MAKALAH PRESENTASI KASUS ADENOKARSINOMA REKTOSIGMOID Oleh: Calvin Kurnia Mulyadi (0906639726) Gracia Jovita Kartiko (0906552624) Modul Praktik Klinik Ilmu Bedah dan ATLS Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Januari 2014 BAB I ILUSTRASI KASUS I. Identitas Pasien Nama : Tn.UL Tanggal Lahir : 11 Juni 1956 Usia : 57 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Griya Bukit Jaya, Bogor Pekerjaan : Pekerja seni lukis dan teater Suku : Batak Agama : Protestan Status Perkawinan: Menikah Pendidikan : Diploma Nomor RM : 389-74-91 Tanggal masuk : 21 Januari 2014 Tanggal periksa : 22 Januari 2014 Tempat periksa II. : Ruang rawat inap gedung A lantai 4, kamar 416 Riwayat (Anamnesis pada pasien sendiri) 1. Keluhan utama Perdarahan dari dubur 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. 2. Riwayat penyakit sekarang Pasien dirujuk dari RS luar karena terdapat massa kanker pada daerah dubur sejak satu setengah bulan sebelum masuk RS. Dua bulan sebelum masuk RS (24 November 2013), pasien mengalami perdarahan yang keluar dari dubur sebanyak dua kali berselang satu jam pada malam hari (pukul 23.00 dan 00.00), berwarna merah segar dengan sedikit gumpalan seperti agar-agar, tidak disertai tinja dan lendir, jumlah darah yang keluar tiap kali perdarahan sekitar 1 gelas aqua. Setelah perdarahan yang kedua, pasien merasa lemas seperti mau pingsan. Terdapat perubahan BAB menjadi kecil-kecil. BAB harus dibantu pencahar. Tidak ada diare. Tidak ada riwayat benjolan keluar dari anus saat BAB. Tidak ada riwayat perdarahan dari dubur sebelumnya. Tidak ada mual, muntah, batuk, kembung, diare, benjolan pada tubuh, nyeri tulang, BAB hitam sebelumnya. Satu minggu kemudian pasien mengalami perdarahan yang serupa lalu dibawa ke RS swasta, dirawat selama 2 hari, dan mendapatkan transfusi darah sebanyak 2 kantong. Setelah itu, pasien dirujuk ke RS yang lain dan menjalani pemeriksaan colok dubur dan 2 teropong dengan biopsi. Dikatakan bahwa pada usus bagian bawah tampak ada massa tumur, hasil biopsi dikatakan ganas. Pasien juga menjalani pemeriksaan CT-scan di perut dan foto rontgen dada. Pasien kemudian dirujuk ke RSCM karena keterbatasan alat diagnostik dari RS tersebut. Sejak dua bulan sebelum episode perdarahan yang pertama, pasien merasakan sulit buang air besar. Riwayat diare disertai lendir darah dan demam hilang timbul disangkal. Tidak terdapat penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, badan terasa lemas, maupun keringat malam. Riwayat mual, muntah, sesak, kembung atau perut membesar, timbul benjolan di tempat lain disangkal. Sebelumnya pasien tidak pernah diradiasi di area tersebut. Saat pemeriksaan, pasien mengatakan tidak mengalami kesulitan BAB. Terkadang ada lendir disertai darah saat BAB. Nyeri perut atau daerah dubur tidak ada. Nafsu makan baik. Mual muntah tidak ada. BAK tidak ada keluhan. 3. Riwayat penyakit dahulu/pengobatan Lima belas tahun sebelum masuk RS pasien pernah menjalani pengobatan flek paru selama 1 tahun, minum obat Rifampisin dan beberapa obat lainnya, dikatakan sembuh oleh dokter yang merawat (sudah foto rontgen dan periksa dahak ulang). Riwayat HT, DM, asma, sakit jantung, ginjal, alergi disangkal. 4. Riwayat penyakit keluarga Tidak ada keluhan serupa atau riwayat keganasan di keluarga. 5. Riwayat kebiasaan/sosioekonomi Riwayat merokok 1 bungkus/hari selama kurang lebih 40 tahun (sejak SMA), terakhir merokok sejak 4 hari sebelum episode perdarahan pertama. Pasien juga kadang mengonsumsi minuman beralkohol 1 kaleng/minggu. Kebiasaan mengonsumsi makanan berlemak tinggi disangkal. Dari anamensis, ditemukan pasien jarang mengonsumsi serat. Pasien sering mengonsumsi daging sapi, ayam, dan kambing. Pasien bekerja sebagai pelukis dan pemain teater, sudah menikah dan memiliki 2 orang anak. Pembiayaan kesehatan menggunakan JKN. III. Pemeriksaan Fisik 1. Status Generalis Keadaan umum : Baik Kesadaran : Kompos mentis Status gizi : Cukup 3 Tinggi Badan : 165 cm Berat badan : 68 kg IMT : 25 kg/m2 (overweight) Tekanan darah : 120/50 mmHg Frek. Nadi : 90 kali permenit, kuat, isi cukup, reguler Frek. Napas : 18 kali/menit, dalam, teratur Suhu : 36,7°C (aksila) Kepala : normocephalus, tidak ada deformitas Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Hidung : tidak ada deviasi septum/pembesaran konka/hiperemis konka Mulut : oral hygiene baik, gigi berlubang tidak ada Leher : tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, JVP 5-2 cmH2O Paru : bunyi napas vesikuler, tidak ada ronkhi/wheezing Jantung : S1 S2 reguler, tidak ada murmur/gallop Abdomen : buncit/datar, lemas, hati limpa tidak teraba, tidak ada nyeri tekan, ballotement (-), shifting dullness (-), bising usus normal. Ekstremitas : akral hangat, tidak ada edema, capillary refill time < 2 detik 2. Status Lokalis Inspeksi : anus tidak tampak benjolan/kemerahan, tidak ada cairan/darah yang keluar dari anus Rectal touche : TSA baik, ampula tidak kolaps, mukosa teraba massa multipel di arah jam 5-6, jarak 1 cm dari linea anokutan, tidak menutupi seluruh lumen, permukaan bernodul, terfiksasi, nyeri tekan (+), pada sarung tangan didapatkan sedikit bercak darah berwarna merah kecoklatan, tinja (-), lendir (-). IV. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium Hematologi rutin Hemoglobin 11,1 g/dl Hematokrit 33,4 % Eritrosit 4,02 x 106/ul MCV 83,1 fL MCH 27,6 pg MCHC 33,2 g/dl 4 Leukosit 9.790/ul Trombosit 334.000/ul Hemostasis PT 11,2 detik (kontrol 12,1 detik) APTT 30,9 detik (kontrol 34,2 detik) Kimia Klinik SGOT 40 U/l SGPT 72 U/l Albumin 4,52 g /dl Kreatinin darah 1,2 mg/dl eGFR – EPI 68,1 ml/menit/1,73 m2 Ureum darah 28 mg/dl Glukosa Sewaktu 101 mg/dl CEA 9,16 Elektrolit Natrium 139 mEq/l Kalium 4,35 mEq/l Klorida 103,9 mEq/l 2. Pemeriksaan Radiologi a. Foto polos thorax PA (23 Desember 2013 di RSCM) Posisi asimetris. Jantung tidak membesar, CTR < 50%. Tampak elongasi aorta. Mediastinum superior tidak melebar. Trakea di tengah. Kedua hilus tidak menebal. Corakan vaskular kedua paru masih baik. Tidak tampak infiltrat/nodul. Lengkung hemidiafragma dan sinus kostofrenikus normal. Kesimpulan: Aorta elongasi. Tidak tampak kelainan radiologis pada jantung. Tidak tampak nodul metastasis paru. b. Foto polos thorax PA (21Januari 2014 di RSCM) Jantung tidak membesar, CTR < 50%. Aorta dan mediastinum superior tidak melebar. Kedua hilus tidak menebal. Tampak perselubungan di apeks paru kanan yang menarik trakea ke sisi kanan disertai gambaran honeycomb appearance. Infiltrat di lapang atas paru kiri. Penebalan pleura kanan. Lengkung hemidiafragma dan sinus kostofrenikus normal. Tulang kesan intak. Kesimpulan: atelektasis dan bronkiektasis lapang atas paru kanan dnegan infiltrat di lapang atas paru kiri dd/ TB paru, dibandingkan dnegan foto polos thorax 23 Desember 