Mustain Mashud, “Analisis Politik Ekonomi Petani Dalam Struktur Hubungan antara Negara dan Pasar,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 4, Oktober 2001, 77 -88. ANALISIS POLITIK EKONOMI PETANI DALAM STRUKTUR HUBUNGAN ANTARA NEGARA DAN PASAR Mustain Mashud Dosen FISIP Universitas Airlangga lulusan Unair (S1) dan UGM (S2) Abstract Democratic consolidation, induced in the Third World countries since 1980s, the state role in the developmental programs is questioned. Because of the strong economic assumption, there have been almost no political analysis able to explain the complexity of the state role in the development programs, especially those in agricultural sector. This paper briefly discusses the governmental policies in African countries and the position of peasants in the relationship structure between state and market. Keywords: monopsoni, exchange rate, peasant, Africa, democratic consolidation. Robert Bates, dalam bukunya Markets and States in Tropical Africa: The Political Basis of Agricultural Policies (1981) mengajukan pertanyaan awal mengapa intervensi negara dalam ekonomi negara negara di Afrika menimbulkan distorsi pasar. Bagaimana distribus i pasar bisa menimbulkan melemah nya produksi nasional (Why should reasonable men adopt public policies that have harmful consequences for the societies the govern ?). Pertama, Bates menjawab berdasarkan dimensi politik. Bahwa latar belakang kebijakan politiklah yang diduga mempengaruhi terjadinya krisis pertanian di Afrika. Dengan menggunakan konsep perilaku birokrasi rasional, ia mengajukan asumsi bahwa para birokrat adalah aktor rasional yang berusaha memaksimalkan kepentingan mereka sendiri. Sebagai aktor rasional, mereka akan selalu berpikir bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan akan selalu didasarkan pada kepentingan politik mereka sendiri. Disadari betul bahwa pilihan kebijakan akan menentukan akibat tertentu. Dan, kata Bates, inilah yang memang terjadi di negara negara Afrika. Pilihan kebijakan publik di banyak negara Afrika tersebut, ternyata telah menyebabkan meka nisme pasar tidak berfungsi secara efektif. Misalnya: harga jual hasil pertanian petani jauh di bawah harga pasar, subsidi input pertanian (justru) lebih banyak dinikmati oleh petani kaya dan harga produk manufaktur jauh 77 Mustain Mashud, “Analisis Politik Ekonomi Petani Dalam Struktur Hubungan antara Negara dan Pasar,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 4, Oktober 2001, 77 -88. lebih mahal dibanding dengan produk pertanian. Pilihan kebijakan yang berpihak pada elit politik, industrialis kota, elit kota dan petani kaya ini telah sangat merugikan petani, menimbulkan disentif petani, dan menyebab produk pertanian merosot (Policies are designed to secure advantages for particular interst, to appease powerful political forces, and to enhance the capacity of political regimes to remine in pow er (Bates, 1981: 5-6). Berbagai kebijakan yang dipilih dalam mendorong pemba ngunan ekonomi telah mendorong penguatan posisi kelompok kepen tingan dominan dan inilah yang mendorong kebijakan itu diperta hankan. Ini membuktikan diperta hankannya kebijakan s eperti itu dalam kerangka mempertahankan koalisi dominan: antara pengusaha, buruh industri, elit ekonomi dan politik, petani kaya dan pejabat negara (Bates, 1981: 119 -121). Para aktor kepentingan, kata Bates, masing-masing mempunyai kepentingan yang spesifik. Mereka mengetahui secara persis apa yang menjadi kepentingan mereka. Para elit politik menerapkan kebijakan yang memenuhi kepentingan mereka sendiri dan kepentingan kelompok-kelompok kuat dalam masyarakat; dan mereka yang tidak termasuk dalam koalisi itu tidak dapat berbuat banyak karena tidak mampu menentang atau memang ditindas. Fokus perhatian Bates adalah kebijakan terhadap harga input pertanian dan harga produk 78 pertanian (baik ekspor maupun pangan). Melalui Badan Pemasaran (peninggalan kolonial) negara mencari keuntungan besar dengan membeli produk pertanian yang sangat rendah. Dari keuntungan ini, dana dipergunakan untuk