BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hipertiroidisme merupakan salah satu penyakit gangguan kelenjar
endokrin yang disebabkan karena peningkatan produksi hormone tiroid secara
berlebihan oleh kelenjar tiroid. Penyakit ini ditemukan pada 2% wanita dan 0,2%
pria di seluruh populasi dengan insiden munculnya kasus pertahun sebanyak dua
puluh orang penderita tiap satu juta populasi (Fumarola et al, 2010).
Berbagai manifestasi klinik yang muncul akibat penyakit ini dapat
mengganggu aktivitas pasien sehari-hari. Manifestasi klinik yang dirasakan pasien
dapat berupa gangguan psikiatrik seperti rasa cemas berlebihan dan emosi yang
mudah berubah, gangguan pencernaan berupa diare, hingga gangguan
kardiovaskuler berupa takikardi dan palpitasi (Bahn et al, 2011).
Pada pasien hipertiroidisme, terapi yang diberikan dapat berupa terapi
konservatif dengan pemberian obat anti tiroid maupun terapi pengurangan atau
ablasi kelenjar tiroid dengan iodine radioaktif dan tiroidektomi (pengangkatan
kelenjar tiroid) yang disesuaikan dengan etiologi penyakit dan pilihan pasien. Dari
ketiga pilihan terapi tersebut, terapi dengan obat anti tiroid merupakan salah satu
terapi yang banyak digunakan. Obat anti tiroid yang digunakan secara luas
sebagai
lini
pertama
adalah
golongan
propylthiouracil dan methimazole.
1
thionamide,
yang
terdiri
dari
2
Obat anti tiroid umumnya digunakan selama lebih dari enam bulan
hingga pasien mencapai remisi dan pengobatan dapat dihentikan. Selama
menggunakan obat anti tiroid pasien dapat mengalami efek samping berupa
munculnya ruam kulit, gangguan hepar dan agranulositosis (Fumarola et al,
2010).
Pada penggunaan obat anti tiroid, rasionalitas terapi memegang peranan
penting dalam menjamin penggunaan obat yang tepat, aman dan efektif. Dengan
pemilihan jenis obat anti tiroid dan pemberian dosis yang tepat, kondisi euthyroid
dan remisi dapat lebih cepat tercapai dan memperpendek durasi terapi. Dan
dengan penggunaan obat yang sesuai dengan kondisi pasien dapat mengurangi
risiko efek samping yang muncul.
Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian mengenai evaluasi terapi
pengobatan hipertiroidisme dengan obat anti tiroid perlu dilakukan untuk
mengetahui gambaran pola pengobatan hipertiroidisme di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya dan mengevaluasi rasionalitas pengobatan agar terapi mendapatkan
outcome yang diharapkan.
B. Perumusan Masalah
1. Seperti apakah karakteristik pasien hipertiroidisme di instalasi rawat jalan
RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2007 – 2012?
2. Bagaimana pola penggunaan obat anti tiroid pada pasien hipertiroidisme rawat
jalan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya?
3
3. Bagaimana evaluasi rasionalitas penggunaan obat antitiroid pada pasien
hipertiroidisme rawat jalan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode tahun
2007 – 2012 berdasarkan standar terapi Hyperthyroidism and Other Causes of
Thyrotoxicosis: Management Guidelines of The American Thyroid Association
and American Association of Clinical Endocrinologists tahun 2011 serta
Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dr. Soetomo Edisi III tahun 2008?
4. Berapa lama durasi terapi yang dibutuhkan dengan obat anti tiroid hingga
pasien mencapai kondisi euthyroid?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui karakteristik pasien hipertiroidisme di instalasi rawat jalan RSUD
Dr. Soetomo Surabaya periode 2007 – 2012?
2. Mengetahui pola penggunaan obat anti tiroid pada pasien hipertiroidismerawat
jalan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya
3. Mengetahui evaluasi rasionalitas penggunaan obat anti tiroid pada pasien
hipertiroidisme rawat jalan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode tahun
2007 – 2012 berdasarkan standar terapi Hyperthyroidism and Other Causes of
Thyrotoxicosis: Management Guidelines of The American Thyroid Association
and American Association of Clinical Endocrinologists tahun 2011 serta
Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dr. Soetomo Edisi III tahun 2008.
4. Mengetahui durasi terapi yang dibutuhkan dengan obat anti tiroid hingga
pasien mencapai kondisi euthyroid.
4
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi RSUD Dr. Soetomo Surabaya : penelitian ini diharapkan dapat
memberikan gambaran mengenai pola pengobatan pasien hipertiroidisme
dengan obat anti tiroid dan dapat menjadi pertimbangan dalam penatalaksaan
terapi yang lebih tepat sehingga dapat dicapai outcome terapi yang lebih baik.
2. Bagi peneliti dan pembaca : hasil penelitian dapat memberi pengetahuan dan
wawasan mengenai pola penggunaan obat anti tiroid di instalasi rawat jalan
RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan evaluasi penggunaan yang meliputi
ketepatan indikasi, ketepatan pasien dan kesesuaian obat berdasarkan standar
terapi Hyperthyroidism and Other Causes of Thyrotoxicosis: Management
Guidelines of The American Thyroid Association and American Association of
Clinical Endocrinologists tahun 2011 serta Pedoman Diagnosis dan Terapi
RSUD Dr. Soetomo Edisi III tahun 2008.
E. Tinjauan Pustaka
1. Definisi Hipertiroidisme
Menurut American Thyroid Association dan American Association of
Clinical
Endocrinologists,
hipertiroidisme
didefinisikan
sebagai
kondisi
berupapeningkatan kadar hormon tiroid yang disintesis dan disekresikan oleh
kelenjar tiroid melebihi normal (Bahn et al, 2011).
Hipertiroidisme merupakan salah satu bentuk thyrotoxicosis atau
tingginya kadar hormon tiroid, T4, T3 maupun kombinasi keduanya, di aliran
darah. Peningkatan kadar hormon tiroid menyebabkan paparan berlebihan pada
5
jaringan-jaringan tubuh yang menyebabkan munculnya berbagai manifestasi
klinik yang terkait dengan fungsi hormon tiroid dalam berbagai proses
metabolisme tubuh (Bartalena, 2011).
