Ca Rectosigmoid

advertisement
MAKALAH PRESENTASI KASUS
ADENOKARSINOMA REKTOSIGMOID
Oleh:
Calvin Kurnia Mulyadi (0906639726)
Gracia Jovita Kartiko (0906552624)
Modul Praktik Klinik Ilmu Bedah dan ATLS
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Januari 2014
BAB I
ILUSTRASI KASUS
I.
Identitas Pasien
Nama
: Tn.UL
Tanggal Lahir
: 11 Juni 1956
Usia
: 57 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Griya Bukit Jaya, Bogor
Pekerjaan
: Pekerja seni lukis dan teater
Suku
: Batak
Agama
: Protestan
Status Perkawinan: Menikah
Pendidikan
: Diploma
Nomor RM
: 389-74-91
Tanggal masuk
: 21 Januari 2014
Tanggal periksa : 22 Januari 2014
Tempat periksa
II.
: Ruang rawat inap gedung A lantai 4, kamar 416
Riwayat (Anamnesis pada pasien sendiri)
1. Keluhan utama
Perdarahan dari dubur 2 bulan sebelum masuk rumah sakit.
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien dirujuk dari RS luar karena terdapat massa kanker pada daerah dubur sejak satu
setengah bulan sebelum masuk RS. Dua bulan sebelum masuk RS (24 November 2013),
pasien mengalami perdarahan yang keluar dari dubur sebanyak dua kali berselang satu jam
pada malam hari (pukul 23.00 dan 00.00), berwarna merah segar dengan sedikit gumpalan
seperti agar-agar, tidak disertai tinja dan lendir, jumlah darah yang keluar tiap kali
perdarahan sekitar 1 gelas aqua. Setelah perdarahan yang kedua, pasien merasa lemas
seperti mau pingsan.
Terdapat perubahan BAB menjadi kecil-kecil. BAB harus dibantu pencahar. Tidak ada
diare. Tidak ada riwayat benjolan keluar dari anus saat BAB. Tidak ada riwayat perdarahan
dari dubur sebelumnya. Tidak ada mual, muntah, batuk, kembung, diare, benjolan pada
tubuh, nyeri tulang, BAB hitam sebelumnya.
Satu minggu kemudian pasien mengalami perdarahan yang serupa lalu dibawa ke RS
swasta, dirawat selama 2 hari, dan mendapatkan transfusi darah sebanyak 2 kantong.
Setelah itu, pasien dirujuk ke RS yang lain dan menjalani pemeriksaan colok dubur dan
2
teropong dengan biopsi. Dikatakan bahwa pada usus bagian bawah tampak ada massa
tumur, hasil biopsi dikatakan ganas. Pasien juga menjalani pemeriksaan CT-scan di perut
dan foto rontgen dada. Pasien kemudian dirujuk ke RSCM karena keterbatasan alat
diagnostik dari RS tersebut.
Sejak dua bulan sebelum episode perdarahan yang pertama, pasien merasakan sulit buang
air besar. Riwayat diare disertai lendir darah dan demam hilang timbul disangkal. Tidak
terdapat penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, badan terasa lemas, maupun
keringat malam. Riwayat mual, muntah, sesak, kembung atau perut membesar, timbul
benjolan di tempat lain disangkal. Sebelumnya pasien tidak pernah diradiasi di area
tersebut.
Saat pemeriksaan, pasien mengatakan tidak mengalami kesulitan BAB. Terkadang ada
lendir disertai darah saat BAB. Nyeri perut atau daerah dubur tidak ada. Nafsu makan baik.
Mual muntah tidak ada. BAK tidak ada keluhan.
3. Riwayat penyakit dahulu/pengobatan
Lima belas tahun sebelum masuk RS pasien pernah menjalani pengobatan flek paru selama
1 tahun, minum obat Rifampisin dan beberapa obat lainnya, dikatakan sembuh oleh dokter
yang merawat (sudah foto rontgen dan periksa dahak ulang). Riwayat HT, DM, asma, sakit
jantung, ginjal, alergi disangkal.
4. Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada keluhan serupa atau riwayat keganasan di keluarga.
5. Riwayat kebiasaan/sosioekonomi
Riwayat merokok 1 bungkus/hari selama kurang lebih 40 tahun (sejak SMA), terakhir
merokok sejak 4 hari sebelum episode perdarahan pertama. Pasien juga kadang
mengonsumsi minuman beralkohol 1 kaleng/minggu. Kebiasaan mengonsumsi makanan
berlemak tinggi disangkal. Dari anamensis, ditemukan pasien jarang mengonsumsi serat.
Pasien sering mengonsumsi daging sapi, ayam, dan kambing. Pasien bekerja sebagai
pelukis dan pemain teater, sudah menikah dan memiliki 2 orang anak. Pembiayaan
kesehatan menggunakan JKN.
III.
Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Keadaan umum
: Baik
Kesadaran
: Kompos mentis
Status gizi
: Cukup
3
Tinggi Badan
: 165 cm
Berat badan
: 68 kg
IMT
: 25 kg/m2 (overweight)
Tekanan darah
: 120/50 mmHg
Frek. Nadi
: 90 kali permenit, kuat, isi cukup, reguler
Frek. Napas
: 18 kali/menit, dalam, teratur
Suhu
: 36,7°C (aksila)
Kepala
: normocephalus, tidak ada deformitas
Mata
: konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Hidung
: tidak ada deviasi septum/pembesaran konka/hiperemis konka
Mulut
: oral hygiene baik, gigi berlubang tidak ada
Leher
: tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, JVP 5-2 cmH2O
Paru
: bunyi napas vesikuler, tidak ada ronkhi/wheezing
Jantung
: S1 S2 reguler, tidak ada murmur/gallop
Abdomen
: buncit/datar, lemas, hati limpa tidak teraba, tidak ada nyeri tekan,
ballotement (-), shifting dullness (-), bising usus normal.
Ekstremitas
: akral hangat, tidak ada edema, capillary refill time < 2 detik
2. Status Lokalis
Inspeksi
: anus tidak tampak benjolan/kemerahan, tidak ada cairan/darah yang keluar
dari anus
Rectal touche :
TSA baik, ampula tidak kolaps, mukosa teraba massa multipel di arah jam 5-6, jarak 1 cm
dari linea anokutan, tidak menutupi seluruh lumen, permukaan bernodul, terfiksasi, nyeri
tekan (+), pada sarung tangan didapatkan sedikit bercak darah berwarna merah kecoklatan,
tinja (-), lendir (-).
IV.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi rutin
Hemoglobin
11,1 g/dl
Hematokrit
33,4 %
Eritrosit
4,02 x 106/ul
MCV
83,1 fL
MCH
27,6 pg
MCHC
33,2 g/dl
4
Leukosit
9.790/ul
Trombosit
334.000/ul
Hemostasis
PT
11,2 detik (kontrol 12,1 detik)
APTT
30,9 detik (kontrol 34,2 detik)
Kimia Klinik
SGOT
40 U/l
SGPT
72 U/l
Albumin
4,52 g /dl
Kreatinin darah
1,2 mg/dl
eGFR – EPI
68,1 ml/menit/1,73 m2
Ureum darah
28 mg/dl
Glukosa Sewaktu
101 mg/dl
CEA
9,16
Elektrolit
Natrium
139 mEq/l
Kalium
4,35 mEq/l
Klorida
103,9 mEq/l
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos thorax PA (23 Desember 2013 di RSCM)
Posisi asimetris. Jantung tidak membesar, CTR < 50%. Tampak elongasi aorta.
Mediastinum superior tidak melebar. Trakea di tengah. Kedua hilus tidak menebal.
Corakan vaskular kedua paru masih baik. Tidak tampak infiltrat/nodul. Lengkung
hemidiafragma dan sinus kostofrenikus normal.
Kesimpulan: Aorta elongasi. Tidak tampak kelainan radiologis pada jantung.
Tidak tampak nodul metastasis paru.
b. Foto polos thorax PA (21Januari 2014 di RSCM)
Jantung tidak membesar, CTR < 50%. Aorta dan mediastinum superior tidak
melebar. Kedua hilus tidak menebal. Tampak perselubungan di apeks paru kanan
yang menarik trakea ke sisi kanan disertai gambaran honeycomb appearance.
Infiltrat di lapang atas paru kiri. Penebalan pleura kanan. Lengkung
hemidiafragma dan sinus kostofrenikus normal. Tulang kesan intak.
Kesimpulan: atelektasis dan bronkiektasis lapang atas paru kanan dnegan infiltrat
di lapang atas paru kiri dd/ TB paru, dibandingkan dnegan foto polos thorax 23
Desember 2013, kesan relatif stqa. Tidak tampak gambaran nodul metastasis paru.
5
c. Kolonoskopi (2 Desember 2013 di RS Luar)
Tampak massa rapuh di rektum (5 cm dari anus). Tampak polip sesile kecil dan
polip kecil bertangkai di kolon sigmoid. Tidak tampak kelainan mukosa kolon
desenden, transversum, dan asenden. Caecum, muara apendiks, dan katup
ileocaecal dikenali, tidak tampak kelainan. Tidak tampak kelainan mukosa ileum
terminal.
Kesimpulan: Massa rektum suspek malignansi, polip sesile dan polip bertangkai
kolon sigmoid.
d. CT Scan abdomen (3 Desember 2013 di RS Luar)
Massa tumor rektum, berukuran + 40,5 x 51,1 mm. Belum tampak menyebabkan
dilatasi sigmoid/kolon tetapi tampaknya telah menginfiltrasi minimal ke dasar buli.
Tidak tampak kelainan/metastasis pada hepar, kantong empedu, pankreas, lien, dan
kedua ginjal. Tidak tampak pembesaran KGB paraaorta/parailiaka/inguinal
e. CT Scan thorax dengan kontras Iopamidol 300 mg/ml (30 Desember 2013 di
RSCM)
Atelektasis paru kanan segmen ½ kanan
Emfisema lapang atas paru kanan dan kiri hingga perihilar kanan dan kiri
TB paru lama aktif dengan bronkiektasis
Tidak tampak nodul metastasis di paru saat ini.
3. Patologi Anatomi (3 Desember 2013 di RS Luar)
Biopsi pada rektum dan polip sigmoid.
Makroskopik
: 2 buah jaringan biopsi, diameter masing-masing 0,1 cm, putih
kenyal.
Mikroskopik
: Sediaan dengan keterangan berasal dari kolon sigmoid terdiri atas 2
keping kecil jaringan mukosa kolon berlapiskan epitel torak dnegan
inti bertingkat, mencapai 1/3 sampai keseluruhan ketebalan lapisan
epitel permukaan. Sel berinti atipik. Mitosis ditemukan. Tampak
bagian papiler. Lamina propria bersebukan sel radang emndadak dan
menahun. Tidak terdapat keping yang memperlihatkan lapisan
muskularis mukosa pada sediaan ini.
Kesimpulan
: jaringan mukosa kolon dengan gambaran displasia ringan-keras dan
bagian “intramucosal carcinoma”, kemungkinan adanya invasi lebih
dalam belum dapat disingkirkan.
6
4. Pemeriksaan Lain
a. Elektrokardiografi (tanggal 3 Desember 2013)
Sinus rhytm, normoaxis, HR 80 kali/menit reguler, p wave normal, PR interval 0,2
detik, QRS complex 0,08 detik, T inverted (-), ST-T changes (-), LVH/RVH (-),
BBB (-), RSR di II, III, aVF.
b. Spirometri (16 Desember 2013 di RSCM)
FEV1% : FVC% = Normal
V.
Diagnosis
Adenokarsinoma rektosigmoid T4N0M0
VI. Rencana Tatalaksana
VII.
-
Pro reseksi abdominoperineal
-
Persiapan preoperatif

