ii tinjauan pustaka

advertisement
9
II TINJAUAN PUSTAKA
Banjir
Hujan yang jatuh ke bumi akan mengalami proses intersepsi, infiltrasi dan
perkolasi. Sebagian hujan yang diintersepsi oleh tajuk tanaman menguap,
sebagian mencapai tanah dengan melalui batang sebagai aliran batang (streamfall)
dan sebagian lagi mencapai tanah secara langsung yang disebut sebagai air
tembus (throughfall). Sebagian air hujan yang mencapai permukaan tanah
terinfiltrasi dan terperkolasi ke dalam tanah.
Intensitas curah hujan netto (setelah diintersepsi oleh vegetasi) yang
melebihi laju infiltrasi mengakibatkan air hujan akan disimpan sebagai cadangan
permukaan di dalam tanah. Apabila kapasitas cadangan permukaan terlampaui
maka akan terjadi limpasan permukaan (surface runoff) yang pada akhirnya
terkumpul dalam aliran sungai sebagai debit sungai. Limpasan permukaan yang
melebihi kapasitas sungai maka kelebihan tersebut dikenal dengan istilah banjir.
Banjir memiliki dua arti yaitu meluapnya air sungai disebabkan oleh debit sungai
yang melebihi daya tampung sungai pada keadaan curah hujan yang tinggi, dan
arti kedua adalah banjir merupakan genangan pada daerah rendah yang datar yang
biasanya tidak tergenang (Kabir et al. 2011).
Banjir dipengaruhi oleh banyak faktor, yang dapat dikelompokkan menjadi
tiga faktor, yaitu elemen meteorologi, karakteristik fisik DAS dan manusia.
Elemen meteorologi yang berpengaruh pada timbulnya banjir adalah intensitas,
distribusi, frekuensi dan lamanya hujan berlangsung. Karakteristik fisik DAS
yang berpengaruh terhadap terjadinya banjir adalah luas DAS, kemiringan lahan,
ketinggian dan kadar air tanah. Manusia berperan pada percepatan perubahan
karakteristik fisik DAS yaitu dengan semakin meningkatnya permintaan
penggunaan lahan untuk permukiman dan prasarana wilayah akan mengurangi
penggunaan lahan lainnya seperti hutan dan semak belukar. Pengaruh perubahan
penggunaan lahan terhadap perubahan karakteristik aliran sungai berkaitan
dengan berubahnya areal konservasi yang dapat menurunkan kemampuan tanah
dalam menahan air. Hal tersebut juga dapat memperbesar peluang terjadinya
aliran permukaan dan erosi (Asdak 1995).
Faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya bencana banjir
Menurut Suwardi (1999), beberapa pengaruh langsung yang berkaitan
dengan meningkatnya luapan air diklasifikasikan menjadi :
1) Faktor hujan, yaitu hujan yang turun pada wilayah atas dan wilayah bawah;
2) Faktor sedimentasi, yaitu beberapa proses sedimentasi dan inundasi,
meluapnya air pada titik-titik pengendapan hingga air berpencar meluas
menuruni lereng sekitar;
3) Adanya perkembangan sosial, perluasan kawasan kedap air dengan tidak
adanya tindakan pencegahan pada luasan wilayah tertentu. Adanya crossing
pada lintasan jalan dengan adanya bangunan jembatan, pengendapan dan
penyumbatan saluran drainase; serta
10
4) Terjadinya pasang naik air laut, masuknya air laut yang menghambat
keluarnya air pada titik muara keluaran.
Dalam skala perkotaan, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya banjir adalah
:
1) Topografi, kelandaian lahan sangat mempengaruhi timbulnya banjir terutama
pada lokasi dengan topografi datar dan kemiringan rendah, seperti pada kotakota pantai. Hal ini menyebabkan kota-kota pantai memiliki potensi/peluang
terjadinya banjir yang besar disamping dari ketersediaan saluran drainase
yang kurang memadai, baik saluran utama maupun saluran yang lebih kecil.
2) Areal terbangun yang luas, biasanya pada kawasan perkotaan dengan tingkat
pembangunan fisik yang tinggi, sehingga bidang peresapan tanah semakin
mengecil.
