bab vi pengelolaan das citanduy

advertisement
BAB VI
PENGELOLAAN DAS CITANDUY
Ukuran DAS memiliki variasi antara satu dengan yang lainnya. Ada yang
memiliki luas beberapa hektar saja hingga ribuan hektar. Secara administratif,
batas DAS dapat tercakup dalam satu wilayah kabupaten hingga melintasi batas
propinsi bahkan negara. Suatu DAS dapat terdiri dari beberapa Sub-DAS yang
dapat dikelompokkan menjadi DAS bagian hulu, DAS bagian Tengah dan DAS
bagian Hilir.
Daerah Aliran Sungai bagian hulu berfungsi sebagai kawasan konservasi
penyangga daerah tengah dan hilir. Daerah Aliran Sungai bagian hulu memiliki
ciri topografi yang relatif lebih tinggi berupa daerah pegunungan dengan curah
hujan yang tinggi. Kemudian bagian tengah merupakan daerah peralihan antara
hulu dan hilir. Sedangkan DAS bagian hilir dicirikan sebagai daerah yang relatif
landai dengan curah hujan yang rendah.
6.1 GAMBARAN UMUM DAS CITANDUY
6.1.1 Letak dan Luas DAS Citanduy
Citanduy adalah salah satu dari 40 DAS yang ada di Provinsi Jawa Barat
(yang teridentifikasi oleh Balai Pengelolaan DAS Cimanuk-Citanduy). Secara
geografis wilayah sungai Citanduy terletak pada posisi 108 0 04’ hingga 1090 30’
Bujur Timur (BT) dan 70 03’ hingga 70 52’ Lintang Selatan (LS). Iklimnya
dipengaruhi dua musim, yaitu
musim kemarau dan musim penghujan.
Temperatur DAS Citanduy berkisar antara 24 derajat hingga 31 derajat Celcius
dengan curah hujan rata-rata 3.000 milimeter per tahun. Pada musim kemarau
DAS bagian hulu ini masih dapat mencapai curah hujan 200 – 300 milimeter per
bulan. Wilayah Tasikmalaya dan Ciamis termasuk ke dalam wilayah sub DAS
Citanduy hulu yang saat ini kondisinya masih termasuk kategori kritis akibat
degradasi yang menurunkan kualitas lingkungan.
6.1.2 Wilayah dan Kondisi Biofisik DAS Citanduy
Wilayah DAS Citanduy sendiri meliputi sebagian besar Propinsi Jawa
Barat dan sebagian kecil berada di Jawa Tengah. Berikut tabel mengenai cakupan
wilayah administrasi DAS Citanduy.
Tabel 20. Wilayah Administrasi DAS Citanduy Tahun 2009
WS Citanduy
Kabupaten/Kota
Luas Kab./ Kota
(Ha)
Luas DAS
(Ha)
150 000
%
Kab. Ciamis + Kota Banjar
255 371
33,63
Kab. Tasikmalaya + Kota
Tasikmalaya
268 048
68 000
15,25
Kab. Kuningan
111 700
27 200
6,10
Kab. Majalengka
120 424
18 400
4,12
Kab. Cilacap + Kab. Banyumas
214 257
182 400
40,90
Total
969 800
446 000
100,00
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Balai Besar
Wilayah Sungai Citanduy Tahun 2009
Bila dibagi menjadi Sub DAS, maka DAS Citanduy dapat dibagi menjadi
enam Sub DAS, yaitu Sub DAS Citanduy Hulu, Sub DAS Cijolang, Sub DAS
Cikawung, Sub DAS Cimuntur, Sub DAS Ciseel, Sub DAS Citanduy Hulu dan
Sub DAS Segara Anakan (Gambar 3).
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Balai Besar
Wilayah Sungai Citanduy
Gambar 3. Sub DAS, DAS Citanduy Tathun 2009
Jika dikelompokkan menjadi bagian hulu, tengah dan hilir, maka Sub DAS
Citanduy Hulu, Sub DAS Cimuntur, Sub DAS Cijolang merupakan DAS bagian
hulu. Sub DAS Ciseel dan Cikawung termasuk DAS bagian tengah. Sedangkan
Sub DAS Segara Anakan dan sebagian Sub DAS Ciseel merupakan DAS bagian
hilir.
