Chilli Veinal Mottle Potyvirus (ChiVMV )

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
Karakter Molekuler Chilli Veinal Mottle Potyvirus
Chilli veinal mottle potyvirus (ChiVMV) adalah salah satu virus penyebab
penyakit pada tanaman cabai.
Virus tersebut pertamakali diisolasi oleh Burnett
pada tahun 1947 dari Capsicum annuum di Malaysia. Partikel virus berbentuk
batang lentur dengan panjang sekitar 750 nm dan diameter kira-kira 12 nm
(International Taxonomy on Committee of Viruses, 2002). ChiVMV termasuk
dalam kelompok atau genus Potyvirus (famili Potyviridae) dengan genom berupa
RNA utas tunggal berorientasi positif (+ ssRNA) berukuran 9711 nukleotida (nt)
(Fauquet et al. 2005). Genus Potyvirus sendiri termasuk kelompok virus yang
paling banyak menyerang tanaman, yaitu mencapai lebih dari 100 jenis virus
( Ong 1995).
Potyvirus memiliki selubung protein yang berfungsi untuk penularan
melalui kutu daun, pergerakan virus dari sel ke sel dan pergerakan virus secara
sistemik, pembentukan selubung virus, dan replikasi virus (Tabel 2. 1) (UrcuquiInchima et al. 2001). Menurut Moury et al. (2005), ChiVMV dapat dibedakan dari
Pepper veinal mottle virus berdasarkan runutan asam amino selubung protein.
Tingkat kesamaan runutan asam amino kedua jenis virus tersebut hanya mencapai
80%, sedangkan antara strain yang berbeda dalam spesies yang sama mempunyai
tingkat kesamaan mencapai 83%-99% (Fauquet et al. 2005).
Genom Potyvirus
mempunyai satu open reading frame (ORF) yang
mengkode 340-350 KDa prekursor poliprotein. Translasi RNA Potyvirus dimulai
dari kodon awal AUG pada posisi nukleotida 145-147 dari ujung 5’ genom
Potyvirus, kodon stop terletak pada nukleotida ke 9525- 9589 dari ujung 3’ genom
Potyvirus dan diikuti oleh sekuen poliadenilasi (poly A) (Gambar 2.1).
10
Tabel 2. 1. Fungsi beberapa protein yang terdapat dalam struktur genom
Potyvirus*)
Protein
Fungsi protein
P1
Proteinase; yang diduga berperan dalam perpindahan virus dari sel
ke sel
Hc-Pro
Sarana /media penularan virus dengan bantuan serangga kutu daun
P3
Fungsi sebenarnya belum diketahui dengan pasti, tetapi
kemungkinannya berperan dalam replikasi virus
CI
Replikasi genom
CP
Selubung protein, yang berhubungan dengan penularan melalui
serangga vektor, dan perpindahan virus dari sel ke sel.
NIa-VPg
VPg (protein yang menempel pada ujung 5’RNA untuk permulaan
sintesis RNA)
Nia-Pro
Proteinase major
Nib
Replikasi genom (RNA dependent RNA polymerase/RdRp)
6K1&6K2 Belum diketahui dengan pasti, kemungkinannya berhubungan
dengan replikasi RNA; mengatur fungsi translokasi Nia nuclear
*
Sumber : Uncuqui-Inchima et al. (2001)
Gambar 2. 1. Organisasi genom potyvirus (Shukla et al. 1994)
Ekspresi genom Potyvirus terjadi melalui translasi poliprotein dari genom
virus. Poliprotein kemudian mengalami pemotongan dalam sitoplasma menjdi
protein fungsional dan struktural sesuai dengan gen yang disandikannya.
Pemotongan poliprotein dilakukan dengan protease yang terjadi selama dan
sesudah translasi. Protease yang memotong poliprotein juga disandikan oleh gen
yang terdapat dalam genom Potyvirus.
Poliprotein yang diekspresikan oleh genom virus diproses menjadi 10
protein fungsional oleh tiga jenis enzim proteinase yang dihasilkan oleh virus itu
sendiri (Tabel 2.1) (Hull 2002). Protein inklusi yang berbentuk silindris (CI) dan
protein selubung (CP) digunakan oleh virus untuk pergerakan dari satu sel inang
ke sel inang lainnya melalui plasmodesmata. CP juga diperlukan untukpergerakan
11
virion protein dalam jaringan vaskuler melalui interaksi dengan Hc-Pro pada
domain C- dan N- terminalnya. Selain berperan di dalam perpindahan virus pada
jaringan vaskuler, HC-Pro juga berfungsi menekan mekanisme pertahanan
tanaman menggunakan antiviral yang disebut RNA silencing (pembungkaman
RNA). Viral genome-linked protein (VPg) yang berada pada ujung 5’ genom virus
adalah protein multifungsi yang berperan pada saat amplifikasi dan pergerakan
virus. Protein ini merupakan bagian N-proximal dari protein inklusi inti (NIa) dan
terpisah secara autokalatik dari domain C-proximal proteinase (NIa-Pro). VPg
berikatan secara kovalen dengan ujung 5’ RNA virus melalui ikatan fosfodiester
pada residu asam amino tirosin yang terletak di bagian N-proximal. Keberadaan
VPg sangat diperlukan untuk proses infeksi virus. VPg juga berinteraksi dengan
faktor inisiasi translasi (eIF(iso)4E) (Schaad et al. 2000), dan diperlukan untuk
infeksi secara sistemik (Leornard et al. 2000) Dalam genom Potyvirus terdapat
daerah yang tidak berubah (conserved) dan daerah yang bervariasi. Daerah yang
conserved adalah daerah Hc-Pro dan Nib. Daerah yang bervariasi adalah P1, P3,
dan CP. Protein P3 merupakan daerah yang conserved di antara strain (Eleman et
al. 1997) .
Replikasi virus yang mempunyai genom +ssRNA terjadi melalui beberapa
tahap, yaitu 1) virus masuk ke dalam sitoplasma tanaman inang, 2) komponen
virus akan terpisah antara selubung protein dan asam nukleat, 3) RNA virus
bergabung dengan ribosom tanaman inang dan sintesis polimerase untuk replikasi
RNA, sehingga dihasil untai negatif RNA, 4) sintesis untai RNA positif dan
mRNA protein selubung menggunakan untai RNA negatif sebagai cetakannya, 5)
pembentukan subunit protein selubung dalam jumlah besar,
dan 6) virion
terbentuk melalui penggabungan antara untai positif RNA dengan protein
12
selubung.
