PEMBAHASAN UMUM Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan terpenting di Indonesia selain kakao dan karet karena menyumbangkan devisa negara yang cukup besar. Cekaman biotik berupa serangan penyakit pada tanaman dapat menurunkan produktivitas tanaman. Serangan penyakit sebagai cekaman biotik patogen merupakan faktor pembatas utama dalam produksi tanaman karena dapat menyebabkan busuk akar atau mengurangi kemampuan akar dalam menyerap air dan hara dari tanah dengan cara penetrasi jaringan akar dan menghasilkan toksin yang dapat mematikan akar. Di antara penyakit-penyakit yang menyerang tanaman kelapa sawit, penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh patogen Ganoderma boninense Pat merupakan penyakit yang paling mematikan pada perkebunan kelapa sawit karena mengakibatkan kematian populasi tanaman dan penurunan produksi yang sangat tinggi (Sapak et al. 2008). Cekaman biotik patogen berupa penyakit adalah suatu proses di mana bagian-bagian tertentu dari organisme tidak dapat menjalankan fungsinya secara normal karena adanya suatu gangguan. Timbulnya penyakit dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang terdiri dari faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik akan mempengaruhi interaksi antara patogen dan inang yang dapat berkembang menjadi suatu penyakit, yang terdiri dari cuaca (suhu, kelembaban dan angin), iklim yang ditentukan oleh banyaknya curah hujan, tanah, air, cahaya dan hara. Faktor abiotik ini dapat berperan sebagai penyebab langsung cekaman biotik patogen apabila tanaman berada dalam kondisi kekurangan atau kelebihan dan terjadi umumnya oleh beberapa faktor, seperti kekahatan hara akan menyebabkan pradisposisi tumbuhan terhadap infeksi penyakit. Pengendalian faktor abiotik pada tanaman sangat penting dilakukan agar tanaman tidak mengalami cekaman abiotik, sehingga dapat mencegah timbulnya cekaman biotik termasuk cekaman biotik patogen pada tanaman. Sampai saat ini penanggulangan efektif terhadap penyakit busuk pangkal batang tersebut masih belum ditemukan, sehingga para pelaku perkebunan kelapa sawit masih terus berupaya untuk mendapatkan agen pengendalian yang efektif. 155 Seiring meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan, serta adanya tuntutan negara uni eropa yang mensyaratkan penerapan sawit berkelanjutan yang salah satu aspeknya adalah ramah lingkungan dengan mengurangi input kimia sintetik dalam budidayanya, maka pengendalian penyakit busuk pangkal batang lebih diarahkan pada pengendalian biologi dengan mengunakan agen hayati (biokontrol). Salah satu alternatif untuk mengatasi cekaman biotik patogen G. boninense dengan biokontrol adalah dengan mengunakan mikroorganisme rizosfir yang bermanfaat yaitu fungi mikoriza arbuskular (FMA) dan bakteri endosimbiotik mikoriza. Fungi mikoriza arbuskular adalah fungi yang memiliki kemampuan bersimbiosis dengan hampir 80% jenis tanaman (Kapoor et al. 2008), serta telah banyak dibuktikan mampu memperbaiki penyerapan hara, meningkatkan penyerapan air, meningkatkan pertumbuhan tanaman, meningkatkan daya adaptasi tanaman terhadap cekaman abiotik maupun biotik patogen (Rillig 2004; Whips 2004). Selain itu, FMA juga diketahui dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap keracunan logam berat dan terlibat dalam siklus biogeokimia (Clark 1997). Secara alami, di daerah rizosfir FMA hidup bersama dengan bakteri yang disebut juga dengan bakteri endosimbiotik mikoriza. Asosiasi tersebut dapat berdampak menguntungkan, negatif ataupun netral terhadap perkembangan FMA sendiri. Pengaruh negatif dari bakteri endosimbiotik mikoriza terhadap FMA sendiri dapat berupa penurunan kemampuan perkecambahan spora FMA, pengurangan panjang hifa pada tahap ekstramatrikal, penurunan kolonisasi akar dan aktivitas metabolik di dalam miselium internal (Mc Allister et al. 1995; Wyss et al. 1992). Pengaruh yang menguntungkan dari bakteri endosimbiotik mikoriza seperti yang diberikan oleh mycorrhizal helper bacteria (MHB), yaitu bakteri yang membantu FMA dalam merangsang pertumbuhan miselium FMA dan meningkatkan pembentukan FMA (Garbaye 1994). Seperti yang ditemukan oleh Bakhtiar et al. (2010), dimana bakteri Bacillus subtilis B10 yang diisolasi dari spora FMA di daerah rizosfir kelapa sawit menstimulasi perkecambahan spora FMA Gigaspora margarita. Bakteri tersebut menghasilkan senyawa aktif yang memiliki kemampuan mempercepat perkecambahan spora FMA in vitro. Mikroba 156 tanah termasuk bakteri endosimbiotik mikoriza diketahui menghasilkan senyawasenyawa yang dapat meningkatkan pembentukan eksudat akar yang pada akhirnya merangsang pertumbuhan miselia FMA di daerah rizosfir atau memfasilitasi penetrasi akar oleh FMA. Senyawa flavonoid yang terdapat di dalam eksudat akar, terlibat dalam pengenalan sinyal pada interaksi FMA dan tanaman inang. Senyawa flavonoid berperan dalam pertumbuhan dan diferensiasi hifa FMA dan kolonisasi akar oleh FMA (Morandi 1996). Sejumlah senyawa flavonoid memberikan efek stimulasi terhadap pertumbuhan hifa FMA dan efek ini sepertinya sangat tergantung pada struktur kimia dari senyawa (Becard et al. 1992). Menariknya, efek stimulasi dari senyawa-senyawa flavonoid lebih nyata dengan kehadiran CO2 pada konsentrasi yang sama