Surat izin operasi (SIO)

Site marking

Penjadwalan operasi

Konsultasi toleransi operasi kardiologi, pulmonologi, anestesi

Pemeriksaan:
o
Rontgen thoraks
o
Laboratorium: cek DPL, PT/APTT, Kreatinin, GDS, SGOT/SGPT
-
Diet biasa 1900 kkal/hari
-
Antibiotik

Gentamycin 1 x 160 mg peroral

Metronidazole 1 x 500 mg peroral
Rencana Edukasi
Menjelaskan mengenai kanker kolorektal, tatalaksana, dan prognosis
Menjelaskan persiapan operasi dan puasa
VIII.
Prognosis
-
Ad vitam
: dubia ad malam
-
Ad functionam : dubia ad malam
-
Ad sanactionam : dubia ad malam
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Epidemiologi Karsinoma Kolorektal
Keganasan kolorektal (KKR) menempati posisi ketiga diagnosis terbanyak pada pria dan kedua
terbanyak pada wanita di dunia, dengan 1,2 juta kasus baru serta 608.700 kematian pada 2008.1
KKR lebih sering terjadi pada pria dibandingkan dengan wanita. Insiden meningkat secara
signifikan antara usia 40 – 50 tahun dan risiko akan meningkat dua kali lipat setiap dekade
berikutnya. Di Indonesia, insiden tertinggi terjadi pada usia produktif, yaitu 30-50 tahun, dimana
sebagian besar penderita darang dalam kondisi stadium lanjut atau telah terjadi komplikasi.2
2. Anatomi dan Patologi Kolorektal
a. Anatomi
Usus besar memiliki panjang 1,5 meter dengan diameter 6,5 cm, terbentang dari ileum
hingga anus. Usus besar terbagi empat bagian, yaitu caecum, kolon, rektum, dan kanalis
analis.3
Kolon dibagi menjadi kolon asenden, transversum, desenden, dan sigmoid. Kolon asenden
dan desenden terletak retroperitoneal, sementara kolon transversum dan sigmoid
intraperitoneal. Kolon sigmoid dimulai dari kolon dekat krista iliaka kiri, ke midline, hingga
mencapai rektum pada posisi vertebra S3.
Gambar 2.1 Anatomi Kolon dan Rektum3
Lapisan pada kolon dan rektum terdiri atas mukosa, submukosa, otot sirkular dalam
(membentuk sfinger ani interna), otot longitudinal luar (terpisah menjadi 3 teniae coli pada
8
kolon, proksimal teniae bergabung di apendiks dan distal teniae bergabung di rektum), dan
lapisan serosa (melapisi kolon intraperitoneal dan sepertiga rektum).4
Gambar 2.2 Drainase Limfatik Kolorektal4
Rektum memiliki panjang sekitar 20 cm, dimana 2 – 3 cm bagian terminalnya disebut kanalis
analis.3 Rektum intraoperatif merupakan batas fusi duua taenia mesenterik dengan area
amorfus rektum (true rectum), sedangkan pada pemeriksaan sigmoidoskopi kaku, rektum
berjarak 12 – 15 cm dari anal verge.2
Anus menghubungkan kanalis analis dengan dunia luar. Sfingter ani interna tersusun oleh
otot polos yang bekerja involunter dan sfingter ani eksterna tersusun atas otot rangka yang
bekerja secara volunter.3
b. Patologi Lesi Jinak dan Ganas Kolorektal
-
Polip Jinak
Polip merupakan pertumbuhan berlebih dari stroma ataupun kelenjar mukosa, berupa
massa pada permukaan mukosa yang menonjol ke dalam lumen usus.
1) Polip non-neoplastik
Yang termasuk polip jenis ini adalah polip reaktif (tumbuh akibat jejas kronik) dan
polip hamartomatosa.
2) Polip hiperplastik/metaplastik
Pada polip hiperplastik dapat ditemukan mutasi gen ras. Karakteristik poli ini adalah
hiperplasia, pemanjangan kripti, dan proliferasi epitel, yang kemudian membentuk
tonjolan pseudostratifikasi sel epitel ke dalam lumen kripti, yang memberikan
gambaran histologik shaw tooth. Pada polip hiperplastik belum ditemukan displasia,
9
inti sel terletak di basal, monomorfik, dengan sitoplasma bervakuola berisikan
musin.
3) Polip inflamatorik
Terjadi pada mukosa yang mengalami inflamasi kronik, seperti inflammatory bowel
disease atau divertikulitis. Gambaran histologi menunjukkan mukosa yang
meradang, epitel dan kelenjar tampak reaktif, kadang ditemukan jaringan granulasi
atau proliferasi jaringan ikat di laminna propria.
4) Polip hamartoma
Merupakan proliferasi abnormal komponan jaringan normal yang ada pada suatu
organ, antara lain polip juvenile, familial juvenile polyposis, polip Peutz Jeghers,
polip Cronkite-Canada, sindrom Cowden.
5) Polip limfoid
Merupakan hasil agregasi MALT (mucosa-associated lymphoid tissue) pada area
mukosa hingga submukosa dengan centrum germinativum reaktif.
-
Polip Neoplastik/Adenoma
Adenoma merupakan lesi prekanker yang menunjukkan ciri neoplasma, yaitu disregulasi
pertumbuhan dan kegagalan diferensiasi. Disregulasi pertumbuhan ditandai adanya area
proliferatif yang bergerser ke permukaan mukosa dan kegagalan pematangan sel epitel
kripta, serta ditemukannya sel imatur atau basaloid di permukaan mukosa.
Pada bagian atas kripta, tidak ditemukan lagi sel absorbtif matur yang ditandai dengan
tidak ditemukannya musin di sitoplasma dan tidak tampak lagi sel goblet matur.
1) Adenoma tubular
Umumnya pedunculated atau datar. Gambaran mikroskopi berupa proliferasi kripta
yang dilapisi epitel kolumnar yang displastik. Lamina propria bersebukan limfosit,
sel plasma, dan eosinofil.
2) Adenoma vilosum
Berupa proloferasi kelenjar yang membentuk pola seperti jari atau papil runcing,
yang dilapisi sel epitel yang displastik.
3) Adenoma tubulovilosum
Merupakan campuran bentuk tubular dan vili, dapat juga berupa adenoma vilosum
yang mengandung struktur tubuler. Struktur vili berkisar 35 – 75%.
4) Adenoma serrated
Bentuk dapat sessile ataupun pedunculated. Gambaran mikroskopik berupa polip
hiperplastik, seperti shaw tooth, namun pada serrated, adenoma memiliki ciri
displasia epitel. Epitel tampak bertumpuk dengan inti hiperkromatik, anak inti nyata,
dan sitoplasma mengandung sedikit musin.
10
5) Adenoma datar
Merupakan varian tubular, dengan ketebalan mukosa yang mengalami displasia tidak
lebih dari 2 kali ketebalan mukosa non displastik. Mukosa yang displastik pada
umumnya terkonsentrasi di permukaan.
6) Adenoma hipersekretorik
Merupakan varian vilosum, yang memproduksi mukus. Vili dilapisi oleh sel
displastik dan ditemukan sel goblet proliferatif dengan susuanan maupun bentuk sel
tidak normal atau kehilangan polaritas. Sel goblet ini disebut distrofik, dengan
ukuran bervariasi dan inti terletak eksentrik, tidak terletak di basal, seperti sel goblet
normal.
-
Polip Ganas
