BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1. Yoga 2.1.1. Definisi Yoga Yoga berasal dari kata Sansekerta dari yug root (bergabung), atau yoke (untuk berkonsentrasi). Pada dasarnya yoga datang untuk menggambarkan sarana penyatuan antara tubuh dengan pikiran. Patanjali, yang disebut “Bapak Yoga” mendefinisikan yoga sebagai “proses berpikir yang membuat pikiran tenang”. Patanjali menunjukkan etika (yama dan niyama) adalah cara untuk membersihkan pikiran, tubuh, dan jiwa. Beliau menekankan pendekatan yang lebih psikologis untuk penyembuhan dan realisasi diri. Organ dan sistem tubuh dibersihkan terlebih dahulu melalui asana (postur) dan pranayama (mengendalikan nafas) (Garfinkel & Schumacher, 2000). Intinya Sindhu (2009) menyatakan, melalui yoga seseorang akan lebih baik mengenal tubuhnya, mengenal pikirannya, dan mengenal jiwanya. Yoga menjadi popular di Barat, dan yoga pun menjadi “kebarat-baratan”. Postur yang diajarkan sebagai tujuan dalam diri mereka sendiri hanya untuk menyembuhkan penyakit, mengurangi stres, atau terlihat lebih baik. Fakta bahwa postur ini adalah dasar untuk realisasi diri tetapi diabaikan. Banyak orang berpikir bahwa yoga sebagai sistem meditasi atau agama. Bagaimanapun, yoga dimaksudkan untuk dipraktekkan dalam konteks yang lebih besar dari kesadaran spiritual disiplin. Yoga dianggap sebagai pendekatan holistic untuk kesehatan yang tidak hanya meningkatkan fleksibilitas, kekuatan, dan stamina tetapi juga menumbuhkan kesadaran diri, kestabilan emosi, dan ketenangan pikiran (Garfinkel & Schumacher, 2000). 2.1.2. Manfaat Berlatih Yoga Berlatih yoga secara teratur akan memberikan manfaat besar, antara lain (Sindhu, 2009): - Meningkatkan fungsi kerja kelenjar endokrin (hormonal) di dalam tubuh. - Meningkatkan sirkulasi darah ke seluruh sel tubuh otak. - Membentuk postur tubuh yang lebih tegap, serta otot yang lebih lentur dan kuat. - Meningkatkan kapasitas paru-paru saat bernapas. - Membuang racun dari dalam tubuh (detoksifikasi). - Meremajakan sel-sel tubuh dan memperlambat penuaan. - Memurnikan saraf pusat yang terdapat di tulang punggung. - Mengurangi ketegangan tubuh, pikiran, dan mental, serta membuatnya lebih kuat saat menghadapi stress. - Memberikan kesempatan untuk merasakan relaksasi yang mendalam. - Meningkatkan kesadaran pada lingkungan. - Meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan untuk berpikir positif. 2.1.3. Aliran-aliran Yoga Sindhu (2009) mengemukakan ada sembilan bentuk aliran yoga yang disesuaikan dengan kebutuhan khusus para siswa yoga, yakni: a. Jnana yoga (penyatuan melalui ilmu pengetahuan) b. Karma yoga (penyatuan melalui pelayanan sosial terhadap sesama manusia) c. Bhakti yoga (penyatuan melalui bakti terhadap Tuhan) d. Yantra yoga ( penyatuan melalui pembuatan visual) e. Mantra yoga (penyatuan melalui suara dan bunyi) f. Tantra yoga (penyatuan melalui pembangkitan energi chakra) g. Kundalini yoga (penyatuan melalui pembangkitan energi kundalini) h. Hatha yoga (penyatuan melalui penguasaan tubuh dan napas) i. Raja yoga (penyatuan melalui penguasaan pikiran dan mental) Sedangkan Claire (2006) mengatakan bahwa yoga merupakan sistem latihan yang beraneka ragam yang terdiri dari banyak pendekatan menuju kesadaran diri, banyak ahli yoga setuju bahwa ada empat aliran utama yoga yang dari waktu ke waktu telah dijadikan titik awal pengembangan latihan yoga. Selain keempat aliran ini, ada beberapa sistem yoga lain yang telah mengundang minat dan perhatian luas untuk membangun latihan yoga. Sistem-sistem ini mungkin dianggap sebagai aliran atau anak cabang dari keempat aliran utama yoga. Penjelasan berikut ini akan membantu Anda untuk memahami keempat aliran utama yoga dengan beberapa aliran yang paling penting. Keempat aliran yoga utama yoga itu adalah yoga bhakti, yoga jnana, yoga karma, dan yoga raja (Claire, 2006): a. Yoga Bhakti: Yoga Pengabdian Bhakti secara harfiah dalam bahasa Sansekerta berarti “pengabdian”. Yoga bhakti dikenal sebagai yoga pengabdian. Mengikuti jalan yoga bhakti mensyaratkan seseorang untuk menyerahkan diri seutuhnya pada suatu kekuatan yang lebih besar dari pada dirinya. Kekuatan itu mungkin Tuhan, orang suci, guru yang dihormati, atau suatu kualitas, misalnya cinta. Memulai membuka hati seseorang dengan cinta dan pengabdiannya yang tak terbagi pada kekuatan yang lebih tinggi ini,kita akan memasuki keagungan dari kesadaran diri. Keyakinan, keanggunan, dan cinta adalah tanda-tanda dari yoga bhakti. b. Yoga Jnana: Yoga Ilmu Pengetahuan Jnana secara harfiah dalam bahasa Sansekerta berarti “kearifan” atau “ilmu pengetahuan”. Yoga jnana dikenal sebagai yoga kearifan. Dari sebuah cabang yoga, Jalan mensyaratkan konsentrasi terbesar dari aktivitas mental. Belajar membedakan antara yang nyata dari yang tidak nyata, dan diri pribadi yang terbatas, yang merupakan sumber semua kehidupan. Meditasi merupakan sarana yang paling kuat yang digunakan dalam latihan yoga jnana. c. Yoga Karma: Yoga Tindakan Karma secara harfiah dalam bahasa Sansekerta berarti “tindakan” atau “sebab”. Yoga karma dikenal sebaga tindakan. Mengikuti jalan yoga karma melibatkan pencarian kebebasan melalui tindakan seseorang di dunia ini. Setia melayani orang lain tanpa mementingkan diri sendiri dan menjalankan tugas-tugas seseorang dalam kehidupan. Dengan kesadaran dan kewaspadaan yang