BAB V BENTUK KEKERASAN ORANG TUA TERHADAP ANAK DALAM CERITA RAKYAT TOLIRE GAM JAHA DARI TERNATE Sastra lisan seperti cerita rakyat atau yang sering disebut folklore memberi gambaran kepada masyarakat tentang bagaimana dunia batin dan kehidupan sehari-hari pewarisnya. Hal yang tidak bisa dimungkiri dalam masyarakat Indonesia. bahwa mereka lebih bisa menerima hal-hal yang dinyatakan secara lisan daripada secara tulisan. Sastra lisan dan beberapa bentuk tradisi lisan dalam hal ini adalah folklore dan lebih spesifik lagi adalah cerita rakyat tumbuh subur di daerah-daerah yang ada di Indonesia. Di berbagai daerah di negeri ada terdapat banyak tempat yang menjadi wahana tumbuh suburnya sastra lisan, seperti danau, sungai, gunung, dan lainnya yang melegenda dari penutur yang satu ke penutur yang lain secara turun temurun. Sastra lisan memiliki ciri-ciri yang tidak jauh berbeda dari tradisi lisan atau folklore lisan. Ciri-ciri yang dimaksud, antara lain (a) disebarkan dari mulut ke mulut, dari komunitas satu ke komunitas yang lain, dari generasi sekarang ke generasi berikutnya; (b) lahir di dalam masyarakat, baik yang masih bercorak agraris, masyarakat yang belum mengenal aksara, maupun masyarakat yang telah berada dalam era teknologi informasi; (c) menggambarkan identitas budaya masyarakat pemiliknya; (d) tidak diketahui siapa pengarangnya sehingga menjadi milik bersama; (e) sering kali berciri puitis, teratur, dan berulang-ulang; (f) tidak mementingkan fakta dan kebenaran; (g) lebih bersifat rekaan; (h) memiliki banyak 65 66 versi; dan (i) menggunakan bahasa sehari-hari yang sangat komunikatif serta mudah dicerna (Sutarto, 2009: 2-3). Cerita rakyat yang merupakan bagian dari sastra lisan adalah cerita yang berasal dari hasil imajinasi manusia ataupun dari khayalan manusia walaupun unsur khayalan tersebut berasal dari apa yang ada dalam kehidupan manusia sehari-hari. Dalam cerita rakyat inilah khayalan manusia memeroleh kebebasan mutlak. karena tidak ada larangan bagi manusia untuk menciptakan sebuah cerita dalam bentuk apa saja. Dalam karya-karya imajinatif sering ditemukan hal-hal yang tidak masuk akal, yang tidak mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya manusia yang dikutuk oleh dewa yang menjadi gunung, batu, ataupun danau, bidadari yang mandi di telaga dan selendangnya dicuri seorang perjaka, dan sebagainya yang tidak ditemukan dalam dunia kenyataan. Sama halnya dengan cerita rakyat Tolire Gam Jaha yang juga merupakan cerita yang imajinatif yang dalam kehidupan sehari-hari tidak ditemukan pada masyarakat Ternate. Dipercayai bahwa kisah terjadinya Danau Tolire Besar dan Danau Tolire Kecil adalah kutukan dari Tuhan terhadap perbuatan terlarang sang ayah dan anak gadis. Cerita rakyat Tolire Gam Jaha memiliki kegunaan atau fungsi bagi pewarisnya yang berasal dari Kelurahan Takome (tempat asal cerita ini) dan masyarakat yang mendukung yang berada di Kota Ternate. Cerita rakyat Tolire Gam Jaha memiliki sejarah lebih panjang daripada sastra tulisnya yang terkesan lebih banyak memiliki keterlibatan dengan kehidupan masyarakat pemiliknya (terutama masyarakat di Kelurahan Takome Kota Ternate). Meskipun masyarakat 67 di sini telah memasuki kehidupan modern seperti daerah-daerah lainnya, fungsi dan peran cerita rakyat tampaknya belum surut. Dalam bab ini dibahas bentuk kekerasan orang tua terhadap anak dalam cerita rakyat Tolire Gam Jaha menggunakan teori psikologi sosial. Sebagai pendukung teori ini digunakan teori hegemoni dari Gramsci. Teori itu digunakan karena kekerasan terhadap anak yang tercermin dalam sebuah cerita rakyat Tolire