PILIHAN BERBAHASA DALAM KOMUNIKASI MASYARAKAT DWI BAHASA Oleh : Trinil Dwi T. * ABSTRAK Di kalangan masyarakat yang menguasai lebih dari satu bahasa, alih kode dan campur kode hal yang sangat biasa. Hal ini dilakasanakan bila pembicara memiliki alasan yang cukup kuat untuk beralih dari satu bahasa ke bahasa lain. Alasan itu antara lain, pembicara perlu memberi komentar, sebagian pendengar perlu penjelasan dalam bahasa tertentu, atau karena pergantian suasana batin. Interaksi yang melibatakan keanekaragaman bahasa sering mengakibatkan adanya pemilihan bahasa yang akan digunakan. Proses menentukan pilihan bahasa mana yang digunakan pada peristiwa komunikasi tidak selalu mencapai kesepakatan. Kadang-kadang kedua pembicara mempertahankan masing-masing bahasa yang digunakan, yang paling penting bahasa tersebut dipahami dan dimengerti oleh mereka. Proses ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. 1. Pendahuluan Bahasa merupakan kode yang paling tepat digunakan dalam tindak komunikasi. Ia memainkan peranan yang sangat penting dan merupakan kebutuhan yang sangat mendesak dalam kompleksitas kehidupan bermasyarakat. Tanpa bahasa kehidupan manusia tidak akan memiliki makna sama sekali. Karena itu, bahasa selain sebagai transmisi pesan juga berdimensi sosial. Artinya, eksistensi bahasa sangat bertendensi kepada ketentuanketentuan masyarakat bahasa secara bersamaan. Ketentuan-ketentuan dalam bahasa itulah yang mendasari suatu sistem dalam berinteraksi. Seperti yang dikatakan oleh Sceqloff (1971, dalam Abadi, 1996 : 1) bahwa tuturan hanya dapat dimengerti dan memiliki makna bila dikaitkan dengan interaksi sosial. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa dimensi sosial yang menjadikan bahasa lebih bermakna dan yang menimbulkan keanekaragaman bahasa. Keanekaragaman bahasa berfungsi sebagai petunjuk perbedaan golongan masyarakat dan sebagai indikasi situasi berbahasa serta dapat mencerminkan tujuan, topik, aturan-aturan, dan modus pemakai bahasa. Sebagai contoh, masyarakat Surabaya yang terdiri atas berbagai etnik, dan latar belakang budaya yang berbeda, dalam tindak berkomunikasi sering kita jumpai adanya pergantian pemikiran bahasa. Peralihan tersebuat baik dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah (Jawa, Madura, dll), atau sebaliknya * Staf Pengajar pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS Unesa (Abadi, 1996 : 2). Ketika diantara penutur belum saling mengenal, mereka tidak akan menggunakan bahasa daerahnya masing-masing tetapi menggunakan bahasa Indonesia untuk menjembatani perbedaan bahasa penutur tersebut. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang digunakan memiliki fungsi sebagai wujud interaksi simbolis diantara pemakai bahasa. Proses menentukan pilihan bahasa yang digunakan pada peristiwa komunikasi tidak selalu mencapai kesepakatan. Kadang-kadang kedua penutur tetap mempertahankan masing-masing bahasa yang digunakan dan yang paling penting bahasa tersebut dipahami dan dimengerti oleh mereka. Dalam tulisan ini, penulis mencoba menjelaskan proses pilihan berbahasa dalam komunikasi masyarakat serta faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses tersebut. Sebagai rasionalisasi, sebelumnya akan dijelaskan tentang alih kode dan campur kode serta masyarakat dari dwibahasa dan dwibahasawan perorangan. 