pembangunan industrialisasi dan anggaran belanja negara. Selain itu, dengan menekan harga produk pertanian yang murah juga menyenangkan warga kota termasuk “menekan buruh industri kota” untuk tidak melakukan tuntutan kenaikan upah. Dengan nilai produk pertanian yang tidak menguntungkan, maka petani juga tidak tertarik meningkatkan, bah kan cenderung mengurangi, produk pertaniannya. Dalam konteks Ini menunjukkan perilaku ekonomi petani pun cukup rasional juga. Menurut Bates, pemerintah pemerintah di Afrika menerapkan kebijakan pertanian yang pro-elit kota demi keuntungan politik mereka sendiri. Bates menekankan gagasannya sebagai berikut: (1) sumber daya yang diperoleh dari badan pemasaran pemerintah diberikan kepada kelompok kelompok kuat seperti elit politik puncak, industrialis kota dan para birokrat pemerintah yang mengelola pasar pertanian (2) Harga produk pertanian ditekan rendah demi memenuhi kepentingan konsumen kota yang secara politik sulit dikendalikan; (3) Pemerintah melin dungi industri kota yang tidak efisien dari persaingan. Meski hal ini merugikan harga produk pertanian di pasar lokal, namun bisa memperkuat hubungan elit Mustain Mashud, “Analisis Politik Ekonomi Petani Dalam Struktur Hubungan antara Negara dan Pasar,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 4, Oktober 2001, 77 -88. politik dan elit ekonomi kota. Itulah sebabnya mengapa kebijakan pertanian distortif seperti itu dipertahankan karena bisa memenuhi kepentingan koalisi dominan (Bates, 1987: 97). Yaitu koalisi yang terdiri dari majikan dan buruh perusahaan industri, elit ekonomi dan politik, petani kaya dan pejabat pemerintah (Bates, 1987: 121). Negara perkembangannya, negara justru kian intensif menggali dana dari petani melalui: pajak, penetapan harga pertanian yang rendah dan tanpa ada kompensasi apapun dari petani Dengan demikian, Dewan Pemasaran menjadi instrumen redistribusi pendapatan dari pertanian untuk kepentingan industri. Dewan Pemasaran Investor dan Industri Manufaktur Kota Dalam sistem ekonomi di negara-negara Afrika ada lembaga monopsoni (warisan kolonial, ketika itu untuk kepentingan petani, namun ketika dimanfaatkan negara untuk mencari dana) dengan kewenangan publiknya ia bebas menentukan harga (membeli harga lokal dan menjual dengan harga pasaran ekspor) sehingga keuntung annya surplus sampai 90%. Selain pola monopsoni, negara juga mempunyai Badan Pemasaran yang dipakai sebagai alat menggali dana politik, pribadi dari pada untuk petani. Semula dana ini direncanakan untuk memberikan bantuan kepada petani, tetapi diselewengkan untuk kelompok industri di kota. Dalam Penyediaan bantuan modal Pinjaman lunak Menjamin bahanbahan produksi dari hasil pertanian Dan, sifatnya resmi PETANI Dana dari petani itu, oleh negara dipergunakan untuk membantu industri kota melalui penyediaan bantuan modal, pinja man lunak, penjaminan bahan bahan produksi dari hasil pertanian dan sifatnya resmi Selain itu, pemerintah juga memberikan kebebasan dan bahkan mensponsori berdirinya perusaha an–perusahaan pengolah hasil pertanian. Perusahaan ini umumnya memproduksi barang produk pertanian siap pakai/setengah jadi, dibangun di daerah-daerah, namun mengabaikan petani, berusaha mempromosikan kepada para petani akan bisa memberikan nilai tambah produk pertanian. Dampak langsung dari maraknya perusahaan 79 Mustain Mashud, “Analisis Politik Ekonomi Petani Dalam Struktur Hubungan antara Negara dan Pasar,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 4, Oktober 2001, 77 -88. produk pertanian di daerah-daerah ini adalah hancurnya pasar tradisional. Dengan kebijakan seperti ini, yang diuntungkan bukan hanya pengusaha kota, industrialis dan negara, tetapi juga para birokrat. Para birokrasi ternyata ikut menikmati eksploitasi petani, yakni dengan cara mengorganisasikan pasar, memanipulasi tujuan -tujuan negara, beaya pemasaran, dan seterusnya. Argumentasi Bates terarah, logis dan benar, namun justru kelemahannya terletak pada kemulusannya itu? Tanya Mas’oed pada salah satu artikel dalam bukunya Politik, Birokrasi dan