Selanjutnya
virus
menyebar
ke
sel
sekelilingnya
melalui
plasmodesmata.
Keragaman genetik pada genus Potyvirus telah banyak dilakukan
berdasarkan gen-gen yang terlibat didalam pembentukan selubung protein dan
daerah 3’UTR. Daerah tersebut diketahui merupakan daerah yang bervariasi
diantara kelompok Potyvirus. Shukla dan Ward (1988) menggunakan runutan
asam amino selubung protein (CP) untuk menilai hubungan kekerabatan berbagai
virus dalam kelompok Potyvirus. Hasil kajian tersebut menunjukkan virus-virus
yang berbeda mempunyai kesamaan runutan asam amino CP 38% hingga 71%,
sedangkan untuk strain dari virus yang sama tingkat kesamaannya mencapai 90%
sampai 99%. Demikian pula hasil analisis runutan nukleotida 3’UTR strain-strain
Peanut stripe virus (PStV) menunjukkan bahwa strain virus tersebut mempunyai
kesamaan antara 97,9% sampai 100% (Akin 2002). Penelitian mengenai
keragaman pada tingkat molekuler berdasarkan
runutan nukleotida sistron
penyandi selubung protein dan 3’ UTR dilakukan pula oleh Tsai et al. (2008) pada
ChiVMV, dimana tingkat kesamaan asam amino dan runutan nukleotida isolat
ChiVMV di Asia termasuk Indonesia masing-masing berkisar 94,8% dan 89,5%.
Hama dan Penyakit Tanaman Cabai
Selain faktor agronomis yang dapat menghambat produksi cabai,
gangguan hama dan penyakit juga menjadi masalah yang utama di dalam
budidaya tanaman cabai.
Prabaningrum dan Moekasan (1996) melaporkan
berbagai hama yang dapat menyerang tanaman cabai seperti kutu daun (Myzus
persicae Sulz), Thrips (Thrips parvisipinus Karny), ulat daun (Helicoverpa
armigera Hubner), kepik (Empoasca lybica (de Bergevin dan Zanon)), lalat buah
(Bactrocera dorsalis Hendel), ulat grayak (Spodoptera litura Fabricius) dan
13
tungau (Polyphagotarsonemus latus Banks).
Direktorat Jendral Perlindungan
Tanaman Hortikultura (2009) mencatat beberapa penyakit penting pada tanaman
cabai
diantaranya
adalah
antraknosa,
bercak
daun
Cercospora,
busuk
Phytophthora, layu Fusarium, layu bakteri dan penyakit yang disebabkan oleh
infeksi virus seperti Pepper veinal mottle virus(PMMV) , Genimivirus, Cucumber
mosaic virus (CMV). Potato virus Y (PVY), Tobacco mosaic virus (TMV).
Gejala Infeksi ChiVMV pada Tanaman Cabai
Menurut Ong (1995) virus ini pertama kali dilaporkan oleh Burnett pada
tahun 1947 pada Capsium annum di Malaysia.
Selanjutnya virus ini telah
menyebabkan penyakit dibanyak negara Asia dimana cabai ditanam secara
komersial. Di Indonesia, keberadaan ChiVMV telah dilaporkan oleh Duriat et al.
(1989). Gejala yang timbul karena infeksi ChiVMV pada tanaman cabai sangat
bervariasi, tergantung pada strain virus, umur tanaman pada waktu terinfeksi, dan
lingkungan. Umumnya gejala yang ditimbulkan pada tanaman cabai sangat nyata
terlihat pada daun. Daun yang terinfeksi oleh ChiVMV menampakkan gejala
belang-belang hijau gelap, bercak-bercak hijau gelap, kadang-kadang pola-pola
tersebut menyatu ke tulang daun di dekatnya, leaf cupping, epinasti dan nekrosis
(Ong 1995; Sulyo et al. 1995; Chiemsombat dan Kittipakorn 1996).
Daun-daun yang terinfeksi secara umum menjadi kerdil dan mengalami
malformasi. Kadang-kadang buah juga dipengaruhi sehingga menjadi belangbelang atau distorsi sehingga produksi dan kualitasnya menjadi rendah (Shah dan
Khalid 2001).
14
Kisaran Inang dan Mekanisme Penularan ChiVMV
Beberapa penulis melaporkan tanaman yang dapat menjadi inang bagi
ChiVMV diantaranya adalah Nicotiana tabacum, N. benthamiana, Physalis
minima, P. floridana, C. annum, C. frutescens, N. glutinosa. Nicandra physalodes,
Solanum melongena dan S. aethiopicum (Womdim et al. 2001).
ChiVMV dapat ditularkan melalui inokulasi mekanis, penyambungan dan
serangga vektor seperti A.craccivora, A. gossypii, A. spiraecola, M. persicae,
Toxoptera citricidus, Hystreroneura setariae dan R. maydis secara non persisten,
tetapi tidak dapat ditularkan melalui biji (Ong et al. 1979). Infeksi ChiVMV pada
tanaman cabai terjadi secara sistemik pada seluruh fase pertumbuhan tanaman.
Deteksi dan Karakterisasi ChiVMV
Deteksi dan karakterisasi ChiVMV pada tanaman cabai, dapat dilakukan
dengan beberapa cara misalnya dengan pengamatan gejala, menggunakan teknik
serologi molekuler seperti Enzyme linked immunosorbent assays (ELISA) dan
Reverse Transcriptase-Polymerase chain reaction (RT-PCR) serta perunutan
nukleotida dan asam amino (Tsai et al. 2008). Deteksi melalui pengamatan gejala
terkendala adanya kemungkinan tanaman terinfeksi lebih dari satu virus atau
terinfeksi virus secara campuran. Serodiagnosis merupakan cara deteksi virus
dengan memanfaatkan reaksi antara antigen dan antibodi (Agrios 2005). Metode
ini mempunyai banyak keuntungan antara lain cepat, tepat dan dapat digunakan
untuk karakterisasi virus serta untuk mengetahui hubungan kekerabatan suatu
virus. Metode tersebut dilakukan karena gejala penyakit dari lapang kadangkadang meragukan sehingga sulit dilakukan identifikasi yang jelas tentang virus
yang menyebabkan penyakit tersebut (Hull 2002).