3) Kondisi saluran drainase yang tidak memadai akibat pendangkalan,
pemeliharaan kurang, dan kesadaran penduduk untuk membuang sampah
pada tempatnya masih belum memasyarakat (Suwardi 1999).
Curah Hujan
Savitri (2007) menjelaskan bahwa curah hujan adalah unsur iklim yang
sangat dominan mempengaruhi aliran permukaan dan erosi di daerah tropis. Sifat
hujan yang penting mempengaruhi erosi dan sedimentasi adalah energi kinetik
hujan yang merupakan penyebab pokok dalam penghancuran agregat-agregat
tanah. Curah hujan merupakan salah satu komponen pengendali dalam sistem
hidrologi. Secara kuantitatif ada dua karakteristik curah hujan yang penting, yaitu
jeluk (depth) dan distribusinya (distribution) menurut ruang (space) dan waktu
(time). Pengukuran jeluk hujan di lapangan umumnya dilakukan dengan
memasang penakar hujan dalam jumlah yang memadai pada posisi yang mewakili
(representatif).
Sifat hujan yang berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi adalah
jumlah, intensitas dan lamanya hujan. Dari hal-hal tersebut yang paling erat
hubungannya dengan energi kinetik hujan adalah intensitas. Kekuatan dan daya
rusak hujan terhadap tanah ditentukan oleh besar atau kecilnya curah hujan. Bila
jumlah dan intensitas hujan tinggi maka aliran permukaan dan erosi yang akan
terjadi lebih besar dan demikian juga sebaliknya (Savitri 2007).
Debit Aliran Sungai
Asdak (1995) menjelaskan bahwa debit aliran sungai adalah jumlah air yang
mengalir pada suatu titik atau tempat per satuan waktu. Debit aliran dibangun oleh
empat komponen, yaitu limpasan langsung (direct run-off), aliran dalam atau
aliran tertunda (inteflow/delayed run-off), aliran bawah tanah atau aliran dasar
(ground water/baseflow) dan aliran hujan yang jatuh langsung ke sungai (channel
precipitation). Hujan yang turun pada suatu DAS terdistribusi menjadi keempat
komponen tersebut sebelum menjadi aliran sungai. Aliran permukaan merupakan
penyumbang terbesar terhadap peningkatan volume aliran sungai.
Asdak (1995) menambahkan hal-hal yang mempengaruhi debit sungai yaitu :
11
1) Meteorologis hujan (besarnya hujan, intensitas hujan, luas daerah hujan dan
distribusi musiman), suhu udara, kelembaban relatif dan angin.
2) Ciri-ciri DAS yaitu luas dan bentuk DAS, keadaan topografi, kepadatan
drainase, geologi (sifat-sifat tanah), evaluasi rata-rata dan keadaan umum
DAS (banyaknya vegetasi, perkampungan, daerah pertanian dan sebagainya).
Penggunaan Lahan
Menurut Arsyad (1989) lahan didefinisikan oleh FAO sebagai lingkungan
fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda di atasnya
sepanjang memiliki pengaruh terhadap penggunaannya, termasuk di dalamnya
hasil kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang. Lahan mempunyai tiga fungsi
utama, yaitu fungsi produksi dan wadah (misalnya tempat tinggal, produksi
tanaman dan penggembalaan), fungsi regulasi (misalnya siklus tanaman,
keseimbangan air dan tanah, proses asimilasi), dan fungsi informasi (ilmu
pengetahuan dan sejarah).
Penggunaan lahan adalah setiap campur tangan manusia terhadap lahan
dalam rangka memenuhi kebutuhannya, baik material maupun spiritual (Sitorus
2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor fisik
dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor kelembagaan. Faktor fisik
dan biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan geologi, tanah,
air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor pertimbangan
ekonomi dicirikan oleh keuntungan, kondisi pasar dan transportasi. Faktor
kelembagaan dicirikan oleh hukum pertanahan, situasi politik, sosial ekonomi,
dan secara administrasi dapat dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Bagi seorang perencana, pengetahuan mengenai penggunaan lahan dan
penutupan lahan sangatlah penting dalam membuat keputusan yang berhubungan
dengan pengelolaan sumberdaya lahan yang memperhatikan aspek lingkungan.
