a01-pkota1-isi - Fakultas Geografi UMS

advertisement
Dengan demikian, perancangan kota berkaitan dengan penataan lingkungan fisik yang lebih luas
daripada hanya satu persil seperti yang dialami oleh bidang arsitektur. Karena dapat dilihat sebagai
ekstensi dari bidang Arsitektur, maka bidang Perancangan Kota (Urban Design) sering pula disebut
sebagai “Arsitektur Kota”.
Gambar I-1: Perancangan Kota sebagai ekstensi Arsitektur
Perencanaan kota (urban planning) menangani lingkungan binaan (built environment) dalam
lingkup kota (makro). Untuk melaksanakan hasil perencanaan kota diperlukan program-program
penanganan kawasan (mezo), maka dapat diartikan bahwa perancangan kota (urban design)—sebagai
penanganan lingkungan binaan berskala mezo—merupakan salah satu langkah implementasi
(pelaksanaan) rencana kota (lihat Gambar II-2).
Gambar II-2 :Perancangan Kota sebagai ekstensi Arsitektur dan sebagai implementasi Perencanaan Kota
Sebagai implementasi rencana kota, perancangan kota mempunyai implikasi sebagai berikut:
a)
Mengacu pada program atau isi rencana kota
Rencana kota yang berimplikasi ke kawasan dapat berupa: pelestarian kawasan bersejarah,
penataan kembali atau revitalisasi pusat kota, pengembangan kota baru, pengembangan kawasan
perumahan dan sebagainya. Perancangan kota dapat mengimplementasikan program-program tersebut,
sehingga dapat dikembangkan proyek perancangan kota berkaitan dengan pelestarian kawasan bersejarah,
dan sebagainya.
b)
Memanfaatkan perangkat implementasi rencana kota
Sebagai salah satu kegiatan implementasi rencana kota, maka perancangan kota dapat
dilaksanakan dengan memanfaatkan perangkat implementasi rencana kota, yaitu antara lain perangkat
pengendali pembangunan ruang kota, seperti: perijinan lokasi atau guna lahan, peraturan bangunan,
pemberian IMB, dan pada kasus kota-kota di Amerika terdapat perangkat seperti: zoning, subdivison
regulation, dan sebagainya.
Minaret Branch (1995: 201) mengatakan bahwa:
“Di dalam perencanaan kota komprehensif, perancangan kota memiliki suatu makna
yang khusus, yang membedakannya dari berbagai aspek proses perencanaan kota.
Perancangan kota berkaitan dengan tanggapan inderawi manusia terhadap lingkungan
fisik kota: penampilan visual, kualitas estetika, dan karakter spasial”.
Harry Anthony (dalam buku Antoniades, 1986: 326) memberi pengertian bahwa perancangan kota
merupakan pengaturan unsur-unsur fisik lingkungan kota sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi baik,
ekonomis untuk dibangun, dan memberi kenyamanan untuk dilihat dan untuk hidup di dalamnya.
Frederick Gutheim (dalam Antoniades, 1986: 326) menyatakan bahwa perancangan kota (urban design)
merupakan bagian dari perencanaan kota (urban planning) yang menangani aspek estetika dan yang
menetapkan tatanan (order) dan bentuk (form) kota. Selanjutnya, Antoniades (1986: 326) juga
mendukung pendapat di atas bahwa perancangan kota menangani permasalahan keindahan kota yang
tercermin dari fisik kota yang dirancang oleh perancang kota.
2.
Perbedaan Perancangan Kota dengan Perencanaan Kota
dan Perancangan Arsitektur
Perencanaan kota memandang perancangan kota sebagai salah satu implementasi rencana kota.
Perencanaan kota (urban planning), meskipun berkaitan dengan tata ruang dan juga, antara lain, ekonomi,
sosial, budaya; tapi biasanya tidak berkaitan dengan kualitas visual lingkungan. Perancangan arsitektural,
di lain pihak, berfokus pada bangunan secara individual (tunggal).
Dari bahasan tentang perbedaan di atas, dapat ditarik ringkasan tentang perbedaan perancangan
kota dibanding perencanaan kota dan arsitektur, seperti gambar berikut:
Perancangan kota berada "di antara" arsitektur dan Perencanaan Kota
bangunan
tunggal
di
Kebijaksanaan
publik
Ruang umum &
bangunan-bangunan
dari aspek publik
Gambar II-1: Perbedaan Perancangan Kota, Perencanaan Kota, dan Arsitektur
persil
1. Pengertian dan Macam Rencana Kota
Di Amerika, rencana kota umumnya disebut sebagai rencana kota komprehensif (comprehensive
urban plan). Rencana kota ini diartikan sebagai kebijaksanaan jangka panjang (20 – 30 tahun) mengenai
distribusi keruangan (spasial) obyek, fungsi dan kegiatan dan tujuan (Catanese dan Snyder, 1979: 194).
Rencana kota mengkoordinasikan kegiatan Pemerintah dan kegiatan swasta atau masyarakat
dalam membangun fisik dan keruangan kotanya.
Dalam praktek perencanaan kota di Indonesia saat ini, para perencana mengacu pada Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987) (tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota). Dalam
peraturan tersebut, Pasal 1 (butir d) disebutkan pengertian rencana kota, sebagai berikut:
“Rencana kota adalah rencana pengembangan kota yang disiapkan secara teknis dan nonteknis, baik yang ditetapkan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah yang
merupakan rumusan kebijaksanaan pemanfaatan muka bumi wilayah kota termasuk ruang
di atas dan di bawahnya serta pedoman pengarahan dan pengendalian bagi pelaksanaan
pembangunan kota”.
