Membentuk generasi penerus bangsa yang berkarakter

advertisement
Membentuk generasi penerus bangsa yang berkarakter tentunya membutuhkan
suatu proses yang panjang, maka sudah seharusnya karakter tersebut dibangun sedini
mungkin sejak masa kanak-kanak. Setiawan (seorang Psikolog Anak) dalam artikel
yang ditulis oleh Pratiwi (2012) menyatakan bahwa anak-anak dalam kesehariannya
mengalami hal-hal yang menantang, terutama ketika mereka mulai memasuki
prasekolah (taman kanak-kanak). Namun, hasil observasi di suatu taman kanak-kanak
(TK) ketika peneliti menjalani Praktek Kerja Profesi Psikologi (PKPP) menunjukkan
bahwa sebagian anak begitu mudah menyerah selama proses pembelajaran dan
cenderung cepat mengeluh lalu berhenti meninggalkan aktivitasnya ketika mengalami
kesulitan, meskipun aktivitas-aktivitas dalam proses pembelajaran tersebut telah
sesuai dengan kemampuan anak-anak seusianya.
Hasil wawancara dengan beberapa guru TK juga menunjukkan hal yang sama,
yakni sebagian anak cenderung pasif saat mengalami kesulitan dan kemudian
memutuskan untuk berhenti dari aktivitas pembelajaran tanpa berkeinginan untuk
melakukan usaha yang optimal dalam mengatasi kesulitannya, meskipun sebenarnya
aktivitas-aktivitas tersebut telah sesuai dengan karakteristik anak susianya serta
mampu dilakukan dan diselesaikan oleh anak-anak sebayanya.
Ketika
menjalani
aktivitas
sehari-hari,
sebaiknya
anak-anak
mampu
menunjukkan sikap pantang menyerah, sabar, tekun, memiliki semangat juang yang
tinggi, serta memiliki keberanian dalam menghadapi tantangan untuk mempelajari
hal-hal baru dalam hidupnya. Hal tersebut akan menjadi bekal mereka dalam
menghadapi kesulitan ataupun segala situasi yang kurang menyenangkan. Emeline
3
yang juga seorang Psikolog Anak dalam artikel yang ditulis oleh Fazriati (2012)
menyatakan bahwa anak yang pantang menyerah akan tumbuh menjadi pribadi yang
optimis, pemberani, mampu melihat kegagalan secara positif, serta siap dalam
menghadapi berbagai tantangan.
Lebih lanjut Rahmania (2013) menyatakan bahwa orangtua hendaknya
membentuk anak menjadi tangguh sejak usia dini, karena saat ini persaingan tidak
hanya di tingkat regional tapi juga internasional. Anak-anak kita kelak akan menjadi
warga dunia yang harus mampu bersaing dengan seluruh individu di dunia yang
memiliki kemampuan, sikap kerja, dan karakter yang bermacam-macam. Oleh karena
itu, sangat perlu menstimulasi anak sedini mungkin untuk memiliki karakter tangguh
dalam menjalani kesehariannya, yakni anak dengan persistensi yang baik (tekun), dan
tidak mudah menyerah sekaligus kreatif dalam melakukan pemecahan-pemecahan
masalah. Koesoema (2011) menyatakan bahwa karakter tangguh akan mampu
mencetak generasi penerus bangsa yang maju dan unggul di mata dunia.
Pemerintah telah mencanangkan pendidikan karakter sejak usia dini
sebagaimana tertuang dalam batang tubuh UUD 1945 yakni UU No. 20 Tahun 2003.
Pendidikan karakter sejak usia dini dinilai mampu mencetak anak-anak yang
berakhlak mulia dengan kematangan emosi dan spiritual yang baik, kemampuan
mengelola stres dengan baik, serta memiliki semangat belajar yang tinggi
(Kemendiknas, 2012).
Karakter merupakan karakteristik dalam diri seseorang yang menunjukkan
adanya pengetahuan dan keinginan untuk selalu berperilaku moral (Lickona, 2012).
4
Karakter akan mempengaruhi seseorang dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah
laku yang kemudian akan menentukan setiap keputusan yang diambil untuk dirinya
sendiri serta menentukan perilakunya saat berinteraksi dengan orang lain (Berkowitz
& Bier, 2004; Bulach, 2002; Sudaryanti, 2010).
Seseorang yang berkarakter adalah seseorang yang mampu berperilaku baik,
dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, serta selalu berusaha untuk
melakukan segala hal yang benar (Sarros & Cooper, 2006). Karakter yang baik tidak
akan terbentuk secara otomatis. Anak-anak membangun karakter melalui interaksinya
dengan keluarga, teman sebaya, guru, dan anggota masyarakat. Karakter yang baik
harus dikembangkan sepanjang waktu melalui proses belajar, salah satunya melalui
pendidikan karakter yakni dengan mengajarkan dan mempraktikkan karakter-karakter
positif pada anak (Smith, 2006).
Mengembangkan karakter peserta didik agar menjadi pribadi yang baik
merupakan salah satu misi penting dalam pendidikan (Bryan, 2005). Pendidikan
harus mampu mengembangkan seluruh aspek (fisik, sosial, emosi, kognitif, spiritual)
dan potensi manusia sehingga mampu membentuk manusia seutuhnya (whole person)
yang memiliki kecakapan dalam menghadapi perubahan dunia yang penuh tantangan
(Megawangi, Latifah, & Dina, 2008). Pendidikan karakter merupakan salah satu cara
untuk mengembangkan aspek sosial dan emosi dalam rangka membentuk manusia
seutuhnya (Santrock, 2007).
Pendidikan karakter merupakan suatu program yang dirancang oleh institusi
pemerintah dan dalam proses pelaksanannya bekerjasama dengan pihak sekolah, yang
5
secara langsung dan sistematis berusaha untuk menanamkan nilai-nilai etika pada
para generasi muda agar terbentuk perilaku positif yang akan memandu mereka
menuju kehidupan yang sukses dan produktif (Allred, 2005; Bier & Berkowitz, 2005;
Bryan, 2005; Schwartz, Beatty, & Dachnowicz, 2006; Sommer, 2006).
Pendidikan karakter pada anak usia dini adalah upaya penanaman nilai-nilai
karakter kepada anak yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai kebaikan dan kebajikan, baik kepada Tuhan
YME, diri sendiri, maupun kepada sesama agar menjadi manusia yang berakhlak
(Kemendiknas, 2012).