15
Teknik serologi dengan metode ELISA untuk mendeteksi keberadaan
ChiVMV telah banyak digunakan.
Hasil deteksi dengan metode tersebut
menunjukkan bahwa teknik DAS-ELISA cukup sensitif yaitu mampu mendeteksi
ChiVMV sampai pengenceran 1:1000 (Opriana, 2009).
Teknik RT-PCR digunakan untuk virus yang memiliki tipe genom RNA.
Enzim transkriptase balik (reverse trancriptase) yang digunakan dalam RT-PCR
adalah enzim DNA polimerase dan molekul RNA yang berperan sebagai cetakan
didalam mensintesis molekul DNA (cDNA) yang komplementer. RT-PCR adalah
metode yang sangat sensitif, cepat dan banyak digunakan untuk mendeteksi virus
tanaman seperti ChiVMV, Chysanthemum B carlavirus (CVB) (Tsai et al. 2008;
Ram et al. 2005 ).
Analisis perunutan nukleotida dan asam amino saat ini memiliki peranan
yang tidak kalah penting didalam melakukan deteksi dan karakterisasi virus. Dari
hasil analisis perunutan nukleotidan dan asam amino dapat diketahui tingkat
kesamaan nukleotida dan dapat menentukan kelompok suatu virus maupun strainstrain dari virus yang sama (Shukla et al 1994). Analisis tersebut digunakan
sebagai pelengkap proses deteksi dan karakterisasi virus. Teknik yang selama ini
dilakukan adalah menggunakan inang diferensial, serologi, dan RT-PCR dimana
masing-masing metode tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Inang diferensial atau tanaman indikator merupakan salah satu cara untuk
mengarakterisasi masing-masing isolat berdasarkan kesesuaian pada suatu inang.
Selain itu dapat juga digunakan untuk mengetahui virulensi masing-masing isolat
tersebut. Pada awal perkembangan ilmu virologi penggunaan inang diferensial
menjadi salah satu metode yang rutin digunakan untuk mendeteksi dan
mengarakterisasi virus tanaman.
16
Keunggulan masing-masing metode deteksi sangat ditentukan oleh
berbagai faktor. Identifikasi virus dengan kajian biologi memerlukan waktu yang
cukup lama karena harus mempersiapkan tanaman inang indikator, tetapi biaya
yang dikeluarkannya tidak banyak. Metode serologi dan RT-PCR adalah metode
yang lebih dapat dipercaya dan lebih sensitif sebagai metode pendeteksian virus
atau indexing, dibandingkan dengan kajian biologi, sering terjadi bahwa virus
tidak terdeteksi pada kajian biologi, tetapi menunjukkan hasil positif dengan
metode serologi dan RT-PCR yang dapat mendeteksi virus pada konsentrasi
rendah (Moury et
al. 2005). Hanya saja metode ini pun masing-masing
menemukan kendala, dimana metode RT-PCR tidak dapat membedakan virus
pada kelompokan virus yang sama atau tidak dapat mengetahui variabilitas yang
terjadi diantara strain-strain virus itu sendiri.
Ketahanan Tanaman terhadap ChiVMV
Sistem pertahanan tanaman terhadap infeksi patogen secara umum terjadi
melalui satu atau beberapa cara, yaitu struktural maupun reaksi biokimia.
Ketahanan secara struktural adalah bentuk penghambatan fisik oleh tanaman yang
mengakibatkan patogen tidak dapat melakukan penetrasi dan berkembang,
sedangkan ketahanan secara biokimia, yaitu tanaman menghasilkan senyawa yang
bersifat toksik, atau menghambat pertumbuhan patogen (Agrios 2005).
Tanaman yang tahan terhadap virus adalah tanaman yang mampu
menghambat replikasi virus dan penyebaran virus di dalam tanaman (Fraser 2000).
Ketahanan ini dapat diwujudkan sebagai kemampuan tanaman untuk membatasi
perkembangan virus pada sel tertentu sehingga tidak menyebar ke sel lainnya
(Hull 2002). Respon tanaman inang terhadap infeksi suatu virus dapat
dikelompokan ke dalam tanaman dengan respon rentan dan tahan. Tanaman inang
17
yang rentan dicirikan oleh adanya gejala yang jelas dan replikasi virus yang tinggi,
sementara respon inang yang tahan terdiri atas imun, agak tahan, toleran dan
hipersensitif. Imun dicirikan oleh tidak adanya gejala dan ketidakmampuan virus
untuk bereplikasi. Toleran dicirikan oleh adanya gejala dan replikasi virus namun
tidak mempengaruhi kehilangan hasil. Hipersensitif ditunjukkan oleh adanya
gejala khas (lesio lokal) (Fraser 2000).
Untuk mendapatkan kultivar yang tahan terhadap patogen seorang pemulia
tanaman biasanya melakukan seleksi atau skrining terhadap beberapa kultivar
yang berasal dari koleksi plasma nutfah, kultivar komersial, spesies liar sekerabat,
spesies lain dalam satu genus, atau genus lain. Hasil seleksi diperoleh genotipe
yang tahan terhadap patogen yang akan dihibridisasi dengan tetua yang
mempunyai sifat unggul lainnya seperti produksi yang tinggi. Untuk
memindahkan sifat tahan ke tetua yang mempunyai sifat produksi tinggi dapat
dilakukan metode back cross atau silang balik selama beberapa kali sehingga
diperoleh individu yang mempunyai sifat atau karakter yang tahan terhadap
patogen namun memiliki sifat tetua ulang (recurent parents) (Mangoendidjojo
2003)
Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa
sampai saat ini belum
diperoleh genotipe cabai yang tahan terhadap ChiVMV (Taufik 2005). Walaupun
demikian di Indonesia juga telah dilakukan pengujian ketahanan beberapa
genotipe cabai terhadap ChiVMV namun, terdapat genotipe cabai yang potensial
untuk digunakan di dalam program pemuliaan untuk dikembangkan menjadi
kultivar baru yang tahan. Salah satu diantaranya adalah genotipe LV 3633-R asal
Indonesia menunjukkan ketahanan terhadap semua isolat ChiVMV (Chiemsombat
dan Kittipaqkorn 1996). Di Indonesia juga telah dilakukan pengujian ketahanan
18
beberapa genotipe cabai terhadap ChiVMV namun, hasil yang diperoleh masih
sedikit (Millah 2007; Latifah 2007). Oleh karena itu diperlukan teknik lain yang
memungkinkan untuk mendapatkan tanaman yang tahan terhadap penyakit, yaitu
melalui variasi somaklonal.