Selain itu, peraturan di atas juga menjelaskan bahwa suatu rencana kota bertujuan supaya kehidupan
warga kota menjadi aman , tertib dan lancar dan sehat melalui: a) Perwujudan pemanfaatan ruang kota
yang serasi dan seimbang sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan daya dukung pertumbuhan dan perkembangan kota. b) Perwujudan
pemanfaatan ruang kota yang sejalan dengan tujuan serta
kebijaksanaan Pembangunan Nasional dan Daerah. Rencana kota (yang menjadi tanggung jawab
Pemerintah Daerah) dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: 1) Rencana Umum Tata Ruang Kota
(RUTRK) 2) Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) 3) Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK).
Perbedaan antar ketiga macam rencana tersebut terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel III-1: Perbandingan antara macam rencana kota
Macam
Rencana
RUTRK
Lingkup Wilayah
seluruh wilayah
adminitrasi kota
Isi Rencana
• Kebijaksanaan pengembangan kota •
Rencana pemanfaatan ruang kota
• Rencana struktur tingkat pelayanan kota
• Rencana sistem transportasi
• Rencana sistem jaringan utilitas kota
• Rencana pengembangan pemanfaatan
air baku
Skala Peta
1 : 10.000
(untuk kota
berpenduduk
kurang dari 1
juta jiwa);
1 : 20.000
• Indikasi unit pelayanan kota • Rencana
pengelolaan pembangunan
kota
RDTRK
RTRK
sebagian atau
seluruh wilayah
adminitrasi kota
yang dapat
merupakan satu
atau beberapa
kawasan tertentu
sebagian atau
seluruh kawasan
tertentu yang
dapat merupakan
satu atau beberapa
unit lingkungan
perencanaan
• Kebijaksanaan pengembangan
penduduk
• Rencana pemanfaatan ruang bagian
wilayah kota
• Rencana struktur tingkat pelayanan
• Rencana sistem jarangan fungsi jalan
• Rencana sistem jaringan utilitas
• Rencana kepadatan bangunan
lingkungan
• Rencana ketinggian bangunan • Rencana
garis sempadan atau garis
pengawasan jalan
• Rencana indikasi unit pelayanan
• Rencana tahapan pelaksanaan
pembangunan
• Pengelolaan penanganan lingkungan
• Rencana tapak pemanfaatan ruang
• Pra rencana pola dan konstruksi
jaringan jalan
• Pra rencana bentuk dan konstruksi
jaringan utilitas
• Pra rencana bentuk dan konstruksi
bangunan gedung
• Rencana indikasi proyek
(untuk kota
berpe nduduk
lebih dari 1 juta
jiwa).
1 : 5.000
dengan
penggambaran
geometrik yang
dibantu dengan
titik-titik
kendali.
1 : 1.000
Sumber: PerMendagri No. 2 Tahun 1987
2. Proses Penyusunan Rencana Kota
Proses perencanaan kota yang menganut “faham” perencanaan komprehensif, secara umum
terlihat pada gambar sebagai berikut:
Gambar III-1: Salah satu model proses perencanaan kota komprehensif (diangkat
dari: Levy, 1997: 104-111).
Istilah “komprehensif” yang arti katanya ialah “menyeluruh”, dalam hal ini diartikan bahwa dalam
penelitian perencanaan semua aspek perkotaan dianalisis. Aspek-aspek tersebut, menurut PerMendagri
No. 2 Tahun 1987 Pasal 22 meliputi antara lain:
1) Aspek fisik dasar
2) Aspek lingkungan hidup
3) Aspek kependudukan dan kebudayaan
4) Aspek penggunaan tanah
5) Aspek status penguasaan tanah 6) Aspek perekonomian 7) Aspek fasilitas dan utilitas 8)
Aspek sistem transportasi 9) Aspek keruangan dan pembiayaan pembangunan kota 10) Aspke
kelembagaan Pemerintahan dan Pengelolaan Kota.
Berbagai aspek tersebut di atas juga menjadi kajian dalam perancangan kota. Selain itu, beberapa
masalah yang biasa dihadapi perancangan kota, seperti misalnya: citra kota (image of the city),
juga menjadi ba han masukan bagi proses perencanaan kota (tahap penelitian perencanaan).
3.
Produk Perencanaan Kota yang Mempengaruhi
Perancangan Kota
Untuk skala bagian wilayah kota, macam rencana kota yang secara umum mempengaruhi
perancangan kota adalah RDTRK, terutama bagian-bagian rencana yang berkaitan dengan:
1) macam pemanfaatan ruang kota
2) sistem jaringan fungsi jalan
3) sistem jaringan utilitas
4) kepadatan bangunan lingkungan
5) ketinggian bangunan
6) garis sempadan atau garis pengawasan jalan.
Untuk skala kawasan, bila telah ada RTRK, maka pra rencana teknis yang diatur dalam RTRK juga
menjadi pertimbangan dalam perancangan kawasan.
Disamping rencana kota, terdapat peraturan-peraturan atau kebijaksanaan Pemerintah Daerah
lainnya yang dapat mempengaruhi perancangan kota, yaitu antara lain: peraturan bangunan,
kebijaksanaan pelestarian bangunan bersejarah atau kawasan bersejarah, dan peraturan Pemerintah
tentang cagar budaya.
18 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)
Beberapa program pembangunan juga dapat mempengaruhi atau mendorong
perancangan kota, misalnya: revitalisasi pusat kota, pengatasan kawasan kumuh,
konsolidasi lahan perkotaan. Di samping itu, program pengembangan kegiatan
pariwisata juga dapat mendorong kegiatan perancangan kota atau kawasan, seperti
misalnya: taman rekreasi, taman budaya, dan kompleks pe ninggalan purbakala.