2013, kesan relatif stqa. Tidak tampak gambaran nodul metastasis paru. 5 c. Kolonoskopi (2 Desember 2013 di RS Luar) Tampak massa rapuh di rektum (5 cm dari anus). Tampak polip sesile kecil dan polip kecil bertangkai di kolon sigmoid. Tidak tampak kelainan mukosa kolon desenden, transversum, dan asenden. Caecum, muara apendiks, dan katup ileocaecal dikenali, tidak tampak kelainan. Tidak tampak kelainan mukosa ileum terminal. Kesimpulan: Massa rektum suspek malignansi, polip sesile dan polip bertangkai kolon sigmoid. d. CT Scan abdomen (3 Desember 2013 di RS Luar) Massa tumor rektum, berukuran + 40,5 x 51,1 mm. Belum tampak menyebabkan dilatasi sigmoid/kolon tetapi tampaknya telah menginfiltrasi minimal ke dasar buli. Tidak tampak kelainan/metastasis pada hepar, kantong empedu, pankreas, lien, dan kedua ginjal. Tidak tampak pembesaran KGB paraaorta/parailiaka/inguinal e. CT Scan thorax dengan kontras Iopamidol 300 mg/ml (30 Desember 2013 di RSCM) Atelektasis paru kanan segmen ½ kanan Emfisema lapang atas paru kanan dan kiri hingga perihilar kanan dan kiri TB paru lama aktif dengan bronkiektasis Tidak tampak nodul metastasis di paru saat ini. 3. Patologi Anatomi (3 Desember 2013 di RS Luar) Biopsi pada rektum dan polip sigmoid. Makroskopik : 2 buah jaringan biopsi, diameter masing-masing 0,1 cm, putih kenyal. Mikroskopik : Sediaan dengan keterangan berasal dari kolon sigmoid terdiri atas 2 keping kecil jaringan mukosa kolon berlapiskan epitel torak dnegan inti bertingkat, mencapai 1/3 sampai keseluruhan ketebalan lapisan epitel permukaan. Sel berinti atipik. Mitosis ditemukan. Tampak bagian papiler. Lamina propria bersebukan sel radang emndadak dan menahun. Tidak terdapat keping yang memperlihatkan lapisan muskularis mukosa pada sediaan ini. Kesimpulan : jaringan mukosa kolon dengan gambaran displasia ringan-keras dan bagian “intramucosal carcinoma”, kemungkinan adanya invasi lebih dalam belum dapat disingkirkan. 6 4. Pemeriksaan Lain a. Elektrokardiografi (tanggal 3 Desember 2013) Sinus rhytm, normoaxis, HR 80 kali/menit reguler, p wave normal, PR interval 0,2 detik, QRS complex 0,08 detik, T inverted (-), ST-T changes (-), LVH/RVH (-), BBB (-), RSR di II, III, aVF. b. Spirometri (16 Desember 2013 di RSCM) FEV1% : FVC% = Normal V. Diagnosis Adenokarsinoma rektosigmoid T4N0M0 VI. Rencana Tatalaksana VII. - Pro reseksi abdominoperineal - Persiapan preoperatif Surat izin operasi (SIO) Site marking Penjadwalan operasi Konsultasi toleransi operasi kardiologi, pulmonologi, anestesi Pemeriksaan: o Rontgen thoraks o Laboratorium: cek DPL, PT/APTT, Kreatinin, GDS, SGOT/SGPT - Diet biasa 1900 kkal/hari - Antibiotik Gentamycin 1 x 160 mg peroral Metronidazole 1 x 500 mg peroral Rencana Edukasi Menjelaskan mengenai kanker kolorektal, tatalaksana, dan prognosis Menjelaskan persiapan operasi dan puasa VIII. Prognosis - Ad vitam : dubia ad malam - Ad functionam : dubia ad malam - Ad sanactionam : dubia ad malam 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Epidemiologi Karsinoma Kolorektal Keganasan kolorektal (KKR) menempati posisi ketiga diagnosis terbanyak pada pria dan kedua terbanyak pada wanita di dunia, dengan 1,2 juta kasus baru serta 608.700 kematian pada 2008.1 KKR lebih sering terjadi pada pria dibandingkan dengan wanita. Insiden meningkat secara signifikan antara usia 40 – 50 tahun dan risiko akan meningkat dua kali lipat setiap dekade berikutnya. Di Indonesia, insiden tertinggi terjadi pada usia produktif, yaitu 30-50 tahun, dimana sebagian besar penderita darang dalam kondisi stadium lanjut atau telah terjadi komplikasi.2 2. Anatomi dan Patologi Kolorektal a. Anatomi Usus besar memiliki panjang 1,5 meter dengan diameter 6,5 cm, terbentang dari ileum hingga anus. Usus besar terbagi empat bagian, yaitu caecum, kolon, rektum, dan kanalis analis.3 Kolon dibagi menjadi kolon asenden, transversum, desenden, dan sigmoid. Kolon asenden dan desenden terletak retroperitoneal, sementara kolon transversum dan sigmoid intraperitoneal. Kolon sigmoid dimulai dari kolon dekat krista iliaka kiri, ke midline, hingga mencapai rektum pada posisi vertebra S3. Gambar 2.1 Anatomi Kolon dan Rektum3 Lapisan pada kolon dan rektum terdiri atas mukosa, submukosa, otot sirkular dalam (membentuk sfinger ani interna), otot longitudinal luar (terpisah menjadi 3 teniae coli pada 8 kolon, proksimal teniae bergabung di apendiks dan distal teniae bergabung di rektum), dan lapisan serosa (melapisi kolon intraperitoneal dan sepertiga rektum).4 Gambar 2.2 Drainase Limfatik Kolorektal4 Rektum memiliki panjang sekitar 20 cm, dimana 2 – 3 cm bagian terminalnya disebut kanalis analis.3 Rektum intraoperatif merupakan batas fusi duua taenia mesenterik dengan area amorfus rektum (true rectum), sedangkan pada pemeriksaan sigmoidoskopi kaku, rektum berjarak 12 – 15 cm dari anal verge.2 Anus menghubungkan kanalis analis dengan dunia luar. Sfingter ani interna tersusun oleh otot polos yang bekerja involunter dan sfingter ani eksterna tersusun atas otot rangka yang bekerja secara volunter.3 b. Patologi Lesi Jinak dan Ganas Kolorektal - Polip Jinak Polip merupakan pertumbuhan berlebih dari stroma ataupun kelenjar mukosa, berupa massa pada permukaan mukosa yang menonjol ke dalam lumen usus. 1) Polip non-neoplastik Yang termasuk polip jenis ini adalah polip reaktif (tumbuh akibat jejas kronik) dan polip hamartomatosa. 2) Polip hiperplastik/metaplastik Pada polip hiperplastik dapat ditemukan mutasi gen ras. Karakteristik poli ini adalah hiperplasia, pemanjangan kripti, dan proliferasi epitel, yang kemudian membentuk tonjolan pseudostratifikasi sel epitel ke dalam lumen kripti, yang memberikan gambaran histologik shaw tooth. Pada polip hiperplastik belum ditemukan displasia, 9 inti sel terletak di basal, monomorfik, dengan sitoplasma bervakuola berisikan musin. 3) Polip inflamatorik Terjadi pada mukosa yang mengalami inflamasi kronik, seperti inflammatory bowel disease atau divertikulitis. Gambaran histologi menunjukkan mukosa yang meradang, epitel dan kelenjar tampak reaktif, kadang ditemukan jaringan granulasi atau proliferasi jaringan ikat di laminna propria. 4) Polip hamartoma Merupakan proliferasi abnormal komponan jaringan normal yang ada pada suatu organ, antara lain polip juvenile, familial juvenile polyposis, polip Peutz Jeghers, polip Cronkite-Canada, sindrom Cowden. 5) Polip limfoid Merupakan hasil agregasi MALT (mucosa-associated lymphoid tissue) pada area mukosa hingga submukosa dengan centrum germinativum reaktif. - Polip Neoplastik/Adenoma Adenoma merupakan lesi prekanker yang menunjukkan ciri neoplasma, yaitu disregulasi pertumbuhan dan kegagalan diferensiasi. Disregulasi pertumbuhan ditandai adanya area proliferatif yang bergerser ke permukaan mukosa dan kegagalan pematangan sel epitel kripta, serta ditemukannya sel imatur atau basaloid di permukaan mukosa. Pada bagian atas kripta, tidak ditemukan lagi sel absorbtif matur yang ditandai dengan tidak ditemukannya musin di sitoplasma dan tidak tampak lagi sel goblet matur. 