BAB I PENDAHULUAN A. Judul Dinamika Pergeseran Orientasi Masyarakat Sipil dari Sosial Religius Mengarah ke Gerakan Politik B. Alasan Pemilihan Judul 1. Aktualitas Tahun 2014 merupakan tahun politik di Indonesia, bermula dari pesta demokrasi yang digelar untuk pemilihan umum legislatif hingga dengan pemilihan presiden. Akan tetapi, mengingat berjalannya pemilu legislatif lalu, tersimpan banyak peristiwa yang cukup menarik. Keadaan politik di Indonesia kini kurang berjalan secara sehat, meskipun permainan politik adalah cara untuk mendapatkan sebuah kekuasaan. Politik identik dengan strategi pemenangan di dalam sebuah kompetisi untuk merebutkan sebuah kursi jabatan. Banyak orang yang berupaya untuk memenangkan pemilu demi mendapatkan sebuah kekuasaan. Padahal, pemilu adalah pesta demokrasi yang digunakan sebagai pemilihan calon wakil rakyat yang nantinya dapat menjadi penyalur aspirasi masyarakat, wadah untuk mendengarkan keluhan yang dirasakan rakyat, hingga bagaimana seharusnya kebijakan yang diputuskan, bukan hanya sekedar pemenangan dalam sebuah kompetisi semata. 1 Kondisi politik tersebut tentunya menjadi sebuah tantangan bagi masyarakat dalam memilih para calon legislatif yang nantinya akan menjadi penyambung lidah rakyat. Segala upaya dilakukan oleh berbagai calon legislatif untuk merauk suara sebanyak-banyaknya, hingga jatuh pada pilihan untuk melakukan money politic dan bentuk klientalisme. Melihat situasi politik di masyarakat yang semakin tidak terkontrol, tentu peran para masyarakat sipil sangat penting untuk dapat ikut serta dalam mengawal pemilu tersebut. Akan tetapi, banyak strategi yang dilakukan oleh para calon legislatif untuk mendapatkan suara. Salah satu cara yaitu menggunakan organisasi masyarakat sipil sebagai jembatan antara calon anggota legislatif dan masyarakat agar dapat mengorganisir anggota untuk memilihnya. Hal ini memunculkan bentuk pergeseran orientasi dari masyarakat sipil yang memiliki latar belakang non politik melakukan kegiatan yang mengarah pada gerakan politik. Pergeseran orientasi ini juga terjadi pada komunitas RING’S (Remaja Islam Ngetos Sriwedari) yang merupakan komunitas pemuda kampung. Mereka bergerak di bidang sosial dan religius untuk berupaya memajukan kampungnya. Akan tetapi, pada pemilu 2014 RING’S telah menjadi mesin politik dari salah satu calon legislatif DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) tingkat I daerah pemilihan Jawa Tengah 6 dari Partai Amanat Nasional (PAN) yaitu Anang Imamuddin. Upaya yang dilakukan Anang Imamuddin merupakan bentuk strategi dari pemenangan pemilu. Hal ini menjadi menarik ketika RING’S selaku organisasi pemuda kampung menjadi motor penggerak politik, sedangkan RING’S yang sudah berdiri selama 14 tahun, sehingga dapat dikatakan bukan usia 2 muda bagi sebuah organisasi. Pada akhirnya RING’S tetap tidak dapat mempertahankan kenetralannya. Oleh karena itu, cara pendekatan politik yang dilakukan pada organisasi masyarakat sipil ini mengakibatkan timbulnya sebuah pergeseran orientasi di dalam tubuh RING’S untuk terjun langsung dalam pemilihan umum. 2. Orisinalitas Merujuk pada orisinalitas penelitian, suatu penelitian harus merupakan hasil karya asli dari peneliti dan bukan hasil dari jiplakan (plagiasi) terhadap hasil penelitian peneliti lain. Penelitian yang mengulas mengenai peran masyarakat sipil diantaranya adalah penelitian dari Doni Irza, Universitas Gadjah Mada tentang “Peran Partai Politik Dalam Peningkatan Demokratisasi Masyarakat Sipil dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Politik”. Penelitian tersebut lebih berfokus pada hubungan antara partai politik terhadap demokratisasi dan hubungan partai politik dengan ketahanan politik. Peranan partai politik dalam penguatan partisipasi masyarakat dan dalam kaitannya dengan ketahanan politik. Contoh penelitian lain adalah milik Mulyana Yahya, Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Politik, Universitas Gadjah Mada yang berjudul “Elite, Masyarakat Sipil, dan Politik Lokal : Studi Tentang Gerakan Sosial Pembentuk Provinsi Banten”. Dalam penelitian tersebut, fokus penelitian lebih kepada pergeseran elite tradisional modern terjadi dan kekuatan masyarakat sipil lahir dan bekerja menjadi suatu kekuatan penting dalam gerakan sosial pembentukan Provinsi Banten. Kemudian juga, penelitian yang dilakukan oleh Saptoyo yaitu “Partisipasi Organisasi Civil Society dalam Pembangunan Desa : Studi Tentang 3 Partisipasi Organisasi Civil Society Di Desa Dalam Mengembangkan Good Governane”. Di antara ketiga penelitian yang telah disebutkan di atas, penelitian ini memiliki fokus objek yang berbeda dan belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya. Penelitian ini meletakkan titik fokus pada proses terjadinya pergeseran orientasi masyarakat sipil yang bergerak di kegiatan sosial, religius dan akhirnya membentuk suatu gerakan politik. Setelah melalui proses studi pustaka serta melakukan pemeriksaan hasil-hasil penelitian dengan tema, obyek, dan judul tersebut, tidak ditemukan hasil penelitian serupa yang pernah dilakukan pada Remaja Islam Ngetos Sriwedari (RING’S) dalam upaya melakukan pergerakan politik. Maka dapat disimpulkan bahwa belum pernah ada yang melakukan penelitian serupa dengan tema tersebut, sehingga penelitian ini menjadi hal yang baru, orisinil, dan sangat menarik untuk diteliti lebih dalam. 3. Relevansi dengan Ilmu PSdK Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan mempelajari mengenai upaya masyarakat untuk dapat mencapai sebuah kesejahteraan. Kesejahteraan suatu masyarakat merupakan cita-cita utama bagi negara. Pada proses untuk mencapai kesejahteraan terkait dengan interaksi antara tiga unsur yaitu masyarakat sipil (civil society), masyarakat politik (political society), dan masyarakat ekonomi (ekonomic society). Civil society merupakan gerakan dan organisasi sosial yang bermula dari tingkat sipil, dan biasanya masyarakat kelas bawah yang mengekspresikan diri dalam kepentingan-kepentingan yang bersifat sosial. 4 Kemudian kajian pembangunan sosial dan kesejahteraan banyak mempelajari akan kelainan dalam masyarakat. Perkembangannya yang secara ringkas dicangkup dalam kelainan-kelainan struktur dan fungsi-fungsi lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada. Pada penelitian ini juga nantinya akan membahas mengenai peran sebuah organisasi masyarakat sipil yang berorientasi pada kegiatan sosial dan religius untuk mencapai tujuan bersama, namun bergeser mengarah pada gerakan politik. Dapat dikatakan bahwa dari penelitian tersebut relevan dengan pembangunan sosial dan kesjehateraan, sebab mempelajari tentang promblematika pembangunan masyarakat melalui organisasi masyarakat sipil. Selain itu juga kegiatan yang dilakukan oleh RING’S memiliki unsur-unsur dalam upaya memberdayakan masyarakat, sehingga hal ini terkait dengan Community Empowerment. C. Latar Belakang Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia selalu digelar dalam kurun waktu lima tahun sekali. Mengingat pada tahun 2014 lalu merupakan tahun dimana pesta demokrasi tersebut dilaksanakan kembali. Pemilu pada tahun ini dilakukan mulai dari pemilihan anggota legislatif tingkat kabupaten, provinsi hingga nasional. Selain itu, pemilihan umum juga dilaksanakan untuk melakukan pemilihan calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Setelah pemilihan umum legislatif disusul dengan persiapan pemilihan umum presiden. Fenomena pemilihan umum ini tentunya menjadi sebuah peristiwa yang sangat penting dilakukan, sebab nantinya akan menentukan nasib rakyat dalam lima tahun kedepan. 