Oseana, Volume XII, Nomor 1 : 13 - 23, 1987

advertisement
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XII, Nomor 1 : 13 - 23, 1987
ISSN 0216 - 1877
PERANAN LAMUN DI LINGKUNGAN LAUT DANGKAL
oleh
M. Hutomo l) dan M.H. Azkab 2)
ABSTRACT
THE ROLE SEAGRASS IN THE SHALLOW WATER ENVIRONMENT. The
seagrass bed is one of the most productive marine ecosystem. It fixes carbon organic
then entering food chain either through direct consumption or through decomposition
process. The seagrass bed is the habitat of various biota, those which live in waters
below leaves canopy as well as in sediment The seagrass also function as sediment
trapper in order to enhance the stability of water below the surface and at the same
time make the water cleaner and be able to avoid erosion. The seagrass can absorb
phosphate in the sediment and be applicable to epiphytic algae, where the epiphytes,
inturn, can fix nitrogen so that the dissolved nitrogen in the water get the way to
its host. Rhtophere bacteria of several species of seagrass can fix nitrogen. The
nitrogen in the plant system can be used by epiphytic algae, either through its host or
through the enrichment of the seawater.
The seagrass can be directly consumed by people and used as raw-material for
paper, animal food-stuff and fertilizer. The relationship between seagrass and fish was
discussed in the detailed including the role of the seagrass bed as nursery ground, shelter
and grazing area as well as direct food for herbivorous fish.
PENDAHULUAN
Sebagian besar (70%) wilayah dunia
merupakan lautan. Meskipun demikian hanya sebagian kecil merupakan wilayah yang
produktif yaitu wilayah laut dangkal. Di
wilayah laut dangkal ini terdapat beberapa
ekosistem bahari yang produktif seperti
mangrove, estuaria, terumbu karang dan
padang lamun. Ketiga ekosistem pertama
(mangrove, estuaria dan terumbu karang)
telah banyak diketahui dan dipelajari, tetapi tidak demikian dengan padang lamun.
Padang lamun di Indonesia tidak banyak
diketahui dan bahkan hampir tidak diperhatikan, padahal ekosistem ini mempunyai
berbagai fungsi penting di lingkungan laut
dangkal.
Ekosistem lamun (seagrass) merupakan
salah satu ekosistem di laut dangkal yang
mempunyai peranan penting dalam kehidupan jasad hidup di laut serta merupakan
salah satu ekosistem bahari yang paling
produktif. Peranan lamun telah dikemukakan oleh PETERSON pada tahun 1918 (dalam THAYER et al 1975a) dengan membuat suatu model tentang hubungan trofik
dari perairan Kattegat, Denmark. Model
tersebut memperlihatkan bahwa populasi
dari ikan "cod" dan ikan sebelah (flat fish)
di perairan tersebut tergantung pada komunitas Zostera di pantai timur Amerika Utara
dan pantai barat Eropa Utara. Pada tahun
1930 terjadi wabah penyakit pada komunitas lamun sehingga terjadi kematian masal.
1). Bidang Jasa Ilmiah dan Informasi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI,
Jakarta.
2). Balai Penelitian Biologi Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta.
13
Oseana, Volume XII No. 1, 1987
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Kematian masal ini tidak mengakibatkan
produksi ikan menurun secara drastis. Hal
tersebut memperlihatkan bahwa model Peterson tidak benar, dan ternyata yang memegang peranan penting dan merupakan
dasar dari jaringan makanan di perairan
tersebut dan perairan bahari pada umumnya
adalah fitoplankton. Meskipun demikian penelitian yang dilakukan oleh para pakar
seperti THAYER et al. (1975a, 1975b),
HUMM (1964), RANDALL (1965) dan
McROY & GOERING (1974) telah menunjukkan bagaimana pentingnya peranan lamun ini bagi lingkungan bahari. Tulisan ini
akan mencoba menguraikan peranan lamun
di lingkungan laut dangkal dengan harapan
dapat merangsang para peneliti untuk mulai
memperhatikannya dan memulai upaya untuk mengelolanya.