6.2 Perubahan Struktur Agraria dan Pengelolaan DAS
Pusat Studi Pembangunan IPB (2005) menyatakan bahwa perubahan
penggunaan lahan yang terjadi di DAS mengindikasikan bahwa telah terjadi
proses penurunan kuantitas dan kualitas sumberdaya DAS. Seiring dengan
meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk, maka berbagai tatanan kehidupan
pun ikut berubah mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat. Dampak dari
perubahan tersebut ialah pola pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat
yang berada sekitar DAS. Diantara perubahan-perubahan penggunaan lahan yang
terjadi, perubahan yang paling besar pengaruhnya terhadap kelestarian
sumberdaya air adalah perubahan dari kawasan hutan ke penggunaan lainnya
seperti pertanian, perumahan ataupun industri.
Keinginan untuk memanfaatkan sumberdaya alam semaksimal mungkin
untuk tujuan pertanian, umumnya membuat masyarakat kurang mengindahkan
dampak lingkungan yang akan muncul pada DAS. Masyarakat yang cenderung
mencari lahan-lahan yang relatif lebih subur, sehingga banyak masyarakat sekitar
DAS yang menggarap lahan di kawasan hutan atau pada lahan dengan elevasi
yang lebih tinggi.
Perkembangan penduduk dan meningkatnya kebutuhan tempat tinggal
juga akan mendesak pola pemanfaatan lahan yang semakin luas sehingga
menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan. Hal ini karena pertambahan penduduk
yang begitu pesat tidak diikuti oleh luas DAS yang relatif tetap, dimana
pertambahan jumlah penduduk nantinya juga akan diikuti dengan peningkatan
daerah terbangun.
Bagian hulu DAS yang merupakan kawasan penyangga bagi daerah hilir
dan tengah harus tetap terjaga kemampuan konservasinya. Kenyataan tersebut
memiliki arti bahwa upaya konservasi tanah dan konservasi air pada DAS hulu
menjadi keharusan demi kelangsungan hidup penduduk di sekitar DAS yang pada
umumnya merupakan masyarakat tani yang sangat tergantung dengan lahan
pertanian, baik berupa kebun campuran maupun sawah.
Wilayah Desa Tanjungsari berada di wilayah hulu Sungai Citanduy. Desa
Tanjungsari ini letaknya sangat strategis karena diapit oleh dua sungai, yaitu
Sungai Citanduy dan Sungai Cikidang. Meskipun letak desa tersebut diapit oleh
dua sungai, tidak berarti membuat Desa Tanjungsari memiliki pasokan air yang
cukup di musim kemarau. Hal ini karena masyarakat tidak mengkonsumsi kedua
air sungai tersebut untuk kebutuhan rumahtangganya. Menurut keterangan
beberapa warga, air Sungai Citanduy maupun Sungai Cikidang sudah tidak layak
untuk dikonsumsi, airnya sudah tidak jernih lagi dan banyak endapan lumpur.
Berikut kutipan keterangan warga mengenai hal tersebut:
“…dahulu air di desa ini jernih neng, kira-kira tahun 80-an. Ibu
dulu sering mandi di sungai dan ikannya juga masih banyak.
Sekarang airnya sudah tidak jernih, keruh dan banyak
lumpur…”(IH, 65 tahun)
Selain disaat musim kemarau mengalami kekurangan air, desa juga
mengalami kebanjiran di musim hujan. Menurut penduduk desa, bencana banjir
yang melanda desa ini sudah terbiasa terjadi dalam lima tahun belakangan ini.
Desa Tanjungsari sendiri biasanya mengalami dua sampai tiga kali banjir tiap
tahunnya.
”....desa ini tiap tahunnya selalu kebanjiran, bisa sampai tiga kali
neng. Awal tahun 2009 kemarin saja sudah kebanjiran, padahal
akhir 2008 baru saja kebanjiran. Sudah terbiasalah kalau desa
kebanjiran...”(SR, 60 tahun )
Banjir akan melanda Desa Tanjungsari apabila hujan yang turun deras.