dengan flavonoid di daerah rizosfir (Becard et al. 1992: Poulin et al. 1993). Fitohormon yang dihasilkan oleh bakteri endosimbiotik mikoriza diketahui dapat mempengaruhi proses pengembangan FMA pada tahap pre-simbiotik, seperti meningkatkan perkecambahan spora dan pertumbuhan miselia FMA (Azcon-Aguilar & Barea 1995). Seperti halnya tanaman lain, di daerah rizosfir kelapa sawit terdapat komunitas mikroba yang menguntungkan bagi tanaman kelapa sawit. Komunitas mikroba di daerah rizosfir dipengaruhi oleh jenis atau varietas tanaman, yang mempengaruhi keragaman bakteri yang berasosiasi dengan akar tanaman. Pada penelitian ini, keempat varietas kelapa sawit (Pisifera, Dura Dumpy, Tenera dan Dura Deli) memberikan jumlah spora dan bakteri endosimbiotik yang beragam, dengan jumlah terbanyak diperoleh dari rizosfir kelapa sawit varietas Dura Dumpy (Dp). Eksudat akar yang dikeluarkan oleh varietas Dura Dumpy diduga berbeda dari eksudat akar yang dikeluarkan oleh varietas lainnya sehingga komunitas bakteri yang berhasil diisolasi lebih banyak dan lebih beragam. Menurut Garbeva et al. (2004) bakteri akan bereaksi berbeda terhadap senyawa yang dilepaskan oleh akar tanaman, sehingga komposisi yang berbeda dari eksudat akar akan memberikan komunitas bakteri yang berbeda pula. Pada penelitian ini, jumlah spora FMA yang berhasil diisolasi dari rizosfir keempat varietas kelapa sawit tidak terlalu banyak. Umur tanaman juga mempengaruhi jumlah spora FMA. Pada saat pengambilan sampel 157 tanah di Kebun Percobaan Aek Pancur Pusat Penelitian Kelapa Sawit, umur tanaman kelapa sawit untuk masing-masing varietas rata-rata lebih dari sepuluh tahun, sehingga kepadatan spora yang diperoleh hanya sedikit. Jumlah spora yang berbeda pada akhirnya juga mempengaruhi jumlah bakteri endosimbiotik yang hidup bersama di dalam spora FMA. Seperti yang disampaikan oleh Widiastuti (2004), umur kelapa sawit menentukan kepadatan spora dan jumlah propagul infektif yang terdapat di daerah rizosfirnya, dimana semakin tua umur kelapa sawit jumlah spora semakin menurun dan inefektif. Disamping itu, waktu atau musim pada saat pengambilan sampel juga mempengaruhi jumlah spora FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza yang diperoleh. Pada penelitian ini, sampel tanah diambil pada bulan Maret 2007 yang pada saat itu memasuki akhir musim hujan dan diduga sebagian besar spora FMA di daerah rizosfir kelapa sawit tersebut sudah berkecambah dan FMA lebih terfokus pada pembentukan hifa yang lebih banyak. Tindakan budidaya juga mempengaruhi jumlah spora FMA, di mana pengolahan tanah dan pemupukan anorganik yang intensif pada kebun percobaan Aek Pancur tersebut menurunkan jumlah FMA indigenous yang terdapat pada rizosfir kelapa sawit. Isolat bakteri endosimbiotik mikoriza yang berhasil diisolasi dari spora FMA pada penelitian ini terdiri dari tujuh genus, yaitu Streptomyces, Bacillus, Enterobacter, Alcaligenes, Kocuria, Brevundimonas, Pseudomonas, akan tetapi yang paling banyak adalah genus Bacillus. Di daerah rizosfir, genus Bacillus merupakan bakteri yang paling dominan ditemukan karena mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan beberapa jenis diketahui membentuk endospora yang tahan terhadap kondisi ekstrim. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Xavier & Germida (2003) bahwa 80 – 92% bakteri yang berhasil diisolasi dari spora FMA Glomus clarum NT4 merupakan genus Bacillus spp yang membentuk endospora. Menurut Whipps (2001), di antara mikroba prokariot yang berinteraksi dengan tanaman, berbagai bakteri seperti Bacillus spp, Streptomyces, Agrobacterium dan Burkholderia telah terbukti efektif sebagai agen antagonis terhadap patogen tular tanah. Di antara keduapuluh bakteri yang berhasil diisolasi dari spora FMA pada penelitian ini, isolat bakteri B10 memiliki kemampuan paling besar dalam 158 menghambat pertumbuhan patogen G. boninense in vitro dengan luas zona bening (81,87 mm) dan sekaligus memiliki aktivitas mempercepat perkecambahan spora FMA dengan rata-rata panjang hifa mencapai 1053,52 µm. Berdasarkan 16S rDNA bakteri B10 tersebut diidentifikasi sebagai Bacillus subtilis B10 dengan homology 100% dan merupakan bakteri Gram positif. Diharapkan bakteri B. subtilis B10 akan bekerja sinergis dengan FMA pada saat diinokulasikan pada bibit kelapa sawit sehingga dapat meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit pada saat mendapat cekaman biotik patogen G. boninense. Penghambatan patogen oleh mikroba antagonis melibatkan satu atau beberapa mekanisme tergantung dari agen antagonis yang terlibat di dalam proses tersebut (Whipps 2001). Pengaruh langsung dari patogen tersebut diantaranya kompetisi dalam kolonisasi atau infeksi akar, persaingan dalam mendapatkan sumber karbon dan nitrogen sebagai hara, kompetisi terhadap besi (Fe) melalui produksi siderofor sebagai pengkelat Fe, penghambatan patogen melalui senyawa antimikroba seperti antibiotik dan HCN, degradasi faktor perkecambahan patogen atau faktor patogenitas dan parasitisme. Lebih lanjut Whipps (2001) menyatakan bahwa pengaruh-pengaruh tersebut disertai dengan mekanisme tidak langsung, termasuk perbaikan hara tanaman dan kompensasi kerusakan, perubahan dalam sistem anatomi akar, perubahan komposisi