Belajar dari Jepang: Sistem Preservasi

advertisement
TEMU ILMIAH IPLBI 2013
Belajar dari Jepang: Sistem Preservasi Bangunan Kayu
Arif Sarwo Wibowo
Kelompok Keahlian Sejarah, Teori dan Kritik Arsitektur, SAPPK, Institut Teknologi Bandung.
JSPS Post-doctoral Fellow, Sasano Seminar, Tokyo Institute of Technology, Jepang.
Abstrak
Bangunan kayu, baik berupa bangunan monumen maupun bangunan rakyat, menyimpan warisan
budaya yang tak terkira nilainya. Bukan hanya dari segi perwujudan arsitekturalnya saja, namun
juga dari segi kekayaan ilmu pengetahuan konstruksi bangunan. Ketangguhan bangunan kayu di
Indonesia telah teruji oleh tantangan alam selama ratusan tahun. Upaya pelestarian telah dilakukan
oleh Pemerintah Indonesia, dengan diterbitkannya Undang-Undang RI No.11 tahun 2010 tentang
Cagar Budaya yang merupakan pembaharuan dari Undang-Undang RI No.5 tahun 1992 tentang
Benda Cagar Budaya. Namun upaya tersebut tetap harus diikuti dengan langkah nyata dalam
pelaksanaannya di lapangan. Jepang sebagai salah satu negara yang juga memiliki warisan budaya
berupa bangunan kayu telah menjalankan usaha pelestariannya sejak sejarah bangunan kayu itu
bermula. Bahkan, kesadaran merawat dan melestarikan bangunan sudah menjadi budaya dalam
masyarakat Jepang. Berbagai upaya pelestarian tersebut, baik secara kelembagaan maupun secara
teknis di lapangan, dapat menjadi contoh baik bagi upaya pelesatarian bangunan kayu sebagai
benda cagar budaya di Indonesia.
Kata-kunci : bangunan kayu, Jepang, preservasi, konservasi
Pengantar
Indonesia dengan Bumi Nusantaranya memiliki
kekayaan budaya yang luar biasa banyaknya,
termasuk budaya dan tradisi membangun bangunan kayu. Indonesia memiliki kekayaan
arsitektur kayu yang demikian berlimpah, dan
dapat dikatakan bahwa setiap etnis suku di
Indonesia memiliki pengetahuan arsitektur yang
berbeda-beda. Di setiap daerah di Nusantara ini
dapat dipastikan masing-masing tempat memiliki tradisi membangun dengan menggunakan
material kayu dengan teknik pengolahan dan
pemanfaatan yang berbeda, tergantung dari
pohon yang mudah ditemui di daerah tersebut
yang menghasilkan beraneka ragam perwujudan
arsitektur. Keanekaragaman arsitektur tersebut
dipengaruhi oleh lingkungan alam dan pengetahuan teknik konstruksi yang dimiliki. Setidaknya ada 4 (empat) hal utama yang sangat berpengaruh pada perwujudan arsitektur tradisional
yang ada, yaitu: (1) ketersediaan bahan baku
dari alam, (2) iklim dan cuaca, (3) ancaman dari
luar, dan (4) teknologi atau pengetahuan pertukangan.
Tidak ada yang dapat memastikan sejak kapan
tradisi dan kemampuan tersebut dimulai. Dan
tidak ada pula yang dapat memastikan asal
mula teknik dan kemampuan membangun tersebut. Beberapa dugaan yang diyakini saat ini
adalah bahwa kemampuan teknik membangun
bangunan kayu yang ada di Nusantara ini
diadopsi dari teknik membangun kapal laut. Terlepas dari pemikiran tersebut pada kenyataannya bangunan kayu yang dibangun dengan
teknik pertukangan tradisional saat ini sudah
sangat jarang ditemui di Nusantara ini, sejalan
dengan meningkatnya kecenderungan masyarakat untuk membangun rumah dari beton dan
bata. Hal ini tentunya akan menyebabkan lambat laun ketrampilan dan teknik membangun
bangunan kayu hilang, dan bangunan kayu pun
menjadi punah.
