sulim batak toba - PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI USU

advertisement
SULIM BATAK TOBA: SEBUAH KAJIAN
KONTINUITAS DAN PERUBAHAN
SKRIPSI SARJANA
Dikerjakan
O
l
e
h
NAMA: BONGGUD TYSON SIDABUTAR
NIM: 070707022
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2013
0
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Skripsi ini akan membahas instrument
1
sulim mulai dari aspek
keberadaannya hingga pada berbagai fenomena yang terjadi pada fungsi dan
pengunaannya dalam kehidupan sehari-hari mulai dari masa-masa yang silam
hingga pada masa kini,dan secara lebih spesifik lagi akan memfokuskan
pembahasan pada kajian kontinuitas dan perubahan yang terjadi terhadap berbagai
aspek yang terkait dengan fungsi dan penggunaan sulim yang membawa pengaruh
besar dalam berbagai fenomena kebudayaan musikal Batak Toba.
Sulim (seruling) adalah sejenis instrumen tiup bambu yang berasal dari
daerah Batak Toba di Sumatera Utara. Dalam klasifikasi alat musik oleh Curt Sachs
dan Hornbostel, instrumen ini tergolong kepada jenis aerophone dengan spesifikasi
side blown flute yang terdiri dari sebuah lobang tiupan dan 6 (enam) buah lobang
nada. Dilihat dari karakteristik organologisnya, sulim hampir sama dengan jenis
seruling yang ada pada etnis lain pada umumnya. Yang membedakannya hanya
pada penambahan lobang yang dibalut oleh sebilah kertas tipis ataupun plastik tipis
pada pertengahan antara lobang tiupan dengan lobang nada. Lobang tambahan ini
dapat menciptakan warna bunyi yang menjadi ciri khas tersendiri dibandingkan
instrumen seruling yang lain.
Ditinjau dari aspek penggunaannya, awalnya sulim hanya tergolong kepada
sejenis solo instrumen atau instrumen tunggal yang biasa dipakai oleh seseorang
sebagai media hiburan untuk mengungkapkan perasaannya. Dalam kehidupan
1
Instrument (Kamus Musik M.Suharto,1992 : 4) dalam bahasa inggris, yaitu alat musik
yang digolongkan berdasarkan cara memakainya.
1
sehari-hari instrument ini lazim dipakai oleh seseorang diwaktu-waktu senggang
baik ketika menggembalakan kerbau, menjaga ladang/sawah, bermain ataupun saat
melakukan berbagai aktivitas lainnya. Kemudian seiring dengan perkembangan
zaman, dengan hadirnya opera Batak 2 yang dari tahun 1920-an hingga 1970-an,
sulim membawa pengaruh dan perubahan dalam hal pola pikir dan selera musik
masyarakat Batak Toba pada masa itu. Lagu-lagu opera Batak yang didominasi
oleh karya almarhum
Tilhang Gultom 3 pada masa itu sangat digemari oleh
masyarakat Batak mulai dari kawula muda hingga kalangan orang tua. Sehingga
para musisi opera Batak kala itu dianggap sebagai sosok layaknya seorang artis
yang selalu dipuja-puja oleh para penggemarnya.
Sebelum hadirnya opera Batak, sulim bukanlah sebuah instrumen yang
biasa dimainkan dalam ensambel 4 . Sebab pada masa itu, hanya ada 2 jenis
ensambel yang berkembang dalam tradisi Batak Toba yakni ensambel gondang
sabangunan dan ensambel gondang hasapi, dimana di antara kedua ensambel ini
tidak mencakup sulim sebagai salah satu instrumen pendukungnya walau pun sulim
mampu berperan sebagai pembawa melodi utama dalam sebuah repertoar. Tetapi
seiring perkembangan zaman dan rasa musikal masyarakat Batak Toba pada masa
itu maka terjadilah sedikit pergeseran dimana instrumen sulim dan taganing mulai
dipadukan dengan instrumen-instrumen yang ada dalam ensambel gondang hasapi.
Dalam ensambel ini, sulim berperan sebagai pembawa melodi penuh disamping
instrumen lain yang juga pembawa melodi utama seperti hasapi inang (lute),
2
Opera Batak merupakan seni pertunjukan masyarakat Batak Toba yang
melibatkan/menggabungkan seni teater, musik, tari, dan nyanyian (vokal)
3
Seorang pelopor musik dan lagu Opera Batak
4
Ensambel/Ansambel (Kamus Musik M. Suharto,1992 : 4) dalam bahasa perancis adalah
kelompok kegiatan seni musik dengan jenis kegiatan seperti tercantum dalam sebutannya. Biasanya
tampil sebagai kerjasama pesertanya dibawah pimpinan seorang pelatih.
2
sarune etek (oboe) dan garantung (xylophone). Selain sebagai pembawa melodi,
sulim juga berperan sebagai pembawa melodi variatif yang mampu keluar dari
wilayah nada pokok sebagai wujud dari improvisasi nada-nada yang dimainkan
baik dari sebuah lagu maupun repertoar sesuai kemampuan pemainnya. Menurut
para narasumber pemusik tradisional Batak Toba, masuknya sulim
ke dalam
gondang hasapi merupakan pengaruh dari ensambel musik opera Batak yang
disebut dengan uning-uningan.
Selain itu, sulim termasuk instrumen yang unik jika dibandingkan dengan
instrumen tradisi Batak Toba lainnya. Salah satu keunikannya adalah, sulim mampu
mengubah sebuah tradisi yang sudah dilestarikan bertahun-tahun tanpa mengubah
ciri khas dari instrumen itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat melalui berbagai aspek
yang menunjukkan bahwa betapa pentingnya sulim hadir dalam sebuah kajian
musikologis khususnya dalam Budaya Batak. Sebagai bukti selain dari pada
beberapa fakta di atas adalah ;
Pertama, selain memberikan pengaruh pada era opera Batak sulim juga
hadir dalam formasi Brass Band atau dikenal dengan ensambel Musik Tiup Logam5
yang juga digemari pada masa itu dimana ensambel ini acapkali dipakai dalam
setiap acara adat orang Batak. Dalam konteks ini, sulim berperan sebagai pembawa
melodi yang pada akhirnya mampu mengubah tradisi musik tiup yang didominasi
oleh instrumen tiup modern dari Eropa menjadi sebuah formasi yang lebih
sederhana yang dikenal dengan istilah ‘Sulkibta’ (sulim, kibot, taganing) atau
‘Sulkib’ (sulim, kibot) saja, sehingga berbagai instrumen tiup dari Eropa tersebut
jadi sangat jarang dipakai;
5
Musik tiup logam merupakan ensambel yang terdiri seperangkat alat musik tiup logam
yang tersaji dalam bentuk semi combo band yang terdiri dari instrumen terompet, trombone,
saxofon, tuba, dan 1 set drum yg terbuat dari logam.
3
Kedua, sulim tidak hanya memberikan pengaruh dalam eksistensi opera
Batak atau pun musik tiup dalam konteks hiburan maupun adat, tetapi sulim juga
hadir dalam perkembangan Musik Gereja. Hal ini dapat kita lihat ketika sulim
dipakai sebagai salah satu intrumen pengiring lagu-lagu ibadah ketika ada perayaan
tertentu di dalam sebuah gereja atau pun dalam perayaan akbar di luar gereja sekali
pun seperti Perayaan Hari Besar Agama Kristen dan acara Kebangkitan
Kebangunan Rohani (KKR) jemaat Kristiani.
Selain dari itu, sulim juga sudah sering dipakai sebagai salah satu media
pengiring lagu rohani mau pun sekuler bernuansa tradisi yang dibawakan oleh
berbagai Paduan Suara ;
Ketiga, setelah berakhirnya kejayaan opera Batak pada akhir 1970-an maka
muncullah Hits-hits Album Batak popular yang diwarnai dengan nuansa Musik
Barat yang pada masa itu didominasi oleh lagu-lagu karya almarhum Nahum
Situmorang6 dan sudah berkembang hingga pada masa kini. Seiring perkembangan
tersebut tidaklah pula warna tradisi malah menghilang dari berbagai lagu Batak
yang disajikan. Kehadiran sulim dalam mengisi setiap lagu Batak (tradisonal dan
popular) yang diciptakan menjadi keunikan tersendiri bagi setiap pendengar. Hal ini
menunjukkan bahwa sulim tidak selamanya hanya dipakai dalam memainkan
melodi sebuah lagu atau repertoar secara utuh tetapi juga mampu memainkan
sebagian atau penggalan dari beberapa repertoar
tertentu untuk mengisi intro
(musik pembuka) dan interlude (musik tengah) dari sebuah lagu popular (pop) dan
tradisional Batak yang dihasilkan dalam industri rekaman ;
Keempat, selain menjadi instrumen yang sering
disandingkan dengan
instrumen Batak yang lain, sulim juga mampu berperan sebagai instrumen tunggal
6
Seorang pelopor musik dan lagu Pop Batak
4
yang dapat membawakan melodi andung-andung ( nyanyian ratapan tangis) yang
seiyogianya dimainkan pada intrumen lain seperti sordam7. Namun, seiring dengan
semakin langkanya sordam maka pada masa sekarang ini alunan andung-andung
tersebut dapat dimainkan pada sulim. Hal ini dimungkinkan karena produksi nada
sulim selain dihasilkan oleh lobang nada juga dapat diproduksi melalui teknik
tiupan, sehingga karakter bunyi sordam dapat dihasilkan walau tidak terlalu persis
tapi setidaknya mirip dengan yang aslinya ;
Kelima, selain sebagai instrumen tunggal maupun instrumen yang selalu
dimainkan dengan isntrumen Batak yang lainnya, pada masa sekarang ini sulim
juga sudah sering ditampilkan dengan suguhan yang berbeda yakni mampu
berkolaborasi dengan intrumen tradisi dari berbagai sub-etnis Batak atau bahkan
etnis-etnis yang lain. Hal ini bisa terbukti dengan terbentuknya berbagai group
musik antar lintas etnis di kota Medan seperti “D’Tradisi” yang baru-baru ini sudah
mengharumkan nama baik Sumatera Utara di kancah blantika musik Indonesia, dan
juga group antar lintas etnis yang lain seperti “Group Incidental Music”,
“Metronom” serta group musik yang lainnya yang sudah tidak asing lagi dalam
mengiringi berbagai tari garapan etnis yang ada di kota Medan.
Terlepas dari gaya atau teknik yang dimainkan, instrumen sulim sudah
memberikan warna baru dan dinamika tersendiri dalam keberlangsungan atau
eksistensi musik Batak dan kolaborasi antara musik Batak dengan musik etnis
lainnya di tanah air.
Selain beberapa hal yang penulis paparkan di atas, mungkin masih banyak
lagi hal unik lain tentang pemakaian sulim yang berkembang hingga pada saat ini
7
Sejenis instrument tiup bambu Batak Toba yang lain dengan spesifikasi end blown flute
dimana lobang tiupan ada pada ujung badan instrumen yang memiliki 4 (empat) buah lobang nada.
5
yang belum penulis paparkan. Oleh karena itu, penulis masih butuh informasi atau
referensi dari berbagai sumber untuk melengkapi tulisan ini, dan dengan
memperhatikan berbagai fakta unik tentang instrumen sulim yang penulis paparkan
tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk membuat sebuah kajian skripsi yang
berjudul “SULIM BATAK TOBA : SEBUAH KAJIAN KONTINUITAS DAN
PERUBAHAN”.
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, maka pokok permasalahan yang menjadi topik
bahasan dalam tulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana
keberadaan
(eksistensi)
sulim
terkait
dengan
fungsi
dan
penggunaannya ketika dimainkan dalam konteks tunggal (solo instrument),
dengan ensambel serta kolaborasi dengan instrument yang lain dalam berbagai
fenomena Budaya Batak Toba.
2. Hal-hal apa sajakah yang melatar-belakangi terjadinya perubahan dan
kontinuitas baik pada instrumen itu sendiri maupun pengaruhnya terhadap
berbagai aspek dimana instrument tersebut digunakan.
3. Bagaimana gambaran proses kontinuitas (keberlanjutan) dan perubahan yang
terjadi dari berbagai aspek tersebut.
4. Aspek apa saja yang berubah dan berlanjut dalam keberadaannya di tengahtengah masyarakat pendukungnya.
6
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui aspek-aspek apa sajakah yang menjadi kelebihan sulim
dibandingkan isntrumen lain sehingga mampu dimainkan dalam berbagai
konteks baik solo, ensambel, maupun kollaborasi dengan
instrument lain
sehingga mampu membawa perubahan dalam berbagai fenomena budaya Batak
Toba.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi terjadinya
kontinuitas dan perubahan itu sendiri.
3.
Untuk memberikan gambaran umum tentang proses bagaimana kontinuitas dan
perubahan itu bisa terjadi.
4. Untuk mengetahui aspek-aspek apa saja yang berubah dan berlanjut (kontinu)
dalam proses tersebut.
1.3.2 Manfaat penelitian
Adapun beberapa manfaat yang diperoleh dan ingin dicapai dalam tulisan ni
adalah :
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca, baik yang berada dalam disiplin etnomusikologi maupun di luar
etnomusikologi, khususnya bagi penulis sendiri dalam menambah wawasan
tentang budaya masyarakat Batak.
2. Untuk menambah referensi tentang pemahaman teori fungsional struktural serta
kajian kontinutias dan perubahan dalam berbagai fenomena kebudayaan lainnya.
7
3. Sebagai dokumentasi tambahan mengenai fenomena Budaya Batak Toba yang
bisa dipakai sebagai masukan bagi Departemen Etnomusikologi.
4. Semoga dapat digunakan oleh penulis lain yang ingin membahas tentang
masalah yang sama dengan objek yang berbeda.
5. Untuk memenuhi syarat ujian untuk mendapatkan gelar Sarjana di Departemen
Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
1.4 Konsep dan Teori
1.4.1 Konsep
Konsep adalah kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang
perlu dirumuskan. Konsep juga merupakan rancangan ide atau pengertian yang
diabstrakkan dari peristiwa konkret (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
1991 : 431). Untuk memperjelas konsep yang akan penulis gunakan dalam
penulisan skripsi ini, maka sebaiknya perlu dijelaskan 2 (dua) hal pokok yang
menjadi topik utama dalam pembahasan yakni mengenai kajian kontinuitas dan
perubahan.
Kajian merupakan kata jadian yang terbentuk dari kata “kaji” yang berarti
mengkaji, mempelajari, memeriksa, mempertimbangkan secara matang, dan
mendalami. Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa pengertian kata
“kajian” dalam hal ini adalah suatu penelitian atas pemeriksaan yang dilakukan
dengan teliti (Badudu, 1982: 132).
Kontinuitas
memiliki
arti
keberlanjutan,
keberlangsungan,
dan
kesinambungan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1988). Kontinuitas
yang dimaksud di sini adalah adanya hal-hal yang masih tetap eksis, dipertahankan,
dan masih berlanjut hingga pada saat ini. Sebagai bentuk kontinuitas dapat dilihat
8
dari struktur organologis dan ciri khas bunyi serta teknik-teknik dasar dalam
memainkan sulim, dimana hingga pada saat ini hal-hal tersebut masih tetap
dipertahankan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1234), kata perubahan
berarti; hal (keadaan) berubah, peralihan, pertukaran. Dalam bahasa inggris
perubahan disebut change, misalnya perubahan sosial atau sosial change, artinya
perubahan dalam kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem sosial suatu
masyarakat yang berhubungan dengan nilai-nilai, dan perilaku di antara kelompok
manusia (Yandianto, 2000:656; Abdulsyani, 1995:83)
Dalam hal ini, perubahan yang dimaksud dibedakan menjadi 2 (dua) aspek
yakni aspek fisik maupun non-fisik. Aspek fisik menyangkut hal-hal yang berkaitan
dengan kondisi fisik istrumen itu sendiri, sedangkan aspek non-fisik menyangkut
fungsi dan penggunaan sulim itu sendiri dalam berbagai konteks penyajiannya.
Berbicara tentang aspek fisik, salah satu perubahan yang terjadi adalah
bahwa awalnya sulim tidaklah memiliki nada dasar tetap yang sudah ditentukan
pada masa itu, sebab sulim awalnya tidak dimainkan dalam sebuah ensambel yang
disesuaikan dengan nada dasar dan mengikuti pola akord tertentu. Sehingga
dulunya sulim memiliki bentuk ukuran yang berbeda-beda yang sifatnya bebas
tanpa harus mengikuti pola,aturan pembuatan tertentu. Dalam arti bahwa ketika itu
nada-nada yang dihasilkan oleh sulim belum sesuai dengan standardisasi nada yang
dihasilkan oleh piano.
Sedangkan pada masa kini, sulim sudah diciptakan dengan berbagai inovasi.
Tanpa harus menghilangkan ciri khas warna bunyinya, sulim sudah tersedia dengan
aturan pembuatan tertentu yang diselaraskan dengan standardisasi bunyi piano.
Tidak hanya dari kunci atau nada dasar tertentu saja bahkan sulim juga sudah
9
diciptakan berdasarkan 12 (dua belas) nada yang ada pada wilayah (range) satu
oktaf nada piano mulai dari nada C standard hingga C’ (C oktaf). Hal ini bisa
terjadi
mungkin
karena
semakin
meningkatnya
kebutuhan
masyarakat
pendukungnya terhadap penyajian sulim itu sendiri. Salah satu bukti yang paling
signifikan adalah dengan hadirnya sulim dalam mengiringi lagu ibadah gereja,
berbagai lagu dalam paduan suara, dan juga dalam pengisian komposisi musik lagu
Batak Tradisional maupun Populer dalam industri rekaman dimana situasi tersebut
memaksa supaya sulim juga harus disesuaikan dengan nada dasar lagu atau pun
repertoar yang dipintakan.
Kemudian selain daripada itu, aspek lain yang bisa dilihat adalah ketika
sulim tidak lagi hanya memainkan nada-nada pentatonis, tetapi juga mampu
dimainkan dengan nada-nada yang diatonis bahkan dapat diwarnai dengan
penambahan nada kromatis. Hal ini terjadi karena sulim tidak lagi semata hanya
memainkan repertoar gondang Batak Toba yang mengandung ciri khas nada
pentatonis, tetapi juga sudah sering ditampilkan untuk mebawakan lagu-lagu baik
itu lagu tradisional Batak Toba, lagu Populer, lagu Rohani, maupun lagu Sekuler
lainnya dimana sudah banyak terkontaminasi oleh nada-nada musik Barat. Sejalan
dengan uraian tersebut di atas, mungkin hal inilah yang memicu diciptakannya
sulim dengan 12 kunci (nada dasar) dengan pelarasan nada musik Barat.
Bicara mengenai aspek non-fisik, perubahan yang terjadi menyangkut halhal di luar aspek fisik yang berkaitan dengan fungsi dan penggunaan sulim yang
mampu membawa perubahan besar dalam eksistensi musik Batak yang sedikit
banyak sudah disinggung dalam bahasan yang dipaparkan di latar belakang
masalah.
10
1.4.2 Teori
Teori merupakan prinsip-prinsip umum yang ditarik dari fakta-fakta, dan
juga dugaan yang menerangkan sesuatu (Marzuki 1999 : 33). Teori juga dapat
berarti sebagai suatu analisis terhadap suatu hal yang sudah terbukti dan teruji
kebenarannya. Dan teori juga merupakan landasan berpikir secara ilmiah untuk
menguji, membandingkan, atau menerapkan untuk objek penelitian.
Dalam pembahasan ini teori dapat digunakan sebagai landasan dan kerangka
berpikir dalam membahas setiap permasalahan. Oleh karena itu, penulis
mengadopsi beberapa teori sebagai referensi dalam penulisan skripsi ini.
Menurut Soekanto, perubahan terjadi karena usaha masyarakat untuk
menyesuaikan diri sesuai kebutuhan situasi dan kondisi yang timbul sejalan dengan
pertumbuhan masyarakat (Soekanto 1992 : 21). Suatu kebudayaan tidaklah bersifat
statis, melainkan selalu berubah dengan kemajuan zaman sebab kebudayaan
bukanlah suatu hal yang lahir hanya sekali (Ihromi 1987 :32).
Herskovits dalam Merriam mengemukakan bahwa perubahan dan
kelanjutan (kontinuitas) merupakan suatu tema yang digunakan untuk memahami
sifat stabil dan dinamis yang melekat dalam setiap kebudayaan. Berkaitan dengan
fenomena ini, teori kebudayaan secara umum mengasumsikan bahwa setiap
kebudayaan beroperasi dalam kerangka waktu yang terus mengalami kelanjutan,
dimana variasi-variasi dan perubahan yang terjadi adalah hal yang tidak dapat
dielakkan (Merriam 1964 : 303).
Selain itu penulis juga menggunakan teori perubahan budaya. Menurut
Herskovitz perubahan kebudayaan dapat dilihat dari dua titik pandang, yaitu
bagaimana yang terjadi di masa lampau dan masa sekarang. Berdasarkan titik
pandang pertama, mereka selalu mempergunakannya dalam istilah difusi yang
11
didefenisikan sebagai transmisi budaya dalam proses. Perubahan dapat dipandang
dari bagaimana asal-usul sebuah kebudayaan tersebut apakah karena faktor internal
atau eksternal. Perubahan yang terjadi karena faktor internal disebut inovasi, dan
perubahan karena faktor eksternal disebut akulturasi (1948 : 525).
Sependapat dengan uraian tersebut, Koentjaraningrat (1965:135) juga
mengemukakan tentang salah satu faktor yang menyebabkan perubahan
kebudayaan, yaitu: inovasi (innovation) adalah suatu proses perubahan kebudayaan
yang besar tetapi yang terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Proses ini
meliputi satu penemuan baru, jalannya unsur itu disebarkan ke lain bagian
masyarakat dan cara unsur kebudayaan tadi diterima, dipelajari, dan akhirnya
dipakai dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemudian Lauwer juga berpendapat
bahwa terjadinya suatu perubahan dapat diakibatkan oleh adanya akulturasi
(acculturation), dimana akulturasi disini mengacu pada pengaruh suatu kebudayaan
lain atau saling mempengaruhi antara dua kebudayaan yang mengakibatkan
terjadinya suatu perubahan (1989:402).
Perubahan juga merupakan sebuah konsep yang serba mencakup, menunjuk
kepada perubahan fenomena sosial di berbagai tingkat manusia. Perubahan sosial
dapat dilihat pada suatu tingkat tertentu atau dengan menggunakan berbagai
kawasan studi dan menganalisis. Perubahan sikap ini melambangkan perubahan
hubungan sesama manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara jelas
untuk mengetahui adanya perubahan dalam suatu komunitas masyarakat merupakan
cerminan masyarakat tersebut (Lauer 2001 : 5).
Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan
perubahan adalah sebuah konsep yang mencakup perubahan dari berbagai unsur
kebudayaan, termasuk perubahan sikap pandangan masyarakat di berbagai tingkat
12
kehidupan. Kondisi-kondisi sosial primer yang menyebabkan terjadinya perubahan
seperti pengetahuan, ekonomi, teknologi, atau geografi merupakan faktor-faktor
penyebab terjadinya perubahan pada aspek sosial lainnya.
Sehubungan dengan pengkajian instrument sulim, penulis juga mengacu
pada teori yang yang dikemukakan oleh Kashima Susumu dengan menjelaskan dua
pandangan yang mendasar yaitu :
“1. Structural and 2. Fungsional. Structural studies deal with the physical
aspect of musical instrument – observing, measuring, and recording the
shape, size, construction and the materials used in making the instrument.
The second deals with its function as a sound-producing tool researching,
measuring and recording the playing methods, tuning methods, sound
producing uses and the loudness, pitch, timbre, and quality of the sound
produced”(Susumu, 1978 : 174).8
“1. Struktural dan 2. Fungsional. Secara Struktural, yaitu aspek fisik
instrument musik – pengamatan, mengukur, dan merekam bentuk,
ukurannya, konstruksinya, dan bahan yang dipakai dalam pembuatan
instrument tersebut. Secara Fungsional yaitu berkaitan dengan fungsi
instrument sebagai alat penelitian untuk memproduksi bunyi, metode
pengukuran dan perekaman bunyi, metode penyelarasan nada, penggunaan
bunyi yang diproduksi dan kekuatannya, ketepatan nada, warna bunyi, dan
kualitas bunyi yang diproduksi.”
Berkaitan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Susumu dan dengan
melihat kenyataan yang terjadi pada masyarakat Batak Toba, maka penulis
melakukan pembahasan baik secara struktural maupun fungsional dari instrument
itu sendiri.
Dalam membicarakan aspek musikologis pada tulisan ini, penulis
memperhatikan pendapat Malm (1977:8) yang menyatakan beberapa karakter yang
harus diperhatikan dalam mendeskripsikan melodi, yaitu : (1) tangga nada, (2) nada
dasar, (3) wilayah nada, (4) jumlah masing-masing nada, (5) interval, (6) pola-pola
8
Lihat Martahan Sitohang, 2009 hal.9
13
kadens, (7) formula melodi, (8) kontur. Teori ini disebut juga dengan teori
Weighted Scale (bobot tangga nada). Teori ini pada dasarnya melihat struktur ruang
dalam musik dengan menggunakan ukuran-ukuran tertentu.
Untuk membahas tentang fungsi dan penggunaan musik dalam masyarakat
Batak Toba terkait dengan penggunaan sulim dalam berbagai konteks penyajiannya,
penulis
berpedoman pada teori Uses and Function
yang dikemukakan oleh
Meriam (1964: 119-222) yang menawarkan sekurang-kurangnya ada sepuluh fungsi
dalam musik, yaitu: (1) fungsi pengungkapan emosional (the funtion of emotional),
(2) fungsi penghayatan estetis (the funtion of aesthetic enjoyment), (3) fungsi
hiburan (the funtion of entertainment), (4) fungsi komunikasi (the funtion of
comunication), (5) fungsi perlambangan (the funtion of symbolic representation),
(6) fungsi reaksi jasmani (the funtion of physical response), (7) fungsi yang
berkaitan dengan norma-norma sosial (the funtion of enforcing coformity to social
norms), (8) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara agama (the funtion of
validation of social institution and religious rituals), (9) fungsi kesinambungan
budaya (the funtion of contribution to the continuity and stability of culture), (10)
fungsi pengintegrasian masyarakat (the funtion of contribution the integration of
society).
1.5 Metode Penelitian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:581), metode penelitian diartikan
sebagai suatu cara mencari kebenaran dan azas-azas alam, masyarakat atau kemanusiaan
yang bersangkutan. Dalam kaitan ini Hasan (1985:7) mengatakan metode merupakan cara
atau sistematika kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan.
14
Menurut Caplin (1989:301), metode adalah prosedur sistematis yang tercakup
dalam upaya menyelidiki suatu fakta atau konsep. Dari beberapa kutipan tersebut dapat
diartikan bahwa yang dimaksud dengan metode penelitian dalam disiplin ilmu tertentu. Di
dalam ilmu-ilmu sosial, objek pengamatan dan penelitian yang merupakan dasar dari
pengetahuan ilmiah adalah gejala-gejala masyarakat yang lebih khusus, terdiri dari
kejadian-kejadian kongkrit.
Menurut Nettl (1964:62-64) ada dua hal yang esensial untuk melakukan
aktivitas penelitian dalam disiplin Etnomusikologi yaitu kerja lapangan (field work)
dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan ini meliputi pemilihan
informan, pendekatan dan pengumpulan data, pengumpulan dan perekaman data,
latar belakang perilaku sosial ataupun mempelajari seluruh pemakaian musik.
Sedangkan kerja laboratorium meliputi pengolahan data yang didapat dari
lapangan, menganalisis dan membuat hasil dari keseluruhan data-data yang
diperoleh.
Untuk mendapatkan data secara sistematis, maka penulis menggunakan
metode penelitian dengan pendekatan kualitatif. Menurut Nawawi dan Martini
(1995:209) penelitian kualitatif adalah rangkaian atau proses menjaring data
(informasi) yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek
atau bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Selanjutnya Moleong juga
menambahkan bahwa penelitian kualitatif dibagi dalam empat tahap, yaitu: tahap
sebelum kelapangan (pra lapangan), tahap kerja lapangan, analisis data dan
penulisan laporan.
Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan metode deskriptif yang
bersifat kualitatif. Menurut Koentjaraningrat (1990:29) mengatakan bahwa
penelitian yang bersifat deskriptif adalah bertujuan untuk memaparkan secara tepat
15
sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan
frekuensi atau penyebaran dari suatu gejala ke gejala lain dalam suatu masyarakat.
1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian dan Informan
Dalam hal penentuan lokasi penelitian, penulis memilih berdasarkan tempat
berdomisilinya para informan atau musisi yang dianggap berkaitan dengan
penelitian ini. Oleh karena itu, penulis dalam hal ini melihat kasus yang sering
terjadi di kota Medan sebagai bahan penelitian dan memilih wilayah Samosir
sebagai perbandingan dan juga sebagai tempat tinggal para informan. Selain karena
tempat berdomisilinya para informan, alasan memilih kedua tempat tersebut adalah
bahwa kota Medan merupakan ibukota Sumatera Utara yang juga tempat
berdomisilinya penulis dan mayoritas masyarakat Batak secara keseluruhan,
dimana tempat ini berperan sebagai pusat kehidupan yang dinamis dan berkembang
serta penuh dengan fenomena budaya Batak Toba, sedangkan Samosir merupakan
tempat yang menjadi pusat peradaban masyarakat Batak Toba dan akar
bertumbuhnya budaya masyarakat Batak Toba.
1.7 Kerja Lapangan
Dalam kerja lapangan penulis melakukan wawancara untuk mendapatkan
informasi yang akurat tentang tulisan ini. Sebelum melakukan wawancara terlebih
dahulu penulis menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan di dalam melakukan
wawancara,
yaitu:
menyusun
pertanyaan,
mempersiapkan
alat-alat
menyediakan alat perekam untuk merekam hasil wawacara dengan informan.
16
tulis,
1.8 Studi Kepustakaan
Sebagai landasan penulis dalam melakukan penelitian, sebelum melakukan
kerja lapangan penulis terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan, baik dari
artikel, skripsi, maupun buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian. Studi
ini bertujuan untuk memperoleh konsep-konsep serta teori-teori yang relevan untuk
membahas permasalahan dalam tulisan ini sekaligus untuk menghindari kesamaan
topik pembahasan.
Beberapa tulisan yang membahas tentang sulim Batak Toba, antara lain:
Skripsi Martogi Sitohang yang berjudul “Sulim Batak Toba : Suatu Kajian
dalam Konteks Gondang Hasapi ”. Skripsi ini secara umum membahas tentang
kajian musikologis sulim dalam konteks ensambel gondang hasapi saja. Selanjutnya
Skripsi Frendy Sirait yang berjudul “Instrumen Sulim Pada Ansambel Musik Tiup
Batak Toba Di Kota Medan : Kajian Terhadap Fungsi, Perkembangan Dan
Organologis”. Skripsi ini secara umum juga hanya membahas tentang kajian
fungsional, dan perkembangan penggunaan serta organologis sulim dalam konteks
ensambel Musik Tiup saja. Kalo penulis melihat perbandingan antara kedua judul
tersebut di atas, penulis menilai bahwa ada kesamaan topik konteks pembahasan
yakni sama-sama membahas tentang kajian fungsional sulim dalam konteks
ensambel. Hal yang membedakannya hanya terlihat ketika instrument tersebut
dimainkan dalam nama ensambel yang berbeda,yakni antara ensambel gondang
hasapi dan musik tiup.
Sedangkan dalam tulisan ini penulis lebih mendalam membahas tentang
kajian struktural dan fungsional sulim dalam berbabagi konteks penyajian baik
ketika dimainkan dalam konteks solo, ensambel maupun kollaborasi dengan
17
instrument yang lain,selain daripada itu penulis juga membahas tentang kontinuitas
dan perubahan fungsi dan penggunaannya dalam berbagai aspek tersebut.