LAMUN SEBAGAI PRODUSEN PRIMER
Lamun memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian besar memasuki rantai
makanan di laut, baik melalui pemangsaan
langsung oleh herbivora maupun melalui
proses dekomposisi sebagai serasah. THAYER et al. (1975a) memperkirakan laju
produksi Zostera berkisar antara 300 g 600 g berat kering/m2/tahun. Untuk Thalassia menurut THORHAUG dan ROESLER
14
Oseana, Volume XII No. 1, 1987
(dalam THORHAUG & AUSTIN 1976), produksi berkisar antara 15 g - 1500 g berat
kering/m2/tahun. Penelitian AZKAB (data
tidak dipublikasikan) di rataan terumbu
Pulau Pari menunjukkan bahwa produksi
daun jenis-jenis Thalassaia hemprichii dan
Enhalus acoroides masing-masing adalah
620 g dan 1158 g berat kering/m2/tahun.
Produksi dari beberapa jenis lamun dapat
dilihat pada Tabel 1.
RANDALL (1967) di West Indies mendapatkan 30 jenis ikan pemakan lamun dari
59 jenis herbivora yang diamati isi lambungnya. Selain ikan, beberapa jenis hewan lain
mengkonsumsi langsung lamun seperti, berbagai jenis cacing, krustasea, reptil dan mamalia (Tabel 2).
Meskipun beberapa hewan dapat mengkonsumsi langsung lamun, tetapi proses
dekomposisi juga merupakan hal yang penting. Proses dekomposisi menghasilkan materi yang langsung dapat dikonsumsi oleh
hewan pemakan serasah. Serasah yang mengendap akan dikonsumsi oleh fauna bentik,
sedangkan partikel-partikel serasah di dalam
air merupakan makanan invertebrata pemakan penyaring. Pada gilirannya nanti hewanhewan tersebut akan menjadi mangsa dari
karnivora yang terdiri dari berbagai jenis
ikan dan invertebrata.
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 2. Beberapa jenis hewan yang mengkonsumsi langsung lamun (McROY & HELFFERICH 1977).
Jenis hewan pemangsa
Jenis lamun yang
dimakan
Bagian lamun yang
dimakan
Lokasi
Zostera marina
daun (10%)
Alaska
Zostera marina
Thalassia sp.
daun (100%)
daun
Alaska
West Indies
Zostera sp.
Zostera marina
daun (43%)
rhizome (12%)
Black Sea
Alaska
Syringodium
Thalassia sp.
daun (8,9%)
daun (100%)
Alaska
Jamaica
Thalassia sp.
Syringodium
daun (49%)
daun (95%)
Florida
West Indies
Zostera marina
akar, rhizome
U.S. Atlantic
Thalassia
daun
Bahamas
Holodule sp.
Cymodocea sp.
Thalassia sp.
daun
Red Sea,
Queensland
ANNELIDA
Hespronoe adventor
MOLUSKA
Lacuna vincta
Strombus gigas
KRUSTASEA
Gammarus locusta
Telmessus chieragonus
EKHINODERMATA
Echinometra lucunter
Lytechinus variegatus
IKAN
Hyporhampus unifasciatus
Scarus guacamaia
BURUNG
Anas acuta
REPTIL
Chelonia mydas
MAMALIA
Dugong dugon
Selain itu, mated lamun seperti daun
yang putus dan tanaman yang tumbang akan
dihanyutkan arus ke lingkungan sekelilingnya (Den HARTOG 1976). THAYER et al.
(1976b) memperkirakan bahwa 50% dari
produksi lamun di Carolina Utara mungkin
dibawa ke sistem sekitarnya. Beberapa peneliti memperkirakan bahwa padang lamun
ini juga memberikan sumbangan terhadap
produktivitas terumbu karang. Den HAR-
TOG (1976) memperkirakan bahwa serasah
yang diproduksi oleh lamun mungkin membantu meningkatkan kelimpahan fito dan
zooplankton di perairan terumbu karang.
Sementara itu karang dan segenap biota
pemakan penyaring yang hidup di situ makan fito dan zoopiankton tersebut. Dengan
cara ini, enerji yang disadap oleh lamun dialihkan ke ekosistem terumbu karang.