2. Alih Kode dan Campur Kode Alih kode dan campur kode merupakan hal yang sangat biasa dalam masyarakat dwibahasa atau dikalangan masyarakat yang menguasai bahasa lebih dari satu. Menurut kartoniharjo (1997 : 107), alih kode terjadi bila seseorang pada waktu berbicara dalam satu bahasa (misal Indonesia) pada suatu saat beralih kebahasa lain (misalnya Jawa). Hal ini sering terjadi pada ragam tak resmi, tetepi pada ragam resmi pun dapat pula terjadi walaupun tidak sesering dalam ragam tak resmi. Selanjutnya dikatakan bahwa campur kode terjadi bila seseorang yang sedang berbicara dalam satu bahasa (misal Indonesia) tiba-tiba menyelipkan kata atau kata-kata yang diambil dari bahasa lain (misal Jawa). Alih kode biasanya dilaksanakan bila pembicara memiliki alasan yang cukup kuat untuk beralih dari satu bahasa ke bahasa lain, atau dari satu variasi bahasa ke dalam variasi bahasa yang lain. Alasan itu antara lain, pembicara merasa perlu memberikan komentar, atau sebagian pendengar perlu penjelasan dalam bahasa tertentu atau karena pergantian susana batin, misalnya pembicara tiba-tiba marah dan sebagainya (Kartomiharjo, 1997 : 111). Campur kode sepintas lalu sama dengan alih kode, namun apabila diperhatikan betul-betul, terdapat sedikit perbedaan. Alih kode baralih dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain karena alasan-alasan tertentu. Peralihan ini paling sedikit satu kalimat, tetapi juga dapat berupa paragraf bahkan lebih panjang lagi, sedangkan campur kode hanya penyelipan kata-kata atau frasa. Mungkin juga suatu ujaran yang lebih pendek dari satu klausa. Bila alih kode disebabkan oleh alasan-alasan tertentu, campur kode terjadi secara spontan, tidak ada alasan-alasan tertentu (Wardangh, 1996). Tanpa terpikir kata-kata dari bahasa lain itu langsung terlontar. Bukan dengan maksut tertentu, melainkan kata-kata itu biasa diucapkan oleh pembicaraan dan pendengar dapat memahami maknanya. Alih kode dan campur kode merupakan dua gejala ke dwibahasaan yang biasa dan tidak dapat dihindarkan. Dimana pun di dunia ini selama masyarakat tertentu menguasai bahasa lebih dari satu, gejala seperti itu akan terjadi (Ibid, 1997 : 113). Selanjutnya diberikan contoh di Lumajang dan masyarakat sekitarnya, yang penduduknya terdiri atas suku Madura dan Jawa, tentulah tingkat kemahiranya tidak sama. Hal ini tergantung pada kesempatan mereka masing-masing untuk belajar kedua bahasa itu dan tergantung pula pada kesempatan mereka untuk bergaul dan menggunakan kedua bahasa itu, di pasar atau di tempat umum lainnya, tempat kedua suku itu bertemu dan berinteraksi, alih kode dan campur kode selalu terjadi. Di Singapura, suatu negara kecil yang memiliki empat bahasa resmi, yaitu Inggris, Mandarin, Melayu, dan Tamil, alih kode dan campur kode di antara bahasa-bahasa tersebut sering terdengar dan merupakan fenomena yang sangat lazim. 3. Masyarakat Dwibahasa dan Dwibahasawan Perorangan Dalam suatu masyarakat yang terdiri atas kelompok etnik yang masing-masing memiliki bahasa dan budaya yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, para anggota masyarakat itu akan saling belajar bahasa dan budaya kelompok lain di samping menguasai bahasa dan budaya kelompoknya sendiri. Sebagian dapat menguasai bahasa-bahasa itu dengan fasih, sedangkan sebagian lagi dapat menguasai dengan fasih bahasa ibunya dan bahasa yang lain yang dikuasainya dengan cukup baik, walaupun tidak sebaik bahasa ibu. Kemampuan bahasa seperti itupun dapat disebut bahwa masyarakat itu merupakan dwibahasa (Bcardsnore, Grossjean 1982 dalam Kartomiharjo 1997 : 119). Masyarakat dwibahasa dapat terbentuk karena adanya perpindahan penduduk dalam jumlah yang cukup besar yang diterima dengan baik oleh penduduk asli seperti yang terjadi di Lampung dengan datangnya transmigran dari Jawa