Selain dari kedua skripsi di atas, untuk mendukung bahasan tentang kajian
organologis serta kajian kontinuitas dan perubahan yang juga dibahas dalam tulisan ini
penulis juga mengambil referensi dari skripsi-skripsi lain seperti skripsi Martahan Sitohang
yang berjudul “Perubahan dan Kontinuitas Ritual Pembuatan Taganing di Desa Turpuk
Limbong Kecamatan Harian Kabupaten Samosir”, skripsi Leonald Nainggolan yang
berjudul “Kontinuitas dan Perubahan Gondang Naposo Pada Masyarakat Batak
Toba di Desa Gajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan”, dan juga skripsi
yang berjudul “Studi Organologis dan Musikologis Tulila Dalam Kebudayaan
Batak Toba di Desa Turpuk Limbong Kecamatan Harian Boho Kabupaten Tapanuli
Utara” serta banyak skripsi lain yang mungkin tidak dapat penulis paparkan satu
persatu dengan alasan bahwa sejalan dengan proses penulisan skripsi ini
kemungkinan akan ada referensi lain yang penulis dapatkan baik berupa skripsi
atau sumber buku yang lain secara tiba-tiba atau dalam konteks situasi yang
berbeda.
1.9 Kerja Laboratorium
Seluruh data yang diperoleh penulis dari lapangan dan studi kepustakaan,
kemudian dianalisis kembali di dalam kerja laboratorium. Penulis akan melakukan
seleksi data, analisis data, dan mengelompokkannya sesuai dengan informasi yang
penulis harapkan. Proses analisis data penelitian dimulai dengan menelaah
keseluruhan data yang diperoleh. Analisis data dilakukan mulai awal penelitian dan
berlangsung sampai pada saat proses penulisan laporan penelitian selesai.Begitu
juga dengan data yang berbentuk gambar, penulis akan mencantumkannya dalam
18
tulisan ini. Data yang tidak bersifat musikal diolah kemudian dan dituliskan dalam
bentuk tulisan atau karya ilmiah. Selama proses pengolahan data, penulis juga
melakukan diskusi-diskusi dengan para dosen pembimbing dan teman-teman yang
ada di Departemen Etnomusikologi.
19
BAB II
MASYARAKAT BATAK TOBA DI BONA PASOGIT
DAN DI PERANTAUAN
2.1 Konsep Adat
Kebudayaan terjadi karena adanya faktor-faktor yang mendukung terjadinya
kebudayaan itu. Dalam masyarakat Batak Toba, dapat kita temukan adanya
kebudayaaan yang berisikan adat isitiadat dan juga kesenian. Hal ini masih tetap
dilaksanakan dalam tatanan kehidupan masyarakat Batak pada masa kini dan
merupaan suatu hal pokok yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Batak
itu sendiri.
Adat merupakan warisan dari leluhur yang harus dilanjutkan oleh generasi
berikutnya yang merupakan pedoman kepada masyarakat dalam melaksanakan
kegiatan sehari-hari. Di dalam adat terdapat unsur hukum, aturan dan tata cara yang
mengatur tentang hubungan manusia dan manusia.
Menurut masyarakat Batak Toba, adat merupakan pemberian Mulajadi Na
9
Bolon yang harus dituruti oleh makhluk penciptanya. Adat inilah yang menjadi
hukum bagi setiap orang yang memberikan pengetahuan tentang cara kehidupan
untuk membedakan yang baik dan yang buruk.
Adat adalah kebiasaan atau hasomalan yang berarti aturan-aturan yang
dibiasakan. Pengertian lain yaitu kebiasaan di suatu tempat atau yang terdapat pada
suatu kelompok marga yang berasal dari orang-orang tua dan diwariskan secara
turun temurun, berupa pesan tentang aturan dan hukum yang tidak boleh diabaikan
9
Akan lebih dijelaskan pada bahasan selanjutnya
20
atau dilupakan. Hukum adat yang merupakan pemberian dari Mulajadi Na Bolon
sebagai perintah yang harus dituruti bermula dari kebiasaan adat yang dilaksanakan
oleh sekelompok masyarakat. Oleh karena itu, tertanam suatu kepercayaan pada
masyarakat Batak Toba terhadap hukum adat itu sendiri. Masyarakat Batak Toba
meyakini bahwa apabila adat diikuti dan dilaksanakan maka orang tersebut
dipercaya akan mendapat berkah, sedangkan orang yang tidak peduli dengan adat
tersebut akan mendapat bala (hukum tersirat).
Secara teologis, adat adalah bentuk keseluruhan suatu agama suku, adat
merangkum, meresapi dan menentukan suku atau bangsa dengan cara yang
bagaimanapun. Adat menghubungkan orang yang hidup yang kelihatan dengan
orang yang mati yang tidak kelihatan; adat mengatur tata tertib sosial untuk desa
sebagai persekutuan hukum, persekutuan produksi, dan persekutuan agama; adat
mempertahankan daya hidup mitos dimana kekuatannya terdapat pada nomisme,
yaitu sikap hukum yang alamiah dan tujuannya ialah utk tercapainya kelanggengan
dan keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam keseluruhan aspek
ini, dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan disatu-padukan sepenuhnya sama seperti
dunia alam dan cakrawala. Adat mepunyai corak bermotif sebab ia mempunyai
dasar dalam mitos yang merupakan konsepsi suatu bangsa untuk memahami
dirinya. Oleh karena itu, adat adalah bagian lahiriah serta pengembangan mitos
dalam kehidupan bersama dan penerapannya dalam segala seluk belukn kehidupan
(Pasaribu, 1986:61).
Adat memiliki asal usul keilahian dan merupakan seperangkat norma yang
diturunkan dari nenek moyang, yang berulang-ulang atau yang teratur datang
kembali, lalu kembali menjadi suatu kebiasaan atau hal yang biasa (Schreiner,
1994:18). Pola-pola kehidupan yang tampak dalam bentuk pergaulan sehari-hari,
21
pembangunan rumah, upacara perkawinan, upacara kematian, semuanya dipelihara,
dilaksanakan dan diatur menurut adat (ibid, 1994:20).
Kebudayaan Batak Toba merupakan sebuah bentuk gagasan yang diwarisi
masyarakat pemiliknya dengan membuat perilaku terhadap nilai-nilai budaya.
Konsep masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia, adalah bahwa
kehidupannya selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat. Adat merupakan bagian
dari kewajiban yang harus ditaati dan dijalankan. Dalam praktek pelaksanaan adat
Batak Toba, realita di lapangan menunjukkan terdapat empat (4) katagorial adat
yang telah dilakukan.
Pertama, komunitas masyarakat Batak Toba mempunyai sistem hubungan
adat tersendiri. Menunjukkan, setiap komunitas mempunyai tipologi adat masingmasing. Perlakuan masyarakat pedesaan terhadap adat lebih intensif dan merekat,
dengan masyarakat Batak yang tinggal di perkotaan relatif lebih individualistis
menyikapi adat Batak. Perilaku ini muncul akibat pengaruh lingkungan yang
membentuk pola pikir disamping unsur teknologi yang mempengaruhi.
Kedua, Adat yang diyakini sebagai norma yang mengatur hubungan antar
manusia Batak Toba, dipengaruhi oleh aturan dan norma yang sudah berlaku dalam
masyarakatnya. Peraturan perundang-undangan dan hukum agama yang banyak
mengatur kehidupan normatif masyarakat secara rinci dan detail, memperkecil
peranan adat dalam mengatur norma sosial dan kehidupan bermasyarakatnya.
Seiring pula dengan aturan perundang-undangan dan hukum agama yang sudah
membudaya, sering juga dipandang dan dianggap sebagai bagian dari adat istiadat
Batak Toba sendiri.
22
Ketiga, Pola hubungan antar manusia dalam kelompok masyarakat Batak
Toba berubah secara terus menerus, sehingga pelaksanaan adatnya juga mengalami
perubahan sesuai kebutuhan tanpa melihat sisi ruang dan waktu.
Keempat, pandangan dan nilai yang diberikan terhadap adat itu juga
mengalami perubahan, akibat dari pengaruh teknologi dalam penyebaranluasan
informasi. Hal itu tampak dalam praktek adat yang dilakukan oleh masyarakat
pendukungnya.
Lebih jauh, adat adalah sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia.
Sehingga, orang Batak yang bertindak dan bertingkah laku tidak sesuai dengan adat
disebut dengan na so maradat (orang yang tidak memiliki adat) dan akan ada
sanksi sosial terhadap orang-orang yang melanggar adat. Pelanggaran adat yang
dilakukan dapat berbentuk perkawinan terlarang. Misalnya, perkawinan semarga
(incest). Pencurian, pencemaran nama baik dan hal lain yang diyakini sebagai
tatanan sosial masyarakat yang tidak dapat dilanggar (bandingkan, Bruner
1961:510). Sanksi bagi pelanggar hukum adat, diyakini datang dari kutukan ilahi
yang mereka percayai. Misalnya, tidak mendapatkan keturunan, penyakit menahun
yang tidak kunjung sembuh, kerugian ekonomis dalam setiap pekerjaan bahkan
sanksi kematian. Hukuman ini berlaku bagi pelanggar adat hingga keturunan
selanjutnya dalam beberapa generasi. Karena prinsip adat Batak bersumber dari
keilahian yang diturunkan nenek moyang orang Batak, maka setiap orang Batak yang
menjalankan adat adalah orang-orang yang bersekutu dengan nenek moyangnya.
2.2 Religi atau Kepercayaan
Menurut kepercayaan orang Batak dalam mitologinya, persoalan kehidupan
selalu ada sangkut pautnya dengan keilahian yang dipercaya sebagai karya Mula
23
Jadi Nabolon. Mite yang mirip dengan mitologi dalam kepercayaan Hindu dalam
cerita turun temurun masyarakat Batak Toba ini, yaitu adanya tiga oknum dewa
masing-masing Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan sebagai aspek dari
Mulajadi Nabolon yang memiliki otoritas di bumi untuk mengatur kehidupan
manusia (Situmorang, 2009:21).
Dalam beberapa tulisan konsep mitologi ini berbeda dengan konsep yang
diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang “tri tunggal” Dewa orang Batak. Dalam
tulisan lain, Tampubolon menyebut ketiga Dewa itu bukanlah implisit dari jelmaan
Mula Jadi Nabolon, melainkan tiga dewa yang berdiri sendiri yaitu 1) Mulajadi
Nabolon, 2) Debata Asi-asi dan 3) Batara Guru yang sesuai dengan pekerjaannya
di Bumi. Mulajadi Nabolon diyakini sebagai pencipta dari alam semesta untuk alam
yang besar (Nabolon), dan menciptakan dewa-dewa yang lebih rendah. Debata Asiasi sebagai dewa yang menurunkan berkat dan kasih melalui oknum perantara (roh
leluhur, roh penghuni suatu tempat). Batara Guru berarti maha guru yang memberi
ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu gaib, pengobatan dan penangkalan roh-roh jahat.
(Tampubolon, 1978:9-10).
Mitologi Batak pada umumnya disampaikan melalui cerita dari mulut ke
mulut (tradisi lisan), biasanya pemberitaan seperti ini sukar untuk dipercaya. Hal ini
terbukti dari banyaknya beredar cerita-cerita dongeng di kalangan bangsa Batak.
Lebih lanjut Warneck membenarkan bahwa hampir semua suku bangsa memiliki
dongeng, yang tidak memiliki hubungan satu sama lain. Masing-masing berdiri
sendiri (Hutauruk, 2006:8)
Ajaran agama Batak yang terdapat dalam mitologi Batak ini, diperjelas oleh
Batara Sangti menyebut ketiga dewa (sama dengan versi Situmorang) pemilik
otoritas kedewaan dengan konsep pekerjaan ketiga dewa tersebut mengatur tata
24
kehidupan manusia. Dalam legenda Siboru Deak (Deang) Parujar dalam tonggotonggo (doa) yang disampaikan pada Mula Jadi Nabolon menyebut: Debata Natolu,
Natolu Suhu, Naopat Harajaon. Sangti menguraikan pekerjaan dan tugas keempat
oleh Debata Asi-asi yaitu menolong manusia dengan bersusah payah dan
berkorban. Dewa ini berfungsi sebagai: naso pinele jala naso sinomba (yang tidak
disaji dan tidak disembah) sebagai tugas keempat dimaksud dari na opat harajaon
(Sangti, 1977:279).
Dalam konteks kepercayaan tradisional “agama Batak” itu, terdapat konsep
bahwa kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah meninggal.
Kehidupan itu berada pada dunia maya, kehidupan para roh-roh yang sudah
meninggal. Anggapan bahwa roh-roh itu memiliki komunitas dan aktivitas sendiri.
Itu sebabnya, hingga kini masih terdapat kepercayaan bagi masyarakat Batak untuk
ikut menyertakan berbagai perlengkapan orang yang sudah mati, dikubur bersama
jasadnya. Misalnya, pahean (pakaian) yang dikenakan dipergunakan nantinya
setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin, dan ringgit sitio
suara (uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh perjalanan ‘jauh’ dari dunia
nyata ke dunia maya atau benda-benda lainnya yang dibutuhkan dalam dunia roh.
(ibid. 1978:10).
Dari beberapa versi cerita kehidupan orang Batak dapat disimpulkan, bahwa
orang Batak pada zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya Allah yang satu
yang disebut Mulajadi Na Bolon yang menjadi sumber dari segala yang ada. Orang
Batak kala itu percaya ada kekuatan besar Debata yang menjadikan langit dan bumi
dan segala isinya. Juga memelihara kehidupan secara terus menerus. Debata
Mulajadi Na Bolon adalah sebagai ilahi yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dia
adalah awal dari semua yang ada.
25
Dalam konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada daya dan upaya untuk
mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak sangat besar
pengaruhnya dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua orang Batak harus
mempunyai sahala. Penafsiran sahala menurut Warneck adalah kewibawaan hidup,
kekayaan akan harta benda dan keturunan, kemuliaan yang mencakup kebijaksanaan,
kecerdikan, kecerdasan, kekuasaan, keluhuran budi pekerti. Hal ini terus dilakukan
oleh orang Batak secara turun temurun. Implementasinya, nampak pada setiap
pekerjaan adat dan hubungan kehidupan antara orang Batak. Sehingga sahala adalah
wujud dari hagabeon, hamoraon dan hasangapon.
Sahala adalah perwujudan roh (tondi) dalam kehidupan manusia di dunia.
Dia merujuk pada sebuah kekuatan nyata yang menjadi milik orang-orang penting
dan kuat. Tanda utama kepemilikan sahala yang besar adalah dimana seseorang
memiliki keberhasilan duniawi. Sahala merupakan sebuah kualitas yang bisa
diperoleh atau hilang. Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada nilainilai kebudayaan dalam tiga kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon (kekayaan)
dan hasangapon (kehormatan).
Harajaon menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia adalah berdiri sendiri
secara merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan kuasanya. Setiap orang
Batak (laki-laki), selalu mempunyai keinginan menjadi seorang raja. Pengertian
menjadi raja adalah seorang yang dapat mengatur hidupnya sendiri tanpa bantuan
orang lain. Oleh karena itu dianggap penting untuk membentuk rumah tangga
sendiri, karena rumah tangganya adalah awal dari usaha-usaha untuk mendirikan
ke”raja”annya sendiri. Manusia harus menghormati sanak saudaranya dan marga
yang dia miliki.
26
Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan dalam hidup seorang Batak adalah
mensejahterakan kehidupan. Anggapan tradisional, pengertian kesejahteraan lebih
dianggap sama dengan banyak memiliki istri dan anak, ladang yang luas dan ternak
yang banyak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena memiliki seorang
Batak memiliki sahala sebagai raja.
Hasangapon merupakan tujuan dari usaha-usaha untuk mewujudkan
gagasan-gagasan harajaon dan hamoraon. Perjuangan untuk mencapai hasangapon
digambarkan sebagai motivasi fundamental suku Batak. Dalam mencapai harajaon,
hamoraon, dan hasangapon, ketegangan seringkali muncul antara kakak beradik
dalam satu marga. Dalam hal ini, seseorang yang memiliki status yang tinggi akan
mencoba menengahi, tetapi bila usaha-usaha ini tidak berhasil, sebuah kelompok
bisa pergi untuk mendirikan pemukiman baru.
Sistem dalihan na tolu mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang
kaku. Selalu ada hula-hula yang harus dipelihara dan dihormati. Oleh karena itu,
masyarakat Toba memiliki ciri egaliter yang kuat, dibandingkan misalnya dengan
masyarakat jawa. Sifat ini tidak berarti bahwa masyarakat Toba bebas dari hirarki
gender, pada umumnya perempuan menempati posisi rendah dibanding laki-laki.
2.3 Konsep Kemasyarakatan
Koentjaraningrat (1995:110) mengatakan bahwa stratifikasi sosial orang
Batak dalam kehidupan sehari-hari dapat dibedakan menjadi empat prinsip yaitu: 1)
Perbedaan tingkat umur. Yakni, sistem pelapisan sosial masyarakat Batak Toba
berdasarkan perbedaan tingkat umur ysng dapat dilihat dalam sistem adat istiadat.
Dalam pesta adat, orang-orang tua yang tingkat umurnya lebih tinggi, akan lebih
banyak berbicara atau disebut raja adat. 2) Perbedaan pangkat dan jabatan. Sistem
27
pelapisan sosial berdasarkan perbedaan pangkat dan jabatan ini dapat dilihat pada
perbedaan harta dan keahlian yaitu pada keturunan raja-raja, dukun, pemusik
(pargonsi) dan juga pandai-pandai seperti besi, tenun, ukir dan lain-lain. 3)
Perbedaan sifat keaslian. Sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan sifat dan
keaslian dapat kita lihat dalam jabatan dan kepemimpinan. Dalam sistem ini
berlaku sifat keturunan contohnya, di daerah Muara adalah daerah asal marga
Simatupang. Maka secara otomatis turunan marga Simatupang ini lebih berhak atas
jabatan kepemimpinan di daerah tersebut seperti Kepala Desa atau yang di luar
jabatan pemerintahan. Demikian juga halnya dalam hak ulayat dalam pemilikan
tanah. 4) Status kawin adalah sistem pelapisan sosial berdasarkan status kawin
dapat dilihat di dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada orang Batak yang sudah
berkeluarga. Mereka sudah mempunyai wewenang untuk mengikuti acara adat atau
berbicara dalam lingkungan keluarganya, dan biasanya orang Batak yang sudah
berkeluarga akan menjaga wibawanya dalam adat ataupun dalam kehidupan seharihari. Oleh karena itu sangat besar arti perkawinan pada masyarakat Batak Toba.
2.4 Konsep Kekerabatan
Pembagian kelompok keturunan bagi masyarakat Batak diyakini berasal
dari satu nenek moyang yang sungguh-sungguh ada, dan atau karena anggapan
mitologi seperti disebutkan dalam pembahasan di atas. Garis keturunan yang
disandang oleh setiap orang Batak sekarang ini berasal dari satu sumber yang
secara eksklusif ditarik lurus dari pihak laki-laki (keturunan agnatic, patrilineal atau
laki-laki). Garis patrilineal ini dipakai guna menentukan status keanggotaan dalam
sebuah kelompok yang dinamai marga (klan). Sedangkan patrilineal adalah garis
keturunan menurut laki-laki. Sehingga, kelompok marga Batak adalah sebuah
28
organisasi keluarga yang luas. Kekerabatan dari kelompok keturunan bagi orang
Batak banyak dijumpai menurut wilayah kediaman masyarakat Batak Toba. Mereka
membentuk grup-grup menjadi sebuah kelompok marga (descent group) sebagai
kesatuan sosial. Kesatuan yang diakui (de facto) oleh umum.
Sejak dulu sampai sekarang, masyarakat Batak Toba dalam beberapa hal
merupakan masyarakat yang patriakal
10
. Dalam masyarakat tradisional, posisi
perempuan seringkali sulit. Jika seorang perempuan telah melahirkan banyak anak
laki-laki dan satu anak perempuan akan sangat dihargai, tetapi jika perempuan tidak
melahirkan anak laki-laki akan dianggap rendah. Karena sistem marga diambil dari
anak laki-laki, seorang laki-laki yang tidak memiliki anak laki-laki tidak dapat
mengabadikan marganya. Keadaan ini dianggap sebagai rasa malu yang besar dan
laki-laki itu didesak untuk memiliki istri lagi, karena anak-anak membawa
kebanggaan dalam sebuah marga, biasanya laki-laki yang memiliki kekayaan sering
memiliki lebih dari satu istri. Karena marga adalah eksogamus, perkawinan antara
orang-orang dari marga yang sama dianggap tabu.
Adat Batak Toba mendorong seseorang segera menikah setelah masa
pubertas dan bagi laki-laki menikah dianggap sebagai sebuah tugas. Sistem marga
Batak Toba bersifat hirarkis, dalam arti bahwa marga (hula-hula), yang telah
memberikan anak perempuannya agar dinikahi marga yang lain dianggap lebih
tinggi dari pada marga yang menerima isteri tersebut (boru). Di pihak lain, marga
yang lebih tinggi juga berhubungan dengan marga-marga yang lain yang telah
memberikan anak-anak perempuan kepada mereka, yaitu yang dianggap lebih
tinggi. Tiga marga adalah marga milik seseorang (dongan sabutuha, teman dari
10
Patriakal merupakan sistem pewarisan garis keturunan menurut garis keturunan/marga
sibapak.
29
satu rahim), hula-hula dan boru disebut dalihan na tolu, yang merujuk pada tiga
batu yang diletakkan dibawah tungku untuk memasak. Dalam hal ini tidak seorang
pun berada diatas karena setiap orang memiliki hubungan dengan sebuah marga
yang mereka anggap lebih tinggi.
Sistem kekerabatan keluarga Batak Toba, tidak dapat dipisahkan dari
filsafat hidupnya dan merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang
laki-laki dan seorang wanita, akan tetapi mengikat suatu hubungan yang tertentu
yaitu kaum kerabat dari pihak laki-laki atau kaum kerabat dari pihak perempuan.
Seluruh pihak yang masuk dalam lingkaran kerabat Batak Toba, masing-masing
memiliki nama sebutan panggilan yang menunjukkan status kekerabatan. Filsafat
hidup kekerabatan inilah yang disebut Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga) yang
terdiri dari:
1. Hula-hula atau dinamai parrajaon (pihak yang dirajakan) yaitu marga ayah
mertua seorang laki-laki yang memberinya istri. Yang termasuk hula-hula bukan
hanya pihak mertua dan golongan semarganya tetapi juga bona ni ari yaitu
marga asal nenek (istri kakek) ego lima tingkat ke atas atau lebih, tulang yaitu
saudara laki-laki ibu, yang terdiri dari tiga bagian yaitu bona tulang (tulang
kandung dari bapak ego), tulang tangkas (tulang ego saudara), tulang ro robot
(ipar dari tulang), lae atau tunggane (ipar) yang termasuk di dalamnya anak dari
tulang anak mertua, mertua laki-laki dari anak, ipar dari ipar, cucu ipar; bao
(istri ipar) yaitu istri ipar dari pihak hula-hula mertua perempuan dan anak lakilaki, anak perempuan dari tulang ro robot; paraman dari anak laki-laki,
termasuk di dalamnya anak ipar dari hula-hula, cucu pertama, cucu dari tulang,
saudara dari menantu perempuan, paraman dari bao; hula-hula hatopan yaitu
semua abang dan adik dari pihak hula-hula.
30
2. Boru yaitu marga yang menerima anak perempuan sebagai istri, yang termasuk
di dalamnya namboru (bibi) yang terdiri dari iboto ni ama niba (saudara
perempuan bapak), mertua perempuan dari saudara perempuan, nenek dari
menantu laki-laki; amang boru (suami bibi) yang termasuk di dalamnya mertua
laki-laki dari saudara perempuan, kakak dari menantu laki-laki; iboto (saudara
perempuan) yang termasuk di dalamnya putri dari namboru, saudara perempuan
nenek, saudara perempuan dari abang atau adik kita; lae (ipar) yang termasuk di
dalamnya saudara perempuan, anak namboru, mertua laki-laki dari putri, amang
boru dari ayah, bao dari saudara perempuan. Boru (putri) yang termasuk di
dalamnya boru tubu (putri kandung), boru ni pariban (putri kakak atau adik
perempuan), hela (menantu), yang termasuk di dalamnya suami dari putri, suami
dari putri abang atau adik kita, suami dari putri; bere atau ibebere (kemenakan)
atau anak dari saudara perempuan; boru natua-tua yaitu semua keturunan dari
putri kakak kita dari tingkat kelima.
3. Dongan Sabutuha atau dongan tubu yaitu terdiri dari namarsaompu artinya
segenap keturunan dari kakek yang sama, dengan pengertian keturunan laki-laki
dari satu marga. Setiap orang Batak Toba dapat terlihat dalam posisi sebagai
dongan tubu, hula-hula dan boru terhadap orang lain. Terhadap hula-hula-nya,
dia adalah boru. Sebaliknya, terhadap boru dia merupakan hula-hula dan
terhadap garis keturunannya sendiri dia merupakan dongan tubu. Penyebutan
kata somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu adalah salah
satu semboyan yang hidup hingga saat ini pada masyarakat Batak Toba yang
mencerminkan keterkaitan hubungan ketiga sistem kekerabatan ini. Artinya
hula-hula menempati kedudukan yang terhormat diantara ketiga golongan
fungsional tersebut. Boru harus bersikap sujud dan patuh terhadap hula-hula dan
31
harus dijunjung tinggi. Hal itu tampak dari filosofi yang dianut tentang ketiga
golongan ini. Hula-hula, mata ni mual si patio-tioon, mata ni ari so husoran
artinya hula-hula adalah sumber mata air yang selalu dipelihara supaya tetap
jernih dan matahari yang tidak boleh ditentang. Hula-hula diberi sebutan sebagai
debata na tarida atau wakil Tuhan yang dapat dilihat, karena merupakan sumber
berkat, perlindungan dan pendamai dalam sengketa. Elek marboru artinya hulahula harus selalu menyayangi borunya dan sangat pantang untuk menyakiti hati
dan perasaan boru. Manat mardongan tubu artinya orang yang semarga harus
berperasaan seia sekata dan sepenanggungan sebagai saudara kandung dan
saling hormat menghormati.
Adapun fungsi dalihan na tolu dalam hubungan sosial antar marga ialah
mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan, hak
dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi
masyarakat Batak Toba. Dimana saja ada masyarakat Batak Toba, secara otomatis
berlaku fungsi dalihan na tolu, dan selama orang Batak Toba tetap
mempertahankan kesadaran bermarga, selama itu pulalah fungsi dalihan na tolu
tetap dianggap baik untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya.
2.5 Sistem mata pencaharian
Secara tradisional, mata pencaharian masyarakat Batak Toba umumnya
adalah bercocok tanam. Pekerjaan bercocok tanam yang dilakukan adalah
berladang dan menanam padi di sawah. Di samping itu, mereka juga mengelola
hasil hutan terutama untuk memenuhi hidup sehari-hari. Salah satu ciri khas desadesa kecil yang terdapat di Samosir adalah bentuk dari permukiman tradisionalnya.
Pola permukiman desa-desa tersebut umumnya terdiri atas beberapa perumahan
32
yang dikelilingi oleh rerimbunan pohon di antara bentangan lahan persawahan di
sekelilingnya.
Menurut hukum adat, dahulu lahan yang dijadikan untuk bercocok tanam
tersebut diperoleh dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap kelurga mandapat
tanah warisan tetapi tidak boleh menjualnya. Tapi seiring perkembangan zaman,
hukum tersebut lama kelamaan sudah mulai tidak dipakai lagi, sebab sudah ada
beberapa oknum yang pernah menjual tanahnya meskipun tanah itu warisan
marganya. Kendatipun demikian, penduduk Samosir masih banyak yang memegang
teguh hukum adat tersebut.
Gambaran umum tentang keadaan lingkungan alam khususnya yang
didapatkan di Pulau Samosir sedikit berbeda. Meskipun terdapat juga lahan-lahan
persawahan kecil di Pulau tersebut,wilayah Samosir merupakan wilayah yang
relatif kering dan kurang subur jika dibandingkan dengan wilayah Batak Toba yang
lainnya. Untuk memenuhi debit air yang dibutuhkan tanaman terkadang sebagian
besar penduduk mengandalkan air hujan, sebab selain lahan yang relatif kering,
sistem irigasi juga tidak berjalan maksimal. Oleh karena itu, sebagian besar
masyarakat menghidupi dirinya dengan bertanam bawang. Sebab menurut
penduduk setempat, selain perawatannya yang lebih mudah, biasanya bawang
merupakan salah satu tanaman yang tidak terlalu membutuhkan banyak debit
seperti tanaman yang lain. Di samping itu, ada juga yang bertanam padi dan sayursayuran.
Selain sektor pertanian, perternakan juga merupakan salah satu mata
pencaharian penduduk Samosir, antara lain perternakan kerbau, sapi, babi,
kambing, ayam, dan bebek. Usaha nelayan atau penangkapan ikan dilakukan
sebagian penduduk yang bermukim di pinggiran pantai Danau Toba. Sebagian dari
33
mereka beternak ikan dan umumnya menggunakan jaring terapung yang dikenal
dengan istilah doton. Doton adalah sejenis jaring yang digunakan untuk menangkap
ikan yang ada di Danau Toba. Jenis ikan yang diternakkan pada umumnya adalah
ikan mas dan ikan mujair. Jika ditelusuri dari berbagai daerah di sepanjang
pinggiran Samosir, misalnya mulai dari Tomok, desa-desa kecil sekitar kota
Pangururan, hingga wilayah Palipi, kita akan menemukan peternakan ikan seperti
ini. Hasil dari pertanian dan peternakan tersebut sebagian dijual di pasar dan
sebagian lagi dikonsumsi oleh keluarga. Sedangkan penduduk yang bermukim jauh
dari kawasan pantai biasanya bermatapencaharian sebagai petani, peternak ataupun
wiraswastawan. Sektor kerajinan tangan juga berkembang. Misalnya tenun,
anyaman rotan, ukiran kayu, tembikar, yang ada kaitannya dengan pariwisata.
Jika ditinjau secara keseluruhan sebagian besar masyarakat Batak Toba di
Samosir saat ini bermata pencaharian sebagai petani, peladang, nelayan, pegawai,
wiraswasta dan pejabat pemerintahan. Dalam berwiraswasta bidang usaha yang
banyak dikelola oleh masyarakat adalah usaha kerajinan tangan seperti usaha
penenunan ulos, ukiran kayu, dan ukiran logam. Saat ini sudah cukup banyak juga
yang memulai merambah ke bidang usaha jasa.
2.6 Batak Toba di Bona Pasogit
Secara umum, masyarakat Batak Toba bermukim di wilayah pegunungan di
sekitar Danau Toba, Tapanuli ataupun di tanah perantauan adalah sama. Orang
menunjukkan identitas mereka sebagai etnis Batak. Namun lebih cenderung
konotosi penyebutan ini terarah pada Batak Toba.
Batak Toba merupakan
istilah yang sering digunakan untuk mengkaji
kelompok masyarakat ini. Penyebutan nama Batak Toba sering dikonotasikan oleh
34
pemilik kebudayaan ini sebagai “Batak yang sebenarnya”. Penggunaan nama ini
dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda.
Pertama, penyebutan Batak bagi penganut agama Islam dari sub kultur
Tapanuli bagian selatan dan sebagian kelompok di Sumatera Utara bagian timur
(Asahan dan Labuhan Batu), mereka tidak mau disebut sebagai suku Batak, namun
sebagian dari mereka menerima akan hal ini.
Kedua, bagi masyarakat Batak Toba yang bermukim di wilayah bona
pasogit 11 , sering mengklaim bahwa sub kultur merekalah yang dianggap asli.
Masyarakat Batak Toba yang tinggal di Rura Silindung sebelah barat daya Danau
Toba pada umumnya lebih memilih dirinya sendiri sebagai halak Batak (orangorang Batak). Namun, persepsi lain menyebutkan bahwa dalam penyebutan “halak
Batak” sering kali merujuk pada kelompok masyarakat yang bermukim di sekitar
tepian Danau Toba.
Identitas orang Batak Toba yang tinggal di Bona Pasogit, dapat dilihat dari
kultur eksogami marga yang terdapat dalam daerah kebudayaan di seluruh wilayah
tempat orang Batak bermukim. Terdapat 4 (empat) wilayah kultur yang didiami
oleh orang Batak di bona pasogit yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten
Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir (Toba Holbung), dan Kabupaten
Samosir.12
11
Bona pasogit, tempat bermukimnya masyarakat Batak di sekitar pegunungan Bukit Barisan,
hidup dalam kelompok-kelompok yang terbagi dengan area culture sesuai dengan sub kulturnya.