sempurna tanpa memandang keberhasilan atau kegagalan, akan memungkinkan pelaku yoga karma untuk mencapai pencerahan dan pembebasan diri. d. Yoga Raja: Yoga Kerajaan Raja dalam bahasa Sansekerta berarti “bangsawan”. Yoga raja dikenal sebagai jalan bangsawan menuju yoga pencerahan. Dari semua cabang yoga, yoga raja merupakan pendekatan yoga yang paling terkenal di Barat. Para praktisi yoga raja mengikuti jalan yang sudah ditentukan yang terdiri dari delapan latihan atau cabang yang dikenal sebagai ashtanga (delapan cabang) untuk kesadaran diri. Yoga raja kadang-kadang disebut yoga klasik karena latihan-latihannya dijelaskan dengan panjang lebar di dalam kitab Yoga Sutras karya Patanjali, salah satu teks paling awal yang masih ada mengenai latihan yoga. e. Yoga Kundalini Kundalini mengacu pada tenaga yang sangat kuat yang digambarkan sebagai seekor ular (dari kundala yang berarti “bergelung”). Kekuatan ini tersimpan didasar tulang belakang, terbaring menggelung seperti seekor ular dan dianggap bersifat feminin. Ia tertidur sampai dibangunkan secara semestinya. f. Yoga Laya Laya dalam bahasa Sansekerta berarti “meleleh”, “larut”, atau “menyerap”. Yoga laya adalah pendekatan terhadap meditasi yang menggunakan ritual dan latihan khusus, seperti pernapasan untuk mencapai keadaan penyerapan total. g. Yoga Mantra Mantra dalam bahasa Sansekerta berarti “pikiran” atau “alat pikiran”. Yoga mantra menggunakan suara-suara khusus sebagai alat untuk memusatkan dan menenangkan pikiran. h. Yoga Tantra Tantra dalam bahasa Sansekerta berarti “mesin tenun”. Yoga tantra menggunakan berbagai latihan seperti ritual eksternal untuk merayakan prinsip feminin ilahiah dan juga lebih banyak latihan internal seperti meditasi dan pembacaan mantra untuk merangkai jalan menuju pencerahan. j. Yoga Hatha Hatha dalam bahasa Sansekerta secara harfiah berarti “kekerasan” atau “kekuatan” yoga hatha sering disebut sebagai “yoga kekuatan”. Yoga hatha secara umum mengacu pada latihan posisi tubuh fisik atau asana dalam yoga. Beberapa latihan seperti meditasi, lazim terdapat pada lebih dari satu aliran yoga. Seseorang dapat membuka hatinya melalui yoga bhakti, terlibat dengan urusan duniawi secara sadar dan patuh melalui yoga karma, mengasah ketajaman mental melalui yoga jnana, dan berusaha melatih pembebasan melalui yoga raja. Semua itu dapat dilakukan pada waktu yang sama. Seseorang yang setia mengikuti ajaran-ajaran dari semua cabang yoga akan menemukan dalam yoga suatu sistem yang nyaris sempurna untuk menjalani kehidupan, pemikiran, kesadaran diri yang benar (Claire, 2006). Sindhu (2009) mengemukakan bahwa Hatha Yoga berfokus pada teknik asana (postur), pranayama (olah napas), bandha (kuncian), mudra (gesturi), serta relaksasi yang mendalam. Dalam bahasa Sansekerta, ha berarti matahari dan tha berarti bulan. Hatha yoga menekankan penyeimbangan kedua kekuatan yang bertolak belakang pada tubuh, seperti halnya energi maskulin (the sun/ matahari) dan energi feminin (the moon/ bulan), yin dan yang, kiri dan kanan, tarikan dan hembusan napas, rasa sedih dan gembira, dan sebagainya. Tujuannya adalah menjaga keseimbangan alami tubuh dengan mempraktikkan kelima prinsip yoga. Claire (2006) mengemukakan hatha yoga merupakan suatu cara untuk menyeimbangkan dan menyelaraskan tubuh dan pikiran. Begitu pula dengan Asmarani (2011) mengatakan hatha yoga adalah istilah yang memayungi cabang yoga yang menggunakan latihan fisik untuk mencapai keseimbangan dan keselarasan antara tubuh, pikiran, dan jiwa. Dengan banyaknya aliran tersebut yang telah dikemukakan diatas, Asmarani (2011) mengemukakan jenis hatha yoga bagus untuk memperkenalkan Anda pada yoga dan cocok untuk murid dari berbagai tingkat. Maka, dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik yoga dengan aliran hatha yoga yang lebih mengarah pada gerak tubuh yang dapat dipraktekkan dari berbagai tingkat sehingga diperkirakan dapat membantu self-regulation dalam diri individu tersebut karena memiliki kesinambungan. Aliran hatha yoga dengan selfregulation yang berkesinambungan yaitu aliran hatha yoga dapat meregangkan serta meningkatkan stamina untuk melepas rasa tegang karena kecemasan dan ketegangan yang telah dialami. Aliran hatha yoga juga dapat menenangkan pikiran melalui teknik bernapas yang bertujuan untuk meningkatkan selfregulation ibu rumah tangga agar tidak mudah berperilaku emosional dengan bersikap tetap tenang dalam melalui masalah kesehariannya. Selain itu, hatha yoga juga dapat mempertajam konsentrasi ibu rumah tangga agar tetap terfokus terhadap apa yang dikerjakan ibu rumah tangga tersebut dengan kata lain, konsentrasi yang tajam dalam hatha yoga, dapat meningkatkan kognitif selfregulation pada ibu rumah tangga. 