Kronologis Gereja Penyebaran Injil Rajawali Masaran Kulon RT 3/RW 2, Desa Jati Kecamatan Masaran – Sragen (130 Jemaat) 1. Pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) Pada awal tahun 1995 Panitia Pembangunan Gereja Penyebaran Injil mengajukan surat permohonan ijin mendirikan bangunan. Pada akhir bulan ke enam tahun tersebut keluar IMB dengan No. 640/07/III a/Idz/04/1995 tertanggal 21 Juni 1995. 2. Pembangunan Di Mulai Awal bulan Juni tahun 1995 Panitia Pembangunan Gereja Penyebaran Injil meletakkan batu pertama dan pembangunan di mulai. Akan tetapi pembangunan tidak berjalan lancar karena keuangan Gereja pada saat itu masih sangat terbatas, hingga pada akhir bulan Agustus pembangunan dihentikan. 3. Pembangunan Dilanjutkan dan Mulai Muncul Masalah Sesudah dana terkumpul pada awal bulan Desember 1995 pembangunan gedung Gereja kembali dilanjutkan. Akan tetapi pada saat yang bersamaan mulai muncul suatu masalah. Ada beberapa orang yang sebenarnya bukan termasuk bagian dari Gereja merasa tidak senang akan berdirinya Gereja kami. Dan salah seorang dari mereka dekat dengan Bupati yang menjabat pada tahun itu. 4. Usaha Bupati Menggagalkan Gereja Sekali waktu ada beberapa orang yang mengaku sebagai utusan Bupati datang dan meminta agar pembangunan Gereja dihentikan. Dan setiap mengadakan rapat guna membahas permasalahan Gereja, undangan yang ditujukan kepada kami datangnya selalu mendadak, satu contoh rapat akan dimulai pada pukul 07.00 WIB, undangan baru disampaikan pada pukul 06.45 WIB. Dan pada saat rapat terakhir tapatnya tanggal 12 Desember 1995 yaitu Rapat MUSPIDA, undangan tertulis pukul 07.00 WIB dan undangn itu baru dikirim kepada kami pukul 06.50 WIB. Karena pada pagi hari itu saya selaku penanggungjawab pembangunan ada suatu acar di luar kota dan mengahruskan saya berangkat pukul 06.00 WIB, maka istri saya yang menerima undangan rapat tersebut. Sehingga pada akhirnya MUSPIKA meminta istri saya untuk hadir dalam rapat tersebut. Akan tetapi selama rapat berlangsung istri saya dirusuh diam. Beberapa hari setelah rapat, Bp. Henonk Sukarman meminta kepada kami (saya dan istri) untuk menandatangani hasil rapat tersebut. Namun kami bersikukuh menolaknya, bahkan ketika kami meminta foto copy hasil rapat tersebut beliau tidak bersedia memberikannya. Pada awal tahun 1996 secara perlahan pembangunan gedung Gereja kami lanjutkan sampai tahap pemasangan pintu dan jendela. Namun pada hari Raya Idul Adha setelah pemotongan daging korban dan pada waktu itu bersamaan wafatnya Ibu 1 Negara, bangunan gedung Gereja kami didatangi oleh banyak orang kemudian mereka merusak bahkan membakarnya. Dan peristiwa tersebut disaksikan oleh para aparat setempat. Akan tetapi para aparat tersebut hanya diam dan membiarkan pembakaran tersebut berlangsung. Sesudah peristiwa itu Pemerintah sama sekali tidak memberi respon apapun. 5. Pembangunan Dilanjutkan secara Perlahan Pembanguna kembali dilanjutkan sekalipun bangunan Gereja kami sebagian besar rusak berat akibat pembakaran pada waktu itu. Kami bersama jemaat mulai membangun Gereja ini. Dari dana yang terkumpul kami mampu membangun sampai tahap pemasangan lantai dan pada akhirnya bangunan Gereja telah siap digunakan untuk beribadah. Bahkan pada hari menjelang Natal kami berencana akan memakai Gereja untuk ibadah tepatnya pada tanggal 25 Desember 1999. Namun sehari sebelum Natal, 24 Desember 1999, Gereja kami kembali dirusak dan peristiwa tersebut disaksikan oleh para aparat. Pada saat itu kami dipaksa untuk mencabut IMB Gereja, akan tetapi saya tidak mau, sehingga perusakan terus berlangsung. Akibat dari peristiwa itu kami terpaksa mengadakan ibadah perayaan Natal di tempat lain yaitu di rumah salah seroang jemaat. Pembangunan Gereja tetap kami lakukan secara perlahan mengingat dana yang tersedia tidak mencukupi. 