dari ibadah-ibadah.40 Namun, sesuai dengan perkembangan zaman, gereja mulai menggantikan alat-alat muik tradisional tersebut dengan beberapa alat musik baru yang tidak pernah ditemukan dalam alat musik tradisional. Alatalat musik tersebut yakni: keyboard, terompet, dan gitar.41 Bpk. P. K. juga menjelaskan bahwa perkembangan ini dilihat sebagai suatu proses, di mana zaman menuntut untuk gereja harus memiliki alat musik modern selain alat musik tradisional. Hal ini dikarenakan oleh berbagai macam persoalan yang juga dihadapi oleh gereja, salah satunya tata ibadah yang dianggap kurang menarik jika dalam proses ibadah hanya menggunakan suling bambu atau alat musik tradisional lainnya sebagai pelengkap ibadah tersebut. Sehingga, gereja dengan terbuka melihat persoalan ini sebagai persoalan yang perlu di tanggapi sesuai pekembangan zaman saat ini.42 Selain gereja yang bersifat terbuka mengenai perubahan penggunaan alat musik tradisional ke alat musik modern, masyarakat Negeri Soya yang juga 39 Hasil wawancara dengan Bpk. J. R., pada 13 Desember 2014. Hasil wawancara dengan Bpk. P. K., pada 17 Januari 2015. 41 Ibid. 42 Ibid. 40 55 adalah warga jemaat gereja sangat terbuka dan menerima hal tersebut sebagai pelengkap dalam proses pelayanan di gereja. Salah satu warga gereja pun mengatakan bahwa ia sangat senang dengan adanya penambahan sekaligus perubahan alat musik dalam gereja.43 3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Penggunaan Alat Musik Tradisional dalam Adat Tidak Mengalami Perubahan. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa adat merupakan aturan yang dilakukan sejak dahulu kala dengan cara yang sudah menjadi kebiasaan. 44 Maka segala sesuatu yang menjadi kebiasaan dalam adat maupun ritualnya tidak dapat dilepas-pisahkan dengan alat-alat musik tradisional. Alat musik tradisional tidak dapat diganti atau mengalami perubahan. Hal ini dijelaskan oleh para narasumber yang diwawancarai pada tempatnya masing-masing. Menyadari bahwa alat musik tradisional dalam adat tidak mengalami perubahan, maka dengan tegas Bpk. J. R. mengatakan bahwa sejak zaman para leluhur hingga sekarang, alat musik dalam adat selalu menggunakan suling bambu, tifa, gong, totobuang dan tahuri. Alat-alat musik tersebut tidak dapat mengalami perubahan atau diganti begitu saja, hal ini disebabkan oleh tradisi yang diturunkan oleh para nenek moyang sejak dulu dan masyarakat yang sekarang ini adalah mempertahankan 43 44 anak-cucu alat-alat musik Negeri Soya tradisional berusaha tersebut untuk serta tetap berusaha Hasil wawancara dengan Bpk. W. H., pada 9 Desember 2014. Hasil wawancara dengan Bpk. B. P, pada 8 Desember 2014. 56 melestarikannya dalam Negeri Soya itu sendiri dengan cara mengolah bahanbahan dasar untuk membuat alat-alat musik tradisional itu sendiri tanpa harus membelinya.45 Sama halnya dengan pendapat Bpk. T. T. bahwa sejak ia kecil hingga sekarang, alat-alat musik tradisional yang digunakan dalam ritual-ritual adat tidak pernah diganti, karena alat-alat musik tradisional ini dianggap sebagai bagian integral dalam kehidupan masyarakat Negeri Soya yang harus dijaga sebagai bagian dari identitas adat Negeri Soya. Alat-alat musik tersebut sangat mudah untuk diperoleh, karena banyaknya keahlian anak-cucu Negeri Soya yang dibina untuk membuat alat-alat musik tersebut. Selain dibina untuk membuat alat-alat musik tradisional tersebut, anak-cucu ini pun dibina untuk dapat memainkan alat-alat musik tradisional untuk dimainkan pada acara-acara atau ritual adat serta dapat diturunkan pada generasi-generasi yang akan datang.46 Alat-alat musik tradisional dalam adat hendak dilestarikan sebagai salah satu wujud kesetiaan masyarakat Negeri Soya terhadap para leluhur yang sejak dulu menemukan alat-alat musik tradisional tersebut demi dan untuk berbagai macam ritual adat dahulu. Kini, sebagai anak Negeri atau masyarakat Negeri Soya, alat-alat musik menjadi penting dalam berbagai macam ritual adat serta menjadi aset penting dalam adat dan Negeri Soya.47 45 Hasil wawancara dengan Bpk. J. R., pada 13 Desember 2014. Hasil wawancara dengan Bpk. T. T., pada 17 Januari 2015. 47 Hasil wawancara dengan Bpk. W. H., pada 9 Desember 2014. 