Pembentukan Variasi Somaklonal
Kultur in vitro atau kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi
bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ,
serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik (Gunawan 1988). Teknik ini
seringkali dapat menginduksi terjadinya keragaman genetik pada populasi
tanaman yang dihasilkan. Oleh karena itu, keragaman genetik yang terjadi akibat
kultur in vitro disebut keragaman somaklonal (variation somaclonal) (Larkin dan
Scowcroft 1981). Saat ini banyak penelitian yang menekankan pentingnya variasi
somaklonal untuk perbaikan tanaman hortikultura. Variasi yang muncul selama
proses kultur in vitro disebut variasi somaklonal dan merupakan variasi yang
umum terjadi antar tanaman yang berasal dari kultur jaringan atau kultur sel.
Menurut Ahloowalia (2001), variasi somaklonal yang terjadi dapat mengakibatkan
perubahan. Perubahan tersebut diantaranya adalah defisiensi klorofil, aneuploidi,
resistensi terhadap penyakit atau kadang-kadang muncul variasi yang sebelumnya
tidak pernah ada di alam. Variasi dapat juga terjadi pada sifat seperti tinggi
tanaman, luas daun, panjang daun, ketebalan batang, vigor, pembungaan, fertilitas
dan hasil.
Variasi somaklonal akan berguna jika: (1) menambah komponen varian
dengan variasi yang tidak terdapat di alam, (2) mengubah satu atau beberapa sifat
dari kultivar yang sudah ada sehingga menjadi lebih baik terutama pada tanaman
yang diperbanyak secara vegetatif atau spesies yang menyerbuk sendiri. Variasi
19
somaklonal akan dibatasi penggunaannya jika perubahan yang terjadi terlalu jauh
dari harapan atau terlalu drastis dan mengubah banyak gen.
Untuk menghasilkan tanaman somaklonal dengan suatu karakter baru
maka perlu diketahui faktor-faktor kritis yang mempengaruhi variasi somaklonal.
Faktor-faktor tersebut adalah (1) genotipe, (2) lingkungan kultur (zat pengatur
tumbuh), (3) sumber eksplan, dan (4) lama fase kalus dan lama durasi kultur
(Arous et al. 2001). Genotipe merupakan faktor penting di dalam menimbulkan
variasi somaklonal, karena genotipe dapat mempengaruhi frekuensi regenerasi dan
frekuensi variasi somaklonal yang terjadi. Christopher dan Rajam (1999) mencatat
frekuensi keragaman genotipe yang tinggi terjadi pada beberapa kultivar cabai
Capsicum praetermissum, C. baccatum dan C. annuum cvs. G4.
Menurut Fratini dan Ruiz
(2002) banyak bukti menunjukkan variasi
somaklonal dipengaruhi oleh pemilihan zat pengatur tumbuh terutama
berhubungan dengan jumlah konsentrasi yang ditambahkan dalam media. Zat
pengatur tumbuh sitokinin sering digunakan dalam perbanyakan in vitro untuk
mendapatkan multiplikasi yang tinggi. Sitokinin terbagi dua kelompok yaitu
sitokinin alami dan sintetis. Sitokinin alami (endogen) adalah zeatin dan sitokinin
sintetis adalah N6-Benzyl amino purine (BAP) dan Furfuryl acetic acid (kinetin).
Berdasarkan struktur kimia, sitokinin
adalah turunan adenine (BAP, kinetin,
zeatin) dan turunan fenilurea (TDZ). TDZ dan BAP mempunyai respon fisiologi
yang sama, yaitu berperan dalam regulasi pembelahan sel, diferensiasi dan
pertumbuhan jaringan, organ serta biosintesis klorofil (Gaba 2005). Keefektifan
BAP dan TDZ dalam menginduksi multiplikasi tunas berbeda-beda bergantung
pada jenis tanamannya. Pada tanaman cabai konsentrasi optimal BAP dan TDZ
untuk menginduksi tunas adventif adalah 3 mg/l dan 0,5 mg/l (Khan et al. 2006),
20
pada tanaman Coffea arabica L. dan C. canephora perlakuan 7 mg/l BAP
menghasilkan jumlah tunas per eksplan hampir sama dengan perlakuan 2 mg/l
TDZ tetapi persentase eksplan membentuk tunas pada perlakuan TDZ lebih tinggi
dibandingkan perlakuan BAP
(Giridhar et al. 2004). Selain keduanya, zat
pengatur tumbuh 2,4 D adalah termasuk zat pengatur tumbuh yang sering kali
mengakibatkan variabilitas kromosom. Konsentrasi 2,4 D yang berpengaruh
terhadap peningkatan variabilitas pada tanaman horseradish (Amoracia rusticana
L.) adalah 0,1 µM yang dikombinasikan dengan 0, 0,1, dan 1,0 µM BA. Bila
konsentrasi 2,4D lebih dari 0,1 µM kalus tidak beregenerasi (Yuliadi 2008).
Dalam perbanyakan in vitro, sesungguhnya hampir selalu diperoleh planlet
yang di luar tipe yang biasanya dibuang. Setelah penelitian mengenai variasi
somaklonal dimulai dan dirasakan manfaatnya dalam pemuliaan tanaman maka
justru yang di luar tipe ini yang menjadi perhatian. Setiap spesies berbeda jenis
dan frekuensi variasinya dan setiap kultivar atau genotipe pada spesies yang
samapun berbeda variasi somaklonnya. Mekanisme terjadinya keragaman
somaklonal diantaranya disebabkan oleh perubahan genetik spesifik, misalnya
mutasi titik (single nucleotide changes), perubahan jumlah kopi gen tertentu,
aktivasi transposable elemen, perubahan jumlah kromosom, chromosomal
rearrangements, dan metilasi DNA. Metilasi diketahui meningkatkan frekuensi
mutasi CG ke AT (Keappler dan Philip 1993).