Pemba-ngunan (1994). Mengapa, apakah dunia politik memang begitu sederhana dan lugas seperti itu? Misalnya, setiap aktor sosial mesti mempunyai kepentingan yang jelas, dan mereka tahu apa kepentingan mereka. Elit politik menerapkan kebijakan yang memenuhi kepen tingan mereka sendiri dan kepentingan kelompok kuat dalam masyarakat; dan mereka yang tidak termasuk dalam koalisi tidak dapat berbuat banyak karena tidak mampu menentang atau memang ditindas. Argumentasi Bates ini bisa dikategorikan cukup canggih dan mulus. Mengapa input pertanian yang murah tidak bisa meningkatkan keuntungan dari kegiatan pertanian dan dengan demikian meningkatkan investasi dan produksi? Atul Kohli (1987), sebagaimana disebutkan Mas’oed 80 (1994), memberikan jawaban hipotetis terhadap pertanyaan Bates tersebut: (1) Mengaitkan kebijakan harga pangan dengan kemerosotan produksi pertanian. Kebijakan harga pangan yang murah telah menimbulkan disinsentif yang parah (petani tidak tertarik berproduksi dan ini mengakibatkan kebijakan subsidi input tidak berarti apa-apa bagi petani. Untuk menguji ini diperlukan data tentang respon relatif output pertanian terhadap harga input dan output. Selain itu, juga perlu dibuktikan bahwa disinsentif yang diciptakan oleh harga itu secara kuantitatif lebih signifikan dari pada dampak subsidi input. Jika ini tak terbukti (karena tak ada data), maka perlu mempertimbangkan kemungkinan jawaban hipotesis kedua. Hipotesis kedua, keengganan petani berproduksi karena faktor kelangkaan teknologi. Perlu dipikir kan tentang kemungkinan kurang tertariknya petani menerima subsidi pertanian disebabkan oleh ketidak yakinannya faktor teknologi bisa meningkatkan produksi pertanian nya? Mengikuti Schultz, Kohli berpendapat bahwa “low level of equilibrium” dalam pertanian tradisional telah membuat investasi baru sulit diharapkan dan karena itu pertumbuhannya terhambat. Gagasan Schult yang sederhana ini telah banyak mendorong diterap kannya kebijakan “revolusi hijau” di banyak negara dunia ketiga seperti India, Meksiko, Filipina dan Indonesia. Paket kebijakan seperti Mustain Mashud, “Analisis Politik Ekonomi Petani Dalam Struktur Hubungan antara Negara dan Pasar,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 4, Oktober 2001, 77 -88. revolusi hijau inilah yang tidak ada di Afrika (Mas’oed, 1994: 92). Baik kebijakan harga murah maupun insentif input dan fak tor teknologi, hipotesis pertama dan kedua, adalah sama-sama insentif; namun mempunyai implikasi politik dan kebijakan berbeda. Jika yang diduga sebagai penyebab adalah distorsi pasar akibat kebijakan politik, maka implikasi kebijakan pemerintah harus menghentikan campur tangannya di pasar. Sebaliknya, kalau faktor ketiadaan teknologi sebagai penyebabnya, maka implikasi kebijakannya adalah justru faktor publik harus lebih berperan dalam arena ekonomi. Meski Bates banyak menyebut negara memberikan subsidi input pertanian kepada petani, namun ia tidak menjelaskan sama sekali tentang bagaimana pengaruh input pertanian tersebut terhadap produk pertanian (Bates 1981: 49 54) hanya karena alasan “itu sulit dilakukan”. Mengapa input pertanian yang murah tidak bis a meningkatkan keuntungan dari kegiatan pertanian dan dengan demikian meningkatkan investasi dan produksi? (Mas’oed, 1994:91). Kohli (1987:236) dengan merujuk Weber (ketika mengkritisi kaum liberal dan Marxian) mengemukakan bahwa agar tidak menerima asumsi yang terlalu menyederhanakan hubungan anta ra motivasi di balik tindakan ekonomi dan konsekuensi dari tindakan itu. Kata Weber, walaupun kaum Protestan itu berpikir bahwa yang mereka lakukan adalah penyelamatan jiwa mereka, ternyata yang tercipta adalah kapitalisme. Demikian halnya dengan Hirchman (1981:23-24), yang pernah mengkritik ilmuwan ekonomi pembangunan, karena memegang asumsi yang salah, yaitu bahwa negara-negara berkembang hanya punya kepentingan ( interest) tetapi tidak mempu -nyai nafsu semangat (passion). Dari analisis Bates, setidaknya bisa ditarik dalam dua kategori: pertama kategori kepentingan (interest-oriented), yakni kebijakan yang