46 57 Alat-alat musik tradisional juga tidak dapat diganti karena masyarakat Negeri Soya telah mengenal alat-alat musik tradisional sebagai alat musik yang dipakai berdasarkan fungsinya sehingga alat-alat musik tradisional tersebut jika salah satunya dibunyikan maka masyarakat Negeri Soya akan dengan sendirinya mengetahui jenis proses apa yang akan dilakukan oleh pemerintah negeri terkait dengan situasi dan kondisi dalam Negeri Soya. Selain itu, masyarakat Negeri Soya sangat melindungi diri dari ancaman hukum-hukum adat yaitu sanksisanksi sosial yang akan menghukum masyarakat jika kedapatan melanggar peraturan tersebut. Salah satu peraturannya adalah tidak menggantikan alat-alat musi tradisional dengan alat musik lainnya yang bukan dipakai oleh para leluhur di zaman dahulu. Hal ini kemudian telah mendarah daging dalam kehidupan anak-cucu Negeri Soya dari generasi ke generasi dan perlu dijaga.48 Dilanjutkan juga bahwa faktor lain yang menyebabkan sehingga alat musik tradisional dalam adat tidak dapat diganti adalah karena sejak masa nenek moyang dulu, alat-alat musik yang kita dikenal hanyalah alat-alat musik tradisional ini dan bukan alat-alat musik modern seperti keyboard, gitar, dll. Masyarakat Negeri Soya juga tidak mau mengalami masa hukuman jika kedapatan melanggar hukum adat atau pada saat ritual adat berlangsung dengan spontan mengalami kerasukan atau sakit yang berkelanjutan.49 Faktor lain yang juga menjadi penyebab adalah, alat musik tradisional dianggap sebagai alat musik yang diwariskan oleh nenek moyang Negeri Soya kepada generasigenerasi penerus atau yang dikenal dengan sebutan anak-cucu Negeri Soya dan 48 49 Hasil wawancara dengan Bpk. B. P., pada 8 Desember 2014. Hasil wawancara dengan Bpk. W. H., pada 9 Desember 2014. 58 alat musik tradisional juga dianggap sangat kontekstual dengan keberadaan Negeri Soya yang adalah negeri adat di Maluku khususnya di Kota Ambon.50 Dalam kehidupan masyarakat Maluku, adat sangat dihargai sebagai salah satu identitas masyarakat juga sebagai warisan para leluhur. Hal ini dapat dilihat pada realita kehidupan ketika terjadi konflik kemanusiaan di Maluku, adat sangat dihargai dan dijaga ketahanannya sehingga masyarakat Maluku tidak dapat seenaknya melakukan hal-hal yang dinilai tidak mencerminkan perilaku dan sikap masyarakat adat Maluku. Hal ini pun membuktikan bahwa adat sangat dihargai dan dihormati, sehingga alat musik tradisinonal juga masih tetap dipakai dan tidak diganti. Dengan demikian, sangat jelas bahwa adat di Maluku masih sangat kuat. 4. Faktor-faktor yang Menyebabkan Penggunaan Alat Musik Tradisional dalam Gereja Mengalami Perubahan. Hal terbesar yang menyebabkan perubahan alat musik, di mana gereja tidak lagi menggunakan alat musik tradisional sebagai alat pendukung peribadahan adalah perkembangan zaman yang harus diikuti oleh gereja sesuai dengan kenyataan yang terjadi dalam jemaat. Mengapa demikian? Karena alatalat musik modern dianggap sebagai salah satu alat musik yang dapat menunjang kehadiran jemaat dalam proses ibadah di Jemaat GPM Soya, juga sebagai musik yang dianggap sangat praktis serta penggunaan alat musik tradisional ini 50 Hasil wawancara dengan Bpk. B. P., 8 Desember 2014. 59 mengalami perubahan sesuai dengan nyanyian-nyanyian dalam jemaat maupun buku nyanyian yang dipakai oleh Jemaat GPM Soya.51 Tidak dapat menutup kemungkinan bahwa suatu saat nanti, mungkin saja alat-alat musik yang sekarang digunakan pun akan mengalami perubahan, hal inilah yang dikatakan dengan perubahan alat musik sesuai dengan perkembangan zaman.52 Menurut informasi yang penulis dapatkan, alat musik tradisional juga banyak mengalami perubahan demi kenyamanan jemaat saat beribadah. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu masalah yang ditemui dalam jemaat, di mana banyak dari anak muda dan remaja yang malas untuk datang beribadah dalam Jemaat GPM Negeri Soya karena proses ibadah yang dinilai monoton dan keberadaan alat musik tradisional yang dianggap bunyinya tidak menggairahkan. Hal inilah yang juga menjadi salah satu pemicu, di mana alat-alat musik tradisional yang dulunya dipakai oleh gereja kini diganti dengan beberapa alat musik yang dapat dikategorikan dengan alat musik modern dan tidak menutup kemungkinan untuk nantinya alat-alat musik tersebut mengalami penambahan.53 Gereja Soya bukanlah satu-satunya gereja yang alat musiknya mengalami perubahan, akan tetapi lebih dari itu sudah banyak sekali gereja GPM yang mengalami perubahan dalam penggunaan alat musik tradisional ke alat musik modern. Hal ini sudah menjadi bagian dari membangun keutuhan 51 Hasil wawancara dengan Bpk. P. K., 17 Januari 2015. Ibid. 53 Hasil wawancara dengan Bpk. T. T., pada 17 Januari 2015. 