Penggunaan keragaman somaklonal memiliki kelemahan. Keragaman
yang ditimbulkan tidak dapat diprediksi di alam. Dengan menggunakan kultur
jaringan mungkin keragaman variasi genetik atau epigenetik dapat diinduksi,
namun terjadinya keragaman epigenetik lebih banyak terjadi dari pada keragaman
genetik (Jain 2001).
21
Penyebab Variasi Somaklonal
Penyebab munculnya variasi somaklonal ada dua yaitu variasi genetik
yang memang sudah ada dalam eksplan dan variasi induksi atau variasi epigenetik
yang muncul selama fase kultur in vitro. Variasi genetik bersifat stabil baik
melalui perbanyakan seksual dan aseksual, sedangkan variasi epigenetik tidak
stabil dan berpotensi dapat balik (reversible) (Keappler et al. 2000). Timbulnya
keragaman genetik selama proses in vitro dipengaruhi oleh faktor internal maupun
ekstenal. Faktor internal yang dapat mempengaruhi frekuensi munculnya variasi
somaklonal dalam kultur in vitro adalah genotipe tanaman induk, sumber eksplan
yang digunakan, umur jaringan dan tingkat ploidi, sedangkan faktor eksternal
adalah konsentrasi berbagai komponen media pertumbuhan, jumlah subkultur, dan
konsentrasi zat pengatur tumbuh serta proses regenerasinya (Nwauzoma et al.
2002; Jayasankar 2005). Mutasi gen merupakan mutasi yang paling diharapkan
terjadi dalam pemuliaan yang menggunakan variasi somaklonal, karena mutasi
gen hanya akan merubah sifat tertentu yang dikendalikan gen tersebut. Menurut
Arnim (2005) mutasi gen bisa terjadi di tingkat DNA (perubahan satu basa), di
tingkat protein (perubahan kode triplet untuk asam amino), atau dapat terjadi
mutasi ke arah liarnya dan bahkan dapat terjadi mutasi balik.
Mutasi Secara Fisik dan Kimia
Pada saat ini teknik in vitro dan mutagenesis merupakan metode yang
paling banyak digunakan untuk meningkatkan keragaman pada tanaman. Teknik
mutasi yang dikombinasikan dengan kultur in vitro dan metode molekuler akan
menyediakan metode yang kuat untuk meningkatkan keragaman somaklonal
(Ahloowalia et al. 2004). Mutagenesis adalah keseluruhan proses yang
menyebabkan timbulnya berbagai macam mutasi yang spontan atau yang
22
diinduksi
dengan
agen
penginduksi
mutasi
(mutagen).
Mutasi
buatan
dimaksudkan untuk mendapatkan keragaman genetik yang tercermin dari mutanmutan yang dihasilkan. Selanjutnya mutan-mutan yang memiliki karakter yang
dikehendaki diseleksi secara langsung dan diperbanyak secara vegetatif atau
mutan tersebut diserbuk sendiri untuk menstabilkan karakter mutan tersebut
(Poehlman 1996).
Mutasi buatan merupakan mutasi yang sengaja dilakukan sebagai salah
satu cara untuk menimbulkan keragaman genetik. Mutasi buatan ini biasanya
diinduksi secara fisik, kimia dan biologi. Berbagai unsur fisik seperti suhu, cahaya
dengan gelombang tertentu (sinar x, y) dapat mengakibatkan mutasi. Bahan
kimiawi yang mengandung senyawa yang bersifat mutagen diantaranya etil metan
sulfonat (EMS), dietil sulfat (dES), nitroso etil urea (ENH), nitroso metil urea
(MNH), dan etilenamin (EI) (Van Harten 1998).
Kelebihan penggunaan agen mutagenik kimia adalah (1) sebagian besar
mutasi yang terjadi merupakan mutasi titik; (2) kerusakan kromosom lebih kecil,
dan (3) mutasi terjadi dengan frekuensi tinggi. Kelemahannya adalah (1) penetrasi
jaringan multisel seringkali sulit, (2) reproduksibilitas rendah, dan (3) agen
mutagenik kimia sangat berbahaya karena bersifat karsinogenik (Van Harten
1998).
Perlakuan dengan mutagen fisik dapat menimbulkan pengaruh pada
generasi pertama yaitu (1) kerusakan dan menyebabkan kematian jaringan (letal),
(2) steril, (3) khimera. Kerusakan yang diakibatkan radiasi ini diantaranya
kerusakan fisiologis, kerusakan kromosom (mutasi kromosom), kerusakan
sitoplasma (mutasi sitoplasma). Menurut Ahloowalia et al. (2004) dan Hussien et
al. (2008) radiasi pengion dapat memutus rantai kromosom pada tempat tertentu
23
sehingga dapat merubah struktur kromosom (delesi, inversi, duplikasi dan
translokasi). Radiasi juga dapat merusak benang-benang spindel yang berfungsi
menarik kromosom ke kutub-kutubnya pada fase metafase dalam proses mitosis
sehingga akan merubah jumlah kromosom dan dapat menyebabkan euploidi dan
aneuploidi.
Ethyl methane sulfonate (EMS) termasuk senyawa alkil yang mempunyai
potensi tinggi sebagai mutagen yang efisien untuk tanaman. Penggunaan EMS ini
lebih sering dilakukan karena mudah didapat, harganya murah dan tidak toksik
bagi jaringan tanaman yang di beri perlakuan EMS(Van Harten 1998; Nasir 2002).
EMS (CH3SO2OC2H5) adalah suatu alcylating agent. Gugus alkil bereaksi dengan
DNA dengan cara mengalkilasi gugus fosfat dan basa purin serta basa pirimidin
yang seringkali terjadi jika reaksi melibatkan basa nitrogen pada DNA. Alcylating
agent seperti EMS sangat reaktif dan dapat bereaksi dengan air. Oleh karena itu
larutan EMS harus selalu dibuat segar, artinya begitu dibuat langsung digunakan,
tidak boleh disimpan. Reaksi dengan air merupakan suatu reaksi hidrolisis yang
mengakibatkan EMS tidak lagi bersifat mutagenik. Konsentrasi EMS yang
dibutuhkan untuk setiap tanaman berbeda-beda tergantung dari tanaman dan jenis
eksplan yang digunakan. Pada tanaman cabai, krisan, ubijalar, anggur, dan
kacang-kacangan konsentrasi EMS yang dapat digunakan berturut turut adalah
0,5%, 0,77% , 0,04% dan 0,25-0,5% (Jabeen dan Mirza 2004; Luan et al. 2007;
Singh et al 2007; Svetleva dan Crino 2005). Tanaman yang diperlakukan EMS
akan mempelihatkan defisiensi klorofil dan variasi genetik umumnya lebih tinggi
(Poerba 2004).