Gam Jaha di Kota Ternate merupakan realitas sosial kemasyarakatan dan kebudayaan yang biasanya menjadi hal lumrah. Hal tersebut merupakan unsur yang turut menciptakan terjadinya kekerasan. Ada beberapa asumsi dasar tentang kekerasan tersebut di antaranya adalah (a) kekerasan merupakan suatu bentuk tingkah laku yang dapat dipelajari dan tidak dipelajari, (b) tindak kekerasan merupakan suatu pilihan tertentu, yang mungkin menjadi pilihan terbaik bagi si pelaku dalam melakukan suatu pilihan tertentu, yang mungkin menjadi pilihan terbaik bagi si pelaku dalam melakukan suatu tindakan agresivitas, (c) kekerasan bukanlah akibat dari luapan kehilangan kontrol diri, melainkan lebih dari bentuk cara seseorang dalam mengambil tindakan dalam suatu situasi tertentu yang tidak dapat dikontrol dengan baik, (d) kekerasan menjadi dampak negatif bagi setiap orang terlebih pada korbannya (Gaffner & Rosenbaum, dalam Lawson, 19--29 :2003). Kekerasan yang dimaksudkan dalam cerita rakyat Tolire Gam Jaha ini adalah kekerasan yang tidak dipelajari yang terjadi tanpa disengaja. Penyebab terjadinya kekerasan tersebut dengan melakukan sikap agresivitas yang terjadi di luar kontrol dan memunculkan dampak negatif dari perbuatan kekerasan tersebut. 68 Berdasarkan fenomena tersebut maka diperoleh bentuk kekerasan orang tua terhadap anak yang terdapat dalam cerita rakyat Tolire Gam Jaha yang dianalisis sebagai berikut. 5.1 Penyimpangan Seksual berupa Insest Seks merupakan salah satu potensi terbesar yang diberikan Tuhan kepada manusia. Potensi itulah yang menjadikan manusia dapat berhubungan seks dan melahirkan keturunan. Dengan potensi inilah kelestarian manusia bisa terjaga. Secanggih apa pun teknologi perkembangbiakan diciptakan, tidak dapat mengalahkan proses reproduksi manusia secara alamiah melalui hubungan seksual yang normal antara pria dan wanita. Itu alasannya mengapa semua agama menetapkan ketentuan tentang pernikahan yang sah agar sakralitas hubungan seks terjamin legalitasnya (Himawan, 2007:67). Sejak zaman dahulu hanya satu hubungan seks yang diakui kebenarannya yaitu hubungan seks antara pria dan wanita. Hal tersebut sangat jelas sehingga tidak perlu menetapkan standar tingkah laku seksual. Secara naluri, setiap individu mengetahuinya dan siapa saja yang perilaku seksualnya keluar dari ketetapan agama dan umum, perilaku tersebut dianggap sebagai bentuk penyimpangan. Himawan (2007: 67) menyatakan bahwa beberapa kalangan menyebut sebagai istilah perversi. Sebagian ahli lainnya menyebutkan parafilia. Istilah yang terakhir ini berasal dari bahasa Yunani, yaitu para yang berarti di luar kebiasaan, filia berarti cinta. Dalam cerita Tolire Gam Jaha seperti yang sudah digambarkan pada Bab IV bahwa telah terjadi hubungan seksual antara ayah dan anak gadisnya. Dapat 69 disebut sebagai sebuah penyimpangan seksual, karena hubungan seksual yang dilakukan terjadi di luar kebiasaan dan di luar ketetapan agama dan umum. Seperti pada pernyataan Junaedi (17: 2010) bahwa penyimpangan seksual kadang disertai dengan ketidakwajaran seksual, yaitu perilaku atau fantasi seksual yang diarahkan pada pencapaian orgasme lewat relasi di luar hubungan kelamin heteroseksual, dengan jenis kelamin yang sama atau dengan partner yang belum dewasa, dan bertentangan dengan norma-norma tingkah laku seksual dalam masyarakat yang bisa diterima secara umum. Pada penelitian ini yang dapat ditemukan dari uraian definisi di atas adalah penyimpangan seksual bersifat negatif. Bobot penyimpangannya diukur secara kaidah sosial adalah sebuah pelanggaran. Hal itu dapat dilihat dalam petikan wawancara