2.1.4. Delapan Aspek Yoga Tahap-tahap ini diuraikan secara terperinci dalam kitab Yoga Sutras karya Patanjali berasal dari semacam jenjang di mana tiap latihannya dibangun secara berurutan pada latihan yang dilakukan sebelumnya (Claire, 2006), yaitu; Yama. Dalam bahasa Sansekerta berarti “pengendalian diri”. Yama adalah seperangkat latihan etika yang menyerupai perintah dari Kitab Perjanjian Lama yang menjadi dasar bagi perkembangan spiritual. Agar bisa terbebaskan, calon praktisi yoga pertama-tama harus menjauhkan diri dari tingkah laku yang akan mengganggu kehidupannya dan kehidupan orang lain. Patanjali memberi petunjuk lima yama yang harus dipatuhi : tanpa kekerasan (ahimsa); jujur (satya); tidak mencuri (asteya); tidak mengumbar nafsu seksual dengan seseorang (brahmacarya); dan tidak rakus (aparigraha). Dengan berlatih yoga kelima yama ini seseorang mengembangkan pengendalian diri yang diperlukan untuk mengejar tujuan yoga yang tertinggi. Niyama. Dalam bahasa Sansekerta berarti menahan diri dalam arti “disiplin”. Niyama adalah seperangkat prinsip etika di mana praktisi yoga disarankan untuk melakukan aktivitas kehidupannya. Patanjali memerinci lima niyama untuk dijadikan latihan: kemurnian (saucha), kepuasan (santhosa), tapabrata (tapas), belajar (svadhyaya), dan penyerahan diri kepada kekuatan yang lebih tinggi (isvara-pranidhana). Jika dilakukan secara bersama-sama, niyama memberikan petunjuk kehidupan yang benar. Asana. Dalam bahasa Sansekerta berarti “duduk” atau “posisi tubuh”. Asana adalah seperangkat petunjuk posisi tubuh fisik atau pose yang dimaksudkan untuk memurnikan dan memperkuat badan dan pikiran. Bagi banyak orang, yoga memiliki kesamaan arti dengan posisi tubuh ini menjadi dasar apa yang dikenal sebagai yoga hatha, yang diambil dari sistem yoga raja. Asana memainkan peran yang begitu penting dalam yoga sehingga dapat berhasil meningkatkan pendekatan untuk mempraktikkannya. Pranayama. Dalam pernapasan”. Akan tetapi, bahasa Sansekerta yang dimaksud berarti “mengendalikan dengan pernapasan (prana) sesungguhnya lebih sekedar menghirup dan mengeluarkan napas. Pernapasan juga memiliki kesamaan arti dengan kekuatan vital atau kekuatan hidup. Tanpa pernapasan tidak ada kehidupan. Para praktisi yoga bahwa belajar mengendalikan pernapasan dengan tujuan menenangkan pikiran adalah sangat penting. Oleh karena itu, latihan-latihan terperinci telah dikembangkan untuk meningkatkan aliran pernapasan atau kekuatan hidup yang vital ini. Latihan-latihan ini mencakup berbagai cara menarik napas, dan membuang napas. Pratyahara. Dalam bahasa Sansekerta berarti “penarikan diri” atau membuat indera-indera kelaparan. Dalam latihan pratyahara kita harus menarik indera-indera dari objek-objek indrawi, seperti dalam keadaan tidur. Dharana. Dalam bahasa Sansekerta berarti “konsentrasi”. Begitu praktisi yoga telah menarik indera dari objek-objek luar, dia berlatih untuk berkonsentrasi, misalnya dengan memusatkan pada satu titik sebuah objek kesadaran, seperti kesan mental dan suara. Dhyana. Dalam bahasa Sansekerta berarti “meditasi”. Ketika konsentrasi praktisi yoga berkembang, konsentrasi itu lebih dalam masuk ke meditasi. Samadhi. Dalam bahasa Sansekerta berarti “kebahagiaan”. Begitu seseorang telah menyempurnakan tahap-tahap sebelumnya pada tangga yoga, dia akan memasuki suatu keadaan yang kadang-kadng dinamakan supra-kesadaran ketika orang itu menyatu dengan kesadaran yang tak terbatas dari alam semesta. Keadaan bahagia ini merupakan tujuan akhir yoga raja. Namun Asmarani (2011) menyatakan bahwa aliran yang biasa dipakai pada hatha yoga yaitu kombinasi asana, pranayama, dan kadang-kadang meditasi singkat. 1. Asana atau postur yoga, merupakan gerakan yang lembut dan sistematis. asana bermanfaat untuk meningkatkan kelenturan serta kekuatan otot dan sendi tubuh, memijat susunan saraf pusat di tulang punggung, melancarkan aliran darah, menyeimbangkan produksi hormon, serta membuang racun dari dalam tubuh (Sindhu, 2009). 2. Pranayama atau teknik pernapasan, meningkatkan asupan oksigen serta prana ke dalam tubuh, menggiatkan fungsi kerja sel tubuh, serta meningkatkan konsentrasi dan ketenangan pikiran (Sindhu, 2009). 3. Dharana atau konsentrasi, adalah tahap awal menuju Dhyana atau meditasi. Dharana merupakan kelanjutan Pratyahara karena pikiran menjadi lebih tajam (Sindhu, 2009). 2.2. Self-Regulation 2.2.1. Definisi Self-Regulation Dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya, manusia memiliki kemampuan yang luas untuk dapat mengontrol dalam menyatakan, proses, dan respon (Baumeister dikutip dalam Ridder & Wit, 2006). Baumeister mengatakan Individu yang dapat bertahan terhadap impuls individu tersebut, beradaptasi dengan perilaku, dan mengubah perilaku saat bersosialisasi (Ridder & Wit, 2006). Istilah self-regulation seringkali digunakan secara luas terhadap upaya manusia untuk mengubah pikiran, perasaan, keinginan, dan tindakan individu tersebut (Carver & Scheier, Vohs & Baumeister dikutip dalam Ridder & Wit, 2006). Maka, self-regulation dari Baumeister mengacu pada individu yang aktif dalam membuat keputusan, dan merupakan bagian penting dari adaptasi manusia (Ridder & Wit, 2006). Bandy dan Moore (2010) mengatakan self-regulation mengacu pada kedua proses conscious dan unconscious yang dapat mempengaruhi kemampuan untuk mengendalikan respon. Hal ini adalah sebuah keterampilan atas kemampuan yang tidak terpenuhi pada individu, menangani kekecewaan, serta kegagalan, dan mengarah pada keberhasilan. Kemampuan untuk self-regulation sendiri adalah dasar perilaku untuk diterima di rumah, sekolah, dan kemudian, di tempat kerja. Self-regulation yang sering dianggap sebagai sebuah dual proses -kognitif dan sosial dan emosional (Bandy & Moore, 2010). Kemudian Bandy dan Moore (2010) mengemukakan kognitif selfregulation adalah derajat dimana individu dapat merencanakan serta berpikir ke depan. Individu dengan kekuatan ini dapat mengontrol