Selain itu, letak desa ini yang berada di dataran rendah dan diapit oleh dua sungai
(Sungai Citanduy dan Cikidang) juga memberikan peluang yang besar untuk
terjadinya banjir. Hal ini sesuai dengan keterangan DD (42 tahun):
“….banjir yang terjadi di desa ini akibat hujan deras semaleman.
Selain itu, lokasi perkampungan Tanjungsari berada di dataran
rendah yang diapit dua sungai, yaitu Sungai Citanduy di utara
dan Sungai Cikidang di selatan. Biasanya, kalau Citanduy
meluap, Cikidang juga ikut maluap. Begitu juga sebaliknya…”
Sebelum mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan
DAS, sebaiknya dilihat dahulu permasalahan-permasalahan yanga ada di DAS
menyangkut pola penggunaan lahan, diantaranya:
6.2.1 Minimnya Kawasan Hutan di DAS
Kawasan hutan yang semakin berkurang dapat berpengaruh pada
keseimbangan kondisi tata air di DAS, sehingga mengakibatkan penurunan
kualitas DAS itu sendiri. Hutan yang terdapat di wilayah DAS Citanduy terdiri
atas hutan rakyat dan hutan Negara (Tabel 21).
Tabel 21. Data Luas Hutan Wilayah DAS Citanduy Tahun 2007
No
Hutan Rakyat
(Ha)
Kabupaten/ Kota
Hutan Negara
(Ha)
1
2
Kab. Ciamis + Kota Banjar
36 880
26 199
Kab. Tasikmalaya + Kota Tasikmalaya
37 341
32 496
3
Kab. Kuningan
6 862
25 718
4
Kab. Majalengka
3 884
20 140
5
Kab. Cilacap + Kab. Banyumas
18 000
24 000
Total
102 967
128. 53
Sumber: Profil DAS Cimanuk-Citanduy Tahun 2007, Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Tasikmalaya
Sesuai dengan UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu suatu
kawasan/wilayah minimal harus memiliki kawasan hutan sabagai daerah
penyangga sebesar 30 persen dari luas total wilayah. Jika dilihat dari
perbandingan
luas
wilayah
yang
masuk
kawasan
Citanduy
seperti
Kabupaten/Kota Tasikmalaya, Ciamis, Banjar dan Cilacap, masih kurang dari
jumlah minimum yang diperlukan sebagai suatu kawasan penyangga, yaitu 30
persen dari luas wilayah .
Luas kawasan hutan yang ada di Kabupaten Tasik dan Kota Banjar hanya
24,70 persen dari luas wilayah, kemudian luas kawasan hutan Kabupaten
Tasikmalaya dan kota Tasikmalaya hanya 26,05 persen dari luas kawasan. Luas
hutan yang dimiliki Kota Kuningan hampir mendekati 30 persen, yakni 29,12
persen dari luas wilayah. Kota Majalengka memiliki kawasan hutan seluas 19,95
persen dari luas wilayahnya, sedangkan Kabupaten Cilacap dan Kabupaten
Banyumas memiliki kawasan hutan sebesar 19,60 persen dari luas wilayah. Hasil
perhitungan ini menunjukkan bahwa luas kawasan di DAS Citanduy belum
mampu menjadi wilayah penyangga dalam menjaga keseimbangan sistem
ekologis (Tabel 22).
Tabel 22. Perbandingan Luas Hutan di DAS Citanduy dan Luas Hutan yang
Dibutuhkan Menurut UU No 41 Kehutanan Tahun 1999.
No
1
2
Kabupaten/ Kota
Kab. Ciamis + Kota Banjar
Kab. Tasikmalaya + Kota
Tasikmalaya
3
Kab. Kuningan
4
Kab. Majalengka
5
Kab. Cilacap +
Kab. Banyumas
Sumber: Profil DAS Cimanuk-Citanduy
Kabupaten Tasikmalaya
Luas
Wilayah
(Ha)
255 371
Hutan Rakyat +
Hutan Negara
(Ha)
63 079
Persen
terhadap
Luas Total
24,70
268 048
69 837
26,05
111 700
120 424
32 580
24 024
29,12
19,95
214 257
42 000
19,60
Tahun 2007, Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Desa Tanjungsari tidak memiliki kawasan hutan. Menurut keterangan UK
(80 tahun), seperti yang telah dijelaskan pada Bab IV, areal hutan sudah berubah
menjadi kebun campuran dan sawah milik penduduk. Bentuk lahan yang
dimanfaatkan masyarakat desa sekarang ini berupa lahan pertanian dan
pemukiman. Berikut tabel mengenai jenis lahan yang ada di Desa Tanjungsari:
Tabel 23. Jenis Lahan di Desa Tanjungsari Tahun 2008
No.