mengedepankan korporasi kepentingan kelompok jaringan elit kota dan karena itu mengabaikan masyarakat petani. Kedua, kebijakan yang juga mempertimbangkan konteks sosial historis perjalanan bangsa Afrika yang berkehendak mensejajarkan diri dengan kemaju an negara maju dan pencapaian kesejahteraan masyarakat. Singkatnya, faktor idiologi dan pilihan strategi pembangunan ekonomi merupakan variabel penting yang mempengaruhi pilihan-pilihan kebijakan ekonomi di Afrika. Untuk mengetahui berkurang atau malah bertambahnya peran pemerintah dalam pembangunan di Afrika, kata Kohli, perlu diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan pemerintah ketika melakukan pilihan-pilihan kebijakan (Mas’oed, 1994:93) Bagaimana elit penguasa dari suatu masyarakat agraris yang mengabaikan kepentingan pertanian bisa terus berkuasa? Bates menjawab bahwa para petani meng gunakan pasar untuk menentang 81 Mustain Mashud, “Analisis Politik Ekonomi Petani Dalam Struktur Hubungan antara Negara dan Pasar,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 4, Oktober 2001, 77 -88. negara dengan cara melakukan kegiatan ekonomi diluar bidang yang diatur negara; para petani mengalami kesulitan mengorganisa sikan diri melawan pemerintah karena begitu banyaknya jumlah mereka; dan memecah belah oposisi politik dari masyarakat petani (Mas’oed, 1994:95). Analisis Bates untuk Konteks Problematika Petani di Indonesia Salah satu faktor penting dalam buku Bates tersebut adalah dikemukakannya tentang variabel kesadaran dan perubahan idiologi kebijakan para pemimpin (birokrat) pengambil kebijakan. Kesadaran para pemimpin di Afrika tentang semakin melemahnya produksi pertanian akibat pilihan kebijakan yang pro elit kota di Afrika sebetulnya mulai muncul. Dalam konteks ini, Bates menyebutnya sebagai kesadaran idiologi kebijakan ekonomi di Afrika. Sebagaimana ia sebutkan dalam chapter 6, khususnya halaman 97, bahwa “The form of economic manipulation chosen were compatible with prevailing economic doctrines. Many of those who formulated and implemented the development program of the new African states had studied the theories of the leading development economist”. Para pemimpin Afrika, menyadari ada persoalan dengan doktrin yang mendasari kebijakan ekonomi yang telah dilakukannya. Sebuah doktrin tentang teori-teori awal tentang pembangunan ekonomi yang mendukung kebijakan 82 industrialisasi substitusi impor dengan mengorbankan pertanian. Doktrin inilah yang selama ini diposisikan sebagai strategi pembangunan yang rasional (Mas’oed, 1994:99). Apa yang pernah terjadi di negara-negara Afrika, sesungguhnya juga pernah, dan bahkan tengah pula terjadi di Indonesia. Adanya koalisi dominan, antara negara (politik), elit kota, birokrat, industrialis dan petani kaya di desa desa di Afrika, pun ada di Indonesia. Namun, berbeda dengan di Afrika, pemerintahan di Indonesia, khususnya di era orde baru, dengan cepat menyadari akan kekeliruan pilihan kebijakan ekonominya sebagai respon dari krisis pangan di tahun 1960-an. Menyadari kebijakan ekonominya yang keliru, dengan segera pemerintah mengeluarkan kebijakan penting di sektor pertanian, yakni intervensi kebijakan “revolusi hijau”; suatu kebijakan yang tidak sempat terpikirkan oleh negara negara di Afrika. Tetapi pertanyaannya, betulkah strategi modernisasi pertanian melalui pilihan kebijakan revolusi hijau telah meningkatkan kesejahteraan petani? Secara makro, harus diakui, bahwa kebijakan revolusi hijau itu telah cukup berhasil mengantarkan Indonesia menjadi salah satu produsen beras yang cukup besar di Asia, atau setidaknya berhasil berswasembada. Bahkan nama Indonesia semakin mencuat ketika pemerin tah meneruskannya dengan kebijakan pembangunan melalui mo- Mustain Mashud, “Analisis Politik Ekonomi Petani Dalam Struktur Hubungan antara Negara dan Pasar,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 4, Oktober 2001, 77 -88. dernisasi yang mendepankan pertumbuhan ekonomi, juga telah mengantarkan Indonesia sebagai salah “macan Asia’ di bidang pertumbuhan ekonomi. Selain itu, pilihan kebijakan pemerintah tersebut telah menyebabkan pembangunan ekonomi Indonesia tumbuh dengan cepat. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari indikator makro, tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) antara tahun 1965-1990 mencapai 7 persen per tahun. Pertumbuhan ini mencapai puncaknya pada periode 1973 1981, yaitu apa yang sering dikatakan sebagai masa oil boom. Pada periode pertumbuhan yang menakjubkan ini, peran pemerintah terhadap kegiatan ekonomi sangat dominan. kaya desa sebagaimana terjadi di negara-negara Afrika? Dalam analisis politik ekonomi selalu bertumpu pada prinsip basis struktural dari kepentingan itu apa dan terlihat di mana serta oleh siapa. Hubungan antara petani dan pasar di atas merupakan analisis kebijakan negara yang sesungguhnya bermaksud baik, namun dalam prosesnya menjadi menyimpang dan atau diselewengkan karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu, sebagaimana dikemukakan Bates di muka. Dalam berhubungan dengan pasar, posisi petani selalu dalam posisi tersubordinasi. Dengan pasar input, semua kebutuhan bahan Saprotan (sarana produksi pertanian) dipasok oleh sumber tertentu. PASAR INPUT (Saprotan) PASAR OUTPUT (Harga jual) RAKYAT PETANI PASAR KONSUMEN Namun, bagaimana dengan kehidupan ekonomi para petani pedesaan secara keseluruhan? Betulkah akibat pilihan kebijakan di sekor pertanian ini hanya menguntungkan kelompok elit kota, industrialis kota dan para petani Demikian halnya, ketika panen, akan dijual ke orang (pasar) tertentu pula. Apalagi, jika kedua pasar ini (input dan out put) dikuasai oleh orang sama: monopol i dan monopsoni. 83 Mustain Mashud, “Analisis Politik Ekonomi Petani Dalam Struktur Hubungan antara Negara dan Pasar,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 4, Oktober 2001, 77 -88. Intervensi negara yang bermasud baik membantu petani, hanya mungkin dilakukan melalui dua hal: intervensi pasar input dan intervensi pasar output. Namun, pemerintah cenderung memilih intervensi dengan cara pertama (intervensi pasar input) dari pada output. Sebab, jika out put semua orang bisa menjual barang, dengan harga yang tinggi atas bantuan pemerintah, dan karena itu pemerintah tidak bisa memasukkan kepentingannya. Tetapi, jika cara pertama dipergunakan, pemerintah bisa menitipkan kepentingannya (politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya). Misalnya, yang bisa mendapatkan subsidi atau bantuan hanya petani yang …; atau, hanya mereka yang telah membayar pajak …, yang telah KB …, dan seterusnya. Jadi intervensi kebijakan publik negara yang sesungguhnya bermaksud baik, menjadi sumber persoalan, dan dalam kenyataannya juga menjadi sumber kejengkelan dan ketidakpuasan petani, karena adanya titipan-titipan kepentingan negara. Apalagi jika, titipan kepentingan itu ditumpangi lagi oleh kepentingan pihak lain: swasta, kelompok interest, politik, dan sebagainya. Persoalannya menjadi sema kin problematik manakala format bantuan intervensi negara tersebut disusun bersamaan dengan paket kebijakan yang didalamnya terlalu banyak mengakomodasi kepenting an kelompok-kelompok tertentu (pasar misalnya). Persoalan inilah 84 yang acapkali menjadi sumber kemarahan petani dan menyebab kan kegagalan berbagai “paket kebijakan niat baik” negara tersebut. Kalaupun seandainya, kebijakan intervensi baik tersebut dipaketkan tanpa ada kepentingan yang menumpanginya, keberhasil annya masih dipertanyakan: sebab, tidak semua petani sudah mempunyai basis modal (tanah, pengetahuan, ketrampilan, akses, dan seterusnya) yang sama, alias struktur kepemilikan tanah petani timpang. Jika paket intervensi tetap diteruskan, maka persoalannya akan sama persis yang terjadi selama orde baru: yakni paket kebijakan negara hanya akan dinikmati oleh sejumlah kecil orang siap mengaksesnya; sementara sebagian besar petani lain, tidak bisa. Yang terjadi kemudian, kesenjangan struktural semakin melebar. Kalau persoalannya ada pada perbedaan akses produksi, lalu perlukah kebijakan Land Reform? Tidak semudah itu, sebab kebijakan ini sungguh sangat kompleks