pada jaman penjajahan Belanda. Hal serupa juga terjadi di Perigi, Sulawesi, dengan transmigran dari Bali yang terjadi sesudah Indonesia merdeka. Di samping masyarakat dwibahasa terdapat pula anggota masyarakat yang secara perorangan mampu menguasai lebih dari satu bahasa. Individu seperti itu disebut dwibahasawan (Ibid, 1997 : 119). Tingkat penguasaan bahasa yang satu boleh berbeda dengan penguasaan bahasa yang lain. Di Indonesia misalnya, seorang guru bahasa Inggris seharusnya mampu menguasai bahasa Inggris dengan baik, walaupun tidak sesempurna seseorang penutur asli dari New York. Di samping itu dia mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar sera mampu pula berbahasa ibu dengan baik sebagai tambahan, dia mungkin menguasai bahasa daerah lain yang dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari. Dia mungkin tidak dapat berdebat atau menulis dalam bahasa daerah lain itu. Jadi, seorang dwibahasawan mungkin saja dapat menguasai satu bahasa dengan aktif produktif, sedangkan penguasaan bahasa yang lain hanya secara pasif saja. (Beardsmore 1982, dalam (Ibid, 1997 : 120). Beardsmore (1982) mengemukakan hasil penelitian Lambert dkk. Di Canada tahun 1955-an antara lain menemukan bahwa anak-anak sekolah di Canada yang dwibahasawan pada umumnya memperoleh prestasi belajar lebih baik dari anak-anak yang hanya mampu berbahasa satu saja (dalam Ibid, 1997 : 120). Belajar bahasa bukanlah hal yang mudah, karena memerlukan ketekunan, kesabaran, keuletan, dan juga sedikit bakat. Oleh karena itu bila seseorang dapat menguasai bahasa lebih dari satu tentu ia memiliki sifat-sifat yang baik itu lebih dari pada seseorang yang hanya mampu menguasai satu bahasa. 4. Proses Komunikasi Interpersonal Dalam komunikasi sosial, interaksi yang melibatakan keanekaragaman bahasa sering mengakibatakan adanya pemilihan bahasayang akan digunakan. Kadang- kadang komunikasi juga dihadapkan kepada distribusi bahasa, perbedaan dialek dan problem-problem lain yang timbul akibata adanya interaksi antara individu-individu. Kalau demikian halnyayang terjadi, baik disadari atau tidak, akan muncul kesepakatan pilihan berbahasa dalam interaksi komunikasi. Menurut Abadi (1996 : 4) komunikasi interpersonal dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu (1) komunikasi tatap muka (face to face communication) antar pribadi dan (2) komunikasi tatap muka forum (assabled). Komunikasi tatap muka antarpribadi melibatkan sekurangkurangnya dua orang, sedangkan komunikasi tatap muka forum melibatkan banyak orang yang berhimpun di satu tempat. Untuk memahami proses komunikasi interpersonal dituntut adanya pemahaman hubungan simbiosis antara komunikasi dengan perkembnagan relasional. (Gerald R. Miller dalam Rahmat, 1991 : 124 ). Ini berarti bahwa komunikasi itu mempengaruhi perkembangan relasional, dan pada gilirannya (secara serentak ), perkembagan relasional mempengaruhi sifata komunikasi antar pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan tersebut. Sejalan dengan itu hubungan interpersonal dapat dibedakan menjadi tiga tahap yakni : tahap pembentukan hubungan interpersonal, tahap peneguhan hubunga interpersonal, dan tahap pemutusan hubungan interpersonal. Tahap pembentukan hubungan interpersonal sering disebut dengan tahap perkenalan, tahap ini merupakan proses komunikasi, yang individualnya mengirimkan atau menyampaikan informasi tentang struktur dan isi kepribadiannya kepada bakal sahabatnya, dengan menggunakan cara-cara yang agak berbeda pada bermacam-macam tahap agak berbeda pada bermacam-macam tahap perkembangan