Interaksi antara ketiga ekosistem laut dang15
Oseana, Volume XII No. 1, 1987
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
kal yaitu terumbu karang, lamun dan mangrove telah diteliti oleh OGDEN & ZIEMAN
(1977). Walaupun penelitian dalam bidang
tersebut sangat kurang, tetapi pada masa
akhir-akhir ini telah menjadi perhatian para
ahli di wilayah Karibia. Mereka telah berhasil mengklasifikasikan lima tipe interaksi
utama yaitu: Interaksi-interaksi fisik, nutrien dan organik terlarut (dissolved organic
matter), materi organik melayang (particulate organic matter), ruaya hewan dan dampak manusia (Gambar 1). Pada lingkungan
yang tidak terganggu, aliran nutrien terlarut
dari mangrove telah meningkatkan produktivitas primer padang lamun. Padang lamun
dan mangrove meningkatkan produktivitas
sekunder terumbu karang dengan menyediakan tempat mencari makan. Fungsi
pengendali sedimen kurang terlihat, tetapi
peranannya menjadi sangat menonjol apabila lingkungan tersebut terganggu. Dalam
keadaan ini aliran dari darat ke laut menjadi
faktor yang kritis. Seringkali terlihat terumbu karang menjadi rusak karena sistemsistem lain dan sebaliknya. Hal tersebut
merupakan gambaran secara umum, tetapi
mekanisme yang lebih mendalam masih
terbuka untuk penelitian lebih lanjut.
LAMUN SEBAGAI HABITAT BIOTA
Lamun memberikan perlindungan dan
tempat menempel berbagai hewan dan
tum-buh-tumbuhan. Menurut THAYER et
al. (1975a) komunitas flora dan fauna di
daerah lamun mempunyai komposisi
yang khas. Daunnya mendukung sejumlah
besar organisme epifitik dengan suatu
substrat yang cocok untuk penempelan
(HUMM 1964). MOORE dan WORK
(dalam REYES - VASQUES 1970) telah
memperkirakan permukaan yang disediakan
oleh daun Thakssia di Bear Cut (Biscayne
Bay) rata-rata seluas 7,42 m2 luas daun per
m2 luas dasar perairan. KITA & HARADA
(1962) mendapatkan 19 mikroalgae pada
daun Zostera. Sedangkan HUMM (1964)
mendapatkan 113 jenis mikroflora dan
mikrofauna dari daun Thakssia di Bis-
16
Oseana, Volume XII No. 1, 1987
cayne Bay. NAGLE (1968) mendapatkan
kelimpahan hewan epifitik pada individu
tanaman beragam, tergantung pada jarak
dari dasar dan kepadatan epifitiknya.
ORTH (1973) mendapatkan 117 taksa
mikroinvertebrata dan mikrofauna pada
padang Zostera di Chesapeake Bay. Dari
seluruh taksa tersebut 46% adalah
Poliketa, 10% Amphipoda, 11% Gastropoda, 17% Bivalvia dan sisanya terdiri
dari beberapa taksa hewan lain. VOSS &
VOSS (1955) membuat daftar hewanhewan yang berasosiasi dengan Thalassia
di Soldier Key, Biscayne Bay, Florida
sebagai berikut: Porifera diwakili 6 jenis,
Hidrozoa 1 jenis, Actinia 2 jenis, Madreporaria 5 jenis, Poliketa 10 jenis, Ekhinodermata 14 jenis, Gastropoda 11 jenis,
Sefalopoda 1 jenis, Dekapoda 4 jenis,
Stomatopoda 1 jenis dan Tunikata 1 jenis.
KIKUCHI & PERES (1977) membagi
komunitas hewan padang lamun berdasarkan struktur mikrohabitatnya serta pola
kehidupan hewannya sendiri dalam empat
kategori:
Kategori pertama, ialah biota yang hidup di daun. Kelompok ini terdiri dari:
(a) flora epifitik dan mikro serta meifauna
yang hidup di dalamnya (Protozoa, Foraminifera, Nematoda, Poliketa, Rotifera,
Tardigrada, Kopepoda dan Arthropoda);
(b) fauna sesil (Hidrozoa, Actinia, Bryozoa, Poliketa dan Ascidia); (c) epifauna
bergerak, merayap dan berjalan di daun
(Gastropoda, Poliketa, Turbellaria, Nemertinia, Krustasea dan beberapa Ekhinodermata); (d) hewan-hewan yang bergerak
tetapi dapat beristirahat di daun seperti
Mysidacea, Hydromedusae, Sefalopoda dan
Syngnathidae (ikan-ikan tangkur).