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 | D - 7
Belajar dari Jepang: Sistem Preservasi Bangunan Kayu
Serupa dengan Indonesia, Jepang adalah salah
satu negara yang memiliki kekayaan arsitektur
kayu melimpah yang tersebar di seluruh pelosok
negeri. Bahkan hingga kini, bangunan dengan
konstruksi kayu masih banyak digunakan pada
konstruksi bangunan rumah tinggal. Sangat wajar apabila Jepang memiliki keunggulan dalam
hal pengetahuan dan keterampilan konstruksi
kayu serta apapun yang terkait dengan perawatan bangunan kayu. Hal ini juga dibuktikan
dengan terpeliharanya ratusan bangunan tradisional kayu yang ada di Jepang. Bangunan tersebut secara umum dapat dikategorikan dalam 3
kelompok besar, yaitu (1) Bangunan istana, (2)
Bangunan religious, dan (3) Bangunan rumah
tinggal.
Untuk melindungi bangunan cagar budaya,
Jepang telah menyediakan berbagai perangkat
peraturan. Salah satu peraturan yang disempurnakan dari masa ke masa adalah Bunkazai
Hogohō (Law for the Protection of Cultural
Properties), atau Undang-undang Perlindungan
Benda Cagar Budaya, yang pertama kali terbit
tahun 1950, yang merupakan gabungan dari
beberapa peraturan yang telah terbit sebelumnya di tahun 1919, 1929 dan 1933. Undangundang inilah yang kemudian menjadi dasar
terbentuknya suatu lembaga khusus dibawah
Kementerian Pendidikan Jepang yang bertanggung jawab terhadap benda-benda cagar
budaya, yang disebut Bunkachō (Agency for
Cultural Affairs / ACA). Indonesia dan Jepang
memiliki banyak persamaan dalam hal kekayaan
bangunan cagar budaya, terutama yang terbuat
dari kayu. Bangunan kayu sangat rentan terhadap cuaca dan bencana. Oleh karena itu, pelestarian atau yang kerap disebut preservasi menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Jepang
telah melakukan kegiatan preservasi sejak
ratusan tahun yang lalu. Bahkan, preservasi
bangunan merupakan bagian dari tradisi bangsa
Jepang, sehingga sudah menjadi suatu kebiasaan dan kegiatan rutin. Ini merupakan hal yang
penting untuk diteladani oleh Indonesia demi
terjaganya kekayaan arsitektur kayu di nusantara.
Walaupun Indonesia telah memiliki UU RI No.11
tahun 2010 tentang Cagar Budaya, namun tetap
D - 8 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013
masih memerlukan pedoman teknis di lapangan
tentang tata cara pelaksanaan preservasi
bangunan kayu yang benar. Diharapkan dengan
mempelajari sistem preservasi bangunan kayu
yang ada di Jepang, Indonesia dapat mencontoh
dan mengambil pelajaran untuk dapat disesuaikan dan diterapkan di Indonesia, sesuai dengan
kondisi sosial, ekonomi dan iklim di Indonesia.
Artikel ini merupakan ulasan berdasarkan
pengamatan kunjungan dan observasi lapangan
/survey dan studi literatur terhadap beberapa
bangunan kayu di Jepang yang dikategorikan
sebagai Benda Cagar Budaya. Kunjungan lapangan dilakukan di sepanjang tahun 2013 terhadap beberapa obyek bangunan kayu di Tokyo,
Kyoto, Nara, dan Shiojiri. Pengamatan secara
teliti terhadap pelaksanaan teknik preservasi
bangunan kayu di lapangan dilakukan terhadap
bangunan rumah tinggal disebut sebagai Ohno
Family House di Shiojiri. Wawancara juga dilakukan terhadap arsitek preservasi bangunan
tersebut, untuk memperoleh keterangan teknik
dan sistem preservasi yang digunakan, serta latar belakang pemilihan metode preservasi yang
digunakan. Selain itu, wawancara juga dilakukan
terhadap pegawai pemerintah daerah yang
menangani pekerjaan ini. Darinya didapat keterangan perihal sistem administrasi dan tata cara
permohonan pen-anaan dari pemerintah untuk
perawatan bangunan cagar budaya.
Preservasi berdasarkan Jenis Intervensi
Ilmu mengenai preservasi bangunan kayu telah
demikian berkembang di Jepang, sehingga
berbagai kegiatan yang tergolong preservasi
dapat dikelompokkan secara lebih spesifik, yaitu
sebagai berikut:
Hozon, dapat diterjemahkan secara langsung
sebagai preservasi atau konservasi. Istilah preservasi sendiri umumnya digunakan di Amerika,
sedangkan istilah konservasi lebih banyak
digunakan di Inggris dan Australia. Pada dasarnya baik preservasi maupun konservasi memiliki
arti segala macam kegiatan intervensi dengan
tujuan melindungi bangunan cagar budaya.
