453 Pengamatan pemijahan ikan palmas albino ... (Sulasy Rohmy) PENGAMATAN PEMIJAHAN IKAN PALMAS ALBINO (Polypterus senegalus var.) DENGAN STIMULASI HORMON GONADOTROPIN Sulasy Rohmy, Asep Permana, I Wayan Subamia, dan Bastiar Nur Balai Riset Budidaya Ikan Hias Jl. Perikanan No. 13 Pancoran Mas, Depok E-mail: [email protected] ABSTRAK Ikan palmas (Polypterus sp.) adalah ikan introduksi dari Afrika yang mulai banyak dibudidayakan di Indonesia karena adanya permintaan pasar. Ikan palmas jenis albino masih sulit untuk memijah dalam wadah terkontrol, sehingga produksinya masih rendah. Metode penyuntikan hormon sudah mulai diterapkan pada beberapa jenis ikan hias introduksi, antara lain sinodontis (Synodontys sp.), tiger catfish (Platysoma sp.), aligator (Lepisosteus oculatus), platidoras (Platydoras sp.), dan red-fin shark (Ephalzeorhynchos sp.). Tujuan percobaan ini adalah memijahkan palmas albino dalam wadah terkontrol menggunakan stimulasi hormon gonadotropin. Penyuntikan dilakukan menggunakan hormon gonadotropin F-1 (merk dagang Ovaprim®) masing-masing dengan dosis 0,5 mL/kg untuk induk jantan dan 0,75 mL/kg untuk induk betina di bagian intraperitoneal. Sebanyak 9 ekor induk yang sudah disuntik dimasukkan ke dalam 3 buah akuarium pemijahan berukuran 70 cm x 60 cm x 50 cm yang dilengkapi substrat serabut tali plastik dengan perbandingan 2 ekor jantan dan 1 ekor betina. Ikan palmas albino memijah pertama kali 12 jam setelah penyuntikan dan memijah sebanyak 2–3 kali dengan derajat fertilisasi 73,91%; daya tetas telur 80,15%; SR (0–10 hari) 83,33% dan menghasilkan larva normal sebanyak 218 ekor. KATA KUNCI: palmas albino, Polypterus senegalus, hormon PENDAHULUAN Palmas merupakan nama Indonesia untuk jenis ikan yang termasuk ke dalam famili Polypteridae yang artinya bersirip banyak dan disebut juga bichir. Polypteridae adalah kelompok ikan yang memiliki posisi penting dalam filogenetik sehingga keberadaannya sangat penting untuk memahami radiasi awal ikan bertulang (bony fish) dan sebagian actinopterygians (Lund dalam Claeson et al., 2007). Polypterus senegalus adalah spesies polypteridae yang berasal dari Afrika barat, khususnya di Sungai Nil (Kodera et al., 1994). Ikan jenis ini dikenal juga dengan nama Senegal bichir, Cuvier’s bichir, gray bichir. Di Indonesia, Polypterus senegalus menjadi salah satu ikan hias air tawar introduksi yang baru berkembang di Indonesia pada tahun 1997-an. Ikan ini memiliki dua kantung udara menyerupai paru-paru sehingga jika dipelihara dalam akuarium akan meloncat sesekali untuk mengambil udara. Alat pernapasan tambahan tersebut juga menjadikan ikan palmas mampu hidup di perairan yang rendah oksigen, seperti perairan berlumpur, dangkal atau pun perairan dengan tanaman air tumbuh subur. Ikan palmas tergolong ikan yang sangat toleran terhadap kualitas air (Igarashi dalam Kodera et al. (1994); Budgett dalam Hall (2001)). Sebagai bukti, Arnoult dalam Kodera et al. (1994) menemukan P. senegalus di Sungai Upper Volta yang memiliki suhu ekstrim (22°C pada bulan Januari dan 29°C pada bulan Juni–Juli), tidak jernih (keruh); pH 6,0–7,0; dan memiliki kesadahan air 0–5 dH. Polypterus senegalus memiliki varian antara lain polos, platinum, slayer, dan albino. Ikan palmas