BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

advertisement
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Yoga
2.1.1. Definisi Yoga
Yoga berasal dari kata Sansekerta dari yug root (bergabung), atau yoke
(untuk berkonsentrasi). Pada dasarnya yoga datang untuk menggambarkan sarana
penyatuan antara tubuh dengan pikiran. Patanjali, yang disebut “Bapak Yoga”
mendefinisikan yoga sebagai “proses berpikir yang membuat pikiran tenang”.
Patanjali menunjukkan etika (yama dan niyama) adalah cara untuk membersihkan
pikiran, tubuh, dan jiwa. Beliau menekankan pendekatan yang lebih psikologis
untuk penyembuhan dan realisasi diri. Organ dan sistem tubuh dibersihkan
terlebih dahulu melalui asana (postur) dan pranayama (mengendalikan nafas)
(Garfinkel & Schumacher, 2000). Intinya Sindhu (2009) menyatakan, melalui
yoga seseorang akan lebih baik mengenal tubuhnya, mengenal pikirannya, dan
mengenal jiwanya.
Yoga menjadi popular di Barat, dan yoga pun menjadi “kebarat-baratan”.
Postur yang diajarkan sebagai tujuan dalam diri mereka sendiri hanya untuk
menyembuhkan penyakit, mengurangi stres, atau terlihat lebih baik. Fakta bahwa
postur ini adalah dasar untuk realisasi diri tetapi diabaikan. Banyak orang berpikir
bahwa yoga sebagai sistem meditasi atau agama. Bagaimanapun, yoga
dimaksudkan untuk dipraktekkan dalam konteks yang lebih besar dari kesadaran
spiritual disiplin. Yoga dianggap sebagai pendekatan holistic untuk kesehatan
yang tidak hanya meningkatkan fleksibilitas, kekuatan, dan stamina tetapi juga
menumbuhkan kesadaran diri, kestabilan emosi, dan ketenangan pikiran
(Garfinkel & Schumacher, 2000).
2.1.2. Manfaat Berlatih Yoga
Berlatih yoga secara teratur akan memberikan manfaat besar, antara lain
(Sindhu, 2009):
- Meningkatkan fungsi kerja kelenjar endokrin (hormonal) di dalam tubuh.
- Meningkatkan sirkulasi darah ke seluruh sel tubuh otak.
- Membentuk postur tubuh yang lebih tegap, serta otot yang lebih lentur dan kuat.
- Meningkatkan kapasitas paru-paru saat bernapas.
- Membuang racun dari dalam tubuh (detoksifikasi).
- Meremajakan sel-sel tubuh dan memperlambat penuaan.
- Memurnikan saraf pusat yang terdapat di tulang punggung.
- Mengurangi ketegangan tubuh, pikiran, dan mental, serta membuatnya lebih
kuat saat menghadapi stress.
- Memberikan kesempatan untuk merasakan relaksasi yang mendalam.
- Meningkatkan kesadaran pada lingkungan.
- Meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan untuk berpikir positif.
2.1.3. Aliran-aliran Yoga
Sindhu (2009) mengemukakan ada sembilan bentuk aliran yoga yang
disesuaikan dengan kebutuhan khusus para siswa yoga, yakni:
a. Jnana yoga (penyatuan melalui ilmu pengetahuan)
b. Karma yoga (penyatuan melalui pelayanan sosial terhadap sesama
manusia)
c. Bhakti yoga (penyatuan melalui bakti terhadap Tuhan)
d. Yantra yoga ( penyatuan melalui pembuatan visual)
e. Mantra yoga (penyatuan melalui suara dan bunyi)
f. Tantra yoga (penyatuan melalui pembangkitan energi chakra)
g. Kundalini
yoga
(penyatuan
melalui
pembangkitan
energi
kundalini)
h. Hatha yoga (penyatuan melalui penguasaan tubuh dan napas)
i. Raja yoga (penyatuan melalui penguasaan pikiran dan mental)
Sedangkan Claire (2006) mengatakan bahwa yoga merupakan sistem
latihan yang beraneka ragam yang terdiri dari banyak pendekatan menuju
kesadaran diri, banyak ahli yoga setuju bahwa ada empat aliran utama yoga yang
dari waktu ke waktu telah dijadikan titik awal pengembangan latihan yoga. Selain
keempat aliran ini, ada beberapa sistem yoga lain yang telah mengundang minat
dan perhatian luas untuk membangun latihan yoga. Sistem-sistem ini mungkin
dianggap sebagai aliran atau anak cabang dari keempat aliran utama yoga.
Penjelasan berikut ini akan membantu Anda untuk memahami keempat aliran
utama yoga dengan beberapa aliran yang paling penting. Keempat aliran yoga
utama yoga itu adalah yoga bhakti, yoga jnana, yoga karma, dan yoga raja
(Claire, 2006):
a. Yoga Bhakti: Yoga Pengabdian
Bhakti secara harfiah dalam bahasa Sansekerta berarti “pengabdian”. Yoga
bhakti dikenal sebagai yoga pengabdian. Mengikuti jalan yoga bhakti
mensyaratkan seseorang untuk menyerahkan diri seutuhnya pada suatu kekuatan
yang lebih besar dari pada dirinya. Kekuatan itu mungkin Tuhan, orang suci, guru
yang dihormati, atau suatu kualitas, misalnya cinta. Memulai membuka hati
seseorang dengan cinta dan pengabdiannya yang tak terbagi pada kekuatan yang
lebih tinggi ini,kita akan memasuki keagungan dari kesadaran diri. Keyakinan,
keanggunan, dan cinta adalah tanda-tanda dari yoga bhakti.
b. Yoga Jnana: Yoga Ilmu Pengetahuan
Jnana secara harfiah dalam bahasa Sansekerta berarti “kearifan” atau
“ilmu pengetahuan”. Yoga jnana dikenal sebagai yoga kearifan. Dari sebuah
cabang yoga, Jalan mensyaratkan konsentrasi terbesar dari aktivitas mental.