pikiran mereka. Inidvidu dapat memantau perilaku mereka, menilai kemampuan mereka, dan mampu menyesuaikan perilaku mereka. Sosial dan emosional self-regulation adalah kemampuan untuk menghambat tanggapan negatif dan penundaan pemuasan. Individu dengan kemampuan ini mampu mengontrol reaksi emosional untuk situasi positif dan negatif (Bandy & Moore, 2010). Para psikolog berminat dalam self-regulation yang telah ada dalam beberapa tahun terakhir ini, dan sebagai sebuah ilustrasi Leventhal, Brisette dan Leventhal (Ridder & Wit, 2006) menemukan bahwa dua pertiga dari 2.700 publikasi berisikan keyword “self-regulation” 1990. Contoh Cameron Diaz dan Leventhal, dengan meningkatnya popularitas ini dipromosikan berbagai pandangan yang berbeda dalam berbagai prinsip dari “self-regulation” yang mengusulkan dua properti dasar (Ridder & Wit, 2006). Yang pertama adalah ciri umum untuk menafsirkan diri sebagai sesuatu yang dinamis dalam motivasi untuk mencapai tujuan. Sifat umum yang kedua adalah bahwa self-regulation ini juga berkaitan dengan pengelolaan emosional respons, yang dilihat sebagai elemen penting dari sistem motivasi, dan yang mengandung proses kognitif. Menurut Cantor, Gollwitzer, dan Kuhl keberhasilan self-regulation memerlukan pemikiran, perasaan, dan tindakan (Ridder & Wit, 2006), terutama ketika menghadapi hambatan dan konflik antara tujuan dan self-regulation ini ditafsirkan sebagai proses sistematik yang melibatkan kesadaran untuk mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan (cf. Zeidner, Boekaerts& Pintrich dalam Ridder & Wit, 2006). Bandura dan Mischel juga mengemukakan kontribusi psikologis self-regulation yaitu peraturan dari kesehatan yang dipahami, khususnya sejauh mana individu memiliki peran motivasi (Ridder & Wit, 2006). Sedangkan menurut Moilanen (2006) yang menyimpulkan self-regulation dari berbagai sumber ialah kemampuan untuk berperilaku aktif dengan fleksibel, memonitor, menyesuaikan perilaku seseorang, perhatian, emosi dan strategi kognitif dalam menanggapi sesuatu rangsangan yang berasal dari lingkungan dan umpan balik dari orang lain, dengan upaya untuk mencapai pribadi yang memiliki tujuan yang relevan. Manusia mempunyai kemampuan berpikir dan dengan kemampuan itu mereka memanipulasi lingkungan, sehingga terjadi perubahan lingkungan akibat kegiatan manusia (Alwisol, 2009). Dapat disimpulkan bahwa definisi selfregulation adalah kemampuan diri seseorang untuk mengembangkan, menerapkan, dan menjaga perilaku untuk mencapai tujuan yang diinginkan. 2.2.2. Konsep Self-Regulation Bandura (Alwisol, 2009) menyatakan, banyak aspek dan fungsi kepribadian melibatkan interaksi orang satu dengan yang lain. Dampaknya, teori kepribadian yang memadai harus memperhitungkan konteks sosial di mana tingkah laku itu diperoleh dan dipelihara. Salah satu diantara teori Bandura yaitu mengenai self-regulation yaitu; Kognisi dan regulasi diri, teori belajar tradisional sering terhalang oleh ketidaksenangan atau ketidakmampuan mereka untuk menjelaskan proses kognitif. Konsep Bandura menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri (self-regulation), mempengaruhi tingkah laku dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif, mengadakan konsekuensi bagi tingkah lakunya sendiri. Kemampuan kecerdasan untuk berfikir simbolik menjadi sarana yang kuat untuk menangani lingkungan, misalnya dengan menyimpan pengalaman (dalam ingatan) dalam ujud verbal dan gambaran imajinasi untuk kepentingan tingkah laku pada masa yang akan datang. Kemampuan untuk menggambarkan secara imajinatif hasil yang diinginkan pada masa yang akan datang mengembangkan strategi tingkah laku yang membimbing ke arah tujuan jangka panjang. Moilanen (2006) juga menjelaskan perbedaan short-term dan long-term self-regulation yang mengenai rentang waktu dimana seorang individu mengatur dirinya. Aspek short-term pada self-regulation biasanya menilai dalam langkahlangkah yang tersedia. Jangka pendek self-regulation dalam konteks langsung. Sebaliknya, long-term self-regulation jangka panjang melibatkan kontrol impuls selama periode yang lebih panjang. Jangka panjang self-regulation juga melibatkan aspek perencanaan yang penting atau perencanaan besar, seperti merencanakan program studi di perguruan tinggi dalam rangka memenuhi tujuan karir. 2.2.3. Disfungsi Self-Regulation Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang kurang mampu untuk mengembangkan self-regulation (Susanto, 2006): Kurangnya pengalaman belajar dari lingkungan sosial adalah faktor yang pertama yang menyebabkan kegagalan seseorang dalam mengembangkan self-regulation. Seringkali mereka mengalami kesulitan untuk mengembangkan self-regulation disebabkan mereka tumbuh di rumah atau lingkungan yang tidak mengajarkan mereka untuk melakukan selfregulation, tidak diberikan contoh, atau pun tidak diberikan reward (Brody, Stoneman, Flor dalam Susanto, 2006). Batasan kedua yang menghambat seseorang dalam mengembangkan selfregulation bersumber dari dalam dirinya yaitu adanya sikap apatis (dis- interest). Hal ini disebabkan dalam menggunakan teknik-teknik self-regulation yang efektif dibutuhkan antisipasi, konsentrasi, usaha (Susanto, 2006). Gangguan suasana hati, dari Bandura seperti mania atau depresi adalah batasan ketiga yang dapat menyebabkan disfungsi self-regulation. Sebagai contoh, seseorang yang mengalami depresi cenderung menunjukkan perilaku menyalahkan diri sendiri, salah dalam mempersepsikan hasil perilaku mereka, bersikap negatif (Susanto, 2006). Batasan yang keempat yang sering dihubungkan dengan disfungsi selfregulation adalah learning disabilities, seperti kurang mampu berkonsentrasi, mengingat, membaca, dan menulis (Borkowski & Thorpe dikutip dalam Susanto, 2006). Sebagai contoh, memiliki masalah dalam mengontrol dorongannya, dan kurang akurat dalam menilai kemampuan yang mereka miliki. 