1) Adenoma tubular Umumnya pedunculated atau datar. Gambaran mikroskopi berupa proliferasi kripta yang dilapisi epitel kolumnar yang displastik. Lamina propria bersebukan limfosit, sel plasma, dan eosinofil. 2) Adenoma vilosum Berupa proloferasi kelenjar yang membentuk pola seperti jari atau papil runcing, yang dilapisi sel epitel yang displastik. 3) Adenoma tubulovilosum Merupakan campuran bentuk tubular dan vili, dapat juga berupa adenoma vilosum yang mengandung struktur tubuler. Struktur vili berkisar 35 – 75%. 4) Adenoma serrated Bentuk dapat sessile ataupun pedunculated. Gambaran mikroskopik berupa polip hiperplastik, seperti shaw tooth, namun pada serrated, adenoma memiliki ciri displasia epitel. Epitel tampak bertumpuk dengan inti hiperkromatik, anak inti nyata, dan sitoplasma mengandung sedikit musin. 10 5) Adenoma datar Merupakan varian tubular, dengan ketebalan mukosa yang mengalami displasia tidak lebih dari 2 kali ketebalan mukosa non displastik. Mukosa yang displastik pada umumnya terkonsentrasi di permukaan. 6) Adenoma hipersekretorik Merupakan varian vilosum, yang memproduksi mukus. Vili dilapisi oleh sel displastik dan ditemukan sel goblet proliferatif dengan susuanan maupun bentuk sel tidak normal atau kehilangan polaritas. Sel goblet ini disebut distrofik, dengan ukuran bervariasi dan inti terletak eksentrik, tidak terletak di basal, seperti sel goblet normal. - Polip Ganas Istilah yang sering digunakan untuk menyebut polip ganas adalah adenokarsinoma in adenoma atau adenoma dengan fokus adenokarsinoma. Pada lesi ini, akan dijumpai invasi sel ganas ke submukosa. Polip ganas selanjutnya dibedakan menjadi: 1) Polip ganas dengan prognosis baik Derajat keganasan grade 1 atau 2, tidak terdapat invasi angiolimfatik, tidak ditemukan tumor pada batas sayatan 2) Polip ganas dengan prognosis buruk Derajat keganasan grade 3 atau 4, ditemukan invasi angiolimfatik, batas sayatan tidak bebas tumor: ditemukan sel tumor < 1 mm dari batas sayatan, pada jaringan yang mengalami diatermi (lesi akibat panas oleh elektrokauter). c. Jenis Histologik Karsinoma Kolorektal - Adenokarsinoma 1) Adenokarsinoma musinosum. Komponen musinosum > 50% 2) Signet ring cell carcinoma. Komponen musin intrasitoplasma > 50% 3) Karsinoma adenoskuamosa. Mengandung komponen karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma. 4) Karsinoma medular. Sel tumor tersusun seperti lembaran, inti vesikuler, anak inti nyata, sitoplasma eosinofilik, dan ditemukan banyak infiltrasi limfosit di sekitar massa tumor. 5) Karsinoma tidak berdiferensiasi. Komponen sel berdiferensiasi sedikit. - Karsinoid Dibagi menjadi tumor neuroendokrin berdiferensiasi baik, sedang, dan buruk (small cell carcinoma pada usus). - Mixed dan composite carcinoid-adenocarcinoma Komponen adenokarsinoma dan karsinoid bergabung. adenokarsinoma dan karsinoid terpisah dengan batas tegas.2 11 Pada tipe komposit, d. Karsinogenesis Perjalanan KKR memiliki dua jalur utama untuk terjadinya inisiasi tumor dan progesi, yaitu LOH (Loss of Heterzygocity) dan RER (Replication Error). Jalur LOH memiliki karakteristik delesi kromosomal dan aneuploid tumor, dimana 80% KKR merupakan hasil dari mutasi pada jalur LOH. 20% sisanya merupakan mutasi pada jalur RER, dengan karakteristik kesalahan pada mismatch repair selama replikasi DNA. Jalur LOH: 1) Defek gen APC Defek ini pertama kali dijelaskan pada pasien dengan FAP. Mutasi ini didapatkan juga pada 80% dari KKR sporadik. APC gen merupakan gen supresi tumor. Mutasi pada kedua alel dapat menginisiasi pembentukan polip. Pada FAP, lokasi mutasi berhubungan dengan derajat keparahan penyakit. 2) K-ras Merupakan protoonkogen. Mutasi pada satu alel dapat mengganggu siklus sel. Mutasi pada K-ras menyebabkan GTP tidak dapat dihidrolisis, dan kemudian protein G tetap dalam bentuk aktif. Hal ini dipikirkan akan berujung pada pembelahan sel yang tidak terkontrol. 3) DCC Merupakan gen supresi tumor dimana dibutuhkan keterlibatan dua alel untuk terjadi keganasan. Gen ini terlibat dalam diferensiasi sel. Mutasi DCC didapatkan pada 70% KKR. 4) p53 Merupakan gen supresi tumor yang menginisiasi apoptosis sel. Mutasi p53 didapatkan pada 75% KKR.4 Gambar 2.3 Proses Karsinogenesis Karsinoma Kolorektal4 Pada jalur RER, sejumlah gen yang berfungsi, baik untuk mengenali dan memperbaiki kesalahan replikasi DNA, seperti hMSH2, hMLH1, hPMS1, hPMS2, dan hMSH6/GTBP, 12 mengalami mutasi. Akibatnya, terdapat predisposisi mutasi sel dan akumulasi yang akan menyebabkan instabilitas genom dan berujung pada karsinogenesis. Jalur RER dihubungkan dengan instabilitas mikrosatelit, yang rentan terhadap kesalahan replikasi.Tumor dengan instabilitas mikrosatelit memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan tumor yang berasal dari jalur LOH dengan mikrosatelit yang stabil.4,5 KKR berawal dari mukosa yang kemudian menginvasi dinding usus dan jaringan sekitar. Tumor dapat menjadi besar dan menyebabkan obstruksi. Perluasan lokal, khususnya ke rektum, dapat menyebabkan obstruksi organ lain, seperti ureter. Keterlibatan KGB regional merupakan bentuk penyebaran tersering dari KKR dan biasanya mendahului metastasis jauh atau perkembangan karsinomatosis (metastasis peritoneal difus). Kecenderungan metastasis KGB meningkat seiring dengan ukuran tumor, derajat diferensiasi, invasi limfovaskular, dan kedalaman invasi. Lesi kecil pada dinding usus (T1 dan T2, lihat penentuan stadium) dihubungkan dengan metastasis KGB pada 5-20% kasus, sementara pada tumor T3 dan T4 dijumpai metastasis KGB pada 50% kasus. Keterlibatan empat atau lebih KGB memberikan gambaran prognosis buruk. Metastasis terjadi secara hematogen melalui sistem vena porta.2 3. Faktor Risiko dan Faktor Protektif Faktor risiko KKR, antara lain: 1) Penuaan. Penuaan merupakan faktor risiko dominan, dengan insiden meningkat di atas usia 50 tahun. 2) Genetik. Sebesar 70-80% KKR terjadi sporadik, dengan 20% terjadi pada orang dengan riwayat KKR pada keluarga. 3) Lingkungan dan pola diet. Diet tinggi lemak jenuh meningkatkan risiko KKR., sementara diet tinggi asam oleat (minyak zaitun, minyak kelapa, minyak ikan) tidak meningkatkan risiko. Sebaliknya, diet tinggi sayur menjadi faktor protektif dari KKR. Asupan kalsium, selenium, vitamin A, C, dan E dapat menurunkan risiko perkembangan KKR. Obesitas dan gaya hidup sedentari meningkatkan mortalitas pada beberapa jenis keganasan, termasuk KKR. 4) Inflammatory bowel disease 5) Lain-lain, seperti merokok berhubungan dengan peningkatan risiko adenoma kolon, terutama dengan durasi merokok lebih dari 35 tahun. Pasien dengan ureterosigmoidostomi memiliki risiko untuk formasi adenoma atau karsinoma. Akromegali dihubungkan dengan peningkatan kadar hormon pertumbuhan dan insulinlike growth factor-1. Radiasi pelvis meningkatkan risiko perkembagan karsinoma rektal. 