PERAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR DAN

advertisement
PEMBAHASAN UMUM
Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan terpenting di Indonesia selain
kakao dan karet karena menyumbangkan devisa negara yang cukup besar. Cekaman
biotik berupa serangan penyakit pada tanaman dapat menurunkan produktivitas
tanaman. Serangan penyakit sebagai cekaman biotik patogen merupakan faktor
pembatas utama dalam produksi tanaman karena dapat menyebabkan busuk akar atau
mengurangi kemampuan akar dalam menyerap air dan hara dari tanah dengan cara
penetrasi jaringan akar dan menghasilkan toksin yang dapat mematikan akar. Di
antara penyakit-penyakit yang menyerang tanaman kelapa sawit, penyakit busuk
pangkal batang yang disebabkan oleh patogen Ganoderma boninense Pat merupakan
penyakit yang paling mematikan pada perkebunan kelapa sawit karena
mengakibatkan kematian populasi tanaman dan penurunan produksi yang sangat
tinggi (Sapak et al. 2008). Cekaman biotik patogen berupa penyakit adalah suatu
proses di mana bagian-bagian tertentu dari organisme tidak dapat menjalankan
fungsinya secara normal karena adanya suatu gangguan. Timbulnya penyakit dapat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang terdiri dari faktor abiotik dan biotik. Faktor
abiotik akan mempengaruhi interaksi antara patogen dan inang yang dapat
berkembang menjadi suatu penyakit, yang terdiri dari cuaca (suhu, kelembaban dan
angin), iklim yang ditentukan oleh banyaknya curah hujan, tanah, air, cahaya dan
hara. Faktor abiotik ini dapat berperan sebagai penyebab langsung cekaman biotik
patogen apabila tanaman berada dalam kondisi kekurangan atau kelebihan dan terjadi
umumnya oleh beberapa faktor, seperti kekahatan hara akan menyebabkan pradisposisi tumbuhan terhadap infeksi penyakit. Pengendalian faktor abiotik pada
tanaman sangat penting dilakukan agar tanaman tidak mengalami cekaman abiotik,
sehingga dapat mencegah timbulnya cekaman biotik termasuk cekaman biotik
patogen pada tanaman.
Sampai saat ini penanggulangan efektif terhadap penyakit busuk pangkal
batang tersebut masih belum ditemukan, sehingga para pelaku perkebunan kelapa
sawit masih terus berupaya untuk mendapatkan agen pengendalian yang efektif.
155
Seiring meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian
lingkungan, serta adanya tuntutan negara uni eropa yang mensyaratkan penerapan
sawit berkelanjutan yang salah satu aspeknya adalah ramah lingkungan dengan
mengurangi input kimia sintetik dalam budidayanya, maka pengendalian penyakit
busuk pangkal batang lebih diarahkan pada pengendalian biologi dengan mengunakan
agen hayati (biokontrol).
Salah satu alternatif untuk mengatasi cekaman biotik patogen G. boninense
dengan biokontrol adalah dengan mengunakan mikroorganisme rizosfir yang
bermanfaat yaitu fungi mikoriza arbuskular (FMA) dan bakteri endosimbiotik
mikoriza. Fungi mikoriza arbuskular adalah fungi yang memiliki kemampuan
bersimbiosis dengan hampir 80% jenis tanaman (Kapoor et al. 2008), serta telah
banyak dibuktikan mampu memperbaiki penyerapan hara, meningkatkan penyerapan
air, meningkatkan pertumbuhan tanaman, meningkatkan daya adaptasi tanaman
terhadap cekaman abiotik maupun biotik patogen (Rillig 2004; Whips 2004). Selain
itu, FMA juga diketahui dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap keracunan
logam berat dan terlibat dalam siklus biogeokimia (Clark 1997). Secara alami, di
daerah rizosfir FMA hidup bersama dengan bakteri yang disebut juga dengan bakteri
endosimbiotik mikoriza. Asosiasi tersebut dapat berdampak menguntungkan, negatif
ataupun netral terhadap perkembangan FMA sendiri. Pengaruh negatif dari bakteri
endosimbiotik mikoriza terhadap FMA sendiri dapat berupa penurunan kemampuan
perkecambahan spora FMA, pengurangan panjang hifa pada tahap ekstramatrikal,
penurunan kolonisasi akar dan aktivitas metabolik di dalam miselium internal (Mc
Allister et al. 1995; Wyss et al. 1992). Pengaruh yang menguntungkan dari bakteri
endosimbiotik mikoriza seperti yang diberikan oleh mycorrhizal helper bacteria
(MHB), yaitu bakteri yang membantu FMA dalam merangsang pertumbuhan
miselium FMA dan meningkatkan pembentukan FMA (Garbaye 1994). Seperti yang
ditemukan oleh Bakhtiar et al. (2010), dimana bakteri Bacillus subtilis B10 yang
diisolasi dari spora FMA di daerah rizosfir kelapa sawit menstimulasi perkecambahan
spora FMA Gigaspora margarita. Bakteri tersebut menghasilkan senyawa aktif yang
memiliki kemampuan mempercepat perkecambahan spora FMA in vitro. Mikroba
156
tanah termasuk bakteri endosimbiotik mikoriza diketahui menghasilkan senyawasenyawa yang dapat meningkatkan pembentukan eksudat akar yang pada akhirnya
merangsang pertumbuhan miselia FMA di daerah rizosfir atau memfasilitasi penetrasi
akar oleh FMA. Senyawa flavonoid yang terdapat di dalam eksudat akar, terlibat
dalam pengenalan sinyal pada interaksi FMA dan tanaman inang. Senyawa flavonoid
berperan dalam pertumbuhan dan diferensiasi hifa FMA dan kolonisasi akar oleh
FMA (Morandi 1996). Sejumlah senyawa flavonoid memberikan efek stimulasi
terhadap pertumbuhan hifa FMA dan efek ini sepertinya sangat tergantung pada
struktur kimia dari senyawa (Becard et al. 1992). Menariknya, efek stimulasi dari
senyawa-senyawa flavonoid lebih nyata dengan kehadiran CO2 pada konsentrasi
yang sama dengan flavonoid di daerah rizosfir (Becard et al. 1992: Poulin et al.