mikroba di daerah rizosfir dan aktivasi mekanisme pertahanan tanaman, yang akan meningkakan resistensi tanaman terhadap patogen. Sehingga dapat dikatakan bahwa agen biokontrol yang efektif seringkali bertindak melalui kombinasi dari beberapa mekanisme yang berbeda. Penggunaan interaksi mikroba mikorizosfir untuk peningkatan daya adaptasi akar tanaman terhadap cekaman biotik patogen merupakan salah satu manipulasi bioteknologi yang cukup menjanjikan. Namun, karena efek profilaksis atau efek proteksi tidaklah sama efektivitasnya dari setiap kombinasi mikroba untuk semua patogen, semua substrat, atau semua kondisi lingkungan, sehingga dibutuhkan riset lebih lanjut untuk keberhasilan aplikasi konsorsium mikroba tersebut dalam praktek pertanian yang berkelanjutan (Barea et al. 2005). Lebih lanjut Barea et al. (2005) menyatakan bahwa dalam memanfaatkan bakteri endosimbiotik mikoriza untuk 159 meningkatkan daya daptasi tanaman terhadap cekaman biotik patogen harus memperhatikan kompatibilitas bakteri tersebut dengan FMA. Kunci utamanya adalah menentukan apakah agen biokontrol antifungi tersebut akan memberikan pengaruh negatif terhadap FMA itu sendiri. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mikroba antagonis fungi patogen, baik itu fungi maupun plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) tidak memberikan efek anti mikroba terhadap FMA (Edwards et al. 1998; Vazquez et al. 2000), yang merupakan poin utama dalam mengeksploitasi kemungkinan penggunaan dual inokulasi antara FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza dalam meningkatkan daya adaptasi tanaman terhadap cekaman biotik patogen. Percobaan in vitro dan in situ yang dilakukan oleh Barea et al. (1998) menyimpulkan bahwa tidak ada pengaruh negatif dari strain Pseudomonas penghasil 2,4-diacetylphloroglucinol (DAPG) terhadap formasi dan perkecambahan spora FMA, kecuali terhadap stimulasi pertumbuhan hifa FMA Glomus mosseae. Lebih lanjut Barea et al. (1998) melaporkan hasil uji lapangan untuk validasi hasil percobaan tersebut dan hasilnya adalah tidak satupun strain Pseudomonas tersebut yang mempengaruhi jumlah dan diversitas populasi FMA, persentase panjang akar yang terinfeksi FMA ataupun kinerja dari FMA tersebut. Bakteri endosimbiotik mikoriza B. subtilis B10 menghasilkan senyawa aktif dengan bobot molekul 255,39 g/mol dan dipostulasikan struktur molekulnya adalah 2-(4-aminophenoxy)-6-methyl-tetrahydro-2H-pyran-3,4,5-triol. Senyawa aktif tersebut dihasilkan secara in vitro dan memiliki daya hambat yang sangat tinggi terhadap pertumbuhan fungi patogen G. boninense dan memiliki kemampuan menyebabkan nekrotik pada jaringan miselia G. boninense pada uji in vitro. Berdasarkan penelusuran pada beberapa website senyawa kimia bahan alam, postulat senyawa aktif tersebut belum ditemukan di dalam daftar senyawa untuk natural produk. Potensi yang sangat besar dari senyawa aktif tersebut terhadap pertumbuhan patogen G. boninense serta peluangnya sebagai senyawa natural produk baru merupakan noveltis atau temuan baru yang sangat penting dari penelitian ini, yang akan bermanfaat bagi praktisi perkebunan kelapa sawit. Temuan ini dapat dijadikan rekomendasi dalam mengendalikan fungi patogen G. boninense pada kelapa sawit 160 untuk meminimalkan kerugian yang ditimbulkan oleh fungi patogen tersebut. Mikroba endofit diketahui memberikan perlindungan dan kelangsungan hidup tanaman inangnya dengan menghasilkan sejumlah besar senyawa (Pimentel et al. 2011). Produksi senyawa aktif oleh mikroba endofit sangat berkaitan denngan evolusi mikroba tersebut, yang terintegrasi di dalam informasi genetik tanaman tingkat tinggi, sehingga memungkinkan mereka beradaptasi dengan tanaman inangnya dan memberikan beberapa fungsi seperti proteksi terhadap patogen dan meningkatkan keragaan tanaman (Strobel 2003). Beberapa senyawa antifungi yang disintesis oleh bakteri golongan Bacillus sp sangat aktif terhadap fungi patogen berfilamen dan yeast (Bottone & Peluso 2003). Optimalisasi produksi senyawa aktif yang dihasilkan oleh bakteri B. subtilis B10 akan meningkatkan kemampuan senyawa tersebut sebagai biokontrol terhadap G. boninense. Potensi bakteri B. subtilis untuk menghasilkan senyawa antibiotik sudah sangat dikenal secara luas lebih dari 50 tahun dan telah digunakan sebagai fungisida di dalam pertanian dan hortikultura (Xiao et al. 2008). Isolat bakteri B. subtilis JA yang diketahui mampu menghambat pertumbuhan Gibberella zeae fungi patogen pada tanaman jagung secara in vitro, menghasilkan senyawa lipopeptida yang bersifat antifungi (Liu et al. 2005). Akan tetapi senyawa lipopeptida yang dihasilkan bakteri tersebut mempengaruhi perkembangan FMA, dimana senyawa yang dihasilkan bakteri B. subtilis JA tersebut mengurangi frekuensi kolonisasi akar, menghambat proses perkecambahan spora dan pertumbuhan hifa FMA. Mengingat banyaknya manfaat yang diperoleh tanaman dari FMA, sangatlah penting untuk memperhatikan kompatibilitas antara isolat antifungi Bacillus sp dengan FMA sebelum memanfaatkan bakteri tersebut sebagai biokontrol pada tanaman. Berbeda dengan isolat B. subtilis JA, pada penelitian ini isolat B. subtilis B10 yang diperoleh diisolasi dari spora FMA, sehingga kompatibilitas bakteri tersebut dengan