albino merupakan varian Polypterus senegalus yang tidak memiliki pigmen warna sehingga memiliki tubuh berwarna putih. Keunikan lainnya adalah bola mata merah terang dan bersinar dalam ruangan gelap. Selain palmas albino, ikan hias air tawar lain juga memiliki jenis albino, seperti patin albino (Pangasius hypophthalmus var.), tiger Sumatera albino (Puntius tetrazona var.), wordtail albino (Xiphophorus helleri var.), molly lyretail albino (Poecilia sphenops var.), guppy albino (Poecilia reticulatus var), corydoras albino (Corydoras aeneus var.), paradise albino (Macropodus opercularis var.), dan lain-lain. Dalam pasar ikan hias, karakter albino menjadi keunikan tersendiri sehingga memiliki nilai jual lebih tinggi dibandingkan ikan normal sejenis. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 454 Balai Riset Budidaya Ikan Hias Depok sudah berhasil memijahkan P. senegalus polos secara alami, tetapi P. senegalus albino baru berhasil didomestikasi, dan belum pernah memijah di dalam wadah terkontrol (Subamia et al., 2008). Sampai saat ini, tidak ada standar baku yang umum digunakan untuk memijahkan semua jenis polypteridae atau bichir dalam akuarium karena masing-masing spesies berbeda karakteristiknya, namun umumnya ikan polypteridae memijah pada musim hujan, yaitu antara bulan Juli–September (Anonim, 2009). Menurut Hardjamulia et al . (2000), masalah yang sering dihadapi dalam pembenihan ikan koleksi ex situ sebagai bahan domestikasi adalah pemeliharaan pada kondisi lingkungan baru yang berbeda dengan lingkungan aslinya di perairan umum dan seringkali dapat menimbulkan “stres”. Kondisi ini menyebabkan penurunan produksi hormon gonadotropin yang pada akhirnya dapat mengganggu proses kematangan gonad. Penerapan teknologi stimulasi untuk pemijahan ikan dengan penyuntikan hormon pada ikan yang baru didomestikasikan maupun ikan-ikan yang sulit untuk memijah secara alami sangat membantu dan bermanfaat. Hormon tersebut mematangkan gonad dan merangsang ovulasi ikan tanpa melihat musim, terutama ikan yang sulit dipijahkan dalam lingkungan budidaya karena bersifat musiman atau yang memiliki siklus reproduksi yang lama (Satyani, 2008). Tujuan penyuntikan hormon ( induce breeding ) adalah mengganti sinyal lingkungan dengan memberikan kejutan yang merangsang produksi gonadotropin secara alami. Namun dalam prakteknya, faktor lingkungan seperti musim hujan dan suhu optimal serta kematangan yang cukup masih menjadi faktor penentu bagi keberhasilan pemijahan secara induce breeding. Metode penyuntikan hormon (induce breeding) sudah digunakan untuk beberapa jenis ikan hias baik lokal maupun introduksi, antara lain sinodontis (Synodontys sp.), tiger catfish (Platysoma sp.), aligator (Lepisosteus oculatus), platidoras (Platydoras sp.). dan red-fin shark (Ephalzeorhynchos sp.). Ovaprim adalah merk dagang produksi Syndel Laboratories Canada yang berisi hormon gonadotropin, yaitu campuran GnRHa (Gonadotropin-Releasing Hormone analogue) dan dopamine inhibitor ikan salmon dan sudah sering dipergunakan untuk merangsang ovulasi dan pemijahan ikan air tawar. (Peter et al., 1988; Suzuki et al., 2000; Sumantadinata, 1997). Basu et al. (2000) dalam Battacharyya & Homechaudhuri (2009) menyatakan bahwa ovaprim