1993). Fitohormon yang dihasilkan oleh bakteri endosimbiotik mikoriza diketahui
dapat mempengaruhi proses pengembangan FMA pada tahap pre-simbiotik, seperti
meningkatkan perkecambahan spora dan pertumbuhan miselia FMA (Azcon-Aguilar
& Barea 1995).
Seperti halnya tanaman lain, di daerah rizosfir kelapa sawit terdapat
komunitas mikroba yang menguntungkan bagi tanaman kelapa sawit. Komunitas
mikroba di daerah rizosfir dipengaruhi oleh jenis atau varietas tanaman, yang
mempengaruhi keragaman bakteri yang berasosiasi dengan akar tanaman. Pada
penelitian ini, keempat varietas kelapa sawit (Pisifera, Dura Dumpy, Tenera dan Dura
Deli) memberikan jumlah spora dan bakteri endosimbiotik yang beragam, dengan
jumlah terbanyak diperoleh dari rizosfir kelapa sawit varietas Dura Dumpy (Dp).
Eksudat akar yang dikeluarkan oleh varietas Dura Dumpy diduga berbeda dari
eksudat akar yang dikeluarkan oleh varietas lainnya sehingga komunitas bakteri yang
berhasil diisolasi lebih banyak dan lebih beragam. Menurut Garbeva et al. (2004)
bakteri akan bereaksi berbeda terhadap senyawa yang dilepaskan oleh akar tanaman,
sehingga komposisi yang berbeda dari eksudat akar akan memberikan komunitas
bakteri yang berbeda pula. Pada penelitian ini, jumlah spora FMA yang berhasil
diisolasi dari rizosfir keempat varietas kelapa sawit tidak terlalu banyak. Umur
tanaman juga mempengaruhi jumlah spora FMA. Pada saat pengambilan sampel
157
tanah di Kebun Percobaan Aek Pancur Pusat Penelitian Kelapa Sawit, umur tanaman
kelapa sawit untuk masing-masing varietas rata-rata lebih dari sepuluh tahun,
sehingga kepadatan spora yang diperoleh hanya sedikit. Jumlah spora yang berbeda
pada akhirnya juga mempengaruhi jumlah bakteri endosimbiotik yang hidup bersama
di dalam spora FMA. Seperti yang disampaikan oleh Widiastuti (2004), umur kelapa
sawit menentukan kepadatan spora dan jumlah propagul infektif yang terdapat di
daerah rizosfirnya, dimana semakin tua umur kelapa sawit jumlah spora semakin
menurun dan inefektif. Disamping itu, waktu atau musim pada saat pengambilan
sampel juga mempengaruhi jumlah spora FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza
yang diperoleh. Pada penelitian ini, sampel tanah diambil pada bulan Maret 2007
yang pada saat itu memasuki akhir musim hujan dan diduga sebagian besar spora
FMA di daerah rizosfir kelapa sawit tersebut sudah berkecambah dan FMA lebih
terfokus pada pembentukan hifa yang lebih banyak. Tindakan budidaya juga
mempengaruhi jumlah spora FMA, di mana pengolahan tanah dan pemupukan
anorganik yang intensif pada kebun percobaan Aek Pancur tersebut menurunkan
jumlah FMA indigenous yang terdapat pada rizosfir kelapa sawit.
Isolat bakteri endosimbiotik mikoriza yang berhasil diisolasi dari spora FMA
pada penelitian ini terdiri dari tujuh genus, yaitu Streptomyces, Bacillus,
Enterobacter, Alcaligenes, Kocuria, Brevundimonas, Pseudomonas, akan tetapi yang
paling banyak adalah genus Bacillus. Di daerah rizosfir, genus Bacillus merupakan
bakteri yang paling dominan ditemukan karena mampu beradaptasi dengan kondisi
lingkungan dan beberapa jenis diketahui membentuk endospora yang tahan terhadap
kondisi ekstrim. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Xavier &
Germida (2003) bahwa 80 – 92% bakteri yang berhasil diisolasi dari spora FMA
Glomus clarum NT4 merupakan genus Bacillus spp yang membentuk endospora.
Menurut Whipps (2001), di antara mikroba prokariot yang berinteraksi dengan
tanaman, berbagai bakteri seperti Bacillus spp, Streptomyces, Agrobacterium dan
Burkholderia telah terbukti efektif sebagai agen antagonis terhadap patogen tular
tanah. Di antara keduapuluh bakteri yang berhasil diisolasi dari spora FMA pada
penelitian ini, isolat bakteri B10 memiliki kemampuan paling besar dalam
158
menghambat pertumbuhan patogen G. boninense in vitro dengan luas zona bening
(81,87 mm) dan sekaligus memiliki aktivitas mempercepat perkecambahan spora
FMA dengan rata-rata panjang hifa mencapai 1053,52 µm. Berdasarkan 16S rDNA
bakteri B10 tersebut diidentifikasi sebagai Bacillus subtilis B10 dengan homology
100% dan merupakan bakteri Gram positif. Diharapkan bakteri B. subtilis B10 akan
bekerja sinergis dengan FMA pada saat diinokulasikan pada bibit kelapa sawit
sehingga dapat meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit pada saat mendapat
cekaman biotik patogen G. boninense.
Penghambatan patogen oleh mikroba antagonis melibatkan satu atau beberapa
mekanisme tergantung dari agen antagonis yang terlibat di dalam proses tersebut
(Whipps 2001). Pengaruh langsung dari patogen tersebut diantaranya kompetisi
dalam kolonisasi atau infeksi akar, persaingan dalam mendapatkan sumber karbon
dan nitrogen sebagai hara, kompetisi terhadap besi (Fe) melalui produksi siderofor
sebagai pengkelat Fe, penghambatan patogen melalui senyawa antimikroba seperti
antibiotik dan HCN, degradasi faktor perkecambahan patogen atau faktor patogenitas
dan parasitisme. Lebih lanjut Whipps (2001) menyatakan bahwa pengaruh-pengaruh
tersebut disertai dengan mekanisme tidak langsung, termasuk perbaikan hara tanaman
dan kompensasi kerusakan, perubahan dalam sistem anatomi akar, perubahan
komposisi mikroba di daerah rizosfir dan aktivasi mekanisme pertahanan tanaman,
yang akan meningkakan resistensi tanaman terhadap patogen. Sehingga dapat
dikatakan bahwa agen biokontrol yang efektif seringkali bertindak melalui kombinasi
dari beberapa mekanisme yang berbeda.