Pendidikan karakater pada dasarnya merupakan tanggung jawab orangtua,
sekolah, masyarakat, dan media massa (Brannon, 2008). Sekolah sebagai tempat
kedua bagi anak-anak untuk menghabiskan sebagian besar waktunya, dinilai memiliki
peran yang sangat penting dalam menanamkan karakter-karakter positif (Berkowitz &
Bier, 2004). Dalam hal ini, guru sangat berperan dalam membimbing peserta
didiknya untuk dapat bertanggungjawab atas segala tindakannya, serta membantu
mereka agar dapat membedakan antara yang baik dan buruk sehingga terbentuk anakanak yang berkarakter (Brannon, 2008). Pendidikan karakter pada anak usia dini tidak
dalam bentuk pembelajaran tersendiri, namun dilakukan dengan mengintegrasikan
nilai-nilai karakter positif pada seluruh aktivitas harian anak (Abourjilie, 2002;
Kemendiknas, 2012).
Pendidikan karakter merupakan primary prevention. Pendidikan karakter secara
efektif terbukti mampu mengurangi resiko munculnya perilaku-perilaku negatif dan
6
menstimulasi perkembangan karakter positif dalam diri anak (Berkowitz & Bier,
2004; Parker, Nelson, & Burns, 2010). Pendidikan karakter memiliki kedudukan yang
sama pentingnya dengan pendidikan akademis. Pendidikan karakter mampu berperan
sebagai fondasi yang kuat bagi seseorang untuk dapat mencapai prestasi akademis
yang lebih baik (KatilmiŞ, EkŞi, & ÖztÜrk, 2011).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan karakter dapat meningkatkan
motivasi belajar, perilaku altruisme, kompetensi sosio-emosional, dan perilaku
prososial serta mencegah terjadinya pelanggaran disiplin, kegagalan sekolah, dan
kecemasan sekolah (Berkowitz & Bier, 2004; Bier & Berkowitz, 2005; Brannon,
2008; Bulach, 2002). Pendidikan karakter juga dapat mengembangkan kemampuan
anak dalam berpikir rasional, mengambil keputusan yang sesuai dengan etika,
kemampuan memecahkan masalah, dan keterampilan menyelesaikan konflik
(Berkowitz & Bier, 2004; White & Warfa, 2011). Pendidikan karakter akan mampu
mengarahkan anak-anak menjadi individu yang bijaksana dalam melakukan segala
hal (Sommer, 2006).
Dalam rangka mencetak generasi muda penerus bangsa yang tidak mudah
menyerah, selalu optimis, dan berani dalam menghadapi tantangan globalisasi dunia,
maka perlu ditanamkan karakter tangguh (hardiness) dalam diri anak sedini mungkin.
Maddi dan Kobasa (1984) menyatakan bahwa ketangguhan (hardiness) merupakan
salah satu karakter yang sebaiknya ditanamkan sejak usia dini. Ketangguhan ditandai
oleh tiga hal, yaitu: komitmen, kontrol, dan tantangan.
7
Komitmen merupakan kemampuan individu untuk melihat dunia sebagai
sesuatu yang menarik dan penuh arti, serta memiliki keinginan untuk terlibat dalam
aktivitas disekitarnya tanpa berusaha menghindar (Hystad, Eid, Laberg, Johnsen, &
Bartone, 2009). Komitmen menunjukkan bahwa seseorang terlibat secara mendalam
dan aktif pada setiap aktivitas dalam hidupnya. Seseorang yang memiliki komitmen
tinggi akan selalu berusaha untuk melibatkan dirinya dan tidak menghindari aktivitas
yang harus ia hadapi dalam kehidupannya, serta merasa bahwa keterlibatannya
tersebut merupakan cara terbaik untuk menunjukkan kapabilitasnya terhadap
lingkungan sosial. Pengalaman-pengalaman yang ia peroleh dilihat sebagai sesuatu
yang menarik, berharga, dan penting, tanpa merasa terbebani dengan situasi-situasi
yang akan menimbulkan tekanan terhadap dirinya (Maddi dalam Sheard, 2009).
Seseorang dengan komitmen yang kuat akan memiliki keyakinan terhadap nilai
ataupun prinsip hidup yang ia pegang dan yakin dengan apa yang ia lakukan. Ia
memiliki makna dan tujuan atas hubungannya dengan sesama maupun aktivitas yang
ia lakukan, dan tidak berusaha untuk mengasingkan diri yang disertai rasa takut,
ketidakpastian, maupun kebosanan akan kehidupan yang ia jalani (Soderstrom,
Dolbier, Leiferman, & Steinhardt, 2000).
Kontrol menunjukkan keinginan seseorang untuk dapat mengendalikan segala
sesuatu tanpa merasa takut akan kesulitan ataupun tekanan-tekanan yang ia hadapi
(Hystad, dkk., 2009; Maddi dalam Sheard, 2009). Kemampuan kontrol yang baik
menunjukkan bahwa ia yakin dapat mengendalikan segala situasi yang terjadi dalam
8
hidupnya, dan mampu merubah situasi-situasi yang menekannya menjadi lebih
terkendali (Soderstrom, dkk., 2000).
Seseorang yang mampu melakukan kontrol akan tumbuh menjadi individu yang
optimis dalam menghadapi segala situasi di hidupnya (Bissonnette, 1998). Seseorang
dengan kemampuan kontrol yang baik akan mampu menentukan respon-respon yang
tepat ketika menghadapi setiap hal dalam hidupnya dan mampu memaknai situasisituasi yang memiliki potensi untuk memunculkan banyak tekanan sebagai sesuatu
yang menyenangkan (Maddi dalam Sheard, 2009). Seseorang yang tidak memiliki
kontrol yang baik akan menimbulkan adanya rasa tidak berdaya (Bissonnette, 1998).
Tantangan merupakan keyakinan dalam diri seseorang bahwa perubahan
bukanlah sesuatu yang mengancam rasa aman dalam dirinya, namun sebagai suatu
kesempatan untuk mengembangkan diri (Hystad, dkk., 2009). Perubahan-perubahan
yang ia alami akan dilihat sebagai sesuatu yang wajar dalam kehidupan dan mampu
bertahan dengan perubahan-perubahan tersebut (Soderstrom, dkk., 2000). Seseorang
akan menyadari bahwa banyak hal dalam hidup ini yang tidak dapat diprediksi dan
perubahan tersebut akan mampu menstimulasi dirinya untuk menjadi pribadi yang
lebih berkembang. Perasaan ini menunjukkan adanya sikap positif seseorang terhadap
perubahan dan yakin bahwa kegagalan merupakan jalan menuju kesuksesan (Maddi
dalam Sheard, 2009).