FMA sudah sesuai dan tidak memberikan pengaruh negatif satu sama lain. Penelitian yang dilakukan oleh El-Khallal (2007) menemukan kolonisasi akar oleh FMA meningkatkan fisiologi pertahanan tanaman termasuk produksi senyawa fenolik, enzim antioksidan, dan aktivitas pathogenesis related (PR) protein pada tanaman tomat yang dikolonisasi 161 oleh FMA dan diinfeksi oleh patogen Fusarium oxysporum. Pada penelitian ini, inokulasi FMA secara tunggal tanpa adanya bakteri endosimbiotik mikoriza B. subtilis B10 ternyata tidak terlalu mampu menghambat invasi patogen G. boninense pada bibit kelapa sawit, akan tetapi setelah dikombinasikan dengan FMA, persentase indeks keparahan penyakit (KP) tajuk dan persentase luas nekrotik akar menurun sangat drastis. Dapat disimpulkan bahwa peranan FMA dalam meningkatkan ketahanan tanaman terhadap patogen akar dimungkinkan apabila FMA bersinergi dengan bakteri yang berasosiasi atau hidup bersama FMA. Bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan FMA dan diinokulasi dengan B. subtilis B10 (M1B1) terbukti mampu tumbuh dan berkembang lebih baik serta memiliki daya adaptasi yang lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa FMA dan tanpa bakteri endosimbiotik mikoriza (M0B0) maupun bibit yang hanya diinokulasi FMA (M1B0) atau bakteri B. subtilis B10 (M0B1) secara tunggal. Simbiosis FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza dengan bibit kelapa sawit meningkatkan kemampuan bibit dalam menyerap hara dan air sehingga bibit kelapa sawit lebih sehat dan mampu bertahan pada keadaan cekaman abiotik atau stres lingkungan seperti cekaman kekeringan, kekahatan hara, keracunan Al dan lain sebagainya. Kemampuan bibit kelapa sawit dalam beradaptasi dengan cekaman abiotik tersebut akan meningkatkan kemampuan adaptasi bibit apabila mendapat cekaman biotik patogen. Kemampuan tersebut akan sangat berarti jika bibit kelapa sawit dipindahkan ke lapangan sehingga mampu mengatasi keadaan lingkungan yang beragam terutama pada saat mendapat cekaman biotik berupa serangan penyakit tular tanah seperti G. boninense. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan FMA dan bakteri B. subtilis B10 mampu meningkatkan tinggi tanaman, bobot kering akar dan diameter batang (pangkal pelepah) pada 52 minggu setelah tanam, tetapi tidak demikian halnya untuk bobot kering tajuk. Bobot kering tajuk pada penelitian ini tidak berbeda nyata. Oleh karena kelapa sawit merupakan tanaman tahunan, dapat dikatakan bahwa penyerapan hara oleh FMA dan bakteri B. subtilis B10 lebih dimanfaatkan untuk meningkatkan keragaan tanaman pada saat awal yang terlihat dari meningkatnya tinggi tanaman dan diameter batang (pangkal pelepah) 162 sehingga peranan terhadap peubah bobot kering tajuk belum terlihat. Tinggi tanaman tertinggi (157,5 cm) dan bobot kering akar tertinggi (20,63 g) diperoleh ketika bibit kelapa sawit bersimbiosis dengan FMA dan bakteri B. subtilis B10 bersama-sama (M1B1). Tinggi bibit kelapa sawit yang diberi perlakuan inokulasi bakteri endosimbiotik mikoriza B. subtilis B10 maupun inokulasi FMA secara tunggal jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan tinggi bibit yang diberi pelakuan keduanya. Ini berarti bahwa simbiosis bibit kelapa sawit dengan FMA dan B. subtilis B10 memacu sinergi kedua mikroba tersebut dalam meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman biotik G. boninense daripada inokulasi FMA atau B. subtilis B10 secara tunggal. Simbiosis bibit kelapa sawit dengan FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza memberikan sistem perakaran yang lebih baik, yang terlihat dari meningkatnya bobot kering akar bibit kelapa sawit. Sistem perakaran yang baik dapat meningkatkan jangkauan tanaman dalam menyerap hara dan meningkatkan luas permukaan akar sehingga meningkatkan penyerapan hara. Di samping sebagai penyerap hara, akar juga berfungsi sebagai penyerap air yang sangat diperlukan dalam reaksi fotosintesis dan translokasi hara ke bagian atas tanaman, sehingga bibit kelapa sawit tumbuh lebih tinggi dengan diameter batang (pangkal pelepah) yang lebih tinggi. Perakaran yang luas juga akan menjamin terjadinya infeksi sekunder FMA yang pada akhirnya keadaan ini dapat meningkatkan kolonisasi FMA dan pembentukan dan pembentukan hifa eksternal yang juga berfungsi sebagai penyerap hara dan air. Hasil penelitian yang sama juga dilaporkan oleh Jaizme-Vega et al. (2004), di mana simbiosis tanaman pisang (Musa spp) dengan FMA Glomus manihotis dan plant growth promoting bacteria (PGPB) Bacillus spp meningkatkan perkembangan tanaman dibandingkan dengan inokulasi tunggal baik bakteri Bacillus spp ataupun inokulasi FMA yang secara statistik sama dengan kontrol. Lebih lanjut Jaizme-Vega menyatakan bahwa hampir semua peubah fisik tanaman pisang lebih tinggi pada tanaman yang diberi perlakuan kombinasi kedua mikroba (G. manihotis dan Bacillus spp). Akan tetapi pada beberapa peubah fisik tanaman pisang yang diberi perlakuan FMA Glomus manihotis maupun bakteri Bacillus spp secara tunggal, memberikan 163 hasil yang kurang lebih sama dengan perlakuan kontrol (tidak diberi inokulasi G. manihotis maupun Bacillus spp). Carletti (2000) menyatakan bahwa bakteri PGPB dan FMA, mampu meningkatkan produksi biomassa