Istilah yang sering digunakan untuk menyebut polip ganas adalah adenokarsinoma in
adenoma atau adenoma dengan fokus adenokarsinoma. Pada lesi ini, akan dijumpai
invasi sel ganas ke submukosa. Polip ganas selanjutnya dibedakan menjadi:
1) Polip ganas dengan prognosis baik
Derajat keganasan grade 1 atau 2, tidak terdapat invasi angiolimfatik, tidak
ditemukan tumor pada batas sayatan
2) Polip ganas dengan prognosis buruk
Derajat keganasan grade 3 atau 4, ditemukan invasi angiolimfatik, batas sayatan
tidak bebas tumor: ditemukan sel tumor < 1 mm dari batas sayatan, pada jaringan
yang mengalami diatermi (lesi akibat panas oleh elektrokauter).
c. Jenis Histologik Karsinoma Kolorektal
-
Adenokarsinoma
1) Adenokarsinoma musinosum. Komponen musinosum > 50%
2) Signet ring cell carcinoma. Komponen musin intrasitoplasma > 50%
3) Karsinoma adenoskuamosa. Mengandung komponen karsinoma sel skuamosa dan
adenokarsinoma.
4) Karsinoma medular. Sel tumor tersusun seperti lembaran, inti vesikuler, anak inti
nyata, sitoplasma eosinofilik, dan ditemukan banyak infiltrasi limfosit di sekitar
massa tumor.
5) Karsinoma tidak berdiferensiasi. Komponen sel berdiferensiasi sedikit.
-
Karsinoid
Dibagi menjadi tumor neuroendokrin berdiferensiasi baik, sedang, dan buruk (small cell
carcinoma pada usus).
-
Mixed dan composite carcinoid-adenocarcinoma
Komponen
adenokarsinoma
dan
karsinoid
bergabung.
adenokarsinoma dan karsinoid terpisah dengan batas tegas.2
11
Pada
tipe
komposit,
d. Karsinogenesis
Perjalanan KKR memiliki dua jalur utama untuk terjadinya inisiasi tumor dan progesi, yaitu
LOH (Loss of Heterzygocity) dan RER (Replication Error). Jalur LOH memiliki karakteristik
delesi kromosomal dan aneuploid tumor, dimana 80% KKR merupakan hasil dari mutasi
pada jalur LOH. 20% sisanya merupakan mutasi pada jalur RER, dengan karakteristik
kesalahan pada mismatch repair selama replikasi DNA.
Jalur LOH:
1) Defek gen APC
Defek ini pertama kali dijelaskan pada pasien dengan FAP. Mutasi ini didapatkan juga
pada 80% dari KKR sporadik. APC gen merupakan gen supresi tumor. Mutasi pada
kedua alel dapat menginisiasi pembentukan polip. Pada FAP, lokasi mutasi berhubungan
dengan derajat keparahan penyakit.
2) K-ras
Merupakan protoonkogen. Mutasi pada satu alel dapat mengganggu siklus sel. Mutasi
pada K-ras menyebabkan GTP tidak dapat dihidrolisis, dan kemudian protein G tetap
dalam bentuk aktif. Hal ini dipikirkan akan berujung pada pembelahan sel yang tidak
terkontrol.
3) DCC
Merupakan gen supresi tumor dimana dibutuhkan keterlibatan dua alel untuk terjadi
keganasan. Gen ini terlibat dalam diferensiasi sel. Mutasi DCC didapatkan pada 70%
KKR.
4)
p53
Merupakan gen supresi tumor yang menginisiasi apoptosis sel. Mutasi p53 didapatkan
pada 75% KKR.4
Gambar 2.3 Proses Karsinogenesis Karsinoma Kolorektal4
Pada jalur RER, sejumlah gen yang berfungsi, baik untuk mengenali dan memperbaiki
kesalahan replikasi DNA, seperti hMSH2, hMLH1, hPMS1, hPMS2, dan hMSH6/GTBP,
12
mengalami mutasi. Akibatnya, terdapat predisposisi mutasi sel dan akumulasi yang akan
menyebabkan instabilitas genom dan berujung pada karsinogenesis. Jalur RER dihubungkan
dengan instabilitas mikrosatelit, yang rentan terhadap kesalahan replikasi.Tumor dengan
instabilitas mikrosatelit memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan tumor yang
berasal dari jalur LOH dengan mikrosatelit yang stabil.4,5
KKR berawal dari mukosa yang kemudian menginvasi dinding usus dan jaringan sekitar.
Tumor dapat menjadi besar dan menyebabkan obstruksi. Perluasan lokal, khususnya ke
rektum, dapat menyebabkan obstruksi organ lain, seperti ureter. Keterlibatan KGB regional
merupakan bentuk penyebaran tersering dari KKR dan biasanya mendahului metastasis jauh
atau perkembangan karsinomatosis (metastasis peritoneal difus). Kecenderungan metastasis
KGB meningkat seiring dengan ukuran tumor, derajat diferensiasi, invasi limfovaskular, dan
kedalaman invasi. Lesi kecil pada dinding usus (T1 dan T2, lihat penentuan stadium)
dihubungkan dengan metastasis KGB pada 5-20% kasus, sementara pada tumor T3 dan T4
dijumpai metastasis KGB pada 50% kasus. Keterlibatan empat atau lebih KGB memberikan
gambaran prognosis buruk. Metastasis terjadi secara hematogen melalui sistem vena porta.2
3. Faktor Risiko dan Faktor Protektif
Faktor risiko KKR, antara lain:
1) Penuaan. Penuaan merupakan faktor risiko dominan, dengan insiden meningkat di atas
usia 50 tahun.
2) Genetik. Sebesar 70-80% KKR terjadi sporadik, dengan 20% terjadi pada orang dengan
riwayat KKR pada keluarga.
3) Lingkungan dan pola diet. Diet tinggi lemak jenuh meningkatkan risiko KKR.,
sementara diet tinggi asam oleat (minyak zaitun, minyak kelapa, minyak ikan) tidak
meningkatkan risiko. Sebaliknya, diet tinggi sayur menjadi faktor protektif dari KKR.
Asupan kalsium, selenium, vitamin A, C, dan E dapat menurunkan risiko perkembangan
KKR. Obesitas dan gaya hidup sedentari meningkatkan mortalitas pada beberapa jenis
keganasan, termasuk KKR.
4) Inflammatory bowel disease
5) Lain-lain, seperti merokok berhubungan dengan peningkatan risiko adenoma kolon,
terutama
dengan
durasi
merokok
lebih
dari
35
tahun.
Pasien
dengan
ureterosigmoidostomi memiliki risiko untuk formasi adenoma atau karsinoma.
Akromegali dihubungkan dengan peningkatan kadar hormon pertumbuhan dan insulinlike growth factor-1. Radiasi pelvis meningkatkan risiko perkembagan karsinoma rektal.
13
Faktor lingkungan yang beragam dengan predisposisi genetik atau defek yang didapat akan
bekembang menjadi KKR.1,2,4
Terdapat 3 kelompok KKR berdasarkan perkembangannya:
1) KKR diturunkan (10%). Kelompok yang diturunkan merupakan mutasi sel
germinativum sejak lahir pada salah satu alel dan terjadi mutasi somatik pada alel.
2) KKR sporadik (70%). Kelompok ini membutuhkan dua mutasi somatik, dengan satu
pada masing-masing alel.
3) KKR familial (20%). Lebih dari 35% dari KKR familial terjadi pada usia muda.
Dipikirkan KKR jenis ini dapat terjadi secara kebetulan, ataupun adanya peran faktor
lingkungan, penetrasi mutasi yang lemah, atau mutasi germinativum yang sedang
berlangsung.2
Faktor risiko KKR yang perlu diperhatikan:
1) Sindrom KKR yang diturunkan. Faktor genetik ini diturunkan secara autosomal dominan,
tersering adalah FAP (Familial Adenomatous Polyposis) dan Sindrom Lynch (HNPCC
(Hereditary Nnpolyposis Colorectal Cancer)), yang terjadi sekitar 5% dari KKR. Pada
kelompok HNPCC, terdapat tingkat risiko untuk menderita KKR (kriteria Amsterdam):
Tabel 2.2 Klasifikasi Risiko Karsinoma Kolorektal pada Populasi Umum2
Risiko
Tinggi
Kriteria
Minimal 3 anggota keluarga menderita KKR atau dua dengan KKR dan satu
dengan karsinoma endometrial pada minimal dua generasi. Satu dari anggota
keluarga telah menderita KKR pada usia < 50 tahun dan salah satu anggota
yang didiagnosis adalah silsilah pertama.
Sedang
Seorang anggota keluarga silsilah pertama menderita KKR pada usia < 45
tahun, atau dua anggota keluarga silsilah pertama menderita KKR (seorang
pada usia < 55 tahun), atau dua/tiga anggota keluarga (seorang pada usia <
55 tahun) dengan KKR/karsinoma endometrial yang merupakan silsilah
pertama.
Rendah
Tidak memenuhi kriteria tinggi atau sedang.
Apabila tidak dilakukan terapi, 7% penderita FAP akan menderita adenoma pada usia 21
tahun, 50% pada usia 39 tahun, dan 90% pada usia 45 tahun.
2) Riwayat penyakit atau riwayat keluarga dengan KKR sporadik atau polip adenomatosa.
Riwayat keluarga derajat pertama dengan KKR meningkatkan risiko sebesar 2 kali lipat
dibandingkan dengan populasi umum.
3) Kolitis Ulseratif. Risiko KKR meningkat 8 – 10 tahun setelah diagnosis awal pankolitis
dan 15 – 20 tahun pada kolitis kolon kiri. Probabilitas meningkat seiring dengan
14
peningkatan durasi kolitis, mencapai 30% pada dekade ke-4 pankolitis. Penyakit Crohn,
masih dalam penelitian lebih lanjut.
4) Ras/etnik dan jenis kelamin. Mortalitas KKR 20% lebih tinggi pada etnik Afrika-Amerika
sehingga skrining dimulai pada usia 45 tahun dan menggunakan kolonoskopi. Mortalitas
KKR 25% lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita, dimana pada wanita, adenoma
ataupun KKR terjadi lebih proksimal.
5) Transplantasi ginjal yang dihubungkan dengan imunosupresi jangka panjang akan
meningkatkan risiko KKR.
6) Diabetes melitus dan resistansi insulin. Risiko KKR 38% lebih tinggi untuk kanker kolon
dan 20% lebih tinggi untuk kanker rektum. Kejadian ini dihubungkan dengan
hiperinsulinemia, dimana insulin merupakan faktor pertumbuhan yang penting bagi sel
mukosa kolon dan insulin menstimulasi sel tumor kolon. Konsentrasi IGF-1 (Insulin-like
Growth Factor-1) dalam plasma dan peptida C (indikator produksi insulin) meningkatkan
risiko KKR, sementara IGFBP-3 (IGF binding protein-3) merupakan faktor protektif.
7) Terapi deprivasi androgen. Pria yang menjalani terapi agonis GnRH atau orkidektomi
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk KKR, dan risiko meningkat seiring durasi terapi.
8) Kolesistektomi. Terdapat hubungan kolesistektomi dengan kanker kolon kanan, tetapi
tidak ditemukan pada kanker kolon distal. Mekanisme yang terjadi dipikirkan karena
gangguan komposisi asam empedu pada kolon setelah tindakan.
9) Alkohol. Terdapat peningkatan risiko KKR yang signifikan pada konsumsi alkohol berat
(> 4 porsi/hari) dan sedang (2-3 porsi/hari). Pada konsumsi ringan (< 1 porsi/hari),
dengan kadar etanol 10 g/hari, didapatkan peningkatan risiko KKR sebesar 7%. Hal ini
dipikirkan karena terganggunya penyerapan folat oleh alkohol dan menurunnya asupan
folat.
10) Obesitas. Terdapat peningkatan risiko 1,5 kali dibandingkan dengan berat badan yang
normal (IMT 18,5 – 24,9 kg/m2). Risiko karsinoma kolon meningkat 15% pada orang
overweight (IMT > 25 kg/m2) dan 33% pada obesitas (IMT > 20 kg/m2).
11) Faktor risiko lain, seperti penyakit jantung coroner, merokok, konsumsi jangka panjang
daging merah atau daging proses, dan radiasi area abdomen.
Adapun beberapa faktor yang diketahui bersifat protektif, antara lain:
1) Aktivitas fisik yang teratur, minimal 30 menit/hari.
2) Diet. Konsumsi sayur dan buah memiliki risiko relatif 0,5 pada kelompok tertinggi dan
terendah.
3) Vitamin dan mineral. Folat dipikirkan menghambat patogenesis kanker di jaringan,
termasuk kolon. Suplementasi asam folat 400 mg/hari menurunkan kejadian KKR, begitu
pula dengan vitamin E, D, B6, dan magnesium.
15
4) Kalsium dan produk susu. Kalsium dapat mencegah rekurensi adenoma kolorektal pasca
polipektomi, bergantung pada kadar vitamin D (berhubungan dengan genotipe reseptor
vitamin D). Dosis kalsium yang dipakai adalah 1.250 – 2000 mg.
5) NSAID. Menghambat produksi prostaglandin, melalui hambatan COX. Terjadi
peningkatan apoptosis dan gangguan pertumbuhan sel tumor melalui inhibisi COX-2
yang berfungsi merangsang angiogenesis KKR.
6) Terapi hormon post menopause. Terapi ini dihubungkan dengan penurunan risiko kanker
kolorektal pada wanita yang menjadi terapi kombinasi estrogen dan progestin.2,4
4. Penegakan Diagnosis, Modalitas Diagnostik, Staging, dan Program Deteksi Dini
a. Klinis
Kecurigaan klinis timbul manakala didapatkan riwayat perdarahan peranal disertai
peningktan frekuensi defekasi dan/atau diare selama minimal 6 minggu (semua umur);
perdarahan peranal tanpa gejala anal (di atas 60 tahun); peningkatan frekuensi defekasi atau
diare selama minimal 6 minggu (di atas 60 tahun); perabaan massa teraba pada fossa iliaka
dekstra (semua umur); atau perabaan massa intraluminal dalam rectum; dan tanda obstruksi
mekanik usus. Dapat pula terjadi pada penderita dengan anemia defisiensi besi (Hb < 11 g/dl
pada pria dan Hb < 10 g/dl pada wanita pasca menopause).
Setiap penderita yang secara klinis dicurigai KKR, seluruh kolon dan rektum perlu dinilai,
salah satunya dengan colok dubur, yang mencakup:
-
Keadaan tumor. Ekstensi lesi pada dinding rektum, letak bagian terendah terhadap cincin
anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os coccyges. Pada wanita,
perlu dilakukan palpasi melalui vagina untuk mengetahui apakah mukosa di atas tumor
licin, dapat digerakkan, ada perlekatan, atau ulserasi, serta untuk menilai batas atas dari
lesi anular.
-
Mobilitas tumor. Lesi awal biasanya masih dapat digerakkan apda lapisan otot dinding
