BAB VI PENGELOLAAN DAS CITANDUY Ukuran DAS memiliki variasi antara satu dengan yang lainnya. Ada yang memiliki luas beberapa hektar saja hingga ribuan hektar. Secara administratif, batas DAS dapat tercakup dalam satu wilayah kabupaten hingga melintasi batas propinsi bahkan negara. Suatu DAS dapat terdiri dari beberapa Sub-DAS yang dapat dikelompokkan menjadi DAS bagian hulu, DAS bagian Tengah dan DAS bagian Hilir. Daerah Aliran Sungai bagian hulu berfungsi sebagai kawasan konservasi penyangga daerah tengah dan hilir. Daerah Aliran Sungai bagian hulu memiliki ciri topografi yang relatif lebih tinggi berupa daerah pegunungan dengan curah hujan yang tinggi. Kemudian bagian tengah merupakan daerah peralihan antara hulu dan hilir. Sedangkan DAS bagian hilir dicirikan sebagai daerah yang relatif landai dengan curah hujan yang rendah. 6.1 GAMBARAN UMUM DAS CITANDUY 6.1.1 Letak dan Luas DAS Citanduy Citanduy adalah salah satu dari 40 DAS yang ada di Provinsi Jawa Barat (yang teridentifikasi oleh Balai Pengelolaan DAS Cimanuk-Citanduy). Secara geografis wilayah sungai Citanduy terletak pada posisi 108 0 04’ hingga 1090 30’ Bujur Timur (BT) dan 70 03’ hingga 70 52’ Lintang Selatan (LS). Iklimnya dipengaruhi dua musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Temperatur DAS Citanduy berkisar antara 24 derajat hingga 31 derajat Celcius dengan curah hujan rata-rata 3.000 milimeter per tahun. Pada musim kemarau DAS bagian hulu ini masih dapat mencapai curah hujan 200 – 300 milimeter per bulan. Wilayah Tasikmalaya dan Ciamis termasuk ke dalam wilayah sub DAS Citanduy hulu yang saat ini kondisinya masih termasuk kategori kritis akibat degradasi yang menurunkan kualitas lingkungan. 6.1.2 Wilayah dan Kondisi Biofisik DAS Citanduy Wilayah DAS Citanduy sendiri meliputi sebagian besar Propinsi Jawa Barat dan sebagian kecil berada di Jawa Tengah. Berikut tabel mengenai cakupan wilayah administrasi DAS Citanduy. Tabel 20. Wilayah Administrasi DAS Citanduy Tahun 2009 WS Citanduy Kabupaten/Kota Luas Kab./ Kota (Ha) Luas DAS (Ha) 150 000 % Kab. Ciamis + Kota Banjar 255 371 33,63 Kab. Tasikmalaya + Kota Tasikmalaya 268 048 68 000 15,25 Kab. Kuningan 111 700 27 200 6,10 Kab. Majalengka 120 424 18 400 4,12 Kab. Cilacap + Kab. Banyumas 214 257 182 400 40,90 Total 969 800 446 000 100,00 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Balai Besar Wilayah Sungai Citanduy Tahun 2009 Bila dibagi menjadi Sub DAS, maka DAS Citanduy dapat dibagi menjadi enam Sub DAS, yaitu Sub DAS Citanduy Hulu, Sub DAS Cijolang, Sub DAS Cikawung, Sub DAS Cimuntur, Sub DAS Ciseel, Sub DAS Citanduy Hulu dan Sub DAS Segara Anakan (Gambar 3). Sumber: Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Balai Besar Wilayah Sungai Citanduy Gambar 3. Sub DAS, DAS Citanduy Tathun 2009 Jika dikelompokkan menjadi bagian hulu, tengah dan hilir, maka Sub DAS Citanduy Hulu, Sub DAS Cimuntur, Sub DAS Cijolang merupakan DAS bagian hulu. Sub DAS Ciseel dan Cikawung termasuk DAS bagian tengah. Sedangkan Sub DAS Segara Anakan dan sebagian Sub DAS Ciseel merupakan DAS bagian hilir. 6.2 Perubahan Struktur Agraria dan Pengelolaan DAS Pusat Studi Pembangunan IPB (2005) menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan yang terjadi di DAS mengindikasikan bahwa telah terjadi proses penurunan kuantitas dan kualitas sumberdaya DAS. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk, maka berbagai tatanan kehidupan pun ikut berubah mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat. Dampak dari perubahan tersebut ialah pola pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat yang berada sekitar DAS. Diantara perubahan-perubahan penggunaan lahan yang terjadi, perubahan yang paling besar pengaruhnya terhadap kelestarian sumberdaya air adalah perubahan dari kawasan hutan ke penggunaan lainnya seperti pertanian, perumahan ataupun industri. Keinginan untuk memanfaatkan sumberdaya alam semaksimal mungkin untuk tujuan pertanian, umumnya membuat masyarakat kurang mengindahkan dampak lingkungan yang akan muncul pada DAS. Masyarakat yang cenderung mencari lahan-lahan yang relatif lebih subur, sehingga banyak masyarakat sekitar DAS yang menggarap lahan di kawasan hutan atau pada lahan dengan elevasi yang lebih tinggi. Perkembangan penduduk dan meningkatnya kebutuhan tempat tinggal juga akan mendesak pola pemanfaatan lahan yang semakin luas sehingga menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan. Hal ini karena pertambahan penduduk yang begitu pesat tidak diikuti oleh luas DAS yang relatif tetap, dimana pertambahan jumlah penduduk nantinya juga akan diikuti dengan peningkatan daerah terbangun. Bagian hulu DAS yang merupakan kawasan penyangga bagi daerah hilir dan tengah harus tetap terjaga kemampuan konservasinya. Kenyataan tersebut memiliki arti bahwa upaya konservasi tanah dan konservasi air pada DAS hulu menjadi keharusan demi kelangsungan hidup penduduk di sekitar DAS yang pada umumnya merupakan masyarakat tani yang sangat tergantung dengan lahan pertanian, baik berupa kebun campuran maupun sawah. Wilayah Desa Tanjungsari berada di wilayah hulu Sungai Citanduy. Desa Tanjungsari ini letaknya sangat strategis karena diapit oleh dua sungai, yaitu Sungai Citanduy dan Sungai Cikidang. Meskipun letak desa tersebut diapit oleh dua sungai, tidak berarti membuat Desa Tanjungsari memiliki pasokan air yang cukup di musim kemarau. Hal ini karena masyarakat tidak mengkonsumsi kedua air sungai tersebut untuk kebutuhan rumahtangganya. Menurut keterangan beberapa warga, air Sungai Citanduy maupun Sungai Cikidang sudah tidak layak untuk dikonsumsi, airnya sudah tidak jernih lagi dan banyak endapan lumpur. Berikut kutipan keterangan warga mengenai hal tersebut: “…dahulu air di desa ini jernih neng, kira-kira tahun 80-an. Ibu dulu sering mandi di sungai dan ikannya juga masih banyak. Sekarang airnya sudah tidak jernih, keruh dan banyak lumpur…”(IH, 65 tahun) Selain disaat musim kemarau mengalami kekurangan air, desa juga mengalami kebanjiran di musim hujan. Menurut penduduk desa, bencana banjir yang melanda desa ini sudah terbiasa terjadi dalam lima tahun belakangan ini. Desa Tanjungsari sendiri biasanya mengalami dua sampai tiga kali banjir tiap tahunnya. ”....desa ini tiap tahunnya selalu kebanjiran, bisa sampai tiga kali neng. Awal tahun 2009 kemarin saja sudah kebanjiran, padahal akhir 2008 baru saja kebanjiran. Sudah terbiasalah kalau desa kebanjiran...”