5 Pada pemilihan umum para calon legislatif menawarkan janji dan program di masa kampanye kepada konstituennya, sedangkan kampanye sendiri dilakukan selama waktu yang telah ditentukan di hari menjelang pemungutan suara. Dalam sejarah pemilu di Indonesia yang pertama dilakukan pada tahun 1955 yang diadakan sebanyak dua kali yaitu tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 15 Desember 1955 untuk memilih anggota konstituante. Kini pemilihan umum menjadi sebuah sejarah di Indonesia ketika setiap periode rakyat Indonesia diberikan hak pilihnya untuk menentukan wakil rakyat mulai dari Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten dan Kota hingga Nasional. Khususnya pada tahun 2014 lalu seluruh rakyat Indonesia kembali melakukan pesta demokrasi terbesar untuk menentukan wakil rakyat dari legislatif dan eksekutif melalui 12 partai politik. Merujuk pada data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) bahwa terdapat 6.608 bakal caleg dalam Daftar Calon Tetap (DCT) untuk pemilu 2014. Jumlah bakal caleg yang ditetapkan tersebut lebih sedikit dari yang diusulkan oleh partai politik yaitu 6.641 bakal caleg. Dari jumlah 6.608 orang tersebut akan memperebutkan 560 kursi DPR RI di 77 daerah pemilihan di seluruh Indonesia. Belum juga jumlah caleg yang bertarung untuk mendapatkan kursi di daerah (Rizky : 2013). Dalam beberapa waktu terakhir ini, ketika Indonesia telah dibukakan secara luas mengenai pemilihan secara langsung, tentunya menjadi kesempatan bagi masyarakat sipil untuk memegang peranan penting di dalamnya. Terlebih ketika kini masyarakat sipil mulai mendominasi panggung perdebatan ilmu politik, ekonomi dan sosial baik dalam skala lokal maupunn global. Kemudian berbicara 6 juga mengenai peran pembangunan yang berada di pundak rakyat. Kini rakyat dipahami tidak lagi sebagai objek pasif, melainkan subjek aktif yang tidak hanya harus dilibatkan dalam proses pembangunan namun juga sebagai pemilik dari proses pembangunan itu sendiri. Meskipun demikian, melihat dari kondisi tahun 2014 yang dapat dikatakan sebagai tahun politik, tentunya peran masyarakat sipil sangat besar di dalamnya. Terlebih ketika para penguasa yang memanipulasi rakyat dan aktivis prodemokrasi juga menggunakan masyarakat sipil sebagai dasar tindakannya. Larry Diamond (1994) mengatakan bahwa masyarakat sipil atau civil society memberikan kontribusi yang cukup besar bagi tumbuhnya demokrasi. Pertama, civil society menyediakan wahana sumber daya politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk menjaga dan mengawasi keseimbangan negara. Asosiasi independen dan media yang bebas memberikan dasar bagi pembatasan kekuasaan negara melalui kontrol publik. Kedua, beragam dan pluralnya dalam masyarakat sipil dengan berbagai kepentingannya bila diorganisasi dan dikelola dengan baik, maka hal ini dapat menjadi dasar yang penting bagi persaingan yang demokratis. Ketiga, akan memperkaya peranan partai-partai politik dalam hal partisipasi politik, meningkatkan efektivitas politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan (citizenship). Keempat, ikut menjaga stabilitas negara. Dalam arti bahwa civil society karena kemandiriannya terhadap negara, mampu menjaga independensinya yang berarti secara diam-diam mengurangi peran negara. Kelima, sebagai wadah bagi seleksi dan lahirnya para pemimpin politik yang baru. Keenam, menghalangi dominasi rezim otoriter. 7 Sejak mulai dibentuknya peraturan dalam pemilihan secara langsung tentu menjadi pintu gerbang bagi para calon penguasa dan partai politik untuk menjalin kerja sama dengan para organisasi masyarakat sipil. Terlebih ketika pemilihan umum legislatif banyak praktek strategi pemenangan calon membentuk relasi dengan berbagai organisasi masyarakat sipil yang nantinya dapat membantu meningkatkan pendapatan suara. Secara khusus, melihat perkembangan civil society pada masa Orde Baru terdapat tiga kategori civil society menurut Edward Aspinall (2004), yaitu : pertama, organisasi yang dibentuk sebagai bagian dari kelompok fungsional pada masa awal pemerintahan Orde Baru seperti HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia). Model kelompok civil society yang seperti ini memiliki loyalitas yang tinggi terhadap pemerintahan Orde Baru, bahkan menjadi bagian kekuatan Golongan Karya. Kedua, organisasi yang semi korporatis terhadap negara, dimana kelompok ini memiliki indepensi dalam ide dapat bertahan hidup serta memiliki suara dalam lembaga legislatif atau eksekutif. Kelompok seperti Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah merupakan kategori yang masuk di dalamnya, karena mereka sadar memiliki kekuatan jaringan serta dukungan yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan politik penguasa. Ketiga, kelompok civil society yang berkembang menjadi kelompok oposisi. Kelompok ini memiliki keotonoman yang kuat terhadap kekuasaan negara bahkan cenderung mengkritik berbagai kebijakan dan tindakan dari negara. Dalam kehidupan bermasyarakat tentunya tidak akan terlepas dari unsur kegiatan politik. Pada umumnya politik merupakan usaha untuk menentukan 8 peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis. Usaha menggapai the good life ini menyangkut bermacam-macam kegiatan ynag antara lain menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem, serta cara melaksanakan tujuan itu. Dewasa ini politik lebih menekankan pada upaya (means) untuk mencapai masyarakat yang baik, seperti kekuasaan, pembuatan keputusan, kebijakan, alokasi nilai dan sebagainya. Politik juga dapat dikatakan perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kepentingan (Budiardjo, 2008:16). Pada sebuah organisasi tentunya kegiatan politik tidak akan terlepas dari berbagai bentuk tindakan yang dilakukan. Akan tetapi, ketika organisasi dihadapkan juga pada upaya untuk mencapai suatu kepentingan dan kekuasaan akan membentuk sebuah gerakan politik. Gerakan politik yang dimaksudkan adalah bentuk sekelompok orang untuk melakukan aktivitas politik dalam mencapai tujuan politik. Salah satu bentuk gerakan politik yang dilakukan adalah dengan melakukan partisipasi politik di ajang pemilihan umum. Dari paparan yang disampaikan oleh Edward Aspinall membuktikan bahwa kelompok masyarakat sipil dapat mengalami perkembangan di masa Orde Baru. Perkembangan civil society seperti itu, tidak hanya terjadi pada organisasiorganisasi masyarakat yang terstruktur dengan baik dan telah memiliki nama besar. Bentuk pergeseran tersebut juga cukup mencerminkan peristiwa yang terjadi di salah satu organisasi masyarakat sipil tingkat dusun bernama RING’S (Remaja Islam Ngetos Sriwedari) yang pada akhirnya menjadi penggerak politik dari strategi pemenangan salah satu calon legislatif. Meskipun komunitas ini 9 hanyalah organisasi pemuda kampung, tetapi pergerakan mereka cukup besar dalam upaya membentuk gerakan politik sebagai barisan elite pendukung salah satu calon legislatif bernama Anang Imamuddin. RING’S sudah berdiri sejak tanggal 10 Agustus 2000 dengan memiliki background social dan religius kini telah gagal untuk menjaga kenetralannya ketika masuk kejajaran penggerak kegiatan politik. Pada awalnya RING’S terbentuk karena adanya kegelisahan kondisi para pemuda kampung yang tidak memiliki kegiatan yang positif. Kemudian di sisi lain juga adanya basic Nahdatul Ulama (NU) yang dianut oleh warga sangatlah kental, sehingga menjadi benteng pembatas antara warga yang menganut NU dan minoritas Muhammadiyah. RING’S terbentuk berkat kerja sama yang dibina dari KKN (Kuliah Kerja Nyata) UIN (Universitas Islam Negeri) Yogyakarta hingga akhirnya membuahkan perkumpulan pemuda yang dapat terbina sampai sekarang. Jumlah anggota RING’S sejak tahun 2000 kurang lebih sebanyak 142 orang yang terdiri dari pemuda kampung Ngetos Wetan. RING’S yang terbentuk dari adanya kedua paham berbeda antara NU dan Muhammadiyah memiliki tekad untuk dapat menyatukan pemuda dalam satu wadah. Maka dari itu, nama RING’S yang berarti Remaja Islam Ngetos Sriwedari terbentuk dari keinginan para pemuda untuk bersatu dengan menghilangkan kedua paham tersebut menjadi kegiatan keislaman yang utuh. Latar belakang terbentuknya RING’S adalah untuk menyatukan pemuda demi memajukan Dusun Ngetos Wetan. Adapun