Belajar membedakan antara yang nyata dari yang tidak nyata, dan diri pribadi
yang terbatas, yang merupakan sumber semua kehidupan. Meditasi merupakan
sarana yang paling kuat yang digunakan dalam latihan yoga jnana.
c. Yoga Karma: Yoga Tindakan
Karma secara harfiah dalam bahasa Sansekerta berarti “tindakan” atau
“sebab”. Yoga karma dikenal sebaga tindakan. Mengikuti jalan yoga karma
melibatkan pencarian kebebasan melalui tindakan seseorang di dunia ini. Setia
melayani orang lain tanpa mementingkan diri sendiri dan menjalankan tugas-tugas
seseorang dalam kehidupan. Dengan kesadaran dan kewaspadaan yang sempurna
tanpa memandang keberhasilan atau kegagalan, akan memungkinkan pelaku yoga
karma untuk mencapai pencerahan dan pembebasan diri.
d. Yoga Raja: Yoga Kerajaan
Raja dalam bahasa Sansekerta berarti “bangsawan”. Yoga raja dikenal
sebagai jalan bangsawan menuju yoga pencerahan. Dari semua cabang yoga, yoga
raja merupakan pendekatan yoga yang paling terkenal di Barat. Para praktisi yoga
raja mengikuti jalan yang sudah ditentukan yang terdiri dari delapan latihan atau
cabang yang dikenal sebagai ashtanga (delapan cabang) untuk kesadaran diri.
Yoga raja kadang-kadang disebut yoga klasik karena latihan-latihannya dijelaskan
dengan panjang lebar di dalam kitab Yoga Sutras karya Patanjali, salah satu teks
paling awal yang masih ada mengenai latihan yoga.
e. Yoga Kundalini
Kundalini mengacu pada tenaga yang sangat kuat yang digambarkan
sebagai seekor ular (dari kundala yang berarti “bergelung”). Kekuatan ini
tersimpan didasar tulang belakang, terbaring menggelung seperti seekor ular dan
dianggap bersifat feminin. Ia tertidur sampai dibangunkan secara semestinya.
f. Yoga Laya
Laya
dalam bahasa
Sansekerta
berarti
“meleleh”,
“larut”, atau
“menyerap”. Yoga laya adalah pendekatan terhadap meditasi yang menggunakan
ritual dan latihan khusus, seperti pernapasan untuk mencapai keadaan penyerapan
total.
g. Yoga Mantra
Mantra dalam bahasa Sansekerta berarti “pikiran” atau “alat pikiran”.
Yoga mantra menggunakan suara-suara khusus sebagai alat untuk memusatkan
dan menenangkan pikiran.
h. Yoga Tantra
Tantra dalam bahasa Sansekerta berarti “mesin tenun”. Yoga tantra
menggunakan berbagai latihan seperti ritual eksternal untuk merayakan prinsip
feminin ilahiah dan juga lebih banyak latihan internal seperti meditasi dan
pembacaan mantra untuk merangkai jalan menuju pencerahan.
j. Yoga Hatha
Hatha dalam bahasa Sansekerta secara harfiah berarti “kekerasan” atau
“kekuatan” yoga hatha sering disebut sebagai “yoga kekuatan”. Yoga hatha secara
umum mengacu pada latihan posisi tubuh fisik atau asana dalam yoga.
Beberapa latihan seperti meditasi, lazim terdapat pada lebih dari satu aliran
yoga. Seseorang dapat membuka hatinya melalui yoga bhakti, terlibat dengan
urusan duniawi secara sadar dan patuh melalui yoga karma, mengasah ketajaman
mental melalui yoga jnana, dan berusaha melatih pembebasan melalui yoga raja.
Semua itu dapat dilakukan pada waktu yang sama. Seseorang yang setia
mengikuti ajaran-ajaran dari semua cabang yoga akan menemukan dalam yoga
suatu sistem yang nyaris sempurna untuk menjalani kehidupan, pemikiran,
kesadaran diri yang benar (Claire, 2006).
Sindhu (2009) mengemukakan bahwa Hatha Yoga berfokus pada teknik
asana (postur), pranayama (olah napas), bandha (kuncian), mudra (gesturi), serta
relaksasi yang mendalam. Dalam bahasa Sansekerta, ha berarti matahari dan tha
berarti bulan. Hatha yoga menekankan penyeimbangan kedua kekuatan yang
bertolak belakang pada tubuh, seperti halnya energi maskulin (the sun/ matahari)
dan energi feminin (the moon/ bulan), yin dan yang, kiri dan kanan, tarikan dan
hembusan napas, rasa sedih dan gembira, dan sebagainya. Tujuannya adalah
menjaga keseimbangan alami tubuh dengan mempraktikkan kelima prinsip yoga.
Claire (2006) mengemukakan hatha yoga merupakan suatu cara untuk
menyeimbangkan dan menyelaraskan tubuh dan pikiran. Begitu pula dengan
Asmarani (2011) mengatakan hatha yoga adalah istilah yang memayungi cabang
yoga yang menggunakan latihan fisik untuk mencapai keseimbangan dan
keselarasan antara tubuh, pikiran, dan jiwa.
Dengan banyaknya aliran tersebut yang telah dikemukakan diatas,
Asmarani (2011) mengemukakan jenis hatha yoga bagus untuk memperkenalkan
Anda pada yoga dan cocok untuk murid dari berbagai tingkat. Maka, dalam
penelitian ini peneliti menggunakan teknik yoga dengan aliran hatha yoga yang
lebih mengarah pada gerak tubuh yang dapat dipraktekkan dari berbagai tingkat
sehingga diperkirakan dapat membantu self-regulation dalam diri individu
tersebut karena memiliki kesinambungan. Aliran hatha yoga dengan selfregulation yang berkesinambungan yaitu aliran hatha yoga dapat meregangkan
serta meningkatkan stamina untuk melepas rasa tegang karena kecemasan dan
ketegangan yang telah dialami. Aliran hatha yoga juga dapat menenangkan
pikiran melalui teknik bernapas yang bertujuan untuk meningkatkan selfregulation ibu rumah tangga agar tidak mudah berperilaku emosional dengan
bersikap tetap tenang dalam melalui masalah kesehariannya. Selain itu, hatha
yoga juga dapat mempertajam konsentrasi ibu rumah tangga agar tetap terfokus
terhadap apa yang dikerjakan ibu rumah tangga tersebut dengan kata lain,
konsentrasi yang tajam dalam hatha yoga, dapat meningkatkan kognitif selfregulation pada ibu rumah tangga.