persahabatan (Rahmat, 1991 : 125) Fase pertama dalam tahap ini dalah fase kontak permulaan (initial contact phase) yang ditandai oleh kedua belah pihak untuk mengungkapakan informasi dari lawan bicaranya. Masing-masing berusaha untuk menggali secepatanaya identitas sikap, dan nilai pihak yang lain. Bila mereka merasa ada kesamaan, mulailah dilakukan proses mengungkapakan diri. Jika mereka merasa berbeda, mereka akan berusaha menyembunyikan dirinya. Proses inimerupakan proses saling menyelidiki (reciprocal Scanning). Pada tahap ini informasi yang dicari dan disampaikan umumnya berkisar mengenai data demografi, usia, pekerjaan, tempat tinggal, keadaan keluarga, dll. Tahap kedua adalah peneguhan hubungan interpersonal. Dalam tahap ini hubungan tidak bersifat statis, tetapi selalu berubah (dinamis). Untuk memelihara hubungan perubahan ini memerlukan tindakan-tindakan tertentu untuk mengembalikan keseimbangan. Ada empat faktor yang amat penting dalam memelihara keseimbangan, yaitu : a. Keakraban, merupakan pemenuhan kebutuhan kasih sayang. Hubungan akan terpelihara apabila kedaua belah pihak sepakat tentang tingkat keakraban yang diperlukan. b. Kontrol, kesepakatan tentang siapa yang mengontrol siapa, dan kapan. Jika dua orang mempunyai pendapat yang berbeda sebelum mengambil keputusan, siapa yang harus berbicara lebuh banyak, siapa yang menentukan dan dominan. c. Kesepakatan respon, artinya A harus diikuti oleh respon B yang sesuai. Dalam percakapan misalnya, pertanyaan harus diikuti jawaban, lelucon dengan tertawa, permintaan keeterangan dengan penjelasan. d. Keserasian suasana emosional, bila terjadi dua interaksi dengan suasana emosional yang berbeda, imteraksi itu tidak akan stabil. Besar kemungkinan salah satu pihak akan mengakhiri interaksi atau mengubah suasana emosi. Bila dalam hubungan interpersonal tidak ditemuakan keempat faktor tersebut hubungan akan diakhiri. Hal semacam ini disebut dengan tahapan pemutusan hubungan interpersonal. Ada lima konflik yang dapat menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan interpersonal menurut R.D. Nye (1973), yakni kompetisi, dominasai, kegagalan, provokasi, dan perbedaan nilai (Rahmat, 1991 : 127) Tahap-tahap hubungan interpersonal akan tampak jelas pada contoh pembicaraan di bawah ini. Keterangan : P1 (seorang pensiunan Angkatan Laut) P2 (seorang pegawai Negeri Sipil) P2 = Sakit mênopo, Pak? P1 = Oh, mêniko loh, patah tulang. P2 = Bahasa Jawa P1 = Bahasa Jawa P2 = Bapak têpang Pak Wignyo? P1 = Pak Wignyo yang menjadi Komandan? P2 = Ndak tahu, dalême sepanjang. P1 = Oo... Mbotên têpang. P2 = Ceritanya waktu di cêpêng Pak Yusuf eco. P1 = Memang tidak ada yang menandingi, sampai sekarang. P2 = Kesejahteraannya lebih baik. P2 = Ya, perhatiannya terhadap prajurit, tidak hanya yang di atas merasakan. (Diambil dari Abadi, 1996 : 7-8) Percakapan tersebut mengindikasikan adanya pemakaiyan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Akibatnya, peralihan kode antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia tidak dapat dihindarkan. Interaksi berbahasa dimulai dengan perkenalan P2 ketika menanyakan kesehatan P1 dengan menggunakan bahasa Jawa. Hal ini yang disebut dengan tahap pembentukan hubungan interpersonal. Kemudian percakapan tampak lebih intim, ketika P2 banyak bercerita. Apalagi setelah menginjak topik pembicaraan mengenai seluk beluk Angkatan Laut. Perubahan topik pembicaraan pun tidak dapat dihindari, mulai dari masakah penyakit dan pengobatan ke masalah lain kasus semacam ini termasuk dalam tahap peneguhan hubungan