Jenis Lahan
1 Lahan sawah
2 Tanah kering
a. Pekarangan
b. Perladangan/perkebunan
c. Permukiman
3 Lain-lain
Total
Sumber: Data Monografi Desa Tahun 2008
Luas Lahan (ha)
152,265
Persentase (%)
37,34
214,295
38,1
3,077
407,737
00,00
52,56
9,34
0,76
100,00
6.2.2 Lahan Kritis
Semakin berkurangnya kawasan hutan dapat menambah jumlah kategori
luas lahan kritis di DAS. Terjadinya lahan-lahan kritis di DAS tidak saja
menyebabkan penurunan produktivitas tanah, tetapi juga mengakibatkan hasil
tanaman terus menurun sehingga tidak mampu lagi mendukung kehidupan
ekonomi keluarga petani. Di wilayah DAS Citanduy sendiri masih banyak
terdapat lahan kritis, bahkan jumlahnya terus bertambah seiring semakin
berkurangnya luas hutan yang ada di DAS. (Lihat Tabel 26)
Tabel 24. Kondisi Lahan Kritis di DAS Citanduy Tahun 2009
Tidak Kritis
Kritis Ringan
Luas (ha)
Luas (ha)
Citanduy Hulu
57 994,83
8 851,50
Cijolang
45 197,46
4 025,07
Cimuntur
51 804,00
6 183,09
Cikawung
53 337,51
6 033,42
Ciseel
78 009,03
7 584,84
Segara Anakan
76 536,18
10 079,91
Sumber: Balai Besar Pengelolaan Citanduy Tahun 2009.
DAS
Kritis
Luas (ha)
3 914,10
3 876,12
1 988,10
8 018,82
10 989,00
17 851,68
Ciri utama
lahan kritis adalah gundul, berkesan gersang, dan bahkan
muncul batu-batuan di permukaan tanah, topografi lahan pada umumnya berbukit
atau berlereng curam (Hakim et al., 1991). Meluasnya lahan kritis dapat
disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: (1) Tekanan penduduk, (2) Perluasan
areal pertanian yang tidak sesuai, (3) Perladangan berpindah, (4) Pengelolaan
hutan yang tidak baik, dan (5) Pembakaran yang tidak terkendali.
Data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan mennyebutkan bahwa pada
tahun 2008 terdapat lahan kritis di Desa Tanjungsari seluas 10 hektar. Tiga desa
lainnya yang masih dalam kawasan Kecamatan Sukaresik juga memiliki lahan
kritis seluas 10 hektar tiap desanya (Tabel 27).
Tabel 25. Lahan Kritis di Kecamatan Sukaresik Tahun 2008
No
Desa
Blok
Luas (Ha)
1
Banjarsari
Pasir Tengah
10
2
Tanjungsari
Pasir Timbang
10
3
Sukapancar
Kebon Cau
10
4
Margamulya
Kabuyutan
10
Sumber: Dinas Kehutanan dan Perekebunan Kabupaten Tasikmalaya Tahun 200 8
6.2.3 Pencemaran Sumbedaya Air DAS Citanduy
Air merupakan sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan makhluk hidup.
Pemanfaatan air haruslah secara bijaksana agar ketersediaan air dapat mencukupi
kebutuhan kehidupan generasi sekarang maupun yang akan datang. Aktivitas
kehidupan masyarakat di sekitar DAS yang sangat tinggi, telah menimbulkan efek
terhadap kondisi air DAS itu sendiri. Aktivitas-aktivitas tersebut dapat berupa
kegiatan pertanian, penebangan hutan, limbah rumahtangga maupun industri dan
yang lainnya, mengakibatkan terganggunya kualitas bahkan kuantitas air.