di bawah ini. “Pada saat mabuk sang fanyira pun memanggil anak gadisnya masuk ke sebuah kamar pada tempat acara itu dilaksanakan. Kemudian terjadilah perzinaan yang dilakukan antara ayah dan anak tersebut ”(Wawancara dengan Muhamad Naser, 7 Februari 2013). “Saat pesta sedang berjalan terjadi perbuatan asusila antara ayah dan anak pun terjadi” (Wawancara dengan Ridwan Dero, 4 Februari 2013). Pernyataan informan itu menerangkan bahwa telah terjadi hubungan seksual antara ayah dan anak gadisnya. Kejadian tersebut terjadi saat pelaksanaan pesta kampung. Pelaksanaan pesta kampung disertai dengan konsumsi minuman keras oleh para peserta pesta. Tokoh cerita ayah dan anak ini pun mengonsumsi minuman saguer, sejenis minuman yang memabukkan. Dalam keadaan tidak sadar maka sang ayah tergoda untuk melakukan hubungan seksual terhadap anak gadisnya. 70 Penyimpangan seksual pada cerita rakyat Tolire Gam Jaha dianggap sebagai perzinaan yang termasuk perbuatan dosa dan dalam istilah sosial, cerita rakyat Tolire Gam Jaha pun termasuk perilaku penyimpangan sosial dianggap sebagai bentuk pelanggaran norma sosial. Oleh sebab itu, dalam perkembangannya perilaku seks menyimpang yang termuat dalam cerita ini dianggap sebagai bentuk kejahatan yang dilakukan oleh kedua anak manusia ini yang ditolak oleh masyarakat setempat. Perbuatan sang ayah terhadap anak gadis ini bisa dikategorikan dalam perbuatan abnormal seperti pernyataan Kartini Kartono (1989) dalam Sunaryo (2002:241) bahwa bentuk relasi seks yang abnormal dan perverse (buruk, jahat) adalah relasi seks yang tidak bertanggung jawab, yang didorong oleh kompulsikompulsi atau dorongan-dorongan yang abnormal. Dorongan yang abnormal ditimbulkan oleh sang ayah dalam cerita Tolire Gam Jaha adalah dorongan karena nafsu yang mengakibatkan perbuatan yang tidak sesuai dengan norma karena jarang dilakukan dan tentu tidak diharapkan dalam masyarakat Ternate. Pernyataan tersebut diperkuat dengan teori Freud dalam Sunaryo (2002: 237) bahwa faktor yang mendorong manusia berperilaku adalah energi psikis berupa libido seksual. Energi psikis menimbulkan perilaku di bidang seks, berupa relasi seksual (hubungan seksual). Kemudian Freud menjelaskan bahwa kehidupan jiwa memiliki tiga tingkatan kesadaran, yakni sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tak sadar (unconscious). Manusia didasari hasrat seksualitas pada awalnya dirasakan oleh manusia semenjak kecil dari ibunya. Dorongan jiwa yang badaniah sang ayah ini disebut dengan libido yang membuat 71 nafsu perasaannya suka terhadap anaknya sendiri. Dorongan adalah jiwa badaniah yang senantiasa melawan ketentuan-ketentuan rasio akal dalam keadaan tidak sadar (unconsious). Perspektif psikologis sosial mencoba menemukan kaitan antara teks dengan konteks mentalitas masyarakat pemilik cerita. Peristiwa penting apa yang dapat ditemukan dalam kisah di atas? Untuk keperluan analisis di sini, ada hal yang perlu diperhatikan, yakni perbuatan abnormal yang dilakukan dalam cerita rakyat Tolire Gam Jaha adalah penyimpangan seksual yang dilakukan oleh ayah dan anak gadisnya. Tindakan yang dilakukan adalah tindakan yang keluar dari kenekatan demi kenikmatan seksual. Mereka yang melakukan tindakan penyimpangan seksual dengan tindakan tersebut dipandang masyarakat bukan hal yang lazim terjadi. Mereka yang sebenarnya tidak menderita kelainan mental dalam hal seks, tetapi tetap melakukan tindakan nekat tersebut karena tidak rela melewatkan kesempatan untuk memeroleh kenikmatan seksual yang sesaat. Situasi tersebut menyebabkan ketidakberdayaan diri individu. Khususnya apabila dia