Terbagi atas 4 (empat) sub kultur dengan penyebutan “halak” (masyarakat), yaitu: “halak Samosir”
kelompok masyarakat yang bermukim di pulau Samosir - kabupaten Samosir, “halak Toba”
kelompok masyarakat yang tinggal di Toba Holbung - kabupaten Toba Samosir sekarang, “halak
Humbang” masyarakat yang tinggal di dataran tinggi Humbang - kabupaten Humbang Hasundutan
dan “halak Silindung” adalah masyarakat yang bermukim di Silindung kabupaten Tapanuli Utara.
12
Lihat Monang Sianturi, 2012. Hal. 82-90.
35
Gambar-1:
Daerah Pemukiman Orang Batak Toba
Sumber: Koentjaraningrat, 1995:97
2.7 Persebaran Masyarakat Batak Toba
Persebaran masyarakat Batak Toba dimulai ketika badan zending masuk
ke tanah Batak yang membuka isolasi wilayah Batak. Keterkungkungan yang lama
menyelimuti tanah Batak selama berabad-abad yang diterima sebagai suatu
kebiasaan oleh masyarakat ini. Bahkan mereka memproteksi diri dari kehidupan
lain diluar sistem sosio kemasyarakatan yang sudah terbangun pada orang Batak
Toba. Badan zending yang membuka isolasi ini melalui pendidikan yang ditularkan
melalui pengajaran agama Kristen, akhirnya membuahkan hasil dengan timbulnya
minat orang Batak melakukan persebaran ke seluruh pelosok.
Pendidikan yang ditanamkan oleh missionaris agama Kristen di tanah
Batak diyakini sebagai satu cara membuka cakrawala baru untuk mengenal dunia
luar lebih jauh yang sekaligus dapat memberikan hasil dalam meningkatkan
36
kesejahteraan hidupnya, dan pendidikan itu dipandang sebagai sarana untuk
mengatasi kemiskinan dan meningkatkan status ekonomi dan sosial.
Status sosial bagi masyarakat Batak Toba yang dianggap paling mendasar,
membuat orang Batak selalu suka bekerja keras sehingga pekerjaan adalah sesuatu
yang penting. Adakalanya, pekerjaan sebagai guru jemaat dengan gaji yang kecil
akan dilakukan untuk mengejar status sosial. Karena anggapan bahwa seorang guru
lebih tinggi kedudukan sosialnya dari seorang petani.
Dengan terbetiknya berita dari para missionaris tentang adanya kehidupan
lain yang lebih layak di luar wilayah Batak, orang-orang Batak yang sudah
mengecap pendidikan dari pihak zending ini, mencoba mengadu nasib dan mencari
pengalaman baru di tempat yang mereka cari (parserahan). Mereka melakukan
perjalanan dengan menyusuri jalan setapak. Untuk tiba di sekitar Sumatera Timur
(penyebutan untuk wilayah tanah Simalungun dan pesisir timur Sumatera), orangorang Batak yang tinggal di Toba Na Sae (tanah Batak Toba yang luas) harus
dengan menyusuri tepian Danau Toba dengan sampan dari Balige menuju Tigaras
dan berjalan kaki menuju Pematang Siantar melalui Tiga Dolok.
Selain pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak menuju Sumatera
Timur, masih ada peluang untuk keluar walau dengan resiko perjalanan yang berat
dan berbahaya. Misalnya, alternatif
jalan menuju Padang sebagai pelabuhan
internasional ketika itu, dapat dilalui dari Sibolga dengan kapal barang. Hal ini
pernah terjadi dengan adanya orang-orang Batak Toba berkediaman di tanah
Minang pada tahun 1900-an dan orang Batak yang ada di Jawa diyakini berangkat
dengan kapal api dari Padang, atau dengan masuknya tentera Paderi pada tahun
1820-an ke tanah Batak pada saat perang Paderi/Bonjol.
37
Akses jalan dari Sumatera Timur ke tanah Batak, awalnya dijalani melalui
beberapa titik persinggahan yang memakan waktu berhari-hari. Rute-rute kecil dari
tengah hutan sebagai jalan setapak yang dirintis oleh pedagang-pedagang lokal
(perlanja sira-penjual garam), adalah pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak.
Rute lain yang dipilih adalah melalui jalan menyusuri sungai Asahan dari pesisir
timur menuju kawasan Danau Toba di Porsea.
Jalan raya yang menghubungkan tanah Batak ke Sumatera Timur baru
dibuka pada tahun 1915 melalui Sibolga, Sipirok, Tarutung, Balige, Porsea,
Parapat, Tiga Dolok menuju Pematang Siantar (Cunningham, 1958:85). Dengan
dibukanya jalan raya itu, percepatan perpindahan orang Batak menuju daerah lain
semakin tampak. Salah satu sumbernya adalah informasi dari anggota keluarga
Batak yang sudah tiba lebih dahulu di tanah-tanah garapan mereka.
Persebaran masyarakat Batak Toba ke daerah lain untuk mengejar tingkat
perekonomian yang lebih baik, tidak hanya dilakukan oleh kalangan yang
berpendidikan saja, tetapi adalah juga para petani-petani yang hanya mengandalkan
semangat dan pengetahuan pertaniannya. Mereka rela meninggalkan kampung
halamannya, dan kewajiban bekerja sebagai rodi yang diterapkan pemerintah
kolonial Belanda di kampungnya. Untuk kepergiannya, mereka mau membayar
pajak rodi sebesar 3 (tiga) gulden ditambah pajak dan ongkos ganti rugi pekerjaan
rodi selama setahun. Perpindahan orang Batak ke daerah lain untuk menetap adalah
pilihan untuk meningkatkan taraf ekonomi mereka (Sangti, 1977:180)
Bagi orang-orang Batak yang tinggal menetap di daerah-daerah
parserahan selanjutnya membentuk komuni-komuni baru dengan membawa segala
aspek kebudayaannya. Adat istiadat yang dipakai mereka tidak dihilangkan begitu
saja. Mereka berpegang pada konsep adat yang sudah dibangun nenek moyang
38
mereka terdahulu. Karena beragamnya orang Batak dari berbagai latar belakang
daerah di bona pasogit, mereka menyatukan persepsi untuk membuat adat Batak itu
dapat diterima oleh komunitas mereka sendiri, tanpa melihat daerah asal mereka.
Mereka menjalankan adat Batak dengan seperti apa yang dilakukan orang Batak di
bona pasogit, termasuk dalam pemakaian musik untuk mengiringi upacara-upacara
adat Batak mereka.
Masyarakat Batak Toba dewasa ini yang berada di Simalungun, menempati
hampir semua daerah yang ada di Simalungun. Mereka hidup berkelompok di
Pematang Siantar, Perdagangan, Kerasaan, Serbelawan, Dolok Sinumbah, Bah
Jambi, Maria Bandar, Panei Tongah, Saribudolok, Tiga Dolok, Tiga Balata, Tanah
Jawa, Parapat dan daerah lain.
Di Medan, sekitar tahun 1920-an perubahan dominasi etnik mulai berubah.
Orang-orang Batak yang ada di Medan mulai memunculkan diri dengan hasil
pekerjaan mereka yang cukup memuaskan sekaligus memperlihatkan identitas
mereka.
Selain di Medan, di kota besar lainnya, seperti Jakarta, orang Batak juga
menunjukkan identitas mereka. Mereka-merka ini adalah orang-orang yang ulet dan
pekerja keras, sehingga kelompok etnis lain heran mendapati bahwa orang-orang
yang tertib dan pandai yang mereka kenal ternyata adalah orang Batak. Walaupun
orang Batak merupakan kaum minoritas kecil di kota-kota, tetapi sangat
berpengaruh pada saat itu, hal ini juga menyebar ke Tapanuli Utara dan Selatan.
(lihat Hasselgren, 2008:48)
Keberadaan orang Batak Toba di Jakarta (Batavia) diperkirakan sekitar
tahun 1900-an, yang dibawa oleh pihak kolonial Belanda sebagai pembantu utama
mereka. Dapat dicatat, orang Batak pertama yang sudah ada di Jakarta adalah
39
seorang pemuda Batak Kristen alumni sekolah Seminari Pansurnapitu Tarutung
yang menjadi guru di Batavia bernama Simon Hasibuan, dia sudah berada di
Batavia pada tahun 1907 (Sihombing, 1962:65). Setahun kemudian terjadi eksodus
orang Batak dalam mencari pekerjaan ke Batavia dengan menempuh perjalanan
sendiri.
Komunitas pertama orang Batak yang tinggal di Batavia, berada di kawasan
Sawah Besar dengan membentuk perkumpulan Batak Kristen Protestan
sebagaimana mereka dahulunya di Tapanuli (Hasibuan, 1922:61). Bagi orang Batak
yang datang ke Batavia, awalnya ditampung oleh orang Batak pertama datang ke
daerah itu, secara estafet perlakuan itu tetap dipergunakan dalam menyatukan dan
membentuk komunitas Batak di Jakarta. Hingga pada tahun 1917, kumpulan orang
Batak Kristen sudah melakukan kebaktian sebagai upaya penyatuan semua orang
Batak yang berada di Jakarta sebanyak 50 orang, dan berkembang sangat pesat
hingga saat ini.
Di Kalimantan orang Batak sudah mendiami daerah itu pada tahun 1923,
mereka berada di sekitar Singkawang, Pontianak dan Mempawah. Sedang di pulau
Sulawesi,
orang
Batak
sudah
bermukim
mulai tahun
1920-an,
seperti
ditempatkannya beberapa orang Batak menjadi anggota militer. Di Papua dimulai
pada tahun 1942, dengan masuknya orang Batak sebagai tentara Heiho dan
Romusha yang dibawa oleh tentara Jepang. Tahun 1961, seorang petinggi militer
Batak telah menjumpai orang Batak di pulau Morotai Papua.
Hal yang perlu dicatat, adalah adanya orang Batak yang sudah bermukim di
luar negeri. Orang Batak pertama yang berada di Eropa tercatat pada tahun 1876
bernama Djaogot, dia dibeli oleh Pdt. Van Asselt sebagai budak yang kemudian
dikirim ke luar negeri untuk menimba ilmu di sana.
40
Setelah itu terdapat beberapa nama yang juga menetap di luar negeri baik itu
dengan alasan untuk melanjutkan studi ataupun mencari pekerjaan misalnya, M.H
Manullang seorang putra Tarutung melanjutkan sekolahnya di Senior Cambridge
Singapura antara tahun 1907-1909. Tahun 1920-an sudah ada beberapa orang Batak
yang menjadi guru di sana. Tahun 1927 seorang Kristen Batak tamatan sekolah
Zending asal Sipirok, yakni A. Batubara berangkat ke Singapura untuk mencari
pekerjaan. Tahun 1930, Bintatar W.F Napitupulu asal Sangkarnihuta Balige pindah
ke Malaya dan bekerja di Ipoh sebagai pegawai Lindeteves.
Sementara itu, pulau Batam juga menjadi tujuan orang-orang Batak Toba
dalam mencari pekerjaan. Berdasarkan statistik HKBP, warga HKBP di pulau
Batam dan Singapura tahun 1991 sebanyak 5.629 jiwa (Almanak HKBP 1994:370).
Pada tahun 2011, masyarakat Batak yang bermukim di pulau Batam dan Tanjung
Pinang dengan statistik terdaftar sebagai penduduk menetap sebanyak 68.126
jiwa.13
2.8 Budaya Musikal Batak Toba
2.8.1 Musik vokal
Budaya musikal masyarakat Batak Toba tercakup dalam dua bahagian
besar, yaitu musik vokal dan musik instrumental. Musik vokal pada masyarakat
Batak
Toba
disebut
dengan
ende.
Dalam
musik
vokal
tradisional,
pengklasifikasiannya ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut yang dapat
dilihat berdasarkan liriknya. Ben Pasaribu (1986 : 27-28) membuat pembagian
terhadap musik vokal tradisional Batak Toba dalam delapan bagian, yaitu :
13
Monang Sianturi, ibid.
41
1. Ende mandideng, adalah musik vokal yang berfungsi untuk menidurkan anak
(lullaby).
2. Ende sipaingot, adalah musik vokal yang berisi pesan kepada putrinya yang
akan melangsungkan pernikahan. Biasanya dinyanyikan pada waktu senggang
saat menjelang pernikahan.
3. Ende pargaulan, adalah musik vokal yang secara umum merupakan “solo
chorus”, dan dinyanyikan oleh kaum muda-mudi dan daam waktu senggang,
biasanya malam hari.
4. Ende tumba, adalah musik vokal yang khusus dinyanyikan sebagai pengiring
tarian hiburan (tumba). Penyanyinya sekaligus menari dengan melompat-lompat
dan berpegangan tangan sambil bergerak melingkar. Biasanya ende tumba ini
dilakukan oleh para muda-mudi atau remaja di alaman (halaman kampung) pada
malam terang bulan.
5. Ende sibaran, adalah musik vokal yang menggambarkan cetusan penderitaan
seseorang yang berkepanjangan. Penyanyinya adalah orang yang menderita
tersebut, dan biasanya dinyanyikan di tempat yang sepi.
6. Ende pasu-pasuan, adalah musik vokal yang berkaitan dengan pemberkatan, dan
berisi lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi dari Yang Maha Kuasa. Biasanya
dinyanyikan oleh para orang tua kepada keturunannya.
7. Ende hata, adalah musik vokal berupa lirik yang diimbuhi ritem yang disajikan
secara monoton, seperti metric speech. Liriknya berupa rangkaian pantun dengan
bentuk pola “aa bb” yang memiliki jumlah suku kata yang sama. Biasanya
dimainkan oleh kumpulan anak-anak yang dipimipin oleh seseorang yang lebih
dewasa atau orang tua.
42
8. Ende andung, adalah musik vokal yang bercerita tentang riwayat hidup
seseorang yang telah meninggal, yang disajikn pada saat atau setelah
disemayamkan. Dalam ende andung alunan melodi biasanya muncul secara
spontan sehingga penyanyinya haruslah penyanyi yang cepat tanggap dan
terampil dalam sastra yang menguasai beberapa motif-motif lagu yang penting
untuk jenis nyanyian ini.
Demikian juga Hutasoit yang dikutip oleh Ritha Ony membagi kelompok
musik vokal menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Ende namarhadohoan, yaitu musik vokal yang diyanyikan untuk acara-acara
namarhadodoan (resmi)
2. Ende siriakon, yaitu musik vokal yang dinyanyikan oleh masyarakat Batak
Toba dalam kegiatan sehari-hari.
3. Ende sibaran, yaitu musik vokal yang dinyanyikan dalam kaitannya dengan
berbagai peristiwa kesedihan atau dukacita.
Tetapi apabila dikaji lebih rinci dari banyaknya jenis musik vokal pada
masyarakat Batak Toba, maka dibuat pengklasifikasian yang lebih mendetail
terhadap nyanyian-nyanyian tersebut sesuai dengan sudut pandang masing-masing.
Berikut ini adalah pembagian jenis musik vokal Batak Toba oleh Jan Harold
Brunvand yang dikutip oleh Ritha Ony (1983:13). Jenis musik vokal tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Nyanyian kelonan (lullaby), yakni musik vokal yang mempunyai irama
halus, tenang, berulang-ulang, ditambah dengan kata-kata kasih sayang
sehingga
dapat
membangkitkan
mendengarkan. Contoh : mandideng.
43
rasa
kantuk
bagi
sianak
yang
2. Nyanyian kerja (work song), yaitu musik vokal yang mempunyai irama dan
kata-kata yang bersifat menggugah semangat,sehingga dapat menimbulkan
rasa gairah untuk bekerja. Contoh : luga-luga solu.
3. Nyanyian permainan (play song), yakni musik vokal yang mempunyai irama
gembira serta kata-kata yang lucu dan selalu dikaitkan dengan permainan.
Contoh : sampele-sampele.
4. Nyanyian yang bersifat kerohanian atau keagamaan, yaitu musik vokal yang
teksnya berhubungan dengan kitab Injil, legenda-legenda keagamaan, atau
pelajaran-pelajaran keagamaan. Contoh : metmet ahu on
5. Nyanyian nasehat, yaitu musik vokal yang liriknya berisi nasehat tentang
bagaimana pola bertingkah laku yang baik. Contoh : siboruadi.
6. Nyanyian mengenai hubungan berpacaran dan pernikahan, yaitu musik vokal
yang liriknya biasanya mengungkapkan kebiasaan muda-mudi yang sedang
bercinta dan akan melanjutkan ke jenjang pernikahan. Contoh : madekdek
ma gambiri.
2.8.2 Musik instrumental
Musik instrumental masyarakat Batak Toba dibagi menjadi dua kategori
berdasarkan bentuk penyajiannya, yakni ada yang lazim digunakan dalam bentuk
ensambel, dan ada yang disajikan dalam bentuk permainan tunggal baik dalam
kaitannya dengan upacara adat, religi/kepercayaan, maupun sebagai hiburan. Secara
umum, pada masyarakat Batak Toba terdapat dua ensambel musik tradisional, yakni
: gondang hasapi dan gondang sabangunan. Selain dalam bentuk ensambel, ada
juga instrumen yang disajikan secara tunggal.
44
2.8.2.1 Gondang hasapi
Komposisi instrumen pada gondang hasapi terdiri dari :
1. Hasapi ende (plucked lute), atau kadang kala disebut dengan hasapi inang
atau hasapi taganing, yaitu sejenis sebuah lute berleher pendek yang
dimainkan dengan cara dipetik dan memiliki dua buah senar. Instrumen ini
merupakan pembawa melodi dan dianggap sebagai instrumen utama dalam
ensambel gondang hasapi.
2. Hasapi doal (plucked lute), instrumen ini sama bentuknya dengan hasapi
ende, perbedaannya hanya terletak pada peranan musikalnya yakni hasapi
doal berfungsi sebagai pembawa ritem konstan.
3. Sarune etek (shawn), yakni sejenis alat tiup berlidah tunggal (single reed)
yang juga berfungsi sebagai pembawa melodi. Instrumen ini tergolong ke
dalam kelompok aerophone yang memiliki lima lobang nada (empat di atas
dan satu di bawah),dan dimainkan dengan cara mangombus marsiulak hosa
(meniup secara sirkular tanpa berhenti) yang dalam istilah musiknya disebut
dengan circular breathing.
4. Garantung (xylophone), yaitu alat musik berbilah yang terbuat dari kayu dan
umumnya memiliki lima buah bilah nada. Selain berperan sebagai pembawa
melodi, juga berperan sebagai pembawa ritem pada lagu-lagu tertentu.
Dimainkan dengan cara mamalu.
14
5. Hesek, yaitu sejenis alat perkusi yang terbuat dari plat besi atau botol kaca
yang berperan sebagai pembawa tempo atau ketukan dasar.
14
Mamalu dapat diartikan dengan memukul, memainkan atau membunyikan. Contoh
mamalu hasapi (membuyikan hasapi), mamalu garantung (membunyikan garantung) dan lain-lain.
Palu-palu merupakan alat pemukul berupa stik yang digunakan untuk memukul instrumen.
45
Gondang hasapi dianggap sebagai bentuk ensambel musik yang kecil.
Penggunaannya terbatas pada ruang yang lebih kecil dan tertutup, dimainkan oleh
lima orang walaupun jumlah pemusik ini dapat juga bervariasi. Jika mengacu pada
praktek pertunjukan gondang hasapi di komunitas parmalim
15
, sarune etek
kadangkala bisa terdiri dari dua alat yang masing-masing dimainkan oleh satu orang
pemain. Begitu juga dengan jumlah orang yang memainkan hasapi ende atau pun
hasapi doal. Dengan kata lain, jumlah pemusik keseluruhan dalam gondang hasapi
yang terdapat pada kelompok parmalim bisa mencapai enam hingga delapan
16
orang.
2.8.2.2 Gondang sabangunan
Ensambel gondang sabangunan mempunyai beberapa istilah yang sering
digunakan oleh masyarakat Batak Toba, yakni ogung sabangunan atau gondang
bolon. Komposisi alatnya terdiri dari :
1. Sarune bolon (shawm, oboe), yaitu sejenis alat tiup berlidah ganda (double reed)
yang berperan sebagai pembawa melodi dan dimainkan dengan cara mangombus
marsiulak hosa. Instrumen ini tergolong kepada kelompok aerophone.
2. Taganing (single headed drum), yaitu seperangkat gendang bernada bermuka
satu yang tersusun atas lima buah gendang, yang berfungsi sebagai pembawa
melodi dan juga pembawa ritem variabel untuk lagu atau repertoar tertentu.
Kelima gendang tersebut dibedakan sesuai dengan namanya masing-masing,
15
Sebuah aliran kepercayaan tradisional/agama suku Batak Toba yang berkembang di
Huta Tinggi, Laguboti, Sumatera Utara.
16
Dikutip dari Buku yang berjudul “Gondang Batak Toba” oleh Ritha Ony dan Irwansyah
Harahap.
46
yakni odap-odap, paiduani odap, painonga, paiduani ting-ting, dan ting-ting.
Instrumen ini tergolong ke dalam kelompok membranophone.
3. Gordang bolon (single headed drum), yakni sebuah gendang-bas bermuka satu
yang ukurannya lebih besar dari taganing, yang berperan sebagai pembawa
ritem konstan dan ritem variabel. Insrumen juga sering disebut sebagai bass dari
ensambel gondang sabangunan. Klasifikasi instrumen ini termasuk kepada
kelompok membranophone.
4. Ogung (gong), yaitu seperangkat gong yang terdiri dari empat buah dengan
ukuran yang berbeda-beda. Keempat buah gong tersebut diberi nama oloan,
ihutan, doal, dan panggora. Masing-masing ogung sudah memiliki ritem
tertentu dan dimainkan terus menerus secara konstan/tidak berubah-ubah.
Instrumen ini tergolong kepada kelompok idiophone.
5. Hesek, yaitu sejenis alat perkusi berupa plat besi, botol, atau benda lainnya yang
dapat menghasilkan bunyi tajam untuk dijadikan sebagai pembawa tempo.
Instrumen ini tergolong kepada idiophone.
6. Odap (double headed drum), yakni sejenis gendang kecil bermuka dua (dua sisi
selaput gendang) yang berperan sebagai pembawa ritem variabel. Instrumen ini
biasanya hanya dimainkan pada lagu atau repertoar tertentu. Instrumen ini
tergolong kepada kelompok membranophone.
Gondang sabangunan pada zaman dahulu digunakan untuk setiap upacara
yang berhubungan dengan adat ataupun religius. Gondang sabangunan berperan
sebagai media untuk menghubungkan manusia dengan penciptanya (secara vertikal)
dan menghubungkan manusia dengan sesama (secara horizontal)17.
17
Lihat, Martogi Sitohang, 1998 hal 23.
47
Penggunaan odap dalam ensambel gondang sabangunan jarang ditemukan
saat ini. Beberapa musisi tradisional Batak seperti Marsius Sitohang, Guntur
Sitohang, dan S.Sinurat mengatakan bahwa penggunaan alat ini sangat terbatas dan
hanya diperuntukkan dalam upacara-upacara tertentu, dan biasanya hanya
parmalim yang masih tetap melestarikan instrumen tersebut. Namun, berkaitan
dengan peran dan bunyi musikalnya, pada zaman sekarang ini teknik permainan
odap sudah banyak ditransformasikan oleh taganing yang juga mampu berperan
sebagai pembawa ritem variabel. Mungkin hal ini juga menjadi salah satu faktor
yang mengakibatkan odap sudah semakin jarang dipergunakan dalam kehidupan
sehari-hari.
Ensambel gondang sabangunan pada umumnya dimainkan oleh tujuh
orang, yakni satu orang memainkan sarune bolon, satu orang memainkan taganing
dan odap, satu orang memainkan gordang bolon, satu orang memainkan ogung
oloan dan ihutan, satu orang memainkan ogung doal, satu orang memainkan ogung
panggora, dan satu orang memainkan hesek. Namun, formasi dan jumlah pemusik
ini sedikit berbeda dengan apa yang terdapat di dalam upacara parmalim. Dalam
konteks tersebut, umumnya pemusik berjumlah delapan orang, dimana alat musik
ogung oloan dan ihutan masing-masing dimainkan oleh satu orang. Kadang-kadang
juga bisa ditemukan pemain sarune bolon berjumlah dua orang pada beberapa
upacara parmalim tertentu. Pada masyarakat Batak Toba secara umum di luar
parmalim, formasi pemusik dalam formasi ensambel semacam ini jarang terjadi
pada kebanyakan pertunjukan gondang sabangunan.
48
2.8.2.3 Instrumen tunggal
Menurut adat Batak Toba, dahulu instrumen tunggal diartikan sebagai
instrumen yang dimainkan secara tunggal dan tidak boleh digabungkan ke dalam
ensambel gondang hasapi maupun gondang sabangunan, sebab pada dasarnya
sudah ditetapkan berbagai instrumen tertentu yang boleh dimainkan ke dalam kedua
ensambel tersebut. Dalam hal ini, penggunaannya hanya dikaitkan ke dalam kedua
ensambel tersebut karena berdasarkan sejarah, dahulu hanya ada dua ensambel
dalam musik adat masyarakat Batak Toba yakni gondang hasapi dan gondang
sabangunan. Instrumen tunggal biasanya hanya digunakan pada waktu senggang
untuk mengisi kekosongan atau menghibur diri. Instrumen ini juga tidak pernah
dimainkan dalam upacara-upacara adat yang bersifat ritual layaknya instrumenintrumen yang ada pada ensambel gondang sabangunan atau gondang hasapi.
Namun jika diartikan secara lebih luas dan terkait perkembangan berbagai musik
Batak Toba pada masa kini, instrumen tunggal pada dasarnya bukan hanya
instrumen yang tidak boleh dimainkan bersama dengan ensambel gondang hasapi
maupun gondang sabangunan saja, melainkan juga pada berbagai ensambel atau
format musik yang lain.
Selain sulim, ada berbagai intrumen Batak Toba yang termasuk ke dalam
instrumen tunggal seperti :
1. Saga-saga (jew’s harp) yang terbuat dari bambu dan dimainkan dengan cara
menggetarkan lidah instrument tersebut dengan bantuan hentakan tangan dan
rongga mulut berperan sebagai resonator. Instrumen ini tergolong ke dalam
keompok ideophone.
49
2. Jenggong (jew’s harp) yang terbuat dari logam dan mempunyai konsep yang
sama dengan saga-saga. Juga termasuk ke dalam kelompok ideophone.
3. Talatoit (transverse flute), sering juga disebut dengan salohat atau tulila, yaitu
alat musik yang terbuat dari bambu dan dimainkan dengan cara meniup dari
samping. Mempunyai empat lobang nada yakni dua di sisi kiri dan dua di sisi
kanan, sedangkan lobang tiupan berada di tengah. Instrumen diklasifikasikan ke
dalam kelompok aerophone.
4. Sordam (up blown flute) yang terbuat dari bambu, dan dimainkan dengan cara
meniup dari ujungnya dengan meletakkan bibir pada ujung instrumen yang
diposisikan secara diagonal. Instrumen ini memiliki lima lobang nada, yakni
empat di bagian atas dan satu di bagian bawah, sedangkan lobang tiupan berada
pada ujung atas nya. Instrumen ini juga termasuk ke dalam kelompok
aerophone.
5. Tanggetang (bamboo ideochord), yaitu alat musik yang terbuat dari batang
bambu besar dan memiliki senar yang dibentuk dari badan bambu itu sendiri dan
badan bambu tersebut berperan sebagai resonator. Prinsip pembuatan, cara
memainkan dan karakter bunyi instrumen ini hampir sama dengan keteng-keteng
yang ada pada masyarakat Batak Karo, dimana instrumen ini bersifat ritmis dan
gaya permainannya seakan mengimitasikan karakter bunyi ogung (gong Batak
Toba). Instrumen ini termasuk kelompok yang dipadukan antara ideophone
dengan chordophone sehingga disebut dengan ideochordophone
6. Mengmung juga merupakan instrumen sejenis ideochordophone yang mirip
dengan tanggetang, hanya saja senarnya terbuat dari rotan dan peti kayu
dijadikan sebagai resonator.
50
Dari keseluruhan intrumen tunggal yang ada pada masyarakat Batak Toba,
sulim adalah instrumen yang masih tetap eksis dan paling sering digunakan hingga
pada saat ini. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sulim merupakan instrumen
tiup yang lebih kompleks dengan frekuensi nada serta jangkauan nada yang lebih
luas dibandingkan instrumen tunggal yang lainnya, sehingga berbagai jenis lagu
atau repertoar dapat dimainkan pada instrumen tersebut.
Sementara instrumen tunggal yang lain sudah sangat jarang digunakan
dalam kehidupan sehari-hari bahkan ada orang yang mengatakan bahwa beberapa
di antaranya sudah hampir punah keberadaannya seperti saga-saga, jenggong,
tanggetang dan mengmung. Sebab pada umumnya, keempat instrumen ini sudah
sangat jarang kelihatan atau digunakan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan
mungkin hanya satu dua orang yang masih melestarikan instrumen ini, dan itu pun
kemungkinan jika siempunya masih hidup atau instrumen tarsebut masih tetap
diwariskan secara turun temurun.
51
BAB III
KAJIAN ORGANOLOGIS SULIM
3.1 Tradisi Pembuatan Sulim Pada Masa Pra-Kristen
Pada awalnya proses pembuatan sulim harus mengikuti pola-pola ritual
tertentu, namun lama kelamaan seiring perkembangan zaman dan masuknya agama
pola-pola tersebut berubah dengan mengabaikan aspek ritualnya.
Kalau proses pembuatan taganing menurut adat pra-Kristen merupakan tata
cara atau rangkaian kegiatan bersifat religius yang dilakukan oleh masyarakat Batak
Toba untuk menghubungkan manusia dengan Mulajadi Nabolon, roh nenek
moyang dan sesama manusia, tidak sama halnya dengan proses pembuatan sulim
pada masa itu. Ritual proses pembuatan sulim dilakukan hanya oleh beberapa
oknum yang memiliki pengetahuan alam gaib yang ditujukan untuk menambah
ilmu kebatinan sipelaku tersebut.
Berbicara bahan material, teknis, dan pola pengukuran dalam proses
pembuatan sulim pada masa pra-agama dengan pasca agama pada prinsipnya
hampir sama. Sebab sulim yang akan dibuat sama-sama terbuat dari bambu dan
bambu tersebut akan dilobangi sesuai dengan tonika (nada dasar) yang diinginkan.
Yang membedakannya adalah cara sipembuat dalam memilih bahan atau bambu
yang tepat serta bagaimana proses dalam pelobangannya.
Menurut Bapak Sinurat, yang juga merupakan salah seorang pemain dan
pembuat sulim dari Tiga Balata mengatakan bahwa konon katanya seseorang yang
ingin membuat sulim dengan tujuan ilmu kebatinan haruslah mengikuti pola ritual
tertentu. Beliau menjelaskan bahwa ritual tersebut hanya pernah dilakukan oleh
52
orang-orang tertentu yang memiliki kharisma dan bakat tertentu dalam hal warisan
kebatinan dan bersedia untuk menjalani syarat-syarat ritual tertentu. Selain
menyangkut bahan dan proses pembuatan yang dilakukan, teknis pelaksanaan ritual
tersebut juga menyangkut pengucapan ayat-ayat tertentu berupa mantra sebagai
syarat pelengkap ritual tersebut. Namun dalam hal teknis ritual yang akan penulis
paparkan berikut ini hanya menyangkut berbagai tahapan pelaksanaan atau proses
pembuatan, sebab Bapak Sinurat selaku narasumber manceritakan berdasarkan
pengalaman orang lain yang beliau sendiri pun belum pernah melakukannya. Dan
beliau menambahkan bahwa tidak sembarang orang boleh mengetahui mantra
tersebut dan sipelaku juga tidak akan bersedia jika mantranya diberitahu secara
sembarang kepada orang lain termasuk beliau sendiri. Jadi yang boleh diberitahu
adalah bagaimana tentang teknis pembuatannya saja.
Adapun tahapan ritual proses pembuatan sulim tersebut adalah sebagai
berikut. Ketika seseorang ingin membuat sebuah sulim, maka langkah awal yang
harus dilakukan adalah memilih jenis bambu yang tumbuhnya di daerah lahan
basah atau yang digenangi air, dan bambu tersebut harus tumbuh memanjang dan
melengkung ke arah jalan yang kira-kira sering dilewati oleh orang banyak. Ketika
seorang melintas dari tempat tersebut, maka lengkungan ruas bambu itulah yang
dilewati oleh orang tersebut. Dengan kata lain, posisi lengkungan ruas bambu itu
harus tepat di atas kepala orang-orang yang melintas dari tempat tersebut.