2.1.4. Delapan Aspek Yoga
Tahap-tahap ini diuraikan secara terperinci dalam kitab Yoga Sutras karya
Patanjali berasal dari semacam jenjang di mana tiap latihannya dibangun secara
berurutan pada latihan yang dilakukan sebelumnya (Claire, 2006), yaitu;
Yama. Dalam bahasa Sansekerta berarti “pengendalian diri”. Yama adalah
seperangkat latihan etika yang menyerupai perintah dari Kitab Perjanjian Lama
yang menjadi dasar bagi perkembangan spiritual. Agar bisa terbebaskan, calon
praktisi yoga pertama-tama harus menjauhkan diri dari tingkah laku yang akan
mengganggu kehidupannya dan kehidupan orang lain. Patanjali memberi petunjuk
lima yama yang harus dipatuhi : tanpa kekerasan (ahimsa); jujur (satya); tidak
mencuri
(asteya);
tidak
mengumbar
nafsu
seksual
dengan
seseorang
(brahmacarya); dan tidak rakus (aparigraha). Dengan berlatih yoga kelima yama
ini seseorang mengembangkan pengendalian diri yang diperlukan untuk mengejar
tujuan yoga yang tertinggi.
Niyama. Dalam bahasa Sansekerta berarti menahan diri dalam arti
“disiplin”. Niyama adalah seperangkat prinsip etika di mana praktisi yoga
disarankan untuk melakukan aktivitas kehidupannya. Patanjali memerinci lima
niyama untuk dijadikan latihan: kemurnian (saucha), kepuasan (santhosa),
tapabrata (tapas), belajar (svadhyaya), dan penyerahan diri kepada kekuatan yang
lebih tinggi (isvara-pranidhana). Jika dilakukan secara bersama-sama, niyama
memberikan petunjuk kehidupan yang benar.
Asana. Dalam bahasa Sansekerta berarti “duduk” atau “posisi tubuh”.
Asana adalah seperangkat petunjuk posisi tubuh fisik atau pose yang dimaksudkan
untuk memurnikan dan memperkuat badan dan pikiran. Bagi banyak orang, yoga
memiliki kesamaan arti dengan posisi tubuh ini menjadi dasar apa yang dikenal
sebagai yoga hatha, yang diambil dari sistem yoga raja. Asana memainkan peran
yang begitu penting dalam yoga sehingga dapat berhasil meningkatkan
pendekatan untuk mempraktikkannya.
Pranayama.
Dalam
pernapasan”. Akan tetapi,
bahasa
Sansekerta
yang dimaksud
berarti
“mengendalikan
dengan pernapasan
(prana)
sesungguhnya lebih sekedar menghirup dan mengeluarkan napas. Pernapasan juga
memiliki kesamaan arti dengan kekuatan vital atau kekuatan hidup. Tanpa
pernapasan tidak ada kehidupan. Para praktisi yoga bahwa belajar mengendalikan
pernapasan dengan tujuan menenangkan pikiran adalah sangat penting. Oleh
karena itu, latihan-latihan terperinci telah dikembangkan untuk meningkatkan
aliran pernapasan atau kekuatan hidup yang vital ini. Latihan-latihan ini
mencakup berbagai cara menarik napas, dan membuang napas.
Pratyahara. Dalam bahasa Sansekerta berarti “penarikan diri” atau
membuat indera-indera kelaparan. Dalam latihan pratyahara kita harus menarik
indera-indera dari objek-objek indrawi, seperti dalam keadaan tidur.
Dharana. Dalam bahasa Sansekerta berarti “konsentrasi”. Begitu praktisi
yoga telah menarik indera dari objek-objek luar, dia berlatih untuk berkonsentrasi,
misalnya dengan memusatkan pada satu titik sebuah objek kesadaran, seperti
kesan mental dan suara.
Dhyana. Dalam bahasa Sansekerta berarti “meditasi”. Ketika konsentrasi
praktisi yoga berkembang, konsentrasi itu lebih dalam masuk ke meditasi.
Samadhi. Dalam bahasa
Sansekerta berarti “kebahagiaan”. Begitu
seseorang telah menyempurnakan tahap-tahap sebelumnya pada tangga yoga, dia
akan memasuki suatu keadaan yang kadang-kadng dinamakan supra-kesadaran
ketika orang itu menyatu dengan kesadaran yang tak terbatas dari alam semesta.
Keadaan bahagia ini merupakan tujuan akhir yoga raja.
Namun Asmarani (2011) menyatakan bahwa aliran yang biasa dipakai
pada hatha yoga yaitu kombinasi asana, pranayama, dan kadang-kadang meditasi
singkat.
1. Asana atau postur yoga, merupakan gerakan yang lembut dan
sistematis. asana bermanfaat untuk meningkatkan kelenturan serta
kekuatan otot dan sendi tubuh, memijat susunan saraf pusat di tulang
punggung, melancarkan aliran darah, menyeimbangkan produksi
hormon, serta membuang racun dari dalam tubuh (Sindhu, 2009).
2. Pranayama atau teknik pernapasan, meningkatkan asupan oksigen
serta prana ke dalam tubuh, menggiatkan fungsi kerja sel tubuh, serta
meningkatkan konsentrasi dan ketenangan pikiran (Sindhu, 2009).
3. Dharana atau konsentrasi, adalah tahap awal menuju Dhyana atau
meditasi. Dharana merupakan kelanjutan Pratyahara karena pikiran
menjadi lebih tajam (Sindhu, 2009).
2.2. Self-Regulation
2.2.1. Definisi Self-Regulation
Dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya, manusia memiliki
kemampuan yang luas untuk dapat mengontrol dalam menyatakan, proses, dan
respon (Baumeister dikutip dalam Ridder & Wit, 2006). Baumeister mengatakan
Individu yang dapat bertahan terhadap impuls individu tersebut, beradaptasi
dengan perilaku, dan mengubah perilaku saat bersosialisasi (Ridder & Wit, 2006).
Istilah self-regulation seringkali digunakan secara luas terhadap upaya manusia
untuk mengubah pikiran, perasaan, keinginan, dan tindakan individu tersebut
(Carver & Scheier, Vohs & Baumeister dikutip dalam Ridder & Wit, 2006).
Maka, self-regulation dari Baumeister mengacu pada individu yang aktif dalam
membuat keputusan, dan merupakan bagian penting dari adaptasi manusia (Ridder
& Wit, 2006).