seorang laki-laki (cenderung menganggap dirinya lebih berkuasa) akan sangat terguncang dan menimbulkan pertarungan kejiwaan. Dalam ketidakberdayaan tersebut tanpa adanya iman sebagai kekuatan internal, seseorang akan dikuasai oleh dorongan nafsu seksual yang tak terkendali. Hal tersebut akan membuat dia melakukan hal-hal yang melanggar norma-norma dalam masyarakat. Dalam ketidakberdayaan dan dikuasai oleh dorongan nafsu seksual yang tak 72 terkendali membuat tokoh cerita rakyat Tolire Gam Jaha melakukan hal-hal yang melanggar norma dalam masyarakat, seperti pada kutipan berikut ini: “Dalam keadaan mabuk mahimo tertarik dengan anak gadisnya sendiri, begitu pun sebaliknya. Hampir mendekati waktu subuh kedua insan manusia yang dilahirkan berstatus ayah dan anak tersebut melakukan perbuatan asusila atau perzinaan.” (Wawancara dengan Safril F. Salam, 12 Maret 2013). Pernyataan di atas menunjukkan sebuah penyimpangan seksual yang dilakukan antara ayah dan anak, yang bisa dikategorikan sebagai inses, yaitu hubungan seksual antara dua orang saudara kandung atau yang masih terkait hubungan darah. Barda Nawawi (2001: 261) mengemukakan bahwa inses adalah persetubuhan anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau samping sampai derajat ketiga. Sedangkan Margaret Mead yang memaparkan inses sebagai pelanggaran atas perbuatan seksual yang terlarang antara dua anggota keluarga inti, kecuali hubungan seksual suami istri seperti hubungan seksual yang dilakukan antara bapak dan anak, sesama saudara kandung, atau juga yang dilakukan oleh ibu dengan anaknya (Internet : dalam Khoirul Abror, 2009). Inses terbagi menjadi dua jenis. Pertama inses yang bersifat sukarela (tanpa paksaan) hubungan seksual yang terjadi karena unsur suka sama suka. Kedua, inses yang bersifat paksaan, yaitu hubungan seksual dilakukan karena unsur keterpaksaan, misalkan anak perempuan diancam akan dibunuh oleh ayahnya karena tidak mau melayani nafsu seksual. Inses seperti ini pada masyarakat lebih dikenal dengan perkosaan inses (Internet dalam Nauny, 2010). Hubungan inses yang dilakukan dalam cerita rakyat Tolire Gam Jaha adalah hubungan seksual yang termasuk dalam poin pertama di atas, yaitu 73 dilakukan atas unsur suka sama suka. Pada cerita ini tidak disebutkan bahwa ada unsur suka sama suka dari kedua tokoh cerita ini, tetapi penerimaan dari keduanya untuk melakukan hal yang dianggap tabu itu bisa dikategorikan adanya unsur suka sama suka. Pernyataan di atas menyatakan bahwa inses dalam cerita Tolire Gam Jaha adalah hubungan badan atau hubungan seksual yang terjadi antara dua orang yang mempunyai ikatan pertalian darah di mana ikatan pertalian darah di antara mereka cukup dekat, yaitu antara ayah dan anak gadisnya. Dalam hal ini dikaitkan dengan alur cerita bahwa yang dilakukan adalah tindakan hubungan seksual yang terjadi bersifat sukarela, secara tidak sadar karena pengaruh minuman keras yang dikonsumsi secara berlebihan. Pelaku dan korban inses dalam Tolire Gam Jaha adalah orang yang lebih berkuasa dan orang yang lebih lemah. Dalam hal ini peran fanyira yang sebagai ayah merasa lebih berkuasa atas sikapnya terhadap anak gadis yang lebih lemah. Gramsci (Patria&Arief, 2003:125) menyatakan dalam teori hegemoninya bahwa orang menyesuaikan diri mungkin karena terbiasa mengikuti tujuan-tujuan dengan cara-cara tertentu. Konformitas dalam hal ini merupakan soal partisipasi yang tidak direflesikan dalam hal aktivitas bentuk yang tetap sebab orang menganut pola-pola tingkah laku tertentu dan jarang dimungkinkan untuk menolak. Dalam hal ini ada suatu partisipasi antara sang ayah dan anak gadis yang direfleksikan secara tiba-tiba. Gadis dalam cerita Tolire Gam Jaha sudah dipengaruhi oleh minuman keras, tetapi tetap saja bisa menyesuaikan diri pada saat ayahnya memanggil atau menggodanya untuk melakukan hal yang 74 menyimpang. Karena dalam keadaan sadar, mungkin sebagai anak terbiasa mengikuti perintah-perintah sang ayah dengan tujuan yang tentunya untuk berbakti kepada sang ayah. Terjadilah perbuatan inses yang dilakukan keduanya secara sukarela dan tidak ada penolakan. 