Kemudian setelah bambu ditemukan, lalu ditebang, dan penebangan
tersebut dilakukan harus dari ruas paling bawah, tidak boleh ditebang dari bagian
tengah ataupun mendekati ujungnya. Setelah penebangan selesai, bambu yang telah
ditebang tersebut kemudian dipotong menjadi beberapa ruas sesuai dengan berapa
jumlah ruas yang memungkinkan dapat dibuat menjadi sulim dari bilahan bambu
53
tersebut. Lalu langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah meletakkan ruas
bambu yang telah dipotong tersebut ke atas tungku api untuk dikeringkan, yang
tentunya jarak antara tungku dengan bambu tersebut diatur sedemikian rupa agar
bambu tidak terbakar dan tidak terlalu panas karena jarak yang terlalu dekat.
Pengeringan dilakukan selama beberapa minggu hingga bambu benar-benar kering
dan kokoh.
Setelah bambu tersebut kering sesuai dengan yang diinginkan, kemudian
bambu dipindahkan ke atas asbes rumah di mana posisi asbes tersebut tingginya
harus di atas kepala sipemilik rumah. Bambu yang diletakkan di atas asbes tersebut
didiamkan untuk beberapa lama hingga waktu pelobangan dilakukan.
Hal yang paling menarik dan mistis dari tahapan pembuatan sulim ini adalah
pada saat proses pelobangan mulai dilakukan. Uniknya adalah bahwa setiap lobang
yang hendak dibuat harus dimulai dan diakhiri dengan tragedi orang yang
meninggal. Maksudnya adalah ketika sipembuat hendak membuat lobang pertama
hingga lobang terakhir, sipemilik harus menyaksikan bahwa ada sebuah peristiwa
orang yang meninggal, dan orang meninggal yang disaksikan orang tersebut harus
meninggal dengan cara yang tidak wajar seperti kecelakaan berupa jatuh dari
kendaraan, tabrakan, terhanyut di sungai, mendadak meninggal akibat digunagunai dan lain sebagainya.
Setiap satu orang korban yang meninggal dengan cara yang tidak wajar
tersebut mewakili satu buah lobang yang akan dibuat pada bambu tersebut. Dengan
kata lain, jika ada 7 (tujuh) buah lobang yang akan dibuat dalam sebuah sulim
(lobang yang dimaksud terdiri dari satu lobang tiupan dan enam lobang nada),
maka sipembuat harus menyaksikan 7 (tujuh) orang korban meninggal baik di
waktu yang bersamaan maupun berbeda. Oleh karena itu, dahulu untuk membuat
54
sebuah sulim yang mengandung nilai mistis itu butuh waktu berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun tergantung cepat atau lambatnya seorang pembuat tersebut
menyaksikan tragedi orang meninggal. Namun dalam tahapan pelobangan, ada
syarat awal yang harus dilakukan yakni setiap hendak melobangi bambu dari
lobang yang pertama hingga lobang yang ketujuh, sipembuat harus terlebih dahulu
mengucapkan beberapa mantra sebelum melobangi bambu tersebut. Mantra yang
harus diucapkan sebelum pembuatan lobang dalam istilah Batak Toba tersebut
dikenal dengan istilah tabas. Apabila ketujuh lobang sudah selesai terbentuk maka
langkah terakhir yang dilakukan adalah pengucapan tabas terakhir sebagai tahapan
penyempurnaan. Apabila keseluruhan syarat tersebut terpenuhi maka jadilah sebuah
sulim yang diinginkan. Namun perlu diketahui bahwa apabila sulim tersebut sudah
jadi, maka yang boleh memainkannya adalah hanya sipemilik selaku sipembuat itu
sendiri. Konon katanya jika sulim tersebut dipakai secara sembarang oleh orang
yang tidak bertanggung jawab maka orang tersebut akan mengalami musibah.
Demikianlah sebuah proses ritual yang harus dilakukan untuk menghasilkan sebuah
sulim yang berisi nuansa mistis.
Tetapi, pada zaman sekarang ini oknum-oknum yang melakukan ritual
tersebut sudah mulai berkurang bahkan nyaris tidak pernah terdengar lagi. Hal ini
disebabkan karena adanya agama sebagai mediator untuk membatasi hubungan
manusia dengan roh-roh atau makhluk yang tidak kelihatan.
Di dalam bahasan ini, penulis tidak menjelaskan terlalu detail tentang ritual
pembuatan sulim dengan segala aspek-aspeknya, sebab inti dari skripsi ini bukanlah
membahas tentang sebuah kajian ritual. Penulis hanya memaparkan secara garis
besarnya saja melalui wawancara dengan beberapa orang narasumber seperti
Marsius Sitohang, S. Sinurat, Guntur Sitohang yang merupakan orang terpercaya
55
dan merupakan para maestro pemusik tradisional Batak Toba yang telah memiliki
banyak pengalaman hidup bermain musik tradisi selama puluhan tahun lamanya.
Hal ini bertujuan untuk menambah referensi terhadap para pembaca bahwa ternyata
dahulu pernah diadakan ritual proses pembuatan sulim yang memang awalnya
jarang didengar oleh masyrakat Batak Toba secara umum.
3.2 Klasifikasi sulim
Pengklasifikasian instrumen oleh Curt Sachs-Hornbostel dibagi atas 4
(empat) kelompok yakni : idiophone, membranophone, cordophone, dan aerophone
(Nettl, 1964 :212).
Dalam sistem Sachs-Hornbostel, sulim diklasifikasikan sebagai aerophone.
Hal ini disebabkan karena suara yang dihasilkan oleh instrumen berasal dari udara
(aero) yang dihembuskan/ditiup ke arah lobang tiupan pada instrumen tersebut.
Sulim merupakan aerophone yang murni menggunakan tiupan udara dari mulut
sebagai penghasil bunyi dan menggunakan kedua jari tangan sebagai penghasil
nada-nada yang berbeda-beda sesuai teknik penjariannya. Oleh karena sulim
merupakan instrumen yang ditiup melalui lobang dan ditiup dengan cara
menyamping atau posisi lobang tiupan ada pada sisi samping tubuh instrumen,
maka sulim dikategorikan sebagai aerophone dengan spesifikasi side blown flute.
3.2.1 Konstruksi sulim
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sulim terbuat dari seruas bambu
yang dibentuk sedemikian rupa dengan satu buah lobang penghasil bunyi di bagian
atasnya dan enam buah lobang nada sebagai penghasil nada-nada yang diinginkan.
56
Diantara lobang penghasil bunyi dengan lobang nada terdapat satu buah lobang
pemecah bunyi yang ditutup dengan kertas tipis (Lihat gambar-1).
C
B
D
E
F
A
G
Gambar-2. Nama-nama dari bagian sulim
Keterangan Gambar :
A. Keliling bambu sulim
B. Diameter bambu sulim
C. Lobang tiupan / hembusan
D. Lobang nada atas
E. Lobang nada bawah
F. Lobang tonika
G. Lobang pemecah suara yang dilapisi kertas tipis
3.2.2 Ukuran sulim
Pitch (ketepatan nada) merupakan hal yang mutlak dalam pembuatan
sebuah sulim. Oleh karena itu, pola ukur atau teknik mengukur oleh sipembuat
sulim yang satu dengan pembuat sulim yang lain pada prinsipnya adalah sama.
Hanya saja, jenis ukuran bambu yang diperoleh oleh masing-masing sipembuat
pasti berbeda-beda, sehingga mengakibatkan sulim yang dihasilkan pun berbeda-
57
beda ukuran jarak antar lobang dan besar kecilnya lobang yang akan dibentuk.
Namun pada dasarnya teknik mengukurnya adalah sama.
Gambar-3. Sulim dengan ukurannya.
Tabel-1. Pola Ukuran Sulim
NO
NAMA
UKURAN
1
Diameter bambu sulim
2,6 cm
2
Keliling bambu sulim
5,3 cm
3
Jarak lobang tiupan dengan ruas bambu
2,6 cm
4
Jarak antara lobang tiupan dengan lobang nada atas
17,5 cm
5
Jarak antara lobang nada atas dengan lobang nada bawah
17,5 cm
6
Jarak antara lobang nada bawah dengan lobang tonika
8,75 cm
7
Jarak antar lobang nada
3,5 cm
8
Jarak antara lobang nada dan lobang pemecah
8,75 cm
9
Diameter lobang tiupan
1,2 cm
10
Diameter lobang nada
1 cm
11
Panjang bambu sulim
46,35 cm
Keterangan : Ukuran sulim yang tertera pada tabel di atas adalah ukuran sulim
dengan kunci F yang dibuat oleh bapak M. Sitohang, dengan aturan pola ukur
pembuatan sulim secara umum18
18
Akan dijelaskan lebih lanjut pada tahapan proses pembuatan.
58
3.3 Proses Pembuatan
Proses pembuatan sulim dikerjakan oleh tangan yang dibantu dengan
peralatan-peralatan yang sederhana. Sebelum pada tahap proses pembuatan, penulis
akan menjelaskan lebih dahulu bahan material dan alat-alat yang digunakan.
3.3.1 Bahan material
Material yang digunakan dalam pembuatan sulim relatif sederhana.
Pembuatan sulim tidaklah sesulit pembuatan instrumen Batak Toba yang lain
seperti taganing yang membutuhkan material yang kompleks dengan proses yang
sulit dan butuh waktu yang relatif lama. Sulim adalah salah satu instrumen Batak
Toba yang relatif sederhana dalam proses pembuatannya. Sebab bahan utama yang
digunakan dalam pembuatan sulim hanya seruas bambu saja.
Jenis bambu yang baik untuk dijadikan sebuah sulim adalah bambu yang
sudah tua dan matang. Hal ini dimaksudkan agar bambu tersebut tidak mengalami
perubahan fisik dan tidak mudah kisut/susut sewaktu dikeringkan. Dibuat dari
seruas bambu dengan panjang ruas bambu yang ideal biasanya berkisar antara 30
cm s/d 75 cm dengan ketebalan bambu yang berkisar antara 0,1 cm s/d 0,3 cm.
3.3.2 Peralatan yang digunakan
Selain bahan material yang sederhana, peralatan yang digunakan juga tidak
terlalu banyak, yakni hanya membutuhkan gergaji, pisau belati kecil ataupun
sebilah besi bulat dengan ukuran tertentu, meter atau seutas daun pisang dan bara
api. Namun, bilahan besi bulat tersebut memiliki ukuran diameter yang berbedabeda tergantung besar kecilnya bambu yang akan dibuat.
59
Gergaji atau parang berfungsi untuk memotong bambu dari pohonnya serta
memotong bilahan bambu menjadi beberapa ruas tergantung seberapa banyak sulim
yang akan dibuat.
Gambar-4. Parang
Pisau belati kecil dan besi bulat panjang berfungsi untuk membuat lobang
tiupan dan lobang nada sesuai dengan ukuran yang ditentukan.
60
Gambar-5. Pisau belati
Gambar-6. Besi bulat panjang
Meter atau seutas tali dipakai sebagai alat untuk mengukur jarak antara
lobang tiupan, lobang vibrasi, dan lobang nada, atau jarak antar lobang yang satu
dengan yang lainnya
61
Gambar-7. Mengukur lobang tiupan
Api berfungsi untuk memanaskan besi yang telah diukur agar mampu
menembus bambu dalam proses pelobangannya.
Gambar-8. Memanaskan besi pembuat lobang sulim
62
3.3.3 Langkah-langkah pembuatan
Dalam bahasan ini, penulis akan memaparkan langkah-langkah pembuatan
sulim secara umum yang tentunya tidak mengandung unsur magis atau makna ritual
tertentu.
Untuk menghasikan sulim yang baik, harus melalui tahapan yang baik pula
sebagai berikut :
a) Pemilihan bambu
b) Pemotongan badan bambu
c) Pemotongan ruas bambu
d) Pengeringan
e) Pelobangan
f) Pengornamentasian
3.3.3.1 Pemilihan bambu
Seperti yang penulis jelaskan sebelumnya, bambu yang baik untuk dijadikan
sebuah sulim adalah bambu yang sudah tua dan matang. Kematangan bambu dapat
dilihat dari ciri-ciri kulit batang bambu yang sudah berwarna hijau tua, daun
berwarna hijau kecoklatan, ruas batang yang sudah cukup banyak dan biasanya
sedikit ditumbuhi lumut atau tumbuhan fungi lainnya pada batangnya yang paling
bawah. Hal ini bertujuan agar bambu tidak mudah kisut/susut sewaktu dikeringkan
atau pun setelah sulim sudah terbentuk.
Dalam proses pemilihan bambu, ternyata tidak semua kategori bambu cocok
untuk dijadikan sebuah sulim. Menurut berbagai narasumber yang sudah
berpengalaman dalam membuat sulim seperti Bapak Sinurat, Marsius Sitohang,
63
Junihar Sitohang, bambu yang ideal untuk dijadikan sebuah sulim yang kokoh dan
tahan lama sebaiknya dipilih bambu telur (bulu tolor). Karena tipikal bambu ini
tidaklah terlalu tebal dan tidak terlalu tipis, juga memiliki diameter yang tidak
terlalu besar yang setidaknya sangat ideal untuk dijadikan sebuah sulim.
Gambar-9. Pohon bambu telur (bulu tolor)
3.3.3.2 Pemotongan badan bambu
Setelah
bambu
pilihan
ditemukan,
dilakukanlah
penebangan
atau
pemotongan bambu. Pemotongan dapat dilakukan dengan memakai parang ataupun
gergaji. Cara memotong badan bambu yang baik adalah potonglah bambu mulai
dari pangkalnya jangan dari ujungnya. Karena ketebalan bambu tersebut ada pada
64
pangkalnya. Ketika memotong, tafsirlah kira-kira ada berapa buah sulim yang dapat
dibentuk dari ruas bambu yang ada.
Gambar-10. Memotong ruas bambu
3.3.3.3 Pemotongan ruas bambu
Ketika bambu sudah selesai ditebang, potonglah ruas-ruas bambu menjadi
beberapa bagian sesuai dengan jumlah sulim yang direncanakan akan dibuat. Hal
yang perlu diperhatikan dalam memotong ruas bambu adalah pemotongan
dilakukan harus dari atas buku bambu. Sebab posisi lobang tiupan sulim yang baik
adalah harus berada di bawah bukunya bukan di atas buku bambu tersebut.
65
Gambar-11. Ruas bambu sebagai bahan sulim
3.3.3.4 Pengeringan
Dalam proses pengeringan bambu, tidak terlalu memakan waktu yang
begitu panjang sebab bambu yang telah dipilih sudah dalam kondisi tua dan matang
artinya bambu dengan tingkat kekeringan 70% sd. 80% sudah cukup untuk
dibentuk menjadi sulim. Tujuan pengeringan sebenarnya adalah agar ketahanan
bambu lebih terjamin ketika nantinya sulim sudah siap dipakai untuk jangka waktu
yang lebih lama seperti yang diharapkan.
Tahapan pengeringan dilakukan dengan cara meletakkan bambu yang sudah
dipotong menjadi beberapa ruas ke atas tungku perapian atau pun di suatu tempat
kering yang tidak terkena langsung oleh teriknya sinar matahari.
66
3.3.3.5 Pelobangan
Inti dari tahapan pembuatan sulim adalah pembuatan lobang melalui proses
pelobangan dengan mengikuti pola aturan pengukuran tertentu. Pelobangan dapat
dilakukan dengan memakai pisau belati kecil yang ujungnya tajam ataupun dengan
memakai besi bulat yang bagian ujungnya runcing dengan ukuran tertentu.
Tahapan pelobangan yang pertama dimulai dari lobang tiupan kemudian
dilanjutkan ke lobang nada secara berurutan.
Gambar-12. Membuat lobang tiupan dengan besi yang dipanaskan
Gambar-13. Pelobangan lobang nada pertama
67
Gambar-14 Pelobangan lobang nada ke-2
Gambar-15. Pelobangan lobang nada ke-3
68
Gambar-16. Pelobangan nada ke-4
Gambar-17. Pelobangan nada ke-5
69
Gambar-18. Pelobangan nada ke-6
Gambar-19. Sulim sederhana seusai tahapan pengelobangan
Pada saat lobang tiupan selesai dibuat sebenarnya situkang tersebut sudah
dapat menafsirkan nada dasar dari sulim tersebut. Sebab pada sulim ditiup tanpa
memiliki lobang, itu sama halnya dengan meniup sulim dengan menutup semua
lobang nada, dimana akan menghasilkan nada do (1) yang menjadi nada dasar sulim
tersebut. Hanya saja jika nada (pitch)nya kurang memenuhi atau kurang tinggi dari
nada dasar yang diperkirakan maka solusi yang dilakukan adalah dengan sedikit
demi sedikit memperbesar diameter lobang tiupan sesuai dengan nada yang
diharapkan dan sampai pada batas besar lobang tiupan yang wajar. Sebab jika
70
lobang tiupan terlalu besar meskipun dengan nada (pitch) yang sudah memenuhi
pada akhirnya tidak akan menjadi sulim yang ideal untuk dipakai, sebab lobang
tiupan yang terlalu besar akan mengakibat pemborosan nafas pada saat peniupan.
Oleh karena itu, perlu ketelitian dalam penentuan besar lobang tiupan. 19
Kemudian setelah lobang tiupan selesai dibuat, maka lobang yang akan
dibuat selanjutnya adalah keenam lobang nada. Dari keenam lobang nada yang
akan dibuat, lobang nada pertama yang akan dibuat adalah lobang nada bawah,
kemudian lobang nada bawah ke dua, dan seterusnya hingga lobang nada yang
keenam. Biasanya setiap membuat lobang nada, sulim tersebut selalu ditiup dahulu
untuk memastikan nada yang diinginkan. Demikianlah seterusnya hingga
keseluruhan lobang nada selesai dibuat sesuai dengan ketentuan nada yang
diinginkan.
Sebagai tambahan, lobang pemecah suara biasanya dibuat setelah lobang
tiupan berikut dengan seluruh lobang nada selesai dibentuk. Setelah lobang
pemecah terbentuk, kemudian dibalut dengan kertas tipis atau plastik tipis. Jika
tahapan ini selesai, maka selesailah sudah tahapan pelobangan sulim. Adapun
aturan-aturan atau pola pengukuran jarak antar lobang dalam membuat sebuah
sulim adalah sebagai berikut :
19
Penetapan/penentuan nada (pitch) akan dibahas lebih mendalam pada bagian “sistem
pelarasan nada” sub bab berikutnya.
71
C
E
D
B
F
A
G
Gambar-20. Pola jarak antar lobang sulim
Keterangan gambar:






Jarak antara lobang tiupan (C) dengan ruas bambu = panjang diameter
bambu (B)
Jarak antara lobang tiupan (C) dengan lobang nada atas (D) = 2 x
keliling bambu (A)
Jarak antara lobang nada atas (D) dengan lobang nada bawah (E) = 2 x
keliling bambu (A)
Jarak antara lobang nada bawah (E) dengan lobang tonika (F) = 1 x
keliling bambu (A)
Jarak antara masing-masing keenam lobang nada = jarak antara lobang
nada bawah dengan lobang nada atas kemudian dibagi 5 untuk
mendapatkan 4 lobang nada berikutnya.
Posisi lobang yang ditutup oleh selembar kertas tipis (G) berada pada
pertengahan jarak antara lobang tiupan (C) dengan lobang nada atas (D)
3.3.3.6 Ornamentasi
Setelah proses pelobangan selesai, sebenarnya tahap pembuatan sulim
secara sederhana sudah dianggap selesai. Sebab tidak semua sulim yang dapat kita
lihat secara umum memiliki ornamentasi. Ada tidaknya ornamentasi pada sulim
tergantung pada selera sipemilik atau si pembuat. Tapi ada kalanya ornamentasi
menjadi ciri khas dari seorang pembuat sulim yang bahkan itu bisa menjadi salah
72
satu faktor ketenarannya sebagai seorang pembuat sulim ternama disamping
kualitas bunyi sulim yang dia ciptakan.
Bentuk pengornamentasian pada sulim sangat beragam tergantung
kebiasaan dari sipembuat itu sendiri. Ada kalanya seorang pembuat sulim hanya
memiliki satu jenis ornamentasi yang menjadikan itu sebagai ciri khas, tetapi ada
juga orang yang mampu membuat sulim dengan beragam jenis ornamentasi sesuai
seleranya. Sebab tidak ada aturan atau batasan-batasan tertentu dalam pembuatan
ornamentasi sulim. Ada orang membuat ornamentasi berupa gorga (seni lukis atau
seni ukir Batak Toba), ada juga yang membuat hanya dengan menambahkan
lobang-lobang ornamentasi yang sama sekali tidak mempengaruhi kualitas bunyi,
ada juga yang ornamentasi hanya dengan mengukir nama atau tulisan tertentu di
bagian badan sulim tersebut, bahkan ada yang membuat dengan ketiga jenis
ornamentasi tersebut, dan masih banyak jenis ornamentasi yang lain. Hal ini dapat
kita lihat dari sekian banyaknya sulim yang beredar di tengah-tengah masyarakat
yang menunjukkan bahwa setiap sulim tidak memiliki jenis ornamentasi yang sama
kecuali ornamentasi tersebut dibuat oleh orang yang sama.
Berikut ini adalah jenis berbagai sulim dengan bentuk ornamentasi yang
berbeda-beda.
73
Gambar-21. Sulim polos tanpa ornamentasi
Gambar-22. Ornamentasi lobang
74
Gambar-23. Ornamentasi gorga
Gambar-24. Ornamentasi nama
Gambar-25. Ornamentasi simbol
75
3.3.4 Kontinuitas dan perubahan fisik sulim
Berbicara tentang kontinuitas dalam konteks fisik, berarti berbicara tentang
adanya hal-hal yang masih tetap eksis, dipertahankan, dan masih berlanjut hingga
pada saat ini yang berkaitan dengan kondisi fisik instrumen itu sendiri. Hal yang
tetap dipertahankan sebagai wujud kontinuitas fisik sulim adalah bahwasanya dari
zaman dahulu hingga pada saat ini bentuk sulim selalu sama/tetap dan tidak pernah
berubah-ubah, tetap terbuat dari bambu bahkan jumlah lobang penentu kualitas
bunyi selalu sama yakni memiliki satu lobang hembusan dan 6 (enam) buah lobang
nada.
Secara umum, bentuk fisik sulim tidak ada yang berubah. Yang berubah
adalah proses pembuatannya dan adanya pengembangan metode baru dalam
menciptakan sulim yang lebih kaya terkait akan fungsi dan penggunaannya.
Kristenisasi pada masyarakat Batak Toba membawa pengaruh atas munculnya
oknum-oknum tertentu yang membawa praktek ritual pembuatan sulim. Pada masa
reformasi ini, pembuatan sulim dengan melakukan ritual sudah sangat jarang
ditemukan baik di perkotaan maupun di pedesaan. Menurut Bapak J.Sinurat, salah
seorang pemain dan pembuat sulim mengatakan bahwa selama beliau menjadi
pengrajin sulim, ritual pembuatan sulim tidak pernah lagi dilakukan. Beliau juga
menambahkan, bahwa menurut beliau ritual pembuatan sulim diabaikan karena
nilai kepemilikan sulim pada masa sekarang ini sudah mengalami perubahan.
Tujuan seorang pengrajin sulim sudah lebih dominan kepada tujuan dagang dengan
mengutamakan keuntungan secara ekonomis dan waktu yang relatif lebih singkat
dibandingkan dengan aspek-aspek proses pembuatan dan proses ritualnya. Maka
tidak heran kalau praktek ritual tersebut diabaikan, sebab pada prakteknya pun
untuk membuat satu buah sulim membutuhkan waktu yang relatif lama.
76
Selain daripada perubahan dalam proses pembuatan yang dulunya memakai
ritual menjadi non-ritual, hal yang berubah adalah adanya metode baru dalam
menciptakan sebuah sulim yang lebih kaya akan fungsi dan penggunaannya.
Dahulu awalnya sulim tidaklah memiliki nada dasar tetap yang sudah ditentukan
pada masa itu, sebab sulim awalnya tidak dimainkan dalam sebuah ensambel yang
disesuaikan dengan nada dasar dan mengikuti pola akord tertentu. Sehingga
dulunya sulim memiliki bentuk ukuran yang berbeda-beda yang sifatnya bebas
tanpa harus mengikuti pola,aturan pembuatan tertentu. Dalam arti bahwa ketika itu
nada-nada yang dihasilkan oleh sulim belum sesuai dengan standardisasi nada yang
dihasilkan oleh piano.
Sedangkan pada masa kini, sulim sudah diciptakan dengan berbagai inovasi.
Tanpa harus menghilangkan ciri khas warna bunyinya, sulim sudah tersedia dengan
aturan pembuatan tertentu yang diselaraskan dengan standardisasi bunyi piano.
Tidak hanya dari kunci atau nada dasar tertentu saja bahkan sulim juga sudah
diciptakan berdasarkan 12 (dua belas) nada yang ada pada wilayah (range) satu
oktaf nada piano mulai dari nada C standard hingga c’ (C oktaf). Hal ini bisa terjadi
karena
semakin
meningkatnya
permintaan
dan
kebutuhan
masyarakat
pendukungnya terhadap penyajian sulim itu sendiri. Salah satu bukti yang paling
signifikan adalah dengan hadirnya sulim dalam mengiringi lagu ibadah gereja,
berbagai lagu dalam paduan suara, dan juga dalam komposisi musik lagu Batak
tradisional maupun populer dalam industri rekaman dimana situasi tersebut
memaksa supaya sulim juga harus disesuaikan dengan nada dasar lagu ataupun
repertoar yang diinginkan
Kemudian selain daripada itu, aspek lain yang bisa dilihat adalah ketika
sulim tidak lagi hanya memainkan nada-nada pentatonis, tetapi juga mampu
77
dimainkan dengan nada-nada yang diatonis bahkan dapat diwarnai dengan
penambahan nada kromatis. Hal ini terjadi karena sulim tidak lagi semata hanya
memainkan repertoar gondang Batak Toba yang mengandung ciri khas nada
pentatonis, tetapi juga sudah sering ditampilkan untuk mebawakan lagu-lagu baik
itu lagu tradisional Batak Toba, lagu Populer Batak atau non-Batak, lagu Rohani
gereja, maupun lagu-lagu sekuler lainnya dimana sudah banyak terkontaminasi oleh
nada-nada musik Barat. Sejalan dengan uraian tersebut di atas, mungkin hal inilah
yang memicu diciptakannya sulim dengan 12 kunci (nada dasar) yang berpatokan
pada pelarasan nada musik Barat.
3.4 Kajian Fungsional Sulim
Dalam pembahasan kajian fungsional, penulis hanya menitikberatkan
bahasan pada sistem pelarasan (tuning), teknik permainan, dan proses pembelajaran
sulim.
3.4.1 Sistem pelarasan (tuning)
Wilayah nada (range) dan jangkauan nada (ambitus) yang terdapat pada
sulim dibedakan menurut besar kecilnya diameter bambu. Apabila diameter bambu
memiliki ukuran yang besar maka akan menghasilkan bunyi dengan jangkauan
nada (ambitus) yang rendah. Sebaliknya apabila memiliki diameter yang kecil maka
otomatis akan menghasilkan bunyi dengan jangkauan nada (ambitus) yang tinggi.
Secara umum ambitus nada paling tinggi yang mampu dijangkau oleh sipemain
pada sebuah instrumen sulim adalah nada oktaf ke-2 dalam wilayah nada (range) 2
oktaf. Selain ukuran diameter dan panjang-pendeknya bambu, faktor yang juga
78
menentukan tinggi rendahnya nada sulim adalah besar kecilnya lobang dan panjang
pendeknya jarak antar lobang nada.
Sistem pelarasan nada sulim pada zaman sekarang ini tentunya tidak
terlepas dari peran nada-nada standard yang ada pada piano atau instrumen yang
lain yang dianggap memiliki standardisasi bunyi/nada. Berbicara tentang hal
pelarasan nada pada sulim, sesungguhnya tidak ada ilmu atau metode tertentu yang
dapat menjamin secara pasti penentuan kunci atau nada dasar sulim yang akan
dihasilkan. Sebab sulim termasuk jenis instrumen yang bersifat alami yang secara
teknis tidak sama dengan instrumen tiup Barat yang ada pada umumnya. Seperti
diketahui bahwa setiap instrumen tiup Barat seperti saxofon, flute, trompet, dan lain
sebagainya dapat memainkan keseluruhan tangga nada yang ada pada sistem tangga
nada diatonis musik Barat, sementara sebuah sulim hanya mampu mewakili satu
atau dua nada dasar saja. Oleh karena itu, sistem pelarasan dilakukan hanya dengan
mengandalkan penafsiran, perkiraan, dan perasaan semata.
Menurut Bapak Sinurat, hal pertama yang dilakukan untuk penentuan nada
dasar pada sebuah sulim adalah dengan melihat besar-kecilnya diameter bambu dan
panjang-pendeknya bambu yang akan dibuat. Biasanya seorang pengrajin sulim
yang baik akan mampu menafsirkan secara umum bahwa bambu yang akan dibuat
akan menghasilkan sulim dengan nada dasar tertentu hanya dengan melihat besarkecilnya diameter dan panjang-pendeknya ruas bambu tersebut. Apabila penafsiran
sedikit meleset ada metode tertentu yang dapat dilakukan. Misalkan sebuah sulim
yang ditafsir akan menghasilkan kunci E tetapi ternyata pitch (ketepatan nada) yang
diperkirakan kurang mencapai, caranya adalah dengan memperbesar atau
menambah sedikit demi sedikit besar keseluruhan lobang tiupan dan lobang nada.
Walaupun untuk itu dibutuhkan ketelitian dalam melakukan pekerjaan tersebut,
79
karena apabila terjadi kesalahan sedikit saja akan mengakibatkan hal yang fatal.
Apabila terjadi kesalahan dalam pelobangan maka nada dasar yang dihasilkan pun
akan kedengaran sumbang (fals) dan akan sangat susah untuk mencari solusi untuk
memperbaikinya kembali. Jalan keluarnya adalah hanya dengan mengganti bahan.
Penambahan besar lobang bertujuan untuk meninggikan pitch (nada) yang
dibutuhkan. Oleh karena itu, apabila keseluruhan lobang yang diperbesar ternyata
terlalu besar otomatis pitch (nada ) yang dihasilkan pun terlalu tinggi dan akan
melebihi pitch atau nada dasar E yang sebenarnya. Beliau juga menambahkan kalau
dalam hal pelarasan sulim lebih baik pitch yang diharapkan kurang mencapai
daripada melebihi ketinggian nada yang diharapkan. Sebab kalaupun terjadi
kekurangan pitch masih bisa diantisipasi dengan cara memperbesar keseluruhan
lobang yang tentunya akan memperkecil jarak antar lobang. Sedangkan apabila
pitch yang dihasilkan melebihi dari yang diharapkan maka tidak akan mungkin lagi
diantisipasi dengan cara memperkecil lobang dan memperbesar jarak antar lobang.
Oleh karena itu, beliau menyarankan agar poses pelobangan dimulai dengan
membuat lobang yang lebih kecil terlebih dahulu.
Pada dasarnya sulim mempunyai tonika yang diawali dari nada yang paling
rendah (semua lobang ditutup dengan jari), dimana nada tersebut menjadi nada
awal dalam menghasilkan nada-nada dalam tangga nada diatonis. Untuk
menentukan nada dasar sulim yang telah dibentuk, maka yang harus dilakukan
adalah menyelaraskan nada sulim dengan nada piano. Caranya adalah dengan
meniup sulim dengan posisi keenam jari menutup keenam lobang nada. Setelah
ditiup, carilah nada tersebut di antara kedua belas nada yang ada pada tuts piano.
Apabila nada yang dihasilkan adalah nada “F” pada tuts piano, maka nada dasar
sulim tersebut adalah “F=do”, sebab ketika sulim ditiup dengan posisi keenam jari
80
menutup keenam lobang nada maka akan menghasilkan nada “do(1)”, dan apabila
ada sebuah sulim yang ukurannnya lebih kecil juga ditiup dengan posisi keenam jari
menutup keenam lobang nada yang menghasilkan nada “A” pada tuts piano, maka
nada dasar sulim tersebut adalah “A=do”, dan lain sebagainya.