Hasil penelitian mengenai karakter tangguh dengan berbagai populasi dan
profesi, menunjukkan bahwa ketangguhan yang ada dalam diri seseorang dapat
membantu individu dalam mengendalikan tekanan psikologis yang sedang ia alami
9
dan selanjutnya akan berdampak positif terhadap kesejahteraan psikologis dan
kesehatan fisik individu tersebut dalam jangka panjang (Cole, Feild, & Harris, 2004;
Hystad, dkk., 2009; Sheard, 2009).
Seseorang yang memiliki karakter tangguh akan berani mengambil tindakan
atas masalah-masalah yang ia hadapi (tidak berusaha untuk menghindarinya),
memiliki sense of personal mastery, memiliki keberanian untuk menghadapi
masalah-masalahnya dengan percaya diri (Soderstrom, dkk., 2000) dan cenderung
aktif atau tidak merasa terbatasi aktivitasnya (Magai, Consedine, King, & Gillespie,
2003). Dalam situasi yang membingungkan (ambigu), karakter tangguh akan
mengarahkan seseorang untuk mampu mengambil keputusan dan berusaha mencapai
target yang telah ia tentukan (Cole, dkk., 2004).
Karakter tangguh berkembang sejak usia dini dan muncul sebagai hasil dari
pengalaman-pengalaman yang kaya, bervariasi, dan bermanfaat (Maddi & Kobasa,
1984). Intervensi perlu dilakukan sedini mungkin untuk membentuk karakter tangguh
sejak masa kanak-kanak dengan mengembangkan ketiga komponen (komitmen,
kontrol, dan tantangan). Anak-anak yang memiliki karakter tangguh akan mampu
memulai proses pembelajaran dengan baik, memiliki interaksi yang baik dengan
teman-teman sebayanya, serta memiliki penilaian atau persepsi yang positif terhadap
dirinya, sedangkan anak-anak yang tidak memiliki karakter tangguh pada umumnya
akan memiliki regulasi emosi yang buruk serta tidak adanya kepercayaan dengan
orang dewasa disekitarnya, sehingga akan berdampak negatif pada tugas-tugas
perkembangannya dan cenderung mengalami hambatan secara kognitif, regulasi diri
10
yang buruk, prestasi akademik yang rendah, dan hambatan dalam hubungan
interpersonal (Bissonnette, 1998).
Benishek, Feldman, Shipon, dan Mecham (2005) menyatakan bahwa seorang
anak dengan karakter tangguh akan berusaha sepenuhnya terlibat dalam proses
pembelajaran demi menguasai segala hal yang sedang ia pelajari (komitmen), dan
memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu mencapai target-target belajarnya dengan
usaha yang maksimal disertai regulasi emosi yang baik (kontrol), serta bersedia
menghadapi kesulitan maupun hambatan yang muncul selama proses belajar tersebut
(tantangan).
Seorang anak dengan komitmen yang tinggi akan menunjukkan keterlibatannya
pada semua proses belajar yang sedang dijalani, sedangkan anak dengan komitmen
yang rendah cenderung tidak konsisten dan hanya melibatkan diri pada kegiatan
belajar yang ia sukai. Anak dengan kontrol yang baik akan mampu mengendalikan
tekanan-tekanan, kesulitan, maupun hambatan yang ia hadapi selama proses belajar
serta terus berusaha bangkit atas kegagalan yang ia hadapi. Anak yang melihat
tantangan sebagai suatu hal yang positif akan menerima resiko ataupun kegagalan
sebagai suatu proses yang harus dilalui, sedangkan anak yang menilai tantangan
secara negatif, maka ia akan melihat tantangan sebagai suatu ancaman yang harus
dihindari (Benishek & Lopez, 2001).
Hasil penelitian Cole, dkk (2004) menunjukkan bahwa karakter tangguh
memiliki korelasi positif dengan motivasi belajar, learning goal orientation, serta
reaksi-reaksi positif anak selama mengikuti aktivitas-aktivitas yang terkait dengan
11
proses belajar. Anak-anak yang memiliki karakter tangguh akan menikmati tantangan
selama proses belajarnya dan terbukti bahwa mereka memiliki perilaku belajar yang
positif dan hampir tidak pernah mengalami psikosomatis, dan menikmati saat
mempelajari hal-hal yang baru, serta mampu melihat secara positif segala kejadian
yang ia alami selama proses belajar tersebut.
Anak dengan ketangguhan yang tinggi akan mampu menemukan minatnya
selama menjalani proses belajar, serta menerima dan menjalani ketentutan-ketentuan
proses pembelajaran dengan rasa antusias yang tinggi. Ketangguhan yang tinggi
mampu
membuat
seseorang
menghadapi
tuntutan-tuntutan
selama
proses
pembelajaran dengan usaha terbesar yang mampu ia lakukan, dan akan berusaha
mencari cara terbaik untuk dapat keluar dari tekanan-tekanan yang sedang ia hadapi
hingga sukses dalam mencapai target-targetnya, serta berusaha membentuk pemikiran
bahwa tekanan-tekanan selama proses belajar tersebut merupakan sesuatu yang
menarik dan berharga (Hystad, dkk., 2009).
Rahmania (2013) mengemukakan mengenai beberapa karakteristik anak usia
dini yang memiliki karakter tangguh, yaitu: anak mampu mengarahkan dirinya sendiri
untuk mencapai tujuannya, mampu mengatasi kesulitan yang ia hadapi, yakin akan
kemampuan dirinya sendiri, tidak segan meminta bantuan orang lain ketika
mengalami kesulitan setelah ia berusaha dengan gigih dalam mengatasi kesulitannya
tersebut, mempunyai motivasi untuk maju, mampu fokus pada masalah yang sedang
dihadapinya dan dapat menerima kelebihan serta kekurangan dirinya sendiri (misal:
anak tidak harus menjadi juara tetapi usaha yang ia lakukan merupakan bentuk
12
motivasi yang baik untuk maju), mampu membina hubungan yang baik dengan orang
lain meski ia mengalami kekecewaan pada orang tersebut.