2. Faktor Risiko
a. Terjadinya hipertiroidisme
Menurut Anonim (2008), faktor-faktor risiko seseorang untuk
terkena hipertiroidisme sebagai berikut:
1) Memiliki riwayat gangguan tiroid sebelumnya seperti goiter atau
pernah menjalani operasi kelenjar tiroid.
2) Memiliki riwayat penyakit autoimun seperti diabetes mellitus dan
gangguan hormonal.
3) Adanya riwayat gangguan tiroid di keluarga.
4) Mengkonsumsi iodine dalam jumlah berlebihan secara kronik.
5) Menggunakan
obat-obatan
yang
mengandung
iodine
seperti
amiodarone.
6) Berusia lebih dari 60 tahun.
b. Kambuh (relapse)
Terjadinya kekambuhan setelah pengobatan hipertiroidisme
terutama dengan obat antitiroid cukup tinggi dengan persentase 30 – 70%
(Bartalena, 2011). Kekambuhan pada pasien hipertiroidisme dapat terjadi
satu tahun setelah pengobatan dihentikan hingga bertahun-tahun
6
setelahnya. Secara umum faktor-faktor risiko terjadi kekambuhan
hipertiroidisme adalah sebagai berikut:
1) Berusia kurang dari 40 tahun.
2) Ukuran goiter tergolong besar.
3) Merokok.
4) Serum TSH-receptor Antibody (TSAb) masih terdeteksi di akhir
pengobatan dengan obat anti tiroid.
5) Faktor psikologis seperti depresi.
3. Etiologi
Berdasarkan etiologinya hipertiroidisme dapat dibagi menjadi beberapa
kategori, secara umum hipertiroidisme yang paling banyak ditemukan adalah
Graves’ Disease, toxic adenoma, dan multinodular goiter.
a. Graves’ Disease
Graves’ disease merupakan penyebab utama hipertiroidisme karena
sekitar 80% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan oleh Graves’ disease.
Penyakit ini biasanya terjadi pada usia 20 – 40 tahun, riwayat gangguan tiroid
keluarga, dan adanya penyakit autoimun lainnya misalnya diabetes mellitus
tipe 1 (Fumarola et al, 2010).
Graves’ disease merupakan gangguan autoimun berupa peningkatan
kadar hormon tiroid yang dihasilkan kelenjar tiroid Kondisi ini disebabkan
karena adanya thyroid stimulating antibodies (TSAb) yang dapat berikatan
dan mengaktivasi reseptor TSH (TSHr). Aktivasi reseptor TSH oleh TSAb
7
memicu perkembangan dan peningkakan aktivitas sel-sel tiroid menyebabkan
peningkatan kadar hormon tiroid melebihi normal.
TSAb dihasilkan melalui proses respon imun karena adanya paparan
antigen. Namun pada Graves’ Disease sel-sel APC (antigen presenting cell)
menganggap sel kelenjar tiroid sebagai antigen yang dipresentasikan pada sel
T helper melalui bantuan HLA (human leucocyte antigen). Selanjutnya T
helper akan merangsang sel B untuk memproduksi antibodi berupa TSAb.
Salah satu faktor risiko penyebab timbulnya Graves’ Disease adalah
HLA. Pada pasien Graves’ Disease ditemukan adanya perbedaan urutan asam
amino ke tujuh puluh empat pada rantai HLA-DRb1. Pada pasien Graves’
Disease asam amino pada urutan ke tujuh puluh empat adalah arginine,
sedangkan umumnya pada orang normal, asam amino pada urutan tersebut
berupa glutamine (Jacobson et al, 2008).
Untuk membantu menegakkan diagnosis pasien menderita Graves’
disease perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.
Menurut Baskin et al (2002), pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk
menegakkan diagnosis Graves’ disease yaitu TSH serum, kadar hormon tiroid
(T3 dan T4) total dan bebas, iodine radioaktif, scanning dan thyrotropin
receptor antibodies (TRAb). Pada pasien Graves’ disease, kadar TSH
ditemukan rendah disertai peningkatan kadar hormon tiroid. Dan pada
pemeriksaan dengan iodine radioaktif ditemukan uptake tiroid yang melebihi
normal. Sedangkan pada teknik scanning iodine terlihat menyebar di semua
bagian kelenjar tiroid, dimana pola penyebaran iodine pada Graves’ disease
8
berbeda pada hipertiroidisme lainnya. TRAb ditemukan hanya pada penderita
Graves’ disease dan tidak ditemukan pada penyakit hipertiroidisme lainnya
sehingga dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis Graves’ Disease. Selain itu
TRAb dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan terapi dan tercapainya
kondisi remisi pasien (Okamoto et al, 2006).
Menurut Bahn et al (2011), terapi pada pasien Graves’ disease dapat
berupa pemberian obat anti tiroid, iodine radioaktif atau tiroidektomi. Di
Amerika Serikat, iodine radioaktif paling banyak digunakan sebagai terapi
pada pasien Graves’ disease. Sedangkan di Eropa dan Jepang terapi dengan
obat anti tiroid dan operasi lebih banyak diberikan dibandingkan iodine
radioaktif. Namun demikian pemilihan terapi didasarkan pada kondisi pasien
misalnya ukuran goiter, kondisi hamil, dan kemungkinan kekambuhan.
Selain pemberian terapi di atas, pasien Graves’ disease perlu
mendapatkan terapi dengan beta-blocker. Beta-blocker digunakan untuk
mengatasi keluhan seperti tremor, takikardia dan rasa cemas berlebihan.
Pemberian beta-blocker direkomendasikan bagi semua pasien hipertiroidisme
dengan gejala yang tampak (Bahn et al, 2011).
b. Toxic Adenoma
Pada pasien toxic adenoma ditemukan adanya nodul yang dapat
memproduksi hormon tiroid. Nodul didefinisikan sebagai masa berupa folikel
tiroid yang memiliki fungsi otonom dan fungsinya tidak terpengaruhi oleh
kerja TSH (Sherman dan Talbert, 2008).