5.2 Kekerasan Simbolik Konsep kekerasan simbolik (symbolic violence) yang dipopulerkan oleh Pierre Bourdieu berangkat dari pemikiran adanya struktur kelas dalam formasi sosial masyarakat yang merupakan sebuah seperangkat jaringan yang secara sistematis berhubungan satu sama lain dan menentukan distribusi budaya (cultural) dan modal ekonomi (economic capital). Kekerasan simbolik dalam pengertiannya adalah sebuah model dominasi kultural dan sosial yang berlangsung secara tidak sadar (unconscious) dalam kehidupan masyarakat yang meliputi tindakan diskriminasi terhadap kelompok/ras/suku/gender tertentu. Secara bergantian Bourdieu menggunakan istilah kekerasan simbolik (symbolic violence), kuasa simbolik (symbolic power) dan dominasi simbolik (symbolic dominance) untuk merujuk hal yang sama. Bourdieu merumuskan pengertian ketiganya sebagai kuasa untuk menentukan instrumen-instrumen pengetahuan dan ekspresi kenyataan sosial secara semena, tetapi yang kesemenaannya tidak disadari. Dalam arti inilah kuasa simbolik merupakan kuasa untuk mengubah dan menciptakan realitas, yakni mengubah dan menciptakannya sebagai sesuatu yang diakui dan dikenali secara absah (Internet dalam Aunullah, 2006). Kekerasan simbolis dalam cerita Tolire Gam Jaha yang sudah peneliti di gambarkan di atas adalah konsumsi minuman keras dan pelaksanaan pesta rakyat 75 secara berlebihan. Kedua hal tersebut merupakan kekerasan yang dominasinya secara ekonomis dan budaya dalam kehidupan masyarakat Ternate. Kemudian bentuk kekerasannya nyata terlihat, tetapi ia dikemas sedemikian halus sehingga seolah-olah merupakan hal yang wajar dan alamiah. Bahkan, dalam banyak kasus, korban kekerasan simbolik ikut berpartisipasi dalam mewujudkan terjadinya kekerasan tersebut tanpa ia sadari 5.2.1 Konsumsi Minuman Keras/ Saguer atau Cap Tikus Jenis minuman keras atau minuman yang beralkohol yang dikonsumsi pada pesta yang digambarkan dalam Tolire Gam Jaha adalah Saguer (lahang), yaitu getah yang dihasilkan pohon enau, yang merupakan bahan baku pembuatan minuman keras tradisional (arak). Sebaliknya, cap tikus adalah hasil penyulingan (permentasi) dari saguer. Minuman cap tikus yang dikonsumsi ini banyak didatangkan dari daratan Halmahera karena bahan baku pembuatannya juga banyak terdapat di daratan Halmahera. Menjadi kebiasaan masyarakat Maluku Utara jika ada suatu pesta pernikahan atau pesta adat tertentu selalu tersedia minuman cap tikus. Pada umumnya laki-laki yang sering mengonsumsi minuman ini, tetapi ada juga wanita yang berani mengkonsumsi minuman ini. Berbagai alasan orang yang mengonsumsi minuman cap tikus ini sebagai penambah tenaga agar bisa tahan dalam acara pesta tersebut. Kerap terjadi kasus-kasus kekerasan atau perkelahian jika ada pesta pernikahan karena orang-orang mengonsumsi minuman keras cap tikus ini. Hal ini dapat dibuktikan melalui kutipan berikut. 