52 60 ciptaan yang diwujudkan melalui perhatian terhadap semangat persatuan dan kesatuan jemaat dalam pelayanan di Jemaat GPM Soya.54 Berdasarkan hasil informasi yang di dapat, alat-alat musik yang dipakai dalam gereja sangat mudah mengalami perubahan karena adanyaa kolaborasi, baik nyanyian maupun tata ibadah yang dipakai oleh gereja untuk mendukung pelayanan dalam jemaat. Gereja tidak menutup diri terhadap perubahanperubahan yang terjadi dalam alat musik yang digunakannya, gereja malah membuka diri demi dan untuk pelayanan yang dilakukan sehingga semua proses yang berkaitan dengan peribadahan sangat didukung oleh gereja.55 Faktor lain yang mendukung perubahan alat musik tradisional dalam gereja juga adalah karena alat musik tradisional yang dipakai dianggap tidak kontekstual, di mana telah banyak gereja di Kota Ambon secara umum yag sudah tidak lagi menggunakan alat musik tradisional sebagai alat musik pendukung dalam peribadahan, sehingga warga jemaat ingin untuk gereja mengalami kemajuan agar tidak dianggap sebagai jemaat yang kuno karena alat musik modern seperti keyboard, gitar, terompet, dianggap sebagai alat musik yang instant atau praktis dan memiliki nada-nada yang cukup mudah diubahubah sesuai dengan kebutuhan.56 Alat-alat musik dalam gereja mengalami perubahan yang sangat besar dan tidak sama dengan adat yang tidak mengalami perubahan sama sekali 54 Hasil wawancara dengan Bpk. W. H., pada 9 Desember 2014. Hasil wawancara dengan Bpk. B. P., pada 8 Desember 2014. 56 Hasil wawancara dengan Bpk. T. T., pada 17 Januari 2015. 55 61 dengan alat musik. Sikap ini nyata dalam kehidupan jemaat GPM Soya karena dengan jelas bahwa gereja tidak berhubungan dengan leluhur atau tidak ada ikatan dengan leluhur, sedangkan adat sangat terikat dengan kesetiaan masyarakatnya terhadap leluhur. Jadi alat-alat musik yang dipakai oleh masyarakat Negeri Soya dalam adat tidak saja berhubungan dengan masyarakatnya melainkan lebih dari itu sangat berhubungan dengan leluhur. D. Rangkuman : Di Negeri Soya, alat musik yang dipakai dalam ritual-ritual adat adalah alat musik tradisional, yakni: suling bambu, tahuri, gong, totobuang dan tifa. Alat-alat musik tradisional ini tidak dapat diganti dengan alat-alat musik lainnya, misalnya alat-alat musik modern, seperti: Keyboard dan gitar. Hal dikarenakan masyarakat adat sangat paham betul bahwa alat-alat musik tradisional adalah warisan para leluhur yang telah ada sejak zaman leluhur tersebut. Masyarakat Negeri Soya juga menyadari bahwa jika alat-alat musik tradisional diganti dengan alat-alat musik modern, maka akan terjadi sesuatu hal yang tidak dikehendaki oleh masyarakat Negeri Soya, seperti: kerasukan atau sakit. Hak ini pun dikarenakan, alat-alat musik modern tidak ada hubungannya dengan para leluhur. Dengan demikian, adat beserta dengan ritual maupun alatalat musiknya sangat berhubungan erat dengan para leluhur, sehingga masyarakat Negeri Soya sangat menghargaai akan hal tersebut. Kesetiaan terhadap para leluhur untuk tetap menggunakan alat-alat musik tradisional 62 sangat dirasakan oleh masyarakat Negeri Soya. Semua ritual adat yang terdapat di Negeri Soya, tetap harus menggunakan alat-alat musik tradisional sebagai pelengkap ritual sesuai dengan fungsi dari masing-masing alat-alat musik tradisonal tersebut. Sedangkan dalam gereja di jemaat GPM Soya, alat-alat musik tradisional telah diganti dengan alat-alat musik modern, yakni: keyboard, terompet dan gitar. Hal ini diakui oleh jemaat yang juga adalah masyarakat Negeri Soya. Alasan yang ditemui dalam hasil wawancara adalah alat-alat musik tradisional diganti demi dan untuk pelayanan yang lebih baik, karena telah banyak bukubuku nyanyian yang dipakai. Selain itu, berhubungan dengan selera masyarakat yang ingin untuk nyanyian-nyanyian dalam gereja lebih bergairah. Hal ini didukung oleh hasil wawancara bersama Bpk. B.P yaitu gereja dengan terbuka menerima dan menggantikan alat musik tradisional dengan alat musik modern. Sedangkan di adat, alat musik tradisional tidak dapat diganti dengan alat musik modern. 63