Permasalahan utama yang dihadapi menyangkut sumberdaya air adalah kuantitas
air yang berkualitas sudah tidak dapat lagi memenuhi kehidupan masyarakat DAS.
Beberapa bentuk pencemaran air DAS yang banyak terjadi diantaranya:
1. Pencemaran oleh kegiatan pertanian
Kegiatan pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung dapat
mempengaruhi kualitas air, seperti penggunaan pupuk buatan yang
mengandung nitrogen dan fosfat yang tinggi.
2. Limbah rumahtangga
Masyarakat yang bermukim di DAS akan menghasilkan limbah rumahtangga
(organik maupun anorganik) yang dapat mempengaruhi kualitas air pada
perairan sungai.
Masyarakat Desa Tanjungsari pada umumnya adalah petani dan buruh
tahi. Luas sawah yang ada di desa ini menembati urutan pertama dibanding desadesa lainnya dalam kawasan Kecamatan Sukaresik (Tabel 28).
Tabel 26. Luas Tanah Sawah Menurut Desa Tahun 2007
No
Desa
Luas Tanah Sawah (Ha)
1.
Margamulya
117,20
2.
Cipondok
115,70
3.
Sukamenak
92,80
4.
Sukaresik
85,90
5.
Sukaratu
67,30
6.
Banjarsari
1250
7.
Sukapancar
112,7
8.
Tanjungsari
Sumber: BPS 2007
152,27
Penduduk Desa Tanjungsari masih menggunakan pupuk buatan dalam
mengolah lahan pertaniannya. Limbah pertanian dari lahan sawah tersebut
kemudian dialirkan ke sungai Citanduy oleh masyarakat petani. Penduduk Desa
Tanjungsari lebih memilih memanfaatkan Sungai Cikidang untuk irigasi
dibanding Sungai Citanduy. Hal ini karena letak Sungai Citanduy yang lebih
rendah dibandingkan Sungai Cikidang, sehingga lebih sulit mengalirkan air ke
sawah-sawah yang dimiliki warga. Penduduk kemudian menjadikan Sungai
Citanduy hanya untuk tempat pembuangan limbah pertanian.
Limbah rumahtangga juga dihasilkan penduduk Desa Tanjungsari. Limbah
rumahtangga yang dihasilkan dapat berupa organik maupun anorganik. Pada
umumnya warga yang membangun rumah tepat berada di pinggiran Sungai
Citanduy masih membuang limbah rumahtangga mereka ke sungai tersebut. Hal
ini karena menurut mereka lebih praktis jika dibandingkan dengan membakarnya
untuk anorganik, sedangkan untuk limbah organik pada umumnya pembuangan
disalurkan ke sungai oleh warga yang bermukim tepat di pingggir sungai.
6.3 Pengelolaan DAS Citanduy Terpadu
Pengelolaan DAS Terpadu akan dapat dilaksanakan dan diharapkan dapat
mengatasi permasalahan yang ada, melalui upaya pemanfaatan dan konservasi
sumberdaya alam DAS secara efektif dan efisien. Pelaksanaan kegiatan harus
sesuai dengan kondisi khas pada setiap wilayahnya, baik menurut administratif
pemerintahan maupun wilayah hidrologis jaringan sungai (DAS/Sub DAS). Pihak
yang akan dibahas dalam pengelolaan DAS Citanduy diantaranya: masyarakat,
Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP
DAS) Cimanuk-Citanduy, Balai Besar Wilayah Citanduy.
6.3.1 Balai Pengelolaan DAS Cimanuk-Citanduy
Pengelolaan DAS Citanduy berada di bawah BP DAS Cimanuk-Citanduy
yang berada di Bandung, Jawa Barat. Balai Pengelolaan DAS Cimanuk-Citanduy
sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) pusat Direktorat Jenderal Rehabilitasi
Lahan dan Perhutanan Sosial di daerah mempunyai kewenangan dalam
melakukan penyusunan rencana dan program pengelolaan DAS yang mana
kegiatanya akan diimplementasikan di Dinas Kabupaten lingkup wilayah kerja BP
DAS Cimanuk-Citanduy.