pada tahap awal pertumbuhan tanaman hasil kultur jaringan dan memberikan kontribusi dalam proses adaptasi tanaman dari in vitro sampai pada tahap aklimatisasi. Beberapa isolat bakteri PGPB berperan dalam mekanisme langsung dalam proses tersebut seperti kelarutan atau penambatan hara dan produksi siderofor atau fitohormon. Siderofor merupakan faktor yang relevan di dalam nutrisi tanaman karena dapat berfungsi sebagai agen pengikat atau pengkelat Fe3+. Sementara isolat bakteri PGPB menghasilkan hormon tanaman auxin seperti indole-acetic acid atau IAA (Kloepper et al. 1989). Pada bibit kelapa sawit yang mendapat perlakuan cekaman biotik patogen G. boninense sedikit menurunkan persentase kolonisasi akar bibit kelapa sawit oleh FMA akan tetapi tidak berbeda nyata, terutama pada perlakuan inokulasi bakteri B. subtilis B10 (M1B1). Berbeda dengan kolonisasi akar, perlakuan infeksi G. boninense tidak terlalu mempengaruhi jumlah spora FMA per 100 gram media tanam, akan tetapi kombinasi FMA dan bakteri B. subtilis B10 (M1B1) meningkatkan pembentukan spora oleh FMA yang mencapai rata-rata 186,63 spora/100 gram media tanam jika dibandingkan dengan inokulasi FMA secara tunggal yang hanya 167,25 spora/100 g media tanam. Penelitian yang dilakukan oleh Singh et al. (2010) pada tanaman buncis (Chickpea) juga menyimpulkan bahwa keberadaan patogen Fusarium oxysporum f. sp. Ciceris secara signifikan menurunkan kolonisasi FMA dan pembentukan nodul Rhizobium leguminosorum Biovar pada akar tanaman buncis. Dual inokulasi FMA dan R. leguminosorum menurunkan kolonisasi dan nodulasi pada tanaman buncis. Penurunan ini kemungkinan disebabkan adanya sekresi senyawa antimikroba yang mempengaruhi perkembangan mikroba FMA dan R. leguminosorum (Walley & Germida 1997). Bagaimana mekanisme patogen tular tanah dapat mempengaruhi kolonisasi akar oleh FMA maupun nodulasi oleh R. leguminosorum masih belum jelas (Johansson et al. 2004). Efek ini mungkin terkait dengan jenis dan varietas dari mikroorganisme dan kondisi lingkungan di daerah rizosfir (Anjair et al. 2003). Namun demikian, hasil penelitian Bisht et al. (2009) 164 menunjukkan dual inokulasi FMA dan R. leguminosorum pada tanaman Dalbergia sissoo Roxb yang ditanam pada tanah jenis Mollisol memberikan persentase infeksi FMA tertinggi. Serapan hara daun fosfor (P), nitrogen (N), kalium (K) dan magnesium (Mg) oleh bibit kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh kehadiran bakteri endosimbiotik mikoriza B. subtilis B10, baik secara tunggal maupun yang didual inokulasi dengan FMA. Kemampuan bibit kelapa sawit dalam menyerap hara P, N, K dan Mg meningkat tajam dengan kehadiran bakteri endosimbiotik mikoriza B. subtilis B10 secara tunggal. Sementara simbiosis bibit kelapa sawit dengan FMA secara tunggal tanpa adanya bakteri endosimbiotik mikoriza memberikan serapan hara daun P, K dan Mg yang rendah bahkan hampir sama dengan kontrol atau tanpa perlakuan. Akan tetapi, ketika simbiosis bibit kelapa sawit dengan FMA tersebut diberi perlakuan inokulasi bakteri endosimbiotik mikoriza B. subtilis B10, serapan hara daun P, K dan Mg meningkat secara nyata. Fenomena berbeda terjadi untuk serapan hara N, di mana inokulasi FMA ataupun bakteri endosimbiotik mikoriza B. subtilis B10 secara tunggal maupun kombinasi keduanya memberikan serapan hara yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Secara umum, kemampuan bibit kelapa sawit dalam menyerap hara dipengaruhi oleh cekaman biotik patogen G. boninense. Serapan hara P, N, K dan Mg menurun ketika bibit mendapat cekaman biotik patogen G. boninense. Akan tetapi, serapan P, K dan Mg tersebut meningkat tajam ketika bibit diberi perlakuan dual inokulasi FMA dan B. subtilis B10 (M1B1) walaupun bibit kelapa sawit mendapat cekaman biotik patogen G. boninense, akan tetapi tidak berlaku untuk serapan hara N. Dapat dikatakan bahwa adanya cekaman biotik patogen G. boninense menurunkan kemampuan bibit kelapa sawit dalam menyerap hara N. Meenakshisundaram & Santhaguru (2011) yang menyimpulkan bahwa serapan hara N dan P meningkat secara signifikan pada tanaman Sorghum bicolor yang diberi perlakuan inokulasi FMA yang dikombinasi dengan bakteri Gluconacetobacter diazotrophicus. Lebih lanjut disampaikan bahwa akumulasi hara P jauh lebih tinggi pada tanaman yang diberi perlakuan inokulasi FMA dengan adanya bakteri G. diazotrophicus. Selama ini 165 diyakini bahwa salah satu manfaat FMA bagi tanaman adalah meningkatkan serapan hara P, akan tetapi pada penelitian ini, inokulasi FMA secara tunggal tidak mampu meningkatkan serapan hara P. Peningkatan serapan hara P terjadi apabila FMA bersinergi dengan bakteri yang berasosiasi dengan FMA. Diduga bakteri endosimbiotik mikoriza B. subtilis B10 selain memiliki kemampuan sebagai penghambat pertumbuhan patogen G. boninense, juga memiliki kemampuan sebagai pelarut fosfat. Akan tetapi perlu uji lebih lanjut untuk membuktikan kemampuan bakteri tersebut. Di antara komunitas bakteri rizosfir, bakteri genus Pseudomonas, Bacillus, Enterobacter termasuk golongan bakteri rizosfir yang efektif dan paling kuat dalam melarutkan fosfat (Igual et al. 2001; Whitelaw 2000). Fungi mikoriza arbuskular telah diketahui berinteraksi dengan mikroba rizosfir yang membantu meningkatkan stabilitas pembentukan bakteri. Bakteri tersebut mensekresikan enzimenzim yang dapat melarutkan fosfat (Smith & Read 2008). Interaksi tersebut memberikan efek sinergi positif dalam meningkatkan hara tanaman, pertumbuhan dan kelangsungan hidup tanaman (Jeffries et al. 2003). Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa daya adaptasi bibit kelapa sawit dalam menyerap hara P, N, K dan Mg terhadap cekaman biotik patogen G. boninense meningkat apabila bibit kelapa sawit bersimbiosis dengan FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza B. subtilis B10. Telah diketahui secara luas bahwa FMA dapat memperbaiki status hara dari tanaman inangnya (Smith & Read 2008). Banyak bukti yang menunjukkan bahwa tanaman yang menyerap hara lebih banyak melalui FMA akan meningkatkan daya adaptasi tanaman terhadap cekaman infeksi patogen akar (Al-Askar & Rashad 2010). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Aka-Kacar et al. (2010) dimana tanaman cherry rootstocks yang diberi inokulasi FMA terlihat lebih sehat dan memiliki kandungan hara Zn dan P yang tinggi jika dibandingkan dengan tanaman kontrol. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Barea et al. (1998) dimana strain Pseudomonas penghasil senyawa antifungi 2,4-diacetylphloroglucinol (DAPG) yang di dual inokulasi dengan FMA Glomus mosseae pada tanaman tomat, mampu meningkatkan penyerapan hara N dan P oleh tanaman. Penelitian yang dilakukan oleh Bharadwaj et al. (2008) juga 166 mendukung hasil penelitian ini dimana bakteri yang berasosiasi dengan spora FMA (bakteri endosimbiotik mikoriza) memiliki multifungsi. Seperti halnya bakteri rizosfir, isolat bakteri endosimbiotik mikoriza yang sama memiliki fungsi yang banyak, seperti meningkatkan kolonisasi akar oleh mikoriza serta meningkatkan pertumbuhan tanaman, akan tetapi juga dapat bersifat antagonis terhadap patogen (Bharadwaj et al. 2008). Efek multifungsi dari bakteri endosimbiotik mikoriza ini sangat bervariasi diantara isolat bakteri endosimbiotik mikoriza lainnya dan melibatkan lebih dari satu mekanisme di dalamnya. Pertumbuhan dan serapan hara oleh bibit kelapa sawit pada penelitian ini menurun dengan adanya cekaman biotik patogen G. boninense. Akan tetapi bibit kelapa sawit yang di dual inokulasi dengan FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza B. subtilis B10 (M1B1) mampu mengatasi cekaman biotik patogen G. boninense tersebut. Hal ini terlihat dari persentase indeks keparahan penyakit (KP) tajuk dari bibit kelapa sawit pada perlakuan M1B1 hanya 5% dan persentase luas nekrotik akar paling kecil yaitu 10% dibandingkan dengan kontrol (M0B0) yang mencapai 42,5% dan 57,50% masing-masing untuk KP tajuk dan luas nekrotik akar. Mekanisme bibit kelapa sawit yang diinokulasi FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza dalam mengatasi cekaman biotik patogen dimungkinkan dengan meningkatnya lignifikasi dinding sel akar sehingga menyulitkan patogen untuk menginfeksi akar bibit kelapa sawit (Sapak et al. 2008), diduga inokulasi FMA bakteri endosimbiotik mikoriza menghasilkan senyawa yang menginduksi bibit kelapa sawit untuk menghasilkan kumpulan senyawa yang dapat meningkatkan pertahanan bibit kelapa sawit terhadap cekaman biotik patogen G. boninense, seperti fitoaleksin dan lain sebagainya. Hal yang menarik dari hasil penelitian ini, inokulasi bakteri B. subtilis B10 secara tunggal tidak mampu meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman biotik patogen G. boninense, dimana persentase KP tajuk mencapai 37,5% dengan persentase akar yang mengalami nekrotik 42,5%, walaupun uji bakteri tersebut secara in vitro diketahui mampu menghambat pertumbuhan G. boninense. Akan tetapi ketika bakteri B. subtilis B10 di dual inokulasi dengan FMA, daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman biotik patogen G. boninense meningkat tajam dengan 167 persentase KP dan luas nekrotik akar hanya 5% dan 10%. Dari fenomena tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan penghambatan oleh bakteri Bacillus subtilis B10 tersebut secara in vitro ternyata tidak memberikan hasil yang sama pada saat dilakukan uji in vivo pada bibit kelapa sawit. Beberapa faktor akan mempengaruhi kemampuan bakteri di dalam tanaman. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Saharan & Nehra (2011), dimana banyak faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan efek yang diberikan oleh mikroba PGPR pada tanaman. Faktor lingkungan (abiotik dan biotik) yang dapat mempengaruhi hasil di lapangan di antaranya iklim, kondisi cuaca, sifat dan karakter tanah, komposisi dari mikroba indigenous dalam tanah dan persaingan dengan mikroba yang ada di alam tanah. Untuk mendapatkan hasil yang maksimum dari mikroba PGPR baik in vitro maupun in vivo, selain uji aktivitasnya juga perlu dilakukan uji kemampuan mikroba tersebut untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan. Dual inokulasi FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza B. subtilis B10 menunjukkan potensi yang besar dalam menekan kejadian busuk pangkal batang pada bibit kelapa sawit. Penurunan persentase indeks keparahan penyakit (KP) tajuk dan luas nekrotik akar pada bibit kelapa sawit yang diberi perlakuan inokulasi FMA