Penggunaan lahan (land use) dan penutupan lahan (land cover) merupakan dua
istilah yang sering diberi pengertian sama, padahal keduanya mempunyai
pengertian yang berbeda. Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), penggunaan lahan
berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup
lahan lebih merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan tanpa
mempersoalkan kegiatan manusia pada objek tersebut, dapat berupa konstruksi
vegetasi maupun buatan.
Saefulhakim et al. (1997) menyatakan bahwa penggunaan lahan merupakan
refleksi perekonomian dan preferensi masyarakat. Berhubung perekonomian dan
preferensi masyarakat ini bersifat dinamis sejalan dengan pertumbuhan penduduk
dan dinamika pembangunan, maka penggunaan lahan pun bersifat dinamis
sehingga dapat berkembang ke arah peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
juga sebaliknya.
Daerah Aliran Sungai (DAS)
Arsyad (2000) menyebutkan Daerah Aliran Sungai atau disingkat DAS
sebagai suatu daerah yang mengalirkan air ke sebuah sungai, pengaliran ini
12
berupa air tanah (ground water) atau air permukaan (surface water) atau
pengaliran yang disebabkan oleh gaya gravitasi. DAS didefinisikan sebagai suatu
kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografi (punggung bukit) yang
menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atas
permukaan tanah ke sungai utama yang bermuara di laut.
Berdasarkan pendapat dari berbagai pakar, dapat disimpulkan bahwa DAS
merupakan suatu wilayah bentang alam dengan batas topografis, suatu wilayah
kesatuan hidrologi serta merupakan suatu wilayah kesatuan ekosistem. Dengan
demikian, DAS dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah kesatuan ekosistem
yang dibatasi oleh pemisah topografis dan berfungsi sebagai pengumpul,
penyimpan, dan penyalur air, sedimen dan unsur hara dalam sistem sungai, keluar
melalui satu outlet tunggal. DAS juga berarti suatu daerah dimana setiap air yang
jatuh ke daerah tersebut akan dialirkan menuju ke satu outlet.
Secara makro, DAS terdiri dari unsur : biotik (flora dan fauna), abiotik
(tanah, air dan iklim), dan manusia. Ketiganya saling berinteraksi dan saling
ketergantungan membentuk suatu sistem hidrologi (Asdak 1995).
Tanah Longsor
Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2002),
tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan,
bahan rombakan, tanah atau material campuran yang bergerak ke bawah atau
keluar lereng. Sedangkan menurut Soemantri (2007), proses terjadinya tanah
longsor diawali oleh air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot
tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai
bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan
bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng.
Tanah longsor terjadi karena oleh adanya gerakan tanah sebagai akibat dari
bergeraknya massa tanah atau batuan yang bergerak di sepanjang lereng atau di
luar lereng karena faktor gravitasi. Kekuatan-kekuatan gravitasi yang dipaksakan
pada tanah-tanah miring melebihi kekuatan memecah ke samping yang
mempertahankan tanah-tanah tersebut pada posisinya. Kandungan air yang tinggi
menjadikan tanah menjadi lebih berat, yang meningkatkan beban dan mengurangi
kekuatan memecah ke sampingnya. Dengan kondisi-kondisi ini curah hujan yang
lebat atau banjir lebih memungkinkan terjadinya tanah longsor.
Menurut Soemantri (2007), longsor lahan disebabkan oleh 3 faktor penyebab
utama, yaitu :
1. Faktor dakhil (inherent factor), penyebab longsor lahan meliputi kedalaman
pelapukan batuan, struktur geologi (tektonik dan jenis batuannya), tebal
solum tanah, tekstur tanah dan permeabilitas tanah;
2. Faktor luar dari suatu medan, penyebab longsor lahan adalah kemiringan
lereng, banyaknya dinding terjal, kerapatan torehan dan penggunaan lahan;
serta
3. Faktor pemicu terjadinya longsor lahan, antara lain tebal curah hujan dan
gempa bumi.