Penggunaan interaksi mikroba mikorizosfir untuk peningkatan daya adaptasi
akar tanaman terhadap cekaman biotik patogen merupakan salah satu manipulasi
bioteknologi yang cukup menjanjikan. Namun, karena efek profilaksis atau efek
proteksi tidaklah sama efektivitasnya dari setiap kombinasi mikroba untuk semua
patogen, semua substrat, atau semua kondisi lingkungan, sehingga dibutuhkan riset
lebih lanjut untuk keberhasilan aplikasi konsorsium mikroba tersebut dalam praktek
pertanian yang berkelanjutan (Barea et al. 2005). Lebih lanjut Barea et al. (2005)
menyatakan bahwa dalam memanfaatkan bakteri endosimbiotik mikoriza untuk
159
meningkatkan daya daptasi tanaman terhadap cekaman biotik patogen harus
memperhatikan kompatibilitas bakteri tersebut dengan FMA. Kunci utamanya adalah
menentukan apakah agen biokontrol antifungi tersebut akan memberikan pengaruh
negatif terhadap FMA itu sendiri. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mikroba
antagonis fungi patogen, baik itu fungi maupun plant growth promoting rhizobacteria
(PGPR) tidak memberikan efek anti mikroba terhadap FMA (Edwards et al. 1998;
Vazquez et al. 2000), yang merupakan poin utama dalam mengeksploitasi
kemungkinan penggunaan dual inokulasi antara FMA dan bakteri endosimbiotik
mikoriza dalam meningkatkan daya adaptasi tanaman terhadap cekaman biotik
patogen. Percobaan in vitro dan in situ yang dilakukan oleh Barea et al. (1998)
menyimpulkan bahwa tidak ada pengaruh negatif dari strain Pseudomonas penghasil
2,4-diacetylphloroglucinol (DAPG) terhadap formasi dan perkecambahan spora
FMA, kecuali terhadap stimulasi pertumbuhan hifa FMA Glomus mosseae. Lebih
lanjut Barea et al. (1998) melaporkan hasil uji lapangan untuk validasi hasil
percobaan tersebut dan hasilnya adalah tidak satupun strain Pseudomonas tersebut
yang mempengaruhi jumlah dan diversitas populasi FMA, persentase panjang akar
yang terinfeksi FMA ataupun kinerja dari FMA tersebut.
Bakteri endosimbiotik mikoriza B. subtilis B10 menghasilkan senyawa aktif
dengan bobot molekul 255,39 g/mol dan dipostulasikan struktur molekulnya adalah
2-(4-aminophenoxy)-6-methyl-tetrahydro-2H-pyran-3,4,5-triol.
Senyawa
aktif
tersebut dihasilkan secara in vitro dan memiliki daya hambat yang sangat tinggi
terhadap pertumbuhan fungi patogen G. boninense dan memiliki kemampuan
menyebabkan nekrotik pada jaringan miselia G. boninense pada uji in vitro.
Berdasarkan penelusuran pada beberapa website senyawa kimia bahan alam, postulat
senyawa aktif tersebut belum ditemukan di dalam daftar senyawa untuk natural
produk. Potensi yang sangat besar dari senyawa aktif tersebut terhadap pertumbuhan
patogen G. boninense serta peluangnya sebagai senyawa natural produk baru
merupakan noveltis atau temuan baru yang sangat penting dari penelitian ini, yang
akan bermanfaat bagi praktisi perkebunan kelapa sawit. Temuan ini dapat dijadikan
rekomendasi dalam mengendalikan fungi patogen G. boninense pada kelapa sawit
160
untuk meminimalkan kerugian yang ditimbulkan oleh fungi patogen tersebut.
Mikroba endofit diketahui memberikan perlindungan dan kelangsungan hidup
tanaman inangnya dengan menghasilkan sejumlah besar senyawa (Pimentel et al.
2011). Produksi senyawa aktif oleh mikroba endofit sangat berkaitan denngan evolusi
mikroba tersebut, yang terintegrasi di dalam informasi genetik tanaman tingkat tinggi,
sehingga memungkinkan mereka beradaptasi dengan tanaman inangnya dan
memberikan beberapa fungsi seperti proteksi terhadap patogen dan meningkatkan
keragaan tanaman (Strobel 2003).
Beberapa senyawa antifungi yang disintesis oleh bakteri golongan Bacillus sp
sangat aktif terhadap fungi patogen berfilamen dan yeast (Bottone & Peluso 2003).
Optimalisasi produksi senyawa aktif yang dihasilkan oleh bakteri B. subtilis B10 akan
meningkatkan kemampuan senyawa tersebut sebagai biokontrol terhadap G.
boninense. Potensi bakteri B. subtilis untuk menghasilkan senyawa antibiotik sudah
sangat dikenal secara luas lebih dari 50 tahun dan telah digunakan sebagai fungisida
di dalam pertanian dan hortikultura (Xiao et al. 2008). Isolat bakteri B. subtilis JA
yang diketahui mampu menghambat pertumbuhan Gibberella zeae fungi patogen
pada tanaman jagung secara in vitro, menghasilkan senyawa lipopeptida yang bersifat
antifungi (Liu et al. 2005). Akan tetapi senyawa lipopeptida yang dihasilkan bakteri
tersebut mempengaruhi perkembangan FMA, dimana senyawa yang dihasilkan
bakteri B. subtilis JA tersebut mengurangi frekuensi kolonisasi akar, menghambat
proses perkecambahan spora dan pertumbuhan hifa FMA. Mengingat banyaknya
manfaat yang diperoleh tanaman dari FMA, sangatlah penting untuk memperhatikan
kompatibilitas antara isolat antifungi Bacillus sp dengan FMA sebelum
memanfaatkan bakteri tersebut sebagai biokontrol pada tanaman. Berbeda dengan
isolat B. subtilis JA, pada penelitian ini isolat B. subtilis B10 yang diperoleh diisolasi
dari spora FMA, sehingga kompatibilitas bakteri tersebut dengan FMA sudah sesuai
dan tidak memberikan pengaruh negatif satu sama lain. Penelitian yang dilakukan
oleh El-Khallal (2007) menemukan kolonisasi akar oleh FMA meningkatkan fisiologi
pertahanan tanaman termasuk produksi senyawa fenolik, enzim antioksidan, dan
aktivitas pathogenesis related (PR) protein pada tanaman tomat yang dikolonisasi
161
oleh FMA dan diinfeksi oleh patogen Fusarium oxysporum. Pada penelitian ini,
inokulasi FMA secara tunggal tanpa adanya bakteri endosimbiotik mikoriza B.