lebih baik dibandingkan ekstrak pituitary gland. Ikan lele (Clarias batrachus) yang disuntik ovaprim menghasilkan derajat pembuahan 80% dan derajat penetasan 60%, sedangkan yang disuntik ekstrak pituitary gland menghasilkan derajat pembuahan 45% dan derajat penetasan 25%. Francis et al. (2000) dalam Battacharyya & Homechaudhuri (2009) juga menyatakan bahwa ikan murrel (Channa striatus) yang disuntik ovaprim lebih tinggi derajat pembuahannya (93%) dan menghasilkan waktu laten lebih cepat (21 jam) dibandingkan hormon lainnya. Derajat pembuahan paling tinggi (93%) juga dihasilkan ikan Labeo rohita yang disuntik ovaprim (Nandeesha et al., 1993). Di Indonesia, Satyani et al. (2007) menyatakan bahwa ovaprim sebanyak 1,0 mL/kg yang disuntikkan pada induk jantan ikan botia ( Chromobotia macracanthus ) mampu meningkatkan volume sperma yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk memijahkan ikan palmas albino (Polypterus senegalus var.) dengan stimulasi hormon gonadotropin (merk dagang Ovaprim). METODOLOGI Pemeliharaan dan Seleksi Induk Induk diperoleh dari pengumpul ikan dan sudah didomestikasi sejak tahun 2007. Sebanyak 15 ekor induk palmas albino jantan dan betina yang berukuran 15–21 cm dipelihara dalam 3 buah akuarium berukuran 70 cm x 60 cm x 50 cm yang diberi penutup (jaring). Selama pemeliharaan, induk diberi pakan kombinasi cacing tanah dan pelet udang komersial sebanyak 2 kali sehari. Seleksi induk matang gonad untuk pemijahan bertujuan untuk memilih induk yang telah benarbenar siap untuk dipijahkan. Ikan terlebih dahulu dipuasakan selama 24 jam. Induk yang matang gonad mudah dibedakan, yaitu sirip anal induk jantan semakin menebal dan melebar dan mulai mengejar induk betina. Seleksi induk betina dilakukan secara visual dan rabaan. Induk betina yang dipilih berperut gendut dan jika diraba lunak. Seleksi lebih lanjut dengan cara kanulasi atau kateterisasi. Induk dibius dengan phenoxy ethanol 0,8 mL/L karena ikan jenis ini tidak mudah pingsan. 455 Pengamatan pemijahan ikan palmas albino ... (Sulasy Rohmy) Kateterisasi dilakukan dengan memasukkan kateter ke dalam saluran pelepasan telur (genital pore) sedalam 10 cm pada semua induk betina. Telur dari hasil kateter dilihat di bawah mikroskop binokuler dengan menambahkan NaCl 0,9% dalam cawan petri. Penyuntikan dan Pembuahan Pemijahan dilakukan di laboratorium basah, Balai Riset Budidaya Ikan Hias Depok pada bulan Desember 2009. Setelah dilakukan pemisahan induk yang sudah matang gonad, dilakukan penyuntikan pada bagian intraperitoneal. Penyuntikan dilakukan menggunakan hormon sintetik merk Ovaprim®, produk dari Syndel Kanada yang berisi gonadotropin dan dopamin, masing-masing dengan dosis 0,5 mL/kg untuk induk jantan dan 0,75 mL/kg untuk induk betina. Hormon disuntikkan di bagian intraperitoneal dan diberikan dua kali pada jam 10.00 dan jam 17.00. Pembuahan dilakukan secara alami. Induk betina dan jantan yang sudah disuntik dipasangkan dalam akuarium berukuran 70 cm x 60 cm x 50 cm dengan perbandingan 2 jantan 1 betina. Akuarium dilengkapi dengan substrat telur berupa serabut tali raffia (plastik) dan aerasi. Air yang digunakan adalah air tanah yang telah diendapkan minimal 24 jam dengan maksud untuk menstabilkan pH dan