D e ve l o p i n g M e c h a n i s m s fo r Rewa r d i n g t h e U p l a n d Po o r i n A s i a fo r E n v i ro n m e n t a l S e r v i c e s T h ey P ro v i d e Kertas Kerja Ekosertifikasi Sebagai Sebuah Insentif untuk Konservasi Keragaman Hayati dalam Sistem Wanatani Karet Rakyat: Sebuah Kajian Pendahuluan Anne Gouyon Wanatani karet yang dikelola petani kecil merupakan suatu sistem budidaya non-intensif dengan struktur seperti hutan. Di Indonesia, penutupan lahannya lebih dari 1 juta hektar dan sistem ini memberikan kontribusi secara nyata pada konservasi spesies hutan. Tingginya tingkat deforestasi di Indonesia menjadikan peranan aspek konservasi dari wanatani semakin penting. Wanatani karet menawarkan banyak keuntungan ekonomi bagi petani kecil, seperti biaya pengembangan yang rendah dan resiko minimal. Namun, wanatani karet menawarkan pemasukan yang lebih kecil atas lahan dan tenaga kerja daripada penggunaan lahan lainnya, seperti misalnya monokultur galur karet dengan produksi tinggi, kelapa sawit dan produksi tanaman pangan yang intensif untuk area yang dekat dengan pasar di daerah perkotaan. Tanpa insentif tertentu, tidak ada alasan bagi petani kecil untuk melepaskan keuntungan dari pemanfaatan lahan yang lebih menguntungkan, hanya semata-mata demi konservasi keragaman hayati. Hal ini berarti masyarakat konservasi semestinya siap untuk menghargai jasa-jasa yang disumbang oleh para petani kecil wanatani. Sebab mereka mau melestarikan wanatani daripada mengubahnya menjadi lahan lain yang produktifitasnya lebih tinggi. Salah satu cara menginternalisasikan pembiayaan jasa konservasi yaitu melalui ekolabel hasil-hasil yang didapat dari wanatani. Penjualan produk-produk ekolabel dengan harga yang lebih tinggi di atas rata-rata akan meningkatkan pemasukan ekonomi dari wanatani. Tulisan ini mempelajari kemungkinan ke depan dari penjualan produk wanatani serta manfaat dan kendala potensial dari ekosertifikasi. Prospek untuk menjual karet ber-ekosertifikasi dari wanatani Pada saat ini tidak ada pasar untuk karet alami berekosertifikasi. Tujuhpuluh persen dari produksi karet dunia dan hampir 90% dari produksi Indonesia diserap oleh pabrik ban. Segmen pasar ini sebagian besar membutuhkan karet alami dengan mutu sedang, yang merupakan bagian besar dari produksi petani kecil di Indonesia. Bagian ini mungkin merupakan bagian yang setidaknya dapat ditembus untuk ekosertifikasi dalam jangka pendek. Kampanye pemasaran yang dilakukan oleh pabrik ban terpusat pada kinerja dan keamanan ban, yang terkonsentrasi pada penggunaan teknologi tinggi untuk memproduksinya. Beberapa merk ban terkemuka semakin meningkatkan perhatiannya terhadap masalah lingkungan dalam strategi komunikasi dan manajemennya. Perhatian tersebut saat ini ditekankan pada pengurangan konsumsi energi pada mobil dengan teknologi ban yang lebih baik, pembatasan dampak negatif lingkungan dalam proses pembuatannya, pengurangan limbah dengan meningkatkan umur penggunaan ban, dan peningkatan pengunaan kembali, daur ulang dan perbaikan ban. Tak ada satupun yang menyinggung masalah asal perkebunan karet alami dan adanya kemungkinan dampak sosial maupun lingkungan. Beberapa segmen industri karet alami, seperti misalnya pabrik matras, telah memasarkan barang-barang dari karet alami sebagai produk "hijau". Image hijau dari karet alami sebagai lawan dari latex sintetis - bermula dari asalnya yang alami dan sifatnya yang dapat diperbaharui, ditambah dalam hal tertentu, dari persepsi yang keliru dengan menyamaratakan kualitas jasa lingkungan (perlindungan daerah sungai, konservasi keragaman hayati