9
Sekitar 2 – 9% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan karena
hipertiroidisme jenis ini. Menurut Gharib et al (2007), hanya 3–7% pasien
dengan nodul tiroid yang tampak dan dapat teraba, dan 20 – 76% pasien
memiliki nodul tiroid yang hanya terlihat dengan bantuan ultra sound.
Penyakit ini lebih sering muncul pada wanita, pasien berusia lanjut, defisiensi
asupan iodine, dan riwayat terpapar radiasi.
Pada pasien dengan toxic adenoma sebagian besar tidak muncul
gejala atau manifestasi klinik seperti pada pasien dengan Graves’ disease.
Pada sebagian besar kasus nodul ditemukan secara tidak sengaja saat
dilakukan pemeriksaan kesehatan umum atau oleh pasien sendiri.
Sebagian besar nodul yang ditemukan pada kasus toxic adenoma
bersifat benign (bukan kanker), dan kasus kanker tiroid sangat jarang
ditemukan. Namun apabila terjadi pembesaran nodul secara progresif disertai
rasa sakit perlu dicurigai adanya pertumbuhan kanker. Dengan demikian perlu
dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap kondisi pasien untuk
memberikan tatalaksana terapi yang tepat.
Munculnya nodul pada tiroid lebih banyak ditemukan pada daerah
dengan asupan iodine yang rendah. Menurut Paschke (2011), iodine yang
rendah menyebabkan peningkatan kadar hidrogen peroksida di dalam kelenjar
tiroid yang akan menyebabkan mutasi. Hal ini sesuai dengan Tonacchera dan
Pinchera (2010), yang menyatakan pada penderita hipertiroidisme dengan
adanya nodul ditemukan adanya mutasi pada reseptor TSH.
10
Pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis toxic adenoma adalah pemeriksaan TSH, kadar hormon tiroid bebas,
ultrasonography dan fine-needle aspiration (FNA). Pemeriksaan TSH
merupakan pemeriksaan awal yang harus dilakukan untuk mengevaluasi
fungsi kelenjar tiroid, serta perlu dilakukan pemeriksaan kadar hormon tiroid
(T4 dan T3). Ultrasonography merupakan pemeriksaan yang menggunakan
gelombang suara frekuensi tinggi untuk mendapatkan gambar dan bentuk
kelenjar tiroid. Dengan pemeriksaan ini dapat diidentifikasi bentuk dan ukuran
kelenjar tiroid pasien. Sedangkan pemeriksaan dengan fine-needle aspiration
digunakan untuk mengambil sampel sel di kelenjar tiroid atau biopsi. Dari
hasil biopsi dengan FNA dapat diketahui apakah nodul pada pasien bersifat
benign (non kanker) atau malignant (kanker) (Gharib et al, 2010).
Tata laksana terapi bagi pasien hipertiroidisme akibat toxic adenoma
adalah dengan iodine radioaktif atau tiroidektomi. Sebelum dilakukan
tindakan dengan iodine radioaktif atau tiroidektomi pasien disarankan
mendapat terapi dengan obat anti tiroid golongan thionamide hingga mencapai
kondisi euthyroid (Bahn et al, 2011). Setelah terapi dengan iodine radioaktif
dan tiroidektomi perlu dilakukan evaluasi setiap 1-2 bulan meliputi evaluasi
kadar TSH, T4 bebas dan T3 total. Serta dilakukan tes ultrasonography untuk
melihat ukuran nodul (Gharib et al, 2010).
c. Toxic Multinodular Goiter
Selain Grave’s Disease dan toxic adenoma, toxic multinodular goiter
merupakan salah satu penyebab hipertiroidisme yang paling umum di dunia.
11
Secara patologis toxic multinodular goiter mirip dengan toxic adenoma karena
ditemukan adanya nodul yang menghasilkan hormon tiroid secara berlebihan,
namun pada toxic multinodular goiter ditemukan beberapa nodul yang dapat
dideteksi baik secara palpasi maupun ultrasonografi. Penyebab utama dari
kondisi ini adalah faktor genetik dan defisiensi iodine.
Tatalaksana utama pada pasien dengan
toxic multinodular goiter
adalah dengan iodine radioaktif atau pembedahan. Dengan pembedahan
kondisi euthyroid dapat tercapai dalam beberapa hari pasca pembedahan,
dibandingkan pada pengobatan iodine radioaktif yang membutuhkan waktu 6
bulan.
d. Hipertiroidisme Subklinis
Graves’ Disease, toxic adenoma, dan toxic multinodular goiter
merupakan penyebab utama hipertiroidisme utama di seluruh dunia dan
termasuk dalam jenis overt hyperthyroidism. Pada hipertiroidisme jenis ini,
kadar TSH ditemukan rendah atau tidak terdeteksi disertai peningkatan kadar
T4 dan T3 bebas (Bahn et al, 2011).
Selain ketiga jenis di atas, sekitar 1% kasus hipertiroidisme
disebabkan hipertiroidisme subklinis. Pada hipertiroidisme sub klinis, kadar
TSH ditemukan rendah disertai kadar T4 dan T3 bebas atau total yang normal.
Menurut Ghandour (2011), 60% kasus hipertiroidisme subklinis disebabkan
multinodular goiter. Pada pasien yang menderita hipertiroidisme subklinis
dapat ditemukan gejala klinis yang tampak pada pasien overt hyperthyroidism.
12
Menurut Bahn et al, 2011 prinsip pengobatan hipertiroidisme sub klinis sama
dengan pengobatan overt hyperthyroidism.
4. Diagnosis
Diagnosis hipertiroidisme ditegakkan tidak hanya berdasarkan gejala dan
tanda klinis yang dialami pasien, tetapi juga berdasarkan hasil laboratorium dan
radiodiagnostik.
Menurut Ghandour dan Reust (2011), untuk menegakkan diagnosis
hipertiroidisme, perlu dilakukan pemeriksaan kadar TSH serum, T3 bebas, T4
bebas, dan iodine radioaktif seperti pada gambar I.
Ukur TSH serum. Kadar di
bawah normal (<0,5 mIU/L)?