Bandy dan Moore (2010) mengatakan self-regulation mengacu pada kedua
proses conscious dan unconscious yang dapat mempengaruhi kemampuan untuk
mengendalikan respon. Hal ini adalah sebuah keterampilan atas kemampuan yang
tidak terpenuhi pada individu, menangani kekecewaan, serta kegagalan, dan
mengarah pada keberhasilan. Kemampuan untuk self-regulation sendiri adalah
dasar perilaku untuk diterima di rumah, sekolah, dan kemudian, di tempat kerja.
Self-regulation yang sering dianggap sebagai sebuah dual proses -kognitif dan sosial dan
emosional (Bandy & Moore, 2010).
Kemudian Bandy dan Moore (2010) mengemukakan kognitif selfregulation adalah derajat dimana individu dapat merencanakan serta berpikir ke
depan. Individu dengan kekuatan ini dapat mengontrol pikiran mereka. Inidvidu
dapat memantau perilaku mereka, menilai kemampuan mereka, dan mampu
menyesuaikan perilaku mereka.
Sosial
dan
emosional
self-regulation
adalah
kemampuan
untuk
menghambat tanggapan negatif dan penundaan pemuasan. Individu dengan
kemampuan ini mampu mengontrol reaksi emosional untuk situasi positif dan
negatif (Bandy & Moore, 2010).
Para psikolog berminat dalam self-regulation yang telah ada dalam
beberapa tahun terakhir ini, dan sebagai sebuah ilustrasi Leventhal, Brisette dan
Leventhal (Ridder & Wit, 2006) menemukan bahwa dua pertiga dari 2.700
publikasi berisikan keyword “self-regulation” 1990. Contoh Cameron Diaz dan
Leventhal, dengan meningkatnya popularitas ini dipromosikan berbagai
pandangan yang berbeda dalam berbagai prinsip dari “self-regulation” yang
mengusulkan dua properti dasar (Ridder & Wit, 2006). Yang pertama adalah ciri
umum untuk menafsirkan diri sebagai sesuatu yang dinamis dalam motivasi untuk
mencapai tujuan. Sifat umum yang kedua adalah bahwa self-regulation ini juga
berkaitan dengan pengelolaan emosional respons, yang dilihat sebagai elemen
penting dari sistem motivasi, dan yang mengandung proses kognitif.
Menurut Cantor, Gollwitzer, dan Kuhl keberhasilan self-regulation
memerlukan pemikiran, perasaan, dan tindakan (Ridder & Wit, 2006), terutama
ketika menghadapi hambatan dan konflik antara tujuan dan self-regulation ini
ditafsirkan sebagai proses sistematik yang melibatkan kesadaran untuk
mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku untuk mencapai suatu tujuan yang
diinginkan (cf. Zeidner, Boekaerts& Pintrich dalam Ridder & Wit, 2006).
Bandura dan Mischel juga mengemukakan kontribusi psikologis self-regulation
yaitu peraturan dari kesehatan yang dipahami, khususnya sejauh mana individu
memiliki peran motivasi (Ridder & Wit, 2006).
Sedangkan menurut Moilanen (2006) yang menyimpulkan self-regulation
dari berbagai sumber ialah kemampuan untuk berperilaku aktif dengan fleksibel,
memonitor, menyesuaikan perilaku seseorang, perhatian, emosi dan strategi
kognitif dalam menanggapi sesuatu rangsangan yang berasal dari lingkungan dan
umpan balik dari orang lain, dengan upaya untuk mencapai pribadi yang memiliki
tujuan yang relevan.
Manusia mempunyai kemampuan berpikir dan dengan kemampuan itu
mereka memanipulasi lingkungan, sehingga terjadi perubahan lingkungan akibat
kegiatan manusia (Alwisol, 2009). Dapat disimpulkan bahwa definisi selfregulation
adalah
kemampuan
diri
seseorang
untuk
mengembangkan,
menerapkan, dan menjaga perilaku untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
2.2.2. Konsep Self-Regulation
Bandura (Alwisol, 2009) menyatakan, banyak aspek dan fungsi
kepribadian melibatkan interaksi orang satu dengan yang lain. Dampaknya, teori
kepribadian yang memadai harus memperhitungkan konteks sosial di mana
tingkah laku itu diperoleh dan dipelihara. Salah satu diantara teori Bandura yaitu
mengenai self-regulation yaitu; Kognisi dan regulasi diri, teori belajar tradisional
sering terhalang oleh ketidaksenangan atau ketidakmampuan mereka untuk
menjelaskan proses kognitif. Konsep Bandura menempatkan manusia sebagai
pribadi yang dapat mengatur diri sendiri (self-regulation), mempengaruhi tingkah
laku dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif,
mengadakan konsekuensi bagi tingkah lakunya sendiri. Kemampuan kecerdasan
untuk berfikir simbolik menjadi sarana yang kuat untuk menangani lingkungan,
misalnya dengan menyimpan pengalaman (dalam ingatan) dalam ujud verbal dan
gambaran imajinasi untuk kepentingan tingkah laku pada masa yang akan datang.
Kemampuan untuk menggambarkan secara imajinatif hasil yang diinginkan pada
masa yang akan datang mengembangkan strategi tingkah laku yang membimbing
ke arah tujuan jangka panjang.
Moilanen (2006) juga menjelaskan perbedaan short-term dan long-term
self-regulation yang mengenai rentang waktu dimana seorang individu mengatur
dirinya. Aspek short-term pada self-regulation biasanya menilai dalam langkahlangkah yang tersedia. Jangka pendek self-regulation dalam konteks langsung.
Sebaliknya, long-term self-regulation jangka panjang melibatkan kontrol impuls
selama periode yang lebih panjang. Jangka panjang self-regulation juga
melibatkan aspek perencanaan yang penting atau perencanaan besar, seperti
merencanakan program studi di perguruan tinggi dalam rangka memenuhi tujuan
karir.
2.2.3. Disfungsi Self-Regulation
Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang kurang mampu untuk
mengembangkan self-regulation (Susanto, 2006): Kurangnya pengalaman belajar
dari lingkungan sosial adalah faktor yang pertama yang menyebabkan kegagalan
seseorang dalam mengembangkan self-regulation. Seringkali mereka mengalami
kesulitan untuk mengembangkan self-regulation disebabkan mereka tumbuh di
rumah atau lingkungan yang tidak mengajarkan mereka untuk melakukan selfregulation, tidak diberikan contoh, atau pun tidak diberikan reward (Brody,
Stoneman, Flor dalam Susanto, 2006).