Menurut Maddi dan Kobasa (1984), terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi terbentuknya karakter tangguh (komitmen, kontrol, tantangan) dalam
diri seseorang sejak usia dini, yaitu:
1. Interaksi yang penuh dukungan terhadap anak sejak dini.
Interaksi orangtua yang penuh penerimaan dan dukungan terhadap anak
merupakan faktor yang sangat penting dalam proses pembentukan komitmen
dalam diri anak. Ketika orangtua menunjukkan penerimaan, ketertarikan, dan
dukungan atas usaha-usaha yang dilakukan anak saat bereksplorasi dalam rangka
memenuhi kebutuhan ataupun mengembangkan potensi yang ia miliki, maka anak
akan merasa memperoleh dukungan dan menilai dirinya serta lingkungannya
sebagai sesuatu yang menarik dan berharga. Hal tersebut akan mampu
menunjukkan minat dan kemampuan anak yang sebenarnya.
2. Lingkungan yang menumbuhkan rasa penguasaan (mampu) dalam diri anak.
Lingkungan maupun orangtua hendaknya memberikan kesempatan pada anak
untuk berusaha mengatasi kesulitan yang ia hadapi selama hal tersebut masih
memungkinkan untuk dapat diselesaikan oleh anak sesuai dengan tahapan
perkembangannya. Kesempatan tersebut dapat dilakukan dengan tidak banyak
memberikan bantuan ketika anak sedikit mengalami kesulitan dalam melakukan
aktivitasnya sehari-hari. Ketika anak berhasil mengatasi kesulitannya tersebut,
maka akan tumbuh rasa kompeten dalam dirinya. Perasaan tersebut akan membuat
13
anak lebih mandiri, dan merasa yakin serta tetap optimis ketika menghadapi
kesulitan ataupun hambatan dalam mencapai segala tujuannya dalam aktivitasnya
sehari-hari.
3. Membantu anak untuk memaknai perubahan-perubahan hidup yang dialami.
Kemungkinan besar setiap anak akan mengalami banyak perubahan situasi
maupun kondisi dalam hidupnya, misalnya: perpindahan tempat tinggal ke kota
atau negara yang berbeda, berubahnya peran dalam keanggotaan keluarga,
keberhasilan dan kegagalan yang silih berganti, dan sebagainya. Dalam hal ini,
orangtua dan lingkungan memiliki peran yang penting untuk memotivasi anak
dalam menghadapi perubahan-perubahan tersebut dan mengkomunikasikan
perubahan tersebut sebagai sesuatu yang akan memperkaya pengalaman anak,
sehingga anak mampu menerima perubahan atas segala situasi yang sedang ia
hadapi terutama situasi-situasi yang kurang menyenangkan dalam hidupnya.
Damon (dalam Berkowitz & Bier, 2004) menyatakan bahwa karakter
berkembang sepanjang hidup manusia, khususnya pada pada masa kanak-kanak dan
remaja. Pendidikan karakter membutuhkan proses yang panjang untuk menanamkan
nilai-nilai dan etika. Pendidikan karakter dapat diterapkan pada berbagai usia dan
seluruh jenjang pendidikan, namun sangat penting untuk diterapkan sejak usia dini
sebagai fondasi yang kuat bagi karakter anak hingga mereka dewasa.
Anak usia dini menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 14 adalah anak-anak yang
berusia 0-6 tahun (Depdiknas, 2003). Masa usia dini merupakan periode emas
14
(golden age) sekaligus periode kritis bagi perkembangan anak. Pada masa usia dini
perkembangan otak anak berkembang dengan pesat yakni mencapai hingga 80%.
Perkembangan otak ini akan mempengaruhi kemampuan kognitif, kemampuan
belajar, berpikir, dan mengingat pada anak (Bloom dalam Aisyah, dkk., 2008) serta
mengembangkan aspek afeksi dalam rangka menumbuhkan sikap-sikap positif pada
diri anak (Lenox, 2000). Oleh karena itu, usia dini merupakan periode penting untuk
mengembangkan keahlian dan kompetensi anak dalam rangka membangun fondasi
yang kuat bagi tahapan perkembangan selanjutnya.
Stimulasi yang tepat pada masa usia dini akan menentukan kemampuan mereka
pada periode-periode selanjutnya hingga masa dewasa (Santrock, 2007). Stimulasi
yang mampu memberikan pengalaman-pengalaman positif bagi anak akan semakin
memperkuat kualitas perkembangannya di masa yang akan datang (Umek, Peklaj,
GrgiČ, SoČan, & Pfifer, 2012). Stimulasi tersebut harus sesuai dengan konsep
Developmentally Appropriate Practice (DAP). Konsep ini menekankan bahwa
stimulasi pada proses pembelajaran harus mempertimbangkan tahapan perkembangan
anak dan menggunakan cara yang sesuai dengan usia, keunikan, kebutuhan, minat,
serta lingkungan sosial budaya anak (Berdekamp & Copple dalam Berns, 2007).
Proses pembelajaran yang sesuai dengan konsep DAP tersebut terbukti mampu
mempertahankan bahkan meningkatkan semangat belajar anak (Megawangi, dkk.,
2008).
Usia taman kanak-kanak 5-6 tahun merupakan periode kritis karena merupakan
periode yang penting untuk proses belajar anak dalam rangka mempersiapkan mereka
15
untuk menghadapi tantangan akademis di sekolah dasar. Pada masa ini, hendaknya
lingkungan mampu menstimulasi anak dengan kegaitan-kegiatan yang menantang,
dan mengasah kemampuan anak dalam berpikir kritis ataupun mengungkapkan
pendapat-pendapatnya, serta memecahkan dan memaknai kesulitan-kesulitan yang ia
hadapi. Oleh karena itu, sangat penting bagi guru untuk mengembangkan perilaku
belajar yang positif pada periode usia ini (Copple & Bredekamp, 2009).
Hurlock (1978) menyatakan bahwa tugas perkembangan anak usia 5 tahun
antara lain: mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan yang
umum, membangun sikap yang sehat dalam mengenali diri sendiri sebagai makhluk
yang sedang tumbuh, belajar menyesuaikan diri dengan teman seusianya, mulai
mengembangkan peran sosial sebagai seorang pria atau wanita dengan tepat,
mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis, dan
berhitung, mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan
sehari-hari, mengembangkan hati nurani, dan pengertian moral.