kinerja yang dilakukan oleh RING’S mulai dari awal terbentuk adalah kegiatan-kegiatan rutin kampung seperti arisan pemuda, 10 pengajian, buka bersama, takbir keliling, selapanan untuk forum diskusi, piket bersih masjid, acara-acara perayaan hari besar Nasional dan keagamaan, sinoman, olah raga, serta kerja bakti. Untuk kegiatan besar yang dilaksanakan seperti pengajian akbar dengan mengundang kyai ternama, studi ke organisasi lain, dan pengelolaan usaha bersama yang nantinya dialokasikan untuk membantu warga yang kurang mampu. Kemudian kegiatan rutin tiap tahun dilaksanakan setiap Bulan Ramadhan. RING’S membuat acara buka bersama setiap malam minggu, pembagian takjil gratis, pengajian rutin, tarawih keliling untuk pemuda serta takbir keliling. Hal tersebut dilakukan untuk menyatukan pemuda kampung guna melestarikan budaya dan nilai lokal yang mereka miliki. Selain kegiatan rutin mingguan maupun tahunan, ada kegiatan yang dapat dilakukan secara tidak terencana diwaktu tertentu seperti sinoman. Sinoman ini merupakan kegiatan sosial dalam kehidupan di pedesaan sebab menanamkan gotong royong ketika salah satu anggota masyarakat membutuhkan bantuan. Kegiatan sinoman harus bertujuan untuk membantu sesama dan demi kepentingan bersama. Oleh karena itu, kegiatan sinoman dalam perkumpulan RING’S sangat dijunjung tinggi oleh para pemudanya, bahkan mereka memiliki seragam khusus batik di setiap acara sinoman resmi untuk menjadi peladen. Selain itu, kegiatan-kegiatan besar yang berhasil di lakukan oleh RING’S adalah pengajian akbar. Pengajian akbar yang pernah di lakukan adalah pengajian dengan pendakwah Emha Ainun Nadjib. Kemudian pengajian akbar dengan pendakwah Tjatur Sapto Edy ketua fraksi PAN DPR RI, pengajian dengan 11 mengundang Muhammad Syihab Imam Muttaqin salah satu kontestan DACIL (Dakwah Cilik), dan kyai-kyai lokal lainnya. Selain acara pengajian, mereka juga telah berhasil menjadikan Dusun Ngetos sebagai “Dusun Percontohan” yang diberikan oleh BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Fakultas Pertanian UPN (Universitas Pembangunan Nasional) dan telah menjalin kerjasama untuk saling bertukar informasi mengenai organisasi kampus dan organisasi kampung dengan pertukaran kunjungan pada tahun 2009. Perjalanan dari komunitas RING’S ini mengalami perkembangan yang cukup baik dalam memperluas relasi yang awalnya hanya organisasi kampung. Adapun program kerja yang dilakukan ini merupakan bentuk dari gagasan ide yang tersalur dari pengurus maupun anggota RING’S. Melihat kondisi politik di tahun 2014, tentu menjadi hal yang menarik dengan adanya pergerakan RING’S dalam membentuk gerakan politik. Terlihat bahwa RING’S yang merupakan kelompok pemuda kampung dengan background sosial religius ternyata melakukan pergerakan baru untuk masuk ke ranah politik. Sedangkan kenetralan RING’S sudah terbentuk dari dua periode untuk tidak terlibat dan menjadi pendorong atau motor pemenangan dari salah satu partai politik. Gerakan massa yang diciptakan memperlihatkan bahwa sejarah RING’S berubah ketika mereka bermanuver untuk menjadi barisan elite pendukung salah satu calon legislatif Anang Imamuddin dari Partai Amanat Nasional (PAN). Hal ini menjadi menarik untuk dilihat mengenai proses pergeseran komunitas RING’S sebagai pelaku organisasi masyarakat sipil yang kemudian mampu melakukan bentuk gerakan politik sebagai pendukung sebuah kepentingan. 12 D. Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Mengapa Remaja Islam Ngetos Sriwedari (RING’S) mengalami dinamika pergeseran orientasi dari sosial religius mengarah ke gerakan politik? E. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Substansial Tujuan Substansial dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika pergeseran orientasi masyarakat sipil dari sosial religius ke arah gerakan politik pada komunitas Remaja Islam Ngetos Sriwedari (RING’S) yang telah terbina selama 14 tahun di Dusun Ngetos Wetan, Desa Sriwedari, Kecamatan Muntilan sebagai bentuk dari pergerakan organisasi masyarakat sipil. 2. Tujuan Operasional a. Memberikan tambahan referensi bagi civitas akademika, baik oleh peneliti umum maupun yang berasal dari Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan b. Dapat memberikan tambahan informasi maupun pemikiran yang dapat digunakan oleh peneliti selanjutnya terkait dengan isu Civil Society. c. Memberikan gambaran yang mendasar terkait perkembangan pergerakan masyarakat sipil melalui Community Based Organization bernama Remaja Islam Ngetos Sriwedari (RING’S) dalam mencapai 13 tujuan organisasi dibawah kepemimpinan seorang aktivis sekaligus aktor politik. F. Tinjauan Pustaka 1. Civil Society Perkembangan dan pembangunan masyarakat tidak akan dapat terlepas dari peran aktif masyarakat sipil (civil society). Dalam tradisi Eropa sampai abad ke-18 pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian Negara (the state), yakni suatu kelompok atau kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Barulah pada paruh kedua abad ke 18, terminologi ini mengalami pergeseran makna. Negara dan civil society kemudian dimengerti sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan sosial (social formation) dan perubahan-perubahan struktur politik Eropa sebagai akibat Pencerahan (enlightenment) dan modernisasi dalam menghadapi persoalan duniawi, yang keduanya turut mendorong tergusurnya rezim-rezim absolut (AS. Hikam : 1996). Istilah civil society dalam masyarakat pada umumnya menganggap bahwa istilah tersebut dikenal dengan masyarakat madani. Pemikiran civil society sebagai sebuah nilai dan peradaban dapat terwakili oleh pandangan Nurcolish Madjid dalam tulisan Ahmad Baso tentang Civil Society Versus Masyarakat Madani yang menyebutkan masyarakat sipil merupakan masyarakat madani diambil dari konsep masyarakat madinah yang berarti masyarakat berbudi luhur atau berakhlak mulia atau disebut juga masyarakat peradaban. Masyarakat berperadaban menurutnya 14 adalah masyarakat yang mengikuti teladan nabi yang egaliter, adil, partisipatif, terbuka dan demokratis. Civil society menurutnya lebih merupakan penerima manfaat (beneficiary) ketimbang sebagai kekuatan penghancur atau bahwa civil society lebih dianggap sebagai civility yang mengandung makna toleransi, kesediaan pribadi untuk menerima berbagai macam pandangan politik dan tingkah laku sosial. Kemudian konsep civil society juga sebagai asosiasi yang diprakarsai oleh pemikiran Alexis de Touqueville. Dalam konsep ini masyarakat sipil didefinisikan sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan : kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self supporting), keswadayaan, kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara, keterikatan dengan norma dan nilai hukum yang diikuti oleh warga masyarakat. Dari pengertian tersebut maka ia mewujudkan dalam berbagai organisasi atau asosiasi yang dibuat oleh masyarakat di luar pengaruh negara seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi sosial keagamaan, paguyuban dan kelompok kepentingan (interest group) adalah pengejawantahan kelembagaan civil society (AS.Hikam : 1996). Sedangkan ketika civil society sebagai gerakan sosial maka mereka lebih melakukan suatu bentuk perlawanan terhadap negara. Terlebih untuk civil society sebagai ruang publik maka mereka lebih memberikan wadah dan peluang dimana masyarakat dapat mengembangkan kepentingan mereka. Menurut Larry Diamond, pada lingkungan kehidupan sosial terorganisir yang terbuka, sukarela, timbul dengan sendirinya, setidaknya berswadaya secara parsial, otonom dari negara dan terikat oleh suatu tatanan legal atau seperangkat 15 nilai-nilai bersama. Masyarakat sipil berbeda dengan masyarakat secara umum dalam hal ia melibatkan warga yang bertindak secara kolektif dalam sebuah lingkup publik untuk mengekspresikan kepentingan-kepentingan, hasrat, preferensi dan ide-ide mereka untuk bertukar informasi, untuk mencapai sasaran kolektif, untuk mengajukan tuntuan pada negara dan untuk menekan para pejabat negara lebih akuntabel (Diamond dikutip oleh Eko, 2003). Dapat dikatakan bahwa civil society merupakan suatu pergerakan masyarakat di luar negara untuk mencapai tujuan bersama. Maka dari itu, peran khas dari civil society yaitu memiliki kepentingan untuk mencapai tujuan-tujuan publik. Kemudian ia juga berhubungan secara khas dengan negara disatu sisi tidak bergantung kepada negara tetapi disisi lain ia tetap membutuhkan kehadiran negara. Berdasarkan The Encyclopedia Of Democracy (Dwipayana dan Eko : 2003), ada beberapa karakter mendasar dari civil society yaitu otonom (mandiri) dari negara. Ini merupakan komponen terpenting ketika civil society menjadi jembatan antara warga dan negara merupakan area publik yang mampu mengelola aktifitas dan mengatur anggotanya secara mandiri, selain itu juga sebagai akses bagi masyarakat terhadap negara. Bentuk organisasi sosial bersifat inklusif bagi seluruh masyarakat dan terbuka terhadap pertimbangan publik. Sedangkan untuk lebih menjamin agar berbagai tujuan ataupun kepentingannnya terpenuhi civil society membentuk suatu organisasi masyarakat sipil. 