BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan Teori

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Teori belajar diterapkan ke perilaku manusia setelah behaviorisme yang
dipelopori oleh psikologi Amerika, J.B. Watson melakukan riset terhadap anak yang
bernama Albert dan publikasi artikelnya “psychology as the behaviorist views it”.
Publikasi dan penelitian yang dilakukan oleh Watson dan lainnya secara sistematik
mengembangkan dan menyempurnakan prinsip-prinsip behaviorisme. Teori-teori
behaviorisme menjadi amat populer dan memberi inspirasi bagi upaya-upaya
pengubahan perilaku, termasuk di dalamnya melalui proses konseling.
Selama berabad abad, para pengamat perilaku manusia sudah mengetahui jika
manusia pada umumnya melakukan hal yang memiliki konsekuensi yang tidak
menyenangkan.
Sebagai sebuah pendekatan yang relatif baru, sejak 1960-an konseling
behavioral telah memberi implikasi yang amat besar dan spesifik pada teknik dan
strategi konseling dan dapat diintegrasikan ke dalam pendekatan lain. Konseling
behavioral ini dikembangkan atas reaksi terhadap pendekatan psikoanalasis dan
aliran-aliran Freudian (Rachman, 1963).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan teori behavioristik?
2. Pandangan behavioristik dari perilaku bermasalah?
3. Tujuan dan peran konseling dari teori behavioristik?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori behavioristik
Thorndike daqn Watson menekankan bahwa perilaku manusia mestinya
dipelajari secara ilmiah. Behaviorisme ilmiah berkeyakian jika perilaku dapat
dipelajari dengan baik tanpa harus mengacu pada konsep kebutuhan, insting ataupun
motif. Melekatkan motivasi kepada perilaku manusia sama saja melekatkan kehendak
bebas kepada fenomena alam.1Dalam pandangan behavioral, kepribadian manusia itu
pada hakikatnya adalah perilaku. Perilaku dibentuk berdasarkan hasil dari segenapnya
pengalamannya berupa interaksi individu dengan lingkungan sekitarnya. Tidak ada
manusia yang sama, karena kenyataan manusia memiliki pengalaman yang berbeda
dalam kehidupannya. Kepribadian seseorang merupakan cerminan dari pengalaman,
yaitu situasi atau stimulus yang diterimanya.
Sesuai dengan pandangan behavioristik yang terutama disoroti adalah tingkah
laku seseorang yang nyata. Tingkah laku itu dievaluasi menurut keseuaian atau
ketidaksesuaian dengan realitas yang ada. Glasser memfokuskan perhatian pada
perilaku seseorang pada prilaku saat sekarang, dengan menitikberatkan pada tanggung
jawab yang dipikul setiap orang untuk berperilaku sesuai dengan realitas atau dengan
kenyataan yang dihadapi.2
Selama proses konseling konselor membantu konseli untuk menilai kembali
tingkah laku dari sudut pandang bertindak dan bertanggung jawab. Seperti dalam QS.
An-Nahl : 93
‫نَك‬
‫كاَّللكم ع عج عُْع ن ُْكك ُأ هم ًة عكوا ِحدع ة عًكوم ع َٰ ِكنكي ن ِضلُّك عمنكيعشع ا نء عكوَيع ْ ِديك عمنكيعشع ا نءك عۚكومعتن ْسأَمن هن عهك‬
‫عكوم ع ْنكشع ع اء ه ن‬
‫تُكَ ع ْْ عَُن ع‬
ْ ‫كع اك نُ ن‬
Artinya: dan jika allah menghendaki, niscaya dia menjadikan kamu satu umat (saja),
tetapi dia menyesatkan siapa yang dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa
yang dia kehendaki. Tetapi, kamu pasti akan ditanyatentang apa yang telah kamu
kerjakan.
Pandangan dualisme sebagaimana yang berkembang: jiwa raga, mental fisik,
sikap perilaku, dan sebgaimya bagi behavioral adalah tidak valid, tidak dapat
dikenali dan dikendalikan di laboraturium. Berikut beberapa teori belajar tentang
mekanisme pembentukkan perilaku.
1. Teori Belajar Klasik
2. Teori Belajar Perilaku Operan
3. Teori Belajar dengan Mencontoh
Berdasarkan teori tentang perilaku sebagaimana yang dikemukakan ahli-ahli
behavioral, konselor behavioral menurut Dustin dan George dalam menjalankan
fungsinya berdasarkan atas asumsi-asumsi berikut.