Topik-topik yang dibahas :
(1) Domain (lingkup) bidang perancangan kota Unsur -unsur bentuk kota:
(2) Guna lahan
(3) Bentuk dan massa bangunan
(4) Sirkulasi dan perparkiran
(5) Ruang terbuka
(6) Jalan pedestrian
(7) Pendukung kegiatan
(8) Perpapanan-nama
(9) Preservasi
1. Domain (lingkup) Bidang Perancangan Kota
Untuk merumuskan unsur-unsur bentuk fisik kota, perlu dirumuskan terlebih dulu domain atau
lingkup bidang perancangan kota. Seperti telah dijelaskan di bagian sebelumnya, perancangan kota
(urban design) dalam hal ini dipandang sebagai bagian dari proses perencanaan kota (urban planning)
yang berkaitan dengan kualitas fisik lingkungan kota. Dalam hal kualitas fisik ini, perencana dan
perancang kota tidak akan dapat merancang seluruh unsur bentuk fisik kota, kecuali bila yang dihadapi
kota baru atau kawasan kosong yang akan direncanakan (Shirvani, 1985:6).
Domain perancangan kota terbentang dari tampilan muka bangunan (eksterior) ke luar (ke ruang
publik diantara bangunan-bangunan). Berkaitan dengan ini Barnett (1974, dalam Shirvani, 1985: 6)
mengatakan bahwa domain perancangan kota sebagai "merancang kota tanpa merancang bangunanbangunan". Dengan kata lain, domain tersebut mencakup ruang-ruang di antara bangunan-bangunan.
Dalam hal ruang-ruang luar tersebut, berdasar pengalaman "Urban Design Plan of San Fransisco,
1970" (Wilson et. al, 1979 dalam Shirvani, 1985: 6), ruangruang dikelompokan menjadi empat group,
yaitu: 1) pola dan citra internal: menjelaskan maksud ruang-ruang di antara bangunan
bangunan dalam lingkup kawasan kota, terutama dalam hal focal points, viewpoints,
landmarks, dan pola gerak; 2) bentuk dan citra eksternal: berfokus pada skyline (garis
langit) kota, serta citra dan identitas kota secara keseluruhan;
3) sirkulasi dan perparkiran: mengkaji karakteristik jalan (dalam hal: kualitas pemeliharaan, kepadatan
ruang, tatanan, kemonotonan, kejelasan rute, orientasi ke tujuan, keselamatan, dan kemudahan
gerakan), serta persyaratan dan lokasi perparkiran;
4) kualitas lingkungan: berkaitan dengan sembilan faktor, yaitu kecocokan penggunaan, kehadiran unsur
alam, jarak ke ruang terbuka, kepentingan visual dari fasad jalan, kualitas pandangan, kualitas
pemeliharaan, kebisingan, dan iklim setempat.
Pengelompokan di atas belum menunjukkan unsur-unsur bentuk fisik kota dalam perancangan kota.
Unsur-unsur tersebut, dijelaskan oleh Shirvani (1985: 7-8), meliputi delapan butir, yaitu: 1) guna lahan 2)
bentuk dan massa bangunan 3) sirkulasi dan perparkiran 4) ruang terbuka 5) jalan pedestrian 6)
pendukung kegiatan 7) perpapanan - nama 8) preservasi.
Tiap unsur dijelaskan di bagian berikut ini dengan pola bahasan yang dimulai dengan pengertian unsur
tersebut (bila perlu, dan termasuk pula penjelasan mengapa unsur tersebut diperlukan dalam perancangan
kota dan keterkaitannya dengan unsur lainnya), isu atau permasalahan utama berkaitan dengan unsur
1
tersebut, serta solusi atau konsep perancangan unsur tersebut .
2. Guna Lahan
Pengertian
Guna lahan merupakan kebijakan Pemerintah kota yang bersifat dua dimensional (dalam bentuk
peta) tapi berpengaruh pada rancangan tiga dimensi (bangunan) di atas lahan tersebut. Guna lahan juga
berkaitan dengan sirkulasi dan perparkiran.
Isu atau permasalahan utama
Tiga masalah utama terjadi berkaitan dengan penerapan sistem guna lahan atau pemintakatan
(zoning) perkotaan yaitu:
(1)
tidak adanya diversifikasi kegiatan dalam zona yang sama ("terlalu seragam" menyebabkan hanya
ramai pada waktu tertentu");
(2)
kurang memperhitungkan faktor lingkungan dan fisik alamiah;
(3)
masalah pemeliharaan dan perbaikan prasarana kota.
Solusi atau konsep perancangan
Solusi yang ditawarkan menyangkut penggunaan lahan campuran yang dapat mendorong kegiatan
terjadi "24 jam", dengan peningkatan sirkulasi pendestrian, penggunaan yang lebih baik terhadap sistem
prasarana, dilakukannya analisis berbasis lingkungan, dan peningkatan pemeliharaan dan perbaikan
prasarana.
Terhadap kawasan yang "mati kehidupan" dapat dilakukan solusi modifikasi guna lahan. Sekolah
yang kekurangan murid dan bangkrut dapat dialih-gunakan
1
Penjelasan tentang kedelapan unsur tersebut diangkat dari Shirvani (1985: 8-46)
menjadi mall, misalnya. Contoh lain, pergudangan atau bangunan indistri yang sudah tidak terpakai dapat
disulap menjadi "tokok gudang rabat" (seperti toko "Alfa" di Yogyakarta).
3. Bentuk dan Massa Bangunan
Pengertian
Umumnya, peraturan bangunan mengatur ketinggian, sempadan dan coverage bangunan.
Pengalaman beberapa proyek perancangan kota menyarankan untuk meliputi pula "penampilan dan
konfigurasi bangunan", misal berkaitan dengan warna, bahan bangunan, tekstur, bentuk muka (fasad).
Secara tradisional, hal-hal ini menjadi hak arsitek bersama kliennya. Tapi, sebenarnya hal ini menyangkut
kepentingan masyarakat dan berdampak pada lingkungan kota. Contohnya: penggunaan kaca pantul
cahaya untuk bangunan tinggi, dan pengubahan tampilan muka bangunan bersejarah.