(SR, 60 tahun ) Banjir akan melanda Desa Tanjungsari apabila hujan yang turun deras. Selain itu, letak desa ini yang berada di dataran rendah dan diapit oleh dua sungai (Sungai Citanduy dan Cikidang) juga memberikan peluang yang besar untuk terjadinya banjir. Hal ini sesuai dengan keterangan DD (42 tahun): “….banjir yang terjadi di desa ini akibat hujan deras semaleman. Selain itu, lokasi perkampungan Tanjungsari berada di dataran rendah yang diapit dua sungai, yaitu Sungai Citanduy di utara dan Sungai Cikidang di selatan. Biasanya, kalau Citanduy meluap, Cikidang juga ikut maluap. Begitu juga sebaliknya…” Sebelum mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS, sebaiknya dilihat dahulu permasalahan-permasalahan yanga ada di DAS menyangkut pola penggunaan lahan, diantaranya: 6.2.1 Minimnya Kawasan Hutan di DAS Kawasan hutan yang semakin berkurang dapat berpengaruh pada keseimbangan kondisi tata air di DAS, sehingga mengakibatkan penurunan kualitas DAS itu sendiri. Hutan yang terdapat di wilayah DAS Citanduy terdiri atas hutan rakyat dan hutan Negara (Tabel 21). Tabel 21. Data Luas Hutan Wilayah DAS Citanduy Tahun 2007 No Hutan Rakyat (Ha) Kabupaten/ Kota Hutan Negara (Ha) 1 2 Kab. Ciamis + Kota Banjar 36 880 26 199 Kab. Tasikmalaya + Kota Tasikmalaya 37 341 32 496 3 Kab. Kuningan 6 862 25 718 4 Kab. Majalengka 3 884 20 140 5 Kab. Cilacap + Kab. Banyumas 18 000 24 000 Total 102 967 128. 53 Sumber: Profil DAS Cimanuk-Citanduy Tahun 2007, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tasikmalaya Sesuai dengan UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu suatu kawasan/wilayah minimal harus memiliki kawasan hutan sabagai daerah penyangga sebesar 30 persen dari luas total wilayah. Jika dilihat dari perbandingan luas wilayah yang masuk kawasan Citanduy seperti Kabupaten/Kota Tasikmalaya, Ciamis, Banjar dan Cilacap, masih kurang dari jumlah minimum yang diperlukan sebagai suatu kawasan penyangga, yaitu 30 persen dari luas wilayah . Luas kawasan hutan yang ada di Kabupaten Tasik dan Kota Banjar hanya 24,70 persen dari luas wilayah, kemudian luas kawasan hutan Kabupaten Tasikmalaya dan kota Tasikmalaya hanya 26,05 persen dari luas kawasan. Luas hutan yang dimiliki Kota Kuningan hampir mendekati 30 persen, yakni 29,12 persen dari luas wilayah. Kota Majalengka memiliki kawasan hutan seluas 19,95 persen dari luas wilayahnya, sedangkan Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Banyumas memiliki kawasan hutan sebesar 19,60 persen dari luas wilayah. Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa luas kawasan di DAS Citanduy belum mampu menjadi wilayah penyangga dalam menjaga keseimbangan sistem ekologis (Tabel 22). Tabel 22. Perbandingan Luas Hutan di DAS Citanduy dan Luas Hutan yang Dibutuhkan Menurut UU No 41 Kehutanan Tahun 1999. No 1 2 Kabupaten/ Kota Kab. Ciamis + Kota Banjar Kab. Tasikmalaya + Kota Tasikmalaya 3 Kab. Kuningan 4 Kab. Majalengka 5 Kab. Cilacap + Kab. Banyumas Sumber: Profil DAS Cimanuk-Citanduy Kabupaten Tasikmalaya Luas Wilayah (Ha) 255 371 Hutan Rakyat + Hutan Negara (Ha) 63 079 Persen terhadap Luas Total 24,70 268 048 69 837 26,05 111 700 120 424 32 580 24 024 29,12 19,95 214 257 42 000 19,60 Tahun 2007, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Desa Tanjungsari tidak memiliki kawasan hutan. Menurut keterangan UK (80 tahun), seperti yang telah dijelaskan pada Bab IV, areal hutan sudah berubah menjadi kebun campuran dan sawah milik penduduk. Bentuk lahan