BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak zaman

advertisement
 BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Sejak zaman Neolithikum Purba, negara-negara Asia Timur telah menganut
sistem pertanian yang kemudian berkembang kepada kultus pertanian, kultus astral,
dan kultus leluhur. Ketiga kultus ini dianggap merupakan suatu kesatuan tritunggal
yang harus dihormati guna mewujudkan keharmonisan di muka bumi. Hal ini
dinyatakan oleh Wiraatmaja,
Pada dasarnya anggapan bahwa susunan negara dan pemerintahan
yang lahir... pada zaman lampau bersifat kosmis tidaklah salah. Dari
peranan yang timbul dalam masyarakat petani.... dengan kultus
kesuburannya, pemujaan terhadap langit, bumi, dan nenek moyang
untuk mempertahankan dan memelihara harmoni antara kekuatankekuatan alam, melahirkan anggapan tentang hubungan konsisten
antara tritunggal, yakni langit-bumi-manusia.
(Wiriaatmadja: 2003, 83)
Ketiga kultus tersebut kemudian saling mempengaruhi satu sama lain dan
berkembang menjadi suatu budaya yang berakar di masyarakat dan pada akhirnya
menjadi basis bagi ajaran dan agama-agama di Asia Timur (Tao, Kong Hu Chu,
Shinto, dan Buddha). Seiring dengan berjalannya waktu dan masuknya agama asing
dan kebudayaan-kebudayaan asing yang menjunjung tinggi teknologi dan akal sehat,
tradisi-tradisi lokal mulai mengalami kelunturan, namun kultus leluhur (disebut juga
sebagai penghormatan kepada nenek moyang atau leluhur) yang telah menjadi bagian
1 Universitas Kristen Maranatha
dalam tradisi keluarga, terus dipegang teguh oleh mereka yang menghargai dan
menyadari bahwa ikatan darah tidak dapat diputuskan, bahkan oleh kematian
sekalipun1.
Di dalam kultus leluhur, kematian tidaklah dianggap sebagai akhir, namun
sebagai suatu kesinambungan yang terus menerus terjadi di dalam kehidupan
keluarga, karena itulah leluhur dipuja dan dihormati sebagai ‘mereka yang telah
memberikan segala sesuatunya kepada anggota keluarga lain yang masih hidup’.
Kultus leluhur dianggap sebagai suatu perwujudan bakti kepada arwah leluhur yang
telah menjadi sumber kehidupan dan pengetahuan bagi penerusnya. Penghormatan
kepada leluhur sesuai dengan pepatah China yang menyatakan bahwa “ketika kita
minum air, kita tidak melupakan sumbernya.” (Marcus, 2002:59)
Penghormatan kepada leluhur di kawasan Asia Timur, khususnya di Jepang
dan China diwujudkan melalui banyak media perayaan-ritual, salah satunya adalah
Perayaan Ullambana Sutra di Indonesia, yang dalam bahasa Jepang disebut sebagai
O-bon (御盆) atau Urabon (盂蘭盆), dan dalam bahasa Mandarin disebut Cit Gwee
Pwa (七月半)/ Yulan Jié / Cio Ko/ Qiyue ban/ Yulan pen atau sering disebut dengan
Festival of the Dead (perayaan bagi mereka yang telah meninggal). O-bon merupakan
perayaan bagi umat Buddha di Jepang yang dilaksanakan selama seminggu pada
pertengahan bulan Agustus dengan tujuan untuk menyambut arwah leluhur yang
datang mengunjungi sanak saudaranya yang masih hidup di dunia. Perayaan O-bon
1
Reader, Ian. 1993. Japanese Religions Past and Present. 2 Universitas Kristen Maranatha
むか
び
dilakukan dengan membuat api penyambutan (迎え火) di depan rumah, menyajikan
ぼんばなむか
くもつ
sajian berupa bunga ( 盆花迎 え ) dan makanan ( 供物 ) di altar leluhur serta
きょう
ぼんおど
mengadakan pembacaan sutra ( お 経 ), melakukan tarian bon ( 盆踊 り ) untuk
menyenangkan arwah leluhur, dan pada hari terakhir dilakukan penghanyutan
とうろうなが
lampion (灯篭流し) di sungai untuk mengantarkan kepergian arwah leluhur kembali
せいれいおく
ke alam baka (精霊送り).