Kategori kedua, ialah biota yang menempel pada batang dan rimpang (rhizome). Biota yang termasuk kategori ini ialah
Poliketa dan Amphipoda.
Kategori ketiga, ialah jenis bergerak
yang hidup di perairan di bawah tajuk daun
berupa ikan, udang, dan cumi-cumi. Hewanhewan yang bergerak cepat ini dibagi lagi
dalam subkategori berdasarkan periode me-
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
17
Oseana, Volume XII No. 1, 1987
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
LAMUN SEBAGAI PENANGKAP
SEDIMEN
Vegetasi lamun yang lebat memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus
dan ombak, serta menyebabkan perairan
di sekitarnya tenang. Dengan demikian ekosistem ini bertindak sebagai pencegah erosi
dan penangkap sedimen (RANDALL 1965).
THORHOUG & AUSTIN (1976) menyebutkan bahwa rimpang dan akar lamun menangkap dan menggabungkan sedimen, sehingga
meningkatkan stabilitas permukaan di bawahnya dan pada saat yang sama menjadikan
air lebih jernih. GINGSBURG & LOWENSTAN (1958) menjelaskan bagaimana lapisan lamun dapat memodifikasikan sedimen
sebagai berikut: pertama, ia menstabilkan
ukuran pasir dan kedua, hamparan lamun
yang lebat menyebabkan perairan menjadi
tenang. Begitu sedimen halus tersebut ke
bawah dan berada di antara akar, dia tidak
dapat tersuspensi lagi oleh kekuatan ombak
dan arus. Menurut mereka, daun sendiri dapat menangkap sedimen halus melalui kontak, karena daun-daun tersebut biasanya diliputi oleh mikroorganisme.
Sedimentasi sendiri memberikan pengaruh negatif terhadap lamun. PHILLIPS (dalam McROY & HELFFERICH 1977) dalam
pengamatannya di perairan Port Arkansas
Texas menemukan Thalassia dan Halodule
hanya bisa hidup dengan penambahan sedimen baru sampai 20 cm akibat pengerukan.
18
Oseana, Volume XII No. 1, 1987
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
yang dilakukan di sekitar daerah tersebut.
Lebih lanjut ODUM (dalam McROY & HELFFRERICH 1977) dalam pengamatannya
pada area yang sama menemukan Thalassia
mengalami kematian setelah terjadi penimbunan sedimen baru sekitar 30 cm dari hasil
pengerukan di sekitarnya. WOOD (dalam
McROY & HELFFERICH 1977) mendapatkan Zostera sangat lambat untuk pulih kembali (turn over) dari kematian yang diakibatkan oleh proses sedimentasi yang terjadi
di mana dia tumbuh. Begitu pula yang terjadi
di perairan Karibia pada lamun Thalassia
testudinwn tidak bisa tumbuh kembali untuk beberapa tahun setelah terjadi sedimentasi dari hasil pengerukan di sekitarnya.
(ZIEMAN dalam McROY & HELFFERICH
1977).
LAMUN SEBAGAI PENDAUR ZAT
HARA
Lamun memegang peranan yang berarti
dalam daur berbagai zat hara dan elemenelemen langka di lingkungan bahari. Penelitian-penelitian dalam bidang ini sekarang
sedang berkembang. Hubungan kimiawi antara lamun dan algae epifitik baru diteliti
beberapa tahun yang lalu. Dengan menggunakan 32PO4, HARLIN (1975) mendemontrasikan bahwa fosfat yang diambil oleh
daun-daun Phyllospadix dan Zostera dapat
bergerak sepanjang helai daun dan masuk ke
dalam algae epifitik. McROY & BARSDATE
(1970) telah menunjukkan bahwa akar Zostera dapat mengambil fosfat dari celah-celah
sedimen, akibat proses pembusukan. Zat
hara tersebut secara potensial dapat dipergunakan oleh epifitik apabila mereka berada
dalam medium yang miskin fosfat.