76 “Kalau ada pesta, pasti ada yang mengkonsumsi cap tikus. Yang mengkonsumsi adalah rumah tangga muda ataupun para pemuda di sini, sering juga terjadi perkelahian” (Wawancara dengan Hamid Muhamad, 20 Maret 2013). Menurut ungkapan informan di atas, dalam konteks masyarakat sekarang, setiap ada pelaksanaan pesta selalu saja ada yang mengonsumsi minuman keras. Orang yang mengonsumsi biasanya adalah orang-orang yang baru mengenyam rumah tangga atau baru menikah dan para pemuda. Kemudian, dilanjutkan bahwa perkelahian akibat konsumsi minuman keras juga terjadi. Masyarakat tidak menyadari bahwa minuman keras menjadi penyebab perkelahian yang terjadi tiap pelaksanaan pesta. Perkelahian dilakukan oleh orang-orang yang sudah berlebihan dalam mengonsumsinya. Meskipun demikian, hal ini dianggap biasa dan tetap terjadi pada masyarakat Ternate. Bahkan, dalam cerita rakyat Tolire Gam Jaha pun terjadi demikian, seperti yang dikutip dalam wawancara di bawah ini. “Awalnya biasa saja, tapi karena pengaruh minuman keras mereka pun mabuk yang menghilangkan kesadaran sehingga terjadi perbuatan asusila itu” (Wawancara Ridwan dengan Dero 4 Februari 2013). “Sampai larut malam acara ritual tersebut tidak terkontrol lagi, semua yang hadir terbuai dengan musik cakalele dan minuman saguer sehingga mahimo atau pemimpin desa tersebut pun tidak sadarkan diri dikarenakan banyaknya mengkonsumsi saguer atau minuman yang memabukan itu. Dalam keadaan mabuk mahimo tertarik dengan anak gadisnya sendiri, begitupun sebaliknya” (Wawancara dengan Safril F. Salam 12 Maret 2013). Seperti halnya dalam cerita Tolire Gam Jaha dalam dua versi yang berbeda, tetapi tetap menyinggung sebab penyimpangan seksual yang dilakukan oleh anak dan sang ayah adalah minuman keras Saguer yang sekarang lebih 77 dikenal dengan nama cap tikus. Konsumsi yang berlebihan menyebabkan keduanya terlena dan tidak mengenal satu sama lainnya. Dapat dikatakan bahwa mereka telah kehilangan kesadaran sebagaimana pendapat Santoso bahwa minuman keras adalah minuman yang mengandung etanol atau juga yang sering disebut sebagai minuman alkohol. Minuman keras ini dapat menyerang tingkat kesadaran orang yang mengonsuminya. Akibatnya orang yang mengonsumsi akan mengalami mabuk. (Internet: dalam Santoso, 2012). Minuman keras (saguer) bisa dikatakan sebagai pemicu atas kejadian tersebut. Jika diminum dalam jumlah berlebihan, bahaya yang timbul serta berkembang menjadi hal-hal lain yang kadang tidak diinginkan pun bisa terjadi semisal dalam penyimpangan seksual yang ada dalam cerita Tolire Gam Jaha. 5.2.2 Pelaksanaan Pesta / Baronggeng Pesta Baronggeng pesta ini adalah bentuk rasa syukur atau mengungkapkan ekspresi kesenangan masyarakat pada hajatan-hajatan tertentu, seperti pada acara pernikahan, perayaan pesta kemenangan (merayakan kemenangan sebuah pertandingan, merayakan suatu kemenangan dalam pemilihan umum, merayakan wisuda, dll). Baronggeng pesta ini dilaksanakan pada malam hari dan dilaksanakan pada tempat terbuka, di depan rumah orang yang melakukan pesta tersebut atau di tanah lapang. Perbedaan pesta yang terjadi pada cerita rakyat Tolire Gam Jaha dengan pesta baronggeng yang ada pada zaman sekarang adalah pada jenis tarian yang dipertunjukkan atau ditarikan oleh orang yang hadir pada kedua jenis pesta ini. Dalam cerita rakyat Tolire Gam Jaha pestanya masih termasuk pesta tradisional 78 yang menarikan dua jenis tari dari Maluku Utara, yaitu Salai Jin dan pesta cakalele (versi cerita Idhar Anwar) kemudian tarian Gala dan tide (termasuk dalam versi cerita Mantan Jo Kalem Ridwan Dero). Sebaliknya, jenis tarian yang ditarikan pada pesta baronggeng oleh masyarakat Maluku Utara terutama di Ternate adalah wayase, joget, disko, poco-poco, dan cha-cha. Pelaksanaan baronggeng pesta yang tergambar pada cerita Tolire Gam Jaha adalah sebagaimana diungkapkan