yang dimanfaatkan masyarakat desa sekarang ini berupa lahan pertanian dan pemukiman. Berikut tabel mengenai jenis lahan yang ada di Desa Tanjungsari: Tabel 23. Jenis Lahan di Desa Tanjungsari Tahun 2008 No. Jenis Lahan 1 Lahan sawah 2 Tanah kering a. Pekarangan b. Perladangan/perkebunan c. Permukiman 3 Lain-lain Total Sumber: Data Monografi Desa Tahun 2008 Luas Lahan (ha) 152,265 Persentase (%) 37,34 214,295 38,1 3,077 407,737 00,00 52,56 9,34 0,76 100,00 6.2.2 Lahan Kritis Semakin berkurangnya kawasan hutan dapat menambah jumlah kategori luas lahan kritis di DAS. Terjadinya lahan-lahan kritis di DAS tidak saja menyebabkan penurunan produktivitas tanah, tetapi juga mengakibatkan hasil tanaman terus menurun sehingga tidak mampu lagi mendukung kehidupan ekonomi keluarga petani. Di wilayah DAS Citanduy sendiri masih banyak terdapat lahan kritis, bahkan jumlahnya terus bertambah seiring semakin berkurangnya luas hutan yang ada di DAS. (Lihat Tabel 26) Tabel 24. Kondisi Lahan Kritis di DAS Citanduy Tahun 2009 Tidak Kritis Kritis Ringan Luas (ha) Luas (ha) Citanduy Hulu 57 994,83 8 851,50 Cijolang 45 197,46 4 025,07 Cimuntur 51 804,00 6 183,09 Cikawung 53 337,51 6 033,42 Ciseel 78 009,03 7 584,84 Segara Anakan 76 536,18 10 079,91 Sumber: Balai Besar Pengelolaan Citanduy Tahun 2009. DAS Kritis Luas (ha) 3 914,10 3 876,12 1 988,10 8 018,82 10 989,00 17 851,68 Ciri utama lahan kritis adalah gundul, berkesan gersang, dan bahkan muncul batu-batuan di permukaan tanah, topografi lahan pada umumnya berbukit atau berlereng curam (Hakim et al., 1991). Meluasnya lahan kritis dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: (1) Tekanan penduduk, (2) Perluasan areal pertanian yang tidak sesuai, (3) Perladangan berpindah, (4) Pengelolaan hutan yang tidak baik, dan (5) Pembakaran yang tidak terkendali. Data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan mennyebutkan bahwa pada tahun 2008 terdapat lahan kritis di Desa Tanjungsari seluas 10 hektar. Tiga desa lainnya yang masih dalam kawasan Kecamatan Sukaresik juga memiliki lahan kritis seluas 10 hektar tiap desanya (Tabel 27). Tabel 25. Lahan Kritis di Kecamatan Sukaresik Tahun 2008 No Desa Blok Luas (Ha) 1 Banjarsari Pasir Tengah 10 2 Tanjungsari Pasir Timbang 10 3 Sukapancar Kebon Cau 10 4 Margamulya Kabuyutan 10 Sumber: Dinas Kehutanan dan Perekebunan Kabupaten Tasikmalaya Tahun 200 8 6.2.3 Pencemaran Sumbedaya Air DAS Citanduy Air merupakan sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan makhluk hidup. Pemanfaatan air haruslah secara bijaksana agar ketersediaan air dapat mencukupi kebutuhan kehidupan generasi sekarang maupun yang akan datang. Aktivitas kehidupan masyarakat di sekitar DAS yang sangat tinggi, telah menimbulkan efek terhadap kondisi air DAS itu sendiri. Aktivitas-aktivitas tersebut dapat berupa kegiatan pertanian, penebangan hutan, limbah rumahtangga maupun industri dan yang lainnya, mengakibatkan terganggunya kualitas bahkan kuantitas air. Permasalahan utama yang dihadapi menyangkut sumberdaya air adalah kuantitas air yang berkualitas sudah tidak dapat lagi memenuhi kehidupan masyarakat DAS. Beberapa bentuk pencemaran air DAS yang banyak terjadi diantaranya: 1. Pencemaran oleh kegiatan pertanian Kegiatan pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas air, seperti penggunaan pupuk buatan yang mengandung nitrogen dan fosfat yang tinggi. 