13 Faktor lingkungan yang beragam dengan predisposisi genetik atau defek yang didapat akan bekembang menjadi KKR.1,2,4 Terdapat 3 kelompok KKR berdasarkan perkembangannya: 1) KKR diturunkan (10%). Kelompok yang diturunkan merupakan mutasi sel germinativum sejak lahir pada salah satu alel dan terjadi mutasi somatik pada alel. 2) KKR sporadik (70%). Kelompok ini membutuhkan dua mutasi somatik, dengan satu pada masing-masing alel. 3) KKR familial (20%). Lebih dari 35% dari KKR familial terjadi pada usia muda. Dipikirkan KKR jenis ini dapat terjadi secara kebetulan, ataupun adanya peran faktor lingkungan, penetrasi mutasi yang lemah, atau mutasi germinativum yang sedang berlangsung.2 Faktor risiko KKR yang perlu diperhatikan: 1) Sindrom KKR yang diturunkan. Faktor genetik ini diturunkan secara autosomal dominan, tersering adalah FAP (Familial Adenomatous Polyposis) dan Sindrom Lynch (HNPCC (Hereditary Nnpolyposis Colorectal Cancer)), yang terjadi sekitar 5% dari KKR. Pada kelompok HNPCC, terdapat tingkat risiko untuk menderita KKR (kriteria Amsterdam): Tabel 2.2 Klasifikasi Risiko Karsinoma Kolorektal pada Populasi Umum2 Risiko Tinggi Kriteria Minimal 3 anggota keluarga menderita KKR atau dua dengan KKR dan satu dengan karsinoma endometrial pada minimal dua generasi. Satu dari anggota keluarga telah menderita KKR pada usia < 50 tahun dan salah satu anggota yang didiagnosis adalah silsilah pertama. Sedang Seorang anggota keluarga silsilah pertama menderita KKR pada usia < 45 tahun, atau dua anggota keluarga silsilah pertama menderita KKR (seorang pada usia < 55 tahun), atau dua/tiga anggota keluarga (seorang pada usia < 55 tahun) dengan KKR/karsinoma endometrial yang merupakan silsilah pertama. Rendah Tidak memenuhi kriteria tinggi atau sedang. Apabila tidak dilakukan terapi, 7% penderita FAP akan menderita adenoma pada usia 21 tahun, 50% pada usia 39 tahun, dan 90% pada usia 45 tahun. 2) Riwayat penyakit atau riwayat keluarga dengan KKR sporadik atau polip adenomatosa. Riwayat keluarga derajat pertama dengan KKR meningkatkan risiko sebesar 2 kali lipat dibandingkan dengan populasi umum. 3) Kolitis Ulseratif. Risiko KKR meningkat 8 – 10 tahun setelah diagnosis awal pankolitis dan 15 – 20 tahun pada kolitis kolon kiri. Probabilitas meningkat seiring dengan 14 peningkatan durasi kolitis, mencapai 30% pada dekade ke-4 pankolitis. Penyakit Crohn, masih dalam penelitian lebih lanjut. 4) Ras/etnik dan jenis kelamin. Mortalitas KKR 20% lebih tinggi pada etnik Afrika-Amerika sehingga skrining dimulai pada usia 45 tahun dan menggunakan kolonoskopi. Mortalitas KKR 25% lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita, dimana pada wanita, adenoma ataupun KKR terjadi lebih proksimal. 5) Transplantasi ginjal yang dihubungkan dengan imunosupresi jangka panjang akan meningkatkan risiko KKR. 6) Diabetes melitus dan resistansi insulin. Risiko KKR 38% lebih tinggi untuk kanker kolon dan 20% lebih tinggi untuk kanker rektum. Kejadian ini dihubungkan dengan hiperinsulinemia, dimana insulin merupakan faktor pertumbuhan yang penting bagi sel mukosa kolon dan insulin menstimulasi sel tumor kolon. Konsentrasi IGF-1 (Insulin-like Growth Factor-1) dalam plasma dan peptida C (indikator produksi insulin) meningkatkan risiko KKR, sementara IGFBP-3 (IGF binding protein-3) merupakan faktor protektif. 7) Terapi deprivasi androgen. Pria yang menjalani terapi agonis GnRH atau orkidektomi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk KKR, dan risiko meningkat seiring durasi terapi. 8) Kolesistektomi. Terdapat hubungan kolesistektomi dengan kanker kolon kanan, tetapi tidak ditemukan pada kanker kolon distal. Mekanisme yang terjadi dipikirkan karena gangguan komposisi asam empedu pada kolon setelah tindakan. 9) Alkohol. Terdapat peningkatan risiko KKR yang signifikan pada konsumsi alkohol berat (> 4 porsi/hari) dan sedang (2-3 porsi/hari). Pada konsumsi ringan (< 1 porsi/hari), dengan kadar etanol 10 g/hari, didapatkan peningkatan risiko KKR sebesar 7%. Hal ini dipikirkan karena terganggunya penyerapan folat oleh alkohol dan menurunnya asupan folat. 10) Obesitas. Terdapat peningkatan risiko 1,5 kali dibandingkan dengan berat badan yang normal (IMT 18,5 – 24,9 kg/m2). Risiko karsinoma kolon meningkat 15% pada orang overweight (IMT > 25 kg/m2) dan 33% pada obesitas (IMT > 20 kg/m2). 11) Faktor risiko lain, seperti penyakit jantung coroner, merokok, konsumsi jangka panjang daging merah atau daging proses, dan radiasi area abdomen. Adapun beberapa faktor yang diketahui bersifat protektif, antara lain: 1) Aktivitas fisik yang teratur, minimal 30 menit/hari. 2) Diet. Konsumsi sayur dan buah memiliki risiko relatif 0,5 pada kelompok tertinggi dan terendah. 3) Vitamin dan mineral. Folat dipikirkan menghambat patogenesis kanker di jaringan, termasuk kolon. Suplementasi asam folat 400 mg/hari menurunkan kejadian KKR, begitu pula dengan vitamin E, D, B6, dan magnesium. 15 4) Kalsium dan produk susu. Kalsium dapat mencegah rekurensi adenoma kolorektal pasca polipektomi, bergantung pada kadar vitamin D (berhubungan dengan genotipe reseptor vitamin D). Dosis kalsium yang dipakai adalah 1.250 – 2000 mg. 5) NSAID. Menghambat produksi prostaglandin, melalui hambatan COX. Terjadi peningkatan apoptosis dan gangguan pertumbuhan sel tumor melalui inhibisi COX-2 yang berfungsi merangsang angiogenesis KKR. 6) Terapi hormon post menopause. Terapi ini dihubungkan dengan penurunan risiko kanker kolorektal pada wanita yang menjadi terapi kombinasi estrogen dan progestin.2,4 4. Penegakan Diagnosis, Modalitas Diagnostik, Staging, dan Program Deteksi Dini a. Klinis Kecurigaan klinis timbul manakala didapatkan riwayat perdarahan peranal disertai peningktan frekuensi defekasi dan/atau diare selama minimal 6 minggu (semua umur); perdarahan peranal tanpa gejala anal (di atas 60 tahun); peningkatan frekuensi defekasi atau diare selama minimal 6 minggu (di atas 60 tahun); perabaan massa teraba pada fossa iliaka dekstra (semua umur); atau perabaan massa intraluminal dalam rectum; dan tanda obstruksi mekanik usus. Dapat pula terjadi pada penderita dengan anemia defisiensi besi (Hb < 11 g/dl pada pria dan Hb < 10 g/dl pada wanita pasca menopause). Setiap penderita yang secara klinis dicurigai KKR, seluruh kolon dan rektum perlu dinilai, salah satunya dengan colok dubur, yang mencakup: - Keadaan tumor. Ekstensi lesi pada dinding rektum, letak bagian terendah terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os coccyges. Pada