Nuraeni. Pendidikan Inklusi di Lembaga PAUD. Jurnal

advertisement
Pendidikan Inklusi di Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini
Nuraeni
Program Studi Bimbingan dan Konseling, FIP IKIP Mataram
E-mail: [email protected]
Abstract: Inclusive education should be started in early childhood. In addition to laws and regulations that
support the implementation of early childhood education, conceptual and scientific studies of child
development, have shown positive values in the provision of early education services. The most striking effect
and can leave the impression that the old performed at the right time, ie during the critical or sensitive period.
Therefore, the need for stimuli given at an early age that can improve all aspects of the development is also
based on the view. Delay or waiver provision stimuli at the right time will give a negative impact on children's
development.
Abstrak: Pendidikan inklusif seharusnya dapat dimulai sejak anak usia dini. Selain undang-undang dan
peraturan yang mendukung terselenggaranya pendidikan anak usia dini, secara konseptual dan kajian-kajian
ilmiah mengenai perkembangan anak, telah menunjukkan adanya nilai-nilai positif dalam pemberian layanan
pendidikan sejak dini. pengaruh yang paling mengena dan dapat meninggalkan kesan yang lama dilakukan
pada saat yang tepat, yaitu pada masa kritis atau masa sensitif. Oleh karena itu, perlunya rangsangan diberikan
pada usia dini yang dapat meningkatkan seluruh aspek perkembangan juga didasarkan pada pandangan
tersebut. Keterlambatan atau pengabaian pemberian rangsangan pada saat yang tepat akan memberi dampak
negatif bagi perkembangan anak.
Kata Kunci: Pendidikan Inklusif, PAUD
Pendahuluan
Dalam undang-undang dasar 1945 pasal 31
ayat 1 dan Undang-undang nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dinyatakan bahwa setiap warga negara
mempunyai kesempatan yang sama untuk
memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula
memperoleh kesempatan yang sama dengan
anak lainnya (anak normal) dalam
pendidikan.
Pendidikan terpadu yang ada pada
saat ini diarahkan menuju pendidikan
inklusif sebagai wadah yang ideal yang
diharapkan
dapat
mengakomodasikan
pendidikan bagi semua anak terutama anakanak yang memiliki kebutuhan pendidikan
khusus yang selama ini masih belum
terpenuhi haknya untuk memperoleh
pendidikan layaknya anak-anak lain.
© 2014 LPPM IKIP Mataram
Pendidikan inklusif seharusnya dapat
dimulai sejak anak usia dini. Selain undangundang dan peraturan yang mendukung
terselenggaranya pendidikan anak usia dini,
secara konseptual dan kajian-kajian ilmiah
mengenai perkembangan anak, telah menunjukkan adanya nilai-nilai positif dalam
pemberian layanan pendidikan sejak dini.
Smith (2006) menjelaskan bahwa pengaruh
yang
paling
mengena
dan
dapat
meninggalkan kesan yang lama dilakukan
pada saat yang tepat, yaitu pada masa kritis
atau masa sensitif. Oleh karena itu, perlunya
rangsangan diberikan pada usia dini yang
dapat meningkatkan seluruh aspek perkembangan juga didasarkan pada pandangan
tersebut. Keterlambatan atau pengabaian
pemberian rangsangan pada saat yang tepat
akan memberi dampak negatif bagi
perkembangan anak.
Jurnal Kependidikan 13 (4): 393-400
Berkaitan dengan hal tersebut di atas,
Indonesia selama ini sudah menyelenggarakan pendidikan inklusif, dimulai dari
tingkat pendidikan dasar (SD) sampai
dengan tingkat atas (SMA). Pendidikan
inklusif selayaknya dapat dimulai dari
jenjang pendidikan yang paling awal, yaitu
dimulai dari jenjang PAUD. Hal ini
disebabkan karena pada saat usia dini,
seorang anak dapat menerima rangsangan
dengan sangat baik dibandingkan setelah
anak tersebut menginjak usia yang lebih
tinggi (usia SD).