Arif Sarwo Wibowo
Hogo, yang diterjemahkan dengan kata melin-
Han-kaitai, yaitu pembongkaran separuh, biasa-
dungi. Kata ini memiliki makna yang sedikit
berbeda dengan preservasi maupun konservasi.
Hogo dalam hal ini adalah kegiatan penjagaan
untuk menghindari dari kerusakan maupun perubahan bentuk.
nya hanya meliputi komponen arsitektural saja,
sedangkan bagian struktur hanya mengalami
perbaikan saja. Pembongkaran jenis ini biasanya
dilakukan dalam kurun waktu 150 hingga 200
tahun.
Iji shûri, berarti perawatan perbaikan. Dalam hal
Perbaikan parsial, yaitu meliputi perbaikan pada
bagian tertentu yang dinilai mengalami kerusakan. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada kurun
waktu di antara dua perbaikan besar yang telah
disebutkan di atas.
ini kegiatan utama yang dilakukan adalah perawatan untuk mencegah keusangan maupun
kerusakan. Dalam kegiatan perawatan tersebut,
tidak tertutup kemungkinan dilakukan kegiatan
perbaikan skala kecil.
Shûri, berarti perbaikan yang diikuti intervensi
untuk mengganti bagian yang rusak tanpa harus
membongkar struktur utama bangunan.
Fukkyu, dapat diterjemahkan sebagai restorasi,
yaitu merupakan proses merubah kondisi bangunan maupun struktur untuk mengembalikannya ke bentuk atau rancangan bangunan
yang merepresentasikan periode tertentu.
Saiken, yaitu rekonstruksi yang berarti pembangunan ulang struktur atau bangunan baru berdasarkan rekaan dan bukti-bukti peninggalan
sejarah dan arkeologis yang otentik, maupun
bukti kemiripan untuk mengembalikan suatu
bangunan yang dahulu pernah ada.
Preservasi berdasarkan Periode dan Skala
Pekerjaan
Dalam rangka preservasi, intervensi yang dilakukan terhadap suatu bangunan kayu yang tergolong benda cagar budaya di Jepang memiliki
tingkat intensitas yang berbeda-beda; dan hal
ini dilakukan secara periodik. Intervensi periodikal tersebut dapat dikelompokkan menjadi 5
(lima), yaitu:
Zen-kaitai, yaitu pembongkaran total. Dilakukan
tiap kurun waktu 300 hingga 400 tahun, dengan
cara melepas seluruh bagian bangunan hingga
terurai tiap-tiap komponennya. Kemudian komponen-komponen tersebut disusun kembali dan
dibangun menjadi bangunan yang sama dengan
mengganti komponen yang usang dan rusak
dengan komponen baru dengan kualitas yang
setara dengan komponen aslinya.
Pengecatan ulang dan/atau pemberian ulang
lapisan pelindung, dilakukan dalam kurun waktu
20 hingga 40 tahun sekali, tergantung pada
jenis cat dan lapisan yang digunakan. Pengecatan dan pemberian lapisan sebisa mungkin
menggunakan jenis bahan yang sama dengan
aslinya.
Pengatapan ulang, dilakukan antara 20 hingga
80 tahun sekali, tergantung jenis atap yang
digunakan. Penggantian atap tanah/genting dapat dilakukan dalam kurun waktu 50 hingga 80
tahun, namun pengatapan ulang jenis atap
dengan bahan rumput atau bahan tanaman
dapat dilakukan tiap 20 tahun.
Bangunan kayu yang merupakan benda cagar
budaya nasional dan dikelola oleh pemerintah
memiliki jadwal masing-masing untuk jenis
intervensi tersebut di atas. Sedangkan bangunan kayu yang juga terdaftar sebagai benda
cagar budaya, namun kepemilikannya bersifat
pribadi yang umumnya adalah rumah tinggal,
dapat mengajukan bantuan finansial dan teknis
kepada pemerintah daerah untuk kepentingan
preservasi tersebut dengan jadwal yang
disesuaikan sendiri oleh pemiliknya.