Tidak
Apakah kadar TSH di atas
Normal (>5 mIU/L)?
Tidak
Ya
Jika kadar TSH di dalam rentang
normal, pertimbangkan penyebab
lain dari gejala klinik
Ya
Ukur T3 dan T4 bebas.
Terjadi peningkatan?
Tidak
Jika kadar T3 dan T4
normal, curigai
hipertiroidisme subklinik
Tidak
Jika uptake RAI rendah atau
normal, ukur tiroglobulin.
Terjadi peningkatan?
Ukur kadar T3 dan T4 bebas. Jika
tinggi, rujuk pemeriksaan kelenjar
tiroid dengan MRI untuk
memeriksa adanya tumor
Ya
Lakukan pemeriksaan RAI.
Apakah uptake RAI tinggi?
Ya
Jika pola uptake menyebar
(diffuse), curigai Graves’
Disease
Tidak
Jika kadar tiroglobulin
rendah, curigai
hipertiroidisme eksogen
Ya
Curigai tiroiditis subklinis
Jika pola uptake nodular,
curigai multinodular goiter
Gambar 1. Algoritma Diagnosis Hipertiroidisme (Ghandour, 2011)
13
a. TSH
Thyroid stimulating hormone (TSH) merupakan hormon yang
diproduksi oleh hipofisis untuk menstimulasi pembentukan dan sekresi
hormon tiroid oleh kelenjar tiroid. Pada kondisi normal terdapat negative
feedback pada pengaturan sekresi TSH dan hormon tiroid di sistem pituitarythyroid axis. Apabila kadar hormon tiroid di aliran darah melebihi normal,
maka hipofisis akan mengurangi sekresi TSH yang pada akhirnya akan
mengembalikan kadar hormon tiroid kembali normal. Sebaliknya apabila
kadar hormon tiroid rendah maka hipofisis akan mensekresi TSH untuk
memacu produksi hormon tiroid.
Bahn et al (2011), menyarankan pemeriksaan serum TSH sebagai
pemeriksaan lini pertama pada kasus hipertiroidisme karena perubahan kecil
pada hormon tiroid akan menyebabkan perubahan yang nyata pada kadar
serum TSH. Sehingga pemeriksaan serum TSH sensitivitas dan spesifisitas
paling baik dari pemeriksaan darah lainnya untuk menegakkan diagnosis
gangguan tiroid.
Pada semua kasus hipertiroidisme (kecuali hipertiroidisme sekunder
atau yang disebabkan produksi TSH berlebihan) serum TSH akan sangat
rendah dan bahkan tidak terdeteksi (<0.01 mU/L). Hal ini bahkan dapat
diamati pada kasus hipertiroidisme ringan dengan nilai T4 dan T3 yang normal
sehingga pemeriksaan serum TSH direkomendasikan sebagai pemeriksaan
standar yang harus dilakukan (Bahn et al, 2011).
14
b. T4 dan T3
Pemeriksaan
direkomendasikan
serum
sebagai
tiroksin
(T4)
pemeriksaan
dan
standar
triiodotironin
untuk
(T3)
diagnosis
hipertiroidisme. Pemeriksaan utamanya dilakukan pada bentuk bebas dari
hormon tiroid karena yang menimbulkan efek biologis pada sistem tubuh
adalah bentuk tak terikatnya.
Pada awal terapi baik dengan obat anti tiroid, iodine radioaktif dan
tiroidektomi pemeriksaan kadar hormon tiroid perlu dilakukan untuk
mengetahui kondisi sebelum terapi. Satu bulan setelah terapi perlu dilakukan
pemeriksaan terhadap free T4, total T3 dan TSH untuk mengetahui efektivitas
terapi yang diberikan dan pemeriksaan dilakukan setiap satu bulan hingga
pasien euthyroid (Bahn et al, 2011).
Selain itu dari rasio total T3 dan T4 dapat digunakan untuk mengetahui
etiologi hipertiroidisme yang diderita pasien. Pada pasien hipertiroidisme
akibat Graves’ Disease dan toxic nodular goiter rasio total T3 dan T4> 20
karena lebih banyak T3 yang disintesis pada kelenjar tiroid hiperaktif
dibandingkan T4 sehingga rasio T3 lebih besar. Sedangkan pada pasien
painless thyroiditis dan post-partum thyroiditis rasio total T3 dan T4< 20
(Bahn et al, 2011; Baskin et al, 2002).
Menurut Beastall et al (2006), monitoring pada pasien hipertiroidisme
yang menggunakan obat anti tiroid tidak cukup hanya ditegakkan dengan
pemeriksaan kadar TSH. Hal ini disebabkan pada pasien hipertiroidisme
terutama Graves’ disease kadar TSH ditemukan tetap rendah pada awal
15
pemakaian obat anti tiroid sehingga untuk melihat efektivitas terapi perlu
dilakukan pemeriksaan kadar T4 bebas.
c. Thyroid Receptor Antibodies (TRAb)
Dalam menegakkan diagnosis hipertiroidisme akibat autoimun atau
Graves’ disease perlu dilakukan pemeriksaan titer antibodi. Tipe TRAb yang
biasanya diukur dalam penegakan diagnosis Graves’ disease adalah
antithyroid peroxidase antibody (anti-TPOAb), thyroid stimulating antibody
(TSAb), dan antithyroglobuline antibody (anti-TgAb).
Ditemukannya
TPOAb,
TSAb
dan
TgAb
mengindikasikan
hipertiroidisme pasien disebabkan karena Graves’ disease. TPOAb ditemukan
pada 70–80% pasien, TgAb pada 30–50% pasien dan TSAb pada 70–95%
pasien (Joshi, 2011).
Pemeriksaan
antibodi
dapat
digunakan
untuk
memprediksi
hipertiroidisme pada orang dengan faktor risiko misal memiliki keluarga yang
terkena gangguan tiroid dan tiroiditis post partum.Pada wanita hamil yang
positif ditemukan TPOAb dan TgAb pada trimester pertama memiliki
kemungkinan 30 – 50% menderita tiroiditis post partum (Stagnaro-Green et
al, 2011).
d. Radioactive Iodine Uptake
Iodine
radioaktif merupakan metode
yang
digunakan untuk
mengetahui berapa banyak iodine yang digunakan dan diambil melalui
transporter Na+/I- di kelenjar tiroid. Pada metode ini pasien diminta menelan
16
kapsul atau cairan yang berisi iodine radioaktif dan hasilnya diukur setelah
periode tertentu, biasanya 6 atau 24 jam kemudian.