24
Variasi Somaklonal untuk mendapatkan Resistensi terhadap Penyakit
Pada saat ini teknik in vitro dan mutagenesis merupakan metode yang
paling banyak digunakan untuk meningkatkan keragaman pada tanaman. Induksi
mutasi merupakan suatu cara untuk memperoleh mutan-mutan yang diharapkan
membawa sifat yang menguntungkan tanaman, dan telah banyak dilakukan oleh
beberapa peneliti. Pada banyak tanaman yang diperbanyak secara vegetatif
induksi mutasi yang dikombinasikan dengan teknik kultur in vitro merupakan
salah satu metode yang efektif untuk meningkatkan hasil tanaman, namun
hambatan yang sering dijumpai pada tanaman berbiak vegetatif adalah timbulnya
kimera setelah perlakuan mutagen fisik maupun kimia (Linberger 2007).
Pemanfaatan fenomena variasi somaklonal dalam pemuliaan mula-mula
dilakukan dengan mendorong terjadinya varian atau keragaman somaklonal.
Selanjutnya dilakukan seleksi terhadap somaklonal yang memiliki sifat-sifat
tertentu. Keragaman somaklonal dapat diinduksi secara terarah dengan
menggunakan suatu media/agen seleksi dalam media kultur atau dengan
memberikan kondisi tertentu agar dihasilkan somaklonal-somaklonal yang
mempunyai sifat-sifat yang diinginkan. Untuk mendapatkan tanaman yang tahan
terhadap penyakit yang disebabkan oleh cendawan misalnya, dapat dilakukan
seleksi pada tahapan kultur in vitro dengan menambahkan fusaric acid yang
merupakan toksin utama yang dihasilkan oleh Fusarium ke dalam media kultur in
vitro. Teknik seleksi pada tanaman kultur in vitro dapat pula dilakukan terhadap
patogen lainnya, seperti bakteri dan virus (Hwang and Ko 2004; Snikder et al.
2004; Imelda et al. 2000 ). Akan tetapi, untuk mendapatkan tanaman yang tahan
terhadap penyakit yang disebabkan oleh virus, seleksi dilakukan pada saat
tanaman sudah menjadi planlet dan pengujian dilakukan di rumah kaca.
25
Agar efektif, seleksi untuk mendapatkan tanaman yang tahan terhadap
penyakit harus memenuhi tiga syarat. Pertama, kultur in vitro menghasilkan
keragaman yang tinggi. Kedua, metode seleksi terhadap somaklon dengan sifatsifat yang diinginkan harus dapat dilakukan dengan mudah. Ketiga, perubahan
yang terjadi adalah perubahan genetik yang dapat diturunkan pada zuriatnya dan
tetap stabil pada waktu tanaman diperbanyak baik secara seksual maupun aseksual
(Ahlowalia dan Maluszynski 2001).
Pemanfaatan dan Penerapan Variasi Somaklonal
Variasi somaklonal dapat memberikan kontribusi yang nyata pada
pemuliaan tanaman. Walaupun variasi tidak mempengaruhi semua sifat dan tidak
selalu menguntungkan di dalam pertanian, tetapi dengan seleksi kemungkinan
dapat diperoleh genotipe-genotipe yang berguna dari sumber variasi tersebut.
Beberapa contoh pemanfaatan variasi somaklonal adalah peningkatan ketahanan
terhadap herbisida klorosulfuran pada tanaman jagung, ketahanan terhadap
Erwinia carotovora pv. carotovora pada Zantesdechia spp. (Araceae), toleransi
terhadap garam pada ubijalar serta tanaman kedelai toleran aluminium (Hughes
1983; Snijder et al. 2004; Luan et al. 2007; Mariska et al. 2004).
Contoh lain pemanfaatan variasi somaklonal adalah untuk membentuk
tanaman genotipe unggul baru pada pisang di Indonesia yang sulit dilakukan
karena tingkat ploidi yang tinggi dan steril. Tanaman pisang yang diberi perlakuan
radiasi dengan sinar gamma 1000 rad dapat menginduksi sifat ketahanan terhadap
penyakit layu Fusarium (Panama disease) yang disebabkan oleh Fusarium
oxysporum Schlect f.sp. cubesense (Smith et al. 2006, Mariska et al. 2006)
Pada C. annuum (cabai), mutan pertama diperoleh tahun 1972 melalui
perlakuan radiasi 135 Gy sinar gamma, 25% EMS selama 5 jam, 0,5% EMS
26
selama 3 jam. Perlakuan tersebut dapat meningkatkan kandungan vitamin C, umur
genjah dan menginduksi perubahan morfologi (Daskalov 1991; Daskalov 2001;
Jabeen dan Mirza 2004).
Perlakuan irradiasi pada Glycine max L (kedelai) menggunakan sinar
gamma dan UV, yang dikombinasikan dengan mutagen kimia (EMS, DES, NMH,
DMS) menghasilkan mutan yang berproduksi tinggi, tahan virus, toleran
aluminium dan kekeringan, protein tinggi, genjah, kadar minyak meningkat dan
toleran lahan masam (Bhatnagar dan Tiwari 1991, Mariska et al 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. New York: Elsevier Academic
Press.
Ahlowalia BS, M. Maluszynski 2001. Induced mutation A new paradigma in plant
breeding. Euphytica 118:167-173.
Ahlowalia BS, Maluszynski M, Nichterlein K. 2004. Global impact og mutationderived. Review. Euphytica 135:187-204.
Akin MH. 2002. Variabilitas strain-strain PStV pada tingkat moleku berdasarkan
gen protein selubung dan 3’UTR (Untranslated region) genom RNS PStV.
J.Perlin. Tan. Ind. 8:86-93
Arnim AG (2005). Molecular Approches to the Study og Plant Development. Di
dalam Trigiano RN, Gray JD, editor. Plant Developmen and Biotechnology.