dengan B. subtilis B10 dan mendapat cekaman biotik patogen G. boninense membuktikan bahwa bakteri B. subtilis B10 bekerja sinergis dengan FMA dan memainkan peran penting dalam menghambat penetrasi G. boninense ke dalam sistem vaskular. Interaksi antara tanaman, FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza dapat memberikan efek yang besar terhadap kesehatan dan produktivitas tanaman (Sturz et al. 2000). Dugaan mekanisme yang terlibat di dalam peningkatan pertumbuhan dan kesehatan tanaman termasuk diantaranya meningkatkan ketersediaan hara tanah, memperbaiki struktur tanah, menginduksi tanaman inang untuk menghasilkan senyawa yang menghambat pertumbuhan patogen, memproduksi senyawa antibiotik dan menyediakan senyawa atau enzim yang menstimulasi pertumbuhan tanaman (Van Loon & Bakker 2004). Peningkatan pertumbuhan bibit kelapa sawit, serapan hara daun, penurunan indeks keparahan penyakit (KP) dan penurunan persentase luas nekrotik akar oleh simbiosis bibit kelapa sawit dengan FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza B. 168 subtilis B10 merupakan bentuk daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman biotik G. boninense. Daya adaptasi tersebut diekspresikan dalam bentuk profil senyawa aktif yang diperoleh dari ekstraksi akar bibit kelapa sawit dan dianalisis dengan HPLC. Profil kromatogram hasil analisis HPLC menunjukkan dual inokulasi FMA dan bakteri B. subtilis B10 berdampak pada berkurangnya konsentrasi kumpulan senyawa yang berfungsi sebagai elisitor bagi daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman biotik patogen G. boninense, walaupun jenis senyawanya belum dapat diketahui. Dugaan ini terlihat dari turunnya puncak kumpulan senyawa aktif ketika bibit kelapa sawit diinokulasi oleh FMA (M1B0G1) dan bakteri endosimbiotik mikoriza (M0B1G1), baik secara tunggal maupun kombinasi keduanya (M1B1G1). Jika dikaitkan dengan pengamatan penyakit secara visual pada penelitian dalam disertasi ini, perlakuan M1B1G1 memiliki nilai indeks keparahan penyakit (KP) tajuk dan luas nekrotik akar paling rendah, pertumbuhan bibit paling tinggi dan serapan hara daun paling besar. Diduga inokulasi FMA dengan bakteri B. subtilis B10 menghasilkan elisitor yang berfungsi menginduksi bibit kelapa sawit untuk meningkatkan produksi senyawa aktif yang dapat menghambat pertumbuhan patogen G. boninense, sehingga bibit kelapa sawit tumbuh lebih sehat dengan keragaan yang lebih baik walaupun tercekam oleh patogen G. boninense. Pengeluaran elisitor sebagai bentuk adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman biotik patogen G. boninense diekspresikan dalam bentuk profil kromatogram HPLC (Gambar 35, 36, 37, 38 dan 39). Dari profil kromatogram tersebut terlihat bahwa pada kondisi bibit kelapa sawit mendapat cekaman biotik patogen G. boninense, tanpa perlakuan inokulasi FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza B. subtilis B10 muncul puncak kumpulan senyawa aktif yang sangat tinggi. Diduga perlakuan inokulasi FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza B. subtilis B10 (M1B1G1), menurunkan pengeluaran senyawa elisitor oleh FMA dan bakteri yang akan menginduksi bibit kelapa sawit untuk memproduksi senyawa yang dapat menghambat aktivitas patogen G. boninense (Gambar 39), sebagai ekspresi dari bibit kelapa sawit untuk melawan patogen G. boninese. Senyawa-senyawa yang dihasilkan untuk melawan patogen tersebut belum dapat diketahui jenisnya, termasuk 169 juga apakah senyawa yang dihasilkan oleh bakteri endosimbiotik mikoriza secara in vitro yang memiliki daya hambat yang tinggi terhadap G. boninense pada uji in vitro, juga dihasilkan oleh bibit kelapa sawit secara in vivo yang terinduksi oleh inokulasi FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza. Perlu penelitian lebih lanjut untuk menentukan jenis-jenis senyawa yang dihasilkan oleh dual inokulasi tersebut yang berperan dalam meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman biotik patogen G. boninense. Biokontrol patogen tanaman yang melibatkan mikroba antagonis dapat terjadi melalui mekanisme antibiosis, menekan kompetisi, parasitisme secara langsung, induksi ketahanan, hipovirulensi ataupun predasi (Haggag & Mohamed 2007). Aktivitas antagonis terhadap patogen tanaman sering dikaitkan dengan produksi metabolit sekunder (Park et al. 2005; Kishore et al. 2007). Garcia-Garrido & Ocampo (2002) menyatakan bahwa pengenalan penyusup oleh tanaman sebagai syarat untuk respon yang efektif dapat dicapai melalui pengenalan molekul sinyal spesifik yang disebut dengan elisitor. Salzer & Boller (2000) menyatakan bahwa FMA dan bentuk fungi mikoriza lainnya mensekresi elisitor yang menyerupai kitin dari fitopatogen, yang menginduksi aktifnya gen yang berkaitan dengan ketahanan tanaman terhadap patogen. Sebagai contoh, G. intraradices menginduksi ekspresi sintesis chalcone yang merupakan senyawa antimikroba dan mentriger keluarnya enzim pertama dalam senyawa flavonoid seperti fitoaleksin pada tanaman Medicago truncatula (Bonanomi et al. 2001). FMA juga diketahui menginduksi beberapa senyawa fitoaleksin seperti phenylalanine ammonia lyase (PAL), rishitin and solavetivone (Engström et al. 1999), hydroxyproline-rich glycoproteins (Lambais 