rektum. Pada lesi denga ulserasi lebih dalam, terjadi perlekatan dan fiksasi karena
penetrasi/perlekatan ke struktur ekstrarektal, seperti prostat, vesika urinaria, dinding
posterior vagina, atau dinding anterior uterus.
-
Ekstensi penjalaran, yang diukur dari besar tumor dan karakteristik pertumbuhan primer,
mobilitas, dan fiksasi lesi.
Terdapat dua gambaran khas pada colok dubur, yaitu indurasi dan penonjolan pada tepi, yang
dapat berupa:
-
Pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi, seperti cakram kecil dengan permukaan
licin dan batas tegas
-
Pernonjolan yang rapuh, biasanya lunak, namun umumnya mempunyai beberapa daerah
indurasi dan ulserasi
16
-
Bentuk khas dari ulkus maligna dengan tepi nodular yang menonjol dengan kubah yang
dalam (bentuk paling sering)
-
Bentuk karsinoma anular yang teraba sebagai pertumbuhan bentuk cincin.
b. Penunjang
Terdapat tiga macam pemeriksaan penunjang yang efektif dalam diagnosis KKR:
-
Barium enema dengan kontras ganda
Pemeriksaan enema barium dengan kontras ganda memiliki keunggulan, yaitu
sensitivitas yang cukup tinggi (65 – 95%), aman, tingkat keberhasilan prosedur tinggi,
tidak memerlukan sedasi, dan telah terjangkau. Kelemahan pemeriksaan enema barium
dengan kontras ganda disebabkan oleh lesi T1 sering tidak terdeteksi, akurasi diagnosis
lesi rektosigmoid dengan divertikulosis dan caecum rendah, akurasi diagnosis lesi tipe
datar rendah, sensitivitas diagnosis polip < 1 cm rendah (70 – 95%), dan pasien terpapar
radiasi.
-
Endoskopi
Jenis endoskopi yang digunakan adalah sigmoidoskopi rigid, fleksibel, dan kolonoskopi.
Untuk visualisasi kolon dan rektum, sigmoidoskopi fleksibel lebih efektif diabndingkan
dengan sigmoidokopi rigid. Pada semua kasus yang dicurigai KKR, sebaiknya dilakukan
kolonoskopi. Apabila kolonoskopi tidak dapat dilakukan, dilakukan sigmoidoskopi
dilanjutkan enema barium kontras ganda. Keunggulan kolonoskopi antara lain
sensitivitas mencapai 95% dalam diagnosis adenokarsinoma atau polip kolorektal, dapat
berfungsi sebagai alat diagnostik melalui biopsi dan terapi pada polipektomi, dapat
mengidentifikasi dan seksi synchronous polyp, serta tidak ada paparan radiasi. Akan
tetapi kerugiannya mencakup kesulitan untuk mencapai caecum, memerlukan sedasi
intravena, tidak dapat melokalisasi tumor secara akurat, dan tingkat mortalitas 1:5000
kolonoskopi.
-
Pneumocolon Computed Tomography (PCT)
Keunggulan PCT, yaitu sensitivitas tinggi dalam diagnosis KKR, toleransi penderita
baik, serta mampu memberi informasi mengenai keadaan di luar kolon, termasuk untuk
penentuan stadium, melalui penilaian invasi lokal, metastasis hepar, dan KGB. Adapun
kerugiannya dapat berupa ketidakmampuan untuk mendiagnosis polip < 10 mm, paparan
radiasi yang lebih tinggi, tidak dapat menentukan metastasis KGB apabila KGB tidak
membesar, kurangnya operator yang kompeten, serta tidak dapat dilakukan biopsi atau
polipektomi.2,6,7
c. Derajat Keganasan, Staging, Pembagian Stadium Klinis, dan Stadium Histopatologis
Derajat keganasan tumor berdasarkan World Health Organization (WHO):
Grade I
: tumor diferensiasi baik, struktur glandular > 95%
17
Grade II
: tumor diferensiasi sedang, struktur glandular 50-95%
Grade III
: tumor diferensiasi buruk, struktur glandular 5-50%
Grade IV
: tumor tidak berdiferensiasi, struktur glandular < 5%.2
Awalnya, staging KKR menggunakan sistem Dukes, namun saat ini sudah ditinggalkan.
Staging dan pembagian stadium klinis KKR mengacu pada revisi panduan American Joint
Committee on Cancer (AJCC) edisi ke-7 tahun 2010, sebagai berikut:
-
Tumor (T)
Tx
: tumor primer tidak dapat dinilai
T0
: tidak terdapat bukti keberadaan tumor primer
Tis : karsinoma insitu, intraepitelial atau invasi lamina propria
T1
: tumor menginvasi submukosa
T2
: tumor menginvasi lapisan muskularis propria
T3
: tumor menginvasi melalui muskularis propria ke jaringan perikolorektal
T4a
: tumor penetrasi ke permukaan lapisan peritoneum viseral
T4b
: tumor menginvasi langsung atau melekat pada organ atau struktur
sekitarnya
-
Nodul (N) Kelenjar Getah Bening (KGB) Regional
Nx
: nodus limfa regional tidak dapat dinilai
N0
: tidak terdapat metastasis ke kelenjar getah bening regional
N1
: metastasis pada 1-3 KGB regional
N1a
: metastasis hanya pada 1 KBG regional
N1b
: metastasis pada 2-3 KGB regional
N1c
: deposit tumor pada subserosa, mesenterika, atau jaringan perikolik atau
perirektal yang tidak terselubungi oleh selaput peritoneal tanpa disertai
metastasis KGB regional
N2
-
: metastasis pada 4 atau lebih KGB regional
N2a
: metastasis pada 4-6 KGB regional
N2b
: metastasis pada 7 atau lebih KGB regional
Metastasis (M)
M0
: tidak terdapat metastasis jauh
M1
: terdapat metastasis jauh
M1a
: metastasis terbatas pada satu organ, seperti hati, paru, ovarium, atau nodus
nonregional
M1b
: metastasis pada lebih dari satu organ/situs atau ke peritoneum.8
18
Tabel 2.3 Klasifikasi Stadium Klinis Pasien Karsinoma Kolorektal8
Perlu diketahui bahwa klasifikasi Tis meliputi sel kanker yang terbatas dalam membran basal
kelenjar mukosa (intraepitelial) atau lamina propria mukosa (intramukosal) tanpa ekstensi
dari mukosa pars muskularis ke submukosa. Invasi langsung pada klasifikasi T4 yang
dimaksud adalah infiltrasi massa tumor ke jaringan sekitar melalui serosa, seperti invasi
kolon sigmoid oleh karsinoma pada sekum, atau tumor pada dinding posterior kolon
desenden yang menginfiltrasi ginjal kiri atau dinding abdomen lateral. Pada beberapa
klasifikasi, kadang dicantumkan tulisan cTNM dan pTNM, di mana c yang dimaksud adalah
clinical atau klasifikasi klinis dan pathological atau klasifikasi patologis, secara berturutturut.
d. Deteksi Dini (Skrining), Metode, Indikasi, dan Rekomendasinya
KKR memiliki peranan penting dalam meningkatkan angka survival dan menurunkan
morbiditas serta mortalitas. Skrining merupakan investigasi pada individu asimtomatik, yang
bertujuan untuk mendeteksi adanya penyakit pada stadium dini sehingga dapat dilakukan
terapi kuratif.2 Indikasi dilakukannya skrining adalah:
-
Usia di atas 40 tahun
-
Kelompok masyarakat dengan risiko tinggi:

Kolitis ulseratif atau penyakit Crohn selama lebih dari 10 tahun

Telah menjalani polipektomi pada adenoma kolorektal

Riwayat keluarga dengan KKR.
Metode deteksi dini pada populasi umum:
1) Uji darah samar feses setiap tahun. Uji ini menurunkan mortalitas KKR sebesar 16%
hingga 23%
19
2) Sigmoidoskopi fleksibel dan kolonoskopi. Kebanyakan KKR berasal dari adenoma
sehingga setiap lesi perlu diangkat. Tindakan polipektomi telah terbukti menurunkan
risiko KKR.
Metode deteksi dini pada populasi dengan risiko tinggi:
1) Penderita kolitis ulseratif atau penyakin Crohn > 10 tahun. Bila > 20 tahun atau
ditemukan displasia, kolonoskopi dilakukan setiap tahun
2) Penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma kolorektal. Bila telah
menjalani polipektomi adenoma kolorektal: follow up kolonoskopi; bila ukuran polip < 1
cm pada follow up maka dilakukan kolonoskopi setiap 5 tahun; bila ditemukan > 3
adenoma atau paling sedikit satu berukuran > 1 cm atau adanya displasia berat maka
dilakukan kolonoskopi setiap 3 tahun.
3) Riwayat keluarga KKR.2
Tabel 2.3 Rekomendasi Deteksi Dini Menurut Tingkat Risiko2
Risiko
Tinggi
Kriteria
Usia skrining
Kolonoskopi setiap 2 tahun; tawarkan
30 – 70 tahun; untuk Ca gaster
skrining
usia 50 – 70 tahun
tumor
ginekologi;
upper
GI
endoskopi setiap 2 tahun; deteksi dini untuk
kanker lain yang berhubungane HNPCC
Sedang
Kolonoskopi tunggal; kolonoskpi ulang
30 – 35 tahun dan 55 tahun
satu kali jika kolonoskopi sebelumnya
normal
Rendah
Penyuluhan
pada
penderita
untuk
Tidak perlu
menerapkan gaya hidup sehat
5. Penatalaksanaan
Berkaitan dengan terapi, karsinoma kolorektal, khususnya di Indonesia, sebagian besar
didiagnosis pada stadium lanjut atau manakala telah terjadi komplikasi ke struktur/organ
sekitar. Akibatnya, hasil akhir dari penatalaksanaan akan jauh dari yang diharapkan.
Beberapa risiko utama dari penatalaksanaan karsinoma kolorektal adalah tingginya
angka kekambuhan lokal, gangguan fungsi seksual, serta fungsi berkemih. Seperti halnya
tumor solid pada umumnya, pilihan modalitas terapi utama pada karsinoma kolorektal
adalah terapi pembedahan. Namun, saat ini telah banyak dikembangkan metode terapi
adjuvan, berupa kemo- dan radioterapi yang melalui berbagai studi telah terbukti
mengurangi insiden rekurensi dari karsinoma kolorektal pascareseksi.
20
a. Modalitas Terapi
-
Pembedahan
Prinsip reseksi karsinoma kolon adalah untuk mengangkat tumor primer bersama
dengan jaringan limfovaskularnya. Namun karena aliran limfatik pada kolon
acapkali mengikuti suplai arteri utama, panjang dari usus yang direseksi
bergantung pada vaskular yang mempendarahi segmen kolon yang terlibat
dengan kanker. Manakala omentum pun terlibat oleh infiltrasi jaringan tumor,
maka harus direseksi secara en bloc bersama dengan tumor primernya, yang
mencakup pula pengangkatan kolon normal ke arah proksimal dan distal dari
tumor. Sedikit berbeda dengan karsinoma pada kolon, prinsip reseksi karsinoma
pada rektum lebih kompleks karena struktur anatomis lain di sekitarnya, seperti
ureter, kandung kemih, prostat, vagina, pembuluh iliaka, dan sakrum. Oleh sebab
itu, tidak jarang jika sulit mendapatkan batas tepi sayatan bebas tumor, khususnya
yang telah ekstensi ke dinding usus oleh karena keterbatasan anatomi rongga
pelvis ini.
Berbagai pilihan terapi pembedahan untuk karsinoma kolorektal antara lain:

Pada kolon intraperitoneal dan rektum sepertiga atas
Reseksi dan anastomosis

Rektum sepertiga tengah
Reseksi abdominoperineal, reseksi anterior rendah (low anterior
resection), reseksi abdominosakralis, reseksi koloanal, eksisi lokal
(fulgurasi), TME, dan terapi radiasi primer

Rektum sepertiga bawah
Reseksi abdominoperineal, eksisi lokal (fulgurasi), dan terapi radiasi
primer.4
Seperti yang telah disebutkan, untuk rektum sepertiga tengah, dapat dilakukan
eksisi lokal untuk tumor rektal. Eksisi dilakukan pada area distal sepanjang 10 cm
pada rektum karena area tersebut dapat diakses secara transanal. Salah satu
contohnya adalah eksisi transanal untuk adenoma jinak nonsirkumferensial.
Namun
karena
segala
keterbatasan
dari
terapi
lokal
tersebut,
lebih
direkomendasikan untuk melakukan reseksi radikal pada sebagian besar kasus
21
karsinoma rektum, yaitu pengangkatan tumor bersama dengan jaringan
limfovaskular dengan batas dinding distal sepanjang 2 cm untuk reseksi kuratif.2
Untuk kanker rektum, sangat direkomendasikan melakukan total mesorectal
excision (TME) yang diketahui dapat mengurangi angka rekurensi lokal dan
memperbaiki angka survival. TME pada rektum bagian atas dilakukan sesuai
prosedur TME, sedangkan pada rektum bagian tengah dan bawah harus dilakukan
preservasi pada saraf-saraf otonom untuk mencegah disfungsi seksual dan
bladder. .
TME merupakan teknik diseksi tajam di sepanjang bidang anatomis untuk
memastikan reseksi komplit dari mesenterium rektal saat dilakukan reseksi
rendah dan anterior rendah ekstensif, sampai 5 cm di bawah tumor. Untuk rektum
bagian atas atau reseksi rektosigmoideksisi mesorektal parsial cukup dilakukan
minimal 5 cm distal dari tumor. Keuntungan dari TME selain dari angka
rekurensi yang rendah adalah rendahnya risiko perdarahan dan cedera nervus.
Gambar berikut menyajikan secara skematis bagaimana teknik bedah TME
dilakukan intraoperatif.2,4
22
Gambar 2.4 Prosedur Total Mesorectal Excision. Pada dua gambar pertama
dilakukan diseksi tajam pada bidang avaskular presakralis, di mana gambar kedua
memperlihatkan diseksi yang mencakup refleksio peritoneal. Pada gambar ketiga dilakukan
4
diseksi anterior yang melibatkan fasia Denonvilliers.
Gambar 2.5 Reseksi Abdominoperineal4
Berkaitan dengan topik besar mengenai karsinoma kolorektal, secara umum
terdapat berbagai macam metode teknik pembedahan untuk karsinoma kolorektal,
yang mana pilihannya bergantung pada stadium dan lokasi karsinoma tersebut.
Menurut
panduan
pengelolaan
adenokarsinoma
kolorektal
dari
Pokja
Adenokarsinoma Kolorektal Indonesia Revisi tahun 2006, prosedur standar
mengikuti prosedur yang dilakukan oleh Heald dkk.
Berikut ini adalah gambaran skematis untuk istilah berbagai reseksi segmental
pada kolon dan rektum sepertiga atas.
23
Gambar 2.6 Reseksi Kolon. Reseksi segmen A-C: Ileokolektomi; A + B – D: kolektomi
asendens; A + B – F: hemikolektomi kanan; A + B – G: hemikolektomi kanan ekstensif; E + F sampai G +
H: kolektomi transversum; G – I: hemikolektomi kiri; F – I: hemikolektomi kiri ekstensif; J + K: kolektomi
sigmoid (sigmoidektomi); A + B – J: kolektomi subtotal; A + B – K: kolektomi total; A + B – L:
proktokolektomi total.7
-
Kemoterapi Adjuvan dan Neoadjuvan
Pada stadium II, pasien dengan karsinoma kolorektal memiliki risiko tinggi
terjadinya rekurensi sistemik dan perlu mendapatkan kemoterapi. Menurut
panduan penatalaksanaan, beberapa faktor yang menempatkan seorang pasien
pada risiko tinggi terjadinya relaps antara lain:

Derajat keganasan 3-4

Invasi limfatik atau pembuluh darah

Obstruksi usus

Kurang dari 12 KGB yang diperiksa

Klasifikasi T4, N0, M0 atau T3 dengan perforasi terlokalisasi

Tepi sayatan positif untuk tumor atau tepi sayatan dengan penentuan batas
yang terlalu dekat dengan tumor atau sulit ditentukan.
Kemoterapi untuk karsinoma kolorektal telah berkembang pesat dalam dekade
terakhir. Beberapa protokol pemberian sitostatika pada kanker kolorektal yang
saat ini dianut, antara lain:

Capecitabine tunggal: 2500 mg/m2/hari terbagi dalam 2 dosis; hari 1-14
diikuti dengan 7 hari istirahat dan diulangi tiap 3 minggu
24

Protokol Mayo: leucovorin 20 mg/m2 bolus intravena hari 1-5; 5-FU 425
mg/m2 bolus intravena 1 jam setelah leucovorin hari 1-5, diulangi setiap 4
minggu.