2.2.4. Faktor Dalam Self-Regulation A. Faktor eksternal dalam self-regulation dalam dua cara (Alwisol, 2009) Pertama, memberi standar untuk mengevaluasi tingkah laku. Faktor lingkungan berinteraksi dengan pengaruh pribadi, membentuk standar evaluasi diri seseorang. Kedua, dalam bentuk penguatan (reinforcement). Hadiah intrinsik tidak selalu memberi kepuasan, orang membutuhkan insentif yang berasal dari lingkungan eksternal. Ketika orang dapat mencapai standar tingkah laku tertentu, perlu penguatan agar tingkah laku menjadi pilihan untuk dilakukan lagi. B. Menurut Bandura faktor internal dalam self-regulation dalam tiga bentuk (Alwisol, 2009) Self-observation: dilakukan berdasarkan faktor kualitas penampilan, kuantitas penampilan, orisinalitas tingkah laku diri, dan seterusnya. Apa yang diobservasi seseorang tergantung kepada minat dan konsep dirinya. Proses penilaian atau mengadili tingkah laku (judgement process): adalah melihat kesesuaian tingkah laku dengan standar pribadi, membandingkan tingkah laku dengan norma standar atau dengan tingkah laku orang lain menilai berdasarkan pentingnya suatu aktivitas, dan member atribusi perfirmasi. Reaksi diri afektif (self-response): akhirnya berdasarkan pengamatan dan judgement itu, orang mengevaluasi diri dengan sendiri positif atau negatif, dan kemudian menghadiahkan atau menghukum diri sendiri. Bisa terjadi tidak muncul afektif, karena fungsi kognitif membuat keseimbangan yang mempengaruhi evaluasi positif atau negatif menjadi kurang bermakna secara individual. 2.2.5. Struktur Fase Self-Regulation Winne mengatakan setiap orang akan berusaha untuk meregulasi dirinya dengan berbagai cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Susanto 2006). Oleh karena itu yang membedakan hanyalah efektivitas dari self-regulation itu sendiri. Pada waktu seseorang mampu mengembangkan kemampuan selfregulation secara optimal, maka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara optimal. Sebaliknya pada saat seseorang kurang mampu mengembangkan kemampuan self-regulation dalam dirinya, maka pencapai tujuan yang telah ditetapkan tidak dapat dicapai secara optimal. Ketidak efektifan dalam kemampuan self-regulation ini bisa disebabkan oleh kurang berkembangnya salah satu fase dalam proses self-regulation terutama pada fase forethought dan performance control yang tidak efektif (Bandura, Zimmerman dikutip dalam Susanto 2006). Berdasarkan perspektif Susanto (2006) social cognitive, proses selfregulation digambarkan oleh tiga fase perputaran: Fase forethought (perencanaan), performance or volitional control (pelaksanaan), self-reflection (proses evaluasi). Fase forethought berkaitan dengan proses-proses yang berpengaruh yang mendahului usaha untuk bertindak dan juga meliputi proses dalam menentukan tahap-tahap untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya. Fase performance or volitional control meliputi proses-proses yang terjadi selama seseorang bertindak dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada fase sebelumnya. Fase self-reflection meliputi proses yang terjadi setelah seseorang melakukan upaya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dan pengaruh dari respon (feedback) terhadap pengalamannya yang kemudian akan memberikan pengaruh pada fase forethought dalam menetapkan tujuan dan langkah-langkah yang harus dilaksanakannya. Ketiga fase tersebut terus menerus berulang dan membentuk suatu siklus. Secara ringkas proses yang terjadi dalam ketiga fase tersebut dalam dilihat dari tabel dibawah ini: Tabel 2.1. struktur fase dan sub proses pada self-regulation Performance/ Forethought Self-Reflection VolitionalControl Task Analysis - Goal setting - Strategic planning Self-control - Self intruction - Imagery - Attention: focusing - Task strategies Self-motivation - Self eficacy Self-observation - Outcomes expectations - Self recording - Intrinsic interest/ value - Self experimentation - Goal orientation Sumber: Boekaerts (Susanto, 2006) I. Self judgement - Self evaluation - Causal attribution Self-reaction - Self-satisfaction/ affect - Adaptive - Deffensive Fase Forethought. Terdapat dua kategori dalam fase forethought: Task analysis, dan Self motivation. Task analysis. Yang menjadi inti dari task analysis, meliputi penentuan tujuan (goal setting) dan strategic planning. Goal setting dapat diartikan sebagai penetapan atau penentuan hasil belajar yang ingin dicapai dari seseorang. Goal system dari seseorang yang mampu melakukan self-regulation tersusun secara bertahap. Proses tersebut dilakukan sebagai regulator untuk mencapai tujuan yang sama dengan hasil yang pernah dicapai. Bentuk kedua dari task analysis adalah strategic planning. Strategi Zimmerman ini merupakan suatu proses dan tindakan seseorang yang bertujuan dan diarahkan untuk memperoleh dan menunjukkan