Secara garis besar, o-bon memiliki kesamaan dengan perayaan cit gwee pwa
yang dilaksanakan oleh penganut ajaran Buddha di China, perayaan cit gwee pwa pun
dilakukan pada pertengahan bulan Agustus, dengan tujuan untuk menyenangkan
arwah leluhur, dan agar arwah kelaparan yang dilepas dari neraka tidak
mencelakakan manusia yang masih hidup. Perayaan ini dilakukan dengan
g u à t í dēng
menggantung lampion untuk menyambut arwah (挂提灯 guà tí dēng), menyajikan
jìng z ǔ zōng
bunga dan sesajian di altar leluhur dan altar di depan rumah (敬祖宗 jìng zŭ zōng),
shāo z h ǐ qián
membakar uang-uangan neraka ( 烧 纸 钱 sháo zhǐ qián), pembacaan sutra, dan
pengadaan hiburan seperti tarian dan teater terbuka untuk menyenangkan arwah
leluhur serta menakut-nakuti setan lapar. Pada hari terakhir perayaan, dilakukan pula
3 Universitas Kristen Maranatha
penghanyutan lampion di sungai untuk mengantarkan kepulangan para arwah ke alam
baka. Selama berabad-abad, o-bon dan cit gwee pwa telah menjadi sarana
penghormatan leluhur bagi masyarakat, dan kedua perayaan berbeda negara ini jika
ditinjau dari segi fungsi, latar belakang sejarah agama, asal usul, dan objek
penghormatan, ternyata memiliki kesamaan. Maka dengan mengacu kepada
pernyataan Herbert Spencer dan Grant Ellen2 bahwa agama dan adat istiadat di suatu
wilayah jika dilihat secara ilmu sejarah mencakup sekelompok besar kepercayaan dan
tata cara yang sifatnya sangat berlainan coraknya namun memiliki fungsi yang sama,
nampaklah jelas bahwa kedua perayaan ini memiliki keterkaitan dalam hal fungsi dan
objek penghormatan, yaitu percaya, menyembah dan mengikuti kemauan roh orangorang yang sudah meninggal.
Namun sebagaimana Chun Jiang (2003) menyatakan bahwa akulturasi terjadi
antara budaya dan agama yang sebelumnya telah ada pada masyarakat setempat,
maka pada kedua perayaan yang berkembang di dalam agama Buddha ini tentunya
memiliki beberapa perbedaan akibat kebiasaan ritual yang berbeda, agama yang
sebelumnya telah ada, dan cara pandang masyarakat yang berbeda. Hal ini terlihat
jelas ritual dan konsep leluhur yang terkandung di dalam kedua perayaan tersebut.
Pada kesempatan ini, penulis bermaksud membandingkan dan mengungkap
persamaan dan faktor-faktor penyebab persamaan ritual, serta konsep leluhur di
2
The Evolution of Idea of God 4 Universitas Kristen Maranatha
dalam perayaan o-bon dan cit gwee pwa. Perlu ditekankan, bahwa di dalam penelitian
ini, penulis akan membahas dan membandingkan perayaan dan ritual o-bon di Jepang
dengan perayaan dan ritual cit gwee pwa yang dilakukan oleh penganut ajaran
Buddha di Indonesia, dan membatasinya di wilayah kota Bandung. Karena penelitian
ini berorientasi pada konsep penyembahan leluhur bangsa Jepang dan China, maka
untuk menghindari ambiguitas, maka perlu dijelaskan bahwa penulis melakukan
penelitian terhadap ritual cit gwee pwa dengan mengacu pada perayaan yang
dilakukan di Bandung, dan dikhususkan hanya kepada komunitas keturunan
Tionghoa penganut agama Buddha. Konsep-konsep pemikiran berkenaan dengan
perayaan tersebut diambil dan dianalisis dengan mengacu pada konsep pemikiran
masyarakat China.
Alasan mengapa penulis memilih objek penelitian o-bon dan cit gwee pwa,
adalah karena selain cit gwee pwa dekat dengan kehidupan dan budaya keluarga
penulis, juga karena penulis ingin mengetahui lebih dalam makna dan ritual kedua
perayaan tersebut. Terlebih dari itu, alasan mengapa penulis memutuskan untuk
membahas mengenai konsep leluhur yang terkandung di dalam kedua ritual tersebut,
adalah karena sudah mulai berkurangnya kesadaran masyarakat akan ritual
penghormatan kepada arwah leluhur yang diakibatkan oleh masuknya kebudayaan
asing, globalisasi, dan perubahan pola pikir masyarakat yang menjunjung tinggi akal
sehat.