Pada kondisi hipertiroidisme primer seperti Graves’ disease, toxic
adenoma dan toxic multinodular goiter akan terjadi peningkatan uptake iodine
radioaktif. Pemeriksaan ini dikontraindikasikan bagi pasien wanita yang hamil
atau menyusui (Beastall et al, 2006).
e. Scintiscanning
Scintiscanning merupakan metode pemeriksaan fungsi tiroid dengan
menggunakan unsur radioaktif. Unsur radioaktif yang digunakan dalam tiroid
scintiscanning adalah radioiodine (I131) dan technetium (99mTcO4-). Kelebihan
penggunaan technetium radioaktif daripada iodine diantaranya harganya yang
lebih murah dan pemeriksaan dapat dilakukan lebih cepat. Namun
kekurangannya risiko terjadinya false-positive lebih tinggi, dan kualitas
gambar kurang baik dibandingkan dengan penggunaan radioiodine (Gharib et
al, 2011).
Karena pemeriksaan dengan ultrasonography dan FNAC lebih efektif
dan akurat, scintiscanning tidak lagi menjadi pemeriksaan utama dalam
hipertiroidisme. Menurut Gharib et al (2010), indikasi perlunya dilakukan
scintiscanning di antaranya pada pasien dengan nodul tiroid tunggal dengan
kadar TSH rendah dan pasien dengan multinodular goiter. Selain itu dengan
scintiscanning dapat diketahui etiologi nodul tiroid pada pasien, apakah
tergolong hot (hiperfungsi) atau cold (fungsinya rendah).
17
f. Ultrasound Scanning
Ultrasonography (US) merupakan metode yang menggunakan
gelombang suara dengan frekuensi tinggi untuk mendapatkan gambaran
bentuk dan ukuran kelenjar tiroid. Kelebihan metode ini adalah mudah untuk
dilakukan, noninvasive serta akurat dalam menentukan karakteristik nodul
toxic adenoma dan toxic multinodular goiter serta dapat menentukan ukuran
nodul secara akurat (Beastall et al, 2006).
Pemeriksaan US bukan merupakan pemeriksaan utama pada kasus
hipertiroidisme. Indikasi perlunya dilakukan pemeriksaan US diantaranya
pada pasien dengan nodul tiroid yang teraba, pasien dengan multinodular
goiter, dan pasien dengan faktor risiko kanker tiroid (Gharib et al, 2010).
g. Fine Needle Aspiration Cytology (FNAC)
FNAC merupakan prosedur pengambilan sampel sel kelenjar tiroid
(biopsi) dengan menggunakan jarum yang sangat tipis. Keuntungan dari
metode ini adalah praktis, tidak diperlukan persiapan khusus, dan tidak
mengganggu aktivitas pasien setelahnya. Pada kondisi hipertiroidisme dengan
nodul akibat toxic adenoma atau multinodular goiter FNAC merupakan salah
satu pemeriksaan utama yang harus dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis Hasil dari biopsi dengan FNAC ini selanjutkan akan dianalisis di
laboratorium. Hasil dari biopsi pasien dapat berupa tidak terdiagnosis (jumlah
sel tidak mencukupi untuk dilakukan analisis), benign (non kanker),
suspicious (nodul dicurigai kanker), dan malignant (kanker) (Bahn et al, 2011;
Beastall et al, 2006).
18
Menurut Ghorib et al (2011) pada pasien dengan nodul berukuran
kecil yang tidak tampak atau tidak teraba, maka FNAC perlu dilakukan
dengan
bantuan
ultrasonography.
Selain
itu
penggunaan
bantuan
ultrasonography juga disarankan pada kondisi pasien dengan multinodular
goiter dan obesitas.
5. Tanda dan Gejala Klinis
Hormon
tiroid
memiliki
peranan
yang
vital
dalam
mengatur
metabolisme tubuh. Peningkatan kadar hormon tiroid dalam darah memacu
peningkatan kecepatan metabolisme di seluruh tubuh. Salah satu gejala yang
umum ditemui pada penderita hipertiroid adalah intoleransi panas dan berkeringat
berlebihan karena peningkatan kadar tiroid memacu peningkatan basal metabolic
rate. Selain itu hipertiroidisme juga mempengaruhi sistem kardiorespiratori
menyebabkan kondisi palpitasi, takikardi dan dyspnea umum ditemukan pada
pasien hipertiroidisme (Nayak dan Burman, 2006).
Tabel I. Gejala Dan Tanda Klinis Pasien Hipertiroidisme
Sistem organ
Neuropsikiatrik
Gastrointestinal
Sistem reproduksi
Kardiorespiratori
Dermatologik
Gejala
Emosi labil
Ansietas
Hiperdefekasi
Diare
Oligomenorrhea
Penurunan libido
Palpitasi
Dispnea
Rambut rontok
Sumber: Nayak dan Burman, 2006
Tanda Klinis
Paralisis periodik
Tremor
Gynecomastia
Atrial fibrilasi
Sinus takikardi
Myxedema
19
Akibat stimulasi sistem saraf adrenergik berlebihan, muncul gejalagejala psikiatrik seperti rasa cemas berlebihan, mudah tersinggung dan insomnia.
Peningkatan kecepatan metabolisme menyebabkan pasien hipertiroidisme cepat
merasa lapar dan nafsu makan bertambah, namun demikian terjadi penurunan
berat badan secara signifikan dan peningkatan frekuensi defekasi.Pada pasien
wanita dapat terjadi gangguan menstruasi berupa oligomenorrhea, amenorrhea
bahkan penurunan libido (Bahn et al, 2011; Baskin et al, 2002).