Untuk mengetahui interval dan tangga nada yang terdapat pada sulim dapat
dilihat berdasarkan posisi setiap lobang nada yang dimainkan. Di bawah ini kita
akan melihat contoh gambar interval nada pada sulim yang memiliki nada dasar
“F=do”
6 5 4 3 2 1
Gambar -26. Posisi lobang nada sulim
Gambar-27. Semua lobang nada tertutup akan menghasilkan nada “F”
81
Gambar-28 Lobang nada 1 dibuka akan menghasilkan nada “G”
Gambar-29. Lobang nada 1,2 dibuka akan menghasilkan nada “A”
Gambar-30. Lobang nada 1,2,3 dibuka akan menghasilkan nada “Bes”
82
Gambar-31. Lobang nada 1,2,3,4 dibuka akan menghasilkan nada “C”
Gambar-32. Lobang nada 1,2,3,4,5 dibuka akan menghasilkan nada “D”
Gambar-33. Lobang nada 1,2,3,4,5,6 dibuka akan menghasilkan nada “E”
83
Gambar-34. Lobang nada 1,2,3,4,5 ditutup sedangkan lobang nada ke-6 dibuka
akan menghasilkan nada “F oktaf (f’)”
Dari beberapa gambar di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem
interval nada pada sulim sama dengan interval nada yang ada dalam tangga nada
diatonis Barat. Apabila disusun dengan deret naik, maka nada-nada yang terdapat
pada sulim “F” adalah sebagai berikut :
Nada
F
Interval
G
2M
A
2M
Bes C
2M
2m
D
2M
E
2M
F
2m
Keterangan :

2M = interval second major atau sekunda mayor

2m = interval second minor atau sekunda minor
3.4.2 Teknik permainan
Secara umum, ada 4 (empat) hal yang harus dikuasai dalam memainkan
sulim yakni ambasir, penjarian, pernafasan dan permainan lidah.
84
Ambasir berasal dari bahasa Perancis yaitu embouchure yang berarti “di
dalam mulut” atau “meletakkan pada mulut”. Jadi secara sederhana ambasir berarti
teknik peletakan bibir pada lobang tiup. Biasanya ambasir berlaku untuk instrumen
yang bertipikal side blown seperti flute dan jenis seruling yang lain.
Untuk instrumen flute, ambasir lebih cocok kalau dikatakan “di luar mulut’
(out of mouth). Ambasir yang digunakan antara flute dan sulim memiliki persamaan
dan perbedaan. Persamaannya adalah sama-sama ditiup dari samping (side blown).
Tetapi juga terdapat perbedaan, perbedaan tersebut terdapat pada bentuk bibirnya.
Pada flute bentuk bibir lebih melebar kesamping (kanan kiri). Sedangkan pada
ambasir sulim lebih bulat yang mana perbedaan tersebut dapat dilihat sebagai
berikut :
Contoh gambar ambasir pada flute :
Contoh ambasir pada sulim :
Secara sederhana, teknik menggunakan ambasir yang benar pada sulim
adalah dengan cara meletakkan lobang tiupan ke arah pertengahan garis antara bibir
atas dengan bibir bawah lalu memutar sekitar 45 derajat ke arah luar bibir
kemudian sedikit melebarkan bentuk bibir ke arah kiri dan kanan.
85
Gambar-35. Ambasir pada sulim
Penjarian merupakan teknik membuka dan menutup jari pada lobang nada
sesuai dengan melodi yang dimainkan. Posisi jari biasanya tergantung kebiasaan
sipemain itu sendiri. Apabila sipemain lebih dominan meletakkan sulim di sebelah
kanannya, maka posisi 3 (tiga) jari tangan kiri berada pada 3 (tiga) lobang nada atas
dan posisi 3 (tiga) jari tangan kanan berada pada 3 (tiga) lobang nada bawah.
Sebaliknya, apabila sipemain cenderung meletakkan sulim di sebelah kirinya, maka
posisi 3 (tiga) jari tangan kanan berada pada 3 (tiga) lobang nada atas dan posisi 3
(tiga) jari tangan kiri berada pada 3 (tiga) lobang nada bawah. Berikut contoh
gambar.
Gambar-36. Sulim dengan posisi di sebelah kanan
86
Gambar-37. Sulim dengan posisi di sebelah kiri
Pernafasan yaitu teknik bernafas yang baik dalam memainkan sebuah sulim
yakni boleh dengan melalui hidung dan juga melalui mulut. Tetapi cara bernafas
yang efektif dalam memainkan sulim menurut pengamatan dan pengalaman penulis
adalah bernafas
melalui mulut. Artinya, menarik nafas dari mulut kemudian
dihembuskan lagi melalui mulut, sementara pernafasan melalui hidung hanya boleh
dilakukan sesekali ketika ada spasi waktu dalam peniupan. Spasi waktu yang
dimaksud adalah ketika sipemain sulim berhenti sejenak untuk mengambil nafas
sebelum melanjutkan permainan ke bagian atau bait selanjutnya. Jika hanya butuh
waktu singkat dalam pengambilan nafas dalam memainkan bagian motif atau frasa
lagu yang berdekatan maka pernafasan mulut adalah cara yang paling efisien untuk
dilakukan. Tujuan bernafas melalui mulut ini adalah agar lebih mempercepat waktu
dalam pengambilan nafas dengan jumlah cukup besar yang akan diisi ke paru-paru
dan lebih mempermudah sipemain untuk menghemat nafas yang dikeluarkan.
Permainan lidah (tonguing) merupakan teknik mengatur pola ritme
pergerakan lidah ketika dalam memainkan sebuah sulim. Teknik permainan lidah
(tonguing) pada sulim sama dengan tonguing pada flute. Ada 2 (dua) jenis tonguing
dalam memainkan sulim yakni :
87
1) Single tonguing, yakni dipakai dengan cara memainkan pola Staccato untuk
interval nada yang berjauhan. Misalnya, interval nada dari E-E’ (E oktaf)
atau dari nada G-G’(G oktaf). Biasanya teknik ini dipakai pada teknik
mangangguk, mangenet, mandila-dilai dan manganak-anaki.
2) Double tonguing, yakni dipakai untuk memainkan interval nada-nada yang
berdekatan. Biasanya teknik ini dipakai pada teknik mangarutu dan
mangaroppol.
Apabila dikaji secara teliti, ada banyak pola atau teknik permainan yang
terdapat pada sulim tergantung kemampuan dan kemahiran sipemain itu sendiri.
Beberapa skripsi sebelumnya juga sudah ada yang membahas tentang pola atau
teknik permainan sulim secara umum berdasarkan kemampuan orang atau sipemain
yang diteliti. Oleh karena itu, penulis berusaha merangkum secara detail dan lebih
spesifik mengenai teknik permainan sulim dari beberapa narasumber yaitu
mangarutu,
mandila-dilai,
mangangguk,
mangenet,
manganak-anaki
dan
mangaroppol.
Dalam teknik permainan sulim, ada 3 (tiga ) unsur pokok yang sangat
berperan penting dan saling berkaitan satu dengan yang lainnya yakni tiupan nafas,
lidah dan jari. Setiap teknik yang dimainkan dalam permainan sulim akan
berhubungan dengan ketiga unsur ini. Dalam prakteknya, masing-masing memiliki
peranan dan porsi yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhannya.
Misalnya
teknik
memaksimalkan
fungsi
mangarutu
lidah,
dan mandila-dilai
teknik
mangangguk
dimainkan
dengan
dimainkan
dengan
memaksimalkan fungsi tiupan nafas dan penekanan lidah, dan teknik mangenet
dimainkan dengan memaksimalkan tiupan nafas dan permainan jari, dan teknik
manganak-anaki dimainkan dengan memaksimalkan fungsi lidah dan permainan
88
jari. Namun ada juga teknik yang memaksimalkan fungsi ketiga unsur tersebut
dalam porsi yang sama yaitu disebut dengan teknik mangaroppol.
3.4.2.1 Teknik permainan lidah
Dalam teknik permainan lidah, unsur yang paling berperan penting adalah
lidah. Teknik permainan lidah dapat dibagi menjadi 2 (dua) teknik yakni mangarutu
(double tonguing) dan mandila-dilai (single tonguing).
3.4.2.1.1 Mangarutu
Mangarutu adalah teknik permainan lidah dengan kombinasi double
tonguing yang memberikan penekanan ritem lidah seperti melafalkan kata “tu” dan
“ru” dengan mengeluarkan desis tiupan tanpa mengeluarkan suara/bunyi dari mulut.
Kata “tu” dilafalkan pada penekanan ritem pertama dan kata “ru” dilafalkan pada
penekanan ritem kedua. Pola mangarutu dikembangkan dengan melipatgandakan
not seperempat (1/4) atau not seperdelapan (1/8) menjadi not seperenambelas
(1/16). Teknik ini sering muncul pada berbagai lagu/repertoar yang bertempo
sedang atau cepat yang memiliki ritem rapat dengan not seperenambelas (1/16).
Teknik mangarutu biasanya lebih enak dan nyaman jika dimainkan untuk repertoar
yang bertempo sedang/cepat dibandingkan repertoar yang bertempo lambat, karena
jika dimainkan pada lagu atau repertoar lambat kesannya akan terdengar kasar dan
seakan dimainkan tidak pada tempatnya. Contoh teknik mangarutu dapat dilihat
sebagai berikut :
89
Contoh :
Keterangan :
 Setiap nada pertama dan nada ganjil pada pola teknik mangarutu di atas
ditiup dengan menggunakan penekanan lidah seperti pelafalan kata “tu”,
sedangkan nada kedua dan nada genap yang lain ditiup dengan meggunakan
penekanan lidah seperti pelafalan kata “ru”.
Secara praktis, teknik memainkan pola mangarutu pada repertoar dapat
dilihat pada penggalan melodi gondang siburuk berikut ini:
3.4.2.1.2 Mandila-dilai
Mandila-dilai merupakan teknik permainan lidah dengan memberikan
tekanan atau aksen lebih pada setiap nada yang dimainkan. Dalam istilah musik,
teknik ini lazim dikenal dengan istilah staccato. Untuk menghasilkan teknik
mandila-dilai atau staccato dalam permainan sulim biasanya diimitasikan dengan
cara menekan lidah seperti mengucapkan kata “tut” .Biasanya teknik ini dapat
90
dimainkan jika hanya sesuai terhadap lagu atau repertoar yang dimainkan. Sebab
pada umumnya tidak semua lagu atau repertoar “enak dan cocok” jika disajikan
secara terus menerus dengan memakai pola staccato, paling hanya sedikit repertoar
dapat dimainkan dengan pola ini dan itu pun hanya di beberapa bagian tertentu saja.
Hal ini disebabkan karena umumnya repertoar Batak Toba jarang dimainkan
dengan pola staccato kecuali ditemui pada bagian penggalan melodi gondang hata
sopisik saja. Jika ada yang memainkan pola staccato dalam bentuk repertoar yang
lain, biasanya hal itu merupakan bagian dari improvisasi dari sipemain tersebut.
Oleh karena itu, teknik ini biasanya hanya muncul sesekali dalam penyajiannya.
Contoh teknik mandila-dilai dapat dilihat pada penggalan melodi repertoar
gondang hata sopisik di bawah ini.
3.4.2.2 Mangangguk (Teknik permainan lidah dan tiupan)
Di dalam teknik permainan ini yang paling berperan penting adalah
penekanan lidah
dan keras lembutnya tiupan nafas. Teknik permainan yang
melibatkan lidah dan tiupan ini dinamakan teknik mangangguk.
Mangangguk merupakan teknik permainan sulim dengan penggarapan
sebuah nada yang bersifat ritmik dengan memunculkan 2 (dua) nada yang sama
dengan jenis warna yang berbeda yakni nada oktaf atas (nada balikan) dan nada
oktaf bawah dalam interval dan wilayah nada satu oktaf. Dalam hal ini, ritme dari
satu ketuk nada panjang tersebut dilipatgandakan ke dalam bentuk not
91
seperenambelas (1/16). Untuk menghasilkan warna nada yang pertama yakni nada
oktaf atas dilakukan dengan penekanan lidah dengan teknik peniupan seperti
melafalkan kata “tu”, sedangkan warna nada kedua
yakni nada oktaf bawah
dihasilkan melalui tiupan lembut tanpa tekanan lidah dengan teknik peniupan
seperti melafalkan kata “hu”. Teknik ini biasanya dipakai ketika memainkan lagu
atau repertoar yang yang bernuansa andung-andung (nyanyian ratapan) dengan
tempo yang lambat ataupun sedang. Contoh teknik mangangguk dapat dilihat dalam
penggalan lagu andung berjudul “Sawan” berikut ini:
Keterangan :
 Nada “g” oktaf bawah (g) yang menghasilkan bunyi “hu” dan nada “g “
oktaf atas (g’) yang menghasilkan bunyi “tu” menunjukkan pola garapan
ritmis dalam teknik mangangguk.
3.4.2.3 Mangenet (Teknik permainan jari dan tiupan)
Teknik mangenet merupakan kebalikan dari mangangguk dimana teknik ini
dimainkan dengan permainan jari dan tiupan nafas. Mangenet adalah suatu teknik
permainan nada dengan cara membuka dan menutup sedikit demi sedikit lobang
nada oleh jari dan mengkombinasikannya dengan keras-lembutnya tiupan nafas
yang bertujuan untuk menghasilkan nada yang bunyinya terkesan seperti ratapan
tangis. Teknik ini merupakan salah satu teknik yang bersifat improvisatoris yakni
pengembangan teknik yang biasanya dimainkan di luar melodi lagu atau repertoar
92
yang dimainkan dengan
tujuan untuk memperindah lagu atau repertoar yang
dimainkan. Sesuai dengan suara yang dihasilkan, teknik ini biasa dipakai untuk
lagu-lagu yang bernuansa kesedihan dengan memainkan tempo lagu atau repertoar
yang lambat. Teknik mangenet dapat dilihat dari contoh penggalan lagu andung
yang berjudul tiope mual berikut ini :
Contoh penggalan melodi pokok vokal :
Contoh penggalan melodi dalam bentuk instrumen sulim dengan teknik
mangangguk :
Contoh penggalan melodi lagu dalam bentuk instrumen sulim dengan menggunakan
teknik mangangguk yang diakhiri dengan teknik mengenet :
Keterangan :
 Teknik mangenet dalam penggalan melodi di atas dapat dilihat dalam
pengembangan pola nada akhir yakni dari bentuk nada akhir penggalan
93
melodi kedua
menjadi nada akhir penggalan melodi ketiga
 Untuk menghasilkan nada “es” dalam penggalan nada
diperoleh melalui teknik mangenet yakni dengan cara membuka sedikit
demi sedikit nada “d” (posisi nada keenam ditutup secara utuh) pada sulim
dengan nada dasar “F=1” sehingga lobang nada keenam yang ditutup secara
utuh menjadi terbuka setengah bagian sehingga perlahan akhirnya
membentuk nada “es”.
3.4.2.4 Manganak-anaki (Teknik permainan lidah dan jari)
Dalam teknik permainan ini yang paling memiliki peranan penting adalah
fungsi lidah dan jari artinya, teknik manganak-anaki dapat terjalin jika ada kerja
sama yang baik antara lidah dan jari. Manganak-anaki merupakan sebuah teknik
dengan pola permainan nada yang mengkombinasikan permainan lidah dengan jari
dalam penggarapan ritem dasar dari suatu komposisi lagu. Secara bentuk, Pola
penggarapan pada teknik menganak-anaki sebenarnya sama dengan pengembangan
pola mangarutu, yaitu sama-sama dikembangkan dengan cara melipatgandakan not
seperempat (1/4) atau not seperdelapan (1/8) ke dalam bentuk not seperenambelas
(1/16). Yang membedakannya hanya pada teknik memainkannya. Mangarutu lebih
memaksimalkan fungsi lidah, sedangkan manganak-anaki lebih memaksimalkan
fungsi lidah dan jari, sehingga menghasilkan karakter bunyi yang berbeda.
94
Dalam hal ini sistem kerjasama antara fungsi lidah dan jari dapat
ditunjukkan melalui penekanan lidah pada bentuk ritem pertama yang kemudian
disambut oleh jari pada ritem berikutnya. Teknik penekanan lidah pada ritem yang
pertama dilakukan seperti pelafalan kata “tu” dan penekanan ritem yang kedua
yang disambut oleh jari dilakukan dengan teknik peniupan seperti melafalkan kata
“wu”, sehingga apabila kerjasama ini terjalin dengan baik, maka bunyi yang
dihasilkan akan membentuk 2 (dua) warna yang berbeda dari 2 (dua) nada yang
sama. Teknik ini biasanya muncul ketika memainkan lagu atau repertoar yang
bertempo sedang ataupun cepat. Secara praktis, teknik memainkan pola manganakanaki pada repertoar dapat dilihat pada contoh penggalan repertoar Sihutur Sanggul
berikut ini:
Keterangan :
 Pola not seperenambelas
pada teknik manganak-anaki
sama dengan pengembangan pola not seperenambelas pada teknik
mangarutu, yang membedakannya hanyalah pada teknik memainkan dan
produksi bunyinya. Jika diimitasikan ke dalam bentuk bunyi, pola not
seperenambelas pada teknik manganak-anaki tersebut dimainkan dengan
membentuk
pola
“tuwutuwu
tuwutuwu”,
sedangkan
pola
not
seperenambelas yang dimainkan pada teknik mangarutu dimainkan dengan
membentuk pola “turuturu turuturu”.
95
3.4.2.5 Mangaroppol (Kombinasi teknik permainan lidah, jari dan tiupan)
Di dalam teknik permainan sulim, mangaroppol merupakan sebuah teknik
yang paling kompleks dibandingkan teknik yang lain karena teknik ini mampu
memaksimalkan ketiga fungsi yakni lidah, jari, dan tiupan nafas dalam porsi yang
relatif sama. Selain itu mangaroppol juga merupakan sebuah teknik permainan
yang memadukan berbagai teknik ke dalam satu bentuk permainan.
Pada prinsipnya, setiap pemain sulim memiliki karakter yang berbeda-beda
dalam bermain. Ada seorang pemain sulim yang memiliki ciri khas mangarutu
dalam setiap permainannya, ada pula orang tidak mampu memakai teknik
mangarutu sehingga mengakibatkan dia bermain dengan memakai teknik
manganak-anaki sebagai ciri khasnya, dan ada pula pemain sulim yang tidak bisa
memainkan kedua-duanya sehingga dia selalu memakai teknik mangangguk dalam
setiap permainannya baik ketika memainkan lagu atau repertoar yang lambat
maupun yang cepat.
Tetapi selain daripada ketiga bentuk ciri khas pemain di atas ada pula
seorang pemain sulim yang mampu memainkan ketiga bentuk karakter permainan
tersebut. 20 Orang yang mampu memainkan ketiga bentuk karakter permainan
tersebut di atas biasanya selalu menyuguhkan lagu atau repertoar yang dimainkan
dengan metode penggabungan ketiga teknik tersebut yang dinamakan dengan
teknik mangaroppol. Ketiga bentuk permainan tersebut merupakan teknik dasar
yang pada prinsipnya harus diketahui oleh setiap pemain sulim. Oleh karena itu,
seorang pemain sulim yang baik diharapkan mampu memainkan teknik
mengaroppol dalam setiap memainkan sebuah lagu atau repertoar tertentu. Contoh
20
Tingkat kemudahan antara ketiga teknik permainan tersebut tergantung pada kebiasaan
dan kemampuan sipemain itu sendiri. Masing-masing teknik tersebut diperoleh melalui proses yang
berbeda-beda, ada yang belajar secara otodidak (marsiajar sandiri) dan ada yang belajar dari seorang
guru/ahli sulim (marguru)
96
teknik mangaroppol yakni teknik yang memadukan antara teknik mangarutu,
mangangguk, dan manganak-anaki dapat dilihat dalam bentuk penyajian penggalan
melodi pembuka atau introduce repertoar gondang batara guru berikut ini:
Keterangan :
 Pola “tu ru” mewakili teknik mangarutu
 Pola “tu wu” mewakili teknik manganak-anaki
 Pola “tu hu” mewakili teknik mangangguk
3.5 Proses Belajar Sulim
Pada umumnya, pengetahuan untuk memainkan instrumen Batak Toba
dipelajari dengan cara oral tradition (tradisi lisan). Dalam konteks ini, belajar yang
dimaksud adalah dengan cara melihat dan mendengar serta memperhatikan secara
seksama sebuah permainan instrumen tersebut kemudian menirukan dan
menghafalkannya.
Dalam budaya
musikal masyarakat Toba, ada 2 (dua) macam proses
belajar. Kedua proses belajar tersebut merupakan proses belajar yang diperoleh
secara langsung dan tidak langsung. Proses belajar yang diperoleh secara langsung
dari seorang pengajar dalam istilah masyarakat Batak Toba lazim disebut dengan
marguru, sedangkan proses belajar yang diperoleh secara tidak langsung disebut
dengan marsiajar sandiri (otodidak).
97
3.5.1 Marguru
Secara harafiah, marguru memiliki arti belajar dari seorang guru atau
instruktur. Dalam konteks belajar sulim, marguru diartikan dengan seseorang yang
belajar kepada seorang pemain sulim yang dianggap sudah mahir dan profesional.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan kata “mahir” dan “profesional” adalah telah
terjun bermain musik dalam acara-acara adat Batak Toba dan telah memperoleh
legitimasi (pengakuan) dari masyarakat itu sendiri. Bentuk pengakuan tersebut
dapat dilihat ketika mayoritas masyarakat Batak Toba baik dalam ruang lingkup
nasional maupun hanya daerah setempat sudah mengenal bahkan meyakini bahwa
si pemain sulim tersebut sudah pernah bermain sulim pada setiap acara-acara adat
mau pun dalam bentuk even yang lain sesuai konteks penyajiannya.
Di dalam konteks marguru, ada 2 (dua) oknum yang terlibat yakni murid
dan guru. Dalam prosesnya, seorang murid biasanya akan mendapatkan
pengetahuan bermain sulim dengan bimbingan langsung oleh sang guru. Pada
prinsipnya, setiap guru pasti memiliki metode yang berbeda-beda dalam mengajar,
tapi pada dasarnya tujuannya sama saja yakni supaya si murid lebih mudah untuk
memahami dan mampu memainkan sulim dengan baik.
Secara umum, metode yang biasa dipakai oleh seorang guru untuk
mengajarkan cara bermain sulim yang baik kepada muridnya adalah dengan melalui
tahapan-tahapan sebagai berikut yaitu pengajaran cara meniup yang baik,
penguasaan posisi jari (penjarian), penguasaan tangga nada, penguasaan teknik
bermain, hingga kepada penguasaan dan penghafalan melodi lagu atau repertoar
yang akan dimainkan.
Jika seorang murid sudah mampu meniup dengan baik dan menguasai
penjarian serta tangga nada sulim tersebut, berikutnya sang guru akan mengajarkan
98
teknik-teknik permainan. Dalam mengajarkan pola teknik permainan, metode yang
dipakai oleh sang guru tersebut adalah dengan mengimitasikan atau menirukan
teknik permainan yang ada pada sulim tersebut ke dalam bentuk bunyi vokal yang
bertujuan agar simurid dapat membedakan karakter bunyi yang terdapat dalam
suatu bentuk teknik permainan yang berbeda- beda.
Pengajaran teknik bermain biasanya sejalan dengan pengajaran melodi lagu
atau repertoar yang akan dimainkan. Sebab dalam memainkan melodi itulah sang
guru menerapkan teknik-teknik dalam bermain. Dalam pengajaran teknik bermain
sulim, sang guru akan mengambil sampel repertoar lagu Batak Toba yang ada,
biasanya pada awalnya akan dimulai dari repertoar yang mudah dimainkan terlebih
dahulu. Ciri-ciri repertoar yang mudah dimainkan biasanya dapat dilihat dari durasi
melodi yang singkat, dan berisikan nada-nada yang berinterval pendek.
Agar simurid dapat lebih mudah menguasai teknik sekaligus menghafalkan
setiap melodi lagu ataupun repertoar yang diinginkan, sang guru akan
mengajarkannya melalui 2 (dua) langkah, langkah yang pertama yaitu dengan
pengajaran metode ende baba/gondang baba (mengimitasikan dengan nyanyian
mulut) atau dalam istilah musik Barat disebut dengan mnemonics, dan langkah yang
kedua yakni dengan cara memainkan instrumen secara langsung.
Dalam metode pengajaran ende baba, setiap bunyi atau melodi yang
dimainkan dibedakan dengan membuat klasifikasi suara yang dihasilkan dengan
menggunakan lidah, jari, dan tiupan nafas. Kemudian bunyi tersebut diimitasikan
melalui nyanyian mulut (manggondang babai) dalam bentuk suku kata. Pola suku
kata pada penyajian ende baba/ gondang baba oleh masing-masing guru/ pengajar
sulim biasanya berbeda-beda tergantung kebiasaan masing-masing. Contoh bentuk
manggondang babai atau pengimitasian melalui nyanyian mulut dalam bentuk suku
99
kata yang dimaksud tersebut dapat dilihat dari salah satu contoh gondang baba dari
penggalan nada gondang siburuk berikut ini “hudagidigidigidigidugudugudugudug
hudagidigidigidigidugudugudugudug”.
Suku
penggalan melodi yang diajarkan tersebut.
kata
Kemudian
tersebut
setelah
menggambarkan
simurid
telah
mampu menirukan bunyi yang dinyanyikan oleh sang guru atau disebut dengan
istilah manggondang babai, maka sang guru pun akan melakukan langkah kedua
yakni dengan cara memainkan langsung sulim tersebut sesuai dengan melodi lagu
yang diimitasikan melalui nyanyian mulut. Ketika sang guru mempraktekkan cara
memainkan suatu motif, kemudian simurid pun menirukan. Demikianlah seterusnya
hingga frase, bentuk dan keseluruhan melodi lagu dimainkan secara utuh.
Namun, selain belajar dengan cara marguru tidak tertutup kemungkinan
seseorang mampu belajar dengan cara yang lain, misalnya dengan menonton
berbagai pertunjukan yang menampilkan permainan sulim, mendengarkan musik
yang menyuguhkan repertoar permainan sulim dan lain sebagainya yang
selanjutnya akan dipelajari sendiri oleh pelajar tersebut. Namun untuk ini biasanya
seseorang haruslah sudah memiliki dasar-dasar keterampilan memainkan sulim.
3.5.2 Marsiajar sandiri (otodidak)
Selain belajar dari seorang guru, teknik bermain sulim juga dapat dipelajari
sendiri secara otodidak yaitu belajar hanya dari pengalaman tanpa adanya
bimbingan dari seorang parsulim (pemain sulim). Pengalaman-pengalaman yang
dimaksud menyangkut berbagai aktivitas seseorang tersebut untuk mencari dan
menggali sendiri ilmu yang ingin diperoleh melalui berbagai cara. Dalam proses
belajar secara otodidak, pengetahuan memainkan sulim dapat diperoleh dengan
berbagai cara seperti menonton berbagai pertunjukan musik yang menampilkan
100
permainan sulim, meningkatkan intensitas mendengarkan musik ataupun lagu-lagu
yang menyuguhkan repertoar permainan sulim dan jenis aktivitas lainnya yang
berkaitan dengan permainan sulim. Dalam hal ini, apabila seseorang ingin belajar
secara otodidak maka orang tersebut akan menirukan apa yang dilihat dan didengar
dengan pendekatan caranya sendiri. Dalam istilah masyarakat Batak Toba, metode
belajar secara otodidak inilah dinamakan dengan istilah marsiajar sandiri.
Pada umumnya, pengetahuan yang diperoleh dari proses marsiajar sandiri
biasanya akan memiliki lebih banyak warna permainan dibandingkan belajar dari
seorang guru atau marguru, karena dengan marsiajar sandiri ilmu yang diperoleh
bersumber dari beberapa pemain sulim dengan teknik yang berbeda-beda sesuai
dari apa yang dilihat dan didengar dari dalam pengalaman sehari-hari. Dilihat dari
kedua metode di atas, apabila dibuat sebuah analisa tentang perbandingan teknik
permainan sulim oleh orang yang mendapat pengetahuan dengan cara marguru
dengan orang yang mendapat pengetahuan dengan cara marsiajar sandiri, dapat
diambil kesimpulan bahwa orang yang marguru akan cenderung mengikuti teknik
dan cara bermain yang diberikan oleh gurunya, atau dengan kata lain teknik
permainan yang dia mainkan hanya
merupakan imitasi atau perniruan dari
seseorang, sementara orang yang memiliki pengetahuan dengan cara marsiajar
sandiri akan cenderung memiliki lebih banyak jenis karakter permainan, sebab
setiap gaya ataupun teknik yang dimainkan berasal dari beberapa pemain dengan
gaya atau karakter permainan yang berbeda-beda.
Walaupun secara umum metode belajar sulim melalui proses marguru dan
marsiajar
sandiri,
terkadang
ada
juga
seseorang
yang
belajar
dengan
mengkombinasikan kedua metode tersebut, yakni pada awalnya belajar kepada
seorang guru dan selanjutnya memperdalam teknik permainannya dengan caranya
101
sendiri sehingga dia memiliki ciri khas tersendiri selain dari pada yang diperoleh
dari sang guru tersebut.
102
BAB IV
KONTINUITAS, PERUBAHAN FUNGSI
DAN PENGGUNAAN SULIM
Pada Bab ini, penulis akan mengkaji kontinuitas dan perubahan yang terjadi
dalam aspek fungsi dan penggunaaan sulim.
Berbicara tentang kontinuitas, selain dari pada penggunaan bahan baku dan
ciri khas bunyi sulim, penulis lebih menitikberatkan penjelasan kontinuitas pada
aspek fungsi musikalnya. Sedangkan tentang perubahan yang terjadi, selain
menyangkut perubahan fisik instrumen penulis lebih menitikberatkan penjelasan
pada masa penggunaannya dalam berbagai konteks mulai dari konteks solo
instrumen, ensambel, pengiring lagu, kolaborasi instrumen, dan konteks insidental
sesuai dengan periode waktu penggunaannya.
4.1 Fungsi Musikal Sulim Sebagai Fenomena Kontinuitas
Di antara kesepuluh fungsi musik yang ditawarkan oleh Alan P. Merriam,
dalam hal ini penulis hanya menitikberatkan fungsi musikal sulim pada fungsi
komunikasi, hiburan, perlambangan, pengungkapan emosional, reaksi jasmani,
penghayatan estetis dan fungsi ritual dan lima diantara keenam fungsi tersebut yaitu
fungsi komunikasi, hiburan, perlambangan, pengungkapan emosional, reaksi
jasmani dan penghayatan estetis merupakan wujud dari adanya kontinuitas yang
masih tetap dipertahankan dan diterima di tengah-tengah masyarakat Batak Toba
sampai sekarang, sementara satu fungsi yang lain yakni fungsi ritual sudah
mengalami perubahan dan bahkan telah diabaikan.
103
4.1.1 Fungsi komunikasi
Merriam mengatakan bahwa musik walaupun tanpa syair sebenarnya telah
dianggap mengkomunikasikan sesuatu.21 Sejalan dengan pendapat tersebut, fungsi
sulim sebagai media komunikasi dapat dilihat ketika alat musik ini dimainkan
bersama dengan istrumen lainnya pada saat upacara adat atau pun perayaan pesta
adat seperti Gondang Naposo 22 dan lain sebagainya. Dalam hal ini, fungsi sulim
sebagai media komunikasi dapat dibedakan menjadi dua yakni komunikasi secara
vertikal dan komunikasi secara horizontal. Komunikasi secara vertikal yakni
komunikasi antara manusia dengan pencipta, sedangkan komunikasi secara
horizontal yakni komunikasi antara manusia dengan sesama.
Sebagai bentuk komunikasi yang bersifat vertikal dapat kita lihat ketika
sulim memainkan repertoar gondang tertentu seperti repertoar Gondang Sombasomba yang memiliki makna penghormatan dan penyembahan kepada sang
Pencipta, dimana sang Pencipta dalam repertoar ini menyampaikan sebuah pesan
kepada semua yang hadir pada acara tersebut. Sedangkan bentuk komunikasi yang
bersifat horizontal dapat dilihat pada saat sulim memainkan repertoar yang lain
seperti repertoar Gondang Embas-embas yang mencerminkan komunikasi antara
sipargonsi (pemain musik) dengan sipanortor (orang yang menari), dimana
sipargonsi meminta kepada semua orang yang manortor agar marembas23 ketika
manortor.
21
Lihat Panggabean, 1996:86.
22
Gondang Naposo adalah pesta muda-mudi pada masyarakat Batak Toba yang
merupakan sarana untuk membina hubungan antara generasi muda
23
Marembas adalah sejenis bentuk tarian Batak Toba dengan cara menghentakkan kaki ke
depan dan ke belakang sambil mengayunkan tangan.