suatu keterampilam yang digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Susanto 2006). Strategi yang dipilih secara tepat dapat meningkatkan performance dengan mengembangkan kognitif, mengontrol affect, dan mengarahkan kegiatan motorik (Pressley & Wolloshyn dikutip dalam Susanto 2006). Perencanaan dan pemilihan strategi membutuhkan penyesuaian yang terus menerus karena adanya perubahan-perubahan baik dalam diri individu itu sendiri ataupun dari kondisi lingkungan. Self Motivation Beliefs. Yang menjadi dasar task analysis dan strategic planning menurut Bandura self motivation beliefs yang meliputi self eficacy, outcome expectation, intrinsic interest or valuing, dan goal orientation. Self eficacy merujuk pada keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk memiliki performance yang optimal untuk mencapai tujuannya, sementara outcomes expectation merujuk pada harapan seseorang tentang pencapaian suatu hasil dari upaya yang telah dilakukannya (Susanto 2006). Sebagai contoh, self efficacy yang mempengaruhi goal setting dari Bandura, Locke dan Latham adalah adalah sebagai berikut: semakin mampu seseorang meyakini kemampuan mereka sendiri, maka akan semakin tinggi tujuan yang mereka tetapkan dan semakin mantap ia akan bertahan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya (Susanto 2006). II. Fase Performance / Volitional control Self-Control. Proses self-control seperti self-instruction, imagery, attention focusing, dan task strategies, membantu individu memfokuskan pada tujuan yang dihadapinya dan mengoptimalkan usaha untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya. Salah satu perilaku yang dapat diamati pada saat seseorang sedang berada di fase ini adalah saat individu mencoba untuk memecahkan persoalan, individu memperlihatkan verbalisasi dalam mengingat kejadian yang pernah dialami (self-instruction), mencoba untuk membentuk suatu gambaran mental secara utuh misalnya dengan cara melakukan proses encoding (imagery) ataupun mencoba berbagai teknik untuk melatih konsentrasi agar dapat dengan mudah mengingat lagi kejadian yang pernah dialamai individu (attention focusing). Self-Observation. Proses Self-observing, mengacu pada penelusuran seseorang terhadap aspek-aspek yang spesifik dari performance yang mereka tampilkan, kondisi sekelilingnya, dan akibat yang dihasilkannya (Zimmerman & Paulsen, dalam Susanto 2006). Penetapan tujuan yang dilakukan pada fase forethought mempermudah self-observation, karena tujuannya terfokus pada proses yang spesifik dan terhadap kejadian di sekelilingnya. III. Fase Self-Reflection Self-Judgement. Self-judgement meliputi self-evaluation terhadap performance yang ditampilkannya dalam upaya mencapai tujuan dan menjelaskan penyebab yang signifikan terhadap hasil yang dicapainya. Self-evaluation mengarah pada upaya untuk membanding informasi yang diperolehnya melalui self-monitoring dengan standar atau tujuan yang telah ditetapkan pada fase forethought. Self Reaction. Proses yang kedua yang terjadi pada fase ini adalah selfreaction yang terus menerus akan mempengaruhi fase forethought dan seringkali berdampak pada performance yang ditampilkannya dimasa mendatang terhadap tujuan yang ditetapkannya (Susanto 2006). 2.3. Ibu Rumah Tangga 2.3.1. Definisi Ibu Rumah Tangga Sampai pada tahun 1930, Santrock mengemukakan pernikahan yang stabil pada umumnya sebagai titik terakhir pada perkembangan dewasa. Namun 60 tahun terakhir ini, dalam diri maupun dari luar diri individu muncul tujuan seperti persaingan dalam perkawinan yang stabil (Santrock, 2008). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi ibu rumah tangga yaitu sebagai seorang wanita yang mengatur penyelenggaraan berbagai macam pekerjaan rumah tangga, atau dengan pengetian lain ibu rumah tangga merupakan seorang istri (ibu) yang hanya mengurusi berbagai pekerjaan dalam rumah tangga (tidak bekerja di kantor). 2.3.2. Ibu Tidak Bekerja Menurut Dwijayanti Ibu rumah tangga yang tidak bekerja atau singkatnya disebut ibu rumah tangga, memiliki perngertian sebagai wanita yang lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah, mempersembahkan waktunya untuk memelihara anak-anak dan mengasuh menurut pola-pola yang diberikan masyarakat (Mumtahinnah, 2007). Kartono mengemukakan, (Mumtahinnah, 2007): ibu memiliki peranan sebagai berikut Peran sebagai istri, mencakup sikap hidup yang mantap, bisa mendampingi suami dalam situasi yang bagaimanapun juga, disertai rasa kasih sayang, kecintaan, loyalitas dan kesetiaan pada partner hidupnya. Peranan sebagai partner seks, seks mengimplikasi hal sebagai berikut: terdapatnya hubungan hetero-seksual yang memuaskan, tanpa disfungsi (gangguan-gangguan fungsi) seks. Fungsi sebagai ibu dan pendidik, bila ibu tersebut mampu menciptakan iklim psikis yang gembira-bahagia dan bebas: sehingga suasana rumah tangga menjadi semarak, dan bisa memberikan rasa aman, bebas, hangat, menyenangkan serta penuh kasih sayang. Peranan wanita sebagai pengatur rumah tangga, dalam hal ini terdapat relasi-relasi formal dan semacam pembagian kerja (devision of labour): dimana suami terutama sekali bertindak sebagai pencari nafkah. Dan istri berfungsi sebagai pengurus rumah tangga. Peranan sebagai partner hidup, peranan sebagai partner hidup memerlukan: kebijaksanaan, mampu berpikiran luas, dan sanggup mengikuti gerak langkah atau karier suaminya. 