BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jelutung (Dyera polyphylla Miq. Steenis) Jelutung rawa (Dyera polyphylla Miq. Steenis = Dyera lowii Hook.f.) termasuk keluarga Apocynaceae, genus Dyera. Tumbuhan ini dikenal pula menghasilkan getah dan kayu yang bernilai ekonomi tinggi (Withmore 1972; Heyne 1987). Perhatian terhadap jelutung meningkat setelah sumber bahan baku permen karet yaitu pohon Achras zapota, salah satu jenis pohon tropis dari Amerika Tengah populasinya menipis karena penyadapan getahnya yang serampangan, sehingga menjadi semakin langka. Pada tahun 1940 jelutung dapat menggantikan lateks pohon Achras zapota seluruhnya. Mulai tahun 1970 dengan berkembangnya eksploitasi hutan di luar jawa, pohon jelutung juga ditebang untuk dimanfaatkan kayunya. Walaupun keawetannya termasuk rendah, lunak dan tidak tahan lama, kayu jelutung sangat disukai konsumen karena mudah dikerjakan, permukaannya halus dan warnanya putih menarik (Puslitbang 1994). 2.1.1 Budidaya Menurut Puslitbang (1994) di Indonesia belum pernah dilakukan pembudidayaan tanaman jelutung, kecuali yang ditemukan Van Wijk pada tahun 1950 di Kalimantan Tengah, yaitu di sekitar Kampung Kanamit dan Buntui di daerah hilir sungai Kahayan dengan luas tanaman yang relative kecil. Di hutan alam jelutung menyebarkan bijinya dengan bantuan angin. Jatuhnya bijibiji yang bersayap dan sangat ringan ini berlangsung secara berangsur-angsur, terpencar-pencar pada areal yang sangat luas dan hanya sedikit yang berhasil tumbuh dan mencapai tahap anakan. 2.1.2 Sifat Botanis Menurut Whitmore (1989) bunga jelutung berukuran kecil, berwarna putih dan wangi, bertangkai panjang 10-14 cm. Buah berupa polong kayu yang berpasangan menyerupai tanduk, berbentuk bulat memanjang yang berangsur- angsur memipih apabila buah menjadi tua. Biji berbentuk oval dan pipih, kulit biji berupa selaput tipis yang melebar dan memanjang membentuk sayap. Biji sebanyak 12-36 tersusun dalam dua baris yang berhimpitan di dalam polong kayu. Daun tunggal tersusun melingkar pada ranting sebanyak 4-8, berbentuk lonjong atau bulat telur, ujung daun membulat, panjang 15-20 cm lebar 6-8 cm. Batang memiliki kulit luar rata tetapi kasar, tebal kulit batang 1-2 cm, tidak berbulu, bergetah putih, kayu berwarna putih sampai kuning, halus dan tidak berteras. Pohon berpenampilan besar dan tinggi, dengan tinggi pohon dapat mencapai 60 meter, diameter 260 cm, bentuk batang silindris, tidak berbanir, kulit batang abu-abu atau kehitam-hitaman, tajuk tipis atau jarang. Berdasarkan kebutuhannya terhadap naungan jelutung termasuk pohon yang membutuhkan naungan pada waktu muda, tetapi kemudian memerlukan cukup cahaya untuk pertumbuhan selanjutnya. 2.1.3 Penyebaran dan Tempat Tumbuh Di Indonesia pohon jelutung terdapat di Sumatra, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan dan Sulawesi. Menurut Foxworthy (1927) dalam Puslitbang (1994) jelutung tumbuh di tanah organosol, khususnya di hutan rawa gambut. 2.2 Mikoriza Mikoriza adalah asosiasi simbiotik yang esensial untuk satu atau kedua mitra, antara fungi (khususnya yang hidup dalam tanah dan tanaman) dan akar (atau organ lain yang bersentuhan dengan substrat) dari tanaman hidup, terutama bertugas untuk memindahkan hara. Mikoriza terdapat dalam organ tanaman spesifik dimana hubungan intimnya tercipta sebagai akibat perkembangan serempak tanaman-fungi (Brundrett 2004). Dalam fenomena ini fungi menginfeksi dan mengkoloni akar tanpa menimbulkan nekrosis sebagaimana biasa terjadi pada infeksi fungi patogen, dan mendapat pasokan nutrisi secara teratur dari tanaman (Rao 1994). 