Konsep ABK (Anak Berkebutuhan
Khusus)
Pengertian anak berkebutuhan khusus
memiliki arti yang lebih luas apabila
dibandingkan dengan pengertian anak luar
biasa. Anak berkebutuhan khusus adalah
anak yang dalam pendidikannya memerlukan pelayanan yang spesifik dan berbeda
dengan anak pada umumnya (Depdiknas,
2007). Anak berkebutuhan khusus ini
mengalami hambatan dalam belajar dan
perkembangan, baik itu disebabkan karena
kurang atau terlalu berlebihnya potensi yan
dimiliki sang anak. Oleh sebab itu mereka
memerlukan layanan pendidikan yang sesuai
dengan kebutuhan belajar masing-masing
anak.
Secara umum rentangan anak
berkebutuhan khusus meliputi dua kategori
yaitu: anak yang memiliki kebutuhan khusus
yang bersifat permanen, yaitu akibat dari
kelainan tertentu, dan anak berkebutuhan
khusus yang bersifat temporer, yaitu mereka
yang mengalami hambatan belajar dan
perkembangan yang disebabkan kondisi dan
situasi lingkungan. Misalnya, anak yang
394
mengalami kesulitan dalam menyesuaikan
diri akibat kerusuhan dan bencana alam, atau
tidak bisa membaca karena kekeliruan guru
mengajar, anak yang mengalami kedwibahasaan (perbedaan bahasa di rumah dan di
sekolah), anak yang mengalami hambatan
belajar dan perkembangan karena isolasi
budaya dan karena kemiskinan dsb. Anak
berkebutuhan khusus temporer, apabila tidak
mendapatkan intervensi yang tepat dan
sesuai dengan hambatan belajarnya bisa
menjadi permanen (Depdiknas, 2007).
Setiap anak berkebutuhan khusus,
baik yang bersifat permanen maupun yang
temporer, memiliki perkembangan hambatan
belajar dan kebutuhan belajar yang berbedabeda (Hildayani, 2009). Hambatan belajar
yang dialami oleh setiap anak, disebabkan
oleh tiga hal, yaitu: (1) faktor lingkungan (2)
faktor dalam diri anak sendiri, dan (3)
kombinasi antara faktor lingkungan dan
faktor dalam diri anak. Sesuai kebutuhan
lapangan maka pada buku ini hanya dibahas
secara singkat pada kelompok anak
berkebutuhan
khusus
yang
sifatnya
permanen.
Pengertian Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif mempunyai pengertian
yang beraneka ragam, Stainback dan
Stainback (1990) mengemukakan bahwa
sekolah inklusif adalah sekolah yang dapat
menampung semua siswa di kelas yang
sama. Sekolah tersebut mampu menyediakan
program pendidikan yang layak sesuai
dengan kemampuan dan kebutuhan setiap
siswa. Bantuan dan dukungan yang
diberikan oleh para guru agar semua anak
dapat mencapai keberhasilan.
Nuraeni, Pendidikan Inklusi di Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini
Staub dan Peck (1995) mengemukakan
bahwa pendidikan inklusif adalah dengan
menempatkan anak berkelainan tingkat
ringan, sedang dan berat secara penuh di
kelas reguler.
Pendidikan inklusif menurut SaponShevin (dalam Unesco, 2003) merupakan
sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan
dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas
reguler
bersama-sama
dengan
anak
seusianya. Hal ini menuntut konsekuensi
adanya restrukturisasi sekolah, sehingga
menjadi komunitas yang mendukung
pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak,
artinya kaya dalam sumber belajar dan
mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu
para siswa, guru, orang tua dan masyarakat
sekitar.
Istilah inklusif memiliki ukuran
universal. Istilah inklusif dapat dikaitkan
dengan persamaan, keadilan, dan hak
individual dalam pembagian sumber-sumber
seperti politik, pendidikan, sosial, dan
ekonomi. Dalam ranah pendidikan, istilah
inklusif dikaitkan dengan model pendidikan
yang tidak membeda-bedakan individu
berdasarkan kemampuan dan atau kelainan
yang dimiliki individu. Dengan demikian
pendidikan inklusif didasarkan atas prinsip
persamaan, keadilan, dan hak individu.
Istilah pendidikan inklusif digunakan
untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak
berkebutuhan
khusus
(penyandang
hambatan/cacat) ke dalam program sekolah.