16 a. Organisasi Masyarakat Sipil Jika ditelusuri lebih lanjut civil society memang memiliki tiga perspektif yaitu Hegelian, Gramscian dan Tocquevellian (AS. Hikam : 1996). Namun dengan menempatkan civil society sebagai penguatan organisasi penerapan budaya seperti penelitian yang akan dilakukan, maka civil society lebih dilihat pada prespektif demokrasi pada analisis tocquevellian yang menekankan pada organisasi independen seperti kelompok pengajian, takmir, atau organisasi masyarakat Islam seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU) dan kelompok swadaya masyarakat lainnya (Yusron : 2009). Perkumpulan yang dibentuk secara sukarela akan membangun sikap dan nilai demokratis sekaligus membentuk dan melestarikan civic culture yang akan mendukung terciptanya demokrasi. Organisasi masyarakat sipil adalah organisasi masyarakat yang didirikan secara sukarela berbeda dengan aparat-aparat pemerintah. Sifat dari masyarakat sipil bisa disebut sebagai organisasi masyarakat sipil dimana organisasi nonpemerintah, LSM, mempunyai peranan besar sebagai organisasi masyarakat sipil. Peranan utama CSO-CSO (Civil Society Organization/Organisasi Masyarakat Sipil) dalam isu pembangunan berkelanjutan adalah termasuk untuk membatasi kekuasaan dan melakukan kontrol demokratik terhadap pemerintah (Bano : 2000). Peran dari civil sociaty dalam kehidupan bermasyarakat dapat memudahkan untuk mencapai tujuan ketika dapat terorganisir dengan baik. Maka dari itulah kemudian muncul beberapa bentuk kelompok-kelompok masyarakat sipil. 17 Munculnya organisasi masyarakat sipil tersebut menjadi sebuah respon akan beberapa isu ataupun kondisi masyarakat yang memang memerlukan sebuah perubahan. Sehingga peran dari pergerakan sebuah organisasi masyarakat sipil sangat dibutuhkan demi mencapai sebuah tujuan perubahan yang lebih baik. Menurut Eko Sutoro dalam makalahnya yang berjudul Forum Warga, Partisipasi dan Demokrasi Lokal tahun 2004 mencoba membangi tipe organisasi masyarakat sipil sebagai berikut : Tabel 1.1 Tipe Organisasi Masyarakat Sipil No Basis dan bentuk forum Contoh Sifat dan pendekatan Orientasi 1 Satuan geografis Forum yang mewadahi berbagai pemangku kepentingan dalam wilayah tertentu seperti desa, kecamatan dan kabupaten Forum masyarakat Majalaya sejahtera, Forum warga bandung Kemitraan multistakholder, dialog partisipatif Membangun komunikasi dan trust pengembangan partisipasi warga pengelolaan kebijakan publik secara bersama 2 Forum lahir sebagai respons atau isu spesifik misalnya korupsi Forum peduli Aliansi terbuka konfrontatif sumatera barat, aliansi rakyat anti korupsi klaten Sebagai presure group untuk melakukan tekanan terhadap ketidakberesan pemerintah 3 Forum yang dilahirkan oleh kelompok khusus karena Forum guru, Advokasi forum petani tembakau klaten, Perjuangan nasib, kepentingan dan 18 4 kesamaan profesi paguyuban kepala desa dll Forum yang lahir karena kepedulian tehadap sektorsektor khusus dalam pembangunan atau pelaynan publik Forum pengembangan partisipasi masyarakat, forum kehutanan masyarakat aspirasinya kepada pemerintah. Sharing, learning, multistakholders dan advokasi Sebagai arena pembelajaran antara stakeholder dna policy reform secara berkelanjutan. Sumber :Skripsi Eka Persilian Yelum. Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM 2007 Berdasarkan pengelompokan tersebut tentunya memperjelas bahwa bentuk sebuah organisasi masyarakat sipil terbagi menjadi beberapa tipe. Meskipun selama ini organisasi masyarakat sipil yang dikenal sebagian banyak orang adalah berbentuk sebuah lembaga swadaya masyarakat yang secara konsisten memiliki arah dan tujuan jelas, terstruktur secara terlembaga untuk melaksanakan berbagai aktivitasnya dibidang tertentu sebagai wadah untuk mengimbagi peran negara. Namun, sebenarnya masih banyak terdapat beberapa bentuk organisasi masyarakat sipil yang lahir dari lingkungan masyarakat itu sendiri seperti kelompok swadaya masyarakat. Menurut Polak (1971) kelompok swadaya masyarakat merupakan wadah segenap antar hubungan sosial, terdiri atas banyak sekali kolektiva-kolektiva serta kelompok-kelompok dan tiap kelompok terdiri atas kelompok lebih kecil atau sub kelompok. Kelompok itu sendiri ada beberapa macam diantaranya kelompok yang tersrtuktur dan tidak terstruktur. Kelompok yang terstruktur ialah adanya struktur hierarki yang menunjukan kedudukan dan peranan masing-masing personil yang 19 ada dalam kelompok. Contohnya kelompok pemuda yang terorganisir, seperti karang taruna. Sedangkan kelompok tak terstruktur hanya berupa kumpulan orang dengan identitas yang sama seperti petani. Kelompok swadaya masyarakat dan forum warga merupakan suatu contoh kelompok terstruktur yang juga termasuk sebagai organisasi masyarakat sipil karena dibentuk oleh masyarakat itu sendiri (bukan oleh negara) karena dinamikanya sendiri mempunyai kemandirian terhadap negara. b. Community Based Organization Community Based Organization merupakan organisasi yang bersifat non profit, respresentatif dari komunitas, dan melakukan pelayanan terhadap komunitas itu sendiri disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Jadi community based organization adalah organisasi non profit yang berasal dari sebuah komunitas yang menyediakan pelayanan pendidikan, kesehatan, atau versi sosial lainnya yang disesuaikan dengan kebutuhan nyata masyarakat. Organisasi ini boleh di katakan sebagai organisasi dari, oleh, dan untuk komunitas. CBO tentu berbeda dengan NGO (Non Govermental Organization) (Kindness dan Gordon dikutip Muhammad : 2011) menyebutkan perbedaan melalui sifat-sifat keduanya. NGO dikenal banyak orang dengan hal-hal sebagai berikut : a. Organisasi formal yang secara resmi dikenal sebagai organisasi yang tidak dihubungkan dengan pemerintah (non-pemerintah) 20 b. Memiliki tujuan yang mementingkan masyarakat luas dan bukan komersial atau mementingkan profit c. Merekrut orang yang lebih mengutamakan nilai-nilai pengabdian dari pada motivasi finansial. Sedangkan CBO diasosiasikan dengan ciri yang sama, tetapi secara umum CBO lebih memfokuskan dirinya pada isu-isu yang sesuai dengan kebutuhan komunitasnya yang memang keanggotaanya adalah komunitas itu sendiri. CBO mungkin secara formal terstruktur degan baik akan tetapi mungkin juga hampir tidak terstruktur dengan baik, dan berbentuk organisasi informal. Stocker dan Barbor-Might (Muhammad : 2011) mendiskusikan bahwa CBO sebagai Civil Society Organization (CSO). CBO memiliki suatu kelebihan dibandingkan organisasi biasa lainnya, yaitu selain berbasis pada komunitas yang memiliki sentimen dan hubungan sosial kuat, juga memiliki modal sosial yang dapat digunakan untuk pembangunan organisasi tersebut. Modal sosial sendiri adalah paduan kepercayaan, norma, nilai dan jaringan kerja yang dapat dipergunakan masyarakat untuk mengatasi masalah bersama (David El Debertin dikutip Muhammad : 2011). Tidak hanya itu, keuntungan CBO dalam proses pemberdayaan juga karena CBO jelas-jelas paham dan komunitasnya juga merupakan pelaku kearifan lokal. Para pelaku dalam lingkaran CBO telah dapat membentuk suatu tindakan sebagai medium agen of change, terlebih dalam menyebarluaskan informasi dan meningkatkan kearifan lokal mengenai bentuk kegotong royongan, simpati dan bantuan keuangan bagi 21 anggota mereka sendiri ketika salah satu dari mereka mengalami ketidakberfungsian sosial dan hal tersebut dilakukan dalam aktivitas kebersamaan. 