dan pemisahan karbon) yang berasal dari perkebunan karet dan hutan alami. Kemungkinan untuk kayu berekosertifikasi dari hutan konservasi Berlawanan dengan masalah pada karet alami, pasar yang sensitif terhadap lingkungan bagi komoditas kayu telah ada. Perusahaan meubel dan produk kayu lainnya berskala internasional yang ternama, secara aktif mencari kayu dengan ekosertifikasi (sebagian besar di bawah label dari Pada kenyataannya, petani kecil perkebunan wanatani Forest Stewardship Council (FSC)). Pasar untuk kayu bermemiliki reputasi dalam hal menghasilkan ekosertifikasi bisa jadi dapat lebih produk yang heterogen dengan kandungan menjangkau secara cepat produk-produk kotoran tinggi yang berdampak negatif dari wanatani karet, dimana wanatani karet Pada kenyataannya, terhadap lahan secara teknis. Hal ini memproduksi kayu baik dari pohon karet petani kecil perkebunan menyebabkan produk mereka kurang maupun dari pohon bukan karet. wanatani memiliki diminati oleh pabrik-pabrik ban ternama reputasi dalam hal yang sangat memperhatikan aspek Adanya permintaan kayu karet cukup jelas, menghasilkan produk lingkungan. yang sebagian besar digunakan dalam yang heterogen dengan perusahaan industri mebel. Untuk mendaSebagai tambahan, persaingan tinggi antar patkan nilai komersial, kayu karet perlu kandungan kotoran pabrik ban dan persaingan karet sintetis diberi perlakuan selama 72 jam setelah tinggi yang berdampak (walaupun tidak semuanya dapat ditebang, dengan tujuan untuk menghindari negatif terhadap lahan menggantikan karet alami) menimbulkan tumbuhnya jamur yang mengotori kayu. secara teknis. Hal ini tekanan pada harga karet alami. Dalam Pemanenan dan perlakuan kimiawi pada menyebabkan produk industri ban, situasi tersebut menyebabkan kayu karet yang dihasilkan dari wanatani mereka kurang diminati harga tinggi karet alami ramah lingkungan akan memakan biaya mahal untuk oleh pabrik-pabrik ban menjadi tidak menguntungkan. pengorganisasiannya daripada di area ternama yang sangat perkebunan, karena lokasinya menyebar, Berbeda dengan ban, produk latex yang memperhatikan aspek terkadang dengan aksesibilitas terbatas, dan dihasilkan dari latex cair mutu tinggi lingkungan. kayu karet memiliki volume per area yang sebagian besar merupakan produk lebih kecil untuk dipanen (jumlah pohon per konsumen dan mungkin lebih kondusif hektar pada sebuah wanatani yang untuk perlakuan ekosertifikasi dalam jangka diperbarui kira-kira empat kali lebih rendah daripada yang pendek. Sebagai contoh, sejumlah pabrik matras latex telah ada di perkebunan). memasarkan latex alami sebagai sebuah produk dari perkebunan daerah tropis, dimana mereka membangun Selain itu, untuk mencapai sebuah nilai komersial tetap, kayu image produk mereka sebagai produk hijau dan ramah hasil wanatani karet dihadapkan pada kendala tambahan. lingkungan. Namun, metode setelah pemanenan yang Kendala tersebut yaitu dalam hal mutu, sehubungan dengan digunakan oleh petani kecil wanatani saat ini, tidak mampu bentuk pohon karet yang kerucut disebabkan oleh tanaman untuk mengekspor latex cair. asal tidak terseleksi dan juga kayu yang kotor karena adanya penyadapan. Perlu analisa untuk melihat apakah keuntungan Perubahan menuju produksi bermutu tinggi latex cair di dari harga tinggi yang timbul karena ekosertifikasi dapat wanatani akan berpengaruh nyata terhadap perubahan mengganti kerugian akibat masalah-masalah tersebut. pemanenan, pengumpulan dan pemrosesan awal latex, dimana kemungkinanannya perlu untuk dikaji dengan Permintaan akan produk kayu jenis kayu keras untuk diseksama. ekspor ke dalam pasar yang