104
4.1.2 Fungsi hiburan
Pada umumnya setiap orang pasti membutuhkan hiburan dalam berbagai
aspek kehidupannya. Hiburan biasanya dipakai sebagai media untuk memberikan
rasa senang/ bahagia bagi orang yang membutuhkannya. Pada hakekatnya hiburan
tidak semata-mata dibutuhkan oleh orang yang dilingkupi rasa duka atau memiliki
beban berat dalam hidupnya, tetapi hiburan juga dapat dinikmati oleh orang tertentu
yang memang senang terhadap sesuatu sehingga dia tertarik untuk menyaksikan
atau mendengarkan hiburan tersebut.
Hiburan biasanya disajikan dalam berbagai bentuk penyajian baik pada
saat bersifat formal, semi formal maupun non-formal. Hiburan yang bersifat formal
biasanya identik dengan seni pertunjukan yang ditampilkan dalam berbagai acaraacara yang bersifat akademis, kenegaraan, keaagamaan, konser akbar dan lain
sebagainya. Hiburan yang bersifat semi formal biasanya ditampilkan ketika konteks
acaranya bersifat lebih santai, biasanya dapat kita lihat pada seni pertunjukan kecil
seperti mini konser, konser dadakan dan lain sebagainya. Hiburan yang bersifat
non-formal merupakan hiburan yang dipertunjukkan untuk kepentingan pribadi
maupun golongan tertentu yang disajikan tanpa adanya aturan konsep acara yang
ditentukan dengan tujuan hanya untuk kesenangan semata atau pengisi waktu
luang.
Berkaitan dengan ketiga konteks hiburan tersebut, sulim yang berfungsi
sebagai media hiburan juga merupakan instrumen yang sudah sering dipakai dalam
seni pertunjukan baik bersifat formal, semi formal, maupun non-formal. Sebagai
wujud dari fungsi sulim sebagai media hiburan dalam konteks formal dapat kita
lihat ketika sulim menjadi instrumen pengiring maupun instrumen pokok pada saat
acara seni pertunjukan yang bertemakan konser/ festival maupun non-konser.
105
Pertunjukan formal yang bersifat konser misalnya ketika sulim ditampilkan
pada acara Konser Akbar, Konser Paduan Suara, Festival Paduan Suara, Festival
Kolaborasi Etnik Modern dan sebagainya. Pertunjukan formal yang bersifat non
konser misalnya ketika sulim disajikan sebagai instrumen pengiring lagu solo atau
paduan suara untuk mengisi hiburan dalam acara akadamis seperti Wisuda, Dies
Natalis/ulang tahun, Pengukuhan Guru Besar atau seseorang dan sebagainya.
Fungsi sulim sebagai media hiburan pada pertunjukan semi formal dapat
dilihat ketika sulim ditampilkan dalam setiap acara pertunjukan musik dadakan di
acara-acara kampus, pertunjukan mini konser paduan suara sekuler atau non
gerejawi dan sebagainya, dan fungsi sulim sebagai media hiburan pada pertunjukan
non-formal dapat kita lihat ketika sulim juga ditampilkan secara tunggal atau
dikolaborasikan dengan berbagai instrumen lain pada saat pertunjukan mengamen
di pinggir jalan, pertunjukan musik di Mall, atau di tempat- tempat-tempat tertentu
yang ideal dijadikan sebagai objek yang bersifat non formal dan bisa disaksikan
oleh masyarakat umum atau khalayak ramai.
Selain dari berbagai pernyataan di atas, sulim juga dapat dijadikan sebagai
media untuk menghibur diri sendiri atau orang lain yang meminta untuk dihibur.
Marsius Sitohang selaku seorang yang dikenal sebagai maestro sulim pernah
berkata bahwa sudah banyak orang Batak Toba maupun Non-Batak Toba yang
pernah meminta dirinya untuk memainkan sulim secara solo dengan membawakan
repertoar tertentu dengan alasan untuk kesenangan pribadi. Sebab menurut orang
selaku penikmat tersebut, Marsius tidak hanya mahir dalam memainkan sulim tetapi
dia juga memiliki karisma yang seakan mampu menghipnotis sipendengar melalui
alunan syahdu sulim yang dimainkannya.
106
4.1.3 Fungsi perlambangan
Alan P. Merriam juga mengatakan bahwa musik juga dapat berfunsi sebagai
perlambangan atau simbol dari tingkah laku manusia.24 Berbicara mengenai tingkah
laku, oleh orang lain diluar etnis Batak pada umumnya memandang bahwa
masyarakat Batak Toba dikenal dengan sifatnya yang keras, tegas, prinsipil yang
seakan-akan kasar dan cepat dalam berbicara. Jika ditinjau dari segi musiknya, hal
itu bisa diterima karena bukti tersebut dapat dilihat dari musik dan repertoar yang
disajikan pada setiap acara adat masyarakat Batak Toba, biasanya kebanyakan
repertoar gondang selalu dibawakan dengan nuansa intonasi yang tegas, nada dan
lirik yang sangat rapat, dengan tempo dan durasi waktu yang berbeda-beda. Hal ini
membuktikan bahwa musik juga dapat menunjukkan identitas dari masyarakat
pendukungnya. Dengan kata lain, tipikal musik atau repertoar yang mereka sajikan
sesungguhnya melambangkan gambaran umum mengenai tingkah laku dari
masyarakat Batak Toba itu sendiri.
Sama halnya jika kita mendengarkan alunan musik di luar Batak Toba seperti
musik tradisi Karo misalnya. Musik tradisi Karo dikenal dengan ciri khas musiknya
yang selalu memunculkan nuansa rengget25 dengan tempo yang lebih lambat dari
musik Batak Toba, orang yang pernah mendengarkan akan langsung berkata bahwa
itulah musik tradisi Karo, sebab masyarakat Karo secara umum dikenal dengan
tipikal orang yang bersifat lembut dan berbicara dengan nada halus dan memakai
rengget ketika bernyanyi. Artinya, bahwa musik tradisi Karo juga melambangkan
tingkah laku dan kebiasaan masyarakat Karo itu sendiri.
24
25
Alan P. Merriam, 1964, hal.119-222.
Rengget adalah semacam ornamentasi musikal sebagai ciri khas musik tradisi Karo.
107
Jika dihubungkan antara fungsi musik sebagai perlambangan/simbol dengan
sulim sebagai instrumen, maka dapat diartikan bahwa sulim juga memiliki fungsi
musikal sebagai media untuk mengungkapkan makna perlambangan/simbol itu
sendiri, sebab sulim juga merupakan salah satu instrumen pokok masyarakat Batak
Toba yang mampu berperan membawakan melodi lagu atau repertoar secara utuh.
Pada saat sulim dimainkan untuk membawakan beberapa lagu atau repertoar, maka
masyarakat yang mendengarnya baik suku Batak Toba maupun di luar suku Batak
Toba akan mengatakan bahwa itulah ciri khas musik Batak Toba.
Selain memiliki kebiasaan sperti yang telah dijelaskan di atas, masyarakat
Batak Toba juga dikenal memiliki kebiasaan mangandung26 pada saat menangisi
orang yang meninggal. Salah satu kebiasaan ini juga dapat kita lihat ketika sulim
juga mampu memainkan teknik andung yang diimitasikan dari alunan suara
seseorang yang sedang meratap. Oleh karena itu dapat dibuktikan bahwa berbagai
bentuk kebiasaan atau tingkah laku dari masyarakat Batak Toba dapat
dilambangkan melalui alunan sulim.
4.1.4 Fungsi pengungkapan emosional
Pada hakekatnya, manusia adalah makhluk yang memiliki perasaan atau
emsosional sebagai wujud dari rasa suka maupun duka. Oleh setiap orang perasaan
tersebut juga diungkapkan dengan cara yang berbeda-beda. Pada umumnya
seseorang yang dilingkupi kesedihan akan menunjukkannya dengan tangisan,
sebaliknya seseorang yang sedang merasakan kebahagiaan dan sukacita akan
menunjukkannya
dengan
cara
tertawa.
Namun,
ada
kalanya
seseorang
mengungkapkan perasaannya dengan caranya sendiri. Musik juga merupakan
26
Mangandung artinya menangis yang ditunjukkan melalui nyanyian ratapan.
108
media yang dapat digunakan untuk mengungkapkan perasaan. Sebagai contoh, ada
orang mengungkapkan perasaannya dengan bernyanyi, ada orang mengungkapkan
perasaannya lewat penulisan lirik lagu, dan ada pula orang yang mengungkapkan
perasaannya dengan memainkan alat musik. Pengungkapan emosional dengan
ketiga cara tersebut diekspresikan sesuai dengan kondisi dan suasana hati orang
tersebut.
Sulim sebagai instrumen yang juga dapat dimainkan secara tunggal/solo
dapat berfungsi sebagai media untuk mengungkapkan perasaan. Ketika seseorang
merasakan kesedihan maupun sukacita, perasaan itu dapat ekspresikan melalui
alunan melodi sulim. Dahulu sebelum Marsius Sitohang diangkat sebagai Dosen
luar biasa di Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara dan sebelum
dia terkenal sebagai salah seorang maestro sulim, beliau adalah seorang kepala
rumah tangga yang bermata pencaharian sebagai penarik becak dayung. Pada saat
menunggu penumpang beliau seringkali memainkan instrumen sulim dengan duduk
di atas becak dayungnya. Ketika ditanya mengapa beliau melakukan hal tersebut,
beliau menjawab dengan intonasi/dialek Bataknya yang kental, “yaaahhh itu karena
senang sekali memainkan sulim…jadi kalo saya bermain sulim bisa menambah
semangat dalam bekerja”, tandasnya.
Dari pernyataan beliau tersebut dapat diartikan bahwa musik juga ternyata
mampu menjadi bagian dari sisi kehidupan manusia. Terlihat jelas bahwa sulim
juga dapat memberikan dampak bagi hidup orang yang sudah sangat gemar dalam
memainkannya. Bagi seorang Marsius, peran sebuah sulim sangat besar sekali
dalam berbagai aktivitas kehidupannya. Ketika beliau mengatakan bahwa dengan
memainkan sulim semangat beliau semakin bertambah, itu artinya perasaan senang
109
atau suka cita yang beliau dambakan untuk menambah semangat beliau dalam
bekerja diwujudkannya melalui alunan sulim.
Sehubungan dengan hal itu, dapat dilihat bahwa fungsi sulim sebagai media
pengungkapan emosional dapat dilihat dari sudut pandang dan situasi yang
berbeda-beda. Sebagai contoh, ketika sulim ditampilkan bersama instrumen Batak
Toba yang lain pada sebuah acara adat Pesta Gondang Naposo 27 , fungsi
pengungkapan emosional dapat dilihat ketika manortor (menari). Alunan sulim
pada saat mengiringi tortor28 dapat memberikan pengaruh bagi sipanortor (orang
yang manortor) itu sendiri. Jika alunan sulim tersebut lincah dan dinamis akan
menambah semangat panortor (penari) bahkan kadang-kadang sampai meloncat
kegirangan. Itu artinya alunan melodi sulim itu pun ternyata mampu menggugah
emosi sipanortor sehingga sampai meloncat kegirangan.
4.1.5 Fungsi penghayatan estetis
Pada dasarnya, seseorang dapat menikmati musik karena secara psikologis
dia mampu untuk menghayati musik itu sendiri. Seseorang juga mampu memainkan
musik dengan baik apabila dia mampu menghayati permainannya dengan baik.
Seorang pemain sulim atau pemain instrumen musik apapun tidak akan maksimal
menggunakan intrumen yang dimainkannya jika dia tidak mampu menghayati
permainan musik tersebut dengan baik walaupun secara teknis orang tersebut mahir
memainkannya.
Guntur Sitohang yang merupakan salah seorang sesepuh pargonsi Batak
Toba di Harian Boho Samosir pernah berkata, “jika kita ingin mahir dalam bermain
27
Gondang Naposo adalah pesta muda-mudi dengan iringan gondang. Biasanya
dilaksanakan setelah panen selesai.
28
Tortor merupakan istilah tarian yang diiringi musik tradisional Batak Toba.
110
musik maka kita harus menjadikan musik itu sebagai bagian dari kehidupan kita”29
yang artinya kita harus menganggap musik itu sebagai sosok yang kita sayangi
setiap saat sama seperti bagaimana kita menyanyangi orang tua, keluarga, bahkan
diri kita sendiri. Dengan demikian apabila kita telah menganggap musik itu menjadi
bagian dari kehidupan kita, maka kita harus merawat, menjaga dan memperlakukan
instrumen yang kita mainkan tersebut dengan baik. Sama halnya jika kita ingin
mahir dalam bermain sulim, selain berlatih dengan tekun dan gigih maka kita juga
harus merawat dan menjaga serta memainkan sulim itu sebaik kita memperlakukan
orang yang kita sayangi. Bahkan pada saat dimainkan sekalipun, kita harus
menjiwai dan menghayati permainan kita seakan kita sedang memperlakukan orang
yang kita sayangi.
Selain daripada itu, sulim sebagai instrumen yang juga dapat berfungsi
sebagai media untuk penghayatan estetis dapat kita lihat dari peristiwa lain seperti
gerakan tortor yang dilakukan pada saat manortor yang diiringi sulim bersama
instrumen lainnya pada acara-acara adat Batak Toba. Pada umumnya tidak semua
orang Batak Toba dapat manortor karena memperoleh pembelajaran manortor,
tetapi kenyataannya jika kita melihat di lapangan terjadi sebuah keselarasan antara
gerakan tangan, kaki, dan badan pada saat manortor dengan irama musik yang
dimainkan oleh pargonsi (pemain musik). Hal ini menunjukkan bahwa keselarasan
itu muncul akibat adanya penghayatan estetis dari sipanortor ketika mendengarkan
alunan musik yang dimainkan.
29
Wawancara sambil lalu di Medan, Desember 2011.
111
4.1.6 Fungsi reaksi jasmani
Fungsi musikal sulim sebagai reaksi jasmani sejalan dengan fungsinya
sebagai pengungkapan emosional dan fungsinya sebagai penghayatan estetis. Sebab
reaksi jasmani muncul ketika adanya penghayatan yang menghasilkan emosional,
dan emosional itupun kemudian diungkapkan melalui reaksi jasmani. Sebagai
wujud dari fungsi reaksi jasmani dapat kita lihat dengan kembali mengambil contoh
manortor pada saat pesta adat pernikahan masyarakat Batak Toba. Ketika parsulim
(sipemain sulim) memainkan sulimnya dengan baik ditambah dengan pembawaan
repertoar yang baik pula, maka sipanortor akan manortor kegirangan sembari
mengeluarkan seruan-seruan seperti “eeee….mmada….”
yang secara harafiah
diartikan “yaaa inilah” yang seolah-olah kata tersebut menegaskan “ya inilah
kegembiraan kita”.
Sebaliknya ketika lagu atau repertoar yang dimainkan oleh pargonsi
(pemusik) kurang enak kedengarannya bagi panortor ditambah kemungkinan
kurang mahirnya siparsulim atau pemain instrumen yang lain dalam bermain, maka
akan spontan juga para pargonsi (pemusik) akan mendapat teriakan atau sorakan
negatif dari para panortor. Juniro Sitanggang yang juga sebagai salah seorang
pemain sulim dari Samosir pernah berkata bahwa group musik mereka pernah
mendapat teguran atau sorakan yang kurang mengenakkan dari panortor pada saat
acara adat pernikahan Batak Toba di Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir.
Ketika musik baru saja mengalun tiba-tiba beberapa panortor spontan berteriak “ ai
denggan jo bahen hamu boohhhh….” yang artinya bahwa mereka berharap supaya
pargonsi tersebut memainkan musiknya dengan lebih baik lagi agar enak
112
kedengaraanya bagi mereka yang manortor.30 Dari pernyataan tersebut dapat kita
artikan bahwa enak tidaknya sajian sebuah musik akan memperoleh reaksi jasmani
positif ataupun negaif dari orang yang mendengarkannya.
4.2 Konteks Penggunaan sulim dalam Berbagai Periode sebagai Fenomena
Perubahan
4.2.1 Konteks solo instrumen
Seperti telah diuraikan pada bab-I skripsi ini, jelas dikatakan bahwa sulim
awalnya hanya merupakan sejenis instrument tunggal. Namun tidak diketahui
secara pasti kapan sejarah awal penggunaan sulim tersebut digunakan sebagai
instrumen tunggal. Menurut adat Batak Toba, dahulu instrumen tunggal adalah
instrumen yang dimainkan secara tunggal dan tidak boleh dimainkan ke dalam
ensambel, baik gondang hasapi maupun gondang sabangunan, sebab pada
dasarnya sudah ditetapkan komposisi instrumen pada kedua ensambel tersebut.
Dalam hal ini, penggunaannya hanya dikaitkan ke dalam kedua ensambel tersebut
karena berdasarkan sejarah, dahulu hanya ada dua ensambel dalam musik adat
masyarakat Batak Toba yakni ensambel gondang hasapi dan gondang sabangunan.
Pada saat itu, sulim biasanya hanya digunakan pada waktu senggang untuk
mengisi kekosongan atau menghibur diri pribadi saja. Sulim juga tidak pernah
dimainkan dalam upacara-upacara adat yang bersifat ritual layaknya instrumeninstrumen yang ada pada ensambel gondang hasapi maupun gondang sabangunan.
Namun jika diartikan secara lebih luas dan terkait perkembangan berbagai
ensambel Batak Toba pada masa kini, instrumen tunggal pada dasarnya bukan
hanya instrumen yang tidak boleh dimainkan bersama dengan ensambel gondang
30
Wawancara sambil lalu di Taman Budaya Sumatera Utara Medan, Juni 2012.
113
hasapi maupun gondang sabangunan saja, melainkan berbagai ensambel atau
format musik yang lain.
Dari keseluruhan intrumen tunggal yang ada pada masyarakat Batak Toba,
sulim adalah instrumen yang masih tetap eksis dan paling sering digunakan hingga
pada saat ini. Patut diduga, hal ini disebabkan karena sulim merupakan instrumen
tiup yang lebih kompleks dengan frekuensi nada serta jangkauan nada yang lebih
luas dibandingkan instrumen tunggal Batak Toba lainnya, sehingga berbagai jenis
lagu atau repertoar dapat dengan mudah dimainkan pada instrument ini.
Sementara instrumen tunggal yang lain (lihat bab-II) sudah sangat jarang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari bahkan ada orang yang mengatakan bahwa
beberapa di antaranya
sudah hampir punah keberadaannya seperti saga-saga,
jenggong, tanggetang dan mengmung. Sebab pada umumnya, keempat instrumen
ini sudah sangat jarang kelihatan atau digunakan dalam kehidupan sehari-hari,
bahkan hanya satu dua orang saja yang masih melestarikan instrumen ini.
Berkaitan dengan penggunaannya dalam kontek tunggal (solo), Guntur
Sitohang mengatakan bahwa ternyata dari zaman dahulu hingga pada zaman
sekarang, sulim juga sering memainkan peran mangandung 31 yang seyogianya
awalnya dimainkan oleh sordam. Jauh sebelum sulim dimasukkan ke dalam bentuk
ensambel atau berbagai instrumen yang lain, dahulu sulim sudah memainkan alunan
andung (ratapan). Namun ketika itu, sulim hanya mampu memainkan alunan
andung yang sifatnya untuk hiburan pribadi semata tanpa pernah ditampilkan ke
dalam bentuk seni pertunjukan. Namun zaman sekarang ini identitas sulim sebagai
31
Dalam konteks ini, mangandung diartikan kepada teknik yang mengimitasikan sebuah
isak tangis atau nyanyian ratapan masyarakat Batak Toba ke dalam bentuk permainan sulim.
114
pelantun alunan andung semakin dikenal seiring semakin langkanya instrumen
musik sordam.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa sordam juga merupakan salah
satu instrumen tunggal yang dahulu dimainkan dengan ciri khas mangandung.
Namun seiring semakin langkanya sordam pada masyarakat Batak Toba, peran
tersebut mampu digantikan oleh sulim. Mangandung identik dengan nuansa
kesedihan. Teknik mangandung yang biasa dimainkan pada sulim sangat mirip
dengan yang awalnya dimainkan oleh sordam, bahkan menurut pengamatan penulis
nuansa mangandung yang dimainkan oleh sulim lebih terasa dibandingkan ketika
dimainkan oleh instrumen sordam. Dalam konteks penyajiannya, zaman sekarang
ini teknik mangandun tidak hanya disuguhkan pada saat bermain solo tetapi juga
sering ditampilkan pada saat memainkan berbagai lagu atau repertoar yang
memiliki tema kesedihan bersama instrumen lainnya dalam konteks ensambel
gondang hasapi.
4.2.2 Konteks ensambel
Berbicara mengenai ensambel, dalam pembahasan ini penulis memfokuskan
penjelasan penggunaan sulim ke dalam ensambel yang berkembang pada
masyarakat Batak Toba dari masa dahulu hingga masa kini. Ensambel yang
dimaksud adalah gondang hasapi dan ensambel brass band atau yang dikenal
dengan musik tiup. Masuknya peran penggunaan sulim ke dalam berbagai ensambel
tersebut dibedakan ke dalam era zaman yang berbeda. Sejarah penggunaan sulim
yang mulai diintegrasikan dengan gondang hasapi
diawali dari masuknya era
opera Batak pada tahun 1920-an hingga 1970-an, sedangkan peran atau
penggunaan sulim yang dipadukan dengan ensambel brass band ditandai dari
115
fenomena musik tiup yang berkembang pada tahun 1980-an. Dalam hal ini, baik
dalam gondang hasapi maupun brass band atau musik tiup, sulim berperan sebagai
pembawa melodi bersama-sama dengan isntrumen melodis lainnya.
4.2.2.1 Konteks gondang hasapi
Secara historis, kehadiran sulim dalam gondang hasapi tidak diketahui
secara pasti. Penggabungan sulim dengan gondang hasapi maupun dengan
ensambel yang lain mulai dikenal sejak munculnya bentuk seni pertunjukan pada
masyarakat Batak Toba yang dikenal dengan opera Batak.
Opera Batak adalah pertunjukan opera bergaya Batak, istilah ini bukanlah
istilah baku dalam entitas kebudayaan Batak. Di kalangan Batak tidak jarang
sebutan itu dianggap sebagai bagian dari tradisi kebatakan karena para pelopor
opera Batak pada awal kemunculannya pada tahun 1920-an adalah orang-orang
Batak, seperti Tilhang Gultom. Umumnya, ceritanya menghadirkan pesan moral
bagi siapa saja yang menyaksikan.
Puncak kejayaan Opera Batak pada tahun 1960-an, ketika penampilannya
sudah bertaraf nasional atas undangan presiden Republik Indonesia Soekarno di
Istana Merdeka. Opera Batak bisa saja menjadi suatu entitas baru dalam
kebudayaan Batak setelah Batak harus berubah dari tradisi klasiknya dengan
berbagai bentuk upacara (teater awal) dan tradisi pertunjukan seperti teater boneka
sigale-gale dan hoda-hoda (semacam Jaran Kepang di Jawa), dan lain-lain. Perlu
dipahami bahwa opera Batak bukanlah kebudayaan tradisi asli. Kehadirannya
merupakan suatu situasi transisi dalam masyarakat dan kebudayaan Batak.
Awalnya opera Batak berasal dari tanah kurang subur, tepatnya di
Sitamiang, Onan Runggu (Samosir) sebagai kelompok penggembala kerbau. Salah
116
satunya ialah Tilhang Gultom (+ 1896–1970), anak kelima dari Raja Sarumbosi
Gultom. Tiga orang parhasapi (pemain) merupakan cikal bakal sebutan Tilhang
Parhasapi pada tahun 1925 .
Pada awalnya pertunjukan dilakukan di rumah-rumah sebelum undangan
dari luar daerah. Pemainnya berjumlah 12 (dua belas) orang yang sebagiannya
adalah anggota keluarga Gari Gultom abang ayahnya Tilhang Gultom. Pada
tahun1927 Tilhang Gultom kemudian pindah ke Tigadolok (Simalungun) dan
mempunyai pemain sebanyak 50 (lima puluh) orang . Kurun waktu antara tahun
1914-1938, muncul gerakan identitas dan nasionalisme Batak yang dikenal dengan
nama Dos Ni Roha, dan ini menjadi sponsor utama grup Tilhang. Sehingga pada
tahun 1934 pertunjukan keliling dimulai sampai ke Penang dan semenanjung
Melayu (Daniel Perret, 2010:338-350) .
Sebagai grup Tilhang Opera Batak mulai dikenal pada 1928-1930.
Perubahan nama grup masih dilakukan Tilhang sampai tahun 1937, antara lain
Tilhang Batak Hindia Toneel, Ria TOR, dan Tilhang Toneel Gezelschaap.
32
Pada
masa kolonial Jepang di Indonesia, grup Tilhang bernama Sandiwara Asia Timur
Raya dengan jumlah anggota sebanyak 40 (empat puluh) orang. Selanjutnya,
setelah kemerdekaan nama grup ini berubah menjadi Panca Ragam Tilhang dan
Serindo (Seni Ragam Indonesia).
Demikianlah sejarah singkat awal tumbuh dan berkembangnya opera Batak
sebagai teater tradisi (teater rakyat) yang telah memiliki ketenaran pada zamannya.
Melakukan pertunjukan dari kampung ke kampung, terutama ke daerah-daerah
yang baru selesai panen, karena ticket (oleh masyarakat lebih dikenal dengan
sebutan karcis) untuk menonton opera Batak dulunya bisa dilakukan dengan
32
E.K. Siahaan, 1981 hal. 10.
117
menukarkan hasil panen, dan hiburan rakyat ini sangat dinikmati masyarakat pada
masa itu.
Secara dramaturgi, opera Batak merupakan suatu pertunjukan variatif yang
menampilkan ceritera yang berisikan pesan moral, cerita rakyat dan merupakan
suatu seni pertunjukan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal
masyarakat. Sebagai contoh, cerita “Si Jonaha Penipu Ulung”. Ceritera ini
mengisahkan seorang lelaki bernama Jonaha yang suka menipu, sehingga dia
menjadi komoditas perdagangan manusia, karena suka berhutang dan berjudi,
sehingga ketika tidak mampu membayar hutang, dia diperjual belikan. Naskah ini
ditampilkan dalam 4 (empat) bahasa yaitu Karo, Simalungun, Toba, dan Bahasa
Indonesia), dan latar tempatnya dari Tanah Karo, Simalungun dan Tapanuli. Cerita
ini berisi pesan moral; tidak boleh menipu sesama manusia, terutama melakukan
hal yang merugikan orang lain.
Para pemain opera Batak juga terdiri dari berbagai agama, suku dan daerah
asal.
Sehingga
dengan
keberagaman
itu,
masing-masing
bisa
bebas
mengekspresikan dirinya sesuai dengan latar belakang etnisnya masing-masing.
Untuk elemen seni, selain menampilkan seni teater, opera Batak juga
memadukan hal lain yang bernuansakan keberagaman, seperti seni musik yang
menyajikan paduan instrumen dan vokal (ensambel musik tradisional Batak Toba,
Melayu, Jawa dan lagu-lagu) dan seni tari . Dalam tarian juga ada dikenal namanya
Tortor Lima Puak (Lima Suku Batak) dan menampilkan tarian Melayu
Walaupun pertunjukan tersebut menampilkan musik dan lagu
33
.
dari berbagai
suku/etnis khususnya suku yang ada di Sumatera Utara, namun instrumen yang
33
Dikutip dari google : Kesenian yang tertinggal
118
dimainkan tetaplah berbagai instrumen dari ensambel musik Batak Toba khususnya
ensambel gondang hasapi yang dikembangkan dengan masuknya instrumen sulim.
Pada pertunjukan opera Batak, musik merupakan salah satu unsur yang
sangat penting dalam penggarapan sebuah cerita. Kehadiran musik dalam opera
Batak berfugsi untuk membangun suasana dalam setiap adegan, baik sebagai
pengiring tarian maupun pengiring nyanyian. Selain itu, keseluruhan instrumen
musik kadangkala dimainkan sebagai musik instrumentalia yang bertujuan untuk
mendemonstrasikan alat-alat musik tersebut dalam suatu pertunjukan. Oleh karena
itu, hampir semua instrumen yang ada pada masyarakat Batak Toba selalu
ditampilkan dalam setiap pertunjukan opera Batak, bahkan kadang-kadang juga
menyertakan instrumen di luar etnis Batak Toba seperti biola, gitar dan
sebagainya.
34
Dalam konteks pertunjukannya, penggunaan instrumen musik tradisional
selalu disesuaikan dengan karakter maupun adegan yang disajikan, misalnya :
gondang sabangunan biasanya digunakan untuk mengiringi tarian, gondang hasapi
digunakan sebagai pengiring tarian dan kadangkala digunakan juga untuk
mengiringi nyanyian-nyanyian. Selain dalam ensambel, sulim bersama instrumen
tunggal lainnya seperti sordam, tulila, dan saga-saga juga sering dimainkan secara
tunggal untuk menggambarkan suasana cerita yang hening atau pun sedih.
Setelah awalnya sulim hanya dipakai sebagai instrumen tunggal, dengan
kehadiran opera Batak, sulim berkembang menjadi instrumen penting dalam
memainkan perannya sebagai instrumen melodis. Tidak hanya mampu memainkan
lagu-lagu Batak Toba tetapi juga acapkali digunakan sebagai pembawa melodi
34
Dikutip dari skripsi Martogi Sitohang yang berjudul “Sulim Batak Toba : Suatu Kajian
dalam konteks Gondang Hasapi” halaman 51
119
utama dalam memainkan berbagai lagu dari etnis atau sub-etnis di luar Batak Toba.
Kemudian diantara berbagai instrumen yang dimainkan dalam gondang hasapi,
sulim merupakan instrumen yang tidak hanya berperan sebagai instrumen melodis
tetapi juga mampu menghasilkan improvisasi nada-nada tanpa menghilangkan inti
dari melodi lagu.
Dilihat dari segi fungsinya, sulim dalam pertunjukan opera Batak
merupakan sebuah instrumen yang paling komplit dibandingkan yang lain, sebab
sulim mampu memaksimalkan perannya sebagai instrumen melodis dalam kajian
yang lebih luas, baik dari segi konteks penggunaannya dalam bentuk solo dan
ensambel maupun segi pengembangan nada-nada atau alur melodi musik yang
dimainkan.
4.2.2.2 Konteks ensambel musik tiup
Sejarah munculnya ensambel brass band di tanah Batak sesungguhnya
dimulai dari masuknya pengaruh agama Kristen. Sebelum kekristenan muncul di
tanah Batak, musik yang digunakan di dalam acara adat tradisi, ataupun acara ritual
lainnya adalah gondang sabangunan dan gondang hasapi yang digunakan
memanggil arwah nenek moyang dan dalam konteks acara adat lainnya.
Masuknya agama Kristen ke tanah Batak membawa pengaruh yang
mengakibatkan adanya perubahan mendasar dalam kehidupan tradisi margondang
(menyajikan gondang) oleh masyarakat Batak Toba. Beberapa aturan yang diterbitkan
oleh badan zending, membatasi bahkan melarang kegiatan pertunjukan gondang dalam
beberapa konteks upacara adat Batak Toba yang memeluk agama Kristen, dan gereja
sebagai perpanjangan tangan badan misi ini membuat aturan kebijakan yang
dilegalisasi melalui hukum yang harus dipatuhi masyarakat Batak Toba pemeluk
120
agama Kristen (Purba, 2000:32-35). Kebijakan-kebijakan yang diambil gereja sebagai
sikap menolak keberadaan tradisi musik gondang ini, memiliki alasan bahwa praktek
pertunjukan gondang adalah elemen budaya yang terkait dengan upacara ritual dalam
kepercayaan lama (sebelum Kristen), hal ini merupakan bagian dari upaya kristenisasi
misi Rheinische Mission-Gessellschaft (RMG) dari Jerman pada tahun 1860-an di
seluruh kawasan tanah Batak. Masyarakat ini yang sudah memeluk agama ‘baru”
mereka, tidak mau menerima resiko dikeluarkan (di-ban, istilah yang digunakan dalam
Tata Gereja) dari keanggotaan komunitas gereja, hanya karena terlibat dalam praktek
margondang.
Pembatasan dan bahkan pelarangan yang dilakukan pihak gereja membawa
konsekuensi kepada sebuah perubahan kegiatan pertunjukan musikal masyarakat.