kadar CO 2 yang dapat membahayakan ikan uji. Suhu dan pH diamati setiap hari dan dipertahankan pada kisaran 26°C–28°C dan pH 6,0–7,0. Tingkah laku pemijahan diamati dan direkam dengan kamera digital. Inkubasi Telur dan Perawatan Larva Telur yang sudah dibuahi diambil dari akuarium pemijahan dengan cara disiphon menggunakan selang berdiameter 1 cm dan dipindahkan dengan hati-hati ke media inkubasi telur berupa wadah plastik (basket) bervolume 3 liter berisi air media pemijahan dan methilene blue dengan ketinggian air 7 cm dan dilengkapi aerasi. Suhu inkubasi dijaga pada 27°C–28°C. Setelah larva menetas dan berenang stabil, larva dipindahkan dengan selang plastik ke dalam wadah lain dengan kepadatan 50 ekor/basket. Larva mulai diberi makan artemia pada saat kuning telur habis (sekitar umur 7 hari) hingga larva berumur 14 hari dilanjutkan dengan tubifex yang dicacah. Analisis Data Data jumlah telur, derajat pembuahan, daya tetas telur dan sintasan (SR) larva disajikan secara tabulasi serta dianalisis secara deskriptif. Tingkah laku selama pemijahan dilaporkan sebagai data pendukung. HASIL DAN BAHASAN Hasil seleksi terhadap 15 ekor induk jantan dan betina menghasilkan 3 set pasangan dengan perbandingan masing-masing 2 jantan dan 1 betina. Tabel 1 memperlihatkan ukuran induk palmas albino hasil seleksi induk. Induk jantan dan betina dapat dibedakan secara morfologi berdasarkan bentuk badan dan sirip analnya. Induk jantan memiliki badan yang lebih langsing dan memanjang dibandingkan bentuk Tabel 1. Ukuran induk hasil seleksi Akuarium Individu Induk jantan Induk betina Bobot (g) Panjang total (cm) Bobot (g) Panjang total (cm) A 1 2 32 60 16,0 20,2 64 19,0 B 1 2 34 32 16,5 16,2 40 16.6 C 1 2 32 28 16,0 17,0 28 14,0 456 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 badan induk betina. Diferensiasi sex/sex dimorphism ikan famili polypteridae berdasarkan bentuk sirip anal pertama kali dinyatakan oleh Boulinger (1907) dalam Komagata et al. (1993). Sirip anal induk jantan lebih tebal dan lebar sedangkan induk betina memiliki sirip anal yang tipis dan runcing (Gambar 1). (a) jantan (b) betina Gambar 1. Perbedaan sirip anal palmas albino jantan dan betina Kateterisasi dilakukan pada semua induk palmas albino betina. Namun hanya induk betina pada akuarium B yang berhasil dikateter (Gambar 2). Diameter telur palmas albino yang berhasil dikateter berukuran antara 8 hingga 17 μm (perbesaran 20x). Gambar 2. Telur hasil kateter Diameter telur ikan palmas tidak seragam (tidak homogen), dikarenakan ikan ini memijah secara spasial, di mana dalam satu gonad tidak semua telur berukuran sama sehingga pada saat pemijahan hanya telur yang telah matang yang keluar sedangkan yang belum matang masih tersimpan dan menunggu hingga matang kemudian dipijahkan kembali. Palmas albino memiliki tingkah laku yang khas selama memijah yang berlangsung sekitar 1 hari, terutama pada malam hari. Induk jantan menubruk betina dengan moncongnya kemudian mengejarnya (chasing after) dengan sangat agresif dan berlangsung berulang kali. Induk jantan mengikuti betina pada sisi kiri dan sesekali menggigit kepala betina dan melakukan kontak seksual. Induk jantan menggunakan sirip analnya berulang-ulang untuk merangsang bagian