Batasan kedua yang menghambat seseorang dalam mengembangkan selfregulation bersumber dari dalam dirinya yaitu adanya sikap apatis (dis- interest).
Hal ini disebabkan dalam menggunakan teknik-teknik self-regulation yang efektif
dibutuhkan antisipasi, konsentrasi, usaha (Susanto, 2006).
Gangguan suasana hati, dari Bandura seperti mania atau depresi adalah
batasan ketiga yang dapat menyebabkan disfungsi self-regulation. Sebagai contoh,
seseorang
yang
mengalami
depresi
cenderung
menunjukkan
perilaku
menyalahkan diri sendiri, salah dalam mempersepsikan hasil perilaku mereka,
bersikap negatif (Susanto, 2006).
Batasan yang keempat yang sering dihubungkan dengan disfungsi selfregulation adalah learning disabilities, seperti kurang mampu berkonsentrasi,
mengingat, membaca, dan menulis (Borkowski & Thorpe dikutip dalam Susanto,
2006). Sebagai contoh, memiliki masalah dalam mengontrol dorongannya, dan
kurang akurat dalam menilai kemampuan yang mereka miliki.
2.2.4. Faktor Dalam Self-Regulation
A. Faktor eksternal dalam self-regulation dalam dua cara (Alwisol, 2009)
Pertama, memberi standar untuk mengevaluasi tingkah laku. Faktor
lingkungan berinteraksi dengan pengaruh pribadi, membentuk standar evaluasi
diri seseorang. Kedua, dalam bentuk penguatan (reinforcement). Hadiah intrinsik
tidak selalu memberi kepuasan, orang membutuhkan insentif yang berasal dari
lingkungan eksternal. Ketika orang dapat mencapai standar tingkah laku tertentu,
perlu penguatan agar tingkah laku menjadi pilihan untuk dilakukan lagi.
B. Menurut Bandura faktor internal dalam self-regulation dalam tiga bentuk
(Alwisol, 2009)
Self-observation: dilakukan berdasarkan faktor kualitas penampilan,
kuantitas penampilan, orisinalitas tingkah laku diri, dan seterusnya. Apa yang
diobservasi seseorang tergantung kepada minat dan konsep dirinya.
Proses penilaian atau mengadili tingkah laku (judgement process): adalah
melihat kesesuaian tingkah laku dengan standar pribadi, membandingkan tingkah
laku dengan norma standar atau dengan tingkah laku orang lain menilai
berdasarkan pentingnya suatu aktivitas, dan member atribusi perfirmasi.
Reaksi diri afektif (self-response): akhirnya berdasarkan pengamatan dan
judgement itu, orang mengevaluasi diri dengan sendiri positif atau negatif, dan
kemudian menghadiahkan atau menghukum diri sendiri. Bisa terjadi tidak muncul
afektif, karena fungsi kognitif membuat keseimbangan yang mempengaruhi
evaluasi positif atau negatif menjadi kurang bermakna secara individual.
2.2.5. Struktur Fase Self-Regulation
Winne mengatakan setiap orang akan berusaha untuk meregulasi dirinya
dengan berbagai cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Susanto
2006). Oleh karena itu yang membedakan hanyalah efektivitas dari self-regulation
itu sendiri. Pada waktu seseorang mampu mengembangkan kemampuan selfregulation secara optimal, maka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dapat
dicapai secara optimal. Sebaliknya pada saat seseorang kurang mampu
mengembangkan kemampuan self-regulation dalam dirinya, maka pencapai
tujuan yang telah ditetapkan tidak dapat dicapai secara optimal. Ketidak efektifan
dalam
kemampuan
self-regulation
ini
bisa
disebabkan
oleh
kurang
berkembangnya salah satu fase dalam proses self-regulation terutama pada fase
forethought dan performance control yang tidak efektif (Bandura, Zimmerman
dikutip dalam Susanto 2006).
Berdasarkan perspektif Susanto (2006) social cognitive, proses selfregulation
digambarkan
oleh
tiga
fase
perputaran:
Fase
forethought
(perencanaan), performance or volitional control (pelaksanaan), self-reflection
(proses evaluasi). Fase forethought berkaitan dengan proses-proses yang
berpengaruh yang mendahului usaha untuk bertindak dan juga meliputi proses
dalam menentukan tahap-tahap untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya.
Fase performance or volitional control meliputi proses-proses yang terjadi selama
seseorang bertindak dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada fase
sebelumnya. Fase self-reflection meliputi proses yang terjadi setelah seseorang
melakukan upaya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dan pengaruh dari
respon (feedback) terhadap pengalamannya yang kemudian akan memberikan
pengaruh pada fase forethought dalam menetapkan tujuan dan langkah-langkah
yang harus dilaksanakannya. Ketiga fase tersebut terus menerus berulang dan
membentuk suatu siklus.
Secara ringkas proses yang terjadi dalam ketiga fase tersebut dalam dilihat
dari tabel dibawah ini:
Tabel 2.1.
struktur fase dan sub proses pada self-regulation
Performance/
Forethought
Self-Reflection
VolitionalControl
Task Analysis
- Goal setting
- Strategic planning
Self-control
- Self intruction
- Imagery
- Attention: focusing
- Task strategies
Self-motivation
- Self eficacy
Self-observation
- Outcomes expectations
- Self recording
- Intrinsic interest/ value
- Self experimentation
- Goal orientation
Sumber: Boekaerts (Susanto, 2006)
I.
Self judgement
- Self evaluation
- Causal attribution
Self-reaction
- Self-satisfaction/ affect
- Adaptive
- Deffensive
Fase Forethought. Terdapat dua kategori dalam fase forethought:
Task analysis, dan Self motivation.