Pengelolaan yang dilakukan pihak BP DAS sendiri mempunyai tiga
bentuk kegiatan pengelolaan, diantaranya: rencana jangka pendek, jangka
menengah dan jangka panjang.
1. Perencanaan Jangka Pendek
Perencanaan jangka pendek yang dilakukan pihak BP DAS berupa
Rencana Teknis Tahunan (RTT). Misalnya, kegiatan Rehabilitasi Hutan dan
Lahan (RHL) melalui kegiatan vegetatif dan sipil teknis. Rehabilitasi Hutan dan
Lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan
fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dapat
mendukung sistem penyangga kehidupan.
Rencana Teknik Tahunan (RTT)
rehabilitasi hutan dan lahan melalui kegiatan vegetatif dan sipil teknik baik
pembuatan maupun pemeliharaan oleh BP DAS dapat dilihat pada Lampiran 4.
2. Perencanan Jangka Menengah
Bentuk rencana pengelolaan jangka menengah dapat berupa Rehabilitasi
Hutan dan konservasi Tanah (RLKT). Kegiatan ini merupakan rencana jangka
menengah lima tahun berdasarkan pendekatan wilayah pengelolaan DAS atau
hidrologi sungai. Pada umumnya kerusakan sumberdaya alam diakibatkan oleh
penggunaan lahan yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah
dan air. Selain itu usaha tani yang banyak berkembang di masyarakat umumnya
adalah usaha tanam semusim yang bersifat sub sisten. Bentuk kegiatan lainnya
adalah RHL lima tahun dan Rencana Teknik Social Farestry (RTFS).
Rencana RHL dilakukan sebagai upaya penanganan lahan kritis yang ada
di wilayah DAS. Kemudian RTFS merupakan bentuk pengelolaan hutan yang
diarahkan pada seluruh potensi sumberdaya hutan dan berbasis pada
pemberdayaan masyarakat. Out put yang diharapkan adalah membangkitkan
kegiatan
ekonomi
masyarakat,
meningkatkan
partisipasi
masyarakat,
mempercepat rehabilitasi hutan, mengendalikan kerusakan sumberdaya hutan dan
meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat dan aparatur pemerintah.
Rekomendasi kegiatan RLKT dan rencana Rehabilitasi Hutan dan Lahan (lima
tahun) dapat dilihat pada Lampiran 5.
3. Perencanaan Jangka Panjang
Rencana jangka panjang dikenal dengan istilah Pola Rehabilitasi Lahan
dan Konservasi Tanah (Pola RLKT), yakni meliputi kegiatan jangka panjang 25
tahun. Untuk tahun 2007, perencanaan jangka panjang yang telah disusun di
wilayah BP DAS Cimanuk-Citanduy adalah Rencana Umum Pengembangan
Usaha Bambu. Rencana umum ini disusun untuk 4 wilayah kabupaten, yaitu
Kabupaten Garut, Sumedang, Majalengka dan Tasikmalaya. Ke empat kabupaten
ini dipilih berdasarkan potensi lahan yang dimilikinya yang sesuai untuk
pengembangan tanaman bambu.
6.3.2
Dinas Kehutanan
Tasikmalaya
dan
Perkebunan
(Dishutbun)
Kabupaten
Upaya pengelolaan DAS yang dilakukan pihak Dishutbun Tasikmalaya
adalah kegiatan konservasi melaui rehabilitasi lahan. Bentuk pelaksanaan
kegiatannya meliputi: (1) Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan
Lahan (GERHAN), (2) Kegiatan Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK), (3)
Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Kegiatan yang dibahas lebih lanjut
adalah GRLK, hal ini karena wilayah Desa Tanjungsari merupakan salah satu
desa yang menjadi sasaran dari kegiatan ini.
Tahun 2008 Kabupaten Tasikmalaya melakukan kegiatan penanggulangan
lahan kritis seluas 1500 hektar melalui GRLK. Kegiatan GRLK ini merupakan
kegiatan yang bersifat bantuan kepada kelompok tani berupa bantuan bibit
tanaman tahunan produktif siap tanam, yaitu bibit kayu-kayuan, buah-buahan,
hewan ternak dan pembuatan sumur resapan. Pemberian bantuan disesuiakan
dengan permasalahan tiap wilayah sasaran.
Menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tasikmalaya,
bantuan yang sesuai untuk Desa Tanjungsari adalah pemberian bibit kayu-kayuan
dan buah-buahan, seperti mahoni, albasia rambutan dan yang tanaman lainnya.
Hal ini karena lahan kritis yang terdapat di desa tersebut pada umumnya adalah
lahan kritits pada areal perkebunan warga. Bentuk bantuan yang diberikan adalah
berupa bibit tanaman untuk di tanam di areal perkebunan warga. Luas wilayah
yang menjadi sasaran di desa ini adalah 10 hektar lahan kritis yang ada di desa
tersebut.
6.3.3 Balai Besar Pengelolaan Citanduy
Balai Besar Wilayah Citanduy melaksanaan pengelolaan DAS Citanduy
dari sisi pengelolaan sumberdaya airnya meliputi: perencanaan, pelaksanaan,
konstruksi dan operasi pemeliharaan. Tujuannya adalah mewujudkan konservasi
sumber daya air, pengembangan sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air
dan pengendalian daya rusak air pada wilayah sungai Citanduy. Kegiatan yang
direncanakan pihak balai dalam pengelolaan SDA wilayah Sungai Citanduy
dilaksanakan dengan berpedoman pada Rencana Induk PWS Citanduy tahun
1975, meliputi hal-hal sebagai berikut:
1). Rencana Pengembangan Tahap I, terdiri dari :
a) Pengembangan wilayah Sungai Citanduy / Ciseel Hilir
b) Pengembangan Segara Anakan
c) Pengelolaan air wilayah Sungai Citanduy /Ciseel Hulu
d) Pola pengelolaan air untuk keseimbangan daerah
2). Rencana Pengembangan Tahap II, meliputi :
a) Peningkatan pengendalian banjir
b) Pengembangan irigasi
c) Penyempurnaan pengendalian sedimen
d) Pengembangan segara anakan
e) Pengaturan air.
Bentuk realisasi kegiatan yang telah dilakukan oleh pihak Balai Besar dapat
dilihat di Lampiran 7.
Realisasi kegiatan yang dilakukan pihak Balai belum ada yang
dilakasanakan di Desa Tanjungsari. Menurut pihak Balai sendiri, hal ini karena
dalam pelaksanaan kegiatannya, Balai melakukan prioritas terlebih dahulu pada
kawasan yang menjadi sasaran. Prioritas ditentukan berdasarkan masalah dan
kebutuhan yang ada pada wilayah sasaran DAS.
6.3.4 Masyarakat Desa Tanjungsari
Partisipasi masyarakat Desa Tanjungsari dalam menjaga kestabilan masih
belum optimal. Menurut Kolopaking dan Tonny (1994), bentuk partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan DAS dapat dilihat dari partisipasi mayarakat yang
terorganisir dalam kelembagaan, seperti kelompok tani dan kelompok tradisional.
Kelompok Tani Surakatiga yang ada di desa ini kegiatannya masih seputar
peningkatan produksi pertanian. Pengolahan lahan pertanian yang diterapkan
masyarakat desa masih belum memperhatikan kaidah koservasi lahan dan air.
Misalnya, bentuk pengolahan lahan pertanian yang dilakukan masyarakat masih
menerapkan sistem konvensional (penggunaan pupuk kimia). Meskipun ada di
antara warga yang telah melakukan sistem pengolahan pertanian organik, namun
jumlahnya masih sangat sedikit.
Contoh lainnya yang mencerminkan masih rendahnya partisipasi
masyarakat Desa dalam menjaga kestabilan DAS adalah masih banyaknya warga
yang membuang limbah rumahtangga ke DAS, seperti yang dijelaskan pada sub
bab sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan SR (60 tahun) berikut ini:
“… kebanyakan warga desa di sini menerapkan sistem
pengolahan konvensional yang menggunakan pupuk kimia. Karena
hasilnya sama saja dengan hasil dari sistem pengolahan organik.