subtilis B10 ternyata tidak terlalu mampu menghambat invasi patogen G. boninense
pada bibit kelapa sawit, akan tetapi setelah dikombinasikan dengan FMA, persentase
indeks keparahan penyakit (KP) tajuk dan persentase luas nekrotik akar menurun
sangat drastis. Dapat disimpulkan bahwa peranan FMA dalam meningkatkan
ketahanan tanaman terhadap patogen akar dimungkinkan apabila FMA bersinergi
dengan bakteri yang berasosiasi atau hidup bersama FMA.
Bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan FMA dan diinokulasi dengan B.
subtilis B10 (M1B1) terbukti mampu tumbuh dan berkembang lebih baik serta
memiliki daya adaptasi yang lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa FMA dan tanpa
bakteri endosimbiotik mikoriza (M0B0) maupun bibit yang hanya diinokulasi FMA
(M1B0) atau bakteri B. subtilis B10 (M0B1) secara tunggal. Simbiosis FMA dan
bakteri endosimbiotik mikoriza dengan bibit kelapa sawit meningkatkan kemampuan
bibit dalam menyerap hara dan air sehingga bibit kelapa sawit lebih sehat dan mampu
bertahan pada keadaan cekaman abiotik atau stres lingkungan seperti cekaman
kekeringan, kekahatan hara, keracunan Al dan lain sebagainya. Kemampuan bibit
kelapa sawit dalam beradaptasi dengan cekaman abiotik tersebut akan meningkatkan
kemampuan adaptasi bibit apabila mendapat cekaman biotik patogen. Kemampuan
tersebut akan sangat berarti jika bibit kelapa sawit dipindahkan ke lapangan sehingga
mampu mengatasi keadaan lingkungan yang beragam terutama pada saat mendapat
cekaman biotik berupa serangan penyakit tular tanah seperti G. boninense.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bibit kelapa sawit yang bersimbiosis
dengan FMA dan bakteri B. subtilis B10 mampu meningkatkan tinggi tanaman, bobot
kering akar dan diameter batang (pangkal pelepah) pada 52 minggu setelah tanam,
tetapi tidak demikian halnya untuk bobot kering tajuk. Bobot kering tajuk pada
penelitian ini tidak berbeda nyata. Oleh karena kelapa sawit merupakan tanaman
tahunan, dapat dikatakan bahwa penyerapan hara oleh FMA dan bakteri B. subtilis
B10 lebih dimanfaatkan untuk meningkatkan keragaan tanaman pada saat awal yang
terlihat dari meningkatnya tinggi tanaman dan diameter batang (pangkal pelepah)
162
sehingga peranan terhadap peubah bobot kering tajuk belum terlihat. Tinggi tanaman
tertinggi (157,5 cm) dan bobot kering akar tertinggi (20,63 g) diperoleh ketika bibit
kelapa sawit bersimbiosis dengan FMA dan bakteri B. subtilis B10 bersama-sama
(M1B1). Tinggi bibit kelapa sawit yang diberi perlakuan inokulasi bakteri
endosimbiotik mikoriza B. subtilis B10 maupun inokulasi FMA secara tunggal jauh
lebih rendah jika dibandingkan dengan tinggi bibit yang diberi pelakuan keduanya.
Ini berarti bahwa simbiosis bibit kelapa sawit dengan FMA dan B. subtilis B10
memacu sinergi kedua mikroba tersebut dalam meningkatkan daya adaptasi bibit
kelapa sawit terhadap cekaman biotik G. boninense daripada inokulasi FMA atau B.
subtilis B10 secara tunggal. Simbiosis bibit kelapa sawit dengan FMA dan bakteri
endosimbiotik mikoriza memberikan sistem perakaran yang lebih baik, yang terlihat
dari meningkatnya bobot kering akar bibit kelapa sawit. Sistem perakaran yang baik
dapat meningkatkan jangkauan tanaman dalam menyerap hara dan meningkatkan luas
permukaan akar sehingga meningkatkan penyerapan hara. Di samping sebagai
penyerap hara, akar juga berfungsi sebagai penyerap air yang sangat diperlukan
dalam reaksi fotosintesis dan translokasi hara ke bagian atas tanaman, sehingga bibit
kelapa sawit tumbuh lebih tinggi dengan diameter batang (pangkal pelepah) yang
lebih tinggi. Perakaran yang luas juga akan menjamin terjadinya infeksi sekunder
FMA yang pada akhirnya keadaan ini dapat meningkatkan kolonisasi FMA dan
pembentukan dan pembentukan hifa eksternal yang juga berfungsi sebagai penyerap
hara dan air.