Isu atau permasalahan utama
Isu utama dalam hal ini menyangkut "keseimbangan" hak antara arsitek perancang bangunan
individual dan Pemerintah (mewakili perancang kota), dalam hal perancangan eksterior bangunan dan
ruang-ruang antara bangunan. Spreiregen (1965, dalam Shirvani, 1985: 23) menyebutkan tiga isu utama
yang berkaitan dengan bentuk dan massa bangunan perkotaan, yaitu:
(1)
"skala" yang berkaitan dengan ketinggian pandang manusia, sirkulasi, bangunan-bangunan
berdekatan, dan ukuran lingkungan;
(2)
"ruang kota" berkaitan dengan bentuk-bentuk bangunan, skala dan suasana penutupan ruang antar
bangunan, dan macam ruang kota;
(3)
"massa perkotaan" meliputi bangunan-bangunan, permukaan tanah, obyekobyek dalam ruang
yang dapat membentuk ruang kota dan membentuk pola kegiatan, dalam skala besar atau kecil.
Solusi atau konsep perancangan
Pemerintah kota perlu menyususn pedoman perancangan bentuk dan massa bangunan (dari segi
perancangan kota) berdasar studi/analisis yang komprehensif tentang data fisik kota yang ada (bentuk
bangunan dan unsur-unsur fisik). Contoh pedoman yang pernah dibuat: Residential Design Guidelines
disusun oleh San Fransisco Planning Department (Shirvani, 1985: 17-18).
4. Sirkulasi dan Perparkiran
Isu dan permasalahan utama
Perparkiran mempunyai dua dampak langsung terhadap kualitas lingkungan, yaitu: (1)
keberlangsungan kegiatan perdagangan di pusat kota, dan (2) dampak visual bentuk kota. Sirkulasi dapat
membentuk, mengarahkan, dan mengendalikan pola kegiatan (dan juga pembangunan) kota.
Solusi dan konsep perancangan
Solusi perparkiran meliputi: (1) permbangunan fasilitas parkir pada kawasan yang belum
mempunyai dengan cukup memadai, dengan mempertimbangkan dampak visual bentuk kotanya; (2)
penggunaan ganda terhadap fasilitas parkir yang ada (misal: parkir perkantoran yang hanya dipakai siang
hari dapat digunakan untuk parkir kegiatan perdagangan di malam hari); (3) "paket parkir", yaitu
perusahaan yang mempunyai karyawan banyak perlu punya kawasan parkir tersendiri dekat atau jauh
(remote) dari lokasi perusahaan (satu paket dengan pendirian perusahaannya); dan (4) parkir di pinggir
kota atau pinggir pusat kota, yang dibangun pengembang dengan bantuan Pemerintah (dari lokasi tersebut
disediakan angkutan murah ke pusat kota).
Dalam hal penanganan sirkulasi, Shirvani (1985: 26) menawarkan tiga azas perancangan, yaitu: 1)
Ruang jalan perlu dijadikan sebagai "unsur ruang terbuka visual positif" dengan
cara: a) menutupi dan membuat pengatasan lansekap terhadap tampilan yang "kurang
sedap dipandang";
b) memberi persyaratan tinggi dan sempadan bagi bangunan dekat jalan;
c) membangun median jalan bertaman;
d) meningkatkan kualitas lingkungan alam yang terlihat dari jalan.
2) Jalan dapat memberi orientasi kepada para pengemudi kendaraan dan membuat lingkungan menjadi
jelas, dengan cara: a) menyediakan palet lansekap untuk menegaskan batas lingkungan atau
kawasan yang terlihat dari jalan; b) membuat perlengkapan jalan dan
pencahayaan sehingga jalan terlihat jelas di siang maupun malam hari;
c) mengkaitkan unsur jalan dengan obyek pandang penting (vistas) dan referensi penting (vistas) dan
referensi visual (memudahkan untuk mengingat-ingat suatu tempat atau jalan) ke guna lahan
terdekat atau landmark;
d) membedakan tingkatan jalan dengan pembedaan sempadan, tampilan
ruang jalan, dan sebagainya. 3) Pemerintah dan masyarakat perlu
bekerja sama dalam mencapai tujuan ini.
Solusi lain terhadap isu sirkulasi dapat dilakukan dengan strategi manajemen lalulintas, serta
penyebaran kegiatan antar kawasan di kota (desentralisasi kegiatan yang menimbulkan lalulintas banyak).
Secara umum, kecenderungan penanganan lalu lintas perkotaan meliputi: (1) peningkatan mobilitas gerak
di pusat perdagangan kota, (2) tidak mendorong penggunaan kendaraan prib adi, (3) mendorong
pemakaian kendaraan umum, dan (4) peningkatan akses ke pusat perdagangan kota.
5. Ruang Terbuka
Pengertian
Pengertian "ruang terbuka" (open space) bagi tiap orang mungkin berbedabeda, tapi dalam hal ini,
ruang terbuka meliputi: lansekap, hardscape (jalan, trotoar, dan sebagainya), taman, dan ruang rekreasi di
kota. Unsur-unsur ruang terbuka
mencakup: taman dan alun-alun, ruang hijau kota, perabot jalan/ruang kota, kioskios, patung, jam kota,
dan sebagainya.
Isu atau permasalahan utama
Pada masa lalu, ruang terbuka tidak pernah dirancang tapi menjadi akibat setelah bangunanbangunan berdiri. Dengan kata lain, ruang terbuka belum menjadi unsur terpadu dalam perancangan fisik.