Konsep inklusif memberikan pemahaman
mengenai pentingnya penerimaan anak-anak
yang memiliki hambatan ke dalam
kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial
yang ada di sekolah
Walisman (2009) menyatakan bahwa
hakikat inklusif adalah mengenai persamaan
hak setiap siswa atas perkembangan
individu, sosial, dan intelektual. Para siswa
harus diberi kesempatan yang sama untuk
mencapai potensi mereka. Untuk mencapai
potensi tersebut, sistem pendidikan harus
dirancang
dengan
memperhitungkan
perbedaan-perbedaan yang ada pada diri
siswa. Bagi mereka yang memiliki ketidakmampuan khusus dan/atau memiliki
kebutuhan belajar yang luar biasa harus
mempunyai akses terhadap pendidikan yang
bermutu tinggi dan tepat. Keduanya
menekankan bahwa siswa memiliki hak
yang sama tanpa dibeda-bedakan berdasarkan perkembangan individu, sosial, dan
intelektual. Perbedaan yang terdapat dalam
diri individu harus disikapi dunia pendidikan
dengan mempersiapkan model pendidikan
yang disesuaikan dengan perbedaanperbedaan individu tersebut. Perbedaan
bukan lantas melahirkan diskriminasi dalam
pendidikan, namun pendidikan harus
tanggap dalam menghadapi perbedaan.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun
2009 disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan pendidikan inklusif adalah sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta
didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa
untuk
mengikuti
pendidikan
atau
pembelajaran dalam lingkungan pendidikan
secara bersama-sama dengan peserta didik
pada umumnya.
Pengertian pendidikan dalam Permendiknas di atas memberikan penjelasan
secara lebih rinci mengenai siapa saja yang
395
Jurnal Kependidikan 13 (4): 393-400
dapat dimasukkan dalam pendidikan inklusif. Perincian yang diberikan pemerintah
ini dapat dipahami sebagai bentuk kebijakan
yang sudah disesuaikan dengan kondisi
Indonesia, sehingga pemerintah memandang
perlu memberikan kesempatan yang sama
kepada semua peserta didik dari yang
normal, memilik kelainan, dan memiliki
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk
mengikuti pendidikan. Dengan demikian
pemerintah
mulai
mengubah
model
pendidikan yang selama ini memisahmisahkan peserta didik normal ke dalam
sekolah reguler, peserta didik dengan
kecerdasan luar biasa dan bakat istimewa ke
dalam sekolah (baca: kelas) akselerasi, dan
peserta didik dengan kelainan ke dalam
Sekolah Luar Biasa (SLB).
Rumusan mengenai pendidikan
inklusif yang disusun oleh Direktorat
Pendidikan Sekolah Luar Biasa (PSLB)
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan
Dasar dan Menengah (Mandikdasmen)
Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) mengenai pendidikan inklusif
menyebutkan bahwa pendidikan inklusif
adalah sistem layanan pendidikan yang
mensyaratkan anak berkebutuhan khusus
belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas
biasa bersama-sama teman seusianya.
Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
adalah sekolah yang menampung semua
murid di sekolah yang sama. Sekolah ini
menyediakan program pendidikan yang
layak dan menantang, tetapi disesuaikan
dengan kemampuan dan kebutuhan setiap
murid maupun bantuan dan dukungan yang
dapat diberikan oleh para guru agar anakanak berhasil.
396
Pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas secara umum menyatakan hal
yang sama mengenai pendidikan inklusif.
Pendidikan inklusif berarti pendidikan yang
dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan semua peserta didik, baik peserta didik
yang normal maupun peserta didik berkebutuhan khusus. Masing-masing dari
mereka memperoleh layanan pendidikan
yang sama tanpa dibeda-bedakan satu sama
lain.
Latar Belakang Pendidikan Inklusif di
PAUD
Pendidikan inklusif seharusnya dapat
dimulai sejak anak usia dini. Selain undangundang dan peraturan yang mendukung
terselenggaranya pendidikan anak usia dini,
secara konseptual dan kajian-kajian ilmiah
mengenai perkembangan anak, telah
menunjukkan adanya nilai-nilai positif
dalam pemberian layanan pendidikan sejak
dini. Smith (2006) menjelaskan bahwa
pengaruh yang paling mengena dan dapat
meninggalkan kesan yang lama dilakukan
pada saat yang tepat, yaitu pada masa kritis
atau masa sensitif. Oleh karena itu, perlunya
rangsangan diberikan pada usia dini yang
dapat meningkatkan seluruh aspek perkembangan juga didasarkan pada pandangan
tersebut. Keterlambatan atau pengabaian
pemberian rangsangan pada saat yang tepat
akan memberi dampak negatif bagi
perkembangan anak.