Hasil penelitian yang sama juga dilaporkan oleh Jaizme-Vega et al. (2004), di
mana simbiosis tanaman pisang (Musa spp) dengan FMA Glomus manihotis dan
plant growth promoting bacteria (PGPB) Bacillus spp meningkatkan perkembangan
tanaman dibandingkan dengan inokulasi tunggal baik bakteri Bacillus spp ataupun
inokulasi FMA yang secara statistik sama dengan kontrol. Lebih lanjut Jaizme-Vega
menyatakan bahwa hampir semua peubah fisik tanaman pisang lebih tinggi pada
tanaman yang diberi perlakuan kombinasi kedua mikroba (G. manihotis dan Bacillus
spp). Akan tetapi pada beberapa peubah fisik tanaman pisang yang diberi perlakuan
FMA Glomus manihotis maupun bakteri Bacillus spp secara tunggal, memberikan
163
hasil yang kurang lebih sama dengan perlakuan kontrol (tidak diberi inokulasi G.
manihotis maupun Bacillus spp). Carletti (2000) menyatakan bahwa bakteri PGPB
dan FMA, mampu meningkatkan produksi biomassa pada tahap awal pertumbuhan
tanaman hasil kultur jaringan dan memberikan kontribusi dalam proses adaptasi
tanaman dari in vitro sampai pada tahap aklimatisasi. Beberapa isolat bakteri PGPB
berperan dalam mekanisme langsung dalam proses tersebut seperti kelarutan atau
penambatan hara dan produksi siderofor atau fitohormon. Siderofor merupakan faktor
yang relevan di dalam nutrisi tanaman karena dapat berfungsi sebagai agen pengikat
atau pengkelat Fe3+. Sementara isolat bakteri PGPB menghasilkan hormon tanaman
auxin seperti indole-acetic acid atau IAA (Kloepper et al. 1989).
Pada bibit kelapa sawit yang mendapat perlakuan cekaman biotik patogen G.
boninense sedikit menurunkan persentase kolonisasi akar bibit kelapa sawit oleh
FMA akan tetapi tidak berbeda nyata, terutama pada perlakuan inokulasi bakteri B.
subtilis B10 (M1B1).
Berbeda dengan kolonisasi akar, perlakuan infeksi G.
boninense tidak terlalu mempengaruhi jumlah spora FMA per 100 gram media tanam,
akan tetapi kombinasi FMA dan bakteri B. subtilis B10 (M1B1) meningkatkan
pembentukan spora oleh FMA yang mencapai rata-rata 186,63 spora/100 gram media
tanam jika dibandingkan dengan inokulasi FMA secara tunggal yang hanya 167,25
spora/100 g media tanam. Penelitian yang dilakukan oleh Singh et al. (2010) pada
tanaman buncis (Chickpea) juga menyimpulkan bahwa keberadaan patogen Fusarium
oxysporum f. sp. Ciceris secara signifikan menurunkan kolonisasi FMA dan
pembentukan nodul Rhizobium leguminosorum Biovar pada akar tanaman buncis.
Dual inokulasi FMA dan R. leguminosorum menurunkan kolonisasi dan nodulasi
pada tanaman buncis. Penurunan ini kemungkinan disebabkan adanya sekresi
senyawa antimikroba yang mempengaruhi perkembangan mikroba FMA dan R.
leguminosorum (Walley & Germida 1997). Bagaimana mekanisme patogen tular
tanah dapat mempengaruhi kolonisasi akar oleh FMA maupun nodulasi oleh R.
leguminosorum masih belum jelas (Johansson et al. 2004). Efek ini mungkin terkait
dengan jenis dan varietas dari mikroorganisme dan kondisi lingkungan di daerah
rizosfir (Anjair et al. 2003). Namun demikian, hasil penelitian Bisht et al. (2009)
164
menunjukkan dual inokulasi FMA dan R. leguminosorum pada tanaman Dalbergia
sissoo Roxb yang ditanam pada tanah jenis Mollisol memberikan persentase infeksi
FMA tertinggi.
Serapan hara daun fosfor (P), nitrogen (N), kalium (K) dan magnesium (Mg)
oleh bibit kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh kehadiran bakteri endosimbiotik
mikoriza B. subtilis B10, baik secara tunggal maupun yang didual inokulasi dengan
FMA. Kemampuan bibit kelapa sawit dalam menyerap hara P, N, K dan Mg
meningkat tajam dengan kehadiran bakteri endosimbiotik mikoriza B. subtilis B10
secara tunggal. Sementara simbiosis bibit kelapa sawit dengan FMA secara tunggal
tanpa adanya bakteri endosimbiotik mikoriza memberikan serapan hara daun P, K
dan Mg yang rendah bahkan hampir sama dengan kontrol atau tanpa perlakuan. Akan
tetapi, ketika simbiosis bibit kelapa sawit dengan FMA tersebut diberi perlakuan
inokulasi bakteri endosimbiotik mikoriza B. subtilis B10, serapan hara daun P, K dan
Mg meningkat secara nyata. Fenomena berbeda terjadi untuk serapan hara N, di mana
inokulasi FMA ataupun bakteri endosimbiotik mikoriza B. subtilis B10 secara
tunggal maupun kombinasi keduanya memberikan serapan hara yang lebih tinggi
dibandingkan kontrol.
Secara umum, kemampuan bibit kelapa sawit dalam menyerap hara
dipengaruhi oleh cekaman biotik patogen G. boninense. Serapan hara P, N, K dan Mg
menurun ketika bibit mendapat cekaman biotik patogen G. boninense. Akan tetapi,
serapan P, K dan Mg tersebut meningkat tajam ketika bibit diberi perlakuan dual
inokulasi FMA dan B. subtilis B10 (M1B1) walaupun bibit kelapa sawit mendapat
cekaman biotik patogen G. boninense, akan tetapi tidak berlaku untuk serapan hara N.