sekitar ovipositor betina (Gambar 3). Saat betina memberikan respons, induk betina akan mencari lokasi yang nyaman atau cocok di antara serabut plastik yang rimbun, untuk kemudian meletakkan 100–300 telur yang sedikit adhesive selama beberapa hari. Telur tersebut dibuahi induk jantan dengan melingkarkan sirip ekor di sekitar wilayah genital induk betina. Setelah dibuahi, telur disebar di atas substrat. Waktu laten, yaitu periode antara waktu suntik dan saat pengeluaran telur berkisar antara 10–12 jam. Telur palmas albino yang dibuahi berbentuk bola, berwarna putih kekuningan yang dikelilingi 457 Pengamatan pemijahan ikan palmas albino ... (Sulasy Rohmy) a b Induk jantan terus mengiringi induk betina, biasanya berada di sebelah kiri betina Induk jantan sesekali “mencumbu” betina dengan moncongnya d c Induk betina menemukan tempat untuk meletakkan telur. Sirip anal jantan dan sirip ekor membentuk seperti mangkuk dan berada di sekitar area genital betina untuk membuahi telur yang diovulasikan Beberapa saat setelah telur dibuahi, induk jantan dan betina masih berdekatan Gambar 3. Tingkah laku pemijahan induk yang dipasangkan selaput tampak jernih dan licin. Warna telur ini berbeda dengan palmas polos (P. senegalus) normal yang berwarna hitam dan putih (Subamia et al., 2008). Induk harus segera dipindahkan setelah telur dibuahi untuk mencegah pemangsaan telur oleh induknya. Ikan palmas memijah secara spasial, hal ini terjadi pada induk akuarium B dan C (Tabel 2). Telur diovulasikan masing-masing 2 dan 3 kali dalam waktu 4 hari. Induk yang dipasangkan pada akuarium A tidak memijah, hal ini diduga karena induk betina mengalami stres (ditunjukkan dengan tingkah laku induk betina yang diam di tempat dan tidak responsif terhadap induk jantan). Meskipun induk betina akuarium C memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan induk betina akuarium B, tetapi memiliki frekuensi ovulasi lebih banyak. Model pemijahan spasial ditemukan juga pada ikan clown, Amphiprion ocellaris (Kusumawati, 2009); ikan teri, Encrasicholina heterolobus (Andamari et al. dalam Kusumawati, 2009) dan ikan cobia, Rachycentron canadum (Peterson et al. dalam Kusumawati, 2009). Derajat fertilisasi, daya tetas telur, dan sintasan (SR) selama 10 hari terlihat pada Tabel 3. Tabel 2. Ovulasi jumlah telur yang dihasilkan Parameter Ovulasi Jumlah telur butir Jumlah larva normal Jumlah larva abnormal Akuarium A B C - 2 kali 160 93 5 3 kali 208 218 10 458 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 Tabel 3. Derajat fertilisasi, daya tetas telur, dan sintasan (SR) rata-rata Parameter Derajat fertilisasi (%) Daya tetas telur (%) Sintasan 0–10 hari (%) Rataan 73,91 80,15 83,31 Dibandingkan dengan P. senegalus polos, jumlah telur dan larva yang dihasilkan lebih sedikit dan dalam jangka waktu yang lebih singkat (3–4 hari). Subamia et al. (2008) menyatakan P. senegalus polos bertelur rata-rata 200 telur setiap hari selama 3 minggu. Faktor yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas telur yang dikeluarkan antara lain kualitas induk yang dipengaruhi faktor internal (umur, genetik) dan eksternal (pakan dan lingkungan). Umur induk yang terlalu muda atau matang pertama kali biasanya menghasilkan telur yang jumlahnya