interpersonal. Dalam tahap peneguhan ini, P2 tampak mengontrol jalannya percakapan. Penguasaan kontrol, terlihat ketika membicarakan seorang figur yaitu Pangap. M. Yusuf serta keadaan Angkatan Laut masa sekarang. Setiap P2 memberikan pendapat mengenai masalah yang dibicarakan, P1 selalu menerima bahkan kadang-kadang P2 menanyakan suatu penilaian P1 pada sebuah masalah. Di samping itu, tahap ini ditandai dengan ketetapan respon antara penutur dan lawan bicara serta keserasian suasana emosional. Sebagai tahapan terakhir, tahap pemutusan hubungan, komunikasi berakhir dengan dilanjutkannya percakapan tersebut yang menggunakan bahasa Indonesia. 5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Pemilihan Bahasa dalam Komunikasi Dalam proses pilihan berbahasa dalam komunikasi dipengaruhi oleh dua faktor, yakni umum dan faktor khusus. Secara umum faktor yang paling berpengaruh adalah lamanya serta kebersamaan. Lamanya suatu komunikasi yang terjadi sangata berpengaruh terhadap tercapainya interaksi berbahasa, walaupun tidak mutlak. Waktu yang panjang dalam suatu percakapam akan mempunyai peluang lebih besar untuk dapat tercapai imteraksi pilihan berbahasa. Hal lain yang penting untuk mencapai kesepakatan adalah kebersamaan. Kebersamaan akan tercapai jika terdapat saling pengertian di antara individu yang sedang berimteraksi. Faktor-faktor khusus juga berpengaruh terhadap tercapaianya interaksi berbahasa. Faktor-faktor itu diantaranya ialah situasi, setting (lokasi), topik, pembicaraan, dan bahasa yang digunakan dalam masyarakat tersebut. Menurut Evin Tripp (dalam Fishmann, 1972 : 193), setting memiliki dua pengertian, (1) tempat terjadinya peristiwa (ruang dan waktu) dan (2) situasi. Tempat terjadinya peristiwa dapat dijabarkan secara umum seperti rumah, restoran, kampus, pasar, hotel, dll. Sedangkan situasai tutur yang berlangsung dapat berupa situasi santai, formala, dan situasi emotif. Situasi formal maupun informal (santai), baik tanpa atau kehadiran partisipan yang lain dalam peristiwa tutur, bahasa yang dipakai sewaktu berinteraksi selalu menunjukkan adanya interaksi pilihan berbahasa, baik disadari maupun tidak disadari. 6. Penutup Proses pilihan berbahasa dalam komunikasi pada dasarnya berhubungan langsung dengan peristiwa hubungan interpersonal. Dalam hubungan interpersonal mencakup tiga tahap, yakni pembentukan hubungan, peneguhan hubungan, dan pemutusan hubungan. Proses ini juga bnayak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mealatranelakangi peristiwa tindak tutur. Faktor-faktor yang melatarbelakangi peristiwa tindak tutur. Faktor-faktor itu dapat dibagi menjadi dua, yakni : (1) Faktor umum, yang dipengaruhi oleh lamanya komunikasi dan kebersamaan. (2) Faktor khusus, yang dipengaruhi langsung oleh setting (situasi dan lokasi), topik pembicaraan, dan ragam bahasa yang digunakan. DAFTAR PUSTAKA Abadi, Totok Wahyu. 1996. “ Interaksi Komunikasi dalam Negoisasi Pilihan Berbahasa pada Masyarakat Bilingual di Surabaya “. Prasasti. Surabaya : FPBS IKIP Surabaya. Fishman, J.A 1991. Sosiologi Bahasa : Suatu Pendekatan Sains Kemasyarakatan Antara Disiplin terhadap Bahasa dalam Masyarakat. Pulau Pinang : Universiti Sains Malaysia. Kartomiharjo, Soeseno. 1997. “ Persentuan Bahasa Jawa dengan Bahasa-Bahasa Lain “. Prasasti. Surabaya : FPBS IKIP Surabaya. Nababan, P.W.A. 1991. Sosiolinguistik : Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Pratama. Pateda, Mansur. 1987. Sosiolinguistik. Bandung : Penerbit Angkasa. Rahmat. Djalaludin. 1992. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.