Missionaris yang membawa paham agama Kristen dalam kesempatan ini mulai
memperkenalkan musik Barat, diawali dengan satu alat tiup terompet dan selanjutnya
menjadi sebuah ensembel musik tiup (brass music) yang dipergunakan untuk kegiatan
ibadah di gereja sebagai pengiring dalam ibadah. Berbagai alat musik tiup tersebut
terbuat dari logam yang terdiri dari terompet, saxofon, trombon, tuba dan 1 (satu) set
drum.
Hal ini menunjukkan terjadinya infiltrasi (memasukkan sebagian unsur
budaya asing ke dalam budaya sendiri) dari Budaya Barat ke Budaya Batak, hal ini
dapat kita lihat dari adanya perubahan yang membentuk orang Batak dalam ajaran
kepercayaan lama beralih menjadi penganut ajaran agama Kristen Protestan dengan
segala akibat yang ditimbulkan. Pendekatan sistematis budaya Barat ini dilakukan
dalam dua hal pokok, yakni membawa ajaran agama ini di satu pihak, dan
terbangunnya sistem tata tertib sosial kemasyarakatan menurut metoda Barat,
menyentuh ke seluruh sendi kehidupan, salah satunya adalah tradisi musikal
gondang. Para missionaris dalam penginjilannya membawa tradisi Barat yaitu
121
tradisi yang dipergunakan dalam mengimplementasikan misi kekristenan sebagai
sarana pendukung di dalam penyampaian pelayanan pengabaran Injil di tanah
Batak.
35
Sejak itu, masyarakat ini mulai mengalami hal baru dan asing sebagai
tatanan hidup baru perihal kehidupan sosial masyarakat dan keagamaan. Terjadinya
proses transmisi dua budaya yang berbeda pada pokoknya adalah dimana satu
kebudayaan menerima nilai-nilai kebudayaan lain, nilai baru masuk bercampur
dalam kebudayaan lama. Dua kebudayaan yang berbeda bertemu dan memberi
pengaruh satu sama lain.
Dengan kondisi tersebut, musik tiup yang dikenal sebagai musik yang
sebelumnya dekat dengan gedung gereja saja, bergeser keluar (transpalanted) dari
lingkungan gereja menuju ranah kehidupan adat religi dan ritual masyarakat Batak
Toba dan mengikis peranan dan aktivitas gondang Batak sebagai kearifan lokal,
yang sengaja ditinggalkan akibat perubahan sosial oleh tekanan budaya asing dan
diterima masyarakat Batak Toba sebagai tindakan kemapanan dalam merespon
kebudayaan baru. Hal ini mendapat tempat akibat adanya pemahaman bahwa
gondang yang dulunya dianggap sakral dan memiliki aspek mistis sebagai bagian
dari kegiatan kebudayaan, dapat digantikan oleh peranan musik tiup sebagai
komoditas baru untuk menyelenggarakan posisi fungsi dan kegunaan gondang.
36
Selain mengalami perubahan penggunaannya dari musik gereja kepada
musik adat masyarakat Batak Toba, musik tiup yang awalnya dikenal sebagai
35
Lihat J.R. Hutauruk, 2010 hal. 26.
36
Sebagian masyarakat memiliki budaya lokal yang kuat dan dilatari oleh agama suku atau
agama tribal menaruh lex non scripta bahwa semua yang milik sendiri adalah yang paling mulia dan
semua yang di luar lingkungannya dianggap buruk. Lihat selanjutnya, penekanan oleh kolonial
Belanda terhadap upacara-upacara ritual parugamo Batak Toba menunjukkan legimitasi dari misi
kekristenan oleh badan zending dan pelarangan yang terjadi secara periodik dan setengah hati oleh
gereja, karena bagian-bagian tertentu dari upacara adatnya dianggap bertentangan dengan
kepercayaan Kristen (Van Den End, 1989:308)
122
ensambel musik yang terdiri atas istrumen
logam, lambat laun mengalami
perkembangan dengan mengkolaborasikan berbagai alat musik tiup logam tersebut
dengan berbagai alat musik tradisional Batak Toba. Di antara musik tradisional
Batak Toba, instrumen yang paling sering dikolaborasikan dengan ensambel
tersebut adalah sulim, hasapi, garantung dan taganing. Namun di antara keempat
instrumen tersebut, yang paling instens digunakan dan masih tetap bertahan hingga
saat ini adalah sulim.
Pada tahun 1980-an, masa kejayaan Opera Batak mulai meredup dan
hampir tidak kedengaran lagi. Meski Opera Batak semakin redup namun tidak
demikian halnya dengan eksistensi
sulim sebagai salah satu instrumen
pendukungnya. Setelah habisnya masa kejayaan Opera Batak di akhir tahun 1970an, eksistensi sulim masih terus berlanjut hingga kepada lahirnya fenomena musik
tiup yang sangat dikenal pada era tahun 1980-an.
Menurut Marsius Sitohang, tidak diketahui secara pasti siapa yang pertama
sekali yang mempopulerkan instrumen sulim ke dalam ensambel musik tiup. Beliau
mengatakan bahwa awal tahun 1980-an sudah ada group musik yang memadukan
ensambel musik tiup logam dengan alat musik tradisional Batak Toba. Namun
awalnya keberadaan group tersebut masih kurang diterima di tengah-tengah
masyarakat Batak Toba. Hal ini terjadi karena adanya anggapan bahwa masyarakat
Batak Toba yang telah menganut kepercayaan Kekristenan kembali lagi kepada
kepercayaan tradisional yang menggunakan alat musik tradisi yang identik dengan
kemagisan. Hingga pada tahun 1987, dibentuklah sebuah group musik Batak yang
bernama Horas Musik, dimana Marsius Sitohang juga turut menjadi salah satu
personil yang mempopulerkan sulim pada masa itu.
123
Beliau juga menambahkan bahwa dengan kehadiran Horas Musik sebagai
group musik baru yang berperan sebagai pengiring acara-acara adat masyarakat
Batak Toba ternyata memberikan dampak yang cukup besar bagi eksistensi group
musik Batak Toba pada masa itu. Dengan hadirnya konsep baru yang ditawarkan
oleh Horas Musik, penggabungan alat musik tradisional dengan ensambel musik
tiup mulai diterima. Menurut beliau, hal ini disebabkan oleh penyajian musik yang
mereka tampilkan memiliki keunikan tersendiri dibandingkan group musik Batak
Toba yang lain. Keunikan tersebut terlihat ketika mereka menyuguhkan musik yang
memadukan musik modern dengan musik tradisional dengan membawakan
berbagai lagu populer pada masa itu dan ditambah dengan masuknya lagu-lagu
gereja yang juga mampu dibawakan oleh alat musik tradisional yang akhirnya
menghilangkan paradigma bahwa alat musik tradisi hanya mampu membawakan
lagu-lagu Batak Toba saja.
37
Sulim sebagai salah satu instrumen tradisional menjadi sebuah sosok yang
paling disorot pada masa itu. Sebab di antara alat musik tradisional yang lain, sulim
merupakan instrumen utama yang berfungsi membawakan melodi dari setiap lagu
atau repertoar yang disajikan. Di samping ada berbagai instrumen lain yang juga
mampu sebagai instrumen melodis, sulim seakan menjadi instrumen yang paling
menonjol di antara berbagai instrumen melodis lainnya. Karena sulim biasa
ditampilkan dengan improvisasi nada yang unik dan berbeda serta menjadi daya
tarik tersendiri bagi pendengarnya. Tentunya kemahiran serta profesionalitas
37
Tidak dapat dipungkiri bahwa populariitas Marsius Sitohang yang mendunia pada saat
itu juga berpengaruh terhadap pola pikir sebagaian masyarakat Batak Toba yang kemudian secara
perlahan dapat menerima keberadaan sulim ini dalam konteks adat, agama, maupun hiburan. Pada
masa ini, Marsius juga dikenal sebagai Si Raja Seruling Batak.
124
sipemain juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan sulim menjadi
perhatian bagi barang siapa yang menyaksikan penampilan musik tersebut.
Banyak orang bahkan berbagai musisi tradisional Batak Toba menganggap
bahwa Marsius Sitohang merupakan salah satu pencetus masuknya sulim ke dalam
ensambel musik tiup logam yang kemudian menjadikan Horas Musik menjadi
barometer group musik Batak Toba pada masa itu. Sehingga dengan kehadiran
group Horas Musik tersebut, seiring perkembangan zaman banyaklah bermunculan
berbagai group musik Batak Toba yang lain dengan sajian yang sama dengan porsi
yang berbeda-beda.
Perkembangan musik tiup dari era 1980-an hingga pada masa kini sudah
menunjukkan berbagai fenomena perubahan baik dari segi komposisi musik
maupun formasi alat musik yang disajikan. Jika kita membandingkan dengan musik
tiup yang disuguhkan pada masa kini, sudah merupakan hal yang wajar apabila
hanya menampilkan tiga instrumen saja dalam satu ensembel seperti sulim,
keyboard (kibot), taganing, dan sulim yang bahkan sesungguhnya tidak ada satupun
diantara beberapa instrumen tiup logam tersebut ditampilkan yang harusnya
menjadi ciri khas dari musik tiup itu sendiri. Oleh karena itu, seiring perkembangan
zaman pandangan masyarakat Batak Toba terhadap eksistensi musisi Batak Toba
juga berubah, yakni walau hanya biasa menggunakan ketiga instrumen seperti
keyboard, taganing, dan sulim tanpa didukung adanya beberapa alat musik tiup
logam para musisi tersebut kadang-kadang juga masih dianggap sebagai pemusik
38
tiup.
38
Sebagaimana sudah disebutkan pada bab-I, nama lain dari formasi sulim, kibot, taganing
ini disebut Sulkibta (Sulim, Kibot, Taganing).
125
4.2.3 Konteks pengiring lagu
Konteks pengiring lagu yang penulis maksudkan di sini adalah terkait
dengan peran sulim yang digunakan sebagai musik pengiring dalam berbagai lagu
sekuler maupun rohani, atau baik dalam konteks gerejawi maupun non-gerejawi.
Dalam konteks gerejawi akan berkaitan erat dengan perkembangan musik gerejawi,
sedangkan konteks non-gerejawi berkaitan erat dengan peran sulim dalam
mengiringi lagu-lagu sekuler baik yang dibawakan oleh penyanyi solo, grup vokal,
atau pun paduan suara di berbagai acara baik yang sifatnya formal atau pun nonformal.
Dewasa ini sudah tidak asing lagi jika kita melihat berbagai musik tradisi
Batak Toba seperti taganing, hasapi dan khususnya sulim sering digunakan sebagai
media pengiring di berbagai acara dan pertunjukan, baik formal maupun nonformal seperti di gereja-gereja, gedung-gedung pertunjukan, gedung-gedung
penyelengaraan acara-acara akademis, dan lain sebagainya. Di gereja kita akan
melihat bahwa alat musik tradisi Batak Toba khususnya sulim sudah digunakan
baik ketika mengiringi ibadah maupun ketika mengiringi berbagai lagu yang
dinyanyikan oleh paduan suara gerejawi pada acara ibadah tertentu. Kemudian di
berbagai gedung pertunjukan seringkali kita melihat sulim digunakan untuk
mengiringi acara konser musikal baik vokal solo, grup vokal, maupun paduan
suara.
Jika kita tinjau kembali, sesungguhnya era penggunaan sulim sebagai media
pengiring lagu sudah berlangsung sejak masa kejayaan opera Batak di era 1920-an
hingga 1970-an. Namun, saat itu sulim bersama dengan instrumen tradisional Batak
Toba yang lain digunakan hanya untuk mengiringi vokal dari penyanyi opera Batak
saja tanpa adanya perkembangan yang signifikan di bidang vokal yang lain. Hal ini
126
mungkin terjadi karena masih kentalnya budaya opera Batak di tengah-tengah
masyarakat pendukungnya, dan minimnya wawasan bermusik masyarakat Batak
Toba untuk membuat inovasi baru pada masa itu, sehingga mengakibatkan
instrumen pengiringnya hanya digunakan untuk kepentingan itu semata.
Seiring berkembangnya zaman, dari era opera Batak
hingga zaman
sekarang ini eksistensi sulim sebagai media pengiring berbagai genre lagu terus
berkembang sesuai dengan kebutuhannya. Jikalau kita bandingkan mulai dari era
1970-an hingga masa sekarang ini, dapat melihat adanya fleksibilitas penggunaan
sulim dalam konteks pengiring lagu. Selain ketika digunakan sebagai media untuk
mengiringi lagu opera Batak, sulim juga kerap digunakan untuk mengiringi
berbagai genre lagu yang lain seperti lagu pop daerah (baik etnis Batak Toba
maupun etnis Batak yang lain) dan berbagai lagu sekuler lainnya yang biasa
dibawakan oleh seorang vokal solo, group vokal, bahkan paduan suara.
Keberlangsungan penggunaan sulim dalam mengiringi berbagai genre lagu
tersebut juga memberikan dampak tersendiri bagi eksistensi instrumen Batak Toba
yang lain seperti hasapi dan taganing. Dalam keberadannya, ketiga instrumen
tersebut (sukim, hasaoi, taganing) sangat kerap disandingkan bersama ketika
mengiringi berbagai lagu khususnya lagu yang bernuansa daerah Batak Toba.
Meskipun demikian, peran sulim tidak malah lazim dikatakan sejajar dengan kedua
instrument yakni hasapi, dan taganing. Sebab dalam kenyataanya, banyak orang
beranggapan bahwa lagu daerah Batak Toba itu akan terasa kental nuansa bataknya
ketika adanya paduan (gabungan) antara unsur alunan melodi sulim dengan petikan
hasapi serta tabuhan taganing di dalamnya. Meskipun hanya menyertakan sulim
bersama taganing ataupun paduan antara sulim dengan hasapi, masyarakat masih
menganggap bahwa lagu tersebut masih kerap dinikmati oleh sipendengar
127
khususnya masyarakat Batak Toba. Bahkan terkadang meskipun hanya diiringi
instrumen sulim saja. Namun sebaliknya jika lagu tersebut hanya diiringi hasapi
atau taganing sekalipun tanpa kehadiran sulim, masyarakat menilai bahwa seakan
39
ada hal yang kurang terasa dinikmati di dalam lagu tersebut . Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa eksistensi sulim memiliki peranan penting bagi
keberlangsungan musik Batak Toba khususnya dalam konteks pengiring berbagai
genre lagu Batak Toba.
4.2.4 Konteks kolaborasi instrumen
Konteks kolaborasi insturmen yang penulis maksudkan di sini adalah bahwa
sulim juga telah digunakan bersama instrumen yang lain di luar instrumen
tradisional Batak Toba baik itu instrumen Barat maupun instrumen tradisional
Batak atau etnis yang lain.
Hendrik Parangin-angin selaku seorang musisi yang dikenal multi talenta
dalam memainkan berbagai instrumen Barat dan tradisional, baik Batak Karo
maupun etnis Batak yang lain mengatakan bahwa konsep kolaborasi musikal seperti
penulis maksudkan di atas sudah berlangsung sejak awal 1990-an. Saat itu sebuah
group yang bernama Incidental Music mulai dirintis oleh beliau sendiri yang
berperan sebagai pimpinan group. Bahkan masyarakat mengganggap bahwa
Incidental Music yang merupakan sebuah group yang bergenre World Music adalah
sebuah group yang mempelopori hadirnya konsep kolaborasi multi instrumen
tersebut di kota Medan. Sebab menurut pengakuan berbagai kalangan masyarakat,
39
Asumsi ini dikutip dari berbagai golongan masyarakat Batak Toba khususnya jemaatjemaat gereja yang sudah kerap mendengarkan lagu yang dibawakan oleh paduan suara atau vokal
group yang biasa ditampilkan dengan menghadirkan musik tradisional Batak Toba.
128
sebelum hadirnya suguhan musik yang ditampilkan oleh Incidental Music, belum
pernah ada sebelumnya terdengar kolaborasi dengan konsep demikian.
Namun seiring berkembangnya popularitas Incidental Music yang mulai
memperoleh legitimasi (pengakuan) serta mendapat tempat di hati masyarakat
pendukungnya, kemudian di awal tahun 2000-an mulailah banyak dibentuk
berbagai group lain dengan gaya atau genre yang hampir sama dengan Incidental
Music seperti Cindai, Sumateran Ethnic, Metronom dan lain-lain.
40
Jika berbicara tentang struktur melodi yang dimaikan oleh sulim ketika
dipadukan bersama dengan instrumen yang lain, penulis memandang bahwa
struktur melodi yang dimainkan selalu didasarkan pada konsep dan komposisi lagu
yang disajikan. Jikalau tema komposisi tersebut bernuansa repertoar musik Batak
Toba, maka gaya permainan atau alur melodi yang dimainkan persis sama dengan
ketika memainkan instrumen tersebut dalam sebuah ensambe uning-uningan Batak
Toba. Artinya, teknik yang dimainkan tidak jauh berbeda dari yang biasa
ditampilkan pada saat memainkan lagu atau repertoar bersama instrumen-instrumen
Batak Toba yang lain. Yang menjadi keunikannya adalah hanya terletak pada
adanya berbagai instrumen Barat dan tradisional lain yang berperan untuk
memperindah serta memperkaya konsep musikal yang dimainkan.
Namun ketika tema komposisi lagu tersebut bernuansa musik Barat atau pun
di luar tema musik Batak Toba, konsep penggunaan sulim sedikit berbeda atau
keluar dari yang biasanya. Jika biasanya sulim digunakan untuk memainkan alur
melodi yang bernuansa Batak Toba sebagai ciri khasnya, dalam konteks ini
fungsinya sedikit bergeser sebagai instrumen yang mampu memainkan peran
ganda. Peran ganda sulim yang dimaksud adalah terkadang dimainkan berdasarkan
40
Lihat, Jefri Hutagalung, 2011 hal. 2.
129
gaya permainan sulim sebagaimana biasanya, tetapi juga terkadang dimainkan
dengan menggunakan teknik-teknik yang kerap ada dalam gaya permainan flute
yang sedikit banyak memiliki karakteristik permainan yang berbeda dari sulim.
Gaya musikal teknik permainan seperti staccato, slur, arpeggio
41
dan lain
sebagainya kerap digunakan untuk menambah serta memperkaya pola permainan
yang ada pada sulim itu sendiri. Oleh karena itu penulis menilai bahwa hadirnya
sulim sebagai unsur pembawa melodi dengan kekayaan karakter dalam memainkan
setiap komposisinya menjadi keunikan tersendiri bagi para pendengar khususnya
kalangan masyarakat yang mampu beradaptasi dengan budaya Barat atau budaya
lain di luar budaya Batak Toba.
41
Staccato ialah cara membunyikan nada-nada; terpisah, satu persatu dengan tajam; slur
ialah busur, legato (bersambung); arpeggio ialah permainan nada-nada dengan cepat secara
berurutan seperti petikan pada alat arpa (Latifah Kodijat, 1983 hal. 5, 67, 70.)
130
BAB V
TRANSKRIPSI DAN ANALISIS MELODI SULIM
5.1 Trankripsi
Sebelum melakukan kerja analisis, langkah pertama yang dikerjakan ialah
mengubah bunyi musik ke dalam lambang visual melalui sebuah proses kerja yang
disebut transkripsi. Nettl mengatakan bahwa transkripsi adalah proses menotasikan
bunyi, mengalihkan bunyi menjadi simbol visual, atau kegiatan memvisualisasikan
42
bunyi musik ke dalam bentuk notasi dengan cara menuliskannya ke atas kertas.
Walaupun kegiatan mentranskripsi musik tradisional dalam bentuk notasi
visual sejak lama telah dianggap sebagai tugas yang esensial, berat dan sukar bagi
para etnomusikolog/musikolog/musisi seniman, namun untuk melihat dan
memahami bunyi musik sebagai produksi dari tata tingkah laku masyarakat
pemiliknya dalam bentuk visual, maka tidak ada cara lain kecuali melakukan
transkripsi terhadap bunyi musik yang akan dideskripsikan itu.
Pada umumnya dalam budaya oral, notasi yang digunakan ialah notasi
konvensional Barat, hal ini menjadi alternatif pilihan yang paling besar
kemungkinannya digunakan, terutama jika dalam budaya musikal yang diteliti tidak
tersedia sistem penulisan notasi musik.
43
Dari pengamatan yang dilakukan oleh beberapa ahli, memang terdapat
kelemahan yang serius terhadap hasil transkripsi yang menggunakan notasi musik
(Barat) yang konvensional. Hal ini disebabkan:
42
43
Nettl, op. cit., 98.
Supanggah, op. cit., 13.
131
a.
Pertama, notasi ini terlalu subyektif, yaitu telinga manusia tidak mampu
menerima atau menangkap apa saja yang disajikan (dalam musik yang akan
ditranskripsi), sekalipun rekaman itu diulang berkali-kali, dan juga ketajaman
persepsi individual dari si pentranskripsi yang berbeda-beda.
b.
Kedua, notasi musik Barat bukan didesain untuk musik tradisi lisan (lihat
Seeger, 1958).
c.
Ketiga, sejauh ini belum ada satu notasi visual pun yang dirancang, termasuk
notasi Barat dengan tanda-tanda khusus untuk nada-nada non-konvensional dan
lain-lain, yang dapat mewakili, seperti kualitas suara yang asli, cara-cara yang
penting dalam memproduksi bunyi vokal atau intrumental, dan sebagainya.
44
Untuk itu keterbatasan notasi musik Barat haruslah disadari apabila kita
hendak melakukan suatu transkripsi yang detail, sebagaimana di kemukakan oleh
Singer. “The limitations of our Western musical notation must be taken into
consideration, particularly when attempting a detailed transcription”.
45
44
Masalah di atas kemudian dapat dipecahkan dengan diciptakannya oscilograph,
sonagraph, dan melograph. Melograph model C yang dibuat oleh Charles Seeger dapat
menganalisis suara secara sangat detail serta dapat menghasilkan gambar dari rekaman nada-nada,
amplitudo, dan spektrum bunyi pada saat bersamaan ke dalam bentuk sebuah film grafik. Akan
tetapi sekalipun peralatan ini mempunyai sifat obejektif, namun terdapat kelemahan-kelemahan dari
informasi yang diberikannya, dan terdapat pula sejumlah materi yang tidak dapat dianalisis dengan
menggunakan alat ini. Di satu sisi alat ini memberikan informasi lebih banyak dari yang diperlukan
(sehingga sulit untuk dipelajari), artinya alat ini mampu menangkap lebih banyak dibanding daya
tangkap telinga manusia, padahal sebuah transkripsi haruslah berdasar kepada apa yang dapat
diterima oleh indera pendengaran manusia, dengan kata lain tujuan dari pentranskripsian adalah
untuk mencatat hal-hal yang esensial, serta menghindari hal-hal yang dipandang tidak esensial.
Untuk itulah kemudian penggunaan notasi (Barat) dalam pentranskripsian suatu musik tetap dipakai
sesuai kepentingan dan kegunaannya. Ibid., 14-15. Lihat juga Barbara Crader, “Ethnomusicology,”
dalam Stanley Sadie, The New Grove Dictionary of Music and Musicians (London, New York:
Macmillan Publisher Limited, 1980), 117.
45
Roberta L. Singer, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse in
Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University Archieve, 1978), 113.
132
Namun demikian Nettl (1975) mengatakan bahwa untuk menemukan ciriciri yang mendasari musik yang diteliti, notasi konvensional Barat dapat digunakan,
tetapi dengan membubuhkan tanda-tanda khusus yang berguna untuk memberikan
46
kejelasan pada musik yang ditranskripsikan itu.
Hal ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Pandora Hopkins, bahwa kita menggunakan notasi karena
adanya keinginan untuk menunjukkan bahwa notasi itu adalah sebagai fenomena
yang telah memiliki arti bagi pemakainya, dan dengan notasi dapat memberikan
materi yang bernilai untuk perbandingan.
47
Lagipula, “Transcription, therefore,
are needed to visualize what we near, to enable us to study musics comparatively
and in detail, and to help us communicate to others what we think we heard”.
48
Demikianlah Phylis M. May berpendapat bahwa transkripsi diperlukan untuk
memvisualisasikan apa yang didegar yang memungkinkan untuk membantu
mempelajari musik secara komparatif dan detail, serta membantu untuk
mengkomunikasikannya kepada pihak lain tentang apa yang dipikirkan dari apa
yang didengar itu. Meskipun sesungguhnya mentranskripsikan bunyi musik ke
dalam bentuk visualisasi tidak akan pernah bisa sama persis sebagaimana ketika
musik itu disajikan.
49
Dalam melakukan pentranskripsian, ada dua jenis fenomena musikal yang
biasanya menjadi persoalan bagi sang transkriptor:
46
Bruno Nettl, The Study of Ethnomusicology: Twenty-nine Issues and Concepts
(Chicago: University Press, 1983), 16.
47
Pandora Hopkins, “The Purpose of Transcription”, dalan Journal for the Society of
Ethnomusicology (Ann Arbor Michigan, 1966), 316.
48
Phylis M. May, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse in
Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University Archieve, 1978), 109.
49
Transkripsi pada umumnya pasti dipengaruhi oleh interpretasi si transkriptor terhadap
karakter-karakter musik itu. Oleh sebab itu tidak akan dapat dihindari atau akan ada muncul
perbedaan-perbedaan akan sebuah segmen musikal dari dua orang atau lebih dalam
mentranskripsikan suatu musik. Lihat juga Nettl, Theory and Method, op.cit., 99.
133
1)
Fenomena yang tidak dapat digambarkan oleh simbol-simbol sistem notasi
konvensional (Barat), dan
2)
Fenomena yang terlalu rumit (Inggris: detailed) untuk bisa dinotasikan.
Persoalan pertama dapat dipecahkan dengan menggunakan simbol-simbol
tambahan, sedangkan persoalan kedua pada umumnya tidak ada pemecahannya. Hal ini dapat dimengerti bila mengingat kerumitan bunyi musikal,
seperti terjadinya pergeseran-pergeseran tinggi rendahnya nada yang sangat
halus pada saat sebuah nada dinyanyikan atau perbedaan yang begitu kecil
dalam nilai (ritmis) di antara nada yang nilainya kurang lebih sama, dan lain
sebagainya.
50
Sebagaimana dikemukakan oleh Seeger (1958), dalam melakukan
transkripsi terdapat dua jenis notasi musik berdasarkan tujuan dan penggunaannya.
Kedua notasi itu ialah, notasi preskriptif dan notasi deskriptif, dan karena itu
pentranskripsian pun dibedakan atas transkripsi preskriptif (Inggris: prescriptive)
dan transkripsi deskriptif (Inggris: descriptive).
Transkripsi preskriptif ialah pencatatan bunyi musikal ke dalam lambang
notasi dengan hanya menuliskan nada-nada pokoknya saja. Notasi seperti ini
umumnya dipakai hanyalah sebagai petunjuk bagi para pemusik atau sebagai alat
pembantu untuk si penyaji supaya ia dapat mengingat (apa yang telah dipelajarinya
secara lisan).
50
Masalah serupa pernah juga dihadapi para ahli linguistik (ilmu bahasa), yang kemudian
telah dipecahkan dengan cara membedakan antara fonetik dan fonemik. Fonetik adalah penelaahan
bunyi-bunyi ucapan suatu bahasa sebagaimana adanya; fonemik adalah penelaahan perbedaanperbedaan antara bunyi-bunyi ucapan yang dapat membentuk perbedaan arti dalam suatu bahasa
tertentu. Kedua pendekatan ini (barangkali) dapat juga diterapkan dalam pentranskripsian musik.
Notasi fonemik ialah pemakaian sistem notasi yang terdapat pada budaya pemilik musik tersebut
(jika ada), sedangkan notasi fonetik ialah pencatatan bunyi musikal dengan menggunakan sistem
notasi konvensional (Barat). Ibid., 104-105.
134
Sedangkan transkripsi deskriptif ialah menuliskan bunyi musikal ke dalam
lambang notasi (konvensional Barat) secara detail menurut apa yang dapat
ditangkap oleh indera pendengaran si transkriptor dengan maksud untuk
menyampaikan ciri-ciri dan detail-detail komposisi musik yang belum diketahui
oleh pembaca.
51
Sistem notasi konvensional Barat (notasi balok) tersebut digunakan dengan
pertimbangan bahwa:
a. pada budaya tradisi musikal yang diteliti tidak ditemukan sistem
penulisan musik,
b. para etnomusikolog/musikolog pada umumnya selalu menggunakan
notasi balok dalam mentranskripsikan musik non-Barat, terutama pada
budaya dimana musik itu berada tidak terdapat sistem penulisan musik,
c. notasi ini sudah dikenal secara umum terutama dikalangan akademisi,
d. sangat membantu dalam melihat struktur musik melalui tinggirendahnya nada pada setiap lintasan melodi (melodic line), atau dalam
membedakan durasi sebuah not dengan durasi not lainnya, serta tandatanda musik lainnya yang secara umum lebih mudah dipahami oleh
pembaca, dan tentu saja hal ini akan lebih memudahkan dalam
melakukan kerja analisis.
5.2 Analisis
Dalam Webster’s Third New International Dictionary of the American
Language disebutkan bahwa analisis adalah pemisahan suatu kesatuan ke dalam
51
Ibid., 99.
135
unsur-unsur fundamental atau bagian-bagian komponen. 52 Tujuannya ialah untuk
menguji sifat-sifat dan konotasi-konotasi dari sebuah konsep, ide, atau pun wujud.
Dengan demikian, hasil akhir dari sebuah analisis adalah pemisahan atas sifat-sifat
sebuah objek, baik dilihat secara keseluruhan maupun secara terpisah. Selanjutnya,
dari hasil analisis tersebut diharapkan dapat menambah pengetahuan, menerangkan,
mengujicoba, dan merancang bagian-bagiannya secara umum, mengikuti logika
keilmuan dan harus memiliki alasan-alasan tertentu yang jelas.53
Membincangkan analisis musikal sama halnya dengan membincangkan
setiap unsur-unsur bermakna yang tertuang di dalam sebuah musik. Dilakukannya
analisis terhadap masing-masing unsur musikal itu ialah karena ada tujuan untuk
menjelaskan unsur bermakna tersebut. Namun sebagaimana dikatakan oleh Nicolas
Cook, bahwa hingga saat ini belum ada metode analisis oral maupun formal
tunggal yang sudah baku dan berlaku secara umum yang dapat dipakai untuk
menganalisis musik secara menyeluruh.
There is not any one fixed way of starting an analysis. It depends of the
music, as wel as on the analyst and the reason the analysis is being done. But there
is a presequisite to any sensible analysis, an this is familiarity with the music.54
Selanjutnya dapat dikatakan bahwa analisis adalah suatu pekerjaan lanjutan
setelah selesai melakukan transkripsi komposisi musik. Melalui proses analisis
tersebut akan diperoleh gambaran tentang gaya atau prinsip-prinsip dasar struktur
musikal yang tersembunyi dibalik komposisi musik itu.
52
Philip B. Gove, Webster’s Third New International Dictionary of the American
Language (New York: The World Publishing Company, 1966), 77.
53
Marcia Herndorn, “Analisis Struktur Musik Dalam Etnomusikologi.” seperti naskah
terjemahan M. Takari, Perikuten Tarigan (Medan: Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara, 1994), 4.
54
Nicolas Cook, A Guide to Musical Analysis (London & Melbourne: J.M. Dent & Sons
Ltd, 1987), 237.
136
Berkenaan dengan gaya atau prinsip dasar struktur musikal, Willy Apel
mengatakan bahwa gaya adalah unsur atau elemen penting yang sangat
berhubungan dengan struktur suatu komposisi. Unsur atau elemen dimaksud ialah
bentuk (Inggris: form), melodi (Inggris: melody), maupun ritme atau irama (
Inggris: rhythm).55
Di pihak lain, Titon dan Slobin mengatakan bahwa gaya adalah sesuatu
yang terdapat dan terorganisasi di dalam musik itu sendiri, seperti elemen nada,
elemen waktu, elemen suara, dan intensitas bunyi. Elemen nada itu sendiri terdiri
dari; tangga nada (Inggris: modus), melodi, dan sistem laras; elemen waktu terdiri
dari; birama (Inggris: metrum), dan irama (Inggris: rhythm); elemen suara terdiri
dari kualitas suara, kualitas bunyi instrumen; dan elemen intensitas bunyi yaitu
keras lembutnya bunyi suatu musik (dinamika).56
Selanjutnya, oleh Nettl dikatakan bahwa suatu komposisi musik di dalam
suatu tradisi musikal akan pula memiliki kumpulan karakter atau gaya yang sama
dengan karakter-karakter pada komposisi lainnya di dalam ruang lingkup tradisi
kebudayaan dimana musik itu berada.57
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya adalah elemen-elemen
musikal yang dijadikan sebagai dasar atau perangkat untuk membangun musik
hingga menghasilkan sebuah komposisi musik.