wanita, perlu dilakukan palpasi melalui vagina untuk mengetahui apakah mukosa di atas tumor licin, dapat digerakkan, ada perlekatan, atau ulserasi, serta untuk menilai batas atas dari lesi anular. - Mobilitas tumor. Lesi awal biasanya masih dapat digerakkan apda lapisan otot dinding rektum. Pada lesi denga ulserasi lebih dalam, terjadi perlekatan dan fiksasi karena penetrasi/perlekatan ke struktur ekstrarektal, seperti prostat, vesika urinaria, dinding posterior vagina, atau dinding anterior uterus. - Ekstensi penjalaran, yang diukur dari besar tumor dan karakteristik pertumbuhan primer, mobilitas, dan fiksasi lesi. Terdapat dua gambaran khas pada colok dubur, yaitu indurasi dan penonjolan pada tepi, yang dapat berupa: - Pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi, seperti cakram kecil dengan permukaan licin dan batas tegas - Pernonjolan yang rapuh, biasanya lunak, namun umumnya mempunyai beberapa daerah indurasi dan ulserasi 16 - Bentuk khas dari ulkus maligna dengan tepi nodular yang menonjol dengan kubah yang dalam (bentuk paling sering) - Bentuk karsinoma anular yang teraba sebagai pertumbuhan bentuk cincin. b. Penunjang Terdapat tiga macam pemeriksaan penunjang yang efektif dalam diagnosis KKR: - Barium enema dengan kontras ganda Pemeriksaan enema barium dengan kontras ganda memiliki keunggulan, yaitu sensitivitas yang cukup tinggi (65 – 95%), aman, tingkat keberhasilan prosedur tinggi, tidak memerlukan sedasi, dan telah terjangkau. Kelemahan pemeriksaan enema barium dengan kontras ganda disebabkan oleh lesi T1 sering tidak terdeteksi, akurasi diagnosis lesi rektosigmoid dengan divertikulosis dan caecum rendah, akurasi diagnosis lesi tipe datar rendah, sensitivitas diagnosis polip < 1 cm rendah (70 – 95%), dan pasien terpapar radiasi. - Endoskopi Jenis endoskopi yang digunakan adalah sigmoidoskopi rigid, fleksibel, dan kolonoskopi. Untuk visualisasi kolon dan rektum, sigmoidoskopi fleksibel lebih efektif diabndingkan dengan sigmoidokopi rigid. Pada semua kasus yang dicurigai KKR, sebaiknya dilakukan kolonoskopi. Apabila kolonoskopi tidak dapat dilakukan, dilakukan sigmoidoskopi dilanjutkan enema barium kontras ganda. Keunggulan kolonoskopi antara lain sensitivitas mencapai 95% dalam diagnosis adenokarsinoma atau polip kolorektal, dapat berfungsi sebagai alat diagnostik melalui biopsi dan terapi pada polipektomi, dapat mengidentifikasi dan seksi synchronous polyp, serta tidak ada paparan radiasi. Akan tetapi kerugiannya mencakup kesulitan untuk mencapai caecum, memerlukan sedasi intravena, tidak dapat melokalisasi tumor secara akurat, dan tingkat mortalitas 1:5000 kolonoskopi. - Pneumocolon Computed Tomography (PCT) Keunggulan PCT, yaitu sensitivitas tinggi dalam diagnosis KKR, toleransi penderita baik, serta mampu memberi informasi mengenai keadaan di luar kolon, termasuk untuk penentuan stadium, melalui penilaian invasi lokal, metastasis hepar, dan KGB. Adapun kerugiannya dapat berupa ketidakmampuan untuk mendiagnosis polip < 10 mm, paparan radiasi yang lebih tinggi, tidak dapat menentukan metastasis KGB apabila KGB tidak membesar, kurangnya operator yang kompeten, serta tidak dapat dilakukan biopsi atau polipektomi.2,6,7 c. Derajat Keganasan, Staging, Pembagian Stadium Klinis, dan Stadium Histopatologis Derajat keganasan tumor berdasarkan World Health Organization (WHO): Grade I : tumor diferensiasi baik, struktur glandular > 95% 17 Grade II : tumor diferensiasi sedang, struktur glandular 50-95% Grade III : tumor diferensiasi buruk, struktur glandular 5-50% Grade IV : tumor tidak berdiferensiasi, struktur glandular < 5%.2 Awalnya, staging KKR menggunakan sistem Dukes, namun saat ini sudah ditinggalkan. Staging dan pembagian stadium klinis KKR mengacu pada revisi panduan American Joint Committee on Cancer (AJCC) edisi ke-7 tahun 2010, sebagai berikut: - Tumor (T) Tx : tumor primer tidak dapat dinilai T0 : tidak terdapat bukti keberadaan tumor primer Tis : karsinoma insitu, intraepitelial atau invasi lamina propria T1 : tumor menginvasi submukosa T2 : tumor menginvasi lapisan muskularis propria T3 : tumor menginvasi melalui muskularis propria ke jaringan perikolorektal T4a : tumor penetrasi ke permukaan lapisan peritoneum viseral T4b : tumor menginvasi langsung atau melekat pada organ atau struktur sekitarnya - Nodul (N) Kelenjar Getah Bening (KGB) Regional Nx : nodus limfa regional tidak dapat dinilai N0 : tidak terdapat metastasis ke kelenjar getah bening regional N1 : metastasis pada 1-3 KGB regional N1a : metastasis hanya pada 1 KBG regional N1b : metastasis pada 2-3 KGB regional N1c : deposit tumor pada subserosa, mesenterika, atau jaringan perikolik atau perirektal yang tidak terselubungi oleh selaput peritoneal tanpa disertai metastasis KGB regional N2 - : metastasis pada 4 atau lebih KGB regional N2a : metastasis pada 4-6 KGB regional N2b : metastasis pada 7 atau lebih KGB regional Metastasis (M) M0 : tidak terdapat metastasis jauh M1 : terdapat metastasis jauh M1a : metastasis terbatas pada satu organ, seperti hati, paru, ovarium, atau nodus nonregional M1b : metastasis pada lebih dari satu organ/situs atau ke peritoneum.8 18 Tabel 2.3 Klasifikasi Stadium Klinis Pasien Karsinoma Kolorektal8 Perlu diketahui bahwa klasifikasi Tis meliputi sel kanker yang terbatas dalam membran basal kelenjar mukosa (intraepitelial) atau lamina propria mukosa (intramukosal) tanpa ekstensi dari mukosa pars muskularis ke submukosa. Invasi langsung pada klasifikasi T4 yang dimaksud adalah infiltrasi massa tumor ke jaringan sekitar melalui serosa, seperti invasi kolon sigmoid oleh karsinoma pada sekum, atau tumor pada dinding posterior kolon desenden yang menginfiltrasi ginjal kiri atau dinding abdomen lateral. Pada beberapa klasifikasi, kadang dicantumkan tulisan cTNM dan pTNM, di mana c yang dimaksud adalah clinical atau klasifikasi klinis dan pathological atau klasifikasi patologis, secara berturutturut. d. Deteksi Dini (Skrining), Metode, Indikasi, dan Rekomendasinya KKR memiliki peranan penting dalam meningkatkan angka survival dan menurunkan morbiditas serta mortalitas. Skrining merupakan investigasi pada individu asimtomatik, yang bertujuan untuk mendeteksi adanya penyakit pada stadium dini sehingga dapat dilakukan terapi kuratif.2 Indikasi dilakukannya skrining adalah: - Usia di atas 40 tahun - Kelompok masyarakat dengan risiko tinggi: Kolitis ulseratif atau penyakit Crohn selama lebih dari 10 tahun Telah menjalani polipektomi pada adenoma kolorektal Riwayat keluarga dengan KKR. Metode deteksi dini pada populasi umum: 1) Uji darah samar feses setiap tahun. Uji ini menurunkan mortalitas KKR sebesar 16% hingga 23% 19 2) Sigmoidoskopi fleksibel dan kolonoskopi. Kebanyakan KKR berasal dari adenoma sehingga setiap lesi perlu diangkat. Tindakan polipektomi telah terbukti menurunkan risiko KKR. Metode deteksi dini pada populasi dengan risiko tinggi: 1) Penderita kolitis ulseratif atau penyakin Crohn > 10 tahun. Bila > 20 tahun atau ditemukan displasia, kolonoskopi dilakukan setiap tahun 2) Penderita yang telah menjalani polipektomi pada adenoma kolorektal. Bila telah menjalani polipektomi adenoma kolorektal: follow up kolonoskopi; bila ukuran polip < 1 cm pada follow up maka dilakukan kolonoskopi setiap 5 tahun; bila ditemukan > 3 adenoma atau paling sedikit satu berukuran > 1 cm atau adanya displasia berat maka dilakukan kolonoskopi setiap 3 tahun. 