Solusi atau konsep perancangan
Dalam perancangan kota, rua ng terbuka perlu menjadi unsur terpadu dalam perancangan
bangunan (dipertimbangkan dalam proses perancangan bangunan). Untuk itu, Pemerintah kota perlu
menyusun suatu pedoman rancangan hubungan bangunan-bangunan dengan ruang-ruang terbuka. Contoh:
kota Dallas membuat "Natural Open Space Plan" (tahun 1978). Dalam kaitannya dengan hubungan
bangunan dan ruang terbuka, Tankel (1963, dalam Shirvani, 1985: 31) menyatakan bahwa "nilai penting
ruang terbuka bukan terletak pada kuantitasnya, tapi pada pengaturan ruang-ruang tersebut berkaitan
dengan pembangunan (fisik)".
6. Jalan Pedestrian
Pengertian
Pada masa lalu, perancangan pedestrian di kota jarang dilakukan. Ketika suatu mall dirancang
dengan memperhatikan kenyamanan pejalan kaki, maka mall tersebut berhasil menarik banyak
pengunjung. Jalan pedestrian (jalan pejalan kaki) di samping mempunyai unsur kenyamanan bagi pejalan
kaki juga mempunyai andil bagi keberhasilan pertokoan dan vitalitas kehidupan ruang kota. Sistem
pedestrian yang baik akan mengurangi ketergantungan pada kendaraan bermotor di pusat kota, menambah
pengunjung ke pusat kota, meningkatkan atau mempromosikan sistem skala manusia, menciptakan
kegiatanan usaha yang lebih banyak, dan juga membantu meningkatkan kualitas udara.
Isu dan permasalahan utama
Isu utama perancangan jalan pedestrian menyangkut "keseimbangan" seberapa untuk pejalan kaki
dan seberapa untuk kendaraan. Di samping itu, keselamatan pejalan kaki juga menjadi isu utama. Selain
itu, di Indonesia, dan juga di beberapa negara berkemba ng lainnya (antara lain: Muangthai), jalan
pedestrian sering berkaitan dengan masalah kakilima (pedagang sektor informal).
Solusi atau konsep keruangan
Bila ruang pejalan kaki lebih luas daripada yang diperlukan maka terasa "sepi", tapi bila kurang
akan terasa "padat/sesak". Kepadatan ini seringkali baik karena kerumunan orang akan menarik perhatian
orang lain untuk mendekat dan ikut bergabung. Di beberapa lokasi tertentu—misal: di kawasan
Malioboro, Yogyakarta—jalan pedestrian sengaja dibuat lebih lebar daripada kebutuhan pejalan kaki
dengan alasan untuk juga mewadahi kegiatan pedagang sektor informal (kakilima).
Kegiatan lain diperlukan untuk mendukung kehidupan jalan pedestrian, seperti: pertunjukan,
penjual makanan, dan tempat janji bertemu (rendezvous points). Macam bangunan atau fasilitas (termasuk
pula: perabotan jalan) sepanjang jalan pedestrian juga mempengaruhi hidup-matinya jalan pedestrian.
Misal: bila hanya ada kantor dan bank maka jalan pedestrian sepi; maka perlu ada toko-toko kecil atau
department store di sepanjang jalan pedestrian serta dilengkapi dengan bangkubangku tempat duduk dan
lampu-lampu taman.
7. Pendukung Kegiatan
Pengertian
Pendukung kegiatan diartikan sebagai semua guna lahan dan kegiatan yang memperkuat ruang
publik perkotaan. Bentuk, lokasi, dan karakteristik suatu kawasan akan menarik fungsi-fungsi guna lahan,
dan kegiatan yang spesifik. Sebaliknya, suatu kegiatan cenderung memilih lokasi yang paling cocok
untuk kegiatan tersebut.
Dengan demikian, penempatan kegiatan yang tepat akan menarik kegiatan-kegiatan pendukung.
Kegiatan pendukung tidak hanya termasuk penyediaan pedestrian atau plaza (ruang terbuka yang
berlantai perkerasan) tapi juga termasuk fasilitas kota yang menarik kegiatan lainnya. Fasilitas tersebut
misalnya: pusat perbelanjaan, taman rekreasi, pusat pertemuan masyarakat (civic center), perpustakaan
kota, dan lain-lain.
Isu utama dan solusi
Kegiatan-kegiatan pendukung perlu dikembangkan, dikoordinasikan dan dipadukan dengan
bentuk-bentuk fisik yang ada. Demikian pula, integrasi kegiatan ruang dalam dan ruang luar juga
diperlukan untuk membuat suasana lebih hidup. Misal: perluasan tempat duduk suatu restoran dalam
ruang ke luar bangunan.
8. Perpapanan-nama / Reklame
Isu atau permasalah utama
Dari segi peranc angan kota, papan/nama/reklame/informasi perlu diatur agar terjalin kecocokan
lingkungan, pengurangan dampak visual negatif, mengurangi kebingungan dan kompetisi antara papan
informasi publik dan papan reklame. Papan nama/reklame yang dirancang baik akan menambah kualitas
tampilan bangunan dan memberi kejelasan informasi usaha.
Solusi atau konsep perancangan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan:
(1)
visibilitas (keterlihatan) papan/tanda (terpengaruh oleh faktor lokasi, tiang penempatan, cat pantul
dan sebagainya);
(2) legibilitas informasi (keterbacaan, kejelasan), yang berkaitan dengan macam dan ukuran huruf, jarak
antar huruf, lokasi, warna dasar, warna huruf dan sebagainya); juga tetap terbaca dari kendaraan yang
bergerak;
(3) "keseimbangan"
antara pengendalian kesemrawutan dan penciptaan perhatian serta sambil
memancarkan pesan/informasi;
(4)
keharmonisan papan nama/reklame dengan arsitektur bangunan di dekatnya; perlu juga
pengendalian ukuran tanda/papan yang mengganggu vistas kota;
(5) pengendalian
pemakaian lampu kedip untuk reklame (kecuali untuk tanda keselamatan
lalulintas/tanda "hati-hati", atau untuk bioskop dan sebagainya.