1
Latipun. Psikologi Konseling. Malang. UMM PRES. 2010. Hal 89
2
W.S. Winkel & M.M. Sri Hastuti. BimbingAN dan Konseling. Yogyakarta. Media Abadi. 2004. Hal 459
1. Memandang manusia secara intrinsik bukan sebagai baik atau buruk, tetapi
sebagai hasil dari pengalaman yang memiliki potensi untuk segala jenis perilaku
2. Manusia mampu untuk mengkonsepsikan dan mengendalikan perilakunya. Seperti
dalam firman allah
‫ اكامس عَ ع او نات عكو ْ َاْل ْر نضك ُأ ِعد ْهتك ِنُ ْ نَته ِق عيك‬
‫عو عس ِ ار نعناكا ع َٰلك عم ْغ ِف عر ٍة ِكم ه ِب‬
‫نكر ن ُْك عكو عجن ه ٍةك عع ْرضن هع ه‬
ِ
Artinya: dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan
mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi
orang-orang yang bertakwa.
ِ ‫اَّلل ن‬
‫كُي ُّبكام ْ نَ ْح ِس ِت عيك‬
‫امَّضا ِء عكو ْام عَك ِظ َِ عيكام ْغع ْيظ ععكوام ْ عْ ا ِف عيك عع ِنكامته ِ اسك عۗكو ه ن‬
‫كامَّسا ِء عكو ه ه‬
‫ه ِاَّل عينكينت ِف نق ع‬
‫نَ ِكِف ه ه‬
Artinya : (yaitu) orang-orang yang berinfak, baik diwaktu lapang maupun sempit,
dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang
lain. dan allah mencintai orang yang berbuat baik.
3. Manusia mampu mendapatkan perilaku baru.
4. Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain sebagaimana perilakunya juga
dipengaruhi orang lain.
Asumsi-asumsi dasar yang dianut kalangan behavioris ini memberikan implikasi
terhadap tujuan dan prosedur konseling.3
B. Perilaku Bermasalah
Perilaku yang bermasalah dalam pandanngan behavioris dapat dimaknakan sebagai
perilaku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau perilaku yang tidak tepat, yaitu
perilaku yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kepuassan individu terhadap
perilakunya bukanlah ukuran bahwa perilaku itu harus dipertahankan, karena
adakalanya perilaku itu dapat menimbulkan kesulitan di kemudian hari (Hansen dkk.,
1982), perilaku yang dipertahankan atau dibentuk pada individu adalah perilaku yang
bukan sekadar memperoleh kepuasan pada jangka pendek, tetapi perilaku yang tidak
menghadapi kesulitan-kesulitan yang lebih luas dan dalam jangka yang lebih panjang.
Perubahan perilaku bisa terjadi karena pengaruh lingkungan melalui proses belajar
atau proses kondisioning sebagai akibat hubungannya dengan lingkunga. Beberapa
pandangan mengatakan antara lain bahwa manusia tumbuh menjadi seperti apa yang
terbentuk oleh lingkungan.4
C. Tujuan Konseling
Corey (1977) dan George dan Cristiani (1990) mengemukakan bahwa konseling
behavioral itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1. Berfokus pada perilaku yang tampak dan spesifik.
2. Memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan terapeutik.
3. Mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai masalah klien.
4. Penaksiran objektif atas tujuan terapeutik.
Secara khusus, tujuan konseling behavioral mengubah perilaku salah dalam
penyesuaian dengan cara-cara memperkuat perilaku yang diharapkan dan meniadakan
3
Latipun. Psikologi Konseling. Malang. UMM PRES. 2010. Hal 91
4
Latipun. Psikologi Konseling. Malang. UMM PRES. 2010. Hal 92
perilaku yang tidak diharapkan serta membantu menemukan cara-cara berperilaku
yang tepat.
Krumboltz mengemukakan bahwa dengan dirumuskannya perubahan perilaku dalam
bentuk operasioanal sebagai tujuan konseling, maka akan menimbulkan konsekuensi
sebagai berikut.
1. Konselor dan klien akan lebih jelas mengantisipasi apa yang akan di proses dalam
konseling, yang telah dan yang tidak akan diselesaikan.