3) Riwayat keluarga KKR.2 Tabel 2.3 Rekomendasi Deteksi Dini Menurut Tingkat Risiko2 Risiko Tinggi Kriteria Usia skrining Kolonoskopi setiap 2 tahun; tawarkan 30 – 70 tahun; untuk Ca gaster skrining usia 50 – 70 tahun tumor ginekologi; upper GI endoskopi setiap 2 tahun; deteksi dini untuk kanker lain yang berhubungane HNPCC Sedang Kolonoskopi tunggal; kolonoskpi ulang 30 – 35 tahun dan 55 tahun satu kali jika kolonoskopi sebelumnya normal Rendah Penyuluhan pada penderita untuk Tidak perlu menerapkan gaya hidup sehat 5. Penatalaksanaan Berkaitan dengan terapi, karsinoma kolorektal, khususnya di Indonesia, sebagian besar didiagnosis pada stadium lanjut atau manakala telah terjadi komplikasi ke struktur/organ sekitar. Akibatnya, hasil akhir dari penatalaksanaan akan jauh dari yang diharapkan. Beberapa risiko utama dari penatalaksanaan karsinoma kolorektal adalah tingginya angka kekambuhan lokal, gangguan fungsi seksual, serta fungsi berkemih. Seperti halnya tumor solid pada umumnya, pilihan modalitas terapi utama pada karsinoma kolorektal adalah terapi pembedahan. Namun, saat ini telah banyak dikembangkan metode terapi adjuvan, berupa kemo- dan radioterapi yang melalui berbagai studi telah terbukti mengurangi insiden rekurensi dari karsinoma kolorektal pascareseksi. 20 a. Modalitas Terapi - Pembedahan Prinsip reseksi karsinoma kolon adalah untuk mengangkat tumor primer bersama dengan jaringan limfovaskularnya. Namun karena aliran limfatik pada kolon acapkali mengikuti suplai arteri utama, panjang dari usus yang direseksi bergantung pada vaskular yang mempendarahi segmen kolon yang terlibat dengan kanker. Manakala omentum pun terlibat oleh infiltrasi jaringan tumor, maka harus direseksi secara en bloc bersama dengan tumor primernya, yang mencakup pula pengangkatan kolon normal ke arah proksimal dan distal dari tumor. Sedikit berbeda dengan karsinoma pada kolon, prinsip reseksi karsinoma pada rektum lebih kompleks karena struktur anatomis lain di sekitarnya, seperti ureter, kandung kemih, prostat, vagina, pembuluh iliaka, dan sakrum. Oleh sebab itu, tidak jarang jika sulit mendapatkan batas tepi sayatan bebas tumor, khususnya yang telah ekstensi ke dinding usus oleh karena keterbatasan anatomi rongga pelvis ini. Berbagai pilihan terapi pembedahan untuk karsinoma kolorektal antara lain: Pada kolon intraperitoneal dan rektum sepertiga atas Reseksi dan anastomosis Rektum sepertiga tengah Reseksi abdominoperineal, reseksi anterior rendah (low anterior resection), reseksi abdominosakralis, reseksi koloanal, eksisi lokal (fulgurasi), TME, dan terapi radiasi primer Rektum sepertiga bawah Reseksi abdominoperineal, eksisi lokal (fulgurasi), dan terapi radiasi primer.4 Seperti yang telah disebutkan, untuk rektum sepertiga tengah, dapat dilakukan eksisi lokal untuk tumor rektal. Eksisi dilakukan pada area distal sepanjang 10 cm pada rektum karena area tersebut dapat diakses secara transanal. Salah satu contohnya adalah eksisi transanal untuk adenoma jinak nonsirkumferensial. Namun karena segala keterbatasan dari terapi lokal tersebut, lebih direkomendasikan untuk melakukan reseksi radikal pada sebagian besar kasus 21 karsinoma rektum, yaitu pengangkatan tumor bersama dengan jaringan limfovaskular dengan batas dinding distal sepanjang 2 cm untuk reseksi kuratif.2 Untuk kanker rektum, sangat direkomendasikan melakukan total mesorectal excision (TME) yang diketahui dapat mengurangi angka rekurensi lokal dan memperbaiki angka survival. TME pada rektum bagian atas dilakukan sesuai prosedur TME, sedangkan pada rektum bagian tengah dan bawah harus dilakukan preservasi pada saraf-saraf otonom untuk mencegah disfungsi seksual dan bladder. . TME merupakan teknik diseksi tajam di sepanjang bidang anatomis untuk memastikan reseksi komplit dari mesenterium rektal saat dilakukan reseksi rendah dan anterior rendah ekstensif, sampai 5 cm di bawah tumor. Untuk rektum bagian atas atau reseksi rektosigmoideksisi mesorektal parsial cukup dilakukan minimal 5 cm distal dari tumor. Keuntungan dari TME selain dari angka rekurensi yang rendah adalah rendahnya risiko perdarahan dan cedera nervus. Gambar berikut menyajikan secara skematis bagaimana teknik bedah TME dilakukan intraoperatif.2,4 22 Gambar 2.4 Prosedur Total Mesorectal Excision. Pada dua gambar pertama dilakukan diseksi tajam pada bidang avaskular presakralis, di mana gambar kedua memperlihatkan diseksi yang mencakup refleksio peritoneal. Pada gambar ketiga dilakukan 4 diseksi anterior yang melibatkan fasia Denonvilliers. Gambar 2.5 Reseksi Abdominoperineal4 Berkaitan dengan topik besar mengenai karsinoma kolorektal, secara umum terdapat berbagai macam metode teknik pembedahan untuk karsinoma kolorektal, yang mana pilihannya bergantung pada stadium dan lokasi karsinoma tersebut. Menurut panduan pengelolaan adenokarsinoma kolorektal dari Pokja Adenokarsinoma Kolorektal Indonesia Revisi tahun 2006, prosedur standar mengikuti prosedur yang dilakukan oleh Heald dkk. Berikut ini adalah gambaran skematis untuk istilah berbagai reseksi segmental pada kolon dan rektum sepertiga atas. 23 Gambar 2.6 Reseksi Kolon. Reseksi segmen A-C: Ileokolektomi; A + B – D: kolektomi asendens; A + B – F: hemikolektomi kanan; A + B – G: hemikolektomi kanan ekstensif; E + F sampai G + H: kolektomi transversum; G – I: hemikolektomi kiri; F – I: hemikolektomi kiri ekstensif; J + K: kolektomi sigmoid (sigmoidektomi); A + B – J: kolektomi subtotal; A + B – K: kolektomi total; A + B – L: proktokolektomi total.7 - Kemoterapi Adjuvan dan Neoadjuvan Pada stadium II, pasien dengan karsinoma kolorektal memiliki risiko tinggi terjadinya rekurensi sistemik dan perlu mendapatkan kemoterapi. Menurut panduan penatalaksanaan, beberapa faktor yang menempatkan seorang pasien pada risiko tinggi terjadinya relaps antara lain: Derajat keganasan 3-4 Invasi limfatik atau pembuluh darah Obstruksi usus Kurang dari 12 KGB yang diperiksa Klasifikasi T4, N0, M0 atau T3 dengan perforasi terlokalisasi Tepi sayatan positif untuk tumor atau tepi sayatan dengan penentuan batas yang terlalu dekat dengan tumor atau sulit ditentukan. Kemoterapi untuk karsinoma kolorektal telah berkembang pesat dalam