9. Preservasi
Pengertian
Preservasi atau perlindungan tidak hanya diberlakukan untuk bangunan bersejarah, tapi juga untuk
bangunan dan tempat yang dianggap perlu dilestarikan. Preservasi biasanya juga mempertimbangkan
faktor ekonomis dan kultural.
Isu atau permasalahan utama
Preservasi sering dipandang sebagai penghambat pembangunan. Tapi beberapa kegiatan
preservasi justru menciptakan kegiatan ikutan yang mendorong keberhasilan usaha dan peningkatan
pendapatan asli daerah (PAD).
Solusi atau konsep perancangan
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, antara lain:
(1)
Preservasi bangunan dan kawasan perlu mampu mendorong peningkatan perekonomian da erah.
(2) Pada masa kini, preservasi bergeser dari "pelarangan" menjadi "perlindungan".
Peraturan tentang preservasi berbeda dari satu kota ke kota yang lain. Meskipun
demikian, terdapat unsur-unsur yang sama, yaitu:
1) standar penetapan obyek preservasi;
2) pengkajian oleh tim atau dewan kajian arsitektur atau komisi preservasi;
3) standar kajian untuk preservasi, demolisi (penghancuran), dan alterasi
(pengubahan);
4) prosedur perlindungan landmark.
VI
METODE-METODE
PENGENDALIAN PEMANFAATAN
RUANG KOTA
(1)
(2)
Topik-topik yang dibahas:
Permasalahan pengendalian pemanfaatan ruang atau guna lahan kota
Belajar dari pengalaman pengendalian pemanfaatan ruang di Amerika
1.
Permasalahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang atau Guna
Lahan Kota
Rencana pemanfaatan ruang (rencana guna lahan), sebagai bagian dari rencana kota (RDTRK),
menjadi alat pengendali pembangunan fisik kota (lewat perijinan lokasi dan ijin mendirikan bangunan).
Peta rencana pemanfaatan ruang menunjukkan lokasi/zona/kawasan dengan guna lahan atau guna ruang
tertentu.
Dalam implementasinya, terdapat dua cara interpretasi rencana pemanfaatan ruang kota, yaitu: 1)
Cara "eksklusif", yaitu misal bila zona diperuntukkan untuk permukiman maka
permohonan peruntukan yang lain untuk suatu lokasi di zona tersebut akan
ditolak (usulan peruntukan yang berbeda dengan yang telah direncanakan tidak
diperbolehkan sama sekali). 2) Cara "dominasi", yaitu misal bila zona diperuntukkan untuk
permukiman maka
bila ada permohonan peruntukan lain maka akan dilihat apakah peruntukan lain tersebut mendominasi
zona tersebut atau tidak. Bila tidak mendominasi atau dengan kata lain dominasi guna lahan masih sesuai
dengan rencana, maka usulan peruntukan yang berbeda tersebut masih akan dikabulkan.
Pada prakteknya, dua cara tersebut dipandang tidak memuaskan. Cara pertama dipandang "terlalu kaku".
Beberapa orang berpendapat tidak menjadi masalah bila dalam permukiman ada toko, ada bengkel dan
sebagainya; asal tidak mengganggu. Cara kedua juga dikritik orang, karena sulitnya menentukan tingkat
dominasi. Berapa tingkat dominasinya? apakah lebih dari 50 % ? apakah itu 75 % ? Apakah satu industri
kulit di antara seratus ribu rumah tidak menjadi masalah, karena industri tersebut hanya satu yang berarti
tidak dominan? (meskipun industri tersebut menimbulkan polusi bau kemana-mana?).
Untuk beberapa peruntukan yang penting, seperti industri, hotel, diperlukan AMDAL (Analisa
Mengenai Dampak Lingkungan), yang dapat menjadi alat kendali lain di samping rencana pemanfaatan
ruang. Tetapi, peruntukan yang "kecil-kecil", seperti bengkel, warung, tidak diharuskan mendapat kajian
AMDAL; dan yang "kecil-kecil" ini bila terjadi dalam jumlah banyak di suatu tempat juga akan dapat
"mewarnai" suatu zona (yang kebetulan direncanakan untuk peruntukan lain).
Permasalahan lain menyangkut pengendalian guna lahan perkotaan berkaitan dengan bangunan
temporer. Di negara tropis, penduduk golongan berpenghasilan tingkat bawah dapat saja memulai
bangunan rumahnya dengan wujud bangunan temporer (bahan bambu, ijuk, lantai tanah, dan sebagainya).
Bangunan seperti ini, pada praktek umumnya, lepas dari pengawasan IMB. Padahal, sedikit demi sedikit
bangunan tersebut dibuat permanen, yang akhirnya perlu dikaji kesesuaian guna lahannya. Apakah bila
guna lahannya melanggar aturan, bangunan yang telah bertahun-tahun tersebut harus dibongkar (tanpa
menimbulkan masalah sosial?).
Permasalahan pengendalian pemanfaatan ruang kota dalam praktek nyatanya menjadi tantangan
yang berat bagi para pelaksana rencana kota. Dalam hal ini, diperlukan penelitian yang mendalam untuk
mendapatkan model-model pengendalian yang sesuai dengan kondisi kota yang berbeda-beda di negara
kita. Hal ini menjadi tantangan bagi dunia perguruan tinggi yang perlu bekerja sama dengan para praktisi
pengendalian pelaksanaan rencana kota. Para praktisi banyak
berpengalaman dalam hal ini, dan digabung dengan landasan teori para akademisi, maka dapat
dikembangkan model-model yang tepat.
2.
Belajar
dari
Pengalaman
Pemanfaatan Ruang di Amerika
Pengendalian
Di Amerika Serikat, dipakai dua katagori tindakan untuk membentuk ruang kota, yaitu (menurut
Levy, 1997: 113): 1) Pembangunan prasarana dan fasilitas umum (public capital investment), antara
lain: jaringan jalan, jaringan utilitas kota, sekolah, dan gedung pemerintahan.