2. Limbah rumahtangga Masyarakat yang bermukim di DAS akan menghasilkan limbah rumahtangga (organik maupun anorganik) yang dapat mempengaruhi kualitas air pada perairan sungai. Masyarakat Desa Tanjungsari pada umumnya adalah petani dan buruh tahi. Luas sawah yang ada di desa ini menembati urutan pertama dibanding desadesa lainnya dalam kawasan Kecamatan Sukaresik (Tabel 28). Tabel 26. Luas Tanah Sawah Menurut Desa Tahun 2007 No Desa Luas Tanah Sawah (Ha) 1. Margamulya 117,20 2. Cipondok 115,70 3. Sukamenak 92,80 4. Sukaresik 85,90 5. Sukaratu 67,30 6. Banjarsari 1250 7. Sukapancar 112,7 8. Tanjungsari Sumber: BPS 2007 152,27 Penduduk Desa Tanjungsari masih menggunakan pupuk buatan dalam mengolah lahan pertaniannya. Limbah pertanian dari lahan sawah tersebut kemudian dialirkan ke sungai Citanduy oleh masyarakat petani. Penduduk Desa Tanjungsari lebih memilih memanfaatkan Sungai Cikidang untuk irigasi dibanding Sungai Citanduy. Hal ini karena letak Sungai Citanduy yang lebih rendah dibandingkan Sungai Cikidang, sehingga lebih sulit mengalirkan air ke sawah-sawah yang dimiliki warga. Penduduk kemudian menjadikan Sungai Citanduy hanya untuk tempat pembuangan limbah pertanian. Limbah rumahtangga juga dihasilkan penduduk Desa Tanjungsari. Limbah rumahtangga yang dihasilkan dapat berupa organik maupun anorganik. Pada umumnya warga yang membangun rumah tepat berada di pinggiran Sungai Citanduy masih membuang limbah rumahtangga mereka ke sungai tersebut. Hal ini karena menurut mereka lebih praktis jika dibandingkan dengan membakarnya untuk anorganik, sedangkan untuk limbah organik pada umumnya pembuangan disalurkan ke sungai oleh warga yang bermukim tepat di pingggir sungai. 6.3 Pengelolaan DAS Citanduy Terpadu Pengelolaan DAS Terpadu akan dapat dilaksanakan dan diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang ada, melalui upaya pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam DAS secara efektif dan efisien. Pelaksanaan kegiatan harus sesuai dengan kondisi khas pada setiap wilayahnya, baik menurut administratif pemerintahan maupun wilayah hidrologis jaringan sungai (DAS/Sub DAS). Pihak yang akan dibahas dalam pengelolaan DAS Citanduy diantaranya: masyarakat, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Cimanuk-Citanduy, Balai Besar Wilayah Citanduy. 6.3.1 Balai Pengelolaan DAS Cimanuk-Citanduy Pengelolaan DAS Citanduy berada di bawah BP DAS Cimanuk-Citanduy yang berada di Bandung, Jawa Barat. Balai Pengelolaan DAS Cimanuk-Citanduy sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) pusat Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial di daerah mempunyai kewenangan dalam melakukan penyusunan rencana dan program pengelolaan DAS yang mana kegiatanya akan diimplementasikan di Dinas Kabupaten lingkup wilayah kerja BP DAS Cimanuk-Citanduy. Pengelolaan yang dilakukan pihak BP DAS sendiri mempunyai tiga bentuk kegiatan pengelolaan, diantaranya: rencana jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. 