Task analysis. Yang menjadi inti dari task analysis, meliputi penentuan
tujuan (goal setting) dan strategic planning. Goal setting dapat diartikan sebagai
penetapan atau penentuan hasil belajar yang ingin dicapai dari seseorang. Goal
system dari seseorang yang mampu melakukan self-regulation tersusun secara
bertahap. Proses tersebut dilakukan sebagai regulator untuk mencapai tujuan yang
sama dengan hasil yang pernah dicapai. Bentuk kedua dari task analysis adalah
strategic planning. Strategi Zimmerman ini merupakan suatu proses dan tindakan
seseorang yang bertujuan dan diarahkan untuk memperoleh dan menunjukkan
suatu keterampilam yang digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
(Susanto 2006). Strategi yang dipilih secara tepat dapat meningkatkan
performance
dengan
mengembangkan
kognitif,
mengontrol
affect,
dan
mengarahkan kegiatan motorik (Pressley & Wolloshyn dikutip dalam Susanto
2006). Perencanaan dan pemilihan strategi membutuhkan penyesuaian yang terus
menerus karena adanya perubahan-perubahan baik dalam diri individu itu sendiri
ataupun dari kondisi lingkungan.
Self Motivation Beliefs. Yang menjadi dasar task analysis dan strategic
planning menurut Bandura self motivation beliefs yang meliputi self eficacy,
outcome expectation, intrinsic interest or valuing, dan goal orientation. Self
eficacy merujuk pada keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk
memiliki performance yang optimal untuk mencapai tujuannya, sementara
outcomes expectation merujuk pada harapan seseorang tentang pencapaian suatu
hasil dari upaya yang telah dilakukannya (Susanto 2006). Sebagai contoh, self
efficacy yang mempengaruhi goal setting dari Bandura, Locke dan Latham adalah
adalah sebagai berikut: semakin mampu seseorang meyakini kemampuan mereka
sendiri, maka akan semakin tinggi tujuan yang mereka tetapkan dan semakin
mantap ia akan bertahan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya
(Susanto 2006).
II.
Fase Performance / Volitional control
Self-Control.
Proses self-control
seperti
self-instruction,
imagery,
attention focusing, dan task strategies, membantu individu memfokuskan pada
tujuan yang dihadapinya dan mengoptimalkan usaha untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkannya. Salah satu perilaku yang dapat diamati pada saat seseorang
sedang berada di fase ini adalah saat individu mencoba untuk memecahkan
persoalan, individu memperlihatkan verbalisasi dalam mengingat kejadian yang
pernah dialami (self-instruction), mencoba untuk membentuk suatu gambaran
mental secara utuh misalnya dengan cara melakukan proses encoding (imagery)
ataupun mencoba berbagai teknik untuk melatih konsentrasi agar dapat dengan
mudah mengingat lagi kejadian yang pernah dialamai individu (attention
focusing).
Self-Observation. Proses Self-observing, mengacu pada penelusuran
seseorang terhadap aspek-aspek yang spesifik dari performance yang mereka
tampilkan, kondisi sekelilingnya, dan akibat yang dihasilkannya (Zimmerman &
Paulsen, dalam Susanto 2006). Penetapan tujuan yang dilakukan pada fase
forethought mempermudah self-observation, karena tujuannya terfokus pada
proses yang spesifik dan terhadap kejadian di sekelilingnya.
III.
Fase Self-Reflection
Self-Judgement.
Self-judgement
meliputi
self-evaluation
terhadap
performance yang ditampilkannya dalam upaya mencapai tujuan dan menjelaskan
penyebab yang signifikan terhadap hasil yang dicapainya. Self-evaluation
mengarah pada upaya untuk membanding informasi yang diperolehnya melalui
self-monitoring dengan standar atau tujuan yang telah ditetapkan pada fase
forethought.
Self Reaction. Proses yang kedua yang terjadi pada fase ini adalah selfreaction yang terus menerus akan mempengaruhi fase forethought dan seringkali
berdampak pada performance yang ditampilkannya dimasa mendatang terhadap
tujuan yang ditetapkannya (Susanto 2006).
2.3. Ibu Rumah Tangga
2.3.1. Definisi Ibu Rumah Tangga
Sampai pada tahun 1930, Santrock mengemukakan pernikahan yang stabil
pada umumnya sebagai titik terakhir pada perkembangan dewasa. Namun 60
tahun terakhir ini, dalam diri maupun dari luar diri individu muncul tujuan seperti
persaingan dalam perkawinan yang stabil (Santrock, 2008).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi ibu rumah tangga yaitu
sebagai seorang wanita yang mengatur penyelenggaraan
berbagai macam
pekerjaan rumah tangga, atau dengan pengetian lain ibu rumah tangga merupakan
seorang istri (ibu) yang hanya mengurusi berbagai pekerjaan dalam rumah tangga
(tidak bekerja di kantor).
2.3.2. Ibu Tidak Bekerja
Menurut Dwijayanti Ibu rumah tangga yang tidak bekerja atau singkatnya
disebut ibu rumah tangga, memiliki perngertian sebagai wanita yang lebih banyak
menghabiskan waktunya di rumah, mempersembahkan waktunya untuk
memelihara anak-anak dan mengasuh menurut pola-pola yang diberikan
masyarakat (Mumtahinnah, 2007).
Kartono
mengemukakan,
(Mumtahinnah, 2007):
ibu
memiliki
peranan
sebagai
berikut
Peran sebagai istri, mencakup sikap hidup yang mantap, bisa
mendampingi suami dalam situasi yang bagaimanapun juga, disertai rasa kasih
sayang, kecintaan, loyalitas dan kesetiaan pada partner hidupnya.
Peranan sebagai partner seks, seks mengimplikasi hal sebagai berikut:
terdapatnya hubungan hetero-seksual yang memuaskan, tanpa disfungsi
(gangguan-gangguan fungsi) seks.
Fungsi sebagai ibu dan pendidik, bila ibu tersebut mampu menciptakan
iklim psikis yang gembira-bahagia dan bebas: sehingga suasana rumah tangga
menjadi semarak, dan bisa memberikan rasa aman, bebas, hangat, menyenangkan
serta penuh kasih sayang.
Peranan wanita sebagai pengatur rumah tangga, dalam hal ini terdapat
relasi-relasi formal dan semacam pembagian kerja (devision of labour): dimana
suami terutama sekali bertindak sebagai pencari nafkah. Dan istri berfungsi
sebagai pengurus rumah tangga.