sensitif terhadap lingkungan pada saat ini melebihi persediaan yang ada. Kompetisi yang Membangun sebuah image untuk produk-produk wanatani dihadapi wanatani karet rakyat sebagian besar datang dari ramah lingkungan akan menghadapi kesulitan dalam hal perusahaan pengelola hutan alam, dan bukannya dari pembedaan antara karet alami yang berasal dari perkebunan perkebunan. Hal ini menjadikan petani kecil dalam posisi rendah keanekaragaman hayati jenis apapun dan wanatani yang lebih baik, sebab mereka tidak akan disulitkan oleh yang tinggi keanekaragaman hayatinya. masalah lokasi yang terpencil. Yang akan menjadi isu utama adalah volume karena stok kayu dari spesies ini lebih sedikit, berdasarkan jumlah per hektar, jika dibandingkan dengan stok dari hutan alam. Selain spesies kayu keras yang lebih banyak digunakan untuk produk akhir seperti misalnya meubel, terdapat juga kemungkinan untuk mengeksploitasi spesies kayu lunak dengan ekosertifikasi yang berasal dari wanatani. PT Xylo Indah Pratama, sebuah perusahaan yang memproduksi bilah pensil dari kayu pulai (Alstonia scholaris) yang bersumber dari wanatani karet di Sumatera Selatan, telah menerapkan hal tersebut. Tingkat permintaan dan kapasitas pemrosesan tingkat lokal perlu untuk digali dalam rangka mencapai kemungkinan perluasan di masa mendatang atas pasar yang sifatnya tersebut seperti di atas. Potensi, kendala dan manfaat dari berbagai jenis sertifikasi Skema Sertifikasi Pengelolaan Hutan dirancang untuk menjamin konsumen bahwa suatu produk - kayu atau nonkayu -berasal dari hutan yang dikelola dengan baik, biasanya berdasarkan pada kombinasi kriteria ekonomi, lingkungan dan sosial dari pengolahan hutan yang baik. Skema yang paling luas dikenal dalam kategori ini yaitu yang disahkan oleh FSC. monokultur. Oleh karena itu, kondisi tersebut tak dapat diharapkan untuk memperkecil jurang keuntungan antara kedua sistem budidaya itu. Diskriminasi kemungkinan dapat dilakukan melalui sebuah asosiasi dengan skema sertifikasi lain yang lebih spesifik, sehingga pasar yang terhubung dengan pembeli dapat tercipta melalui sertifikasi bersama tersebut. Pasar pangan bersertifikasi organik (sertifikasi organik) sedang berkembang pesat terutama di beberapa negara Eropa. Pemakaian bahan-bahan organik nampaknya mulai melibatkan produk-produk lain seperti pakaian dan pelengkap tempat tidur dari kain, sehingga potensial juga untuk diaplikasikan pada sejumlah barang-barang dari karet. Skema sertifikasi tersebut akan lebih baik digunakan untuk mendiskriminasikan wanatani karet dari perkebunan yang dikelola secara lebih intensif. Skema ini mungkin kurang dapat diaplikasikan secara luas untuk produk kayu. Belum ada permintaan kuat untuk karet organik saat ini, walaupun banyak produk konsumen seperti matras dipasarkan dengan tuntutan bebas dari bahan kimia dan diproduksi dengan cara yang alami. Tuntutan tersebut akan lebih baik jika didukung dengan sertifikasi organik. Alternatif lain yaitu sebuah sistem yang memberikan sertifikasi terhadap bahan mentah yang berasal dari Sejak diciptakannya pada tahun 1993, 30 juta hektar hutan wanatani dengan keragaman hayati yang tinggi (label telah secara meluas disertifikasi oleh badan-badan sertifikasi sertifikasi wanatani). Program sertifikasi Aliansi Hutan yang telah diakreditasi oleh FSC. FSC Hujan Tropis (The Rainforest Alliance) yang didukung kuat oleh beberapa LSM bernama label Pertanian Konservasi lingkungan ternama berskala internasional, (Conservation Agriculture), atau label Masuknya produk yang yang memberikan tekanan terhadap Produk Taman Hutan (Forest Garden berasal