13
Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2002),
daerah rentan longsor di wilayah Provinsi Jawa Barat meliputi Sumedang, Garut,
Cianjur, Tasikmalaya, Bogor, Sukabumi dan Bandung. Terjadinya longsor lahan
dapat dilihat dari gejala-gejala sebagai berikut :
1. Curah hujan yang tinggi dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama;
2. Menculnya retakan-retakan pada tanah di lereng atas, yang ditandai dengan
miringnya pohon dari permukaan tanah;
3. Lereng-lereng pegunungan yang telah lapuk (weathering process), dimana
bahan lapukan tersebut termasuk tanah yang berwarna merah;
4. Ada perubahan bobot massa baik oleh pergantian musim atau karena lahan
miring tersebut dijadikan areal persawahan;
5. Ada perbedaan kelunakan permukaan lahan dan dasar lahan;
6. Adanya gravitasi bumi yang tergantung pada besarnya lereng adalah kritis
jika lereng lebih dari 100 %; serta
7. Perubahan hambat geser, misalnya tanah kering hambatan gesernya lebih
besar dibandingkan dengan tanah basah.
Berdasarkan tipe gerakan dan material yang mengalami gerakan, Sutikno
(1994) dalam Alhasanah (2006), membedakan gerakan massa tanah atau batuan
menjadi tiga tipe, yaitu :
1. Tipe gerakan lambat (mencakup rayapan tanah, rayapan talus, rayapan
batuan, gletser dan solifluction);
2. Tipe aliran cepat (mencakup aliran lumpur, aliran tanah, debris avalance,
longsoran (landslide), nendatan (slump), longsoran hancuran, batu longsor
dan batu jatuh (rock fall); serta
3. Terban, yaitu turunnya material kulit bumi ke bawah tanpa permukaan
bebas dan pergeseran horizontal.
Faktor Penyebab Tanah Longsor
Karnawati (2004) menjelaskan bahwa terjadinya longsor karena adanya
faktor-faktor pengontrol gerakan dan proses-proses pemicu gerakan seperti yang
terlihat dalam skema Gambar 2 di bawah ini.
Penyebab
Gerakan Tanah
S
T
A
B
I
L
Faktor-Faktor
Pengontrol
•
•
•
•
•
Geomorfologi
Tanah
Geologi
Geohidrologi
Tata Guna Lahan
Pemicu Gerakan
Tanah
Rentan
(Siap Bergerak)
• Infiltrasi air ke
dalam lereng
• Getaran
• Aktivitas manusia/
perubahan
penggunaan lahan
KRITIS
Terjadi
Gerakan
Tanah
Gambar 2 Proses terjadinya gerakan tanah atau batuan dan komponen-komponen
penyebabnya (sumber : Karnawati, 2004)
14
Dari Gambar 2 terlihat bahwa faktor-faktor pengontrol gerakan tanah
meliputi kondisi morfologi, geologi, struktur geologi, hidrogeologi dan tata guna
lahan. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi sehingga mewujudkan suatu
kondisi lereng yang cenderung atau berpotensi untuk bergerak. Kondisi lereng
yang demikian disebut sebagai kondisi rentan untuk bergerak. Gerakan pada
lereng dapat terjadi apabila ada pemicu gerakan, dimana merupakan proses-proses
alamiah ataupun non alamiah yang dapat merubah kondisi lereng dari rentan atau
siap bergerak, menjadi mulai bergerak sehingga menyebabkan terjadinya
pergerakan massa tanah atau longsoran tanah (landslide).
Menurut Goenadi et al. (2005), faktor pemicu terjadinya longsor
dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor yang bersifat tetap (statis) dan faktor
yang bersifat mudah berubah (dinamis). Faktor pemicu yang bersifat dinamis ini
mempunyai pengaruh yang cukup besar karena kejadian tanah longsor sering
dipicu oleh adanya perubahan gaya atau energi akibat perubahan faktor yang
bersifat dinamis. Faktor yang termasuk kedalam kategori pemicu dinamis adalah
curah hujan dan penggunaan lahan. Pada kelompok faktor pemicu yang bersifat
dinamis, terdapat juga faktor kegempaan.
Selanjutnya faktor pemicu terjadinya tanah longsor yang bersifat statis
dibagi lagi kedalam dua kelompok, yaitu faktor batuan (jenis litologi penyusun
dan struktur geologi), dan faktor (sifat fisik) tanah. Secara lebih rinci faktor-faktor
tersebut di atas disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Faktor Penyebab dan Faktor Pemicu Tanah Longsor
No.