6. Gereja Kembali Digunakan Untuk Ibadah Sesudah pembangunan Gereja selesai, bulan Oktober 2003 Gereja mulai dipergunakan untuk ibadah. Seklaipun disaat yang bersamaan saya menerima surat kaleng berisi ancaman bahwa seluruh keluarga saya akan dibunuh apabila Gereja tetap dipakai untuk ibadah. Pada tahun 2004 dikeluarkan Surat Penghentian Penggunaan Gereja dengan No. 451/1284/37/2004 beratasnamakan Bupati yang menjabat pada saat itu. Namun kami tetap terus menggunakan Gereja tersebut untuk beribadah. 7. Pemaksaan Untuk Tidak Menggunakan Gedung Gereja Pada hari Minggu tanggal 1 Oktober 2006 kami mengadakan ibadah pada pukul 10.00 WIB akan tetapi sekitar pukul 09.30 WIB. Sekelompok orang berdemo di depan Gereja kami dan sebagian jemaat yang belum sempat masuk dalam Gereja dihalang-halangi mereka. Pada waktu itu banyak aparat yang dating namun karena kelompok orang itu terlalu banyak jumlahnya aparat juga hanya bisa diam saja. Kemudian saya diminta Kepala Desa untuk keluar menemui mereka, dan saya dipaksa menandatangani perjanjian yang berisikan untuk tidak menggunakan Gedung Gereja kami sebagai tempat ibadah. Para pendemo tersebut memaksa saya menandatangani perjanjian itu dengan menunjukkan surat dari Bupati tentang penghentian penggunaan Gereja No. 451/75-03/2000 tertanggal 17 Maret 2000. Akan tetapi kami sama sekali tidak pernah tahu dan belum pernah menerima perihal surat Bupati tersebut. Kmai baru pertama kali mengetahui tentang surat itu dari mereka dan itupun dalam bentuk foto copy. Di dalam perjanjian yang dibuat pada hari itu ada jaminan bagi kami untuk dapat menggunakan geudng Balai Desa sebagai tempat ibadah sementara smapai ada kepastian hukum dan tempat ibadah yang tetap dari Pemerintah. Namun baru selang beberapa bulan tepatnya akhir 2 Januari 2007, gedung Balai Desa tidak diperbolehkan lagi dipakai untuk tempat ibadah sementara bagi kami. Sementara dari pihak Pemerintah sedniri belum ada kepastian bagi pihak kami. Bahkan kami diminta supaya mencari tempat ibadah lain. Dan akhirnya kami pun mendapat tempat tersebut akan tetapi izin penggunaannya hanya selama 3 bulan saja, hingga pada tanggal 11 Juni 2007 adalah batas akhir penggunaan tempat tersebut. Namun sampai batas waktu bahkan lebih dari batas waktu belum ada keputusan yang pasti dari Pemerintah untuk menyediakan tempat ibadah bagi kami. Sehingga pada akhirnya kami memutuskan akan menggunakan gedung Gereja kami untuk beribadah, namun dari KAPOLRES meminta saya untuk tidak menggunakan gedung Gereja tersebut atau tidak melakukan ibadah dulu, dia berjanji akan menyelesaikan maslaah ini sampai hari Sabtu tanggal 23 Juni 2007, dan sampai saat ini kami belum tahu bagaimana hasil penyelesaiannya. Beberapa catatan : • Alasan penghentian ibadah karena masyarakat resah, tetapi faktanya tidak pernah ada surat dari masyarakat. • Tidak pernah ada surat keberatan dari pihak manapun. • Pemimpin demo RT 08, Kalurahan Jati – Bp. Harno S.T. (Pimpinan Masjid), Bp. H. Hartono RT 07, mantan Pimpinan Masjid. Kebanyakan berjubah putih, tetapi tidak mengatasnamakan organisasi. Yang terakhir dari MMI Solo. Proses yang sudah dilakukan : 1. Dialog dengan FKUB Sragen, tetapi tidak ada solusi. ***** Pdt. Petrus Giyoto Telp./HP 7558841 atau 081329411266 3