dari sumberpembeli kayu agar mereka memilih Products/FGP) yang bermula dari Sri Lanka, sumber ilegal ke dalam produk-produk yang berasal dari sumber muncul sebagai bentuk perhatian yang perdagangan bersertifikasi, yang bersertifikasi. potensial. Karena promosi konservasi merupakan sebuah keragaman hayati melalui praktek pertamasalah teknis yang Prinsip-prinsip dan kriteria FSC mempernian yang sesuai merupakan satu tujuan penting untuk dihadapi timbangkan viabilitas ekonomi dan utama dari skema sertifikasi tersebut, jenis keanekaragaman hasil hutan, keadilan sosial secara hati-hati. tersebut lebih sesuai dengan kasus (menghargai hak-hak masyarakat setempat, wanatani karet di Indonesia. Namun terutama masyarakat indigenous, dan para label-label yang dijelaskan di atas dikenal pekerja hutan) dan juga keseimbangan ekologi. Dalam pasar secara terbatas dan, sebagaimana dalam hal sertifikasi analisa pertama, terlihat bahwa skema ini sesuai dengan organik, insentif pasar yang potensial perlu untuk diteliti praktek pengelolaan umum yang ditemukan di wanatani secara seksama. karet. Melalui pendekatan sejumlah sertifikasi dan dengan dukungan dari ICRAF, kelayakan dari sertifikasi FSC untuk Disimpulkan bahwa menggunakan skema sertifikasi dalam sejumlah kecil desa terlihat dapat ditangani dengan baik. rangka memberikan insentif untuk konservasi keragaman hayati oleh para petani kecil wanatani di Indonesia, memiliki Masuknya produk yang berasal dari sumber-sumber ilegal ke pandangan jangka panjang yang baik. Penggunaannya medalam perdagangan bersertifikasi, merupakan sebuah ngandung sebuah potensi penting dari insentif, khususnya masalah teknis yang penting untuk dihadapi secara hati-hati. jika produk kayu dan non-kayu dapat dikombinasikan dan Namun, dengan adanya serangkaian pengawasan yang cukup, dipasarkan pada pembeli yang memadai. Namun, untuk masalah tersebut dapat dihindari. Pembiayaan atas sebuah mengidentifikasi pasar yang tepat, mengembangkan mata operasi sertifikasi (biaya tetap, sertifikasi per se oleh badan rantai dan membentuk tatanan kelembagaan yang tepat luar dan biaya pemasaran) juga menjadi pertimbangan. untuk menangani sertifikasi, akan memakan waktu dan membutuhkan sumberdaya. Bantuan luar perlu dijamin untuk meluncurkan sebuah proyek percontohan. Hanya saja jika kawasan yang melibatkan biaya-biaya ini cukup luas, maka biaya per unit areanya akan jauh lebih rendah, sehingga dapat ditanggung oleh para petani wanatani itu sendiri. Terjemahan dari ringkasan: Eco-Certification as an Incentive to Conserve Masalah utama dengan adanya sertifikasi FSC yaitu bahwa tidak adanya diskriminasi antara latex atau kayu karet dari wanatani, dan latex atau kayu karet dari perkebunan Biodiversity in Rubber Smallholder Agroforestry Systems: A Preliminary Study oleh Anne Gouyon. Idé Force - World Agroforestry Center. Tulisan lengkap dalam bahasa Inggris dapat diperoleh dari RUPES Program ([email protected]) atau dari website http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/Networks/RUPES/paper.htm The Program for Developing Mechanisms for Rewarding the Upland Poor in Asia for Environmental Services They Provide (RUPES) is supported by the International Fund for Agricultural Development (IFAD). Published by: RUPES Program World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Office PO Box 161, Bogor 16001, Indonesia Tel: +62 251 625415, 625417; fax: +62 251 625416, email: [email protected] RUPES webstite: http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/Networks/RUPES 2004 Layout by: Hulaesuddin & DN Rini Photo by: Hubert De Foresta