Disamping uraian di atas, alasan
mengapa program inklusif sebaiknya
diterapkan sejak di PAUD karena ternyata
ada banyak sekali manfaat yang bisa didapat
dari program inklusif yang diselenggarakan
oleh sekolah-sekolah, diantaranya:
Nuraeni, Pendidikan Inklusi di Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini
1. Manfaat bagi semua siswa;
 Bagi anak-anak yang tidak memiliki
hambatan akan menambah wawasan
bahwa di lingkungan mereka ada
beberapa individu yang mempunyai
beberapa hambatan
 Setelah
mereka
mengetahuinya
selanjutnya dapat menimbulkan efek
pemahaman dan penerimaan sejak
dini
 Bagi anak berkebutuhan khusus tidak
akan merasa bahwa mereka berbeda
dengan anak-anak lain
 Meningkatkan rasa percaya diri
anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus.
2. Manfaat bagi tenaga pendidik
 Guru memperoleh ilmu dan dan
pengalaman baru yang sangat
bermanfaat bagi mereka
 Menemukan metode-metode manipulatif dan kreatif dalam pengajaran
 Menumbuhkan suatu komitmen
terhadap etika dan tanggung jawab
pengajaran.
3. Manfaat bagi orangtua
Manfaat bagi orangtua dengan ABK
adalah dapat meningkatkan rasa percaya
diri mereka karena ternyata anaknya
bukanlah
“penyakit”
yang
perlu
disingkirkan tapi bisa bergabung dengan
bukan ABK. Manfaat bagi orangtua pada
umumnya adalah dalam rangka pengembangan sikap empati, penghargaan dan
penerimaan
pada
ABK
beserta
keluarganya.
anak yang harus dikucilkan dan
disingkirkan, ABK bisa bergabung
dengan anak pada umumnya karena
mereka seperti yang lainnya juga adalah
manusia yang tentu saja mempunyai hak
yang sama. Keterbukaan pemahaman
masyarakat tersebut bisa dibangun
melalui adanya sekolah-sekolah inklusif,
terutama apabila dimulai dari jenjang
PAUD.
Model-model Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu.
Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai
dengan kebutuhan khususnya, semua
diusahakan dapat dilayani secara optimal
dengan melakukan berbagai modifikasi dan
atau penyesuaian, mulai dari kurikulum,
sarana-prasarana, tenaga pendidik dan
kependidikan, sistem pembelajaran sampai
pada sistem penilaiannya.
Pendidikan inklusif mensyaratkan
pihak sekolah yang harus menyesuaikan
dengan tuntutan kebutuhan individu peserta
didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan.
Dengan melihat adanya penyesuaian
terhadap kebutuhan peserta didik yang
berbeda-beda, maka dalam setting pendidikan inklusif model pendidikan yang
dilaksanakan memiliki model yang berbeda
dengan model pendidikan yang lazim
dilaksanakan di sekolah-sekolah reguler.
Pada dasarnya pendidikan inklusif memiliki
beberapa model, diantaranya (Dikdasmen,
2007):
4. Manfaat bagi masyarakat
Masyarakat secara umum akan terbuka
pemahamannya bahwa ABK bukanlah
397
Jurnal Kependidikan 13 (4): 393-400
1.
2.
3.
4.
5.
398
Kelas
inklusif
penuh
(full
inclusion).
Model ini menyertakan peserta didik
berkebutuhan khusus untuk menerima pembelajaran individual dalam
kelas reguler.
Kelas inklusif parsial (partial
inclusion) atau pull out
Model ini mengikutsertakan peserta
didik berkebutuhan khusus dalam
sebagian pembelajaran yang berlangsung di kelas reguler dan sebagian
lagi dalam kelas-kelas pull out
dengan bantuan guru pendamping
khusus.
Kelas reguler dengan cluster dan
pull out
Anak berkebutuhan khusus bersama
anak lain (normal) di kelas reguler
dalam kelompok khusus, dan dalam
waktu-waktu tertentu ditarik dari
kelas reguler ke ruang sumber untuk
belajar dengan guru pembimbing
khusus.
Kelas khusus dengan berbagai
pengintegrasian
Anak berkebutuhan khusus di dalam
kelas khusus pada sekolah reguler,
namun dalam bidang-bidang tertentu
dapat belajar bersama anak lain
(normal) di kelas reguler.
Kelas khusus penuh
Anak berkebutuhan khusus di dalam
kelas khusus pada sekolah reguler.