dekade terakhir. Beberapa protokol pemberian sitostatika pada kanker kolorektal yang saat ini dianut, antara lain: Capecitabine tunggal: 2500 mg/m2/hari terbagi dalam 2 dosis; hari 1-14 diikuti dengan 7 hari istirahat dan diulangi tiap 3 minggu 24 Protokol Mayo: leucovorin 20 mg/m2 bolus intravena hari 1-5; 5-FU 425 mg/m2 bolus intravena 1 jam setelah leucovorin hari 1-5, diulangi setiap 4 minggu. Protokol Roswell-Park: leucovorin 500 mg/m2 intravena selama 2 jam hari 1, 8, 15, 22, 29, dan 36; 5-FU 500 mg/m2 intravena 1 jam setelah leucovorin pada hari-hari tersebut; diulangi setiap 6 minggu. Protokol de Gramont: dekstro-leucovorin 200 mg/m2 (100 mg/m2 bila digunakan levo-leucovorin atau ca-levofolinat) intravena selama 2 jam, hari 1 dan 2; 5-FU 400 mg/m2 bolus intravena, kemudian 600 mg/m2 intravena selama 22 jam kontinyu, hari 1 dan 2; ulang setiap 2 minggu. - Radioterapi Radiasi dalam kasus karsinoma kolorektal dapat diberikan pada tumor yang bersifat resektabel maupun nonresektabel. Tujuan dari pemberian radiasi antara lain: Mengurangi risiko rekurensi lokal, terutama pada pasien dengan prognosis dari histopatologis yang buruk Meningkatkan kemungkinan preservasi sfingter Meningkatkan kemungkinan resektabilitas tumor lokal jauh atau nonresektabel sebelumnya Mengurangi beban sel tumor sehingga mengurangi kemungkinan kontaminasi sel tumor secara hematogenus saat operasi. Radiasi dapat dilakukan secara eksternal, baik pre- maupun pascaoperatif, brakiterapi/internal, baik intrakavitas maupun interstitial. Radiasi eksternal pascaoperatif direkomendasikan untuk diberikan bersama infus 5-FU dan leucovorinpada karsinoma T3N0. Pemberian brakiterapi endokaviter ditujukan sebagai alternatif pembedahan pada kanker stadium 0. Kombinasi radiasi eksterna dengan brakiterapi endokaviter diberikan sebagai alternatif pembedahan pada stadium I dengan tumor kurang dari 3 cm, berdiferensiasi baik, tanpa ulserasi, fiksasi, maupun keterlibatan kelenjar getah bening.2 25 6. Prognosis dan Komplikasi a. Prognosis dan Survivabilitas Prognosis kanker kolorektal secara skematis disajikan pada gambar berikut ini. Diketahui bahwa progesivitas alami dari perjalanan klinis karsinoma kolorektal meliputi invasi lokal, penyebaran limfatik, dan penyebaran hematogenosa. Pada setiap 100 pasien yang awalnya dievaluasi, 30 orang di antaranya akan secara klinis terdeteksi telah mengalami metastasis jauh, sedangkan 70 orang sisanya akan menjalani proses reseksi untuk tumor lokal. Di antara ke-70 orang tersebut, 45 akan sembuh dan sisanya mengalami rekurensi. Sampai saat ini, melalui berbagai studi prospektif ditemukan bahwa angka survivabilitas 5 tahun adalah sebesar 62,1%. Terdapat berbagai faktor yang berhubungan dengan prognosis tersebut, dan sedikit banyak akan menentukan derajat risiko populasi dalam program deteksi dini. Bagan 2.1 Perjalanan Klinis Natural Karsinoma Kolorektal4 b. Komplikasi - Rekurensi lokoregional Kekambuhan lokoregional pada karsinoma di rektum mencakup kekambuhan anastomosis, tumor bed, dan KGB. Pasien dengan kanker kolorektal sangat memerlukan pemantauan yang intensif dan komprehensif, terutama pada pasien yang telah menjalani reseksi tumor primer sesuai prosedur. Alasan yang mendasari hal tersebut adalah karena 50% akan rekurensi dalam 18 bulan pascapembedahan dan 90% dalam 3 tahun. Beberapa metode pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain dengan CT scan (sensitivitas 95%), namun perlu 26 kehati-hatian karena terdapat granulasi pascapembedahan, edema, perdarahan, dan fibrosis yang dapat membuat kerancuan dengan massa tumor yang dimaksud. Kelemahan lain dari CT-scan (dan MRI) adalah tidak dapat membedakan tumor jinak dan ganas. Untuk kekambuhan intraluminer, modalitas endoskopi dan barium kontras ganda dapat digunakan (sensitivitas 97%). Penggunaan antigen karsinoembrionik (carcinoembryonic antigen/CEA) dapat dievaluasi tiap 2-3 bulan selama 2 tahun atau lebih, di mana terjadinya peningkatan mengindikasikan perlunya evaluasi metastasis. Prosedur kolonoskopi dapat dilakukan tiap 3-5 bulan jika perlu untuk mendeteksi kanker dan polip baru. - Metastasis Metastasis secara hematogenus paling banyak terjadi pada hepar. Melalui studi, diektahui reseksi metastasis hepar berkaitan dengan angka survivabilitas 5 tahun sebanyak 25-30%. Pasien yang dapat menjadi kandidat untuk reseksi hepatik akibat metastasis adalah pasien yang tidak terbukti memiliki tumor ekstrahepatik, tidak terdapat kontraindikasi medis terhadap pembedahan, dan lesi ditemukan dalam jumlah yang terbatas dengan batas sayatan negatif. Pada kasus metastasis yang tidak dapat dilakukan reseksi, dapat diberikan alternatif kemoterapi regional melalui arteri hepatika (contohnya Fluorodeoksiuridin). Untuk mendeteksi metastatasis hepar, dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi dengan sensitivitas 57% (berkurang menjadi 20% pada ukuran tumor lebih kecil dari 1 cm). Modalitas diagnostik lain adalah CT scan dengan kontras yang memiliki sensitivitas tinggi (78-90%). Situs metastatik lainnya adalah ke organ paru, yang memiliki insiden kurang lebih 10%. Sampai saat ini belum ada metode diagnostik pilihan untuk kasus metastasis paru sehingga sejauh ini dapat dilakukan foto polos thoraks rutin untuk mendeteksi kasus asimptomatik. Situs metastasis lainnya adalah tulang dengan insidensi 4%. Untuk kasus tersebut, bone scan merupakan pilihan metode paling sensitif.2 27 BAB III PEMBAHASAN Pasien, 57 tahun, datang dengan perdarahan dari dubur 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Melalui anamnesis, didapatkan bahwa pasien mengalami perdarahan dubur sebanyak + 600 ml, berwarna merah segar, tidak disertai tinja dan lendir. Terdapat riwayat konstipasi sejak 4 bulan sebelum episode perdarahan. Tidak ada riwayat diare dalam 2 bulan terakhir. Tidak ada riwayat benjolan di perut. Tidak ada riwayat benjolan keluar dari dubur saat mengedan. Riwayat perdarahan dari dubur sebelumnya disangkal. Dari anamensis, diketahui bahwa pasien mengalami perdarahan saluran cerna bawah berupa hematoskezia (warna merah segar), dimana diagnosis banding utama adalah keganasan kolorektal dan hemoroid. Kecurigaan keganasan kolorektal diperkuat melalui demografi usia pasien (> 50 tahun), serta anamnesis faktor risiko keganasan kolorektal, seperti riwayat merokok selama > 35 tahun, konsumsi alkohol, rendahnya konsumsi serat, dan tingginya konsumsi makanan kaya akan lemak jenuh. Sementara itu, tidak adanya riwayat benjolan yang dirasakan keluar dari lubang dubur masih belum dapat menyingkirkan diagnosis banding hemoroid sehingga diperlukan data tambahan klinis melalui pemeriksaan fisik dan penunjang. Faktor risiko lain, seperti riwayat keganasan dalam keluarga, tidak ditemukan pada pasien. Berdasarkan tinjauan