Peranan sebagai partner hidup, peranan sebagai partner hidup
memerlukan: kebijaksanaan, mampu berpikiran luas, dan sanggup mengikuti
gerak langkah atau karier suaminya.
2.3.3. Ibu Bekerja
Pendidikan yang tinggi merupakan faktor yang mendorong perempuan
untuk bekerja. Secara kodrati wanita yang sudah bersuami dan mempunyai anak,
harus mengurus rumah tangganya (melayani suami dan anak). Dengan bekerjanya
wanita di luar rumah tidak berpengaruh jelek terhadap pendidikan anak, karena
pada dasarnya anak-anak yang ibunya bekerja juga bisa membantu untuk
memenuhi kebutuhan keluarga dan ibu masih mempunyai kesempatan untuk
memperhatikan putra-putrinya (Suryadi & Damayanti, 2003)
Pengertian bekerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegiatan
yang dilakukan secara teratur dengan tujuan jelas yaitu memperoleh penghasilan
atau memperoleh sesuatu dalam bentuk benda, jasa, atau gagasan (Dwijanti
dikutip dalam Suryadi & Damayanti, 2003). Oleh karena itu, maka, seorang
wanita dikatakan bekerja bila ia mendapat gaji dari seseorang untuk melaksanakan
tugas tertentu yaitu menjadi pekerja atau karyawati, mempunyai jadwal tertentu,
jarang di rumah sehingga waktunya terbatas untuk bertemu anak-anaknya
(Suryadi & Damayanti, 2003).
Faktor internal dari Dwijanti adalah persoalan yang timbul dalam diri
pribadi sang ibu tersebut. Ada diantara pada ibu yang lebih senang jika dirinya
benar-benar hanya menjadi ibu rumah tangga, yang sehari-hari berkutat di rumah
dan mengatur rumah tangga. namun, keadaan menuntutnya bekerja untuk
menyokong keuangan keluarga. Selain itu ada pula tekanan yang timbul sebagai
akibat dari pelaksanaan perna ganda itu sendiri. Memang, kemampuan manajemen
waktu dan rumah tangga merupakan salah satu kesulitan yang paling sering
dihadapi oleh para ibu bekerja. Mereka harus dapat memainkan peran mereka
sebaik mungkin baik di tempat kerja maupun di rumah (Suryadi & Damayanti,
2003).
Faktor eksternal dibagi menjadi tiga yaitu dukungan suami, kehadiran
anak, dan masalah pekerjaan. Dukungan suami yang dimaksud di sini adalah
sikap-sikap penuh pengertian yang ditunjukkan dalam bentuk kerja sama yang
positif. Ikut membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, membantu
mengurus anak-anak serta memberikan dukungan moral dan emosional terhadap
karir atau pekerjaan istrinya (Suryadi & Damayanti, 2003).
Masalah pekerjaan, bisa menjadi sumber ketegangan dan stress yang besar
bagi ibu bekerja. Mulai dari peraturan kerja yang kaku, bos yang tidak bijaksana,
beban kerja yang berat, ketidakadilan yang dirasakan di tempat kerja, rekan-rekan
yang sulit bekerja sama. Waktu kerja yang sangat panjang, atau pun
ketidaknyamanan psikologis yang dialami akibat dari masalah sosial-politis di
tempat kerja. Situasi demikian akan membuat sang ibu menjadi amat lelah,
sementara kehadirannya masih sangat dinantikan oleh keluarga di rumah.
Kelelahan psikis dan fisik itulah yang sering membuat mereka sensitif dan
emosional (Suryadi & Damayanti, 2003).
Salah satu alasan ibu bekerja adalah masalah aktualisasi diri. Abraham
Maslow (dikutip dalam Suryadi & Damayanti, 2003) mengembangkan teori
hirarki kebutuhan, yang salah satunya mengungkapkan bahwa manusia
mempunyai kebutuhan akan aktualisasi diri, dan menemukan makna hidupnya
melalui aktivitas yang dijalaninya. Bekerja adalah salah satu sarana atau jalan
yang dapat dipergunakan oleh manusia dalam menemukan makna hidupnya.
Dengan berkarya, berkreasi, mencipta, mengekspresikan diri, mengembangkan
diri, dan orang lain, membagikan ilmu dan pengalaman, menemukan sesuatu,
serta mendapatkan penghargaan, penerimaan, prestasi adalah bagian dari proses
penemuan dan pencapaian kepenuhan diri. Kebutuhan akan aktualisasi diri
melalui profesi atau pun karirnya, merupakan salah satu pilihan yang banyak
diambil oleh para wanita di jaman sekarang ini terutama dengan makin
terbukanya kesempatan yang sama pada wanita untuk meraih jenjang karir yang
tinggi (Suryadi & Damayanti, 2003).
2.4. Pengaruh Efektivitas Yoga Terhadap Self-Regulation Pada Ibu Rumah
Tangga
Pada setiap individu umumnya memiliki berbagai permasalahan dalam
menjalani hidup, masalah yang berasal baik dalam dirinya maupun masalah yang
muncul dari luar atau lingkungannya. Ibu rumah tangga yang dengan pola
kehidupan sehari-harinya habis dengan mengurusi berbagai macam pekerjaan
rumah tangga akan menimbulkan kejenuhan dan merasa lelah dengan aktivitasnya
tersebut, hal ini menimbulkan perilaku yang susah sekali dikendalikan agar tetap
berperilaku baik. Terlebih lagi pada ibu rumah tangga yang juga bekerja atau ibu
rumah tangga yang memiliki profesi lain selain menjadi ibu dari buah hatinya dan
sebagai seorang istri. Dengan adanya kondisi ini tidak jarang menghadirkan
berbagai masalah sehingga menimbulkan pola perilaku yang tidak baik contohnya
seperti stres dan mengakibatkan emosional yang tidak stabil.
Dengan tuntutan rumah tangga yang harus dijalani oleh para ibu baik yang
bekerja atau tidak bekerja ini akan menimbulkan efek negatif terhadap keluarga.
Misalnya pada ibu rumah tangga yang tidak bekerja akan merasa kelelahan karena
pekerjaan rumah tangga dan menimbulkan perilaku yang kurang baik seperti
marah terhadap anak. Selain itu dampak negatif yang ditimbulkan oleh ibu rumah
tangga yang bekerja yaitu timbulnya kekhawitaran dan merasa bersalah terhadap
anak yang ditinggal sementara waktu pada saat ibu pergi bekerja belum lagi
masalah pekerjaan yang ada.