Dengan demikian, pendidikan inklusif tidak mengharuskan semua
anak berkebutuhan khusus berada di
kelas reguler setiap saat dengan
semua mata pelajarannya (inklusi
penuh), karena sebagian anak
berkebutuhan khusus dapat berada di
kelas khusus atau ruang terapi
berhubung gradasi kekhususannya
cukup berat. Bahkan bagi anak
berkebutuhan khusus dengan gradasi
kekhususan berat, mungkin akan
lebih banyak waktunya berada di
kelas khusus pada sekolah reguler
(inklusi lokasi). Kemudian, bagi anak
dengan gradasi kekhususan sangat
berat, dan tidak memungkinkan di
sekolah reguler (sekolah biasa),
dapat disalurkan ke sekolah khusus
(SLB) atau tempat khusus (rumah
sakit).
Prasyarat Pendidikan Inklusif di PAUD
Salah satu karakteristik terpenting dari
sekolah inklusif adalah satu komunitas yang
kohesif, menerima dan responsif terhadap
kebutuhan individual siswa. Untuk itu,
Sapon-Shevin (dalam Supamo, 2001)
mengemukakan beberapa profil pembelajaran di sekolah inklusif yaitu:
1. Pendidikan inklusif berarti menciptakan
dan menjaga komunitas kelas yang
hangat, menerima keanekaragaman, dan
menghargai perbedaan.
2. Mengajar kelas yang heterogen memerlukan perubahan pelaksanaan kurikulum
secara mendasar.
3. Pendidikan inklusif berarti penyediaan
dorongan bagi guru dan kelasnya secara
terus
menerus
dan
penghapusan
hambatan yang berkaitan dengan isolasi
profesi.
4. Pendidikan inklusif berarti melibatkan
orang tua secara bermakna dalam proses
perencanaan.
Nuraeni, Pendidikan Inklusi di Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan inklusif masih menggunakan
kurikulum standar nasional yang telah
ditetapkan pemerintah. Namun dalam
pelaksanaan di lapangan, kurikulum pada
pendidikan inklusif disesuaikan dengan
kemampuan dan karakteristik peserta didik.
Pemerintah
menyatakan
bahwa
kurikulum yang dipakai satuan pendidikan
penyelenggara pendidikan inklusif adalah
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) yang mengakomodasi kebutuhan
dan kemampuan peserta didik sesuai dengan
bakat, minat dan potensinya Model
kurikulum pendidikan inklusif terdiri dari;
(1) Model kurikulum reguler; (2) Model
kurikulum reguler dengan modifikasi; dan
(3) Model kurikulum Program Pembelajaran
Individual (PPI). Konsep pendidikan inklusif
yang berprinsip pada persamaan mensyaratkan adanya penyesuaian model
pembelajaran yang tanggap terhadap
perbedaan individu. Maka PPI atau IEP
menjadi hal yang perlu mendapat penekanan
lebih.
Kompetensi Guru Pendidikan Inklusif
Pengembangan Kompetensi guru sangatlah
mutlak sebagai syarat terselenggaranya
pendidikan inklusif. Menurut Suparno
(2001), secara substansial terdapat dua
komponen utama dalam pengembangan
kompetensi guru pendidikan inklusif.
Pertama, memiliki kompetensi inti guru
yang telah distandarkan dan dikembangkan
menjadi kompetensi guru PAUD/T K/RA,
mencakup kompetensi (a) pedagogik, (b)
kepribadian, (c) sosial, dan (d) profesional,
(Permendiknas No. 16 Tahun 2007). Kedua,
kompetensi kekhususan dalam pendidikan
inklusif untuk TK, yaitu memiliki
pemahaman dan kemampuan dalam hal; (a)
karakteristik dan kebutuhan belajar anak
berkebutuhan khusus; (b) assesment pembelajaran anak berkebutuhan khusus; (c)
menciptakan lingkungan pembelajaran yang
ramah; (d) program pembelajaran individual; dan (e) evaluasi pembelajaran anak
berkebutuhan khusus.
Selain semua prasyarat yang telah
dikemukakan di atas, untuk menjadi satuan
pendidikan
penyelenggara
pendidikan
inklusif menurut Direktorat Pembinaan SLB
(2007) ada beberapa kriteria yang harus
dipenuhi, kriteria tersebut antara lain: (a)
Kesiapan sekolah untuk menyelenggarakan
program pendidikan inklusif (kepala
sekolah, komite sekolah, guru, peserta didik,
dan orang tua); (b) Terdapat anak
berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah;
(c) Tersedia guru pendidikan khusus (GPK).