Beberapa'jenis algae biru-hijau, yang
bersifat epifitik pada Thalassia, memfiksasi
nitrogen dan menyebabkan nitrat yang terlarut mendapatkan jalan masuk ke hospesnya (GOERING & PARKER 1972). Bakteribakteri rhizophere dari Thalassia, Syringodium, Halodule dan Zostera juga memfiksasi
nitrogen (PATRIQUIN dan KNOWLES dalam HARLIN 1975) dengan cara yang sama
19
Oseana, Volume XII No. 1, 1987
seperti yang dilakukan legume di ekosisteni
terestrial. Nitrogen yang dibawa ke dalam
sistem tumbuh-tumbuhan baik oleh algae
biru-hijau epifitik atau bakteri rhizophere
akan dapat dipergunakan jenis-jenis algae
epifitik, baik melalui hospesnya atau dari
pengayaan (enrichment) terhadap air laut.
McROY & GOERING (1974) mendemontrasikan bahwa nitrogen yang diserap oleh
akar Zostera ditranslokasikan melalui daun
ke dalam epifitik. Di samping lamun sebagai
pendaur zat hara, juga diketahui bahwa dari
hasil ekstrak ditemukan zat-zat kimia yang
sangat berguna. Jenis Zostera merupakan
sumber yang potensial yang menghasilkan
sintesa glycosylurea sebagai makanan tambahan hewan ternak (mamalia), juga mengandung lignin (14,8%) dan pektin (McROY
& HELFFERICH 1977).
LAMUN SEBAGAI MAKANAN DAN
KEBUTUHAN LAIN
Di samping peranan-peranan lamun yang
telah dibahas di atas juga masih ada beberapa hal yang tidak kalah pentingnya khususnya lamun sebagai makanan, apakah itu sebagai makanan hewan atau manusia, serta
kegunaan lain misalnya sebagai bahan baku
dalam pembuatan kertas.
Lamun dapat digunakan sebagai makanan yang dikonsumsi secara langsung.
TURNER dan BELL (dalam McROY &
HELFFERICH 1977) melaporkan bahwa di
daerah Pulau Vancouver tanaman muda dari
Zostera dimasak sebagai sayuran, dan Halophila hawaiiensis daunnya dimakan sebagai
lalap. Buah Enhalus sering dimakan setelah
dimasak di Australia, juga dari pengalaman
penulis penduduk sekitar Kepulauan Seribu
sering memakan buah Enhalus yang dicampur dengan kelapa. Beberapa jenis lamun
juga digunakan sebagai makanan ternak di
Papua New Guinea, dan Thalassia sebagai
makanan gajah di Srilangka. Beberapa hewan
darat (terrestrial herbivovores) ada yang
makan langsung seperti angsa (Angser canagica) yang memakan Zostera.
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Zostera dalam beberapa percobaan sering digunakan sebagai bahan baku pembuatan kertas, begitu pula jenis Phyllospadix
sebagai bahan kertas/karton. Dari Zostera
dapat dihasilkan substansi "zosterin", pektin
dan lignin. Lamun dapat dibuat pupuk kompos yang cukup efektif dan komersial dalam
pemupukan tanaman tomat dan strawberry
(McROY & HELFFERICH 1977).
dengan meningkatnya suhu dan bertambahnya biomassa lamun dan menurun dengan
menurunnya suhu dan berkurangnya biomassa lamun. Hal yang sama didapatkan
oleh SPRINGER & WOODBURN (I960)
pada padang Thalassia di Tampa Bay, Florida Barat. Mereka mendapatkan bahwa naik
turunnya kelimpahan ikan berkaitan dengan
naik turunnya biomassa lamun dan suhu
perairan.
HUBUNGAN ANTARA PADANG LAMUN
DANI KAN
2. Sebagai makanan ikan
Aliran enerji dari produksi tumbuh-tumbuhan bahari wilayah ugahari dan subtropik
hampir seluruhnya disalurkan melalui invertebrata, sedangkan wilayah tropik mempunyai banyak ikan herbivora (OGDEN 1980).