oleh informan di bawah ini. “Biasanya masyarakat melaksanakan pesta rakyat apabila menerima hasil panen, seperti cengkeh, pala, atau kelapa. Dalam pesta itu masyarakat biasanya menyediakan makanan dan melaksanakan pesta bersama-sama. Pesta pora yang berlarut-larut yang melampaui batas, tidak ingat lagi pada perintah Allah , Salat 5 waktu tidak dilaksanakan karena hidup dengan pesta pora. Pada saat pesta sedang berjalan terjadi perbuatan asusila antara ayah dan anak. Awalnya biasa saja, tapi karena pengaruh minuman keras mereka pun mabuk yang menghilangkan kesadaran (Wawancara dengan Ridwan Dero, l 4 Februari 2013). “Untuk saat ini, pesta masih dilaksanakan dan masih mengkonsumsi minuman. Dari laki-laki yang belum nikah walaupun yang sudah menikah, dan mengkonsumsinya dengan cara berlebihan. Kalau berlebihan, kadang sampai membuat onar di dalam kampung. Dikatakan mungkin mau dekat ajal baru sadar dan tidak mengkomsusi minuman lagi. Kadang sudah ada cucu pun mengkonsumsi minuman beralkohol (Wawancara dengan Musni Abdurahim 11 Februari 2013). Ungkapan yang dikemukakan oleh kedua informan di atas menunjukkan bahwa ada kebiasaan pada masyarakat Ternate melaksanakan pesta. Pada teks cerita rakyat yang diungkapkan oleh Ridwan Dero jika ada perayaan pesta panen hasil pertanian (cengkeh, pala, dan kelapa) selalu saja ada pelaksanaan pesta. Kemudian, pada pesta tersebut selalu ada orang-orang yang mengonsumsi minuman keras. Namun, kadang bisa berlarut hingga berjalan melampaui batas 79 karena telah dipengaruhi minuman keras. Kemudian terjadi penyimpangan seksual antara ayah dan anak gadisnya. Informan Musni Abdurahim menyatakan bahwa masyarakat Ternate dalam konteks sekarang masih melaksanakan pesta sekaligus konsumsi minuman keras dengan nada yang lebih “mungkin mendekati ajal baru tidak mengonsumsi lagi. Bisa dikatakan bahwa hal ini menjadi kebiasaan yang sangat sulit dihilangkan. Selain itu juga biasanya terjadi kasus-kasus yang dilakukan oleh orang yang mengonsumsi minuman keras. Hal ini merupakan suatu kebiasaan yang tumbuh pada masyarakat Ternate, sebagaimana dinyatakan Bourdieu bahwa hal ini merupakan habitus, yaitu pengondisian yang dikaitkan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas. Menurutnya sistem-sistem disposisi tahan waktu dan dapat diwariskan, strukturstruktur yang dibentuk, yang kemudian akan berfungsi juga sebagai strukturstruktur yang membentuk merupakan hasil dari suatu habitus (Internet dalam Esra, 2011). Dengan demikian, hal ini adalah pengondisian yang menjadi tindakan praktis (tidak selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Kekerasan simbolik terjadi setiap saat. Bahkan dari lahirnya cerita rakyat Tolire Gam Jaha ini sudah dapat disimpulkan telah terjadi kebiasaan-kebiasaan yang melahirkan produk budaya yang turun temurun dilaksanakan oleh masyarakat di Kota Ternate. Disamping itu tampak tidak disadari telah terjadi 80 kekerasan simbolik dari mengonsumsi minuman secara berlebihan dan pelaksanaan pesta yang berlarut-larut. Kekerasan simbolik dalam hal ini minuman keras dan pesta bukanlah kekerasan fisik atau psikologis. Bila bentuk kekerasan fisik ini wujudnya dapat dengan mudah dikenali, maka minuman keras dan pesta rakyat sangat sulit dikenali. Namun, kekerasan ini akan terjadi setiap saat tanpa disadari. Keberadaan kekerasan ini, bahkan sering kali dianggap sebagai gejala yang sangat wajar sehingga sebagian besar orang akan menerima begitu saja. Mereka seolah-olah bersedia menempatkan diri sebagai korban kekerasan simbolik dengan lapang dada. Mereka rela menjadi objek dan korban kekerasan.