Protokol Roswell-Park: leucovorin 500 mg/m2 intravena selama 2 jam
hari 1, 8, 15, 22, 29, dan 36; 5-FU 500 mg/m2 intravena 1 jam setelah
leucovorin pada hari-hari tersebut; diulangi setiap 6 minggu.

Protokol de Gramont: dekstro-leucovorin 200 mg/m2 (100 mg/m2 bila
digunakan levo-leucovorin atau ca-levofolinat) intravena selama 2 jam,
hari 1 dan 2; 5-FU 400 mg/m2 bolus intravena, kemudian 600 mg/m2
intravena selama 22 jam kontinyu, hari 1 dan 2; ulang setiap 2 minggu.
-
Radioterapi
Radiasi dalam kasus karsinoma kolorektal dapat diberikan pada tumor yang
bersifat resektabel maupun nonresektabel. Tujuan dari pemberian radiasi antara
lain:

Mengurangi risiko rekurensi lokal, terutama pada pasien dengan
prognosis dari histopatologis yang buruk

Meningkatkan kemungkinan preservasi sfingter

Meningkatkan kemungkinan resektabilitas tumor lokal jauh atau
nonresektabel sebelumnya

Mengurangi beban sel tumor sehingga mengurangi kemungkinan
kontaminasi sel tumor secara hematogenus saat operasi.
Radiasi dapat dilakukan secara eksternal, baik pre- maupun pascaoperatif,
brakiterapi/internal, baik intrakavitas maupun interstitial. Radiasi eksternal
pascaoperatif direkomendasikan untuk diberikan bersama infus 5-FU dan
leucovorinpada karsinoma T3N0. Pemberian brakiterapi endokaviter ditujukan
sebagai alternatif pembedahan pada kanker stadium 0. Kombinasi radiasi eksterna
dengan brakiterapi endokaviter diberikan sebagai alternatif pembedahan pada
stadium I dengan tumor kurang dari 3 cm, berdiferensiasi baik, tanpa ulserasi,
fiksasi, maupun keterlibatan kelenjar getah bening.2
25
6. Prognosis dan Komplikasi
a. Prognosis dan Survivabilitas
Prognosis kanker kolorektal secara skematis disajikan pada gambar berikut ini.
Diketahui bahwa progesivitas alami dari perjalanan klinis karsinoma kolorektal
meliputi invasi lokal, penyebaran limfatik, dan penyebaran hematogenosa. Pada
setiap 100 pasien yang awalnya dievaluasi, 30 orang di antaranya akan secara klinis
terdeteksi telah mengalami metastasis jauh, sedangkan 70 orang sisanya akan
menjalani proses reseksi untuk tumor lokal. Di antara ke-70 orang tersebut, 45 akan
sembuh dan sisanya mengalami rekurensi. Sampai saat ini, melalui berbagai studi
prospektif ditemukan bahwa angka survivabilitas 5 tahun adalah sebesar 62,1%.
Terdapat berbagai faktor yang berhubungan dengan prognosis tersebut, dan sedikit
banyak akan menentukan derajat risiko populasi dalam program deteksi dini.
Bagan 2.1 Perjalanan Klinis Natural Karsinoma Kolorektal4
b. Komplikasi
-
Rekurensi lokoregional
Kekambuhan lokoregional pada karsinoma di rektum mencakup kekambuhan
anastomosis, tumor bed, dan KGB. Pasien dengan kanker kolorektal sangat
memerlukan pemantauan yang intensif dan komprehensif, terutama pada pasien
yang telah menjalani reseksi tumor primer sesuai prosedur. Alasan yang
mendasari hal tersebut adalah karena 50% akan rekurensi dalam 18 bulan
pascapembedahan dan 90% dalam 3 tahun. Beberapa metode pemeriksaan yang
dapat dilakukan antara lain dengan CT scan (sensitivitas 95%), namun perlu
26
kehati-hatian karena terdapat granulasi pascapembedahan, edema, perdarahan,
dan fibrosis yang dapat membuat kerancuan dengan massa tumor yang dimaksud.
Kelemahan lain dari CT-scan (dan MRI) adalah tidak dapat membedakan tumor
jinak dan ganas. Untuk kekambuhan intraluminer, modalitas endoskopi dan
barium kontras ganda dapat digunakan (sensitivitas 97%). Penggunaan antigen
karsinoembrionik (carcinoembryonic antigen/CEA) dapat dievaluasi tiap 2-3
bulan selama 2 tahun atau lebih, di mana terjadinya peningkatan mengindikasikan
perlunya evaluasi metastasis. Prosedur kolonoskopi dapat dilakukan tiap 3-5
bulan jika perlu untuk mendeteksi kanker dan polip baru.
-
Metastasis
Metastasis secara hematogenus paling banyak terjadi pada hepar. Melalui studi,
diektahui reseksi metastasis hepar berkaitan dengan angka survivabilitas 5 tahun
sebanyak 25-30%. Pasien yang dapat menjadi kandidat untuk reseksi hepatik
akibat metastasis adalah pasien yang tidak terbukti memiliki tumor ekstrahepatik,
tidak terdapat kontraindikasi medis terhadap pembedahan, dan lesi ditemukan
dalam jumlah yang terbatas dengan batas sayatan negatif. Pada kasus metastasis
yang tidak dapat dilakukan reseksi, dapat diberikan alternatif kemoterapi regional
melalui arteri hepatika (contohnya Fluorodeoksiuridin). Untuk mendeteksi
metastatasis hepar, dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi dengan
sensitivitas 57% (berkurang menjadi 20% pada ukuran tumor lebih kecil dari 1
cm). Modalitas diagnostik lain adalah CT scan dengan kontras yang memiliki
sensitivitas tinggi (78-90%).
Situs metastatik lainnya adalah ke organ paru, yang memiliki insiden kurang
lebih 10%. Sampai saat ini belum ada metode diagnostik pilihan untuk kasus
metastasis paru sehingga sejauh ini dapat dilakukan foto polos thoraks rutin untuk
mendeteksi kasus asimptomatik. Situs metastasis lainnya adalah tulang dengan
insidensi 4%. Untuk kasus tersebut, bone scan merupakan pilihan metode paling
sensitif.2
27
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien, 57 tahun, datang dengan perdarahan dari dubur 2 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Melalui anamnesis, didapatkan bahwa pasien mengalami perdarahan dubur sebanyak + 600
ml, berwarna merah segar, tidak disertai tinja dan lendir. Terdapat riwayat konstipasi sejak 4
bulan sebelum episode perdarahan. Tidak ada riwayat diare dalam 2 bulan terakhir. Tidak ada
riwayat benjolan di perut. Tidak ada riwayat benjolan keluar dari dubur saat mengedan.
Riwayat perdarahan dari dubur sebelumnya disangkal.
Dari anamensis, diketahui bahwa pasien mengalami perdarahan saluran cerna bawah berupa
hematoskezia (warna merah segar), dimana diagnosis banding utama adalah keganasan
kolorektal dan hemoroid. Kecurigaan keganasan kolorektal diperkuat melalui demografi usia
pasien (> 50 tahun), serta anamnesis faktor risiko keganasan kolorektal, seperti riwayat
merokok selama > 35 tahun, konsumsi alkohol, rendahnya konsumsi serat, dan tingginya
konsumsi makanan kaya akan lemak jenuh. Sementara itu, tidak adanya riwayat benjolan
yang dirasakan keluar dari lubang dubur masih belum dapat menyingkirkan diagnosis
banding hemoroid sehingga diperlukan data tambahan klinis melalui pemeriksaan fisik dan
penunjang. Faktor risiko lain, seperti riwayat keganasan dalam keluarga, tidak ditemukan
pada pasien.
Berdasarkan tinjauan pustaka, kecurigaan keterlibatan kolorektal dapat berupa peningkatan
frekuensi defekasi minimal 6 minggu sebelum dilakukan pemeriksaan. Pada pasien, tidak
didapatkan hal serupa, yang dipikirkan karena presentasi klinis berupa perubahan pola