Faktor Penyebab
Parameter
1
Faktor Pemicu Dinamis
2
Faktor Pemicu Statis
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Kemiringan Lereng
Curah Hujan
Penggunaan Lahan (aktivitas manusia)
Jenis Batuan dan Struktur Geologi
Kedalaman Solum Tanah
Permeabilitas Tanah
Tekstur Tanah
Sumber: Goenadi et al. (2005)
2.7
Peta Bahaya dan Resiko Banjir
Banjir menurut terminologi ilmiah adalah suatu kondisi di suatu wilayah
dimana terjadi peningkatan jumlah air yang tidak tertampung pada saluran-saluran
air atau tempat-tempat penampungan air sehingga meluap atau menggenangi
daerah di luar saluran, lembah sungai, ataupun penampungan air tersebut (Savitri
2007). Mekanisme terjadinya banjir disajikan dalam Gambar 3.
Banjir dapat membahayakan suatu wilayah yang karena dipengaruhi faktorfaktor alamiah seperti curah hujan, topografi dan geomorfologi (proses fluvial)
15
menyebabkan terjadinya genangan yang berpotensi menimbulkan kerugian dan
penderitaan bagi manusia (Kuswartojo 2002).
Menurut Isnugroho (2002), di Indonesia terdapat 5 faktor penting penyebab
terjadinya banjir, yaitu :
1. Curah hujan, di daerah tropis curah hujan cukup tinggi pada musim hujan,
maka hujan yang terus menerus akan sampai pada kondisi tanah menjadi
jenuh air dan hujan yang jatuh langsung menjadi aliran permukaan;
2. Karakteristik DAS yang meliputi luas, bentuk dan kemiringan lereng;
3. Kemampuan alur sungai mengalirkan air, yang dipengaruhi oleh
pendangkalan dan penyempitan alur sungai;
4. Perubahan penggunaan lahan di DAS, yang mempengaruhi kemampuan
DAS dalam meresapkan air; serta
5. Pengelolaan sungai, yang dipengaruhi oleh preferensi pengelola dengan
mempertimbangkan aspek lingkungan, ekonomi dan politik.
HUJAN
Pengendalian Banjir
Perubahan Koefisien
Aliran
Perlakuan Terhadap
Lingkungan
Aliran Permukaan
Perubahan Fisik
Alur Sungai
Tidak
Ya
Qa < Qc
Tidak
Banjir
Gambar 3 Diagram mekanisme terjadinya banjir
Keterangan : Qa = debit pengaliran sungai; Qc = kapasitas pengaliran alur
sungai
= fenomena alam
= kondisi non alamiah yang berpengaruh pada fenomena alam
Sumber : Savitri, 2007
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2011), bencana banjir
dan tanah longsor mengakibatkan kerugian berupa korban manusia dari aspek
jumlah penduduk yang meninggal, hilang dan luka-luka; prasarana umum berupa
prasarana transportasi, fasilitas sosial, fasilitas pemerintahan, prasarana pertanian,
perikanan dan pengairan; serta harta benda perorangan berupa rumah tinggal yang
tergenang, rusak dan hanyut, asset/modal, ternak, dan lain-lain, sehingga dapat
mengganggu dan bahkan melumpuhkan kegiatan social ekonomi penduduk.
Daerah-daerah yang paling beresiko terhadap terjangan banjir adalah daerah dekat
sungai yang terdiri atas bangunan dari bahan tanah atau bata, bangunan dengan
16
pondasi tidak kedap air, perpipaan, saluran listrik, mesin, barang elektronik,
tanaman pertanian maupun ternak dalam kandang.
Semakin tingginya resiko banjir dapat berasal dari pilihan masyarakat pula.
Penduduk dapat memilih atau dengan sengaja tinggal di kawasan yang memiliki
bahaya banjir dengan berbagai alasan seperti kesuburan tanah atau peluang
lainnya yang dijanjikan lokasi tersebut, walaupun mereka tahu resiko banjir yang
akan diterima (Paripurno 2004).
Alhasanah (2006) menyebutkan bahwa resiko adalah gabungan dari unsurunsur resiko, bahaya dan kerentanan, dengan formula matematis : Rt = E x H x
V, dimana Rt : Resiko (risk), E : Unsur-unsur yang beresiko (risk elements), H :
Bahaya (hazard), dan V : Kerentanan (vulnerability).