Tugas-tugas perkembangan individu melibatkan seluruh aspek perkembangan,
baik perkembangan fisik (motorik kasar dan motorik halus), kognitif, bahasa, maupun
perkembangan sosial dan emosi. Pada usia 5-6 tahun, aspek-aspek perkembangan
anak yang meliputi motorik kasar, motorik halus, sosial, emosi, dan bahasa telah
berkembang dengan cukup baik. Perkembangan fisik yang terkait dengan motorik
kasar merupakan gerakan tubuh yang melibatkan otot-otot besar pada seluruh anggota
tubuh individu. Tugas perkembangan pada aspek motorik kasar anak usia 5-6 tahun
meliputi kemampuan untuk berlari, berjinjit, melompat, bergelantungan, melempar
16
dan menangkap, serta menjaga keseimbangan (Levine & Munsch, 2011). Anak pada
usia ini, pada umumnya menunjukkan bahwa mereka telah mampu berlari dengan
cepat, lincah, dan cukup terampil dalam merubah arah gerakannya. Mereka juga telah
mampu memanjat objek-objek disekitarnya, melempar, menangkap, dan menendang
bola dengan gerakan tubuh yang cukup lincah (Copple & Bredekamp, 2009; Hurlock,
1978). Anak pada usia ini juga mulai menyukai kegiatan lomba, seperti lomba lari,
dan balap sepeda (Levine & Munsch, 2011).
Selain motorik kasar, terdapat pula perkembangan fisik yang terkait dengan
motorik halus. Motorik halus merupakan gerakan yang melibatkan otot-otot halus dan
sebagian anggota tubuh tertentu. Perkembangan motorik halus anak usia 5-6 tahun
ditekankan pada kemampuan anak dalam meletakkan atau memegang suatu objek
dengan menggunakan jari-jari tangannya. Pada usia ini, anak telah mampu
mengkoordinasikan gerakan visual-motorik, seperti mengkoordinasikan gerakan mata
dengan tangan, lengan, dan tubuh secara bersamaan (Levine & Munsch, 2011).
Anak usia 5-6 tahun telah memiliki koordinasi motorik halus yang semakin
meningkat karena rentang perhatian anak semakin panjang pada usia ini, dan
kemampuannya untuk mengontrol gerakan tangan dan jari juga semakin berkembang.
Anak yang berada pada usia ini telah mampu bertahan dengan tugas-tugas yang
menuntut kesabaran dan ketekunan, seperti: menulis, menggambar, menggunting,
menyusun lego, memilah benda-benda kecil, meronce, menarik ritsleting,
mengancing pakaian, menuang air ke gelas, dan menuyusun peralatan makan di meja
(Copple & Bredekamp, 2009), menyusun balok-balok menjadi beberapa bentuk
17
bangunan (rumah atau istana beserta menaranya), mengelem, dan memalu (Santrock,
2007).
Perkembangan sosial anak usia 5-6 tahun ditandai dengan adanya ketertarikan
untuk berinteraksi dengan teman sebaya, serta mampu menjalin kerja sama dan
membentuk pertemanan dengan teman sebayanya. Anak-anak pada usia ini juga
sudah mulai mampu mengontrol dirinya untuk mematuhi aturan-aturan yang berlaku.
Mereka mulai menginternalisasikan standar-standar norma yang berlaku dan
memonitor perilakunya. Anak cenderung memiliki keinginan yang besar untuk masuk
dalam kategori “anak yang baik” dan merasa bersalah ketika ia melanggar standar
yang telah ditetapkan. Meskipun begitu, anak pada usia ini masih membutuhkan
teladan dan arahan dari orang dewasa disekitarnya (McCartney & Phillips, 2006).
Pada hubungan sosial, anak usia 5-6 tahun cenderung mencari kecocokan dalam
hubungan pertemanannya. Mereka akan lebih memilih teman yang memiliki banyak
kesamaan dengan dirinya, baik jenis kelamin, usia, etnis, maupun kepribadian
(ramah, suka menolong, atau agresif). Anak pada usia ini akan lebih sering memilih
teman bermain yang memiliki jenis kelamin sama. Mereka akan memilih teman
bermain yang memiliki kesamaan minat dan kecocokan dalam berperilaku. Mereka
juga sudah mengenal perbedaan stereotype antara permainan laki-laki dan permainan
perempuan, misalnya: truk hanya untuk laki-laki, dan perawat hanya cocok
diperankan oleh perempuan (Copple & Bredekamp, 2009; Santrock, 2007).
Perkembangan emosi anak pada usia 5-6 tahun menunjukkan bahwa mereka
telah mampu menginterpretasi, memahami atau mengenali emosi yang ditampakkan
18
oleh orang lain, serta mulai mampu mengembangkan rasa empati dan simpati
(McCartney & Phillips, 2006). Copple dan Bredekamp (2009) menyatakan bahwa
anak-anak pada usia ini juga mulai mengembangkan kemampuan kontrol dalam
dirinya saat menghadapi situasi-situasi yang kurang menyenangkan baginya (seperti
berusaha melakukan ataupun menyelesaikan suatu aktivitas meski ia kurang
menyukai aktivitas tersebut).
Perkembangan bahasa dan literasi anak usia 5-6 tahun ditandai dengan
munculnya kesadaran anak akan buku. Anak telah mengetahui bagian-bagian dari
buku yakni berupa kata-kata yang dapat dibaca dengan suara nyaring. Anak juga
mengetahui beberapa bentuk tulisan (seperti: surat ataupun buku cerita). Anak telah
memiliki kesadaran fonologis yakni mampu membedakan bunyi antara huruf atau
kata yang satu dengan huruf atau kata yang lainnya yang akan meningkatkan
kemampuannya dalam membaca. Kemampuan anak dalam berbahasa, pemahaman,
dan kemampuan merespon suatu bacaan pada usia ini membutuhkan banyak
dorongan atau stimulasi dari lingkungannya yang dapat dilakukan melalui kegiatan
membaca buku cerita bersama yang disertai dengan tanya-jawab untuk melatih
sejauhmana pemahaman anak terhadap materi bacaan. Pada usia ini anak juga sudah
mulai mampu untuk merangkai suatu tulisan dalam bentuk kalimat-kalimat singkat
meski bentuk tulisannya belum sempurna dan teratatur (Copple & Bredekamp, 2009).