2. Modal Sosial Modal sosial merupakan sumber yang dapat dipandang sebagai intervensi untuk mendapatkan sumber daya yang baru. Ketika modal sosial dapat digunakan sebagai intervensi sumber daya baru juga meliputi untuk dapat menjadi modal berinteraksi dengan orang lain. Modal sosial terbungkus dalam sebuah potensi dan pola interaksi dalam sebuah kelompok dengan kelompok yang lainnya yang fokus perhatiannya pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antara sesama yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok. (Hasbullah : 2006). Sedangkan Berdan memberikan pengertian modal sosial adalah serangkaian norma, jaringan, dan organisasi dimana masyarakat mendapat akses pada kekuasaan dan sumberdaya serta dimana pembuatan keputusan dan kebijakan dilakukan (Tim Penyusun IRE, 2004 : 110). Kemudian Putnam mendefinisikan modal sosial adalah : “Fetures of social organization such as network, norm, and social trust that facilitate coordination and cooperation for mutual benefit”. Dalam penjelasanan ini Putnam menekankan bahwa modal sosial merupakan pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki bersama komunitas, serta pola hubungan yang memungkinkan sekelompok individu melakukan suatu kegiatan produktif. Terminologi ini merujuk pada organisasi-organisasi, struktur dan hubungan-hubungan sosial yang dibangun sendiri oleh komunitas, terlepas dari intervensi pemerintah atau pihak lain. 22 Putnam menambahkan bahwa modal sosial hanya dapat dibangun ketika tiap individu belajar untuk mau mempercayai individu lain sehingga mereka mau membuat komitmen yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengembangkan bentuk-bentuk hubungan yang saling menguntungkan (Setiawan dikutip Gunawan, 2008 ). Putnam juga mendefinisikan modal sosial merupakan ciri-ciri kehidupan sosial-jaringan, norma, serta rasa percaya (trust) yang bisa membuat semua warga masyarakat tersebut bertindak lebih efektif guna mencapai tujuan tertentu. Asosiasi dalam masyarakat melibatkan hubungan tatap muka. Trust, norma pertukaran dan kapasitas untuk civic engagement dihasilkan melalui hubungan horizontal diantara individu masyarakat yang semuanya itu menjadi substansi dalam masyarakat yang demokratis. Selain itu, Putnam juga menjelaskan modal sosial sebagai : pertama, modal sosial diubah dari suatu yang didapat oleh individu kepada suatu yang dimiliki (atau tidak dimiliki) oleh individu lain. Kedua, modal sosial bisa dipertukarkan dengan masyarakat sipil atau modal sosial dihasilkan dari asosiasi sukarela, organisasi non pemerintah yang berdasarkan kepercayaan. Ketiga modal sosial menjadi sebuah hal yang secara normatif baik dan diberikan untuk mempromosikan pemerintah yang baik dan demokratis dan menghasilkan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi (Gunawan, 2008 : 8). Modal sosial merupakan kumpulan atau organisasi baik formal maupun informal. Kedua, jaringan sosial antar warga masyarakat, sosial dan norma-norma sosial, baik bersifat formal atau informal. Ketiga, partisipasi organisasi dalam mengontrol dan membentuk pengaturan ekonomi. Partisipasi organisasi dalam 23 mempengaruhi kebijakan publik. Keempat, kemampuan kelembagaan sosial dalam membentuk dan mengontrol pengaturan ekonomi. Kelima, kemampuan kelembagaan sosial dalam mengontrol kebijakan politik. Keenam, modal sosial merupakan suatu kejayaan yang dimiliki dengan cara memperjuangkan yang dimiliki secara kolektif meskipun dapat pula memberi mandat secara individual. Bentuk-bentuk modal sosial : a. Perkumpulan berbasis komunitas, profesi, usia, gender, dan hubungan kekerabatan. Contoh : kelompok tani, nelayan b. Kelembagaan forum warga. Contoh : rembug desa, selapanan desa c. Kelembagaan sosial yang mengatur penegakan hukum dan etika pergaulan. d. Kelembagaan sosial yang mengatur penyelenggaraan aktivitas publik contoh : syawalan, bersih desa, gotong royong. e. Kelembagaan sosial yang mengatur produksi. Contoh subak di Bali dan lumbung desa (Krisdyatmiko dikutip Hikmah : 2006). Bentuk modal sosial secara garis besar dapat terbagi menjadi tiga bagian yaitu nilai, institusi dan mekanisme yang saling berhubungan. Modal sosial berawal dari interaksi antar individu yang didalamnya mengandung trust, simpati dan kewajiban. Kemudian nilai dan norma yang ada dalam masyarakat itu bekerja melalui mekanisme saling kerjasama, dan gotong royong yang saling bersinergi antar individu dalam institusi masyarakat. Trust atau kepercayaan merupakan bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan sosial yang didasarkan pada perasaan yakni bahwa yang lain akan melakukan suatu seperti 24 yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung (Putnam : 1993). Tingkat pasrtisipasi masyarakat yang melalui tindakan kolektif untuk membangun kemajuan bersama dalam sebuah institusi sosial masyarakat akan semakin meningkat jika didasarkan kepercayaan pada tingkat yang tinggi. Trust memiliki pengaruh terhadap berkembangnya modal sosial berasal dari nilai yang bersumber pada kepercayaan agama yang dianut oleh masing-masing individu masyarakat. Pada masyarakat tradisional religius, agama dianggap sebagai syarat mutlak dalam berbagai aturan kehidupannya. Kekuatan dari agama tersebut menjadi sumber trust yang cukup kuat mengakar sebagai salah satu kekuatan modal sosial mereka. Selain dari agama, trust juga berasal dari norma yang berkaitan dengan kepatuhan anggota kelompok terhadap berbagai kewajiban bersama yang telah menjadi kesepakatan tidak tertulis pada kelompok tersebut. Dalam sebuah proses hubungan antar manusia, modal sosial ditopang oleh unsur sikap partisipatif dari warga masyarakat, sikap saling memperhatikan antar sesama, saling mempercayai yang semuanya terikat dalam sebuah norma dan nilai sosial yang mendukungnya. Unsur modal sosial tersebut saling mendukung satu sama lainnya yang bekerja dalam sebuah jaringan sosial masyarakat melalui sebuah mekanisme tersendiri (Hasbullah : 2006). Hubungan sosial elemen masyarakat dengan anggota kelompok yang lain dilakukan atas dasar prinsip sukarela (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom), dan keadaban (civility). Pada kelompok masyarakat tradisional pola hubungan sosial tersebut berdasarkan atas garis keturunan (lineage) pengalaman-pengalaman sosial turun 25 temurun (repeated social experience), dan kesamaan kepercayaan pada dimensi ketuhanan (religious beliefs). 