1. Perencanaan Jangka Pendek Perencanaan jangka pendek yang dilakukan pihak BP DAS berupa Rencana Teknis Tahunan (RTT). Misalnya, kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) melalui kegiatan vegetatif dan sipil teknis. Rehabilitasi Hutan dan Lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dapat mendukung sistem penyangga kehidupan. Rencana Teknik Tahunan (RTT) rehabilitasi hutan dan lahan melalui kegiatan vegetatif dan sipil teknik baik pembuatan maupun pemeliharaan oleh BP DAS dapat dilihat pada Lampiran 4. 2. Perencanan Jangka Menengah Bentuk rencana pengelolaan jangka menengah dapat berupa Rehabilitasi Hutan dan konservasi Tanah (RLKT). Kegiatan ini merupakan rencana jangka menengah lima tahun berdasarkan pendekatan wilayah pengelolaan DAS atau hidrologi sungai. Pada umumnya kerusakan sumberdaya alam diakibatkan oleh penggunaan lahan yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Selain itu usaha tani yang banyak berkembang di masyarakat umumnya adalah usaha tanam semusim yang bersifat sub sisten. Bentuk kegiatan lainnya adalah RHL lima tahun dan Rencana Teknik Social Farestry (RTFS). Rencana RHL dilakukan sebagai upaya penanganan lahan kritis yang ada di wilayah DAS. Kemudian RTFS merupakan bentuk pengelolaan hutan yang diarahkan pada seluruh potensi sumberdaya hutan dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Out put yang diharapkan adalah membangkitkan kegiatan ekonomi masyarakat, meningkatkan partisipasi masyarakat, mempercepat rehabilitasi hutan, mengendalikan kerusakan sumberdaya hutan dan meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat dan aparatur pemerintah. Rekomendasi kegiatan RLKT dan rencana Rehabilitasi Hutan dan Lahan (lima tahun) dapat dilihat pada Lampiran 5. 3. Perencanaan Jangka Panjang Rencana jangka panjang dikenal dengan istilah Pola Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (Pola RLKT), yakni meliputi kegiatan jangka panjang 25 tahun. Untuk tahun 2007, perencanaan jangka panjang yang telah disusun di wilayah BP DAS Cimanuk-Citanduy adalah Rencana Umum Pengembangan Usaha Bambu. Rencana umum ini disusun untuk 4 wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Garut, Sumedang, Majalengka dan Tasikmalaya. Ke empat kabupaten ini dipilih berdasarkan potensi lahan yang dimilikinya yang sesuai untuk pengembangan tanaman bambu. 6.3.2 Dinas Kehutanan Tasikmalaya dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Upaya pengelolaan DAS yang dilakukan pihak Dishutbun Tasikmalaya adalah kegiatan konservasi melaui rehabilitasi lahan. Bentuk pelaksanaan kegiatannya meliputi: (1) Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN), (2) Kegiatan Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK), (3) Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Kegiatan yang dibahas lebih lanjut adalah GRLK, hal ini karena wilayah Desa Tanjungsari merupakan salah satu desa yang menjadi sasaran dari kegiatan ini. Tahun 2008 Kabupaten Tasikmalaya melakukan kegiatan penanggulangan lahan kritis seluas 1500 hektar melalui GRLK. Kegiatan GRLK ini merupakan kegiatan yang bersifat bantuan kepada kelompok tani berupa bantuan bibit tanaman tahunan produktif siap tanam, yaitu bibit kayu-kayuan, buah-buahan, hewan ternak dan pembuatan sumur resapan. Pemberian bantuan disesuiakan dengan permasalahan tiap wilayah sasaran. Menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tasikmalaya, bantuan yang sesuai untuk Desa Tanjungsari adalah pemberian bibit kayu-kayuan dan buah-buahan, seperti mahoni, albasia rambutan dan yang tanaman lainnya. Hal ini karena lahan kritis yang terdapat di desa tersebut pada umumnya adalah lahan kritits pada areal perkebunan warga. Bentuk bantuan yang diberikan adalah berupa bibit tanaman untuk di tanam di areal perkebunan warga. Luas wilayah yang menjadi sasaran di desa ini adalah 10 hektar lahan kritis yang ada di desa tersebut. 