2.2.1 Tipe-tipe mikoriza Menurut Fakuara (1990) berdasarkan infeksinya serta bentuk dan tidak terbentuknya selubung hifa dapat dibedakan tiga bentuk mikoriza yaitu : Ektomikoriza yaitu mikoriza yang pada permukaan luar akar terbentuk selubung jalinan hifa fungi. Endomikoriza yaitu fungi pembentuk mikoriza berkembang hanya dalam sel-sel korteks akar dan tidak terbentuk selubung hifa pada akar. Ektendomikoriza yaitu struktur yang memiliki kedua ciri-ciri tersebut. Adanya fungi di sel-sel korteks dan juga terbentuknya hifa pada permukaan akar. Marx dalam Fakuara et al. (1993) menyatakan bahwa semai yang akarnya bermikoriza lebih tahan terhadap patogen akar dibandingkan dengan semai yang tidak bermikoriza. Mekanisme yang memungkinkan dapat meningkatkan ketahanan terhadap patogen akar adalah sebagai berikut : 1. Pemanfaatan surplus karbohidrat di dalam akar sehingga stimulan untuk patogen akar berkurang. 2. Hifa mantel jadi penghambat bagi penetrasi patogen akar. 3. Mengeluarkan sekresi antibiotik yag mengahambat patogen akar. 4. Sepanjang rizosfir terdapat perlindungan oleh populasi mikroorganisme. 2.2.2 Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Istilah endomikoriza adalah digunakan untuk membedakan tipe mikoriza ini dari ektomikoriza, karena pada endomikoriza biasanya tidak ada sarung miselium fungi di sekitar akar yang terinfeksi mikoriza seperti halnya pada akar yang terinfeksi ektomikoriza (Fakuara 1988) Karakteristik utama dari FMA ialah biotrof obligat yang berarti bahwa setiap tahap daur hidupnya harus berasosiasi dengan tanaman hidup. Sebagaimana halnya fungi berfilamen pada umumnya, perbanyakan FMA berlangsung melalui diferensiasi dan perkecambahan spora atau dengan perpanjangan miselium yang menembus tanah dan akar. Diferensiasi spora terjadi melalui penggelembungan interkalar atau apical pada hifa (Nusantara et al. 2008). FMA dapat dibedakan dari ektomikoriza, karena beberapa karakteristik (Setiadi 1989) yakni : 1. Perakaran yang terinfeksi tidak membesar. 2. Fungi membentuk struktur lapisan hifa tipis pada permukaan akar, tetapi tidak setebal mantel pada ektomikoriza. 3. Hifa yang menyerang masuk ke dalam individu sel jaringan korteks dan endodermis. 4. Adanya struktur khusus berbentuk oval yang disebut vesikula dan sistem percabangan hifa yang disebut arbuskula. 2.2.3. Peranan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Peranan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) sebagai agen pengendali hayati sudah banyak dibuktikan, namun bagaimana mekanismenya belum diketahui dengan baik. Dalam upaya memahami mekanisme pengendalian hayati patogen tular tanah oleh FMA, pengetahuan tentang keragaman genetik FMA dari sisi agen pengendali hayati sangat penting (Sukarno dan Setiadi 2001). 2.3 Bakteri Dalam tanah, bakteri akan dijumpai dalam bentuk koloni di sekitar atau sekeliling butir tanah yang mengandung bahan makanan. Selama bahan makanan masih tersedia, koloni bakteri akan terus dijumpai di tempat itu. Dengan demikian akan selalu terjadi fluktuasi yang hebat disebabkan oleh perkembangan yang pesat dan kematian karena kekurangan atau kelebihan bahan makanan (Setiadi 1989). Menurut Agrios (1996) bakteri adalah mikroorganisme sederhana, yang mana biasanya terdiri atas sel prokariot tunggal. Meskipun bakteri berukuran kecil dimana panjangnya kurang lebih beberapa mikrometer, tetapi mereka menonjol di dalam tanah karena jumlahnya besar. Dalam tanah bakteri merupakan kelompok mikroflora dominan dengan massa sel melebihi setengah dari biomassa mikroba tanah. Umumnya jumlah bakteri melimpah pada permukaan tanah dan semakin berkurang kearah semakin dalam dari permukaan tanah sejalan dengan semakin berkurangnya bahan organik yang terkandung dalam tanah (Ma’sum et al. 2003). 