Pada pasien Graves’ disease, gejala klinis juga dapat berupa inflamasi
dan edema di otot mata (Graves’ ophtalmopathy) dan gangguan kulit lokal
(myxedema). Mekanisme terjadinya Graves’ ophtalmopathy dan myxedema
belum diketahui secara pasti namun diperkirakan pada keduanya terjadi akumulasi
limfosit yang disebabkan oleh aktivasi sitokin pada fibroblast (Weetman, 2000).
6. Tatalaksana Terapi Hipertiroidisme
Tujuan terapi baik dengan penggunaan obat anti tiroid, iodine radioaktif
maupun tiroidektomi adalah menurunkan kadar hormon tiroid pasien ke level
normal serta mencapai kondisi remisi. Kondisi remisi pada pasien hipertiroid
dapat tercapai apabila kadar hormon tiroid pasien dapat dijaga pada rentang
euthyroid (Laurberg, 2006).
Tata laksana terapi yang dapat digunakan untuk mengobati pasien
hipertiroidisme adalah sebagai berikut:
a. Obat Anti Tiroid
Obat anti tiroid merupakan golongan obat yang digunakan untuk
menekan kelebihan hormon tiroid pada pasien hipertiroidisme hingga level
20
normal (euthyroid). Tujuan utama penggunaan obat anti tiroid adalah untuk
mencapai kondisi euthyroid secepat mungkin dengan aman dan untuk
mencapai remisi. Lama penggunaan obat anti tiroid hingga mencapai remisi
bervariasi antar pasien dan kesuksesan terapi sangat tergantung pada
kepatuhan pasien dalam menggunakan obat (Baskin et al, 2002).
Di negara-negara maju, pengobatan hipertiroidisme cenderung
bergeser ke terapi iodine radioaktif dan penggunaan obat anti tiroid semakin
jarang diberikan karena tingginya kemungkinan relaps (kambuh) setelah
remisi dan jangka waktu pengobatan yang memakan waktu selama satu hingga
dua tahun. Namun demikian obat anti tiroid juga masih umum digunakan pada
pasien yang kontraindikasi terhadap iodine radioaktif, pasien hamil dan pasien
yang akan menjalani terapi radioiodine.
Pada pasien hipertiroidisme dengan toksik nodul atau toxic
multinodular goiter obat anti tiroid tidak direkomendasikan untuk digunakan
karena tidak menyebabkan remisi pada golongan pasien ini. Sedangkan pada
pasien Graves’ Disease obat anti tiroid terbukti dapat menghasilkan remisi
karena efek antitiroid dan imunosupresan (Ajjan dan Weetman, 2007).
1) Jenis Obat Anti Tiroid
Obat anti tiroid yang secara luas digunakan, propylthiouracil dan
methimazole, termasuk dalam golongan yang sama yaitu thionamide.
Keduanya memiliki mekanisme aksi yang sama namun memiliki profil
farmakokinetika yang berbeda dalam hal durasi, ikatan dengan albumin
dan lipofilisitas. Propylthiouracil dan methimazole dapat digunakan
21
sebagai terapi tunggal pada hipertiroidismeyang diakibatkan oleh Graves’
Disease maupun pada pasien yang akan menerimaterapi radioiodine dan
tiroidektomi (Bahn et al, 2011; Fumarola et al, 2010).
Dalam mengobati hipertiroidisme karena autoimun atau Graves’
Disease, obat anti tiroid dapat mengembalikan fungsi tiroid karena adanya
sifat imunosupresan. Obat anti tiroid dapat memacu apoptosis limfosit
intratiroid, menekan ekspresi HLA kelas 2, sel T dan natural killer cells
(Bartalena, 2011; Fumarola et al, 2010).
a) Propylthiouracil
Propylthiouracil atau biasa disingkat PTU merupakan obat
antitiroid golongan thionamide yang tersedia dalam sediaan generik di
Indonesia. Obat ini bekerja dengan cara menghambat kerja enzim
thyroid peroxidase dan mencegah pengikatan iodine ke thyroglobulin
sehingga mencegah produksi hormon tiroid. Selain itu obat anti tiroid
memiliki efek imunosupresan yang dapat menekan produksi limfosit,
HLA, sel T dan natural killer sel (Fumarola et al, 2010).
Menurut Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dr. Soetomo
edisi III, dosis awal propylthiouracil adalah 100-150 mg setiap 6 jam,
setelah 4 – 8 minggu dosis diturunkan menjadi 50 – 200 mg sekali atau
dua kali dalam sehari (Anonim, 2008). Keuntungan propylthiouracil
dibandingkan methimazole adalah propylthiouracil dosis tinggi juga
dapat mencegah konversi thyroxine (T4) menjadi bentuk aktif triiodothyronine (T3) di perifer, sehingga merupakan terapi pilihan dalam
22
thyroid storm atau peningkatan hormon tiroid secara akut dan
mengancam jiwa (Nayak dan Burman, 2006).
Propylthiouracil yang digunakan secara per oral hampir
sepenuhnya terabsorpsi di saluran gastrointestinal. Karena durasi
kerjanya yang hanya 12 – 24 jam maka PTU harus digunakan beberapa
kali sehari (multiple dose). Hal ini menjadi salah satu alasan obat ini
mulai ditinggalkan karena berkaitan dengan kepatuhan pasien
(Bartalena, 2011; Fumarola et al, 2010).
Di Amerika Serikat propylthiouracil hanya digunakan jika
pasien alergi atau dikontraindikasikan terhadap methimazole dan
hamil. Propylthiouracil tidak menjadi terapi lini pertama pada
pengobatan hipertiroidisme karena kepatuhan pasien yang rendah dan
efek samping berat seperti hepatotoksik.
Namun propylthiouracil merupakan obat pilihan pertama pada
pasien hipertiroidisme yang sedang hamil trimester pertama. Hal ini
disebabkan sifat PTU yang kurang larut lemak dan ikatan dengan
albumin lebih besar menyebabkan obat ini transfer plasenta lebih kecil
dibandingkan methimazole (Fumarola et al, 2010; Hackmon et al,
2012).
b) Methimazole
Methimazole atau biasa disingkat MMI merupakan obat anti
tiroid golongan thionamide yang menjadi lini pertama pengobatan
hipertiroidisme dan merupakan metabolit aktif dari carbimazole.
