Pertanian dan Pergeseran Iklim

advertisement
Pertanian dan Pergeseran Iklim
Oleh Didiek Hadjar Goenadi
Melalui Departemen Pertanian, pemerintah mencanangkan produksi beras tahun 2007
meningkat dua juta ton atau sekitar 6,0 persen.
Komitmen itu dicanangkan Presiden di Kampus Departemen Pertanian, Ragunan. Asumsi
target ini adalah tidak ada bencana banjir dan kekeringan. Dengan kondisi seperti saat ini,
mungkinkah itu tercapai?!
Pergeseran Iklim
Perubahan iklim sedang terjadi. International Food Policy Research Institute (edisi
Desember 2006) menampilkan pertanyaan menarik, ”Dapatkan pertanian menyesuaikan
dengan iklim yang sedang begeser?”
Sejak tahun 1900 suhu rata-rata global dilaporkan meningkat 0,7 derajat Celcius. The
Intergovernmental Panel on Climate Change menyimpulkan, akibat gas rumah kaca ke
atmosfir bertanggung jawab terhadap pemanasan paling tidak dalam kurun waktu 50
tahun terakhir.
Emisi yang telah dipancarkan hingga kini, meski emisi global dihentikan total, suhu bumi
diperkirakan akan tetap naik sekitar 0,5 hingga 1,0 derajat Celcius dalam beberapa
dekade mendatang. Sebaliknya jika emisi global tetap berlangsung seperti saat ini, suhu
akan meningkat 2-5 derajat Celcius pada saat mencapai kesetimbangan. Bahkan jika
berlangsung dengan laju seperti saat ini, kenaikan suhu bisa mencapai 3-10 derajat
Celcius.
Iklim benar-benar sedang berubah dan perubahan selanjutnya tidak dapat dihindari.
Perubahan ini berakibat kacaunya pola curah hujan di wilayah lain, bahkan menimbulkan
bencana banjir seperti di Jabodetabek pekan lalu.
Petani harus dipersiapkan
Petani di negara-negara berkembang perlu dipersiapkan untuk menghadapi ancaman
perubahan iklim. Praktik bercocok tanam perlu diubah. Di wilayah-wilayah yang lebih
kering, cuaca lebih panas, petani perlu mengganti jenis tanaman atau varietas yang
ditanam dengan yang lebih toleran terhadap kekeringan. Perlu dipertimbangkan kembali
padi gogo dengan sistem gogo rancah seperti masa lalu di wilayah-wilayah yang airnya
amat terbatas.
Ketergantungan petani terhadap bahan tanaman yang toleran terhadap musim kering yang
intensif akan makin tinggi. Praktik budidaya lain yang dapat diajarkan kepada petani
adalah sistem wanatani (agroforestry). Hasil penelitian Pusat Wanatani Dunia (ICRAF)
bersama Pusat Penelitian Karet, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia di berbagai
wilayah Indonesia membuktikan, menanam pohon (seperti karet) diantara tanaman
pangan mampu mencegah erosi, mengembalikan kesuburan tanah, dan menciptakan iklim
mikro yang kondusif bagi tanaman, serta mampu meningkatkan pendapatan secara nyata.
Konsep wanatani juga bermanfaat untuk mitigasi perubahan iklim. Wanatani
diperkirakan mampu menyerap karbon hingga 600 juta m3 tahun 2040 jika dibandingkan
dengan 120 juta m3 tanaman pangan. Pertukaran emisi karbon sebagai bagian mekanisme
pembangunan bersih dalam Protokol Kyoto menawarkan intensif yang mampu
membangkitkan semangat petani untuk mengubah pola tanamnya.
Terobosan
Sistem usaha tani memiliki faktor resiko tinggi karena sebagian besar bergantung pada
alam yang tidak dapat dikendalikan dengan teknologi. Untuk membagi resiko kegagalan
usaha, konsepsi asuransi tanaman (crop insurance) yang pernah ada tahun 1990-an perlu
dipertimbangkan kembali. Masalahnya, perlu dicari formula premi yang tidak mahal bagi
petani kecil. Mungkin subsidi pemerintah diperlukan guna memberi kekuatan petani
untuk bangkit dari kegagalan panen, paling tidak dengan memperoleh penggantian biaya
untuk dapat bertanam kembali.
Terobosan lain yang perlu disiapkan kepada petani adalah dengan memberi informasi
cuaca selama musim tanam di wilayah-wilayah pertanaman secara spesifik. Jadi
persoalannya bukan hanya memperbaiki informasi cuaca, tetapi juga seberapa
komunikatif data termaksud bagi petani. Tidak dapat dimungkiri bahwa informasi cuaca
di negara-negara berkembang seperti Indonesia masih didominasi pemanfaatannya oleh
kalangan penerbangan dan militer. Belum banyak yang dimanfaatkan untuk kepentingan
petani kecil.
Kelemahan kita dalam mengantisipasi perubahan iklim dan kondisi cuaca bagi
kepentingan pertanian tampaknya akan membawa dampak kerugian yang signifikan bagi
petani. Untuk itu, diperlukan berbagai tindakan cepat dan terobosan yang dibutuhkan
guna memperkecil tingkat kerugian petani akibat perubahan iklim. Tanpa fasilitas
pemerintah, petani tidak akan mampu menghadapi dampak pergeseran iklim. Akibatnya,
targer sasaran peningkatan produksi beras nasional tahun ini yang sudah dicanangkan
akan amat sulit, untuk tidak mengatakan tidak mungkin, mencapainya.
Didiek Hadjar Goenadi
Direktur Eksekutif
Lembaga Riset Perkebunan
Indonesia (LRPI), Bogor
Download