5 Universitas Kristen Maranatha
Meskipun ritual ini masih dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh
generasi tua, partisipasi dan kesadaran generasi muda terhadap makna sebenarnya
dari ritual ini sudah mulai menipis, ritual seperti ini lama kelamaan dilaksanakan
hanya sebagai kebiasaan belaka. Di dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui
makna dan tujuan sebenarnya dari penghormatan leluhur dan ritual yang selama
beratus-ratus tahun telah dilaksanakan, serta membandingkan dua konsep leluhur,
yakni konsep leluhur di Jepang dan China.
1.2
Pembatasan Masalah
Berdasarkan objek kajian yang dibahas, maka penulis membatasi masalah-
masalah yang ada sebagai berikut:
1. Persamaan seperti apa yang ada dalam hal fungsi ritual, dan objek
penghormatan perayaan o-bon yang dilakukan di Jepang, dengan perayaan
cit gwee pwa yang dilakukan oleh komunitas keturunan Tionghoa
penganut ajaran Buddha di kota Bandung, Indonesia?
2. Jika dikaitkan dengan unsur sejarah, apa yang menyebabkan adanya
persamaan di dalam perayaan o-bon dan cit gwee pwa?
3. Bagaimana konsep leluhur dalam kedua perayaan tersebut?
1.3
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
6 Universitas Kristen Maranatha
1. Mendeskripsikan dan membandingkan perayaan o-bon yang dilakukan di
Jepang dan cit gwee pwa yang dilakukan oleh komunitas keturunan Tionghoa
penganut ajaran Buddha di kota Bandung, Indonesia.
2. Memahami penyebab persamaan dalam perayaan o-bon dan cit gwee pwa
ditinjau dari faktor sejarah.
3. Mengetahui persamaan dan perbedaan konsep leluhur di dalam kedua
perayaan tersebut.
1.4
Metode Pendekatan
Untuk memecahkan masalah yang dibahas di dalam penelitian ini, penulis
menggunakan metode deskriptif-komparatif. Untuk memahami mengenai metode ini,
maka perlu diketahui bahwa pengertian dari ‘metode deskriptif’ itu sendiri adalah
meneliti suatu objek, sistem pemikiran, peristiwa atau kondisi yang ada dengan
tujuan membuat gambaran mengenai suatu hal dengan kehendak untuk mengadakan
akumulasi data dasar. Nazir (1983) mengutip pernyataan Whitney bahwa metode
deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat untuk mempelajari
masalah kemasyarakatan yang mencakup hubungan, kegiatan, sikap, pandangan, serta
proses yang terdapat di dalam sebuah fenomena3.
Metode deskriptif menurut Heidenheimer dilakukan untuk menjawab
permasalah mengenai apa, siapa, dan seperti apa objek yang diteliti. Dengan
3
Nazir, Moh. 1983. Metode Penelitian. 7 Universitas Kristen Maranatha
mengunakan
metode ini, penulis tidak hanya memberikan gambaran terhadap
fenomena-fenomena, tetapi juga menerangkan, serta mendapatkan makna dan
implikasi dari masalah yang ingin dipecahkan.
Menurut Nazir, metode deskriptif terbagi atas metode survei, metode
deskriptif-berkesinambungan, metode studi kasus, metode analisa, metode tindakan,
dan metode deskriptif-komparatif. Nazir menyatakan bahwa metode deskriptifkomparatif merupakan sejenis penelitian desktiptif yang ingin mencari jawaban
secara mendasar tentang sebab akibat dengan menganalisis faktor-faktor penyebab
terjadinya atau munculnya suatu fenomena tertentu. Metode ini dapat digunakan
untuk menyelidiki hubungan sebab akibat dari dua objek yang memiliki kesamaan
sehingga dapat dilakukan estimasi terhadap parameter hubungan kausal.
Langkah-langkah penelitian deskriptif-komparatif menurut Nazir dilakukan
dengan:
a.
Merumuskan dan mendefinisikan masalah,
b.
Menjajaki dan meneliti litelatur yang ada,
c.
Merumuskan kerangka teoritis dan hipotesa-hipotesa serta asumsiasumsi yang dipakai,
d.
Membuat rancangan penelitian,
e.