permasalahannya. Mengapa land reform di Korea dan Taiwan berhasil, sementara di Indonesia gagal. Sebab, pemilik tanah di kedua negara itu selain secara politik lemah, juga ada santunan dari USA. Di Korea Selatan misalnya, pemilik tanah yang akan direform itu adalah penjajah Jepang yang kalah perang dan Amerika Serikat bersedia memberikan santunan ke Jepang karena tetangga dekatnya Mustain Mashud, “Analisis Politik Ekonomi Petani Dalam Struktur Hubungan antara Negara dan Pasar,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 4, Oktober 2001, 77 -88. (Korea Utara) komunis. Demikian halnya, di Taiwan, para pemilik tanah itu adalah orang Cina daratan, yang komunis, secara politik lemah dan sekali lagi, Amerika mau membantu memberikan santunannya. Di Indonesia, yang mengambil alih tanah-tanah luas peninggalan Belanda adalah tentara yang secara politik sangat kuat hingga sekarang tanah-tanah tersebut masih dikua sai tentara dan sangat sulit dibebaskan apalagi direform. Nasib Petani Di Era Reformasi Sektor pertanian adalah sektor yang sangat strategis. Pertama, mayoritas penduduk pelaku pembangunan yang memerlukan bantuan tinggal di daerah dan pedesaan atau sektor ini menguasai hajat hidup 80% penduduk Indonesia. Sebagian besar atau 50% dari tenaga kerja juga diserap oleh sektor pertanian. Kedua, sumber daya alam terletak di daerah pedesaan. Ketiga, kegiatan usaha sebagian besar masyarakat di daerah/desa adalah di sektor pertanian. Keempat, kelembagaan masyarakat yang kooperatif dan masih mapan ada di daerah. Kelima, produk pertanian adalah tahan terhadap krisis ekonomi dan berpeluang baik untuk ekspor (karet, kopi, coklat, ikan, dan lain-lain), serta mendukung pemulihan ekonomi (peningkatan produksi pangan). Begitu pun dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) baik GBHN 1983, 1998, dan 1999 disebutkan bahwa agribisnis seba - gai sektor pembangunan strategis. Bahkan dalam GBHN 1999, ditegaskan agribisnis adalah bagian dari strategi pembangunan daerah, seiring dengan pemantapan otonomi daerah, khususnya pemberdayaan masyarakat petani dan nelayan (Media Indonesia, 3 Maret 2000) Namun fakta yang ada jauh berbeda. Pernyataan seperti itu nyatanya lebih sebagai sekadar slogan politik. Tidak ada tindakan serius guna mewujudkan visi dan tekad mengembangkan sektor pertanian secara luas. Bahkan, yang terlihat sekarang petani gabah malah berjalan tertatih-tatih, tanpa ada perhatian serius pemerintah. Harga gabah dibiarkan anjlok. Dan petani pun sulit berharap bisa mengubah nasib. Husein Sawit, seorang peneliti Center for Agro Socio Economic Research (CASER), Bogor pernah mengemukakan, selama ini, pemerintah amat bias ke konsumen, bukan seperti layaknya negara agraris yang seharusnya membela petani. Pada waktu nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika di atas Rp 10.500 per US$ 1, walau kesulitan dana, pemerintahan tetap melindungi konsumen dengan menjual beras 60% lebih rendah ketimbang harga paritas. Pada tahun anggaran 1998/ 1999, para konsumen telah meraup keuntungan setara dengan Rp 37 trilyun, di mana 73%-nya dinikmati oleh konsumen tingkat menengah ke atas, hanya Rp 10 trilyun yang dinikmati konsumen miskin. Sementara itu, keuntungan petani padi yang seharusnya bisa diraih, 85 Mustain Mashud, “Analisis Politik Ekonomi Petani Dalam Struktur Hubungan antara Negara dan Pasar,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 4, Oktober 2001, 77 -88. sebesar Rp 21 trilyun, lenyap. Dalam periode pemerintahan reformasi, kebijakan yang bias konsumen ternyata tetap berlanjut. Padahal, salah satu karakter istik dari negara sedang berkembang (LDCs), khususnya negara negara miskin, adalah tingkat perkembangan sektor pertaniannya yang lebih rendah dibandingkan dengan sektor industri dan sektor sektor tersier lainnya seperti keuangan dan jasa. Bahkan di banyak negara (termasuk Indonesia?), sektor pertama itu praktis terlupakan di dalam proses pembangunan ekonomi karena perhatian pemerintah dan masyara kat sepenuhnya terpusat pada pengembangan sektor industri, khususnya manufaktur