GPK adalah guru yang mempunyai latar
belakang pendidikan khusus/pendidikan luar
biasa atau yang pernah mendapat pelatihan
tentang pendidikan khusus/luar biasa, yang
ditugaskan di sekolah inklusif; (d)
Komitmen terhadap penuntasan wajib
belajar; (e) Memiliki jaringan kerjasama
dengan lembaga lain yang relevan; (f)
Tersedia sarana penunjang yang mudah
diakses oleh semua anak; (g) Pihak sekolah
telah memperoleh sosialisasi tentang
pendidikan inklusif; (h) Sekolah tersebut
telah terakreditasi; dan (i) Memenuhi
prosedur administrasi yang ditentukan.
Penutup
Untuk mewujudkan pendidikan inklusif di
lembaga PAUD bukanlah hal yang
sederhana, perlu perencanaan dan persiapanpersiapan yang matang, diantaranya
399
Jurnal Kependidikan 13 (4): 393-400
meliputi: penciptaan komunitas kelas yang
hangat, menerima keanekaragaman, dan
menghargai perbedaan; perubahan pelaksanaan
kurikulum
secara
mendasar;
penyiapan guru untuk mengajar secara
interaktif; penyediaan dorongan bagi guru
dan kelasnya secara terus menerus dan
penghapusan hambatan yang berkaitan
dengan isolasi profesi; pelibatan orang tua
secara bermakna dalam proses perencanaan.
Guru dalam seting kelas inklusif
harus menguasai strategi-strategi pengajaran
yang sesuai dengan karakteristik kekhususan
anak didiknya. Hal ini dikarenakan ABK
masing-masing mempunyai karakteristik
pembelajaran yang sangat berbeda antara
individu yang satu dengan yang lain
walapun itu masih dalam satu ketunaan juga.
Daftar Pustaka
Depdiknas. (2007). Pedoman Umum
Penyelenggaraan
Pendidikan
Inklusif,
Jakarta:
Direktorat
Pembinaan Sekolah Luar Biasa
Hildayani. R. (2009). Penanganan Anak
Berkelainan
(Anak
dengan
Kebutuhan
Khusus).
Jakarta:
Penerbit
Universitas
Terbuka,
Depdiknas.
Mdikana, Andile 8: Mayekiso, Tokozile.
2007.
”Preservice
Educators’
Attitudes
Toward
Inclusive
Education”. International journal of
Special Education. Vol. 22, Number
1. 1
Smith, David. (2006). Inklusi, Sekolah yang
Ramah untuk Semua. (Terjemahan).
Bandung: Penerbit Nuansa
400
Skjorten, MD. (2001). Towards Inclusion,
Education-Special Needs Education
An Introduction. Oslo: Unipub
forlag.
Stainback,W. & Sianback,S. (1990). Support
Networks for Inclusive Schooling:
Independent Integrated Education.
Baltimore: Paul H.Brooks.
Staub, D. & Peck,C.A. (1994/195). What are
the outcomes for Nondisabled
students? Educational Leadership.
52 (4) 36 -40.
Supamo. (2001). Desain Pembelajaran
Untuk Guru TK Inklusif, Cakrawala
Pendidikan,
Jurnal
Ilmiah
Pendidikan, Nopember 2011, Th.
XXX, No. 3.
Tim Dir Pembinaan SLB (2007). Pedoman
Umum Penyelenggaraan Pendidikan
Inklusif. Dirjen Mandikdasmen. Dir
Pembinaan SLB
Tim Dir Pembinaan SLB (2007).
Pengembangan
Kurikulum
Pendidikan
Inklusif.
Dirjen
Mandikdasmen. Dir Pembinaan SLB
UNESCO.
(1994).
The
Salamanca
Statement and Frame work for
Action on Special Needs Education.
Paris
UNESCO, (2003), Open File on Inclusive E
ducation, Support Material for
Managers
and
Administrators;
Unesco; France.
Wasliman, Iim (2009) Pendidikan Inklusif
Ramah Anak. Disampaikan pada
pengukuhan Guru Besar Ilmu
Administrasi Pendidikan STKIP
Persis Bandung.
Download