6.3.3 Balai Besar Pengelolaan Citanduy Balai Besar Wilayah Citanduy melaksanaan pengelolaan DAS Citanduy dari sisi pengelolaan sumberdaya airnya meliputi: perencanaan, pelaksanaan, konstruksi dan operasi pemeliharaan. Tujuannya adalah mewujudkan konservasi sumber daya air, pengembangan sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air pada wilayah sungai Citanduy. Kegiatan yang direncanakan pihak balai dalam pengelolaan SDA wilayah Sungai Citanduy dilaksanakan dengan berpedoman pada Rencana Induk PWS Citanduy tahun 1975, meliputi hal-hal sebagai berikut: 1). Rencana Pengembangan Tahap I, terdiri dari : a) Pengembangan wilayah Sungai Citanduy / Ciseel Hilir b) Pengembangan Segara Anakan c) Pengelolaan air wilayah Sungai Citanduy /Ciseel Hulu d) Pola pengelolaan air untuk keseimbangan daerah 2). Rencana Pengembangan Tahap II, meliputi : a) Peningkatan pengendalian banjir b) Pengembangan irigasi c) Penyempurnaan pengendalian sedimen d) Pengembangan segara anakan e) Pengaturan air. Bentuk realisasi kegiatan yang telah dilakukan oleh pihak Balai Besar dapat dilihat di Lampiran 7. Realisasi kegiatan yang dilakukan pihak Balai belum ada yang dilakasanakan di Desa Tanjungsari. Menurut pihak Balai sendiri, hal ini karena dalam pelaksanaan kegiatannya, Balai melakukan prioritas terlebih dahulu pada kawasan yang menjadi sasaran. Prioritas ditentukan berdasarkan masalah dan kebutuhan yang ada pada wilayah sasaran DAS. 6.3.4 Masyarakat Desa Tanjungsari Partisipasi masyarakat Desa Tanjungsari dalam menjaga kestabilan masih belum optimal. Menurut Kolopaking dan Tonny (1994), bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS dapat dilihat dari partisipasi mayarakat yang terorganisir dalam kelembagaan, seperti kelompok tani dan kelompok tradisional. Kelompok Tani Surakatiga yang ada di desa ini kegiatannya masih seputar peningkatan produksi pertanian. Pengolahan lahan pertanian yang diterapkan masyarakat desa masih belum memperhatikan kaidah koservasi lahan dan air. Misalnya, bentuk pengolahan lahan pertanian yang dilakukan masyarakat masih menerapkan sistem konvensional (penggunaan pupuk kimia). Meskipun ada di antara warga yang telah melakukan sistem pengolahan pertanian organik, namun jumlahnya masih sangat sedikit. Contoh lainnya yang mencerminkan masih rendahnya partisipasi masyarakat Desa dalam menjaga kestabilan DAS adalah masih banyaknya warga yang membuang limbah rumahtangga ke DAS, seperti yang dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan SR (60 tahun) berikut ini: “… kebanyakan warga desa di sini menerapkan sistem pengolahan konvensional yang menggunakan pupuk kimia. Karena hasilnya sama saja dengan hasil dari sistem pengolahan organik. Pekerjaan yang dilakukan juga lebih ringan. Kalau untuk limbah rumahtangga, memang masih banyak warga yang membuang limbah ke sungai, tapi kebanyakan adalah warga yang rumahnya di pinggir sungai, karena lebih praktis…” Tanaman bambu merupakan tanaman