Jadi wilayah ugahari dan subtropik hampir
1. Sebagai daerah asuhan dan perlindung- tidak ditemukan ikan-ikan pemakan lamun.
an
Sebegitu jauh yang diketahui sampai saat
KIKUCHI (1974) menyatakan peranan ini, ikan-ikan pemakan lamun hanya terbatas
tradisional padang lamun adalah sebagai dae- di perairan Karibia (RANDAL 1965). Di
rah asuhan. Hasil penelitian banyak ahli, antara ikan-ikan pemakan lamun terpenting
mendukung pernyataan tersebut.
ialah ikan kakatua famili Scaridae (Scarus
SPRINGER & McERLEAN (1962) men- dan Sparisoma). RANDAL (1963) seringkali
dapatkan 106 jenis ikan di daerah lamun di mendapatkan sejumlah besar potonganMatecumber Key, Florida. Dari sekian ba- potongan lamun pada lambung-lambung ikan
nyak jenis, sepertiga diwakili ikan-ikan muda tersebut. Sebagai contoh, pernah didapatkan
(juvenile). Di antara jenis ikan tersebut, be- bahwa spesimen Scarus guacamaia yang panberapa merupakan ikan niaga dan termasuk jangnya 516 mm, 95% isi lambung terdiri
dalam suku-suku Pomadasydae, Lutjanidae dari Cymodocea. Berdasarkan bobotnya,
dan Scaridae. HARADA (1963) menyatakan ikan kakatua merupakan ikan yang dominan
bahwa ikan-ikan penghuni musiman (seasonal di Kepulauan Virgin. BURKHOLDER et al.
resident species) dari padang lamun beruaya (1959) melaporkan bahwa di Puerto Rico,
ke pantai berbatu dan menghabiskan masa Thalassia merupakan makanan utama Hemidewasanya di sana. KIKUCHI (1966, 1974) ramphus brasiliensis. WILSON (1974) telah
mendapatkan bahwa beberapa ikan niaga mengamati isi lambung berbagai jenis ikan
mempergunakan padang lamun sebagai dae- beronang (Siganus spp). yang terdapat di
rah asuhan. Jenis-jenis ikan tersebut ialah: kawasan pulau-pulau Pasifik. Hasil peneliSebastes inermis, Stephanolepsis, Sebasticus tiannya menunjukkan bahwa ikan tersebut
adalah herbivora, terutama pemakan algae
marmorutus.
Padang lamun juga mempunyai peran dan lamun. Hasil penelitian MERTA (1982)
sebagai perlindungan ikan. ORTH & HECK terhadap Siganus canaliculatus di Teluk Ban(1980) mendapatkan padang Zostera marina ten, Indonesia, mendapatkan bahwa ikan ini
di Teluk Chesapeake, Amerika Serikat, ke- terutama makan lamun yang terdiri dari
limpahan ikan lebih tinggi di daerah yang Enhalus, Thalassia, Halophik, Cymodocea,
bervegetasi dari pada di daerah yang tidak Halodule dan Syringodium. Organisme lain
bervegetasi. Kelimpahan ikan juga meningkat yang didapatkan dalam isi lambungnya adaLamun mempunyai berbagai peranan
bagi kehidupan ikan. la dapat merupakan
daerah asuhan, sebagai makanan ikan-ikan
itu sendiri dan sebagai padang pengembalaan
atau tempat mencari makan (feeding
ground).
20
Oseana, Volume XII No. 1, 1987
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
lah algae, gastropoda, amphipoda dan bendabenda tak dikenal.
3. Sebagai padang pengembalaan
Beberapa ikan karnivora mengeksploitasi lamun yang jauh dari terumbu karang
pada malam hari. Ikan-ikan tersebut adalah
suku Pomadasyidae, Lutjanidae dan Holocentridae (STARKS & DAVIS 1966). Pada
padang Posidonia oceanica di Laut Tengah,
BELL & HERMELINVIVIEN (1982-1983)
mendapatkan bahwa kelimpahan dan jumlah
jenis ikan pada malam hari lebih besar dari
pada siang hari. Hampir semua jenis ikan
yang didapatkan adalah karnivora. Hal tersebut memberikan indikasi bahwa padang
lamun tersebut merupakan padang pengembalaan (feeding area) bagi ikan-ikan nokturnal.