sedikit dan kualitasnya kurang bagus, sedangkan umur induk yang terlalu tua tidak dianjurkan karena sudah terjadi penurunan kualitas hormon reproduksinya, sehingga telur yang dihasilkan juga tidak bagus. Pada percobaan yang dilakukan, diduga induk baru pertama kali matang gonad, sehingga kuantitas telur yang dihasilkan masih sedikit dengan frekuensi ovulasi yang rendah (hanya 2–3 kali). Proses pematangan akhir oosit, ovulasi, spermiasi, dan pemijahan pada ikan dipengaruhi faktor dari dalam (endogenous) dan sinyal lingkungan (environment signals). Stimulan neuroendocrine (syaraf hormonal) yang utama/penting adalah gonadotropin-releasing hormone atau GnRH (Peter et al., 1986) dalam Pinillos et al., 2003) yang merangsang pelepasan gonadotropin dari pituitary (Kobayashi et al., 1989), yang bertugas menstimulasi produksi steroid oleh gonad (Yoshikuni & Nagahama, 1991). Penelitian menunjukkan bahwa steroid-steroid ini dapat berfungsi sebagai hormon atau seks pheromone atau keduanya. Penggunaan ovaprim yang berisi hormon gonadotropin dan anti dopamine berpengaruh pada keberhasilan pemijahan. Anti dopamin seperti pimozine (PIM) dan domperidon (DOM) berfungsi sebagai penghambat kerja hormon gonadotropin releasing inhibitor factor (GnRIF). Menurut Lieberman (1995), penggunaan hormonal atau kombinasi antara manipulasi hormonal dan lingkungan dapat digunakan sebagai fasilitas reproduksi. Tujuan induce breeding adalah mengganti sinyal lingkungan dengan memberikan kejutan yang merangsang produksi gonadotropin secara alami. Namun dalam prakteknya, faktor lingkungan seperti musim hujan dan suhu optimal serta kematangan yang cukup masih menjadi faktor penentu bagi keberhasilan pemijahan secara induce breeding. Di habitatnya, ikan polypteridae memijah pada musim hujan, yaitu antara bulan Juli–September (Kodera et al., 1994). Pengamatan ini dilakukan pada bulan Desember 2009, dengan curah hujan yang masih cukup tinggi sehingga peluang terjadinya pemijahan lebih besar. Telur palmas albino menetas setelah 3 hari. Tubuh larva yang baru menetas transparan dan belum memiliki pigmen. Larva memiliki insang luar (external gill). Insang luar tersebut akan diserap kembali (resorbed) sejalan dengan pertumbuhan ikan, dan secara total akan hilang pada saat dewasa (Azuma, 2001). Jumlah larva palmas albino yang menetas dengan normal berjumlah 218 ekor sedangkan larva abnormal berjumlah 15 ekor. Nilai rata-rata sintasan (SR) larva palmas albino selama 10 hari pertama cukup baik (83,33%). Namun sintasan (SR) larva palmas harian mulai turun pada saat larva berumur 8 hari, yaitu 1 hari setelah pemberian pakan awal berupa nauplii Artemia. Masa kritis dalam daur hidup ikan terdapat dalam tahap larva, yaitu pada saat sebelum dan sesudah penyerapan kuning telur serta pada masa transisi larva mulai mengambil makanan dari luar. Mortalitas yang tinggi dapat juga terjadi apabila larva tidak segera memperoleh makanan yang sesuai, baik jenis maupun jumlahnya. Pada pengamatan ini, pemberian pakan awal larva dengan nauplii Artemia sudah cukup tepat karena sudah sesuai dengan ukuran bukaan mulut. Palmas albino adalah P. senegalus yang tidak memiliki pigmen warna, khususnya pigmen. Secara genetik, albino adalah sifat resesif yang diturunkan indukan kepada anaknya. Individu albino umumnya memiliki kelemahan jika dibandingkan jenis normal, seperti pertumbuhan, kapasitas reproduksi, dan daya tahan atau resistensi terhadap penyakit. 