Pada situasi kelas yang mendukung, tenang dan terstruktur, anak usia 5-6 tahun
mampu memusatkan perhatian selama 15 hingga 20 menit (Copple & Bredekamp,
2009) bahkan hingga 30 menit saat anak menonton televisi (Giavecchio dalam
19
Santrock, 2007). Selain itu, anak pada usia ini akan memiliki memori yang baik
terhadap informasi-informasi yang penuh makna atau menyenangkan baginya
(Santrock, 2007).
Berdasarkan tahapan perkembangan kognitif Piaget, anak-anak pada usia
tersebut berada pada masa praoperasional. Pada masa ini, anak belajar menggunakan
simbol-simbol, yakni melalui kata-kata, gambar, maket, miniatur, dan gestur yang
mewakili objek-objek ataupun kejadian-kejadian di dunia (McCartney & Phillips,
2006; Parke & Hetherington, 1999; Santrock, 2007).
Apabila anak berhasil melalui tugas perkembangannya maka ia akan bahagia
dan cenderung akan berhasil dalam melalui tugas perkembangan pada tahapantahapan berikutnya. Namun, jika anak mengalami kegagalan dalam melalui tugas
perkembangnnya, maka ia akan mengalami kesedihan, cenderung memperoleh
penolakan dari lingkungan sosialnya, serta
akan mengalami hambatan dalam
mencapai tugas perkembangan pada tahapan-tahapan periode selanjutnya. Berhasil
atau tidaknya individu dalam melalui tugas perkembangannya dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi tugas perkembangan
antara lain: normal atau tidaknya pertumbuhan dan perkembangan anak, kondisi
kesehatan anak, motivasi untuk berkembang, dan kelancaran dalam menguasai tugastugas perkembangan sebelumnya, sedangkan faktor eksternal terkait dengan pola
asuh orangtua, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat ataupun lingkungan
pergaulannya.
20
Mengembangkan karakter atau nilai-nilai moral dalam diri anak merupakan
salah satu tugas perkembangan yang terkait dengan aspek sosial dan emosi anak
(Santrock, 2007). Terbentuknya karakter dalam diri seseorang meliputi tiga bagian
yang saling berhubungan, yaitu: pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku
moral. Dalam proses pembentukan karakter yang baik, maka terlebih dahulu
seseorang harus mengetahui hal yang baik, dan kemudian menginginkan hal yang
baik, selanjutnya berusaha melakukan hal yang baik tersebut dalam kehidupannya
sehari-hari hingga menjadi karakter dalam dirinya (Lickona, 2012).
Lickona
(2012)
menggambarkan
pendekatan
yang
digunakan
untuk
menanamkan nilai-nilai sebagai bagian dari pembentukan karakter anak usia dini
yakni dengan terlebih dahulu memberikan konsep nilai-nilai tersebut sebagai
pengetahuan, hingga kemudian terbentuk sikap dalam pemikiran anak. Sikap tersebut
kemudian diwujudkan dalam bentuk perilaku melalui pembiasaan baik ketika di
rumah maupun di sekolah sehingga terbentuk karakter yang kuat dalam diri anak. Hal
ini sejalan dengan Taksonomi Bloom (dalam Woolfolk, 2004) yang menyatakan
bahwa pengetahuan merupakan tahapan pertama yang harus ditanamkan dalam diri
seseorang hingga kemudian terbentuk suatu pemahaman, aplikasi dalam bentuk
perilaku, kemampuan menganalisis, sintesis, dan evaluasi.
Pengetahuan merupakan hasil dari proses belajar maupun pengalaman yang
mampu memberikan informasi-informasi pada seseorang. Pengetahuan diperoleh
setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan
terjadi melalui panca indera (penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba).
21
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata (penglihatan) dan
telinga (pendengaran). Guru, orangtua, buku, ataupun media massa merupakan
beberapa sumber yang dapat memberikan informasi sebagai dasar terbentuknya
pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan yang dimiliki akan mampu meningkatkan perasaan yang kuat.
Pengetahuan mengenai suatu nilai akan membantu seseorang untuk dapat
membedakan benar atau salah atas suatu tindakan, dan mampu mengarahkan dirinya
dalam mengambil suatu tindakan dengan mempertimbangkan segala konsekuensinya,
serta melakukan evaluasi atas tindakan tersebut secara kritis. Pengetahuan juga
mampu membantu seseorang untuk memahami dunia dari sudut pandang orang lain,
dan mengetahui pentingnya untuk berperilaku baik dan benar bagi dirinya maupun
orang lain. Selanjutnya, pengetahuan maupun perasaan tersebut akan memotivasi
seseorang untuk melakukan tidakan sesuai dengan nilai-nilai yang ditanamkan dalam
dirinya hingga membentuk suatu karakter (Lickona, 2012).
Dalam rangka membentuk pengetahuan mengenai suatu karakter positif pada
anak, maka konsep mengenai karakter tersebut terlebih dahulu disampaikan dengan
memberikan informasi pada anak mengenai nilai-nilai postif yang mencerminkan
karakter (Bloom dalam Woolfolk, 2004). Informasi-informasi mengenai nilai-nilai
ketangguhan yang disampaikan pada anak akan membentuk suatu konsep yang dapat
diperoleh anak dari beberapa hal, antara lain: kegiatan eksplorasi sensori (sensory
exploration) yang melibatkan panca indra baik penglihatan maupun pendengaran
untuk
dapat
menangkap informasi
dari lingkungannya;
22
aktivitas
bertanya
(questioning) yang pada umumnya banyak dilakukan sejak anak berusia 3 tahun
karena pada usia itu anak telah memiliki rasa ingin tahu yang besar; media massa
(pictorial mass media) berupa televisi, film, buku cerita (komik) juga memiliki peran
yang besar dalam memberikan informasi pada anak; serta aktivitas membaca ataupun
mendengarkan cerita yang disertai dengan diskusi untuk memaknai nilai-nilai yang
terkandung dalam cerita tersebut. Agar informasi-informasi yang diperoleh dari
berbagai sumber tersebut dapat membentuk suatu konsep yang tepat pada anak usia
dini (5-6 tahun) maka informasi tersebut harus disampaikan melalui media yang
sifatnya konkrit dan terdapat peran orang dewasa untuk membantu dalam memahami
dan memaknai informasi yang telah diterima oleh anak, selain itu informasi juga
harus disampaikan dengan cara menyenangkan bagi anak sehingga dapat memotivasi
anak untuk bertindak positif sesuai dengan nilai-nilai (konsep) yang telah
disampaikan (Hurlock, 1978).