Permasalahan dalam Preservasi Bangunan
Kayu
Dalam usaha melestarikan bangunan kayu di
Jepang, para tenaga ahli banyak menghadapi
permasalahan yang berasal dari alam maupun
yang bersifat kecerobohan manusia, antara lain
yang paling sering dihadapi adalah:
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 | D - 9
Belajar dari Jepang: Sistem Preservasi Bangunan Kayu
Gambar 1. Penggunaan kolom tambahan dari besi
untuk memperkuat struktur bangunan Ohno Family
House. Kolom tambahan diletakkan dan dirancang
sesamar mungkin agar tidak merusak tampilan
bangunan yang asli. (sumber: survey Mei 2013)
Gambar 3. Patina pada salah satu kolom bangunan
Kuil Manshuin Monzeki, Kyoto. Perbedaan usia kayu
yang digunakan untuk perbaikan menyebabkan
sambungan dan perbedaan tekstur tampak dengan
jelas. (sumber: survey Maret 2013)
Gambar 2. Rayap merupakan penyebab utama
kerusakan pada salah satu bangunan di Shugakuin
Rikyu, Kyoto. (sumber: survey Maret 2013)
Gambar 4. Penangkal petir dipasang pada ujung atap
bangunan Kuil Tōji, Kyoto, sebagai upaya pencegahan
kerusakan atau kebakaran yang disebabkan oleh petir.
(sumber: survey Maret 2013)
D - 10 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013
Arif Sarwo Wibowo
(1) Gempa bumi. Jepang sebagaimana wilayah
timur Indonesia termasuk dalam jalur
gempa bumi sirkum Pasifik yang rawan
dengan gempa berkekuatan tinggi. Walaupun bangunan kayu relatif aman dan
memiliki kelenturan yang baik serta mampu
bertahan terhadap goncangan gempa,
namun pada dasarnya tetap memiliki potensi kerusakan. Bergesernya posisi bangunan dari lokasi semula dan patahnya
sambungan atau komponen bangunan lainnya merupakan salah satu kemungkinan
kerusakan yang dapat terjadi yang disebabkan oleh gempa bumi.
(2) Kerusakan yang disebabkan oleh unsur biologis, antara lain oleh serangga dan jamur.
Rayap merupakan salah satu musuh utama
bangunan kayu. Kerusakan yang disebabkan oleh rayap bersifat lamban namun sulit
dideteksi dan diatasi, karena letak
kerusakannya umumnya berada di dalam
batang-bantang kayu. Permasalahan yang
disebabkan oleh jamur juga tidak kalah
besar. Posisi bagian bangunan yang ditumbuhi jamur umumnya tertutup dan sulit
dijangkau, sehingga tidak mudah untuk
dipantau dan dikontrol.
(3) Munculnya “Patina” pada kayu yang
disebabkan oleh iklim dan cuaca secara
alami. Kayu yang bertambah tua akan
mengalami perubahan tekstur dan bentuk.
Walaupun hal ini merupakan hal yang wajar
dan terkadang justru memunculkan karakter bangunan, namun perubahan yang
terjadi menyebabkan ukuran kayu menjadi
tidak presisi lagi, dan menyebabkan deformasi bentuk bangunan. Hal seperti ini akan
lebih berbahaya lagi apabila mempengaruhi
kondisi struktur bangunan.
(4) Bahaya kebakaran, merupakan bencana
serius dalam usaha pelestarian bangunan
kayu. Kebakaran dapat disebabkan oleh
alam, seperti petir; namun juga dapat
disebabkan oleh kelalaian manusia. Terkadang gempa bumi juga dapat menyebabkan jaringan listrik rusak sehingga
menimbulkan arus pendek dan memicu
munculnya api.
(5) Atap turun, merupakan kejadian yang
sering terjadi pada bangunan kayu.
Deformasi batang-batang kayu dan adanya
beban berat bahan penutup atap menyebabkan atap secara keseluruhan turun.
Walaupun terkadang tidak sampai membahayakan, namun perubahan bentuk atap
tersebut cukup mengganggu tampilan
bangunan secara keseluruhan, sehingga
perbaikan tetap perlu diadakan.