untuk tujuan ekspor atau substitusi impor, dan sektor-sektor pendukung seperti keuangan 1. Relatif lemahnya perkembangan sektor pertanian, baik dalam arti diversifikasi produksi maupun laju pertumbuhan output-nya, mengakibatkan pendapatan riil yang diterima petani rata -rata lebih rendah dibandingkan dengan pen dapatan riil yang diterima pekerja di sektor industri. Dengan kata lain, harga yang diterima petani lebih Sayangnya, sering kali pemerintah dan masyarakat di LDCs (termasuk Indonesia?) tidak menyadari bahwa pertanian secara potensial dapat berperan sebagai salah satu sektor pendukung penting sektor industri, baik lewat sisi permintaan maupun sisi penawaran. Seperti yang digambarkan di dalam model pembangunan dari Arthur Lewis, dilihat dari sisi permintaan, sektor pertanian mensuplai makanan dan produk-produk lainnya bagi kebutuhan pekerja di sektor industri. Sedangkan, dar i sisi penawaran, sektor pertanian mensuplai bahan -bahan baku sebagai input bagi sektor industri. Jadi, sektor pertanian tidak kalah pentingnya seperti sektor keuangan bagi sektor industri. Model Lewis dapat dipelajari misalnya di Michael P.Todaro (1997). 1 86 kecil dari harga yang haru s dibayarnya. Perbedaan ini mencer minkan nilai tukar petani (NTP). Karena Nilai Tukar Petani mencerminkan kondisi ekonomi petani yang secara teoritis (hipotesis) mempunyai korelasi positif (selain dengan faktor-faktor lain) dengan kinerja dari sektor 2 pertanian , maka rasio ini dapat dipakai sebagai salah satu indikator untuk mengukur dampak kinerja sektor pertanian terhadap kesejah teraan petani. Selama pemerintahan refor masi, keuntungan petani padi yang paling produktif pun, misalnya petani di Karawang, telah merosot sekitar 27%, dan sebagian petani mulai enggan merawat tanamannya, apalagi menggunakan teknologi baru. Pada hal besarnya keuntungan petani padi tidak hanya bergantung pada tingkat harga jual beras/padi, melainkan juga amat ditentukan oleh tingkat produktivitas, pengurangan hasil, pemanfaatan teknologi panen dan pasca panen, perbaikan rendemen, efisiensi penggunaan input, serta pemanfaatan teknologi baru. Masa lah-masalah itu hanya mungkin dipecahkan dengan memberi perhatian serius pada mas alah dana, tenaga, irigasi, penelitian dan pengembangan serta penyuluhan, Maksudnya, semakin baik kinerja sektor pertanian, misalnya dalam bentuk diversifikasi produksi semakin baik (jenis outputnya yang memiliki nilai komersial yang tinggi semakin bervariasi; misalnya menanam buah-buahan seperti apel, jeruk, dan jagung, tidak hanya beras) dan laju pertumbuhan outputnya semakin tinggi, semakin baik nilai tukar petani, semakin baik pendapatan (kondisi ekonomi) petani. 2 Mustain Mashud, “Analisis Politik Ekonomi Petani Dalam Struktur Hubungan antara Negara dan Pasar,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 4, Oktober 2001, 77 -88. atau program tunjangan penda patan lainnya. Salah satu bentuk perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian adalah dapat dilihat dari struktur anggaran di APBN. Bagaimana dengan APB N 2000? Situasinya setali tiga uang. Bahkan, fakta ketidakadilan itu kian tampak jelas. Anggaran untuk pertanian jauh dibandingkan anggaran periode sebelumnya. Ekspansi sebagian besar dari APBN 2000 justru akan dialokasikan untuk membiayai pembayaran bunga utang dalam negeri. Itu didominasi oleh pembayaran bunga obligasi dan rekapitalisasi perbankan. "Masalah keadilan memang tampak pada alokasi pengeluaran dana pembangunan sektoral yang sangat timpang," ujar ekonom Indef Dr Bustanul Arifin dalam seminar mengenai `Tinjauan Kritis RAPBN 2000: Nasib Sektor Pertanian`. Menurut dia, pengeluaran untuk sektor-sektor yang diharapkan menjadi prioritas pemulihan dan pertumbuhan ekonomi kenapa justru sangat kecil. Sektor pertanian, nasibnya justru tak kunjung terangkat oleh perumus kebijakan di negeri ini. Meski ada revisi dalam RAPBN pada 2 Maret 2000 lalu. Tetapi, itu hanya berhasil meningkatkan tambahan alokasi anggaran dana pembangunan sektor pertanian dan kehutanan senilai Rp 600 miliar menjadi Rp 2,7 triliun. Angka