23
Carbimazole merupakan bentuk pro-drug dari methimazole yang
beredar di beberapa negara seperti Inggris. Di dalam tubuh
carbimazole akan diubah menjadi bentuk aktifnya methimazole dengan
pemotongan gugus samping karboksil pada saat metabolisme lintas
pertama (Bahn et al, 2011). Mekanisme kerja methimazole dalam
mengobati
menghambat
hipertiroidisme
kerja
enzim
sama
seperti
thyroid
propylthiouracil
peroxidase
dan
yaitu
mencegah
pembentukan hormon tiroid. Namun methimazole tidak memiliki efek
mencegah konversi T4 ke T3 (Nayak dan Burman, 2006).
Obat ini digunakan secara per oral dan hampir terabsorpsi
sempurna di saluran cerna. Karena durasi aksinya yang panjang,
sekitar 40 jam, maka MMI cukup digunakan satu kali sehari (single
dose). Menurut Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dr. Soetomo
Edisi III, dosis awal methimazole dimulai dengan 40 mg setiap pagi
selama 1 – 2 bulan dan selanjutnya dosis diturunkan menjadi 5 – 20
mg setiap pagi (Anonim, 2008).
Methimazole
merupakan
lini
pertama
pengobatan
hipertiroidisme karena efek samping yang relatif lebih rendah dari
propylthiouracil, faktor kepatuhan pasien, serta efektivitas yang lebih
baik dibandingkan propylthiouracil. Sejak tahun 1998 methimazole
merupakan obat anti tiroid yang paling banyak diresepkan di Amerika
Serikat untuk mengobati Graves’ Disease (Bahn et al, 2011; Emiliano
et al, 2010; Nakamura et al, 2007).
24
Penggunaan methimazole pada kehamilan terutama trimester
pertama tidak direkomendasikan karena efek teratogenik methimazole
menyebabkan malformasi kongenital seperti aplasia cutis dan choanal
atresia. Sehingga pada pasien hipertiroidisme yang sedang hamil
trimester pertama yang sedang mengonsumsi methimazole perlu
dilakukan penggantian terapi ke propylthiouracil.
Sedangkan pada ibu menyusui methimazole terbukti aman
diberikan hingga dosis 20 – 30 mg/ hari (Hackmon et al, 2012;
Stagnaro-Green et al, 2011).
2) Metode Terapi Obat Anti Tiroid
a) Block and Replacement
Pada metode block and replacement pasien diberikan obat anti
tiroid golongan thionamide (propylthiouracil atau methimazole) dosis
tinggi
tanpa
adanya
penyesuaian
dosis
bersamaan
dengan
levothyroxine. Pada penderita Graves’ Disease anti tiroid dosis tinggi
diharapkan dapat memberikan efek imunosupresan yang maksimal.
Sedangkan pemberian levothyroxine ditujukan untuk mengganti
kebutuhan hormon tiroid yang dihambat oleh obat anti tiroid dosis
tinggi dan mencegah hipotiroidisme (Bartalena, 2011).
Menurut Ajjan dan Weetman (2007), pemberian obat anti
tiroid dengan regimen dosis block and replacement lebih banyak
menghasilkan efek samping dibandingkan dengan metode titrasi
karena penggunaan obat anti tiroid dosis tinggi. Namun metode ini ini
25
memiliki keuntungan berupa fluktuasi fungsi tiroid yang lebih terjaga
dan durasi pengobatan yang lebih pendek (6 bulan).
b) Titrasi
Pada metode titrasi pemberian dosis disesuaikan dengan
kondisi hipertiroidisme masing-masing pasien. Dosis awal untuk
methimazole 15 – 40 mg/hari diberikan single dose dan dosis awal
untuk propylthiouracil 300 – 400 mg/hari diberikan multiple dose.
Prinsip dari regimen dosis dengan metode titrasi adalah mencapai
kondisi euthyroid secepatnya dan menghindari kondisi hipotiroidisme.
Apabila kadar TSH serum meningkat dan kadar T4 telah mencapai
kondisi euthyroid maka dosis obat anti tiroid diturunkan hingga
mencapai dosis efektif minimal yang menghasilkan efek (Bartalena,
2011).
Menurut Abraham et al (2005), pemberian obat anti tiroid
dengan metode titrasi memberikan efikasi yang setara dengan metode
block and replacement. Keunggulannya efek samping berupa rash dan
agranulositosis lebih jarang terjadi pada metode titrasi. Namun pada
metode
ini
durasi
pengobatan
yang
dibutuhkan
lebih
lama
dibandingkan dengan metode block and replacement, rata-rata selama
12 – 24 bulan, dan perlu dilakukan kontrol rutin untuk mengetahui
profil TSH dan hormon tiroid darah untuk penyesuaian dosis.
26
b. Iodine Radioaktif
Pengobatan hipertiroidisme dengan iodine radioaktif atau RAI
menjadi pilihan utama dokter di Amerika Serikat. Pada metode ini digunakan
isotop iodine, yang paling umum digunakan adalah131I. Di dalam tubuh RAI
akan di-uptake oleh kelenjar tiroid seperti iodine biasa, kemudian di dalam
kelenjar tiroid RAI beraksi dengan cara mencegah sintesis hormon tiroid
sehingga dapat menurunkan kadar hormon tiroid yang berlebihan. RAI
dikontraindikasikan bagi pasien yang hamil, menyusui, kanker tiroid dan
merencanakan kehamilan 4 – 6 bulan setelah terapi (Bahn et al, 2011; Baskin
et al 2002).
Efek samping pada pengobatan hipertiroidisme dengan RAI
diantaranya adalah memburuknya gejala Graves’ ophtalmopathy dan
peningkatan kadar hormon tiroid akut. Sehingga pada pasien dengan
hipertiroidisme dengan kadar T4 bebas yang tinggi, pasien berusia lanjut, atau
pada pasien dengan risiko komplikasi hipertiroidisme perlu diberikan obat anti
tiroid hingga mencapai kondisi euthyroid (Baskin et al, 2002).