459 Pengamatan pemijahan ikan palmas albino ... (Sulasy Rohmy) KESIMPULAN Pemijahan ikan palmas albino menggunakan rangsangan hormon gonadotropin (merk dagang ovaprim) berhasil menghasilkan 218 ekor larva normal dengan derajat fertilisasi 73,91%; daya tetas telur 80,15%; dan SR (0–10) hari sebesar 83,31%. SARAN Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai teknik pemijahan buatan yang lebih baik untuk meningkatkan frekuensi pemijahan, derajat fertilisasi, dan sintasan larva. DAFTAR ACUAN Anonim. 2009. http://www.aquaticcommunity.com/predatory/breedingbichir.php Battacharyya, M., S. Homechaudhuri. 2009. Assessment of Captive Breeding of Anabas testudineus with the Synthetic Hormone, Ovaprim. Kalkuta. Proc. zool. Soc. 62(1): 23–27. Claeson, K.M., William, E.B., & James, W.H. 2007. New Interpretations of the Skull of a Primitive Bony Fish Erpetoichthys calabaricus (Actinopterygii:Cladistia). Wiley Interscience. J. of Morphology, 268: 1021–1039. Hall, B.K. 2001. John Samuel Budgett (1972–1904): In Pursuit of Polypterus. American Institute of Biological Sciences. Bioscience, 51(5): 399–407. Hardjamulia, A., Asih, S., Suhendra, N., & Muharam, B. 2000. Pelestarian Ex Situ Plasma Nutfah Ikan Mas (Cyprinus carpio) dan Ikan Batak (Tor Soro). Annual Report the Partycipatory Development Technology Project PATP. Balitkanwar, Sukamandi. Kodera, H., Toshiaki, I., Nobuhitob, I., Hiroshima, K., Shinya, M., Fumitoshi, M., & Koichi, Y. 1994. Jurassic Fishes: Selection, Care and Behavior. Marine Publishing. Japan, 144 pp. Komagata, K., Atsushi, S., & Ren, K. 1993. Sexual Dimorphism in the Polypterid Fishes, Polypterus senegalus and Calamoichthys calabaricus. Japanese Journal of Ichthyology, 39(4): 387–390. Kusumawati, D. & Setiawati, K.M. 2009. Peningkatan Kualitas Induk Jantan Ikan Clown (Amphirion ocellaris) melalui pemberian vitamin E dan hormone 17-á Methiltestosteron. Prosiding Seminar Nasional Kelautan V. Universitas Hangtuah, Surabaya, II: 178–184. Lieberman, E. 1995. A Guide to the Application of Endocrine Technique in Aquaculture. Argent Laboratories Press, 40 pp. Nandeesha, M.C., Bhandraswami, G., Patil, J.G., Vargheset, J., Kamal, S., & Keshavanath, P. 1993. Preliminary results on induced spawning of pond varied mahseer, Tor Khudri. J. Aqua. Trop., 8: 55– 60. Pinillos, M.L., Guijarro, A.I., Delgado, M.J., Hubbard, P.C., Canário, A.V.M., & Scott, A.P. 2002. Production, release and olfactory detection of sex steroids by the tench (Tinca tinca L.). Netherlands. Fish Physiology and Biochemistry, 26: 197–210. Satyani, D., Slembrouck, J., Subandiyah, S., & Legendre, M. 2007. Peningkatan teknik pembenihan buatan ikan hias botia, Chromobotia macracanthus (Bleeker). J. Ris. Akuakultur, 2(3): 135–142. Satyani, D. 2008. Akurasi dalam aplikasi teknologi stimulasi hormon untuk pemijahan ikan. Media Akuakultur, 3(1): 49–53. Subamia, I.W., Nugraha, M.F.I., & Sugito, S. 2008. Embrionyc Developmental Stages of Ikan Palmas (Polypterus senegalus-senegalus). Indonesian Aquaculture Journal, 119–124.