yang memiliki keunggulan dalam memperbaiki sumber tangkapan air, sehingga mampu meningkatkan aliran air bawah tanah. Meskipun fungsinya sangat baik dalam konservasi, namun jumlah tanaman bambu yang terdapat di pinggiran sungai makin berkurang drastis. Hal ini karena warga yang memiliki lahan di pinggir sungai kemudian mengubah lahan yang penuh dengan bambu tersebut menjadi lahan perkebunan (sayur-sayuran, ubi, pisang, dan yang lainnya), lahan persawahan dan pemukiman, sedangkan untuk bambunya sendiri ada yang dijual warga dan ada yang dimanfaatkan langsung oleh pemilik lahan. Perubahan fungsi lahan tersebut disebabkan oleh keterbatasan lahan yang dimiliki warga, sehingga lahan di pinggiran sungai tersebut juga dijadikan sebagai lahan lahan pertanian dan pemukiman. Selain itu warga juga mengakui bahwa lebih baik menanam tanaman untuk konsumsi keluarga, sehingga dapat dimanfaatkan langsung untuk rumahtangga. Menurut keterangan EH (50 tahun): “….lahan saya yang di pinggir sungai itu dulunya banyak pohon bambu. Tapi kemudian pohon-pohon bambu tersebut saya jual saja, dan saya gantikan dengan tanaman sayur, ubi, kunyit, cabe dan lainnya, biar dapat digunakan untuk konsumsi sehari-hari. Tidak ada lagi lahan yang dapat saya manfaatkan, sawah saya luasnya sempit, jadi hanya tinggal lahan tersebut yang dapat saya manfaatkan …” Hal di atas juga didukung oleh pernyataan AP (44 tahun): “….hanya ini lahan yang saya punya, jadinya saya bangun rumah disini saja, meskipun letaknya di pinggir sungai. Kalau disuruh pilih neng, saya lebih suka bangun rumah di dekat jalan utama desa saja, daripada di pinggir sungai begini, kalau hujan deras, rumah saya sudah pasti kebanjiran…” Partisipasi masyarakat di DAS melalui kelembagaan lokal yang ada, seperti kelompok tani, organisasi pemuda, karang taruna dan lainnya harus lebih ditingkatkan lagi dalam pengelolaan DAS. Masyarakat sebaiknya dilibatkan dalam proses perencanaan kegiatan yang dilaksanakan pemerintah, baik program yang dilaksanakan BP DAS, Balai Besar maupun Dishutbun. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan diharapkan dapat membuat masyarakat berkontribusi penuh dalam upaya pemeliharaan DAS (tidak sebagai sasaran program saja). Masyarakat dapat lebih menerapkan pola konservasi dalam memanfaatkan lahan yang ada di DAS. 6.4 Ikhtisar Daerah Aliran Sungai bagian hulu berfungsi sebagai kawasan konservasi penyangga daerah tengah dan hilir, sehingga sangat penting dilakukan upaya konservasi dalam pemanfaatan sumberdayanya. Beberapa permasalahan yang terdapat di DAS adalah kurangnya penerapan konservasi terhadap lahan dan air, sehingga menimbulkan berbagai permasalahan yang dapat mengganggu kondisi hidrologis DAS. Bentuk-bentuk permasalahan itu diantaranya: kawasan hutan yang semakin sedikit akibat alih fungsi lahan, yaitu alih fungsi hutan ke bentuk pamanfaatan lain (lahan pertanian dan pemukiman); lahan kritis yang luasnya semakin bertambah dan pencemaran lingkungan air DAS. Menghadapi permasalahan-permasalahan di atas, diperlukan suatu upaya pengelolaan DAS Terpadu. Pengelolaan DAS Terpadu haruslah melalui keterlibatan berbagai pihak dalam pengelolaan DAS, diantaranya: masyarakat, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Cimanuk-Citanduy, Balai Besar Wilayah Citanduy dan pihak swasta.