Dapat dikatakan bahwa adanya cekaman biotik patogen G. boninense menurunkan
kemampuan bibit kelapa sawit dalam menyerap hara N. Meenakshisundaram &
Santhaguru (2011) yang menyimpulkan bahwa serapan hara N dan P meningkat
secara signifikan pada tanaman Sorghum bicolor yang diberi perlakuan inokulasi
FMA yang dikombinasi dengan bakteri Gluconacetobacter diazotrophicus. Lebih
lanjut disampaikan bahwa akumulasi hara P jauh lebih tinggi pada tanaman yang
diberi perlakuan inokulasi FMA dengan adanya bakteri G. diazotrophicus. Selama ini
165
diyakini bahwa salah satu manfaat FMA bagi tanaman adalah meningkatkan serapan
hara P, akan tetapi pada penelitian ini, inokulasi FMA secara tunggal tidak mampu
meningkatkan serapan hara P. Peningkatan serapan hara P terjadi apabila FMA
bersinergi dengan bakteri yang berasosiasi dengan FMA. Diduga bakteri
endosimbiotik mikoriza B. subtilis B10 selain memiliki kemampuan sebagai
penghambat pertumbuhan patogen G. boninense, juga memiliki kemampuan sebagai
pelarut fosfat. Akan tetapi perlu uji lebih lanjut untuk membuktikan kemampuan
bakteri tersebut. Di antara komunitas bakteri rizosfir, bakteri genus Pseudomonas,
Bacillus, Enterobacter termasuk golongan bakteri rizosfir yang efektif dan paling
kuat dalam melarutkan fosfat (Igual et al. 2001; Whitelaw 2000). Fungi mikoriza
arbuskular telah diketahui berinteraksi dengan mikroba rizosfir yang membantu
meningkatkan stabilitas pembentukan bakteri. Bakteri tersebut mensekresikan enzimenzim yang dapat melarutkan fosfat (Smith & Read 2008). Interaksi tersebut
memberikan efek sinergi positif dalam meningkatkan hara tanaman, pertumbuhan dan
kelangsungan hidup tanaman (Jeffries et al. 2003).
Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa daya adaptasi bibit kelapa
sawit dalam menyerap hara P, N, K dan Mg terhadap cekaman biotik patogen G.
boninense meningkat apabila bibit kelapa sawit bersimbiosis dengan FMA dan
bakteri endosimbiotik mikoriza B. subtilis B10. Telah diketahui secara luas bahwa
FMA dapat memperbaiki status hara dari tanaman inangnya (Smith & Read 2008).
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa tanaman yang menyerap hara lebih banyak
melalui FMA akan meningkatkan daya adaptasi tanaman terhadap cekaman infeksi
patogen akar (Al-Askar & Rashad 2010). Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Aka-Kacar et al. (2010) dimana tanaman cherry
rootstocks yang diberi inokulasi FMA terlihat lebih sehat dan memiliki kandungan
hara Zn dan P yang tinggi jika dibandingkan dengan tanaman kontrol. Hal yang sama
juga dilaporkan oleh Barea et al. (1998) dimana strain Pseudomonas penghasil
senyawa antifungi 2,4-diacetylphloroglucinol (DAPG) yang di dual inokulasi dengan
FMA Glomus mosseae pada tanaman tomat, mampu meningkatkan penyerapan hara
N dan P oleh tanaman. Penelitian yang dilakukan oleh Bharadwaj et al. (2008) juga
166
mendukung hasil penelitian ini dimana bakteri yang berasosiasi dengan spora FMA
(bakteri endosimbiotik mikoriza) memiliki multifungsi. Seperti halnya bakteri
rizosfir, isolat bakteri endosimbiotik mikoriza yang sama memiliki fungsi yang
banyak, seperti meningkatkan kolonisasi akar oleh mikoriza serta meningkatkan
pertumbuhan tanaman, akan tetapi juga dapat bersifat antagonis terhadap patogen
(Bharadwaj et al. 2008). Efek multifungsi dari bakteri endosimbiotik mikoriza ini
sangat bervariasi diantara isolat bakteri endosimbiotik mikoriza lainnya dan
melibatkan lebih dari satu mekanisme di dalamnya.
Pertumbuhan dan serapan hara oleh bibit kelapa sawit pada penelitian ini
menurun dengan adanya cekaman biotik patogen G. boninense. Akan tetapi bibit
kelapa sawit yang di dual inokulasi dengan FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza
B. subtilis B10 (M1B1) mampu mengatasi cekaman biotik patogen G. boninense
tersebut. Hal ini terlihat dari persentase indeks keparahan penyakit (KP) tajuk dari
bibit kelapa sawit pada perlakuan M1B1 hanya 5% dan persentase luas nekrotik akar
paling kecil yaitu 10% dibandingkan dengan kontrol (M0B0) yang mencapai 42,5%
dan 57,50% masing-masing untuk KP tajuk dan luas nekrotik akar. Mekanisme bibit
kelapa sawit yang diinokulasi FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza dalam
mengatasi cekaman biotik patogen dimungkinkan dengan meningkatnya lignifikasi
dinding sel akar sehingga menyulitkan patogen untuk menginfeksi akar bibit kelapa
sawit (Sapak et al. 2008), diduga inokulasi FMA bakteri endosimbiotik mikoriza
menghasilkan senyawa yang menginduksi bibit kelapa sawit untuk menghasilkan
kumpulan senyawa yang dapat meningkatkan pertahanan bibit kelapa sawit terhadap
cekaman biotik patogen G. boninense, seperti fitoaleksin dan lain sebagainya. Hal
yang menarik dari hasil penelitian ini, inokulasi bakteri B. subtilis B10 secara tunggal
tidak mampu meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman biotik
patogen G. boninense, dimana persentase KP tajuk mencapai 37,5% dengan
persentase akar yang mengalami nekrotik 42,5%, walaupun uji bakteri tersebut secara
in vitro diketahui mampu menghambat pertumbuhan G. boninense. Akan tetapi
ketika bakteri B. subtilis B10 di dual inokulasi dengan FMA, daya adaptasi bibit
kelapa sawit terhadap cekaman biotik patogen G. boninense meningkat tajam dengan
167
persentase KP dan luas nekrotik akar hanya 5% dan 10%. Dari fenomena tersebut
dapat disimpulkan bahwa kemampuan penghambatan oleh bakteri Bacillus subtilis
B10 tersebut secara in vitro ternyata tidak memberikan hasil yang sama pada saat
dilakukan uji in vivo pada bibit kelapa sawit. Beberapa faktor akan mempengaruhi
kemampuan bakteri di dalam tanaman. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh
Saharan & Nehra (2011), dimana banyak faktor lingkungan yang mempengaruhi
pertumbuhan dan efek yang diberikan oleh mikroba PGPR pada tanaman. Faktor
lingkungan (abiotik dan biotik) yang dapat mempengaruhi hasil di lapangan di
antaranya iklim, kondisi cuaca, sifat dan karakter tanah, komposisi dari mikroba
indigenous dalam tanah dan persaingan dengan mikroba yang ada di alam tanah.