2.3.1 Bakteri Penambat N Persediaan atau kandungan nitrogen di udara yaitu sekitar 76,5%, sementara supplai nitrogen di dalam tanah terbatas yang umumnya bertingkatan dari sekitar 0,1% ke 0,2% dan lebih tinggi pada keadaan-keadaan yang eksepsional. Batasan penambat nitrogen dalam tanah yaitu bahwa penambat nitrogen ialah proses pertukaran nitrogen udara menjadi nitrogen dalam tanah oleh jasad renik tanah yang simbiotik dan non simbiotik. Kapasitas bakteria non simbiotik mengikat nitrogen atmosferik dan sejumlah nitrogen tertentu sebagaian besar adalah tergantung pada tanah dan konsentrasi tersedianya energi ( Sutedjo et al. 1991). 2.4 Rizosfir (Rhizophere) Rizosfir merupakan zona tanah yang dipengaruhi akar dan dapat mempunyai populasi organisme berlipat ganda lebih banyak dibandingkan dengan tanah yang tidak terpengaruh akar (Vancura et al. 2000). Menurut Rao (1994) istilah rizosfir diperkenalkan pada tahun 1904 oleh Hiltner, seorang ilmuan Jerman untuk menunjukkan bagian tanah yang lebih dipengaruhi oleh perakaran tanaman. Rizosfir dicirikan oleh lebih banyaknya kegiatan mikrobiologis dibandingkan kegiatan di dalam tanah yang jauh dari perakaran tanaman. Kehidupan bersama antara mikrobia dan tanaman berlangsung di rizosfir tanaman, karena di daerah inilah tersedia sejumlah senyawa yang diperlukan oleh mikrobia untuk kehidupan dan aktivitasnya. Eksudat akar mengandung variasi asam amino dan vitamin sebagai nutrisi bagi mikroba dan faktor tumbuh (Tate 2000). 2.5 Rhizoplane Rhizoplane merupakan permukaan akar dalam tanah. Rhizoplane adalah tempat dimana air dan nutrisi diserap dan tempat dilepaskannya bahan-bahan eksudat. Seperti halnya rizosfir, rhizoplane dapat pula mempengaruhi lingkungan dalam tanah (Anonim 2004). 2.6 PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) PGPR dapat diartikan sebagai keanekaragaman bakteri yang sangat besar pada tanah dimana keberadaan bakteri-bakteri ini dapat menstimulasi pertumbuhan tanaman yang tumbuh pada tanah tersebut (Werner 2003). PGPR merupakan bakteri non simbiotik tanah yang secara alami terdapat di dalam tanah yang memiliki kemampuan untuk mengkolonisasi akar dan meningkatkan pertumbuhan tanaman ketika diberikan pada benih atau akar (Kloepper dan Schroth 1978). Mekanisme langsung dari PGPR memberikan fungsi meliputi penyediaan P dan Fe tersedia untuk tanaman, terjadinya penambat nitrogen yang digunakan oleh tanaman, produksi hormon tanaman seperti auksin, sitokinin, dan geberelin dan menurunkan tingkat etilen pada tanaman (Glick 1995; Lucy et al. 2004). Fungsi PGPR secara tidak langsung terhadap pertubuhan tanaman meliputi pertahanan tanaman terhadap satu atau lebih organisme phytopathogenik, memproduksi antibiotik, siderophores dan berbagai enzim. PGPR juga diketahui dapat mengurangi keracunan terhadap logam berat pada tanaman (Burd et al. 2000). 2.7 Interaksi Dalam Rizosfir Di dalam rizosfir terjadi berbagai interaksi sinergisme maupun antagonisme. Salah satu interaksi di dalam rizosfir yang mendapat perhatian adalah interaksi antara FMA (simbiosis obligat) dengan bakteri yang hidup bebas di rizosfir (Rizobakteri). Dalam rangka pemanfaatan mikroorganisme untuk membentuk peningkatan pertumbuhan tanaman, banyak dilakukan inokulasi ganda antara dua kelompok organisme, seperti mikoriza dan bakteri penambat N, bakteri pelarut P dan bakteri penghasil faktor tumbuh (Pujiyanto 2001). Salah satu rizobakteri yang berperan dalam menciptakan kesuburan tanah adalah prokaryot penambat nitrogen yang hidup bebas (diazotrophs) tersebar dimana-mana di dalam tanah dan mempunyai keanekaragaman filogenetik dan fisiologi yang tinggi. Dalam ekosistem alami, penambat nitrogen secara biologi merupakan sumber N yang paling penting. Sumbangan bakteri penambat N yang hidup bebas di daerah perakaran tanaman terhadap input N berkisar 0-60 kg per ha tiap tahun. Kemampuan diazotrophs yang hidup bebas untuk menambat N tergantung pada sejumlah kondisi yang sangat bervariasi untuk setiap organism seperti suplai energi, kadang oksigen, kadar NH4+ (Burgman et al. 2004)