2) Pengendalian oleh Pemerintah terhadap penggunaan lahan oleh perorangan/ swasta (land-use
controls). Pengendalian ini umumnya dilakukan lewat perijinan dan pelarangan pembangunan fisik
(penggunaan lahan). Terdapat dua katagori pengendalian ini, yaitu: (a) peraturan pengkaplingan lahan
luas menjadi persilpersil (subdivision regulations), dan (b) peraturan pemintakatan (zoning
ordinances) yaitu penetapan peruntukan guna lahan bagi persil-persil.
a)
Pembangunan prasarana dan fasilitas umum
Investasi pembangunan prasarana atau fasilitas umum oleh Pemerintah akan mempengaruhi nilai
tanah di sekitar pembangunan tersebut. Secara umum, faktor aksesibilitas (pencapaian) merupakan
penentu terpenting perubahan nilai tanah, yang pada gilirannya nilai tanah akan menentukan intensitas
penggunaan lahan. Nilai tanah yang tinggi akan memaksa pembangun/pengembang untuk menggunakan
lahan lebih intensif (misal untuk bangunan berlantai banyak). Meskipun demikian, khusus untuk industri,
aksesibilitas tidak terlalu berarti banyak. Sebaliknya, karena industri biasanya memerlukan lahan luas,
maka dicari lahan dengan harga yang lebih murah (meskipun terletak di luar kota atau pinggiran kota).
Pembangunan prasarana atau fasilitas umum di bagian kota yang belum berkembang (mis al: di
pinggiran) lebih banyak mendorong perubahan nilai lahan dibandingkan pembangunan serupa di bagian
kota yang telah padat. Dalam pandangan dunia usaha, lahan yang nyaman untuk didatangi pembeli/
pelanggan merupakan lahan yang bernilai tinggi. Berdasar hal ini, lahan di pinggir jalan besar bernilai
lebih, apalagi dekat dengan perempatan jalan. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah fasilitas parkir,
karena ini akan meningkatkan aksesibilitas.
Berdasar bahasan di atas, pembangunan prasarana dan fasilitas umum dapat dipakai oleh
Pemerintah sebagai alat pengendali pemanfaatan ruang kota. Rencana pembangunan prasarana dan
fasilitas tersebut telah tertera dalam rencana kota, sehingga rencana kota diharapkan dapat berfungsi
untuk mengarahkan tata ruang kota menuju keadaan yang diinginkan.
b) Peraturan pengkaplingan lahan (subdivision regulations)
Peraturan pengkaplingan ini telah mulai dipakai sejak awal abad ke 19. Pengkaplingan berarti
membagi lahan kosong dengan luas tertentu menjadi kaplingkapling (persil-persil) untuk bangunan.
Sebelum persil-persil boleh dijual, pengkaplingan harus mendapat persetujuan dari Pemerintah. Dalam
hal ini, Pemerintah mengharuskan pengembang untuk membuat rancangan tapak yang memperlihatkan
antara lain rencana jaringan jalan, rencana jaringan utilitas, garis sempadan, dan lokasi fasilitas umum.
Bila Pemerintah telah menyetujui rancangan tersebut maka pengembang perlu membangun prasarana dan
fasilitas yang direncanakan sejalan dengan penjualan persil-persil tersebut.
Peraturan pengkaplingan ini dapat dipakai untuk menerapkan standar pembangunan fisik yang
diinginkan masyarakat kota. Demikian juga, Pemerintah tidak harus mengeluarkan dana sendiri untuk
melakukan pembangunan prasarana dan fasilitas umum untuk lingkungan baru. Tetapi, di lain pihak,
peraturan pengkaplingan ini menyebabkan harga persil menjadi mahal.
c) Peraturan pemintakatan (zoning ordinances)
Alat pengendalian penggunaan lahan telah mulai diikembangkan di Amerika sejak akhir abad ke
19 dan awal abad ke 20. Salah satu alat tersebut disebut sebagai zoning (pemintakatan). Sebenarnya
pemintakatan pada mulanya dirancang sebagai alat kendali penghindaran gangguan antar persil yang
berdekatan dan pelindung nilai lahan dari dampak kegiatan di lahan terdekatnya. Pemintakatan kemudian
dipakai oleh para perencana kota sebagai alat implementasi rencana kota.
44 —Bahan Kuliah Perancangan Kota I—A. Djunaedi (2000)
Secara umum, menurut Levy (1997:117) peraturan pemintakatan terdiri dari dua bagian, yaitu: 1)
Peta yang membagi wilayah kota menjadi zona-zona (menurut katagori zona;
misal: R1 untuk katagori permukiman tipe 1 — lihat Gambar VI-1). Tiap katagori zona mempunyai
peraturan tersendiri (artinya: semua zona R1 di bagian kota yang mana pun mempunyai seperangkat
peraturan yang sama).
2) Teks peraturan untuk tiap katagori zona, yang umumnya meliputi:
a) Persyaratan lay-out tapak (mencakup antara lain: luas persil minimal, lebar dan panjang persil
minimum, sempadan (depan, samping, belakang), building coverage atau maksimum % tapak
yang tertutup bangunan, jalan masuk ke persil, syarat perparkiran, dan papan nama).
b) Persyaratan karakteristik bangunan (mencakup antara lain: tinggi maksimum, jumlah lantai
maksimum, floor area ratio/FAR atau jumlah luas lantai berbanding dengan luas persil).
c) Guna bangunan yang diijinkan (misal: R1 untuk permukiman satu lantai, R2 permukiman
bertingkat, C1 perdagangan eceran, C2 perdagangan grosir dan pergudangan). Dalam hal ini,
syarat lain dapat ditambahkan, misal: dalam C2 hanya boleh untuk gudang perdagangan dan
gudang industri ringan).
d) Prosedur perijinan (pengajuan, penilaian dan keputusan, naik banding, dan sebagainya).