Untuk mendapatkan hasil yang maksimum dari mikroba PGPR baik in vitro maupun
in vivo, selain uji aktivitasnya juga perlu dilakukan uji kemampuan mikroba tersebut
untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan. Dual inokulasi FMA dan
bakteri endosimbiotik mikoriza B. subtilis B10 menunjukkan potensi yang besar
dalam menekan kejadian busuk pangkal batang pada bibit kelapa sawit. Penurunan
persentase indeks keparahan penyakit (KP) tajuk dan luas nekrotik akar pada bibit
kelapa sawit yang diberi perlakuan inokulasi FMA dengan B. subtilis B10 dan
mendapat cekaman biotik patogen G. boninense membuktikan bahwa bakteri B.
subtilis B10 bekerja sinergis dengan FMA dan memainkan peran penting dalam
menghambat penetrasi G. boninense ke dalam sistem vaskular. Interaksi antara
tanaman, FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza dapat memberikan efek yang
besar terhadap kesehatan dan produktivitas tanaman (Sturz et al. 2000). Dugaan
mekanisme yang terlibat di dalam peningkatan pertumbuhan dan kesehatan tanaman
termasuk diantaranya meningkatkan ketersediaan hara tanah, memperbaiki struktur
tanah, menginduksi tanaman inang untuk menghasilkan senyawa yang menghambat
pertumbuhan patogen, memproduksi senyawa antibiotik dan menyediakan senyawa
atau enzim yang menstimulasi pertumbuhan tanaman (Van Loon & Bakker 2004).
Peningkatan pertumbuhan bibit kelapa sawit, serapan hara daun, penurunan
indeks keparahan penyakit (KP) dan penurunan persentase luas nekrotik akar oleh
simbiosis bibit kelapa sawit dengan FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza B.
168
subtilis B10 merupakan bentuk daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman
biotik
G. boninense. Daya adaptasi tersebut diekspresikan dalam bentuk profil
senyawa aktif yang diperoleh dari ekstraksi akar bibit kelapa sawit dan dianalisis
dengan HPLC. Profil kromatogram hasil analisis HPLC menunjukkan dual inokulasi
FMA dan bakteri B. subtilis B10 berdampak pada berkurangnya konsentrasi
kumpulan senyawa yang berfungsi sebagai elisitor bagi daya adaptasi bibit kelapa
sawit terhadap cekaman biotik patogen G. boninense, walaupun jenis senyawanya
belum dapat diketahui. Dugaan ini terlihat dari turunnya puncak kumpulan senyawa
aktif ketika bibit kelapa sawit diinokulasi oleh FMA (M1B0G1) dan bakteri
endosimbiotik mikoriza (M0B1G1), baik secara tunggal maupun kombinasi
keduanya (M1B1G1). Jika dikaitkan dengan pengamatan penyakit secara visual pada
penelitian dalam disertasi ini, perlakuan M1B1G1 memiliki nilai indeks keparahan
penyakit (KP) tajuk dan luas nekrotik akar paling rendah, pertumbuhan bibit paling
tinggi dan serapan hara daun paling besar. Diduga inokulasi FMA dengan bakteri B.
subtilis B10 menghasilkan elisitor yang berfungsi menginduksi bibit kelapa sawit
untuk meningkatkan produksi senyawa aktif yang dapat menghambat pertumbuhan
patogen G. boninense, sehingga bibit kelapa sawit tumbuh lebih sehat dengan
keragaan yang lebih baik walaupun tercekam oleh patogen G. boninense.
Pengeluaran elisitor sebagai bentuk adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman
biotik patogen G. boninense diekspresikan dalam bentuk profil kromatogram HPLC
(Gambar 35, 36, 37, 38 dan 39). Dari profil kromatogram tersebut terlihat bahwa
pada kondisi bibit kelapa sawit mendapat cekaman biotik patogen G. boninense,
tanpa perlakuan inokulasi FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza B. subtilis B10
muncul puncak kumpulan senyawa aktif yang sangat tinggi. Diduga perlakuan
inokulasi FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza B. subtilis B10 (M1B1G1),
menurunkan pengeluaran senyawa elisitor oleh FMA dan bakteri yang akan
menginduksi bibit kelapa sawit untuk memproduksi senyawa yang dapat
menghambat aktivitas patogen G. boninense (Gambar 39), sebagai ekspresi dari bibit
kelapa sawit untuk melawan patogen G. boninese.
Senyawa-senyawa yang
dihasilkan untuk melawan patogen tersebut belum dapat diketahui jenisnya, termasuk
169
juga apakah senyawa yang dihasilkan oleh bakteri endosimbiotik mikoriza secara in
vitro yang memiliki daya hambat yang tinggi terhadap G. boninense pada uji in vitro,
juga dihasilkan oleh bibit kelapa sawit secara in vivo yang terinduksi oleh inokulasi
FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza. Perlu penelitian lebih lanjut untuk
menentukan jenis-jenis senyawa yang dihasilkan oleh dual inokulasi tersebut yang
berperan dalam meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman
biotik patogen G. boninense.
Biokontrol patogen tanaman yang melibatkan mikroba antagonis dapat terjadi
melalui mekanisme antibiosis, menekan kompetisi, parasitisme secara langsung,
induksi ketahanan, hipovirulensi ataupun predasi (Haggag & Mohamed 2007).