pustaka, kecurigaan keterlibatan kolorektal dapat berupa peningkatan frekuensi defekasi minimal 6 minggu sebelum dilakukan pemeriksaan. Pada pasien, tidak didapatkan hal serupa, yang dipikirkan karena presentasi klinis berupa perubahan pola defekasi bergantung dari lokasi tumor. Perubahan pola defekasi lebih sering didapatkan pada KKR kolon kiri (desenden) dibandingkan kolon kanan, oleh karena pada KKR kolon kiri feses masih dalam bentuk cair. Di samping itu, pada kasus karsinoma daerah rektum, presentasi klinis yang didapatkan lebih sering berupa hematoskezia. Hal tersebut membantu mengarahkan analisis lokasi tumor yang paling mungkin pada pasien ini adalah di daerah rektum. Dari literatur, diketahui bahwa sebagian besar KKR bersifat sporadik, seperti yang terjadi pada pasien. Pada pemeriksaan fisik, diperoleh indeks massa tubuh (IMT) pasien tergolong dalam kategori overweight, yang merupakan salah satu faktor risiko KKR. Tidak didapatkan kelainan status 28 generalis pada pemeriksaan fisik. Pada colok dubur, teraba massa multipel di arah jam 5-6, jarak 2 jari dari linea anokutan, tidak menutupi seluruh lumen, permukaan bernodul, terfiksasi, terdapat nyeri tekan. Perabaan massa pada rektum pasien mendukung kecurigaan adanya keganasan di daerah rektum, seperti yang diperoleh melalui anamnesis. Massa tersebut menunjukkan tanda keganasan, yaitu permukaan bernodul yang terfiksasi (tidak dapat digerakkan), serta terdapat nyeri tekan. Ukuran massa tidak dapat diperkirakan dengan tepat pada pemeriksaan ini. Diketahui bahwa bentuk khas dari ulkus maligna seringkali berupa tepi noduler yang menonjol dengan suatu kubah dalam dan ini merupakan bentuk tersering, tapi tidak ditemukan tanda yang serupa pada pasien. Derajat keganasan, stadium, lokasi, dan ekstensi massa yang teraba, dapat dikonfirmasi melalui pemeriksaan penunjang. Hasil CT scan abdomen menunjukkan gambaran infiltrasi minimal ke dasar buli dan tidak didapatkan gambaran metastasis hati. Sesuai dengan kriteria penetapan stadium tumor menurut AJCC tahun 20108, tumor primer (T) pada pasien termasuk dalam kategori T4b. Tidak diperoleh tanda-tanda penjalaran ke KGB regional ataupun metastasis jauh. Secara teoritis, seluruh pasien dengan karsinoma rektum direkomendasikan untuk menjalani pemeriksaan ultrasonografi endoluminal transrektal, yang merupakan modalitas terbaik untuk mendiagnosis metastasis ke KGB regional. Pada pasien, hanya dilakukan CT scan abdomen sehingga akurasi penentuan metastasis KGB tidak setinggi akurasi pemeriksaan ultrasonografi endoluminal transrektal. Hal ini mempengaruhi penentuan stadium dan tatalaksana. Pada foto polos thorax dan CT scan thorax, tidak didapatkan gambaran metastasis paru. Hasil biopsi hanya didapatkan sediaan dari massa yang dicurigai sebagai polip di daerah kolon sigmoid, sedangkan massa rapuh pada rektum yang teraba pada pemeriksaan colok dubur tidak dibiopsi. Kesenjangan tersebut akan mempengaruhi penatalaksanaan tumor. Oleh sebab itu, disarankan biopsi ulang pada pasien. Jika tumor primer terbukti berada di daerah rektosigmoid, pilihan terapi utama secara pembedahan adalah reseksi abdominoperineal, yang bertujuan mengangkat massa, baik pada sigmoid maupun rektum. Selain itu, perlu dilakukan pemeriksaan KGB regional, minimal 12 nodus limfa, yang dilanjutkan dengan pengangkatan nodus terinfiltrasi secara radikal bila hasil pemeriksaan intraoperatif positif untuk metastasis tumor. Pada pasien, tidak ditemukan tanda infeksi saluran cerna bawah (gastroenteritis) sehingga pemberian antibiotik menjadi tidak rasional. 29 Bila dilakukan reseksi abdominoperineal pada pasien, perlu dilakukan follow up, berupa pemeriksaan CEA setiap 3 bulan selama 2 tahun, dilanjutkan dengan pemeriksaan setiap 6 bulan selama 5 tahun. Kolonoskopi direkomendasikan 1 tahun setelah reseksi dan setiap 2 – 3 tahun setelahnya jika hasil pemeriksaan sebelumnya negatif.9,10 Pasien dan keluarga perlu diberikan edukasi, berupa penjelasan mengenai kanker usus besar, pilihan tatalaksana, dan prognosis. Pendidikan terakhir pasien adalah diploma sehingga edukasi dipikirkan dapat dimengerti oleh pasien dengan baik. Program skrining di Indonesia belum berjalan dengan baik sehingga keganasan kolorektal cenderung ditemukan pada stadium lanjut, dimana terapi kuratif bukan lagi menjadi pilihan. Untuk meningkatkan survivabilitas, khususnya terhadap kemungkinan rekurensi tumor primer, dapat diberikan terapi adjuvan, berupa kemo- ataupun radioterapi.2 30 DAFTAR PUSTAKA 1. Ahnen DJ, Macrae FA, Bendell J. Clinical manifestations, diagnosis, and staging of colorectal cancer. Date Version 260. 2012 Oct; 2. Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal. Panduan Penatalaksanaan Adenokarsinoma Kolorektal. Jakarta; 2006. 3. Tortora G, Derrickson B. Large intestine. Principles of Anatomy and Physiology. 12th ed. Wiley; 2009. 4. Chang AE, Morris AM. Colorectal cancer. In: Mulholland MW, Lillemoe KD, Doherty GM, Maier RV, Upchurch GR, editors. Greenfield’s Surgery: Scientific Principles and Practice. 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins; 2006. 5. Cappell M. The patophysiology, clinical presentation, and diagnosis of colon cancer, and adenomatous polyps. The Medical Clinics of North America. 1st ed. Elsevier Inc; 2005. 6. Stein E. Anorectal and Colon Diseases: Textbook and Color Atlas of Proctology. 1st ed. Limburgerhof: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2002. 7. Bullard KM. Colon, rectum, and anus. In: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE, editors. Schwartz’s Principles of Surgery. 8th ed. The McGraw-Hill Companies; 2007. 8. Obrocea FL, Sajin M, Marinescu EC, Stoica D. Colorectal cancer and the 7th revision of the TNM staging system: review of changes and suggestions for uniform pathologic reporting. Romanian J Morphol Embryol Rev Roum Morphol Embryol. 2011;52(2):537–44. 9. Dominic OG, McGarrity T, Dignan M, Lengerich EJ. American College of Gastroenterology Guidelines for Colorectal Cancer Screening 2008. Am J Gastroenterol. 2009 Oct;104(10):2626–2627; author reply 2628–2629. 10. Levin B, Lieberman DA, McFarland B, Smith RA, Brooks D, Andrews KS, et al. Screening and surveillance for the early detection of colorectal cancer and adenomatous polyps, 2008: a joint guideline from the American Cancer Society, the US Multi-Society Task Force on Colorectal Cancer, and the American College of Radiology. CA Cancer J Clin. 2008 Jun;58(3):130–60. 31 LAMPIRAN Foto polos thorax PA (23 Desember 2013 di RSCM) Foto polos thorax 23 Desember 2013 Foto polos thorax PA (21Januari 2014 di RSCM) Foto polos thorax 21 Januari 2014 32 CT Scan abdomen (3 Desember 2013 di RS Mitra Keluarga, Cibubur) 33 34 35 CT Scan thorax dengan kontras iopamidol 300 mg/ml (30 Desember 2013 di RSCM) 36 37