Dalam melakukan analisis, selain metode-metode di atas dapat juga
dikombinasikan dengan metode weighted scale (“bobot tangga nada”) dari William
55
56
57
Willy Apel, op. cit., 811.
Titon dan Slobin, op. cit., 5.
Nettl, Theory and Method. op. cit. 169.
137
P. Malm serta langkah-langkah description of musical compositions yang
ditawarkan oleh Bruno Nettl.
Malm mengatakan bahwa gaya musikal berkaitan dengan dua hal yang
tidak terpisahkan, yaitu melodi dan ritme atau ruang dan waktu. Unsur melodi
berkaitan dengan ruang, dimana setiap nada dalam garis melodi bergerak sesuai
dengan tinggi rendahnya nada. Sementara ketinggian dan kerendahan nada
mempunyai durasi secara panjang dan pendek yang dalam hal ini merupakan unsur
dari ritme. Dengan perkataan lain, ritme berkaitan dengan waktu, dimana setiap
nada dalam melodi memiliki durasi yang berbeda-beda, dan dengan perbedaan
durasi itulah tercipta gerak melodi yang harmonis.
Unsur-unsur yang berkaitan dengan melodi terdiri dari:
(1) tangga nada (Inggris: modus),
(2) nada dasar (Inggris: pitch centre),
(3) wilayah nada (Inggris: range),
(4) jumlah nada-nada,
(5) jumlah interval,
(6) pola-pola kadensa,
(7) formula-formula melodik,
(8) kontur,
(9) durasi,
(10) ritme,
(11) frase dan kalimat, serta
(12) periode atau siklus.
138
Yang berkaitan dengan dimensi waktu yaitu:
(1) tempo,
(2) pulsa,
(3) ketukan,
(4) pola dan motif, serta
(5) birama.58
Dipihak lain Bruno Nettl mengatakan bahwa untuk mendeskripsikan komposisi
musikal harus memperhatikan unsur-unsur berikut:
(1) perbendaharaan nada,
(2) tangga nada (Inggris: modus),
(3) tonalitas,
(4) interval,
(5) kantur melodi,
(6) ritme,
(7) tempo, dan
(8) bentuk.59
Tabel-2
Unsur-unsur gaya dalam sebuah komposisi musik
(menurut beberapa ahli)
Willi Apel
Titon & Slobin
William P.Malm
Bruno Netll
bentuk*
-
tangga nada (modus)*
bentuk*
tangga nada (modus)*
melodi*
-
melodi*
nada (sistem laras)*
formula melodi*
tangga nada (modus)*
jlh nada-nada*
58
59
Malm, op. cit., 7.
Netll, Theory and Method. op. cit., 145-149.
139
perbendaharaan
nada*
ritme
(irama)**
-
irama (ritme)**
ritme**
ritme**
birama**
vokal*
bunyi instrumen*
dinamika*
-
metrum**
nada dasar*
jumlah interval*
wilayah nada*
pola-pola kadensa*
kontur*
durasi**
frase dan kalimat*
periode atau siklus*
tempo**
pulsa**
ketukan (maat)**
pola dan motif**
tonalitas*
interval*
kontur*
tempo*
-
Keterangan:
* = berhubungan dengan unsur waktu
** = berhubungan dengan unsur melodi.
5.3 Pemilihan Sampel Lagu
Dalam kajian analisis transkripsi ini, penulis hanya memilih sebuah sampel
lagu untuk dianalisis berdasarkan metode weighted scale (“bobot tangga nada”)
dari William P. Malm. Namun dari seluruh unsur yang dikemukakan oleh Malm,
penulis hanya mengambil beberapa unsur pokok saja yaitu:
1) tangga nada
2) modus
3) wilayah nada
4) interval
5) pola kadensa
6) formula melodi (bentuk)
7) identifikasi tema (thematic material)
8) kontur melodi
140
Ada 4 jenis komposisi melodi sulim yang penulis transkripisikan sebagai
bentuk dari permainan melodi sulim terkait dengan konteks penggunaannya.
Keempat jenis tersebut penulis cantumkan dengan alasan bukan berdasarkan masa
atau periode penggunaanya, namun lebih ditujukan berdasarkan bahwa keempat
komposisi tersebut mewakili keempat konteks penggunannya mulai dari ketika
digunakan dalam konteks solo, konteks ensambel (dalam hal ini penulis hanya
memilih contoh uning-uningan opera Batak), konteks pengiring lagu (dalam hal ini
penulis hanya mengambil contoh dalam mengiringi Paduan Suara), dan konteks
kollaborasi dengan instrumen yang lain. Namun di antara keempat komposisi
tersebut, penulis hanya mengambil sebuah sampel untuk dianalisis yakni ketika
sulim dimainkan dalam mengiringi lagu Paduan Suara.
Ada berbagai faktor yang menjadi pertimbangan penulis untuk memilih
komposisi melodi tersebut untuk dianalisis, yakni karena :
1) Menurut hemat penulis, pola permainan sulim ketika dimainkan dalam konteks
solo, ensambel, maupun kollaborasi musik sedikit banyak memiliki persamaan
yakni memainkan peran dalam membawakan melodi berdasarkan lagu atau
repertoar yang dimainkan. Sedangkan ketika dalam mengiringi lagu oleh
paduan suara, sulim sedikit keluar dari perannya sebagai pembawa melodi
utama dan terkesan memainkan motif melodi yang baru.
2) Alur melodi sulim yang dimainkan pada lagu tersebut sedikit lebih bervariasi
dan jangkauan nada yang lebih luas dibandingkan dengan ketika dimainkan
pada lagu yang lain sehingga tidak menimbulkan kesan monoton.
3) Pola permainan sulim didalam mengiringi paduan suara kelihatan lebih tertata
dengan rapi dibandingkan dengan ketika dimainkan pada lagu yang lain, walau
kemungkinan hal itu juga bisa saja disebabkan oleh kemampuan sipemain
141
sulim itu sendiri ataupun hal yang lain. Namun, dalam hal ini di antara keempat
komposisi tersebut (yang ditranskripsi oleh penulis) penulis melihat bahwa
komposisi ini lebih memiliki keunikan dibandingkan dengan komposisi sulim
yang lain. Keunikannya menurut hemat penulis adalah komposisi sulim dalam
mengiringi paduan suara masih menjadi hal yang baru untuk dianalisis,
sementara komposisi yang lain sudah menjadi hal yang biasa untuk dikaji.
5.4 Kajian Analisis
Dalam kajian analisis, penulis membagi proses kerja menjadi dua bagian :
a. Pertama, penulis melakukan kajian analisis gaya musikal sama seperti yakni
sama seperti yang dipaparkan sebelumya oleh Malm. Dalam hal ini penulis
hanya mengambil sebuah sampel dari keempat komposisi yang telah penulis
transkripsikan.
b. Kedua, penulis kemudian melakukan kajian analisis ciri musikal. Analisis
ciri musikal yang penulis maksudkan lebih mengarah kepada hal yang
bersifat deskriptif, yakni penjelasan secara umum tentang ciri-ciri musikal
dari gaya permainan sulim pada masing-masing komposisi. Dalam hal ini
penulis akan mendeskripsikan ketiga komposisi (yang ditranskripsikan oleh
penulis) selain dari komposisi yang telah dianalisis sebelumnya (analisis
gaya musikal).
142
5.4.1 Analisis gaya musikal
143
5.4.1.1 Analisis tangga nada
Sebagaimana
dikemukakan
oleh
Nettl
bahwa
cara-cara
untuk
mendeskripsikan tangga nada adalah dengan menuliskan semua nada yang dipakai
dalam membangun sebuah komposisi musik tanpa melihat fungsi masing-masing
nada tersebut dalam lagu.
Selanjutnya,
tangga
nada
tersebut
digolongkan
menurut
beberapa
klasifikasi, menurut jumlah nada yang dipakai. Tangga nada ditonic (dua nada),
tritonic (tiga nada), tetratonic (empat), pentatonic (lima nada), hexatonic (enam
nada), heptatonic (tujuh nada). Dua nada dengan jarak satu oktaf biasanya dianggap
satu nada saja.60
Maka jika dilihat dari nada-nada yang dimainkan dalam komposisi di atas,
lagu tersebut tersusun atas nada-nada :
60
Nettl, Theory and Method. op. cit., 145.
144
Sesuai dengan penjelasan di atas, dua nada dengan jarak satu oktaf biasanya
dianggap satu nada saja. Maka, lagu tersebut tersusun atas 7 (tujuh) buah nada.
Dengan demikian tangga nada melodi sulim yang dimainkan pada komposisi
tersebut dinamakan heptatonic (tujuah nada).
5.4.1.2 Analisis modus
Sampai saat ini istilah modus belum mempunyai satu pengertian yang baku.
Dalam tulisan ini istilah modus dipakai untuk menunjukkan cara penggunaan nadanada dalam suatu komposisi. Misalnya, kalau kita membuat daftar nada-nada yang
dipakai dalam sebuah lagu, maka daftar itu adalah tangga nada lagu tersebut. Kalau
kita ingin mendeskripsikan modus lagu itu, paling tidak kita akan menyebut nada
mana yang berfungsi sebagai nada dasar (tonal center); nada-nada yang terpenting ;
nada-nada yang hanya dipakai sebagai nada awal atau pendamping nada lain, dan
lain sebagainya. Baik tangga nada maupun modus disampaikan lewat notasi.
Tangga nada ditulis pada paranada dengan harga-harga yang menandai
fungsi-fungsi nada dan membedakan nada yang sering dipakai dalam komposisinya
daripada nada yang jarang dipakai. Nada dasar ditulis sebagai not utuh; nada
penting lainnya sebagai not setengah, nada biasa sebagai not seperempat, nada
145
hiasan atau nada yang jarang muncul sebagai not seperdelapan atau seperenambelas, dan seterusnya semakin kecil menurut jumlah pemakaiannya. 61
Berikut ini merupakan modus dari komposisi di atas :
5.4.1.3 Analisis wilayah nada (ambitus)
Wilayah nada (ambitus) diperoleh dengan memperhatikan rentang jarak
(range) antara nada terendah dengan nada tertinggi dalam satu komposisi lagu.
Diukur dengan menggunakan satuan cent, laras atau interval.
Berdasarkan teori Ellis62 dikatakan bahwa 1 laras adalah setara dengan 200
cent atau ½ laras sama dengan 100 cent. Maka berdasarkan perhitungan di atas,
wilayah nada (ambitus) dari komposisi di atas adalah sebagai berikut :
Nada paling rendah
Nada paling tinggi
cent
laras
G
G’
1200
6
Nada paling rendah dan tinggi
cent
laras
1200
6
61
Ibid., 146.
62
Berdasarkan teori A. J. Ellis bahwa dalam satu oktaf tangga nada yang terdiri dari 6
[enam] laras setara dengan 1200 cent atau 1 laras sama dengan 200 cent, atau ½ laras setara dengan
100 cent. Ibid., 115-116.
146
5.4.1.4 Analisis interval
Interval ialah jarak antara satu nada ke nada berikutnya, naik maupun turun
berdasarkan jumlah laras yang mengantarai kedua nada tersebut. Berdasarkan
hukum musik, nama-nama interval telah ditentukan menurut jumlah nada yang
dipakai, sedangkan jenisnya ditentukan berdasarkan jarak kedua nada tersebut
dalam laras, seperti pada tabel berikut.
Tabel-3
Rumus Interval
Simbol interval Jlh
nada
1P
2M
3M
4P
5P
6M
7M
8P
9M
10M

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Jlh
laras
0
1
2
2,5
3,5
4,5
5,5
6,5
7,5
8,5
Nama dan jenis interval
Contoh
nada
prime perfect (murni)
sekunda mayor (besar)
Terts mayor (besar)
kwart perfect (sempurna)
kwint perfect (murni)
sekta mayor (besar)
septime mayor (besar)
oktaf Perfect (murni)
none mayor
decime mayor
C-C
C–D
C–E
C–F
C–G
C–A
C-B
C – c’
C – d’
C – e’
Catatan, interval besar (mayor, M) dikurang setengah laras menjadi interval kecil
(minor, m); interval murni (perfect, P) dan kecil (minor, m) dikurang setengah laras
menjadi interval kurang (diminish, dim); Sebaliknya, interval besar (mayor, M) dan
murni (perfect, P) ditambah setengah laras menjadi interval lebih (augumentasi,
Ag), sedangkan interval murni (perfect) tidak bisa menjadi interval besar ataupun
kecil.
Rumus interval
dim + ½ laras = m
m – ½ laras = dim
P – ½ laras = dim
m + ½ laras = M
M – ½ laras = m
M + ½ laras = Ag
Ag – ½ laras = M
P + ½ laras = Ag
Dengan demikian, berdasarkan hukum interval di atas maka interval untuk
komposisi melodi sulim di atas dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
147
Tabel-4
Frekuensi Pemakaian Interval
Lagu Tole Endehon
Simbol interval
Nama dan jenis interval
Jumlah interval
1P
Prime perfect (murni)
64
2m
Sekunda minor (kecil)
19
2M
Sekunda Mayor (besar)
126
3m
Ters minor (kecil)
43
3M
Ters Mayor (besar)
63
4P
Kwart perfect (sempurna)
30
5P
Kwint perfect (murni)
12
5.4.1.5 Analisis pola kadensa
Sebagaimana kalimat bahasa yang diberi tanda baca berupa koma dan titik,
maka demikian juga halnya dengan musik, juga diberi tanda baca melalui kadenskadens yang terdapat di dalamnya. Sebuah kadens adalah satu kerangka atau
formula yang terdiri dari elemen-elemen harmonis, ritmis, dan melodis yang menghasilkan efek kelengkapan yang bersifat sementara (kadens tak sempurna, kadens
gantung) dan yang permanen (kadens lengkap, sempurna).
Kadens yang berakhir pada nada tonal disebut kadens sempurna (lengkap),
sedangkan yang berakhir pada nada lain (seperti nada dominan atau sub-dominan)
disebut kadens gantung (tak sempurna). Analoginya dengan kalimat, kadens
sempurna itu merupakan titik; kadens gantung merupakan tanda tanya atau titikkoma. Sebuah frase yang berakhir pada kadens gantung (tak sempurna) disebut
148
frase anteseden dan biasanya kadens seperti ini akan segera pula diikuti oleh sebuah
frase konsequen yang berakhir dengan sebuah kadens sempurna (lengkap).63
Contoh kadens gantung dapat dilihat pada akhir bar yang ke-12 menuju bar yang
ke-13 :
Contoh kadens sempurna dapat dilihat pada akhir bar yang ke-12 menuju bar yang
ke-14 :
Dengan demikian, contoh frase anteseden dapat dilihat mulai dari bar yang ke-11
hingga bar yang ke-13 :
Maka frase konsequen dapat terlihat mulai dari bar yang ke-11 kemudian melompat
menuju bar yang ke-14 :
63
Hugh M. Miller, Introduction to Music: A Guide to Good Listening (Caloocun City,
Philippines: Philippines Graphic Art Inc., 1971), seperti naskah terjemahan Triyono Bramantyo,
“Apresisasi Seni” (Yogyakarta: Institut Seni Indonesia, t.t.), 165-166. Lihat juga Lein Flein,
“Structure and Style” Expanded Edition, The Study and Analysis of Musical Form (New Jersey:
Summy-Birchard Music, 1979), 37.
149
5.4.1.6 Analisis formula melodi (bentuk)
Terdapat beberapa istilah yang lazim digunakan untuk mengidentifikasi
garapan formula melodi sebuah komposisi musik.
a.
Repetitif dapat digunakan untuk menggambarkan bentuk nyanyian yang
memakai formula melodi yang relatif pendek dan selalu diulang-ulang.
b. Iteratif
yaitu nyanyian dengan formula
melodi yang kecil dengan
kecenderungan pengulangan-pengulangan dalam keseluruhan nyanyian.
c.
Apabila dalam nyanyian terjadi pengulangan pada frase pertama setelah terjadi
penyimpangan-penyimpangan melodi, bentuk ini disebut reverting.
d. Jika salah satu dari bentuk tersebut diulang dengan formalitas yang sama tetapi
dengan teks nyanyian yang cenderung baru, disebut strofic.
e.
kalau bentuknya selalu berubah dengan menggunakan materi teks yang selalu
baru, ini disebut progressive.64
Bentuk dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan diantara bagian-bagian
dari sebuah komposisi yang merupakan struktur dari keseluruhan sebuah
komposisi, termasuk hubungan diantara unsur-unsur melodis dan ritmis. Hubunganhubungan antara bagian-bagiannya tersebut biasanya digambarkan dengan kode
huruf, yaitu A, B, C, dan seterusnya. Selanjutnya dua bagian yang bermiripan tetapi
tidak persis sama digambarkan dengan tambahan angka di atas baris; misalnya, A,
64
Malm., op. cit., 17.
150
A1 dan A2 adalah dua bagian yang dianggap sebagai variasi dari bahan musikal
yang sama.
Dalam mendeskripsikan bentuk sebuah komposisi, terlebih dahulu kita
harus membaginya ke dalam bagian-bagian. Patokan yang bisa dipakai dalam
pembagian tersebut adalah: 1) pengulangan—bagian komposisi yang diulangi bisa
dianggap sebagai satu unit; 2) frasa-frasa dan istirahat—istirahat atau pengurangan
intensitas suara (decressendo) mungkin menunjukkan batas akhir sebuah unit;
pengulangan dengan perubahan—umpamanya, transposisi lagu atau pengulangan
pola ritmis dengan nada-nada lain; 4) satuan teks dalam musik vokal, seperti kata
atau baris (dalam sajak atau pantun).
Dengan mengacu pada patokan pembagian di atas dan setelah dihubungkan
dengan perjalanan melodi yang menjadi sampel dalam tulisan ini maka penulis
menyimpulkan bahwa perjalanan melodi di atas terdiri dari 5 bentuk yang terrinci
sebagai berikut :
a. Bentuk pertama terbagi atas intro dan interlude. Oleh karena alur meodi antara
intro dan interlude percis sama, maka bentuk ini diberi lambang huruf yang
sama yakni bentuk A.
b. Bentuk kedua terbagi atas bridge I (melodi jembatan I) dan bridge II (melodi
jembatan II). Oleh karena alur melodi kedua bridge tersebut memiliki kemiripan
walaupun tidak percis sama, maka bentuk ini dibagi menjadi dua yakni
dibedakan atas bentuk B (bridge I) dan B2 (bridge II).
c. Bentuk yang ketiga terdiri atas bagian ending (penutupan) yakni dinamakan
bentuk C.
151
Contoh bentuk A dapat dilihat pada bagian intro pada bar yang ke-10
hingga bar yang ke-14, dan bagian interlude yakni pada bar yang ke-47 hingga bar
yang ke-45 yakni sebagai berikut :
Contoh bentuk B (bridge I) dapat dilihat mulai dari bar yang ke16, bar 22,
bar 24, bar 30, bar 38, hingga bar 40 yakni sebagai berikut :
152
Contoh bentuk B2 (bridge II) dapat dilihat mulai dari bar yang ke-57, bar
63, bar 65, bar 71, bar 79, bar 81, bar 83, bar 87, bar 89, bsr 91, bar 93, bar 95, bar
99 yakni sebagai berikut :
Contoh bagian bentuk C dapat dilihat pada bagian penutupan (ending)
seperti berikut :
5.4.1.7 Identifikasi tema (thematic material)
Yang dimasksud dengan identifikasi tema (thematic material) di sini ialah
unsur-unsur musik yang dijadikan dasar dari suatu komposisi. Dasar komposisi
153
tersebut disebut motif yaitu the smallest melodic germ, made of a few tones and
rhythms, kesatuan melodi terkecil yang terdiri dari beberapa nada atau ritme,65 atau
unsur lagu yang terdiri dari sejumlah nada yang dipersatukan dengan suatu gagasan
atau ide. 66 Motif biasanya selalu diulang-ulang dan dikembangkan dalam suatu
komposisi.
Untuk menganalisis motif melodi sulim pada komposisi di atas, penulis
mengelompokkannya menjadi motif [a,b,c,d,e,f,g]. Pertimbangan yang paling
utama dalam pengelompokan motif ini adalah berdasarkan susunan nada-nadanya.
Motif yang selalu diulang-ulang diberi identitas dengan menambah angka
dibelakang identitas motifnya—misalnya, motif [a1, a2, dst] adalah ulangan dari
motif [a] dengan atau tanpa penambahan (augmentation) atau pun pengurangan
(diminution) satu atau pun beberapa nada dari motif dasarnya, atau motif [b1, b2,
dst] adalah ulangan dari motif [b]. Sedangkan untuk motif yang hanya satu kali saja
muncul, dijadikan sebagai motif baru.
Motif [a] memiliki dua kali pengulangan yakni [a1,a2] terdapat pada bar
yang ke-16, bar 57, dan bar 65. Bentuk motif tersebut yakni sebagai berikut :
Motif [b] memiliki dua kali pengulangan yakni [b1,b2] terdapat pada bar
yang ke-24, 40, dan bar 81. Bentuk motif tersebut yakni sebagai berikut :
Motif [c] memiliki tiga kali pengulangan yakni [c1,c2,c3] terdapat pada bar
yang ke-22, 30, 63, dan bar 71. Bentuk motif tersebut yakni sebagai berikut :
65
66
George Thadeus Jones, Music Theory (New York: Barnes and Noble Book, 1979), 102.
Karl-Edmund Prier SJ, op. cit., 3 dan 26-27
154
Motif [d] memiliki memiliki satu kali pengulangan yakni [d1] terdapat pada
bar yang ke-79 dan bar 91. Bentuk motif tersebut yakni sebagai berikut :
Motif [e] memiliki tiga kali pengulangan yakni [e1,e2,e3] terdapat pada bar
yang ke-89, 93, 95, dan bar 99. Bentuk motif tersebut yakni sebagai berikut :
Motif [f] hanya sekali terdapat pada bar yang ke-38. Bentuk motif tersebut
yakni sebagai berikut :
Motif [g] juga hanya sekali yakni terdapat pada bar yang ke-83. Bentuk
motif tersebut yakni sebagai berikut :
5.4.1.8 Analisis kontur melodi
Kontur adalah garis melodi yang terdapat pada sebuah komposisi musik
yang dapat diidentifikasi berdasarkan pergerakan melodinya dan diperlihatkan
155
melalui grafik garis. Pada komposisi musik yang relatif panjang, identifikasi kantur
didasarkan pada bentuk melodi musiknya.
a.
Bila gerak melodinya naik disebut ascending;
b.
bila menurun disebut descending;
c.
bila melengkung bergelombang disebut pendulous;
d.
bila berjenjang disebut terraced;
e.
dan apabila gerakan-gerakan intervalnya sangat terbatas disebut static.
Dengan mengacu pada identifikasi kantur di atas, dan dengan melihat grafik
melodi sulim pada lagu Tole Endehon tersebut jelas terlihat bahwa kontur melodi
dari komposisi tersebut adalah pendulous (melengkung bergelombang).
5.4.2 Analisis ciri musikal
Seperti yang telah penulis paparkan sebelumnya bahwa komposisi melodi
sulim yang dianalisis berdasarkan ciri musikalnya hanya bersifat deskriptif tentang
gambaran umum pola atau struktur melodi
yang dimainkan oleh sulim pada
masing-masing komposisi. Komposisi yang dianalisis adalah ketiga komposisi
melodi sulim (yang ditranskripsikan oleh penulis) selain dari komposisi yang telah
dianalisis (analisis gaya musikal) sebelumnya.
156
5.4.2.1 Ciri musikal melodi sulim dalam konteks tunggal
Ciri-ciri musikal dari pola permainan sulim ketika dimainkan dalam konteks
tunggal adalah sebagai berikut :
Biasanya ketika dimainkan dalam konteks tunggal dalam membawakan
sebuah lagu ataupun repertoar, pola permainan sulim dari sipemain sedikit
mengabaikan tempo dan birama (metrum) sehingga terkesan kedengaran seperti
free meter. Jika kita analogikan dengan melodi sulim pada lagu siboru mauas male
di atas, penulis sebenarnya mantranskripsikannya berdasarkan penafsiran pola
pembagian ketukan dalam satu birama, sehigga dengan demikian lagu tersebut
dapat ditranksripsi ke dalam sebuah garis paranada. Namun karena tidak adanya
aturan penulisan tertentu dalam penyajian musik yang bersifat free meter, maka
penulis hanya membubuhkan tanda atau kode tertentu baik berupa lambang atau
tanda baca agar sipembaca mengerti apa yang penulis sampaikan. Meskipun
demikian, tidak semua alur melodi yang dimainkan dalam lagu tersebut bersifat
free meter, bagian ini hanya terdapat di beberapa birama tertentu saja. Tanda free
157
meter penulis lambangkan dengan tanda fermata [
]. Contoh ini dapat kita
lihat pada penggalan melodi yang terdapat pada bar yang ke-6, bar 10, dan bar
yang ke-12.
Seorang pemain sulim tunggal biasanya memainkan motif melodi dengan
nuansa oktaf yang berbeda-beda dalam setiap penyajiannya walaupun nada yang
dimainkan adalah nada yang sama. Sehingga dalam pentranskripsian ini, penulis
sedikit mengabaikannya sebab hal tersebut tidak mengubah makna lagu dan juga
sipemain tidak sengaja untuk menbuat konsep demikian, akan tetapi dia
memainkankannya berdasarkan perasaan atau kenyamanan dalam hal meniup.
Dengan
mendengar
hasil
rekaman
yang
penulis
transkripsikan
dan
membandingkannya dengan penyajian melodi di atas, maka hal itu akan terlihat
jelas pada bar yang pertama.
158
5.4.2.2 Ciri musikal melodi sulim dalam konteks ensambel (uning-uningan
opera Batak)
159
Yang menjadi ciri musikal dari melodi sulim ketika dimainkan bersama ensambel
khususnya pada saat mengiring lagu opera Batak di atas adalah :
a. Penyajian melodi sudah sedikit terpola namun seakan terkesan monoton karena
tidak dibangun dengan berbagai motif melodi yang baru.
b. Melodi awal (intro) dari lagu yang dimainkan selalu dimainkan berulang-ulang
(tidak
ada
perbedaan
antara
melodi
intro
dengan
interlude,
yang
membedakannya hanya terdapat pada improvisasi teknik permainan). Melodi
intro dimainkan mulai dari bar 1 hingga bar 8, sedangkan melodi interlude
dimainkan mulai dari bar 25 sampai dengan bar 32.
c. Motif isian melodi sulim dalam mengiringi lagu opera Batak di atas biasanya
bersifat statis dalam konteks metode pengisian, artinya ketika melodi intro sulim
selesai dimainkan maka secara otomatis sulim bersama melodi vokal serta
ensambel yang lain memainkan melodi yang sama, namun sulim sedikit keluar
dari melodi pokok dengan memainkan improvisasi nada tanpa harus
menyimpang dari melodi lagu. Hal ini dapat terlihat jelas pada bar 9 hingga bar
24 dan juga terdapat pada bar 29 sampai dengan bar 47.
d. Namun metode pengisian melodi sulim dalam mengiringi lagu opera Batak di
atas biasanya juga ditandai dengan adanya jembatan melodi (bridge) untuk
menjembatani frase melodi vokal yang satu ke frase melodi vokal yang
berikutnya. Jika kita melihat komposisi di atas, akan terlihat jelas pada bar yang
ke-13, bar 24, dan bar 48.
160
5.4.2.3 Ciri musikal melodi sulim dalam konteks kolaborasi
161
Ciri-ciri musikal dari melodi sulim ketika dimainkan dalm konteks
kollaborasi bersama instrumen Barat maupun instrmen tradisional yang lain
khususnya pada komposisi di atas lebih dijelaskan kepada bentuk pola permainan
162
serta teknik yang dimainkan. Jika kita memperhatikan alur melodi sulim dalam
membawakan lagu kijom/endeng-endeng di atas, jelas terlihat bahwa sulim hanya
muncul pada saat memainkan melodi awal
(intro) lagu dan melodi tengah
(niterlude). Namun sejalan dengan pola permainan sulim pada kedua bagian
tersebut menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dalam hal teknik
memainkan meskipun ada beberapa bagian melodi yang sama. Pada bagian intro
lagu, melodi sulim dimainkan dengan mengadopsi teknik slur (salah satu teknik
memainkan flute) yakni dengan memainkan nada hanya dengan tiupan nafas tanpa
adanya tekanan lidah. Hal ini terlihat jelas pada bar 2 akhir hingga bar yang ke-8.
Sedangkan pada bagian interlude lagu, melodi sulim yang dimainkan juga
mengadopsi teknik staccato (juga merupakan salah satu memainkan flute) yakni
memainkan nada atau melodi dengan tiupan nafas yang kuat dibantu dengan
tekanan atau aksen yang kuat oleh lidah dalam setiap biji nada yang dimainkan.
Pola serta teknik permainan ini jelas terlihat pada bagian interlude yakni pada bar
57 akhir sampai dengan bar yang ke-64.
Namun selain itu, ada beberapa frase melodi tertentu dimana sulim
memainkan melodi yang sama (unisono) dengan instrumen yang lain seperti biola.
163
Hal ini dapat kita lihat pada bentuk melodi intro lagu di bar 9 hingga bar yang ke12.
164
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Dari uraian-uraian tentang permasalahan dan pembahasan yang telah
dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini penulis membuat
kesimpulan bahwa sulim merupakan sejenis instrumen tradisional Batak Toba yang
paling eksis di antara sekian banyak instrumen tradisional Batak Toba yang lain dan
mampu bertahan di berbagai era penggunaannya. Ada beberpa instrumen
tradisional Batak Toba lainnya yang masih tetap eksis dan juga mampu bertahan
dan ada juga beberapa di antaranya perlahan mengalami kepunahan. Namun di
antara sekian banyaknya instrumen tradisional Batak Toba yang masih eksis
tersebut, tidak seluruhnya mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat
Batak Toba, sehingga terjadi berbagai pergeseran fungsi dan pengunaan isntrumen
tersebut yang mengakibatkan adanya fenomena baru dalam setiap era atau masa
penggunaanya dalam periode waktu yang berbeda-beda.
Kontinuitas dan perubahan fungsi dan penggunaan sulim ini dapat
terwujud karena sulim mampu beradaptasi terhadap perkembangan zaman yang
bersinergi dengan pola pikir, tingkat kebutuhan dan rasa musikal masyarakat Batak
Toba itu sendiri. Berbagai fenomena perubahan yang terjadi dalam konteks
penggunaan tidak menunjukkan adanya pergeseran fungsi musikal yang selalu
dipertahankan. Oleh karena itu, apabila sulim selalu konsisten dapat beradaptasi dan
di terima di tengah-tengah masyarakat Batak Toba, maka kemungkinan kontinuitas
165
ini akan terus berlangsung selalu dan tetap bertahan di masa-masa yang akan
datang.
6.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah penulis kemukakan di atas maka
sebaiknya diajukan beberapa saran seperti berikut ini :
1. Jikalau ada di antara para pembaca yang tertarik terhadap kajian tulisan ini,
penulis menyarankan agar kiranya berkenan untuk membahas lebih lanjut
bahasan ini. Sebab setiap masa/periode waktu penggunaan sebuah
isntrumen khususnya dalam konteks kebudayaan pasti akan memunculkan
fenomena baru dalam setiap aspek kehidupan musikal masyarakat itu
sendiri.
2. Selaku masyarakat yang memiliki identitas kebudayaan, sebaiknya mari kita
bersama-sama untuk melestarikan setiap unsur kebudayaan secara khusus
musik tradisional yang kita miliki bersama sebagai wujud dari penghargaan
terhadap tradisi turun-temurun yang diajarkan oleh para pendahulu kita
kepada kita. Jikalau pada masyarakat Batak Toba memiliki instrumen sulim
yang selalu mampu eksis dalam setiap perkembangan zaman tentunya
instrumen yang lain tidak hanya yang ada pada masyarakat Batak Toba
tetapi juga yang ada pada masyarakat etnis lain pasti juga akan bereksistensi
secara kontinu (berkesinambungan) apabila tradisi ini tetap dipertahankan.
166
Download