CRC. Press. New York. P. 119-129
Arous S, Boussaid M, Marrakchi M. 2001. Plant regeneration from zygotic
embryo hypocotyls of Tunisian chili (Capsicum annuum L.) J. Appl. Hort.
3(1): 17-22.
Bhatnagar PS, Tiwari SP. 1991. Soybean improvement through mutation breeding
in India Vol. 1 IAEA : 381-391
Chiemsombat P, Kittipakorn K. 1996a. Determination of isolates of CMV dan
CVMV and screening of pepper cultivars for virus resistance. Proceeding of
the AVNET-II Final Workshop AVRDC, ADB and PCARRD. 413-419.
27
Christopher T, Rajam MV. 1999. Effect of genotype, explants and medium on in
vitro regeneration of red pepper. Plant Cell, Tissue and Organ Culture
46:245-250
Clark MF, Adams AN. 1977. Characteristics of the microplate methode of
enzyme-linked immunosorbent assay for the detection of plant viruses. J.
Gen. Virol. 34:475-483
Daskalov S. 1991. Experimental mutagenesis and mutation breeding in pepper
Capsicum. Mutation Breeding Newsl. 10:13-20
Daskalov S. 2001. Gornoriohovska Kapia F1. A new hybrid pepper variety based
on radiation induced male sterility. Mutation Breeding Newsl. 45:4-5
[Ditlinhorti] Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura 2007. Luas
Pertanaman Cabai Merah. (http:www.deptan.go.id/ditlinhorti/da-its-2003
(5 Maret 2007)
Duriat AS. 1989. The status of pepper virus diseases in Indonesia. Paper
presented at ADB germplasm improvment subnetwork planning meeting, 31
May-21 June. Tainan, Taiwan. AVRDC.
Eleman-Verdaguer ME, Goudon-Urbino C, Dubern J, Beachy RN, Fauquet C.
1997. Analysis of the sequence diversity of the PI, HC, P3, Nib and CP
genomic regions of several yam mosaic potyvirus isolates: implications for
the intraspecies molecular diversity of potyviruses. Journal of General
Virology 78: 1253-1264
Fauquet CM, Mayo CM, Maniloff J, Desselberger U, Ball LA, eds, 2005. Virus
taxonomy, VIII th Report of the ICTV. Elsevier/Academic Press, London,
USA. pp 819-829.
Fraser RSS. 2000. Special aspects of resistance to viruses. Di dalam Slusarenko
AJ, Fraser RSS, van Loon LC, editor. 2000. Mechanisms of Resistance to
Plant Diseases. Kluwer Academic Publishers, London p 485-495
Fratini R, Ruiz MR. 2002. Comperative study of different cytokinins in the
induction of morfogenesis in lentil (Lensculinaris medic). In Vitro Cell Dev.
Biol. Plant. 38:46-51
Gaba VP. 2005. Plant Growth Regulators in Plant Tissue Culture and
Developmant. Di dalam Trigiano RN, Gray JD, editor. Plant Developmen
and Biotechnology. CRC. Press. New York. P. 87-99
28
Giridhar P, Vinod K, Indu EP, Ravishankar GA, Chandrasekar A. 2004.
Thidiazuron induced somatic embryogenesis in Coffea arabica L. dan C.
canephora P. ex Fr. Acta Bot. Croat. 63:25-33.
Gunawan LW. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Lab. Kultur Jaringan
PAU. BIOTEK, Bogor, IPB
Hughes K. 1983. Selection for herbicide resistance. Di dalam Evan DA, Sharp
WR, Amirato PV, Yamada Y. Handbook of Plant Cell Culture, New York,
Macmillan. 3: 442-460
Hull R. 2002. Matthews ‘Plant Virology, Ed. Ke-4. San Diego; Academic Press.
Hussien G, Harun AR, Shamsudin S. 2008. Study on mutagenesis of signals grass
(Brachiaria
decumbens)
by
gamma
irradiation.
http://www.google.w.id/search?q=radiosensits/+plant&hl=id&stored=60850
=N
Hwang SC, Ko WH. 2004. Cavendish Banana Cultivars Resistant to Fusarium
wilt acquired through somaclonal variation in Taiwan. Plant Disease.
88(6):580-588
Imelda M, Deswina P, Hartati S, Estiati A, Atmowijoyo S. 2000. Chemical
mutation by Ethyl Methane Sulfonate (EMS) for Bunchy top virus resistence
in Banana. Ann Bogorien n. s. 7: 19-25.
International Committee on Taxonomy of Viruses. 2002. Chilli veinal mottle virus.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ICTVdB/5701016.htm[18 Mei 2008]
Jain SM. 2001. Tissue Culture-derived variation in crop improvement. Euphytica.
118:153-156
Jabeen N, Mirza B. 2004. Ethyl methane sulfonate induces morphological
mutations in Capsicum annuum. Int. J. Agrt. Biol. 6: 340-345.
Jayasankar S. 2005. Variation in tissue culture. Di dalam Trigiano RN, Gray JD,
editor. Plant Developmen and Biotechnology. CRC. Press. New York. P.
301-310.
Keappler SM, Keappler HF, Rhee Y. 2000. Epigenetic aspect of somaclonal
variation in plants. Plant Mocular Biology. 42:251-269.
Kaeppler SM, Phillip RL. 1993. DNA methylation and tissue culture induced
variation in plants. In Vitro. Cell. Dev. Biol. 29:125-130.
29
Khan H, Siddique I, Anis M. 2006. Thidiazuron induced somatic embryogenesis
and plant regeneration in Capsicum annuum. Biol. Plant. 50(4):789-792.
Kumari SG, Makkouk KM, Attar N. 2006. An Improved Antiserum for Sensitive
Serologic Detection of Ckickpea chlorotic dwarf virus. J. Phytophatology
154, 129-133 (2006)
Larkin PJ, Scowcroft WR. 1981. Somaclonal variation a novel souce of variability
from cell culture. Theor.Appl.Genet. 60:197-214
Latifah 2007. Metode penapisan dan uji ketahanan cabai (Capsicum annuum L.)
terhadap Chilli veinal mottle virus dan cucumber mosaic virus [tesis]. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Leonard S, Plante D, Wittmann S, Daigneault N, Fortin MG, Laliberte JF. 2000.