2.3.3. Ibu Bekerja Pendidikan yang tinggi merupakan faktor yang mendorong perempuan untuk bekerja. Secara kodrati wanita yang sudah bersuami dan mempunyai anak, harus mengurus rumah tangganya (melayani suami dan anak). Dengan bekerjanya wanita di luar rumah tidak berpengaruh jelek terhadap pendidikan anak, karena pada dasarnya anak-anak yang ibunya bekerja juga bisa membantu untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan ibu masih mempunyai kesempatan untuk memperhatikan putra-putrinya (Suryadi & Damayanti, 2003) Pengertian bekerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegiatan yang dilakukan secara teratur dengan tujuan jelas yaitu memperoleh penghasilan atau memperoleh sesuatu dalam bentuk benda, jasa, atau gagasan (Dwijanti dikutip dalam Suryadi & Damayanti, 2003). Oleh karena itu, maka, seorang wanita dikatakan bekerja bila ia mendapat gaji dari seseorang untuk melaksanakan tugas tertentu yaitu menjadi pekerja atau karyawati, mempunyai jadwal tertentu, jarang di rumah sehingga waktunya terbatas untuk bertemu anak-anaknya (Suryadi & Damayanti, 2003). Faktor internal dari Dwijanti adalah persoalan yang timbul dalam diri pribadi sang ibu tersebut. Ada diantara pada ibu yang lebih senang jika dirinya benar-benar hanya menjadi ibu rumah tangga, yang sehari-hari berkutat di rumah dan mengatur rumah tangga. namun, keadaan menuntutnya bekerja untuk menyokong keuangan keluarga. Selain itu ada pula tekanan yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan perna ganda itu sendiri. Memang, kemampuan manajemen waktu dan rumah tangga merupakan salah satu kesulitan yang paling sering dihadapi oleh para ibu bekerja. Mereka harus dapat memainkan peran mereka sebaik mungkin baik di tempat kerja maupun di rumah (Suryadi & Damayanti, 2003). Faktor eksternal dibagi menjadi tiga yaitu dukungan suami, kehadiran anak, dan masalah pekerjaan. Dukungan suami yang dimaksud di sini adalah sikap-sikap penuh pengertian yang ditunjukkan dalam bentuk kerja sama yang positif. Ikut membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, membantu mengurus anak-anak serta memberikan dukungan moral dan emosional terhadap karir atau pekerjaan istrinya (Suryadi & Damayanti, 2003). Masalah pekerjaan, bisa menjadi sumber ketegangan dan stress yang besar bagi ibu bekerja. Mulai dari peraturan kerja yang kaku, bos yang tidak bijaksana, beban kerja yang berat, ketidakadilan yang dirasakan di tempat kerja, rekan-rekan yang sulit bekerja sama. Waktu kerja yang sangat panjang, atau pun ketidaknyamanan psikologis yang dialami akibat dari masalah sosial-politis di tempat kerja. Situasi demikian akan membuat sang ibu menjadi amat lelah, sementara kehadirannya masih sangat dinantikan oleh keluarga di rumah. Kelelahan psikis dan fisik itulah yang sering membuat mereka sensitif dan emosional (Suryadi & Damayanti, 2003). Salah satu alasan ibu bekerja adalah masalah aktualisasi diri. Abraham Maslow (dikutip dalam Suryadi & Damayanti, 2003) mengembangkan teori hirarki kebutuhan, yang salah satunya mengungkapkan bahwa manusia mempunyai kebutuhan akan aktualisasi diri, dan menemukan makna hidupnya melalui aktivitas yang dijalaninya. Bekerja adalah salah satu sarana atau jalan yang dapat dipergunakan oleh manusia dalam menemukan makna hidupnya. Dengan berkarya, berkreasi, mencipta, mengekspresikan diri, mengembangkan diri, dan orang lain, membagikan ilmu dan pengalaman, menemukan sesuatu, serta mendapatkan penghargaan, penerimaan, prestasi adalah bagian dari proses penemuan dan pencapaian kepenuhan diri. Kebutuhan akan aktualisasi diri melalui profesi atau pun karirnya, merupakan salah satu pilihan yang banyak diambil oleh para wanita di jaman sekarang ini terutama dengan makin terbukanya kesempatan yang sama pada wanita untuk meraih jenjang karir yang tinggi (Suryadi & Damayanti, 2003). 2.4. Pengaruh Efektivitas Yoga Terhadap Self-Regulation Pada Ibu Rumah Tangga Pada setiap individu umumnya memiliki berbagai permasalahan dalam menjalani hidup, masalah yang berasal baik dalam dirinya maupun masalah yang muncul dari luar atau lingkungannya. Ibu rumah tangga yang dengan pola kehidupan sehari-harinya habis dengan mengurusi berbagai macam pekerjaan rumah tangga akan menimbulkan kejenuhan dan merasa lelah dengan aktivitasnya tersebut, hal ini menimbulkan perilaku yang susah sekali dikendalikan agar tetap berperilaku baik. Terlebih lagi pada ibu rumah tangga yang juga bekerja atau ibu rumah tangga yang memiliki profesi lain selain menjadi ibu dari buah hatinya dan sebagai seorang istri. Dengan adanya kondisi ini tidak jarang menghadirkan berbagai masalah sehingga menimbulkan pola perilaku yang tidak baik contohnya seperti stres dan mengakibatkan emosional yang tidak stabil. Dengan tuntutan rumah tangga yang harus dijalani oleh para ibu baik yang bekerja atau tidak bekerja ini akan menimbulkan efek negatif terhadap keluarga. Misalnya pada ibu rumah tangga yang tidak bekerja akan merasa kelelahan karena pekerjaan rumah tangga dan menimbulkan perilaku yang kurang baik seperti marah terhadap anak. Selain itu dampak negatif yang ditimbulkan oleh ibu rumah tangga yang bekerja yaitu timbulnya kekhawitaran dan merasa bersalah terhadap anak yang ditinggal sementara waktu pada saat ibu pergi bekerja belum lagi masalah pekerjaan yang