Aktivitas antagonis terhadap patogen tanaman sering dikaitkan dengan produksi
metabolit sekunder (Park et al. 2005; Kishore et al. 2007). Garcia-Garrido &
Ocampo (2002) menyatakan bahwa pengenalan penyusup oleh tanaman sebagai
syarat untuk respon yang efektif dapat dicapai melalui pengenalan molekul sinyal
spesifik yang disebut dengan elisitor. Salzer & Boller (2000) menyatakan bahwa
FMA dan bentuk fungi mikoriza lainnya mensekresi elisitor yang menyerupai kitin
dari fitopatogen, yang menginduksi aktifnya gen yang berkaitan dengan ketahanan
tanaman terhadap patogen. Sebagai contoh, G. intraradices menginduksi ekspresi
sintesis chalcone yang merupakan senyawa antimikroba dan mentriger keluarnya
enzim pertama dalam senyawa flavonoid seperti fitoaleksin pada tanaman Medicago
truncatula (Bonanomi et al. 2001). FMA juga diketahui menginduksi beberapa
senyawa fitoaleksin seperti phenylalanine ammonia lyase (PAL), rishitin and
solavetivone (Engström et al. 1999), hydroxyproline-rich glycoproteins (Lambais
2000; Garcia-Garrído & Ocampo 2002), isoflavonoid (-)-medicarpin, medicarpin-30-glycoside and formononetin pada tanaman Alfalfa (Volpin et al. 1995; Harrison &
Dixon 1993), glyceollin dan coumestrol (Morandi & Le Querre 1991). Senyawasenyawa tersebut memiliki bobot molekul rendah dan merupakan senyawa
antimikroba yang disintesis dan diakumulasi di dalam tanaman setelah menghadapi
patogen (Paxton 1981). Kolonisasi FMA pada akar tanaman juga menstimulasi jalur
phenylpropanoid (Morandi 1996), yang dipicu oleh induksi dari aktivitas PAL
170
(Kapoor 2008). Sementara Cordier et al. (1998) melaporkan bahwa penurunan
kolonisasi patogen Phytophthora parasitica pada tanaman tomat bermikoriza
berkaitan dengan meningkatnya akumulasi senyawa fenolik dan fenol odihidrik.
Peningkatan konsentrasi senyawa fenol dan fenol odihidrik tersebut pada tanaman
tomat diinduksi oleh aktivitas enzim PAL (Kapoor 2008).
Secara umum, mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit yang bersimbiosis
dengan FMA dan bakteri B. subtilis B10 terhadap cekaman biotik patogen G.
boninense dimungkinkan dengan perbaikan pertumbuhan bibit sehingga mampu
bertahan terhadap cekaman abiotik lingkungan, perubahan morfologi akar tanaman
inang, dimana akar tanaman yang diinokulasi FMA dan bakteri endosimbiotik
mikoriza memiliki pertumbuhan akar yang intensif dan akar lateral yang sangat
banyak dengan lignifikasi yang tinggi (Berta et al. 1993) serta memiliki sistem
vaskular yang lebih kuat yang akan meningkatkan aliran hara (Hussey & Roncadori
1982) sehingga bibit kelapa sawit lebih mampu beradaptasi dengan cekaman biotik
patogen G. boninense; (2) Perubahan fisiologi akar tanaman inang, di mana bibit
yang diinokulasi FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza memiliki respirasi yang
lebih tinggi, yang menunjukkan tingginya aktivitas metabolik sehingga bibit kelapa
sawit lebih mampu beradaptasi terhadap cekaman biotik G. boninense; (3)
Peningkatan status hara tanaman inang. Peningkatan pertumbuhan baik tinggi
tanaman, diameter batang, bobot kering akar bibit kelapa sawit yang diinokulasi
FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza merupakan hasil dari meningkatnya status
hara tanaman. Meningkatnya serapan hara fosfor, nitrogen, kalium dan magnesium
membuat bibit kelapa sawit lebih sehat dan kuat sehingga mampu beradaptasi dengan
cekaman biotik patogen G. boninense. Beberapa studi melaporkan hara fosfor
menginduksi perubahan eksudat akar yang akan mengurangi perkecambahan spora
fungi patogen sehingga patogen tidak dapat berkembang baik (Graham 1982; Sharma
et al. 2007); (4) Perubahan eksudat akar. Eksudat akar berperan penting di dalam
pembentukan simbiosis FMA dan menekan pertumbuhan patogen. Keberadaan
senyawa fitoaleksin, adanya aktivitas enzim peroksidase pada dinding sel dan
munculnya senyawa fenolik yang terikat pada dinding sel bertanggung jawab di
171
dalam meningkatkan ketahanan tanaman bermikoriza terhadap cekaman biotik
patogen karena dapat menghalangi degradasi dinding sel tanaman oleh patogen
(Morandi 1996; Azcon-Aguillar et al. 2002; Grandmaison et al. 1993). Produksi
senyawa metabolit sekunder oleh bakteri endosimbiotik mikoriza yang memiliki
fungsi sebagai antifungi merupakan bagian dalam mekanisme peningkatan daya
adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman biotik patogen. Secara umum dapat
dikatakan bahwa meningkatnya daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman
biotik patogen G. boninense lebih dikarenakan oleh kemampuan bibit kelapa sawit
sendiri untuk melakukan perlawanan terhadap patogen G. boninense. Adanya bakteri
endosimbiotik mikoriza dan FMA merupakan pemicu atau trigger bagi bibit kelapa
sawit untuk menyebabkan perubahan fisiologi akar dan produksi elisitor yang
menginduksi bibit kelapa sawit untuk lebih aktif menghasilkan senyawa-senyawa
yang dapat menghambat pertumbuhan patogen G. boninense.
FMA dan bakteri endosimbotik mikoriza memiliki efek menguntungkan pada
pertumbuhan dan kesehatan tanaman yang berfungsi sebagai biofertilizer dan
bioprotector, sehingga pengelolaan yang tepat dari simbiosis ini akan mengurangi
penggunaan pupuk anorganik dan pestisida kimia sintetik sebagaimana aspek kunci
dalam budidaya tanaman kelapa sawit yang berkelanjutan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa manfaat maksimum simbiosis FMA dan bakteri endosimbiotik
mikoriza hanya dapat diperoleh jika FMA diinokulasi bersamaan dengan bakteri
endosimbiotik mikoriza, sehingga memberikan manfaat yang optimum dalam
meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman biotik patogen G.
boninense. Akan tetapi, efek sinergis dari inokulasi ganda FMA dengan bakteri
endosimbiotik mikoriza dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dan daya
adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman biotik patogen G. boninense tergantung
pada kombinasi antara fungi dan bakteri yang digunakan, status hara tanah dan
kondisi lingkungan lainnya. Di dalam sistem pertanian rendah input (low-input),
aktivitas mikroba memiliki kontribusi dalam adaptasi tanaman terhadap cekaman
abiotik dan biotik dengan meningkatkan ketersediaan hara, air, penghambatan
patogen sehingga dapat menjaga kesehatan dan produksi tanaman.
Download