Complex formation between potyvirus VPg and translation eukaryotic
initiation factor 4E correlates with virus infectivity. J. Virol. 74:7730-7737
Linberger RD. 2007. Origin, Developmental propagation of chimaras.
http://www.aggie-horticulture. Tamu.edu/tissucult/chimeras/s.html
Luan YS, Juan Z, Xiao-Rong G, Li-jia A. 2007. Mutation induced by ethyl
methane sulfonate (EMS), in vitro screening for salt tolerance and plant
regeneration of sweet potato (Ipomoea batatas L). Plant Cell, Tiss and Cult
88(1):77-81
Mangoendidjojo W. 2003.
Yogyakarta. 182 hal.
Dasar-dasar
Pemuliaan
Tanaman.
Kanisius,
Mariska I, Kosmiatin M, Lestari EG, Roostika I. 2006. Seleksi in vitro tanaman
pisang ambon kuning untuk ketahanan terhadap penyakit layu fusarium.
Laporan Akhir Rusnas Buah Tropis. BB-Biogen. Bogor. 20 hlm..V. Noviati.
2004. Peningkatan ketahanan tanaman kedelai terhadap aluminium melalui
kultur in vitro. Jurnal Litbang Pertanian 23(2):46-52.
Mariska I, Syamsudin E, Sopandie D, Hutami S, Husni A, Kosmiatin M, Noviati
A. 2004. Peningkatan ketahanan tanaman kedelai terhadap aluminium
melalui kultur in vitro. Jurnal Litbang Pertanian 23(2):46-52.
Millah Z. 2007. Pewarisan karakter ketahanan tanaman cabai terhadap infeksi
Chilli veinal mottle virus [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
30
Moury B, Palloix A, Caranta C, Gognalons P. 2005. Serological, molecular, and
pathotype diversity of pepper veinal mottle virus and chilli veinal mottle
virus. Phytopathology 95:227-232.
Nasir M. 2002. Bioteknologi Molekuler. Teknik rekayasa genetic tanaman. PT.
Citra Aditya Bakti. Bandung. Hal 59-78
Nwauzoma AB, Tenkouano A, Crouch JH, Pillay DV, Daniel KLA. 2002. Yield
and disease resistance of plantain (Musa spp, AAB group) somaclones in
Nigeria. Euphytica 123:323-331
Ong CA. 1995. Symptomatic variants of CVMV in Malaysia. Proceeding of the
AVNET II Midterm Workshop Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC.
Prabaningrum L, Moekasan TK. 1996. Hama-hama tanaman cabai merah dan
pengendaliannya. Di dalam: Duriat AS, Widjaja W. Hadisoeganda A,
Soetiarso TA dan Prabaningrum L, editor. Teknologi Produksi Cabai
Merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian: Hlm 48-63
Poehlman JM, Sleper DA 1996. Breeding Filed Crop (Fourth Edition). Iowa State
University Pree, Ames. IOWA.
Poerba YS. 2004. Penampilan genotype hasil mutasi induksi Talinum paniculatum
JACQ (GAERTN). Berita Biologi 7(3):127-135
Ram R, Verma N, Singh AK, Singh L, Hallan V, Zaidi AA. 2005. Indexing and
production of virus-free chrysanthemums. Biologia Plantarum 49(1): 149152.
Shah H, Khalid S. 2001. Screening of exotic Pepper Lines Against Local Isolate
of Chilli veinal mottle potyvirus. On Line Journal of Biological Sciences
1(11):1078-1080. Asian Network for Scientific Information. [21 Agustus
2005]
Shukla DD, Ward CW, Brunt AA. 1994. The Potyviridae. CAB International,
Printed and bound in the UK at the University Press, Cambridge, h 92-105
Singh SK, Yerramilli V, Khawale RN. 2007. Molecular marker-assisted selection
of in vitro chemical mutagen-induced grapevine mutants. Current Science
92: 1056-1059
31
Smith MK, Hamill SD, Langdon PW, Giles JE, Doogan VJ, Pegg KG. 2006.
Towards the development of a Cavendish banana resistant to race 4 of
fusarium wilt: gamma irradiation of micropropagated Dwarf Parlitt (Musa
spp, AAA group Cavendish subgroup) Australian Journal of Experimental
Agriculture. 46:107-113
Snijder RC, Cho HR, Hendriks MMWB, Lindhout P, van Tuyl JM. 2004. Genetic
variation in zantedechia spp (Araceae) for resistance to soft rot caused by
Erwinia carotovora subsp. Carotovora. Euphytica 135:119-128
Sulyo Y, Duriat AS, Gunaeni N, Korlina E. 1995. Determination of CMV and
CVMV strains in
Indonesia. Proceeding of the AVNET II Midterm
Workshop Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC.
Svetleva DL, Crino P. 2005. Effect of ethyl methane sulfonate (EMS) and Nnitrose-N-ethyl urea (ENU) on callus growth of common bean. J. of Central
European Agric. 6(1): 59-64
Taufik M, Astuti AP, Hidayat SH. 2005. Survei infeksi Cucumber mosaic virus
dan Chilli veinal mottle virus pada tanaman cabai dan seleksi ketahanan
beberapa kultivar cabai. J. Agrikultura 16:146-152.
Tsai WS, Huang YC, Zhang DY, Reddy K, Hidayat SH, Srithongchai W, Green
SK, Jan FJ. 2008. Molekular characterization of the CP gene and 3’UTR of
Chilli veinal mottle virus from South and Southeast Asia. Plant Pathology
57, 408-416.
Uncuqui-Inchima S, Haenni AL, Bernardi F. 2001. Potyvirus proteins: a wealth of
functions. Virus Research 74:157-175.
Van Harten AM. 1998. Mutation Breeding : Theory and Practical Application,
Cambridge: Cambridge Univ. Pr. P. 111-203
Womdim NR, Swai IS, Chadha ML, Selassie GK, Marchoux G. 2001.
Occurence of Chilli veinal mottle virus in Solanum aethiopicum in Tanzania.
Plant Dis. 85:801.
Yuliadi E. 2008. Plant regeneration from leaf blade explants of horseradish
(Amoracia rusticana L) through in vitro culture. Journal Akta Agrosia
11(1):63-68
Download