Proses yang terjadi dalam diri anak ketika memperoleh informasi-informasi
dari lingkungannya dapat dijelaskan melalui teori pemrosesan informasi. Atkinson
dan Shiffrin (dalam Slavin 2012) mengemukakan bahwa terdapat tiga komponen
yang berperan dalam pemrosesan informasi hingga terbentuknya pengetahuan, yaitu:
sensory register (registrasi pengindraan), working memory/ short-term memory
(memori jangka pendek), dan long-term memory (memori jangka panjang).
Sensory register (registrasi pengindraan) merupakan komponen pertama yang
ditemui oleh informasi yang masuk. Registrasi pengindraan berperan dalam menahan
sejumlah informasi yang diterima oleh sistem indra serta mencatat informasi atau
23
stimuli yang masuk melalui salah satu atau kombinasi dari beberapa panca indra dan
menyimpannya dalam waktu yang sangat singkat, yakni tidak lebih dari dua detik.
Bila informasi atau stimuli tersebut tidak diperhatikan maka akan mudah terlupakan,
namun bila diperhatikan maka informasi tersebut akan diteruskan ke sistem memori
jangka pendek. Memori jangka pendek juga memiliki keterbatasan dalam hal
mempertahankan informasi. Informasi yang masuk dapat hilang dalam kurun 15 – 30
detik. Namun, proses ini dapat dicegah dengan melakukan pengulangan terhadap
informasi-informasi yang telah diterima (rehearsal). Semakin cepat pengulangan
dilakukan, semakin banyak informasi yang dapat dikelola di dalam memori jangka
pendek. Pengulangan merupakan hal yang penting selama proses belajar karena
aktivitas pengulangan mampu mempertahankan informasi dalam waktu yang lebih
lama di memori jangka pendek, sehingga informasi tersebut akan memiliki
kemungkinan besar untuk dapat diteruskan ke memori jangka panjang. Memori
jangka panjang merupakan bagian dari sistem memori yang mampu menyimpan
banyak informasi dalam waktu yang lama. Tulving dan Craik (dalam Slavin, 2012)
menyatakan banyak ahli yang percaya bahwa informasi yang telah tersimpan di
dalam memori jangka panjang tidak akan terlupakan, kecuali individu yang
bersangkutan mengalami sesuatu yang menyebabkan ia kehilangan kemampuan
untuk memunculkan kembali informasi-informasi dalam ingatannya. Informasiinformasi yang telah diterima, diproses, dan tersimpan dalam memori itulah yang
kemudian membentuk suatu pengetahuan bagi individu yang menerimanya.
24
Pemberian konsep nilai-nilai karakter pada anak usia dini dapat dilakukan
melalui kegiatan olahraga, seni musik, seni tari, bermain, dan dongeng (Musfiroh,
2011). Dongeng sejak zaman dahulu hingga kini masih memiliki daya tarik yang
besar dan merupakan hal yang penting terutama di bidang pendidikan. Dongeng
merupakan suatu media yang menyenangkan dan dapat menginspirasi minat anak
dalam belajar untuk memperluas wawasan dan pengetahuannya (Eades, 2006).
Dongeng merupakan karya seni untuk menggambarkan suatu kejadian yang
nyata maupun fiksi melalui kata-kata, suara, serta penggambaran situasi cerita. Anne
Pellowski mendefinisikan dongeng sebagai seni dan keterampilan untuk menarasikan
suatu cerita dalam bentuk kalimat ataupun prosa, yang disusun atau dikarang oleh
seseorang sebelum disampaikan kepada para pendengarnya. Dongeng dapat
disampaikan dengan berbicara ataupun menyanyi, dengan atau tanpa disertai musik,
gambar atau yang lainnya. Dongeng dapat diperoleh langsung dari pembawa cerita
yang menyampaikannya secara oral, atau dari suatu buku cerita. Selain itu, dongeng
dapat pula diperoleh dari suatu rekaman yang dapat didengar serta dilihat oleh
pendengarnya (World of Storytelling, 15 dalam Tingöy, Güneser, Öngün, Demirag, &
Köroglu, 2007).
25
Dongeng selalu menjadi media yang disukai oleh para pendidik untuk
menanamkan nilai-nilai moral dalam rangka membentuk karakter anak. Dongeng
memiliki daya tarik tersendiri bagi anak-anak, karena dongeng lebih bersifat
mengajak dari pada menuntut dan mampu meyakinkan para pendengarnya, sehingga
dongeng menjadi suatu cara yang alami untuk mengikat dan mengembangkan sisi
emosi dalam proses pembentukan karakter anak (Lickona, 2012).
Melalui dongeng, sedikit demi sedikit anak akan membentuk ide-ide, imaginasi,
sikap, serta persepsinya atas informasi-informasi yang ia peroleh dari cerita-cerita
yang ia dengar (Eckhoff & Urbach, 2008; Lenox, 2000) serta memberi kesempatan
pada pendidik dalam mengembangkan nilai-nilai etika, sosial, budaya, agama, etos
kerja, dan berbagai konsep moral lainnya agar menjadi sikap yang dapat diwujudkan
dalam perilaku hingga terbentuk karakter dalam diri anak (Bryan, 2005; Nelson &
Arthur, 2003; Sanchez & Stewart, 2006; Wiyatmi, 2011). Melalui dongeng seseorang
dapat memahami diri sendiri dan orang lain (Lenox, 2000) serta mampu
mempertimbangan dampak atas setiap perilakunya (Lempke, 2005).
Dongeng yang disertai diskusi ataupun dialog untuk memperdalam isi cerita
sebagai proses refleksi mengenai nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan
salah satu metode yang efektif dalam proses pendidikan karakter (Carauthers, 2006;
Edgington, 2002; Singer, 2010). Diskusi yang dilakukan mampu mengajak para
pendengar untuk memaknai dan menangkap pesan-pesan moral yang terkandung
dalam dongeng (Lickona, 2012).