defekasi bergantung dari lokasi tumor. Perubahan pola defekasi lebih sering didapatkan pada
KKR kolon kiri (desenden) dibandingkan kolon kanan, oleh karena pada KKR kolon kiri
feses masih dalam bentuk cair. Di samping itu, pada kasus karsinoma daerah rektum,
presentasi klinis yang didapatkan lebih sering berupa hematoskezia. Hal tersebut membantu
mengarahkan analisis lokasi tumor yang paling mungkin pada pasien ini adalah di daerah
rektum. Dari literatur, diketahui bahwa sebagian besar KKR bersifat sporadik, seperti yang
terjadi pada pasien.
Pada pemeriksaan fisik, diperoleh indeks massa tubuh (IMT) pasien tergolong dalam kategori
overweight, yang merupakan salah satu faktor risiko KKR. Tidak didapatkan kelainan status
28
generalis pada pemeriksaan fisik. Pada colok dubur, teraba massa multipel di arah jam 5-6,
jarak 2 jari dari linea anokutan, tidak menutupi seluruh lumen, permukaan bernodul,
terfiksasi, terdapat nyeri tekan. Perabaan massa pada rektum pasien mendukung kecurigaan
adanya keganasan di daerah rektum, seperti yang diperoleh melalui anamnesis. Massa
tersebut menunjukkan tanda keganasan, yaitu permukaan bernodul yang terfiksasi (tidak
dapat digerakkan), serta terdapat nyeri tekan. Ukuran massa tidak dapat diperkirakan dengan
tepat pada pemeriksaan ini. Diketahui bahwa bentuk khas dari ulkus maligna seringkali
berupa tepi noduler yang menonjol dengan suatu kubah dalam dan ini merupakan bentuk
tersering, tapi tidak ditemukan tanda yang serupa pada pasien.
Derajat keganasan, stadium, lokasi, dan ekstensi massa yang teraba, dapat dikonfirmasi
melalui pemeriksaan penunjang. Hasil CT scan abdomen menunjukkan gambaran infiltrasi
minimal ke dasar buli dan tidak didapatkan gambaran metastasis hati. Sesuai dengan kriteria
penetapan stadium tumor menurut AJCC tahun 20108, tumor primer (T) pada pasien
termasuk dalam kategori T4b. Tidak diperoleh tanda-tanda penjalaran ke KGB regional
ataupun metastasis jauh. Secara teoritis, seluruh pasien dengan karsinoma rektum
direkomendasikan untuk menjalani pemeriksaan ultrasonografi endoluminal transrektal, yang
merupakan modalitas terbaik untuk mendiagnosis metastasis ke KGB regional. Pada pasien,
hanya dilakukan CT scan abdomen sehingga akurasi penentuan metastasis KGB tidak
setinggi akurasi pemeriksaan ultrasonografi endoluminal transrektal. Hal ini mempengaruhi
penentuan stadium dan tatalaksana. Pada foto polos thorax dan CT scan thorax, tidak
didapatkan gambaran metastasis paru.
Hasil biopsi hanya didapatkan sediaan dari massa yang dicurigai sebagai polip di daerah
kolon sigmoid, sedangkan massa rapuh pada rektum yang teraba pada pemeriksaan colok
dubur tidak dibiopsi. Kesenjangan tersebut akan mempengaruhi penatalaksanaan tumor. Oleh
sebab itu, disarankan biopsi ulang pada pasien. Jika tumor primer terbukti berada di daerah
rektosigmoid, pilihan terapi utama secara pembedahan adalah reseksi abdominoperineal,
yang bertujuan mengangkat massa, baik pada sigmoid maupun rektum. Selain itu, perlu
dilakukan pemeriksaan KGB regional, minimal 12 nodus limfa, yang dilanjutkan dengan
pengangkatan nodus terinfiltrasi secara radikal bila hasil pemeriksaan intraoperatif positif
untuk metastasis tumor. Pada pasien, tidak ditemukan tanda infeksi saluran cerna bawah
(gastroenteritis) sehingga pemberian antibiotik menjadi tidak rasional.
29
Bila dilakukan reseksi abdominoperineal pada pasien, perlu dilakukan follow up, berupa
pemeriksaan CEA setiap 3 bulan selama 2 tahun, dilanjutkan dengan pemeriksaan setiap 6
bulan selama 5 tahun. Kolonoskopi direkomendasikan 1 tahun setelah reseksi dan setiap 2 – 3
tahun setelahnya jika hasil pemeriksaan sebelumnya negatif.9,10
Pasien dan keluarga perlu diberikan edukasi, berupa penjelasan mengenai kanker usus besar,
pilihan tatalaksana, dan prognosis. Pendidikan terakhir pasien adalah diploma sehingga
edukasi dipikirkan dapat dimengerti oleh pasien dengan baik.
Program skrining di Indonesia belum berjalan dengan baik sehingga keganasan kolorektal
cenderung ditemukan pada stadium lanjut, dimana terapi kuratif bukan lagi menjadi pilihan.
Untuk meningkatkan survivabilitas, khususnya terhadap kemungkinan rekurensi tumor
primer, dapat diberikan terapi adjuvan, berupa kemo- ataupun radioterapi.2
30
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ahnen DJ, Macrae FA, Bendell J. Clinical manifestations, diagnosis, and staging of
colorectal cancer. Date Version 260. 2012 Oct;
2.
Kelompok
Kerja
Adenokarsinoma
Kolorektal.
Panduan
Penatalaksanaan
Adenokarsinoma Kolorektal. Jakarta; 2006.
3.
Tortora G, Derrickson B. Large intestine. Principles of Anatomy and Physiology. 12th
ed. Wiley; 2009.
4.
Chang AE, Morris AM. Colorectal cancer. In: Mulholland MW, Lillemoe KD, Doherty
GM, Maier RV, Upchurch GR, editors. Greenfield’s Surgery: Scientific Principles and
Practice. 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
5.
Cappell M. The patophysiology, clinical presentation, and diagnosis of colon cancer,
and adenomatous polyps. The Medical Clinics of North America. 1st ed. Elsevier Inc;
2005.
6.
Stein E. Anorectal and Colon Diseases: Textbook and Color Atlas of Proctology. 1st ed.
Limburgerhof: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2002.
7.
Bullard KM. Colon, rectum, and anus. In: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR,
Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE, editors. Schwartz’s Principles of Surgery. 8th ed. The
McGraw-Hill Companies; 2007.
8.
Obrocea FL, Sajin M, Marinescu EC, Stoica D. Colorectal cancer and the 7th revision of
the TNM staging system: review of changes and suggestions for uniform pathologic
reporting.
Romanian
J
Morphol
Embryol
Rev
Roum
Morphol
Embryol.
2011;52(2):537–44.
9.
Dominic OG, McGarrity T, Dignan M, Lengerich EJ. American College of
Gastroenterology Guidelines for Colorectal Cancer Screening
2008. Am J
Gastroenterol. 2009 Oct;104(10):2626–2627; author reply 2628–2629.
10. Levin B, Lieberman DA, McFarland B, Smith RA, Brooks D, Andrews KS, et al.
Screening and surveillance for the early detection of colorectal cancer and adenomatous
polyps, 2008: a joint guideline from the American Cancer Society, the US Multi-Society
Task Force on Colorectal Cancer, and the American College of Radiology. CA Cancer J
Clin. 2008 Jun;58(3):130–60.
31
LAMPIRAN
Foto polos thorax PA (23 Desember 2013 di RSCM)
Foto polos thorax 23 Desember 2013
Foto polos thorax PA (21Januari 2014 di RSCM)
Foto polos thorax 21 Januari 2014
32
CT Scan abdomen (3 Desember 2013 di RS Mitra Keluarga, Cibubur)
33
34
35
CT Scan thorax dengan kontras iopamidol 300 mg/ml (30 Desember 2013 di RSCM)
36
37
Download