Menguji hipotesa, membuat intepretasi terhadap hubungan dengan
teknis yang tepat,
f.
Membuat generalisasi, kesimpulan, serta implikasi kebijakan.
8 Universitas Kristen Maranatha
g.
Menyusun laporan dengan cara penulisan ilmiah.
Penelitian komparatif dapat dilakukan dengan memperbandingkan dua hal
yang serupa namun berasal dari negara yang berbeda, seperti produk budaya yang
memiliki kemiripan atau hal-hal spesial yang terdapat di dalamnya4. David Kaplan5
menekankan bahwa penelitian terhadap dua kebudayaan dapat dilakukan pada dua
negara yang berada di dalam wilayah yang sama, dan dengan menggunakan teori
komparatif, penelitian dilakukan dengan memperhatikan persamaan dan perbedaan
dalam suatu fenomena melalui latar belakang budaya, memastikan kemiripan bentuk
di dalamnya, hal ini diperkuat oleh Stansislav Andreski mengenai teori perbandingan
dua budaya yang dilakukan dengan memusatkan perhatian dalam ciri penting penentu
di dalamnya. Maka dengan mengacu kepada teori ini, penelitian difokuskan hanya
kepada beberapa aspek yang akan dijadikan perbandingan.
Heidenheimer 6 menyatakan bahwa penelitian komparatif bertolak dari dua
hal, yakni wilayah dan waktu. Penelitian komparatif berdasarkan wilayah dapat
dilakukan pada objek penelitian yang memiliki kemiripan namun berasal dari wilayah
atau negara yang berbeda, sedangkan penelitian komparatif berdasarkan waktu
melibatkan objek penelitian yang berada di dalam batasan waktu tertentu, yakni di
dalam satu masa yang sama, atau berada pada batasan waktu yang berbeda. Melalui
4
http://www2.uiah.fi/projects/metodi Kaplan, David. 2002. Teori Budaya. 6
Heidenheimer, Arnold J, Hugh Heclo, Carolyn Teich Adams. 1983. Comparative Public Policy. 5
9 Universitas Kristen Maranatha
pernyataan ini, maka sehubungan dengan penelitian yang dilakukan, maka penulis
mengkomparasikan objek penelitian berdasarkan wilayah negara yang berbeda.
Pengumpulan data dilakukan dengan penelaahan kepustakaan dan pengolahan
data dari internet. Pengumpulan data berupa data sekunder dilakukan untuk
memperoleh landasan teoritis dalam melakukan analisis terhadap objek yang diteliti.
1.5
Organisasi Penulisan
BAB 1 PENDAHULUAN: pada bab satu ini, akan dibahas mengenai latar
belakang penelitian, tujuan penelitian, pendekatan yang dipergunakan, serta
organisasi penulisan.
BAB 2 PENGERTIAN, SEJARAH, DAN RITUAL O-BON: pada bab kedua
ini, dengan mengacu kepada sumber-sumber data, penulis akan membahas mengenai
pengertian, sejarah, dan ritual O-bon yang dilakukan di Jepang.
BAB 3 PENGERTIAN, SEJARAH, DAN RITUAL CIT GWEE PWA: pada
bab ketiga ini, dengan mengacu kepada sumber-sumber data, penulis akan membahas
mengenai pengertian, sejarah, dan ritual cit gwee pwa yang dilakukan oleh komunitas
keturunan Tionghoa pemeluk agama Buddha di kota Bandung, Indonesia.
BAB 4 PENGHORMATAN TERHADAP LELUHUR: pada bab keempat, ini
dengan mengacu kepada sumber-sumber data, penulis akan membahas mengenai
penghormatan leluhur di Jepang dan China.
10 Universitas Kristen Maranatha
BAB 5 PERBANDINGAN
AKTIVITAS,
KONSEP
LELUHR,
DAN
SEJARAH DALAM O-BON DAN CIT GWEE PWA : pada bab ketiga ini, penulis
akan membandingkan aktivitas yang dilakukan dalam perayaan o-bon dan cit gwee
pwa, konsep leluhur di dalamnya, serta penyebab persamaan di dalam kedua perayaan
tersebut berdasarkan faktor sejarah, dengan mengacu kepada bab kedua, ketiga, dan
keempat.
BAB 6 KESIMPULAN: pada bab terakhir ini, penulis akan menyimpulkan
hasil penelitian, dengan mengacu pada bab kelima.
11 Universitas Kristen Maranatha
Download