Hubungan antara padang lamun di Karibia dengan terumbu karang telah dibahas
oleh OGDEN & ZIEMAN (1977). Mereka
mendapatkan bahwa padang lamun yang
berdekatan dengan terumbu karang merupakan padang pengembalaan ikan-ikan karang yang besar. OGDEN & ERLICH (1977)
mempertelakan ruaya nokturnal (nocturnal
migration) dari gerombolan ikan suku Pomadasyidae terutama Haemulon flavolineatum
dan H. plumieri, yang mencari makan pada
padang lamun di malam hari. Kedua jenis
ikan tersebut bergabung dalam satu gerombolan heterotipik yang berasosiasi dengan
formasi karang pada satu tunggu karang
(patch reef) di Tague Bay, Kepulauan Virgin. Begitu hari gelap gerombolan ikan tersebut berenang ke tempat tertentu di ujung
karang dalam jalur yang tetap dari tahun ke
tahun. Jarak yang ditempuhnya 1 km atau
lebih. Gerombolan peruaya tersebut, setelah sampai di padang lamun, merebahkan
diri dan secara individual mencari makan
berupa invertebrata yang berasosiasi dengan
lamun selama malam hari. Pada dini hari
mereka berkumpul dan melalui lintasan yang
sama kembali ke terumbu karang.
WEINSTEIN & HECK (1979) menyatakan bahwa pada padang Thalassia di Panama,
jenis-jenis ikan karang dari suku Haemulidae,
Lutjanidae, Sciaenidae, Aponginidae dan
Muraenidae jelas lebih melimpah pada malam hari. Kenyataan tersebut juga merupakan petunjuk bahwa padang lamun merupakan padang pengembalaan ikan-ikan karang.
DAFTAR PUSTAKA
BELL, J.D. and M.L. HARMELIN-VIVIEN
1982. Fish fauna of French Mediterranean Posidonia oceanica segrass meadows
I. Community structure. Tethys 10 :337 347.
BURKHOLDER, P.R., L.M. BURKHOLDER and J.A. RIVERO 1959. Some
chemical constituents of turtle grass,
Thalassia testudinum. Bull. Torrey Bot,
Club 86 (2): 88-93.
GINGSBURG, R. and H.A. LOWENSTAN
1958. The influence of marine bottom
communities on the depositional environments of sediment. J. Geol 66 (3) : 310 318.
GOERING, J.J. and P.L PARKER 1972.
Nitrogen fixation by epyphytes on seagrasses. Limnol. Oceanogr. 17 : 320323.
GOLLEY, F., H.T. ODUM and R.F. WILSON 1962. The structure and metabolism
of a Puerto Rican red mangrove forest in
May. Ecology 43 : 9 -10.
HARADA, E. 1963. A contribution to the
biology of the black rockfish, Sebastes
inermis, Cuvier and Valenciennes. Publ.
Seto. Mar. Biol 10 : 309 - 362.
HARUN, M.M. 1975. Epiphyte-host relationship in seagrass communities. Aquatic Botany 1 (2): 125-131.
21
Oseana, Volume XII No. 1, 1987
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
fic perspective (C.P. McROY and C. HELHARLIN, M.M. 1980. Seagrass epiphytes.
FFRICH eds), 53-87.
In: Handbook of seagrass biology: An
ecosystem perspective (R.C. PHILLIPS and McROY, C.P. and J.J. GOERING 1974.
C.P. McROY eds) : 117-151.
Nutrient transfer between the seagrass
Zostera marina and its epiphytes. Nature
Den HARTOG, C. 1976. The role of seagrass in
248: 105-144.
shallow coastal waters in the Caribbean. In :
Stinapa 11 (E.A. van GESAN, W. BOOI MERTA, I.G.S. and 1982. Studi ekonomi
KRISTENSES and H.A.N. de KRUIFF
ikan baronang, Siganus canalicidatus
eds): 48-86.
(Park, 1797), di perairan Teluk Banten,
pantai utara Jawa Barat. Tesis Megister
HUMM, H.J. 1964. Epiphytes of the seagras,
Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian
Thalassia testudinum, in Florida. Bull
Bogor. 130hal.
Mar Sci Carrib. 14 : 306-341.
JOHANNES, R.E. et. al. (22 coauthor). The NAGLE, J.S. 1968. Distribution of the epibiota of macroepibenthic plants. Publs. Inst.
metabolism of some coral reef communities :
Mar. Sci. Univ. Texas 13 : 105 -144.
A team study of nutrient and energy flux at
Eniwetok. Bio. Science 22 : 541 -543.
OGDEN, J.C. and P.R. ELRCIH 1977. The
behaviour of heterotypic resting school of.