Zoning atau pemintakatan ini meskipun banyak dipakai juga banyak dikritik antara
lain (menurut Petterson, 1979: 29-30) karena:
1) sulit diterapkan pada daerah atau kawasan yang sudah terlanjur terbangun dengan
cukup padat; 2) zoning seringkali menyebabkan harga lahan naik
dratis setelah ditetapkan menjadi katagori zona yang lebih
menguntungkan untuk dunia usaha;
3) sulit untuk menjembatani penggunaan saat ini dan rencana penggunaan lahan jangka panjang (rencana
kota jangka panjang); zoning hanya dapat dikaitkan dengan tahap rencana yang terpendek/terdekat.
Beberapa kelemahan yang ada pada pemintakatan mendorong munculnya alternatif-alternatif lain
daripada pemintakatan (zoning), yaitu antara lain (menurut Levy, 1997:129-135).
1. Pemintakatan bonus atau insentif ("bonus" or "incentive" zoning)
Beberapa kota memberi bonus dengan memperingan persyaratan (misal: meninggikan kepadatan
bangunan real-estate) kepada pengembang bila pengembang sanggup membangun sesuai keperluan kota
meskipun merugikan pengembang (misal: membangun juga perumahan murah sederhana dalam kompleks
perumahan mewah). Contoh lain: membangun plaza untuk umum di persil mall, maka pengembangan
dapat bonus tambahan jumlah lantai di atas maksimum jumlah lantai yang diijinkan.
2. Pengalihan hak membangun (transfer of development right)
Pengalihan hak membangun bermaksud memberi peluang bagi para pengembang untuk
memindahkan atau menukarkan hak membangun dari lokasi yang tidak disukai ke lokasi lain yang lebih
menarik atau karena alasan yang lain. Alasan lain termasuk misal: suatu persil yang kebetulan masuk
zona dengan maksimum jumlah lantai 10, karena pada persil tersebut terdapat bangunan bersejarah satu
lantai yang terkena peraturan pelestarian bangunan, maka pemilik tidak dapat menggunakan hak
membanguan tambahan 9 lantai lainnya. Dalam hal ini, hak membangun 9 lantai tersebut dapat
dipindahkan ke lokasi lain (dalam arti hak tersebut dapat diperjual-belikan). Permasalahannya: dalam
batas mana lokasi lain pemindahan tersebut masih diijinkan? apakah di manapun asal masih di kota yang
sama? atau hanya di blok yang sama? atau hanya di persil tetanggabb? teknik ini relatif baru dan
memerlukan administrasi yang lebih rumit.
3. Kawasan terpadu (planned unit development/PUD)
Untuk persil yang luas (misal di atas 20 acre), pengembang boleh mengajukan permohonan untuk
ijin kawasan terpadu, yaitu kawasan dengan guna bangunan campuran, meskipun tidak sesuai dengan
zona yang telah ditetapkan. Kawasan terpadu diijinkan asal kawasan direncanakan secara terpadu dan
memenuhi syarat (dievaluasi oleh Pemerintah Daerah). Contoh: bangunan mall perdagangan yang terpadu
dengan perumahan dan perkantoran, meskipun zona aslinya adalah perdagangan.
4. Permintakatan rumpun (cluster zoning)
Pemintakatan rumpun bermaksud memberi keluwesan bagi perancang tapak dengan syarat yang
saling menguntungkan antara perancang dengan Pemerintah. Misal: dalam zona perumahan yang minimal
2
luas tiap persil 120 m , perancang boleh
2
2
mengurangi luas minimal sampai dengan 90 m asal sisa yang 30 m kali sejumlah rumah yang akan
dibangun dikumpulkan pada suatu lokasi dan disitu dibangun fasilitas umum tambahan di luar persyaratan
pada umumnya.
5. Pemintakatan kinerja (performance zoning)
Berbeda dengan pemintakatan yang konvensional, pemintakatan kinerja hanya mensyaratkan hasil
kerja atau kinerja atau dampak yang terjadi saja; dengan memberi keleluasaan untuk memilih cara untuk
mencapai hasil atau dampak tersebut. Misal: yang penting adalah FAR sekian, dan perancang bebas
menentukan sempadan, tinggi bangunan, dan lain-lain asalkan hasil akhirnya diukur FAR-nya tidak
melanggar FAR yang diijinkan. Contoh lain: industri ringan boleh dibangun di manapun di dalam kota
asal semua dampak dan polusi (udara, air, suara) yang keluar dari persil tidak melanggar batas dan aturan
yang ditetapkan Pemerintah. Dalam contoh yang terakhir ini, industri ringan dapat berada di tengah
permukiman dan (misal) dengan pengatasan teknologi, semua polusinya dapat dikendalikan sehingga
tidak mengganggu permukiman di sekitarnya.
6. Denda pelanggaran (exactions)
Dalam teknik ini beberapa jenis pelanggaran pemintakatan diperbolehkan asal pelanggar aturan
tersebut membayar sejumlah denda tertentu. Besar denda tersebut dimaksudkan untuk membayar
investasi pembangunan untuk mengatasi dampak atau polusi yang terjadi akibat pelanggaran tersebut.
Acuan/Daftar Bacaan yang Dianjurkan
Levi, John M. 1997. Contemporary Urban Planning, Fourth Edition, Prentice—Hall,
Upper Saddle River, NJ.: hal 113-140 (Chapter 9 "The Tools of Land
Use Planning").
Patterson, T. William, 1979, Land Use Planning: Techniques of Implementation, Van Nostrand Reinhold,
New York: hal 26-91 (Chapter 2: "Zoning").
Download