2. Psikologi konseling menjadi lebih terintegrasi dengan teori-teori psikologi beserta
hasil penelitiannya.
3. Perbedaan kriteria harus diaplikasikan secara berbeda dalam mengukur
keberhasilan konseling.
D. Prosedur Konseling
Tokoh aliran psikologi behavioral John D. Krumboltz dan Carl Thoresen
menempatkan prosedur belajar dalam empat kategori, sebagai berikut.
1. Belajar operan (operant learning) adalah belajar didasarkan atas perlunya
pemberian ganjaran untuk menghasilkan perubahan perilaku yang diharapkan.
2. Belajar mencontoh yaitu cara dalam memberikan respon baru melalui
menunjukkan atau mengerjakan model-model perilaku yang diinginkan sehingga
dapat dilakukan oleh klien.
3. Belajar kognitif, yaitu belajr memelihara respon yang di harapkan dan boleh
mengadaptasi perilaku yang lebih baik melalui instruksi sederhana.
4. Belajar emosi yaitu cara yang digunakan untuk mengganti respon-respon
emosional yang dapat diterima sesuai dengan konteks classical conditioning.
Konselor dakam setiap menyelenggarakan konseling harus beranggapan bahwa setiap
reaksi klien adalah akibat dari situasi yang diberikannya. Tujuan konseling behavioral
dalam pengambilan keputusan adalah secara nyata membuat keputusan.
E. Peranan Konselor
Konselor behavioral memiliki peran yang sangat penting dalam membantu klien.
Wolpe mengemukakan peran yang harus dilakukan konselor, yaitu bersikap
menerima, mencoba memahami klien dan apa yang dikemukakan tanpa menilai atau
mengkritiknya.
F. Teknik Spesifik
1. Desensitisasi Sistematis
Merupakan teknik relaksasi yang digunkan untuk menghapus perilaku yang
diperkuat secara negatif biasanya berupa kecemassan dan ia menyertakan respon
yang berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan
2. Terapi Implosif
Dikembangkan berdasarkan atas asumsi bahwa seseorang yang secara
berulang0ulang dihadapkan pada suatu situasi penghasil kecemasan dan
konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan ternyata tidak muncul maka
kecemasan akan hilang.
3. Latihan Perilaku Asertif
Melatih individu yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri bahwa
tindakannya adakah layak atau benar. Cara yang digunakan adalah ddengan
permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi-diskusi kelompok
diterapkan untuk latihan asertif ini.
4. Pengkondisian Aversi
Dilakukan untuk meredakan perilaku simptomatik dengan cara menyajikan
stimulus yang tidak menyenangkan sehingga perilaku yang tidak dikehendaki
tersebut terhambat kemunculannya. Stimulus dapat berupa sengatan listrik atau
ramuan-ramuan yang membuat mual. Jadi terapi aversi ini menahan perilaku yang
maladaptif dan individu berkesempatan untuk memperoleh perilaku alternatif
yang adaptif.
5. Pembentukan Perilaku Model
Digunkan untuk membentuk perilaku baru pada klien dan memperkuat perilaku
yang sudah terbentuk.
6. Kontrak Perilaku
Persetujuan antara dua orang atau lebih untuk mengubah perilaku tertentu pada
klien. Konselor dapat memilih perilaku yang realistik dan dapat diterima oleh
kedua belah pihak.5
5
Latipun. Psikologi Konseling. Malang. UMM PRES. 2010. Hal 101
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perilaku manusia dapat terus bergerak menjadi kompleks dari perilaku kompleks
dibentuk oleh seleksi alam, evolusi budaya, atau sejarah penguatan individu. Tidak
menyangkal keberadaan proses mental lebih tinggi seperti kognisi, rasio dan
rekoleksi. Namun juga tidak mengabaikan perilaku kompleks manusia sepreti
kreativitas, perilaku yang tidak disadari, mimpi, dan perilaku sosial.
B. Penutup
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi bukan
berarti makalah ini tidak berguna. Besar harapan kami makalah ini dapat menjadi
referensi bagi pembaca serta menambah ilmu pengetahuan bagi kita.
DAFTAR PUSTAKA
Latipun. 2010. Psikologi Konseling. Malang : UMM PRESS
Winkel W.S & M.M Sri Hastuti. 2004. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan,
Yogyakarta: Media Abadi
Al-Quran dan Terjemah. Bandung : SYGMA
Download