KIKUCHI, T. 1974. Japanese contributions on
juvenile grunt (Pomadasyidae). Mar Biol.
cunsumer ecology in eelgrass (Zostera
42 : 273-280.
marina h) beds, with special reference to
trophic relationship and resources in OGDEN, J.C. and J.C. ZIEMAN 1977. Ecoinshore fisheries. Aquaculture 4 (2) : 161logical aspects of coral seagrass bed contact
167.
in the Caribbean. Proc. Third. Coral Reef
Symp. 1 : 377-382.
KIKUCHI, T. and J.M. PERES 1977. Consumer
ecology of seagrass beds, In : Handbook of ORTH, R.J. 1973. Benthic infauna of eelseagrass biology : ecosystem perpective
grass Zostera marine beds. Chesapeake
(R.C. PHILLIPS and C.P. McROY eds):
Sci. 14(4): 258-264.
147-193.
ORTH, R.J. and K.L. HECK Jr. 1980. Structural
KITA, T. and E. HARADA 1962. Studies on
components of ellgrass (Zostera marina)
the epiphytic communities I. Abundance and
meadows in the lower Chesapeake Bay.
distribution of microalgae and small animals
Fishes Estuaries 3 : 278 - 288.
on Zostera blades. Publ. Seto. Mar Biol
QASIM, S.Z. and P.M.A. BHATTATHIRI
Lab. 10 : 245 - 257.
1971. Primary production of a seagrass bed on
McROY, C.P. and R.J. BARSDATE 1970.
Karavatti Atoll (Laccadives). Hy-drobiol
Phosphate absorbtion in ellgrass. Limnol
38 :29-38.
Oceanogr. 51 : 6-13.
RANDALL, J.E. 1963. An analysis of the
population of artificial and natural reefs in
McROY, C.P. and C. HELFFREICH 1980.
the Vergin Islands. Caribb. J. Sci 3 (1): 1Applied aspects of seagrass In: Hand10.
book of seagrass biology : An ecosystem
perspective (R.C. PHILLIPS and McROY RANDALL, J.E. 1965. Grazing effect on
eds): 297-343.
seagrass by herbivorous reef fishes in the
west Indies. Ecology 46 : 225 -260.
McROY, C.P. and C. McMILLAN 1977. Production ecology and physiology of sea- RANDALL, J.E. 1967. Food habits of reef
grass. In : Seagrass ecosystem : a scientifishes of the west Indies. Stud. Trop.
Oceanogr. 5 :665- 847.
22
Oseana, Volume XII No. 1, 1987
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
SPRINGER, V.G. and A.J. McERLEAN 1962.
Seasonality of fishes on a South Florida
shore. Bull. Mar. Sci Gulf Caribbean 12
(1): 39-60.
SPRINGER, V.G. and K.D. WOODBURN
1960. An ecological study of the fishes of
the Tampa Bay area. Profess, Pap. Ser. Fla.
Sta. Board Consrv. 104 pp.
STARKS, W.A. and W.P. DAVIS 1966. Night
habits of fishes of Alligator Reef, Florida.
Ichthyobgica 38 (4) : 313 - 356.
THAYER, G.W., S.M. ADAMS and M.W. La
CROIX. 1975a. Structural and functional
aspects of a recently established Zostera
marina community. In : Estuarina Research
Vol. I (CRONIN ed) 518 - 540.
THAYER, G.W., D.A. WOLFE and R.B.
WILLIAMS 1975b. The important of
man on seagrass system. Am. Scientist
63 (3): 228-296.
23
Oseana, Volume XII No. 1, 1987
UNESCO 1983. Coral reefs, seagrass and
mangrove ecosystems: The connections. In
: Coral reefs, segrass beds and mangroves :
their interaction in the coastal zones of the
Caribbean (J.C. OGDEN, ed). Unesco Rep.
Mar. Sci. 23 : 6 -16.
VOSS, G.L. and N.A., VOSS 1955. An ecological survey of Soldier Key, Biscayne
Bay, Florida. Bull. Mar. Sci. Gulf Caribbean 5 : 203-229.
WEINSTEIN, M.P. and K.L. HECK Jr. 1979.
Ichthyofauna of seagrass meadows of
Mexica: Composition, structure and community ecology. Mar. Biol. 50 (2) : 97 107.
WILSON, P.T. 1974. Micrpnesian mariculture
development progress. MMDC News Lettres 4 - 6 : 1 - 6.
Download