Menurut Walter et al (2007), pasien yang menggunakan obat anti
tiroid seminggu sebelum maupun setelah pengobatan dengan iodine radioaktif
memiliki tingkat kegagalan yang lebih tinggi. Sehingga obat anti tiroid harus
dihentikan 2 minggu sebelum pemberian RAI (Ghandour dan Reust, 2011).
Kondisi euthyroid umumnya dapat tercapai tiga hingga enam bulan pasca
penggunaan RAI.
27
Pada pengobatan hipertiroidisme dengan metode RAI terdapat dua
metode pengobatan sebagai berikut
1.) Metode Ablative
Pada metode ini digunakan RAI dosis tinggi untuk mencapai
kondisi hipotiroidisme permanen. Metode ini direkomendasikan pada
pasien
geriatrik
dan
pasien
dengan
gangguan
jantung
untuk
mengendalikan gejala secepat mungkin. Selain itu metode ini merupakan
pilihan bagi pasien hipertiroidisme akibat toxic nodular goiter. Kelemahan
metode ini adalah pasien akan menderita hipotiroidisme secara permanen
dan perlu mendapat terapi pengganti hormon tiroid seumur hidup.
2.) Metode Gland-specific Method
Pada metode ini pasien diberikan RAI dosis rendah yang dapat
mencapai kondisi euthyroid. Kelebihan dari metode ini dibandingkan
metode ablative adalah pasien tidak menderita hipotiroidisme secara
permanen, namun demikian penghitungan dosis optimal sulit untuk
dilakukan (Ghandour dan Reust, 2011).
c. Tiroidektomi
Tiroidektomi merupakan prosedur pembedahan pada kelenjar
tiroid.Metode terapi ini merupakan pilihan bagi pasien yang kontraindikasi
atau menolak pengobatan dengan obat anti tiroid dan iodine radioaktif.
Pembedahan direkomendasikan bagi pasien dengan multinodular goiter atau
goiter yang sangat besar (Baskin et al, 2002).
28
Secara umum prosedur tiroidektomi dapat dibedakan menjadi dua
metode berikut.
1) Tiroidektomi total
Pada prosedur ini dilakukan pengangkatan seluruh bagian
kelenjar tiroid. Dengan tidak adanya kelenjar tiroid yang memproduksi
hormon tiroid, pasien perlu mengonsumsi pengganti hormon tiroid oral
seumur hidup.
2) Tiroidektomi sub-total
Pada prosedur ini hanya dilakukan pengangkatan sebagian
kelenjar tiroid sehingga pasien tidak perlu mengonsumsi hormon tiroid
karena kelenjar tiroid yang tersisa masih dapat memproduksi hormon
tiroid.
Salah satu efek samping yang dapat muncul akibat pembedahan ini
adalah hipoparatioroidisme. Hipoparatiroidisme merupakan kondisi dimana
hormon paratiroid tubuh kurang dari normal, manifestasi klinik yang muncul
berupa hipokalsemia dan hiperfosfatemia. Secara anatomis kelenjar tiroid dan
paratiroid terletak berdekatan, sehingga pada prosedur tiroidektomi kelenjar
paratiroid dapat ikut terganggu dan menyebabkan hipoparatiroidisme setelah
tiroidektomi. Hipoparatiroidisme pada pasien tiroidektomi dapat bersifat
sementara maupun permanen. Selain hipoparatiroidisme, efek samping lainnya
yang dapat muncul adalah gangguan pada produksi suara beberapa hari hingga
beberapa minggu setelah operasi (Bhattacharyya dan Fried, 2002).
29
7. Penggunaan Obat Rasional
Menurut WHO penggunaan obat rasional didefinisikan sebagai pasien
menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinis, dosis sesuai kebutuhan
individu, selama waktu yang cukup, dan dengan biaya yang terendah.
Penggunaan obat dikatakan tidak rasional apabila tidak sesuai dengan
definisi di atas. Beberapa contoh penggunaan obat yang tidak rasional yang paling
sering umum terjadi adalah:
a. Polifarmasi, pasien menerima obat terlalu banyak.
b. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Pasien menerima dosis antibiotik
yang tidak tepat atau bahkan sebenarnya tidak memerlukan antibiotik.
c. Pemberian obat injeksi dimana penggunaan obat per oral masih dapat
digunakan.
d. Pemberian resep yang tidak sesuai dengan guideline atau panduan klinis.
e. Swamedikasi yang tidak tepat.
Penggunaan obat yang tidak tepat dapat menimbulkan efek bagi pasien
baik langsung maupun tidak langsung. Pada kasus penggunaan obat yang
berlebihandari sisi ekonomi dapat meningkatkan biaya yang harus dikeluarkan
pasien dan dari sisi klinik hal ini dapat meningkatkan kemungkinan munculnya
efek samping obat.
Pada pasien hipertiroidisme penggunaan obat rasional memegang kunci
penting dalam keberhasilan terapi. Ketepatan pemberian dosis dapat mempercepat
tercapainya kondisi euthyroid dan dapat memperpendek durasi terapi. Selain itu
regimen dosis antitiroid dan banyaknya obat dapat mempengaruhi kepatuhan
30
pasien
yang
secara
tidak
langsung
mempengaruhi
keberhasilan
terapi
hipertiroidisme.
F. Keterangan Empirik
Hipertiroidisme merupakan gangguan berupa produksi hormon tiroid
berlebihan yang mengakibatkan munculnya berbagai gejala klinis di antaranya
berupa gangguan psikiatrik, saraf, pencernaan, dan kardiovaskuler. Tata laksana
terapi yang umum dilakukan adalah dengan pemberian obat anti tiroid selama 12
– 24 bulan untuk mengembalikan kadar hormon tiroid ke kadar normal
(euthyroid). Efek samping yang dapat muncul berupa ruam kulit, hepatotoksisitas,
dan agranulositosis. Rasionalitas penggunaan obat anti tiroid berperan penting
dalam menjamin pengobatan yang tepat, aman dan efektif.
Penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai pola penggunaan
obat dan evaluasi rasionalitas penggunaan obat anti tiroid pada pasien
hipertiroidisme di RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2007 – 2012.
Download