Resiko (Rt) diartikan sebagai kondisi buruk yang harus diterima karena
fenomena alam tertentu yang dihasilkan dari unsur-unsur yang beresiko, bahaya
dan kerentanan, seperti jumlah kehidupan yang hilang, kerusakan properti dan
hancurnya aktivitas ekonomi. Adapun unsur-unsur beresiko (E) terdiri dari
populasi, bangunan, aktivitas ekonomi, pelayanan masyarakat, fasilitas umum,
infrastruktur dan lain-lain, yang memiliki resiko pada suatu area. Bahaya (H)
merupakan kecenderungan terjadinya kondisi bahaya akibat suatu fenomena,
sedangkan Kerentanan (V) merupakan ukuran kerugian yang mungkin dialami
suatu objek bila tertimpa bahaya, sebagai contohnya bantaran sungai yang padat
permukiman akan rentan jika diterjang banjir.
Pembuatan peta bahaya (hazard) dan resiko (risk) bencana banjir dapat
dilakukan dengan bantuan Sistem Informasi Geografis (SIG) berdasarkan metode
pengharkatan, yaitu pemberian skor atau nilai (scoring) dan pembobotan (weight)
pada setiap parameter yang digunakan, sesuai dengan dasar logika (logical
framework) yang ditetapkan dan disepakati bersama. Dengan menggunakan
metode tersebut, penentuan tingkat kerentanan banjir di suatu wilayah dapat
dilakukan dengan lebih kuantitatif. Metode ini banyak dimanfaatkan dalam
berbagai studi dan kegiatan pengelolaan sumberdaya lahan maupun pemetaan
bahaya banjir (Barus 1999).
Melalui pendekatan mitigasi atau pengurangan resiko bencana, masyarakat
dipandang sebagai subjek, bukan objek dari penanganan bencana dalam proses
pembangunan. Hal ini layak untuk diterapkan di era otonomi daerah sehingga
pemerintah daerah dan masyarakatnya secara mandiri dapat berusaha mengatasi
permasalahan bencana di daerahnya masing-masing.
Peta Bahaya dan Resiko Longsor serta Upaya Mitigasinya
Mikrozoning (risk mapping) adalah serangkaian kegiatan untuk pengkajian
resiko bahaya kawasan secara rinci, termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan
pengumpulan data (sekunder maupun survey di lapangan), analisis dan penyajian
dalam bentuk peta resiko. Dengan demikian kegiatan mikrozoning dimaksudkan
untuk memberi informasi resiko bencana di suatu wilayah, agar pembangunan
yang akan dilakukan dapat ditempatkan pada kawasan yang aman (Naryanto
2001).
17
Sebab-Sebab Manusia
Bencana Lingkungan
Sebab-Sebab Alam
Bencana Teknis
Bencana Alam
KERENTANAN
Korban Jiwa
Kerusakan Ekologis
Kerusakan Material
Umpan Balik
Sumber : Naryanto, 2001
Gambar 4 Hubungan sebab-akibat bencana
Bencana (disaster) disebabkan oleh faktor alam dan/atau manusia yang
dapat menimbulkan bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability) terhadap
manusia dan lingkungan itu sendiri. Dalam manajemen mitigasi bencana, sebab
dan akibat tersebut saling mempengaruhi satu sama lain (interdependensi) yang
secara skematis disajikan dalam Gambar 4. Dari gambar tersebut, terdapat faktor
umpan balik yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem. Umpan
balik (feed back) disini diartikan sebagai upaya untuk mengidentifikasi langkahlangkah yang akan dilakukan dalam manajemen mitigasi, termasuk sebab
terjadinya bencana (Paripurno 2004).
Selanjutnya menurut Naryanto (2001), untuk mengidentifikasi langkahlangkah antisipasi, baik sebelum maupun sesudah terjadinya bencana yang
disebabkan oleh alam maupun manusia, diperlukan suatu sistem manajemen
resiko bencana. Upaya dalam mengidentifikasi langkah-langkah antisipasi
bencana tanah longsor dengan melibatkan unsur-unsur manajemen resiko
digambarkan pada Gambar 5.