Pekerjaan yang dilakukan juga lebih ringan. Kalau untuk limbah
rumahtangga, memang masih banyak warga yang membuang
limbah ke sungai, tapi kebanyakan adalah warga yang rumahnya
di pinggir sungai, karena lebih praktis…”
Tanaman bambu merupakan tanaman yang memiliki keunggulan
dalam
memperbaiki
sumber
tangkapan
air,
sehingga
mampu
meningkatkan aliran air bawah tanah. Meskipun fungsinya sangat baik
dalam konservasi, namun jumlah tanaman bambu yang terdapat di
pinggiran sungai makin berkurang drastis. Hal ini karena warga yang
memiliki lahan di pinggir sungai kemudian mengubah lahan yang penuh
dengan bambu tersebut menjadi lahan perkebunan (sayur-sayuran, ubi,
pisang, dan yang lainnya), lahan persawahan dan pemukiman, sedangkan
untuk bambunya sendiri ada yang dijual warga dan ada yang dimanfaatkan
langsung oleh pemilik lahan.
Perubahan fungsi lahan tersebut disebabkan oleh keterbatasan
lahan yang dimiliki warga, sehingga lahan di pinggiran sungai tersebut
juga dijadikan sebagai lahan lahan pertanian dan pemukiman. Selain itu
warga juga mengakui bahwa lebih baik menanam tanaman untuk
konsumsi keluarga, sehingga dapat dimanfaatkan langsung untuk
rumahtangga. Menurut keterangan EH (50 tahun):
“….lahan saya yang di pinggir sungai itu dulunya banyak pohon
bambu. Tapi kemudian pohon-pohon bambu tersebut saya jual
saja, dan saya gantikan dengan tanaman sayur, ubi, kunyit, cabe
dan lainnya, biar dapat digunakan untuk konsumsi sehari-hari.
Tidak ada lagi lahan yang dapat saya manfaatkan, sawah saya
luasnya sempit, jadi hanya tinggal lahan tersebut yang dapat saya
manfaatkan …”
Hal di atas juga didukung oleh pernyataan AP (44 tahun):
“….hanya ini lahan yang saya punya, jadinya saya bangun rumah
disini saja, meskipun letaknya di pinggir sungai. Kalau disuruh
pilih neng, saya lebih suka bangun rumah di dekat jalan utama
desa saja, daripada di pinggir sungai begini, kalau hujan deras,
rumah saya sudah pasti kebanjiran…”
Partisipasi masyarakat di DAS melalui kelembagaan lokal yang ada,
seperti kelompok tani, organisasi pemuda, karang taruna dan lainnya harus lebih
ditingkatkan lagi dalam pengelolaan DAS. Masyarakat sebaiknya dilibatkan
dalam proses perencanaan kegiatan yang dilaksanakan pemerintah, baik program
yang dilaksanakan BP DAS, Balai Besar maupun Dishutbun. Partisipasi
masyarakat
dalam
pengelolaan
diharapkan
dapat
membuat
masyarakat
berkontribusi penuh dalam upaya pemeliharaan DAS (tidak sebagai sasaran
program saja). Masyarakat dapat lebih menerapkan pola konservasi dalam
memanfaatkan lahan yang ada di DAS.
6.4 Ikhtisar
Daerah Aliran Sungai bagian hulu berfungsi sebagai kawasan konservasi
penyangga daerah tengah dan hilir, sehingga sangat penting dilakukan upaya
konservasi dalam pemanfaatan sumberdayanya. Beberapa permasalahan yang
terdapat di DAS adalah kurangnya penerapan konservasi terhadap lahan dan air,
sehingga menimbulkan berbagai permasalahan yang dapat mengganggu kondisi
hidrologis DAS. Bentuk-bentuk permasalahan itu diantaranya: kawasan hutan
yang semakin sedikit akibat alih fungsi lahan, yaitu alih fungsi hutan ke bentuk
pamanfaatan lain (lahan pertanian dan pemukiman); lahan kritis yang luasnya
semakin bertambah dan pencemaran lingkungan air DAS.
Menghadapi permasalahan-permasalahan di atas, diperlukan suatu upaya
pengelolaan DAS Terpadu. Pengelolaan DAS Terpadu haruslah melalui
keterlibatan berbagai pihak dalam pengelolaan DAS, diantaranya: masyarakat,
Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP
DAS) Cimanuk-Citanduy, Balai Besar Wilayah Citanduy dan pihak swasta.
Download