Lembaga Keprofesian di bidang Preservasi
Selain Bunkachō (Agency for Cultural Affairs /
ACA), sebagai lembaga resmi pemerintah Jepang, dalam setiap pekerjaan preservasi bangunan penting dari kayu, selalu didampingi
oleh lembaga/organisasi profesional yang menekuni bidang preservasi/konservasi bangunan
kayu, seperti:
Zaidan-hôjin bunkazai kenzôbutsu hozon gijutsu
kyôkai (The Japanese Association for Conservation of Architectural Monuments/JACAM), yaitu suatu asosiasi para profesional yang memiliki kompetensi dalam bidang teknik pertukangan kayu dan teknik perbaikan bangun-an secara
tradisional.
Zenkoku shjito yanekôji gijutsu hozon-kai (The
National Association for the Preservation of
Roofing Techniques for Temples and Shrines),
yaitu asosiasi para profesional di bidang perbaikan atap.
Nikkô ni-sha ichi-ji hozon-kai (The Association
for the Conservation of Cultural Properties
Owned by Two Shrines and One Temple in
Nikko), yaitu asosiasi para profesional di bidang
pengecatan dan perlindungan terhadap kayu.
Lembaga-lembaga tersebut telah mendapatkan
pengakuan oleh pemerintah sebagai lembaga
yang memiliki kemampuan dalam pekerjaan
preservasi bangunan kayu. Selain itu, lembagalembaga tersebut juga menyelenggarakan
berbagai pelatihan keprofesian terkait dengan
pertukangan tradisional untuk melestarikan ketrampilan tersebut.
Penutup
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 | D - 11
Belajar dari Jepang: Sistem Preservasi Bangunan Kayu
Pada dasarnya banyak kesamaan antara
Indonesia dan Jepang dalam hal kekayaan
bangunan kayu sebagai benda cagar budaya,
sehingga banyak hal dari peraturan yang
diterapkan di Jepang yang dapat diadopsi di
Indonesia. Dukungan teknis dan finansial dari
pemerintah merupakan hal penting dalam
kegiatan preservasi. Jepang telah melakukan
preservasi terhadap bangunan kayu secara
menyeluruh, yaitu dari aspek tampilan bentuk
fisik bangunan, maupun aspek ketrampilan
pertukangan tradisional. Kedua aspek tersebut
harus berjalan secara bersama-sama, sehingga
masing-masing dapat saling menunjang. Pewarisan dan pelestarian bangunan yang tergolong
Benda Cagar Budaya juga harus disertai pewarisan teknik dan ketrampilan dalam pemeliharaan bangunan tersebut. Agar tidak punah,
sudah menjadi suatu keharusan bahwa ketrampilan tersebut diturunkan ke generasi selanjutnya secara sistematis.
Merujuk pada pengalaman Jepang menangani
kegiatan preservasi, peran pemerintah pusat
dan daerah adalah sangat penting. Mereka
bertindak sebagai perencana dan manajer
kegiatan. Untuk melihat kemungkinan penerapan sistem preservasi bangunan kayu di Jepang
untuk kasus bangunan kayu di Indonesia, maka
perlu dilakukan kajian lebih lanjut tentang
kesiapan infrastruktur kelembagaan maupun
ketenagaahlian. Kajian yang dimaksud adalah
berupa studi komparasi antara peraturan dan
kelembagaan yang ada di Indonesia dengan
yang ada di Jepang. Kajian juga dapat diperdalam dengan studi kesiapan ketenagaahlian
dan studi penguasaan ketrampilan pertukangan
di lapangan serta penguasaan teknik preservasi
bangunan kayu.
Daftar Pustaka
Larsen, Knut Einar (1994). Architectural Preservation
in Japan. Trondheim: Tapir Publishers
Pusat Dokumentasi Arsitektur (2011). Pengantar
Panduan Konservasi Bangunan Bersejarah Masa
Kolonial. Jakarta: Pusat Dokumentasi Arsitektur
Budi, Bambang Setia dan Arif Sarwo Wibowo (2010).
Studi Tipo-Morfologi Masjid-Masjid Tua dan
Persebarannya di Sumatera Barat. Seminar Hasil
D - 12 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013
Penelitian Dosen SAPPK 2009, SAPPK-Institut
Teknologi Bandung, h. 345-374
_____ (2012) Laporan Bantuan Rekonstruksi Warisan
Budaya Kawasan Bersejarah di Padang. National
Research Institute for Cultural Properties, Tokyo
Kazuo, Nishi dan Hozumi Kazuo (1983). What is
Japanese Architecture. New York: Kodansha USA,
Inc.
Download