2000; Garcia-Garrído & Ocampo 2002), isoflavonoid (-)-medicarpin, medicarpin-30-glycoside and formononetin pada tanaman Alfalfa (Volpin et al. 1995; Harrison & Dixon 1993), glyceollin dan coumestrol (Morandi & Le Querre 1991). Senyawasenyawa tersebut memiliki bobot molekul rendah dan merupakan senyawa antimikroba yang disintesis dan diakumulasi di dalam tanaman setelah menghadapi patogen (Paxton 1981). Kolonisasi FMA pada akar tanaman juga menstimulasi jalur phenylpropanoid (Morandi 1996), yang dipicu oleh induksi dari aktivitas PAL 170 (Kapoor 2008). Sementara Cordier et al. (1998) melaporkan bahwa penurunan kolonisasi patogen Phytophthora parasitica pada tanaman tomat bermikoriza berkaitan dengan meningkatnya akumulasi senyawa fenolik dan fenol odihidrik. Peningkatan konsentrasi senyawa fenol dan fenol odihidrik tersebut pada tanaman tomat diinduksi oleh aktivitas enzim PAL (Kapoor 2008). Secara umum, mekanisme adaptasi bibit kelapa sawit yang bersimbiosis dengan FMA dan bakteri B. subtilis B10 terhadap cekaman biotik patogen G. boninense dimungkinkan dengan perbaikan pertumbuhan bibit sehingga mampu bertahan terhadap cekaman abiotik lingkungan, perubahan morfologi akar tanaman inang, dimana akar tanaman yang diinokulasi FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza memiliki pertumbuhan akar yang intensif dan akar lateral yang sangat banyak dengan lignifikasi yang tinggi (Berta et al. 1993) serta memiliki sistem vaskular yang lebih kuat yang akan meningkatkan aliran hara (Hussey & Roncadori 1982) sehingga bibit kelapa sawit lebih mampu beradaptasi dengan cekaman biotik patogen G. boninense; (2) Perubahan fisiologi akar tanaman inang, di mana bibit yang diinokulasi FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza memiliki respirasi yang lebih tinggi, yang menunjukkan tingginya aktivitas metabolik sehingga bibit kelapa sawit lebih mampu beradaptasi terhadap cekaman biotik G. boninense; (3) Peningkatan status hara tanaman inang. Peningkatan pertumbuhan baik tinggi tanaman, diameter batang, bobot kering akar bibit kelapa sawit yang diinokulasi FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza merupakan hasil dari meningkatnya status hara tanaman. Meningkatnya serapan hara fosfor, nitrogen, kalium dan magnesium membuat bibit kelapa sawit lebih sehat dan kuat sehingga mampu beradaptasi dengan cekaman biotik patogen G. boninense. Beberapa studi melaporkan hara fosfor menginduksi perubahan eksudat akar yang akan mengurangi perkecambahan spora fungi patogen sehingga patogen tidak dapat berkembang baik (Graham 1982; Sharma et al. 2007); (4) Perubahan eksudat akar. Eksudat akar berperan penting di dalam pembentukan simbiosis FMA dan menekan pertumbuhan patogen. Keberadaan senyawa fitoaleksin, adanya aktivitas enzim peroksidase pada dinding sel dan munculnya senyawa fenolik yang terikat pada dinding sel bertanggung jawab di 171 dalam meningkatkan ketahanan tanaman bermikoriza terhadap cekaman biotik patogen karena dapat menghalangi degradasi dinding sel tanaman oleh patogen (Morandi 1996; Azcon-Aguillar et al. 2002; Grandmaison et al. 1993). Produksi senyawa metabolit sekunder oleh bakteri endosimbiotik mikoriza yang memiliki fungsi sebagai antifungi merupakan bagian dalam mekanisme peningkatan daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman biotik patogen. Secara umum dapat dikatakan bahwa meningkatnya daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman biotik patogen G. boninense lebih dikarenakan oleh kemampuan bibit kelapa sawit sendiri untuk melakukan perlawanan terhadap patogen G. boninense. Adanya bakteri endosimbiotik mikoriza dan FMA merupakan pemicu atau trigger bagi bibit kelapa sawit untuk menyebabkan perubahan fisiologi akar dan produksi elisitor yang menginduksi bibit kelapa sawit untuk lebih aktif menghasilkan senyawa-senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan patogen G. boninense. FMA dan bakteri endosimbotik mikoriza memiliki efek menguntungkan pada pertumbuhan dan kesehatan tanaman yang berfungsi sebagai biofertilizer dan bioprotector, sehingga pengelolaan yang tepat dari simbiosis ini akan mengurangi penggunaan pupuk anorganik dan pestisida kimia sintetik sebagaimana aspek kunci dalam budidaya tanaman kelapa sawit yang berkelanjutan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa manfaat maksimum simbiosis FMA dan bakteri endosimbiotik mikoriza hanya dapat diperoleh jika FMA diinokulasi bersamaan dengan bakteri endosimbiotik mikoriza, sehingga memberikan manfaat yang optimum dalam meningkatkan daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman biotik patogen G. boninense. Akan tetapi, efek sinergis dari inokulasi ganda FMA dengan bakteri endosimbiotik mikoriza dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dan daya adaptasi bibit kelapa sawit terhadap cekaman biotik patogen G. boninense tergantung pada kombinasi antara fungi dan bakteri yang digunakan, status hara tanah dan kondisi lingkungan lainnya. Di dalam sistem pertanian rendah input (low-input), aktivitas mikroba memiliki kontribusi dalam adaptasi tanaman terhadap cekaman abiotik dan biotik dengan meningkatkan ketersediaan hara, air, penghambatan patogen sehingga dapat menjaga kesehatan dan produksi tanaman.