MANAJEMEN RESIKO BENCANA
SEBELUM
SETELAH
PERALIHAN
KAJIAN
• Analisis Biaya
• Analisis Kerawanan
• Penetapan Resiko
MITIGASI
• Perencanaan
penggunaan
Lahan Wilayah
dan Kota
• Manajemen Lahan
• Perhitungan
Struktural
PERSIAPAN
• Monitoring
Resiko
• Skenario-skenario
• Sistem Peringatan
Dini
• Perencanaan dan
Bantuan Keadaan
Darurat
PEMULIHAN
• Pertolongan
Dukungan Bantuan
Ekonomi
Masyarakat
• Strategi
Pengembangan
Gambar 5 Manajemen resiko bencana tanah longsor (sumber : Naryanto,2001)
18
Pada dasarnya kegiatan mitigasi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu
mitigasi struktural dan non-struktural. Menurut Naryanto (2001), dalam
pelaksanaannya kedua kelompok mitigasi tersebut harus dilakukan bersama-sama
dan saling memperkuat. Terhadap kedua kelompok tersebut, Paripurno (2004)
memberikan definisi untuk kegiatan mitigasi berbentuk struktural sebagai
kegiatan yang berkaitan dengan pembuatan infrastruktur pendorong minimalisasi
dampak. Adapun mitigasi non-struktural berupa penyusunan peraturan-peraturan,
pengelolaan tata ruang dan pelatihan.
Sistem Informasi Geografi (SIG)
Aplikasi dari Penginderaan Jauh (Inderaja) dewasa ini sudah hampir
menyeluruh digunakan disegala bidang/sektor. Hal tersebut terbukti dengan tidak
hanya digunakan untuk manajemen sumberdaya lahan saja, tetapi sudah
diaplikasikan untuk penggunaan-penggunaan dibidang lain seperti perencanaan
wilayah pengembangan komoditas tertentu dalam proses evaluasi kesesuaian
lahan, penentuan lokasi lapangan golf, penentuan lokasi yang paling strategis
untuk membuka suatu usaha kerja, dan lain-lain.
Sistem Informasi Geografi (SIG) pada saat ini sudah merupakan teknologi
yang dianggap biasa pada kalangan perencana atau kelompok lain yang
berkecimpung dalam hal pemetaan sumberdaya. Dua dekade sebelum ini terjadi
juga pada Penginderaan Jauh (PJ), walaupun tidak secepat kepopuleran SIG.
Kedua teknologi tersebut merupakan teknologi informasi atau lebih spesifik lagi
teknologi informasi spasial karena berkaitan dengan pengumpulan dan
pengolahan data spasial (Barus 2000).
Didalam pengerjaan SIG banyak terdapat istilah yang perlu diketahui agar
memudahkan pemahaman pada tahapan selanjutnya, sehingga diperlukan
pemaparan mengenai istilah-istilah data, informasi, sistem dan sistem informasi.
SIG adalah suatu sistem informasi tentang pengumpulan dan pengolahan data
serta penyampaian informasi dalam koordinat ruang, baik secara manual maupun
digital. Data yang diperlukan merupakan data yang mengacu pada lokasi
geografis, yang terdiri dari dua kelompok, yaitu data grafis dan data atribut. Data
grafis tersusun dalam bentuk titik, garis dan poligon; sedangkan data atribut dapat
berupa data kualitatif atau kuantitatif yang mempunyai hubungan satu-satu
dengan data grafisnya (Barus 2000).
Penerapan SIG untuk Identifikasi dan Pemetaan Kawasan Berpotensi Rawan
(Hazard) dan Resiko (Risk) Banjir dan Longsor
Dalam penerapan SIG, data-data yang diperlukan untuk pemetaan kawasan
rawan banjir dan longsor diperoleh dari citra satelit (baik resolusi tinggi maupun
semi tinjau), foto udara dan data-data sekunder lainnya berupa peta-peta tematik.
Data-data yang terkumpul kemudian diolah untuk mendapatkan informasi baru
dengan menggunakan SIG melalui metode pengharkatan, yaitu pemberian skor
atau nilai (scoring) dan pembobotan (weight) pada setiap parameter yang kita
Download