ada. Maka para ibu pun membutuhkan self-regulation yang baik untuk menghadapi berbagai masalah. Self-regulation merupakan proses dimana seseorang dapat mengatur dan mengelola dalam menetapkan tujuan yang ingin dicapai individu itu sendiri yang kemudian semua hal tersebut diarahkan dan didorong pada konteks sosial lingkungan. Gejala-gejala yang akan timbul bila tidak memiliki self-regulation yang baik yaitu seperti gangguan pada selera makan, merasa gangguan emosional yang tidak tentu misalnya; masalah pada mood yang berubah sangat cepat, mudah marah, sedih, depresi, mudah tersinggung, dan menangis. Selain itu gejala tersebut akan timbul saat berkonsentrasi, misalnya saja sulit berfokus atas apa yang ingin ia kerjakan, sangat sulit untuk menentukan suatu keputusan, pikirian merasa kacau sehingga tidak ingat apa yang ingin ia kerjakan, seringkali melamun, bahkan menyangkut kepada kinerja kerja yang kurang memuaskan. Selain itu bermasalah dengan sosialisasinya terhadap lingkungan sekitar, misalnya saja membatalkan janji secara tiba-tiba, mencari-cari bentuk kesalahan orang lain dan menyalahkannya, dan bahkan menyerang orang lain dengan kata-kata yang tidak semestinya terucap atau dikatakan yang membuat orang lain merasa tersinggung. Dengan adanya berbagai masalah tersebut para ibu rumah tangga ini sebaiknya memiliki self-regulation yang baik dengan cara menyeimbangkan antara tubuh dengan pikiriannya dengan baik. Mengatasi atau mengantisipasi atas kejadian-kejadian tersebut, setiap individu memiliki caranya masing-masing, salah satunya dengan berolahraga. Para ibu rumah tangga membutuhkan teknik yang dapat menyeimbangkan tubuh dan pikirannya untuk mengatasi selfregulation yang kurang baik. Dengan berlatih yoga yang bertujuan untuk membawa seseorang agar dapat merasakan kebahagiaan, pencerahan, dan kebebasan adalah suatu teori dan praktek sebagai teknik latihan. Seperti pada aliran hatha yoga yang memiliki aspek berkesinambungan pada self-regulation yaitu seperti aspek asana (postur tubuh), dimana aspek ini berfokus pada gerakan yoga yang dapat meregangkan otot dan meningkatkan stamina tubuh sehingga dapat melemaskan otot yang tegang pada ibu rumah tangga akibat dari kecemasan dan ketegangan yang telah dialaminya. Hatha yoga ini juga memiliki aspek pranayama (teknik bernapas) dimana teknik ini dapat menambah ketenangan pikiran sehingga self-regulation ibu rumah tangga agar dapat bersikap tenang dalam melalui masalah kesehariannya dengan tidak mudah berperilaku emosional. Selain itu, hatha yoga juga berfungsi untuk meningkatkan konsentrasi seperti pada aspek dharana (konsentrasi) agar kognitif self-regulation pada ibu rumah tangga lebih terfokus. 2.5. Penelitian Terdahulu Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian yang dilakukan, akan dicantumkan beberapa hasil penelitian terhadulu yang pernah peneliti baca untuk melakukan penelitian ini dari beberapa peneliti diantaranya: Penelitian yang berjudul Longitudinal Gains in Self-Regulation From Regular Physical Exercise tahun 2006 yang telah diteliti oleh Megan Oaten dan Ken Cheng. Penelitian ini berupa eksperimental dimana subjek penelitian membuat laporan pribadi mengenai regulatory behaviours pada setiap harinya. Penelitian dengan judul Pengaruh Yoga Terhadap Stres Pada Wanita Karir yang telah diteliti oleh Linda Yuliana Santoso tahun 1999, pada penelitian tersebut ditegaskan bahwa stres yang terjadi pada wanita karir atas tuntutan yang mengakibatkan konflik sehingga menyebabkan ketegangan ini mengharapkan yoga dapat membuat wanita karir untuk mengatasi gejala-gejala stres yang dialami para wanita karir dengan bentuk eksperimen kelas yoga pada peneiltian tersebut. Timothy Gordon yang melakukan penelitian Theorizing Yoga as a Mindfullness Skill pada tahun lalu atau pada tahun 2013 ini membahas peran potensial individu dalam pengembangan keterampilan mindfulness dalam pengembangan teori dengan cara mempraktekkan yoga untuk arah masa depan yang lebih baik. Yoga sebagai keterampilan kesadaran mungkin terbukti menjadi kegiatan yang lebih mengasyikkan bagi populasi klien yang berpartisipasi dalam pernapasan Selain itu Penelitian selanjutnya yang berjudul Yoga and Mindfulness: Clinical Aspects of an Ancient Mind/Body Practice diteliti oleh Paul Salmon, Elizabeth Lush, Megan Jablonski, and Sandra E. Sephton pada tahun 2009 ini meneliti mengenai gambaran pelaksanaan yoga terkini terpaut pada isu-isu praktis fisiologis dan penjelasan efek psikologis terkait dengan pelatihan dan pengalaman guru. Dan menghasilkan adanya signifikansi antara berlatih hatha yoga dan meditasi yoga dengan program Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR). Karena program tersebut berasal dalam pengaturan medis, dan pada awalnya yoga didirikan sebagai sarana yang lembut untuk mengantisipasi bagi penderita yang tidak berdaya. 2.6. Hipotesis Berdasarkan teori yang telah diurasikan dapat dikemukakan hipotesis bahwa: 1. Ada pengaruh positif yang signifikan pada efektivitas yoga terhadap selfregulation pada ibu rumah tangga. 2. Ada perbedaan self-regulation yang signifikan antara ibu rumah tangga yang bekerja dan ibu rumah tangga yang tidak bekerja. 3. Ada perbedaan self-regulation yang signifikan antara ibu rumah tangga yang hanya mengikuti yoga dengan ibu rumah tangga yang memiliki aktivitas lain selain yoga.