3. Kepemimpinan Organisasi maupun kelompok masyarakat terbentuk karena latar belakang dari sebuah tujuan yang akan dicapai secara bersama. Kepemimpinan dalam organisasi merupakan ujung tombak dari keberhasilan suatu organisasi untuk menentukan laju pertumbuhan dalam mencapai tujuan bersama. Menurut Charles J. Keating (1986 : 9) kepemimpinan merupakan sebuah proses dengan berbagai cara mempengaruhi orang lain atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan Hadari Nawawi berpendapat dari sudut pandang organisasi dalam pengertian bahwa setiap organisasi pasti memerlukan seseorang dengan atau dibantu oleh orang lain. Untuk menempati posisi sebagai pemimpin. Pemimpin merupakan orang yang menjalankan tugas pemimpin, sedangkan kepemimpinan adalah tugasnya. Sehubungan dengan itu, dari segi organisasi kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan mendorong sejumlah orang agar bekerjasama dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang terarah pada tujuan bersama (Nawawi, 1993 : 9). Kemudian konsep kepemimpinan yang telah dirangkum oleh Sunarto merupakan berbagai pengertian kepemimpinan dan mendefinisikan ulang bahwa kepemimpinan merupakan serangkaian kegiatan penataan berupa kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain dalam situasi tertentu agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang dimaksud dengan orang 26 lain sebagian besar adalah bawahan. Senada dengan kutipan tersebut, Robbin dalam Muchlas (2008 : 318) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi sebuah kelompok menuju pencapaian tujuan kelompok. Pengertian kepemimpinan yang lebih rinci dirumuskan oleh Sedarmayanti (2010 : 120-121), a. Proses mempengaruhi atau memberi contoh dari pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. b. Seni mempengaruhi dan mengarahkan orang dengan cara kepatuhan, kepercayaan, kehormatan, dan kerjasama yang bersemangat dalam mencapai tujuan bersama. c. Kemampuan mempengaruhi, memberi inspirasi, dan mengarahkan tindakan seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan yang diharapkan. d. Melibatkan tiga hal yaitu pemimpin, pengikut, dan situasi tertentu e. Kemampuan mempengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan. Pengertian mengenai kepemimpinan sangat beragam, kepemimpinan sebagai seni selain diungkapkan oleh Sedarmayanti, juga disampaikan oleh kedua ahli yaitu John D. Pfiffner & Robert Presthus dalam Sutarto (2001:16) bahwa kepemimpinan sebagai seni mengkoordinasi dan untuk memotivasi individuindivdu serta kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan. 27 Kemudian Rauch dan Behling mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi aktivitas dalam mengorganisir kelompok untuk keberhasilan mencapai tujuan (Rauch dan Bechling dikutip Gary A. Yukl, 1989:3). Sedangkan Kartini Kartono menyimpulkan bahwa dalam kepemimpinan terdapat hubungan antara manusia, yaitu hubungan mempengaruhi (dari pemimpin) dan hubungan kepatuhan-ketaatan para pengikut atau bawahan karena dipengaruhi oleh kewibawaan pemimpin (Kartono, 1998 : 2). Maka kepemimpinan merupakan kegiatan yang menggerakan perasaan, pikiran dan kehendak manusia yang menjadi pengikutnya untuk mencapai sesuatu. Oleh sebab itu kepemimpinan adalah kunci keberhasilan dari pemimpin. Betram M Gross dalam Thoha (2010 : 6) menyebutkan bahwa pemimpin adalah seorang yang diharapkan melaksanakan beberapa jenis kekuasaan di dalam atau di atas suatu organisasi. Keberadaan pemimpin dapat diasumsikan sebagai sopir yang memegang peran untuk mengendalikan sebuah setir. Untuk dapat memahami karakteristik pemimpin dalam aktivitas kepemimpinannya, terdapat beberapa pendekatan yang dapat menjelaskan mengenai hal tersebut salah satunya adalah pendekatan watak. Pendekatan watak menjelaskan mengenai perilaku yang efektif dari seseorang pemimpin diatribusikan kepada kepribadian dasar si pemimpin, seperti watak kepribadian, agresivitas, antusiasme, kualitas pribadi seperti umur dan pengalaman, bukan situasi dan lingkungan yang dianggap penting, namun karakteristik pribadi yang dipertahankan lama dari pemimpin tersebut. Jika pendekatan perilaku lebih menjelaskan mengenai perilaku pemimpin dalam mempengaruhi bawahan adalah 28 yang lebih berpengaruh terhadap keefektifan kepemimpinannya. Pendekatan kontingensi atau situasional, menurut Hersey dan Blancahrd menyebutkan bahwa kepemimpinan situasional merupakan teori kontingensi yang fokus pada para pengikut atau bawahan. Kepempimpinan yang sukses bila dicapai melalui pemilihan gaya kepemimpinan yang benar, dalam pengertian disesuaikan dengan tingkat manuritas bawahan. Lebih lanjut tentang pendekatan kontingensi atau situasional, Hersley dan Blanchard menyebutkan bahwa kepemimpinan situasional merupakan teori kontingensi yang fokus pada para pengikut atau bawahannya (Muchlas, 2005:332). Kepemimpinan yang efektif berarti kepemimpinan yang dijalankan oleh seorang pemimpin yang dapat membawa orang-orang yang dipimpinnya mencapai tujuan yang telah disepakati bersama. Seorang pemimpin juga harus dapat menyesuaikan tipe kepemimpinannya dengan kondisi dan situasi masyarakat. Tanggung jawab dalam upaya untuk mencapai tujuan organisasi memang terletak pada seluruh anggota, namun juga yang paling bertanggung jawab adalah pemimpinnya. Pemimpin juga memiliki tugas dalam menentukan arah berjalannya suatu organisasi melalui kekuasaan yang dimilikinya. Fungsi dan kemampuan seorang pemimpin dalam aktivitas kepemimpinya adalah modal dasar untuk membawa organisasi pada tujuan yang diinginkan. Menurut Sondang Siagian (1994 : 47-48) fungsi kepemimpinan adalah sebgai berikut : a. Pemimpin selaku penentu arah yang akan ditempuh dalam usaha pencapaian tujuan 29 b. Pemimpin selaku komunikator yang efektif c. Pemimpin selaku integrator yang efektif, rasional, objektif, dan netral. Sedangkan peran pemimpin terdiri dari tiga aspek, yaitu aspek penunjuk jalan, aspek penggalangan dan aspek pemberdayaan : a. Penujuk jalan Esensi dari peran pemimpin sebagai penunjuk jalan adalah dimilikinya visi dan misi yang kuat. Penunjuk jalan berurusan dengan masa depan b. Penggalangan Menggalang, berarti bahwa seseorang pemimpin diharapkan melakukan pemastian bahwa struktur, sistem dan proses operasional organisasi mendukung tercapainya visi dan misi organisasi di dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan semua stakeholders. c. Pemberdaya Pemimpin harus memiliki sifat pemeberdaya. Manusia mempunyai talenta, kecerdasan, kecerdikan dan kreativitas. Pemimpin perlu membebaskan beberapa hal tersebut untuk mencapai visi, nilai-nilai dan misi bersama dalam melayani masyarkaat dan stakeholders (Covey dikutip Wirjana dan Supardon , 2005:31-32). Selain adanya fungsi dan peran pemimpin dalam upaya untuk mempengaruhi anggota kelompok adalah cara seseorang dalam memimpin. Cara seorang pemimpin biasanya disebut sebagai gaya kepemimpinan. Gaya 30 kepemimpinan yang digunakan seseorang akan berpengaruh kepada bawahannya sesuai dengan kondisi masyarakat yang dihadapi. Tentunya gaya kepemimpinan itu memiliki pengaruh besar dalam upaya mempengaruhi bawahan agar dapat tertarik dan akhirnya terpengaruh melalukan apa yang menjadi capaian dari seorang pemimpin. Gaya kepemimpinan pada dasarnya adalah cara atau teknik yang digunakan oleh seorang pemimpin dalam usaha mempengaruhi orang lain. Untuk dapat mempengaruhi orang-orang agar bersedia diarahkan sesuai tujuan organisasi maupun tujuan pribadinya, maka pemimpin secara berencana memilih cara atau teknik tertentu. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan seseorang dalam upaya mempengaruhi orang lain agar sesuai dengan tujuan yang diinginkannya. Gaya kepemimpinan otokratik yaitu sebuah gaya kepemimpinan yang didasarkan pada penggunaan kekuatan, kekuasaan, dan wewenang. Sedangkan gaya kepemimpinan demokratis lebih didasarkan pada partisipasi dari bawahan dalam mengambil keputusan. Perilaku mengarahkan (directive) pada prinsipnya memiliki tendensi seorang pemimpin tersebut lebih otoriter, sedangkan perilaku mendukung mencerminkan kecenderungan pemimpin yang lebih demokratis. Nawawi (1993 : 158-167) merumuskan gaya kepemimpinan sebagai berikut : a. Gaya kepemimpinan ahli (expert) Gaya kepemimpinan ahli didasarkan ada kepemilikan keahlian tertentu oleh seorang pemimpin sesuai dengan bidang yang menjadi tugas pokok atau pekerjaan utana di lingkungan organisasi. Gaya kepemimpinan ahli cenderung hampir sama 31 dengan kepemimpinan otoriter, ini terjadi karena pemimpinan merasa mampu atau ahli dalam aktivitasnya, sehingga mengabaikan masukan, saran, inisiatif, dan kreatifitas bawahan. Setiap keputusan selalu dinilai yang terbaik, dan apabila masukan terbatas hanya dari seseorang yang setara dengan keahliannya. b. Gaya kepemimpinan kharismatik Kepemimpinan kharismatik diartikan sebagai kemampuan mempengaruhi orang lain dengan mendayagunakan keistimewaan atau kelebihan dalam sifat atau aspek kepribadian pemimpin. Maka akan menimbulkan rasa hormat, rasa segan, dan kepatuhan yang tinggi dari pengikut. Pemimpin dapat diterima karena pengaruh kepribadian yang dapat menimbulkan kepercayaan pada kepemimpinannya, sehingga bawahan rela dan ikhlas pada semua keputusan, pengarahan, bimbingan, petunjuk, nasehat, perintah dan larangannya. c. Gaya kepemimpinan paternalistik Kepemimpinan paternalistik adalah gaya kepemimpinan dimana pemimpin dalam menjalankan perannya diwarnai dengan sikap melindungi, mengayomi, dan menolong anggota organisasi yang dipimpinnya. Pemimpin merupakan tempat bertanya dan menjadi tumpuan harapan bagi pengikutnya dalam menyelesaikan masalah. 