Maka para ibu pun membutuhkan self-regulation yang baik untuk
menghadapi berbagai masalah. Self-regulation merupakan proses dimana
seseorang dapat mengatur dan mengelola dalam menetapkan tujuan yang ingin
dicapai individu itu sendiri yang kemudian semua hal tersebut diarahkan dan
didorong pada konteks sosial lingkungan.
Gejala-gejala yang akan timbul bila tidak memiliki self-regulation yang
baik yaitu seperti gangguan pada selera makan, merasa gangguan emosional yang
tidak tentu misalnya; masalah pada mood yang berubah sangat cepat, mudah
marah, sedih, depresi, mudah tersinggung, dan menangis. Selain itu gejala
tersebut akan timbul saat berkonsentrasi, misalnya saja sulit berfokus atas apa
yang ingin ia kerjakan, sangat sulit untuk menentukan suatu keputusan, pikirian
merasa kacau sehingga tidak ingat apa yang ingin ia kerjakan, seringkali
melamun, bahkan menyangkut kepada kinerja kerja yang kurang memuaskan.
Selain itu bermasalah dengan sosialisasinya terhadap lingkungan sekitar, misalnya
saja membatalkan janji secara tiba-tiba, mencari-cari bentuk kesalahan orang lain
dan menyalahkannya, dan bahkan menyerang orang lain dengan kata-kata yang
tidak semestinya terucap atau dikatakan yang membuat orang lain merasa
tersinggung.
Dengan adanya berbagai masalah tersebut para ibu rumah tangga ini
sebaiknya memiliki self-regulation yang baik dengan cara menyeimbangkan
antara tubuh dengan pikiriannya dengan baik. Mengatasi atau mengantisipasi atas
kejadian-kejadian tersebut, setiap individu memiliki caranya masing-masing,
salah satunya dengan berolahraga. Para ibu rumah tangga membutuhkan teknik
yang dapat menyeimbangkan tubuh dan pikirannya untuk mengatasi selfregulation yang kurang baik.
Dengan berlatih yoga yang bertujuan untuk membawa seseorang agar
dapat merasakan kebahagiaan, pencerahan, dan kebebasan adalah suatu teori dan
praktek sebagai teknik latihan. Seperti pada aliran hatha yoga yang memiliki
aspek berkesinambungan pada self-regulation yaitu seperti aspek asana (postur
tubuh), dimana aspek ini berfokus pada gerakan yoga yang dapat meregangkan
otot dan meningkatkan stamina tubuh sehingga dapat melemaskan otot yang
tegang pada ibu rumah tangga akibat dari kecemasan dan ketegangan yang telah
dialaminya. Hatha yoga ini juga memiliki aspek pranayama (teknik bernapas)
dimana teknik ini dapat menambah ketenangan pikiran sehingga self-regulation
ibu rumah tangga agar dapat bersikap tenang dalam melalui masalah
kesehariannya dengan tidak mudah berperilaku emosional. Selain itu, hatha yoga
juga berfungsi untuk meningkatkan konsentrasi seperti pada aspek dharana
(konsentrasi) agar kognitif self-regulation pada ibu rumah tangga lebih terfokus.
2.5. Penelitian Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian yang dilakukan, akan
dicantumkan beberapa hasil penelitian terhadulu yang pernah peneliti baca untuk
melakukan penelitian ini dari beberapa peneliti diantaranya:
Penelitian yang berjudul Longitudinal Gains in Self-Regulation From
Regular Physical Exercise tahun 2006 yang telah diteliti oleh Megan Oaten dan
Ken Cheng. Penelitian ini berupa eksperimental dimana subjek penelitian
membuat laporan pribadi mengenai regulatory behaviours pada setiap harinya.
Penelitian dengan judul Pengaruh Yoga Terhadap Stres Pada Wanita Karir
yang telah diteliti oleh Linda Yuliana Santoso tahun 1999, pada penelitian
tersebut ditegaskan bahwa stres yang terjadi pada wanita karir atas tuntutan yang
mengakibatkan konflik sehingga menyebabkan ketegangan ini mengharapkan
yoga dapat membuat wanita karir untuk mengatasi gejala-gejala stres yang
dialami para wanita karir dengan bentuk eksperimen kelas yoga pada peneiltian
tersebut.
Timothy Gordon yang melakukan penelitian Theorizing Yoga as a
Mindfullness Skill pada tahun lalu atau pada tahun 2013 ini membahas peran
potensial individu dalam pengembangan keterampilan mindfulness dalam
pengembangan teori dengan cara mempraktekkan yoga untuk arah masa depan
yang lebih baik. Yoga sebagai keterampilan kesadaran mungkin terbukti menjadi
kegiatan yang lebih mengasyikkan bagi populasi klien yang berpartisipasi dalam
pernapasan
Selain itu Penelitian selanjutnya yang berjudul Yoga and Mindfulness:
Clinical Aspects of an Ancient Mind/Body Practice diteliti oleh Paul Salmon,
Elizabeth Lush, Megan Jablonski, and Sandra E. Sephton pada tahun 2009 ini
meneliti mengenai gambaran pelaksanaan yoga terkini terpaut pada isu-isu praktis
fisiologis dan penjelasan efek psikologis terkait dengan pelatihan dan pengalaman
guru. Dan menghasilkan adanya signifikansi antara berlatih hatha yoga dan
meditasi yoga dengan program Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR).
Karena program tersebut berasal dalam pengaturan medis, dan pada awalnya yoga
didirikan sebagai sarana yang lembut untuk mengantisipasi bagi penderita yang
tidak berdaya.
2.6. Hipotesis
Berdasarkan teori yang telah diurasikan dapat dikemukakan hipotesis bahwa:
1.
Ada pengaruh positif yang signifikan pada efektivitas yoga terhadap selfregulation pada ibu rumah tangga.
2.
Ada perbedaan self-regulation yang signifikan antara ibu rumah tangga
yang bekerja dan ibu rumah tangga yang tidak bekerja.
3.
Ada perbedaan self-regulation yang signifikan antara ibu rumah tangga
yang hanya mengikuti yoga dengan ibu rumah tangga yang memiliki
aktivitas lain selain yoga.
Download