Komponen dalam dongeng menurut Knapp (2000), antara lain:
26
1. Setting (where & when)
yaitu kapan dan dimana cerita tersebut digambarkan. Terkait dengan cuaca dan
bunyi-bunyi yang dapat menggambarkan suasana dari cerita yang disajikan.
2. Characters (who)
yakni siapa dan tokoh apa yang hendak digambarkan dalam cerita tersebut. Terkait
dengan tokoh utama, tokoh pendukung, bagaimana mereka berbicara, gerak
tubuhnya, serta perilaku masing-masing tokoh.
3. Commplication (what/ partly why)
Menggambarkan apa yang terjadi dalam isi cerita tersebut, kapan, dimana, dan
mengapa hal tersebut terjadi.
4. Process of responding/ resolving (more what)
Mendeskripsikan respon para tokoh atas segala hal yang terjadi pada cerita
tersebut.
5. Resolution (how)
Menggambarkan karakter tokoh-tokoh pada cerita tersebut dalam menyelesaikan
masalahnya.
6. Closure
Melakukan follow up dengan mengajak para pendengar untuk merefleksi pesanpesan ataupun nilai-nilai moral yang terkandung pada cerita tersebut.
Langkah-langkah metode dongeng yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan adaptasi dari modul metode dongeng yang disusun oleh Ahyani (2010)
27
untuk meningkatkan perkembangan kecerdasan moral anak usia prasekolah. Metode
dongeng tersebut terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:
1. Kegiatan awal (Pendahuluan)
Pada sesi ini, anak-anak diminta untuk duduk tenang dan diajak untuk
mendengarkan dongeng yang akan disampaikan.
2. Kegiatan inti.
Menyampaikan isi dongeng yang didalamnya terkandung nilai-nilai karakter pada
anak-anak.
3. Evaluasi.
Pada sesi ini, anak-anak diberi beberapa pertanyaan untuk melakukan pengulangan
dan mengetahui sejauh mana pemahaman mereka mengenai isi dongeng yang telah
disampaikan.
4. Kegiatan penutup.
Pada sesi ini, anak-anak diajak untuk menyimpulkan nilai-nilai karakter yang
terkandung dalam dongeng tersebut.
Menurut Alterio & McDrury (2002), tahapan proses belajar melalui dongeng,
yaitu: 1) Menyampaikan suatu konsep yang belum diketahui oleh pendengar; 2)
Berusaha menyampaikan konsep atau ide-ide dari cerita tersebut kepada pendengar;
3) Masing-masing peserta memiliki makna atas konsep yang disampaikan, hingga
kemudian; 4) Membentuk sikap; dan 5) Merubah perilaku melalui proses belajar.
28
Dongeng yang didengar oleh anak mampu berperan sebagai sumber informasi
yang dapat menambah ataupun memperluas pengetahuan anak. Dalam penelitian ini,
proses terbentuknya pengetahuan melalui dongeng yang disampaikan oleh guru pada
anak usia dini (5-6 tahun) dapat dilihat melalui teori pemrosesan informasi yang
dikemukakan oleh Atkinson dan Shiffrin (dalam Slavin, 2012). Pada proses tahap
pertama, dongeng yang disampaikan oleh guru akan diterima oleh indera
pendengaran (sensory register) anak. Guru berusaha menarik perhatian anak dengan
menunjukkan gambar sebagai pembuka dongeng lalu memunculkan rasa ingin tahu
anak mengenai isi dan akhir cerita dari dongeng tersebut. Tahap yang kedua, setelah
selesai menyampaikan dongeng, maka guru melalukan pengulangan terhadap
informasi-informasi yang telah diterima anak melalui indera pendengarannya.
Pengulangan tersebut dilakukan guru dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan
pada anak mengenai isi dongeng beserta nilai-nilai yang terkandung dalam dongeng
tersebut (working memory/ short-term memory). Setelah itu, maka informasi tersebut
akan diteruskan ke dalam long-term memory dan kemudian disimpan dalam ingatan
anak sebagai pengetahuan mengenai nilai-nilai suatu karakter.
Dongeng yang digunakan dalam penelitian ini merupakan dongeng bertema
“Aku Anak Hebat” yang terdiri dari sepuluh judul dongeng. Setiap dongeng memuat
nilai-nilai yang mencerminkan karakter tangguh (komitmen, kontrol, dan tantangan).
Tokoh-tokoh dalam dongeng digambarkan sebagai anak-anak yang memiliki karakter
tangguh (ketangguhan) dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari, sehingga dinilai
sebagai anak yang hebat, yakni anak yang mampu berperan serta aktif pada setiap
29
aktivitas yang sedang dilakukan, bersedia menyelesaikan setiap aktivitas yang telah
dilakukan, memiliki inisiatif dan alternatif dalam mengatasi kesulitan maupun
hambatan yang sedang dialami, pantang menyerah saat menghadapi kegagalan dalam
mencapai tujuan, bersikap positif terhadap perubahan yang terjadi dalam hidupnya,
dan bersedia untuk mencoba hal-hal baru dalam hidupnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran Metode Dongeng
“Aku Anak Hebat” dalam meningkatkan pengetahuan anak usia dini mengenai
karakter tangguh. Hipotesis yang diajukan yaitu terdapat perbedaan tingkat pengetahuan
mengenai karakter tangguh antara anak-anak yang memperoleh Metode Dongeng “Aku Anak
Hebat” dengan anak-anak yang tidak memperoleh Metode dongeng “Aku Anak Hebat.”
Anak-anak yang memperoleh Metode Dongeng “Aku Anak Hebat” memiliki tingkat
pengetahuan mengenai karakter tangguh yang lebih tinggi dari pada anak-anak yang tidak
memperoleh Metode Dongeng “Aku Anak Hebat”, dan terdapat peningkatan pengetahuan
mengenai karakter tangguh pada anak-anak setelah mereka memperoleh Metode Dongeng
“Aku Anak Hebat.”
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun praktis. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya
wawasan keilmuan psikologi, khususnya psikologi pendidikan dalam usaha
mengembangkan pendidikan karakter melalui metode dongeng. Manfaat praktis dari
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi para pendidik (guru)
taman kanak-kanak (TK) dalam menerapkan pendidikan karakter di sekolah,
khususnya melalui metode dongeng untuk meningkatkan pengetahuan anak usia dini
30
Download