4. Kelompok Kepentingan Kelompok kepentingan muncul sebagai alat untuk menyampaikan dan atau memperkuat metode penyampaian tuntutan anggota masyarakat terhadap 32 pemerintah yang berkuasa. David Truman mendefinisikan kelompok kepentingan adalah sebuah kelompok yang berdasar pada satu atau berbagai kepentingan dan merupakan gabungan dari individu atau kelompok atau organisasi lain di sebuah lingkungan (Hrebenar-Scott, 1982:3). Salah satu alasan terbentuknya kelompok kepentingan adalah sebagai group of patronage individual. Kelompok kepentingan sebagai group of patronage individual cenderung muncul pada lingkungan yang menganut sistem patronase dalam kehidupan sosial budaya ekonominya. Kelompok kepentingan ini muncul sebagai alat untuk melanggengkan kepentingan dari beberapa tokoh saja, yang kemudian menggunakan anggota dan kelompok kepentingan sebagai legitimasi untuk melakukan artikulasi terhadap kepentingannya. Hubungan patronase yang terjalin dalam sebuah kelompok kepentingan ini tentu saja digunakan para patron untuk mencapai kepentingan individu mereka, khususnya dalam hal politik berlandaskan pada hubungan pribadi antara pihak-pihak yang tidak setara antara pimpinan (patron) dan pengikutnya (client). Masing-masing pihak mempunyai sesuatu untuk ditawarkan, client menawarkan dukungan politik dan penghormatan kepada patron yang ditampilkan dalam berbagai bentuk simbolis (sikap kepatuhan, bahasa yang hormat, hadiah dan lain-lain), dan di sisi lain, patron menawarkan kebaikan, pekerjaan, dan perlindungan kepada clientnya ( Burke 2001:106). Konsepsi masyarakat yang menganut sistem patronase, loyalitas adalah hal yang mudah dihubungkan. Client memberikan loyalitas pada patron yang biasanya memiliki sumber daya, dan patron memberikan jaminan serta perlindungan terhadap clientya. Pada kondisi yang demikian maka bergabungnya 33 individu atau organisasi lain dalam sebuah kelompok kepentingan lebih bermaksud untuk menunjukan loyalitas si client terhadap patron yang menjadi tokoh atau elit dalam sebuah kelompok kepentingan, loyalitas menjadi hal yang sangat penting dibanding ideologi maupun prinsip politik seseorang (NoceMiskelly dikutip Suharmadhi Primi, 2012). Hal ini kemudian yang mengakibatkan timbulnya pergeseran suatu kelompok awalnya untuk kepentingan bersama menjadi kepentingan sekelompok kecil atau tokoh tertentu. Pembentukan kelompok kepentingan yang berdasarkan atas patronage individual ini biasanya terbentuk akibat keloyalan ataupun kepatuhan client yang serta merta ikut bergabung dalam kelompok yang dibentuk oleh patron. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ideologi pun tidak lagi menjadi hal yang utama, jaminan yang diberikan oleh patron yang menjadi hal yang utama, jaminan yang diberikan oleh patron yang menjadi pengikat bagi klien untuk tetap berada pada lingkungan kelompok kepentingan tersebut. Ketika kelompok kepentingan telah mendapat pengaruh patronase yang kuat, maka kemungkinan kelompok kepentingan tersebut berubah dari yang awalnya bersifat demokratis menjadi oligarkis dan elistis menjadi sangat besar. Perubahan ini kemudian dapat dilihat manakala : (1) adanya penguasaan oleh orang kuat dan elit oligarkis; (2) terdapat kesenjangan visi, misi, dan tujuan kelompok yang demokratis ternyata diaplikasikan dalam konteks politik yang tidak demokratis; (3) kelompok yang mengidealkan dan mengandalkan kepemimpinan yang kolektif kolegial tetapi dalam realitasnya, kelompok didominasi elite tertentu; (4) kelompok yang mengusung pluralitas dan inklisifitas 34 tetapi dalam kenyataannya didominasi kelompok tenrtentu saja; (5) kelompok dalam retorikanya sering dikatakan sebagai kelompok yang demokratis, tetapi dalam realitasnya tidak menyediakan ruang yang cukup memadai bagi terjadinya pergulatan kompetitif antar elit meperebutkan kekuasaan; (6) kelompok yang menyediakan seperangkat aturan main yang dipakai koridor mengatur agar sistem dan mekanisme partai berjalan demokratis, tetapi dalam kenyataannya aturan main yang berupa AD/ART dan aturan lainnya banyak diabaikan dan dilanggar atas kemauan dan kepentingan elit tertentu (7) kelompok yang didominasi elit tertentu yang tidak memberi kesempatan-bahkan menghambat terjadinya proses pergantian pemimpin secara kontinyu dan ajeg yang berlangsung damai (Jainuri , 2010 : 48-49). 5. Pergeseran Orientasi Masyarakat Sipil dari Aktivitas Sosial-Religius Mengarah ke Gerakan Politik Pergeseran orientasi pada masyarakat sipil mulai terjadi pada organisasiorganisasi masyarakat yang pada awalnya melakukan kegiatan sosial hingga pada akhirnya masuk ke ranah politik. Aktivitas sosial tersebut mencangkup bentuk kegiatan masyarakat yang ditujukan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi dalam memenuhi konsep manusia sebagai makhluk sosial untuk saling membantu di lingkungan sekitar. Kehidupan di masyarakat lokal masih banyak menyimpan nilai dan kearifan lokal yang selalu dilakukan secara konsisten. Terlebih pada masyarakat lokal yang menyimpan nilai religiusitas yang tinggi. Nilai budaya kemasyarakatan tersebut erat dengan sebuah kegiatan sosial dan religius yang dianut masyarakat selama ini. Religiusitas menurut Manunwijaya (1982:12) 35 mengandung makna yang berarti mengikat, bahwa dalam religi atau agama pada umumnya memiliki aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh pemeluknya dan semua itu berfungsi untuk mengikat seseorang atau kelompok orang dalam hubungan dengan Tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya. Pergerakan sebuah organisasi juga tidak akan terlepas dari kegiatan berpolitik. Menurut Rod Hangue (dikutip Budiardjo, 2008 : 16) politik adalah kegiatan yang mencangkup cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha yang mendamaikan perbedaan-perbadaan di antara anggota-anggotanya. Maka dapat dikatakan kegiatan politik dalam kehidupan bermasyarakat khususnya dalam berorganisasi tentu tidak dapat terlepaskan, meski organisasi itu juga bergerak di bidang non politik. Pergeseran yang terjadi pada organisasi masyarakat sipil dari non politik mengarah pada gerakan politik ditujukan akan adanya bentuk aktivitas politik untuk memperebutkan sebuah kekuasaan. Sedangkan kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan para pelaku. Hal ini dikatakan juga oleh Harold D Laswell dan Abraha Kaplan bahwa kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan dari pihak pertama (Budiardjo, 2008:60). Adanya bentuk keinginan mencapai sebuah kekuasaan yang diakibatkan oleh faktor kepentingan mengakibatkan munculnya pergeseran aktivitas politik. Pada awalnya dalam 36 sebuah organisasi non politik melakukan kegiatan politik untuk dapat berupaya mencapai kebaikan dan tujuan bersama. Aktivitas ini tentu berbeda dengan kegiatan yang dilakukan para partai politik sebab memang mereka bergerak di bidang politik. Akan tetapi orientasi tersebut bergeser ketika organisasi masyarakat sipil non politik berupaya untuk melakukan gerakan politik dalam merebut kekuasaan dari sebuah kepentingan oknum di dalamnya. Gerakan politik