ini berarti terdapat penurunan hampir 50% jika dibandingkan dengan pengeluaran yang sama untuk APBN 1999/2000 yang mencapai Rp 4,6 triliun. Tentu saja dengan anggaran seperti itu tidak akan banyak program pembangunan yang bisa dilaksanakan," ujar Bus tanul. Padahal subsektor pertanian yang merupakan basis ekonomi rakyat di pedesaan menguasai hajat hidup hampir 80% penduduk Indonesia. Sektor ini juga menyerap lebih 50% tenaga kerja. Juga menjadi katup pengaman pada saat krisis ekonomi melanda negeri ini. Keterhimpitan posisi petani, dalam kaitannya dengan hubungan negara dan pasar secara struktural mulai sejak jaman kolonial hingga jaman reformasi kelihatannya tidak banyak berubah. Sebagaimana dikemukakan Bates terhadap pengalaman di negara-negara Afrika, hampir semua kebijakan negara cenderung, kalau tidak selalu, berpihak kepada pasar dan kota. Secara struktural, kata Popkins dalam bukunya The Rational Peasant: The Political Economy of Rural Society in Vietnam (1979), bahwa para petani itu sesungguhnya sangat rasional. Namun, karena ketiadaan akses, atau malah aksesnya “diblokade” oleh negara terhadap dunia luarlah yang menyebabkan mereka tidak banyak beranjak dari stagnasi kehidupannya yang serba pas pasan. Pada saat yang sama, negara memberikan kebebasan, atau dalam banyak hal malah memfasilitasi perkembangan pasar bebas. Misalnya, di satu pihak demi kecukupan pangan dan stabilisasi harga kebutuhan pokok negara 87 Mustain Mashud, “Analisis Politik Ekonomi Petani Dalam Struktur Hubungan antara Negara dan Pasar,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 4, Oktober 2001, 77 -88. menetapkan standar harga produk pertanian (misalnya beras) dan mengatur kemana dan kepada s iapa menjualnya; sementara pasar secara bebas membanjiri produk produk industrinya dengan harga semaunya. Akibatnya, nilai harga jual produk pertanian dari tahun ke tahun tak banyak beranjak, tetapi harga barang-barang produk industri naik berlipat ganda. Masyarakat petani di desa desa boleh jadi bisa sedikit bersyukur. Sampai sejauh ini, paling tidak, sudah mulai semakin banyak dana yang dialokasikan dan ditangani sendiri oleh daerah. Dana yang didaerahkan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Dari 36,6% pada tahun anggaran 1993/94 meningkat menjadi 38,3% pada anggaran 1997/1998 dan pada anggaran 1999/2000 naik lagi menjadi 50,8%. Kesungguhan pemerintah untuk mengalihkan dana pembangunan ke daerah, kata dia, semakin tampak pada anggaran 2000 yakni 64,8% dana pembangunan langsung dialokasikan ke daerah. "Jadi, upaya meningkatkan peran sektor pertanian di daerah akan makin strategis." Namun, persoalannya bukan semata-mata pada besaran dana yang mengalir ke daerah. Apalagi bagaimana meningkatkan produk tivitas pertanian. Masalah utama nya tak lain bagaimana melepaskan jeratan dan jebakan struktural yang dialami para petani selama pemerintahan negara ini ada dan ironisnya semuanya itu juga akibat dari kebijakan negara itu sendiri. 88 Daftar Pustaka Bates, Robert H, Markets and States in Tropical Africa:The Political Basis of Agricultural Policies (Berkeley, CA: University of California Press, 1981). Husein Sawit, M, Komoditas Beras: Bela Petani, Atau Konsumen?, (Makalah), Center for Agro Socio Economic Research (CASER), Bogor Kohli, Atul, “The Political Economy of Development Strategies: Comparative Perspectives on the Role of the State”, Comparative Politics (January), 1987. Maso’ed, Mohtar, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966–71 (Jakarta: LP3ES, 1989). -------------------- , Ekonomi Politik Internasional Pembangunan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1989). Nugroho, Heru, Negara, Pasar dan Keadilan Sosial. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001). Popkin, S.L, The Rational Peasant: The Political Economy of Rural Society in Vietnam (Barkeley: University of California Press, 1979). Tambunan, Tulus, “Nilai Tukar Petani”, dalam Jurnal Pasar Modal Indonesia, LP3E-Kadin Indonesia, Mei 2000: http:/ www.jurnalindonesia. com Media Indonesia, 3 Maret 2000