dapat terbentuk dari dorongan partisipasi politik. Secara umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang yang ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencangkup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (contracting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, atau anggota partai (Budiardjo, 2008:367). Maka dari hal tersebut dapat memunculkan sebuah gerakan politik yang terorganisir dalam berpartisipasi politik salah satunya dengan ikut serta dalam proses pemilihan umum. Perkembangan masyarakat sipil kini tidak lagi secara konsisten menempatkan diri sebagai pengontrol gerakan-gerakan politik dan penyelenggara kekuasaan. Masyarakat sipil tidak hanya memperjuangkan paltform tetapi juga secara aktif memperjuangkan seseorang untuk menjadi pemegang kekuasaan. Untuk mewujudkan pemerintahan demokratis atau tatanan hukum itu, masyarakat sipil harus bertindak secara riil, membantu orang-orang terbaik untuk memimpin pemerintahan, bahkan mengambil bagian dalam proses penyelenggaraan 37 kekuasaan dengan menduduki posisi-posisi strategis. Konsekuensinya, batas antara aktivis sosial dan aktivis politik akan melebur, dan kalangan masyarakat sipil harus siap menghadapi perubahan pandangan masyarakat (Sudibyo : 2014). Civil society yang merupakan kelompok masyarakat dengan memiliki kemandirian yang tegas terhadap berbagai kepentingan akan kekuasaan, maka tidak kalah penting dalam konsep civil society terdapat adanya partisipasi aktif dari semua warga negara yang baik tergabung dalam berbagai perkumpulan, organisasi atau kelompok lainnya sehingga akan membentuk karakter demokratis di lembaga tersebut (Cohen : 2003). Bentuk partisipasi masyarakat sipil adalah perwujudan dari adanya demokrasi yang telah terbangun. Ketika masyarakat sipil sudah mulai berperan aktif dalam mengontrol negara tentu diperlukan pelibatan secara langsung. Hal ini berarti wujud pengembalian hak-hak rakyat sebagai stakeholders di dalam keikutsertaan dalam pengambilan keputusan sehingga menunjukan keterikatan antara demokrasi melalui partisipasi sosial maupun politik. Pergeseran yang terjadi di dalam organisasi masyarakat sipil khususnya yang berorientasi sosial religius untuk mengarah pada gerakan politik dapat terlihat dari adanya muatan politik pada kegiatan yang berlangsung setelah mereka memiliki tujuan politik. Kembali pada konsep civil society yang disampaikan oleh Diamond (1994) yang memberikan kontribusi besar bagi tumbuhnya demokrasi. Civil society menyediakan wahana sumber daya politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk menjaga dan mengawasi keseimbangan negara. Memperkaya peranan partai-partai politik dalam hal partisipasi politik, 38 meningkatkan efektivitas politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan (citizenship). Terlebih pergeseran itu diselimuti oleh tujuan politik dalam merebut kekuasaan melalui kepentingan individu, dan tidak lagi berperan sebagai kontrol politik tetapi sebagai alat politik untuk membentuk suatu gerakan. Partisipasi politik, secara umum diartikan sebagai aksi sukarela (voluntarily) untuk mengubah keadaan atau kebijakan publik (Barnes, Kaas, 1978 dikutip Jahidi, 2004). Partisipasi politik terbagi menjadi dua, yaitu partisipasi politik itu sendiri dan partisipasi sosial. Partisipasi sosial didefinisikan sebagai keterlibatan warga negara dalam kehidupan sosial atau civic community. Dengan kata lain, keterlibatan warga atau civic engagement dalam kelompok sosial menjadi ruhnya partisipasi sosial. Kelompok sosial itu sendiri ditandai oleh dua aktivitas. Pertama, intensitas partisipasi dalam memecahkan masalah sosial antarwarga negara. Artinya, sesama warga negara memiliki kepedulian dan tindakan konkret menyelesaikan masalah-masalah sosial kemasyarakatan di sekitar mereka dengan melakukan aksi atau kegiatan kolektif (collective action). Kedua, kelompok sosial ditentukan oleh intensitas dalam membentuk organisasi sosial. Aktivitas sosial yang kedua ini jelas membutuhkan skill atau keterampilan, adanya aspek kepemimpinan (leadership), memiliki pengetahuan dasar tentang keorganisasian dan tahu bagaimana menjalankannya, mempunyai syarat-syarat atau elemen pokok organisasi dan lain-lain. Seberapa jauh suatu intensitas warga membentuk kelompok atau organisasi sosial biasanya ditentukan oleh seberapa kuat jaringan sosial terbentuk dan seberapa besar keterlibatan dalam komunitas 39 untuk membicarakan masalah-masalah publik terjalin di antara sesama warga (Jahidi : 2004). Partisipasi politik paling tidak mencakup beberapa dimensi: mengikuti pemilihan umum (voting), kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kampanye dan partai politik (kegiatan kampanye), kegiatan-kegiatan sosial di tingkat kemasyarakatan (kegiatan sosial), dan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan protes dan demonstrasi (protes). Partisipasi dalam kampanye, misalnya menghadiri kampanye model monologis atau dialogis, menyebarluaskan atribut partai kepada orang lain, ikut dalam pawai yang diselenggarakan partai politik yang sedang berkampanye, menonton atau mendengarkan program kampanye partai di televisi atau radio. Oleh karena itu, seseorang yang ikut kampanye membuktikan tingkat kepedulian yang lebih baik ketimbang mencoblos pemilu karena partisipasi politik juga ditentukan oleh seberapa besar tingkat partisanship warga. Turut serta dalam kampanye partai politik menunjukkan keingintahuan (curiosity) seseorang terhadap program partai sebelum ia menjatuhkan pilihan suaranya dalam perhelatan pemilu (Jahidi : 2004). Berdasarkan bentuk partisipasi politik kelompok masyarakat yang teroganisir memberikan cermin dimana kini masyarakat telah mulai untuk melakukan sebuah pergerakan yang berorientasi politik. Selain ketika mereka dapat berkecimpung langsung dalam kampanye atau berupaya untuk mempengaruhi kebijakan tentu hal tersebut akan membentuk sebuah gerakan politik. Salah satu bentuk gerakan politik adalah gerakan massa yang sering kali dianggap wujud prematur dari bentuk-bentuk aktualisasi politik yang lain seperti 40 unjuk rasa. Menurut Eric Hoffer (1998) gerakan massa merupakan gerakan yang lebih banyak dicirikan oleh terbangkitnya kerelaan para anggotanya untuk berkorban sampai mati, kecenderungan untuk beraksi secara kompak, memiliki fanatisme, antusiasme, harapan yang berapi-api, kebencian, intoleransi, kepercayaan buta dan kesetiaan tunggal. Pergeseran orientasi ini tentunya tidak serta merta berubah begitu saja. Meskipun sebenarnya masyarakat sipil dan partai politik ini telah terbangun hubungan yang saling menghargai, menghormati dan memahami keberadaan akan perannya dalam kehidupan politik. Akan tetapi setiap perubahan yang terjadi pasti memiliki latar belakang dan alasan tersendiri jika memang hal itu berisikan sebuah kepentingan. 41 Pergeseran orientasi masyarakat sipil dari sosial-religius ke arah gerakan politik Karakter masyarakat sipil : 1. Otonom 2. kesukarelaan (voluntary), 3. keswasembadaan (self supporting) 4. keswadayaan Karakteristik civil society berorientasi gerakan politik pergeseran Organisasi Masyarakat Sipil yang berorientasi pada sosial-religius maka memiliki adanya sebuah ikatan kebersamaan dalam konteks kepercayaan dengan melaksanakan upacara keagamaan,meningkatkan kearifan lokal mengenai bentuk kegotong royongan, simpati dan bantuan keuangan, kesehatan, disesuaikan dengan kebutuhan nyata masyarakat. KePemimpinan 1. Adanya aktivitas yang menghubungkan partai politik dan civil society 2. Adanya hubungan dalam konteks seberapa dekat dan ekslusif hubungan tersebut dibangun 3. Adanya arah yang dibangun dalam sebuah relasi antara civil society dan partai politik (Beavis : 2004) 4. Memonitor janjijanji kampanye para kandidat saat kampanye 5. Menyediakan para aktor dan pemimpinya sebagai kandidat yang mumpuni dalam ajang pemilihan umum 6. Memobilisasi para pemilih (Aditya : 2009) 42