determinan inve asosiasinya determinan investasi swasta dan

advertisement
DETERMINAN INVESTASI SWASTA DAN
ASOSIASINYA DENGAN PENGELUARAN
PEMERINTAH
(STUDI DI INDONESIA)
PROPOSAL DISERTASI
Oleh:
RETNO FITRIANTI
117020106111007
PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI
PASCASARJANA FAKULTAS EKONOMI & BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
ii
Proposal Penelitian
Judul
: Determinan Investasi Swasta dan Asosiasinya
dengan Pengeluaran Pemerintah (Studi di
Indonesia)
Nama Mahasiswa
: Retno Fitrianti
Nim
: 117020106111007
Program Studi
: Program Doktor Ilmu Ekonomi
Komisi Promotor:
Promotor
: Prof. Munawar Ismail, S.E., DEA, Ph.D.
Ko-Promotor
: Dr. Ghozali Maskie, S.E., M.S.
Ko-Promotor
M.A.,Ph.D.
: Devanto Shasta Pratomo, S.E., M.Si,
Komisi Penguji:
Penguji 1
: Prof. Candra Fajri A, S.E., M.Sc., Ph.D.
Penguji 2
: Dr. Moh. Khusaini, S.E., M.S., M.A.
Penguji 3
: Setyo Tri Wahyudi, S.E., M.Ec., Ph.D.
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.1.
Latar Belakang
1
1.1.1. Fenomena Investasi Di Indonesia
7
1.1.2. Keragaman Hasil Dampak Pengeluaran Pemerintah Terhadap
Investasi Swasta
BAB II
11
1.1.3. Keragaman Variabel Determinan Investasi Swasta
14
1.2.
Permasalahan Penelitian
17
1.3.
Tujuan Penelitian
19
1.4.
Manfaat Penelitian
20
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
22
2.1.
Tinjauan Teoritik
22
2.1.1. Defenisi Investasi
22
2.1.1.1. Pengertian dan Konsep Investasi
22
2.1.1.2. Apakah Investasi Penting
24
2.1.2. Teori –Teori Investasi
25
2.1.2.1. Teori Keynes
25
2.1.2.2. Teori Akselerator
26
2.1.2.3. Teori Jorgenson
27
2.1.2.4. Teori Q-Tobin
29
2.1.3. Teori Pengeluaran Pemerintah
2.1.3.1. Tinjauan Pengeluaran Pemerintah
31
31
iv
2.1.3.2. Teori Makro Pengeluaran Pemerintah
2.1.4. Dampak Pengeluaran Pemerintah Terhadap Investasi Swasta
34
2.1.4.2. Teori Keynes Crowding In
36
2.1.4.3. Teori Richardian Equivalence Hypothesis (REH)
39
2.2. Tinjauan Empirik
2.2.1. Studi Empirik Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap
Investasi Swasta
2.2.2. Studi Empirik Determinan Investasi Swasta
BAB IV
34
2.1.4.1. Efek Crowding Out
2.1.5. Determinan Investasi Swasta
BAB III
33
41
42
42
51
KERANGKA KONSEPTUAL PEMIKIRAN
59
3.1. Kerangka Pikir
59
3.2. Hipotesis Penelitian
65
3.3. Definisi Konsep Operasional
66
METODE PENELITIAN
68
4.1. Pendekatan Penelitian
68
4.2. Jenis dan Sumber Data
69
4.3. Analisis Data
70
DAFTAR PUSTAKA
80
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1
Investasi Swasta dan Pengeluaran Pemerintah Indonesia Periode
2002-2011 (Milyar Rupiah)
5
Gambar 1.2
Grafik Perkembangan Investasi Di Indonesia
9
Gambar 1.3
Perkembangan Investasi di ASIA Periode 1990-2010 Persentasi
PDB
Gambar 1.4
Peringkat Kemudahan Melakukan Bisnis di ASIA
Periode 2011-2012
10
10
Gambar 2.1
Imbalance Through SOC-DPA dan DPA-SOC
38
Gambar 3.1
Kerangka Pikir
55
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk menilai
keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara atau wilayah. Konsumsi,
investasi dan ekspor neto merupakan faktor penggerak dalam pertumbuhan dari
sisi permintaan. Secara teoritis, bahwa pertumbuhan ekonomi yang ditopang
oleh
konsumsi
tidak
akan
menjadi
pertumbuhan
yang
berkelanjutan.
Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan merupakan pertumbuhan ekonomi
yang ditopang oleh investasi. Pertumbuhan yang ditopang oleh investasi
dianggap dapat meningkatkan produktivitas yang pada gilirannya dapat
membantu penyerapan tenaga kerja (Kuncoro, 2004). Dengan meningkatnya
pertumbuhan ekonomi diharapkan mampu memberikan kontribusi yang besar
dalam menunjang pembangunan ekonomi.
Investasi merupakan salah satu pilar utama yang fundamental dalam
pembangunan ekonomi. Investasi swasta memainkan peranan penting dalam
proses pertumbuhan dalam mengembangkan perekonomian (Jongwanich dan
Kohpaibon, 2008). Melalui Investasi swasta, arus modal yang digunakan untuk
perbaikan usaha dan membangun usaha yang baru dapat meningkatkan
kesempatan kerja, mendukung proses produksi, transfer teknologi, akses pasar
internasional melalui produk-produk ekspor, serta pengendalian mutu. Kegiatan
produksi itulah yang akan memberi manfaat bagi perekonomian secara
keseluruhan bagi negara. Begitu pentingnya investasi bagi suatu negara maka
2
berdasar hal tersebut sehingga setiap negara berusaha untuk menjaga
persediaan investasinya jangan sampai mengalami kekurangan.
Dalam rangka mendorong laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
berkesinambungan dibutuhkan investasi, dana untuk membiayai investasi
tersebut paling baik berasal dari tabungan domestik (Nurcholis, 2006). Namun,
berhubung keterbatasan sumberdaya finansial, maka pemerintah terlebih dahulu
melakukan investasi publik terutama dalam bentuk penyediaan Social Overhead
Capital (SOC) berupa jalan, jembatan, pelabuhan, kelistrikan, telekomunikasi,
pengairan, pendidikan dan sebagainya untuk mendorong investasi swasta dalam
bentuk Direct Produktive Activities (DPA) atau kegiatan produktif yang langsung
menghasilkan barang-barang yang dibutuhkan masyarakat. Kebijakan seperti ini
oleh Hirschman disebut Imbalance Through SOC-DPA (Yotopoulus dan Nugent,
1985 ; Jhingan, 1990).
Perlu juga dipahami bahwa investasi swasta merupakan komponen
penting atas permintaan agregat kedua terbesar setelah konsumsi, namun relatif
sulit diperhitungkan karena bersifat volatile atau lebih tidak stabil dibandingkan
konsumsi swasta (Samuelson, 2002). Selain itu, investasi swasta juga
meningkatkan modal, kapasitas produksi perekonomian. Salah satu alasan
negara-negara dengan pertumbuhan tinggi adalah karena mereka mencurahkan
bagian substansial output mereka ke dalam Investasi (Dornbusch, 2008).
Pemerintah telah menempuh berbagai cara untuk meningkatkan peran
investasi dalam pertumbuhan ekonomi. Salah satunya melalui intervensi
pemerintah. Intervensi pemerintah diperlukan untuk mengatasi kompleksitas dari
intensititas permasalahan yang muncul dalam masyarakat. Untuk mengatasi itu,
pemerintah mempunyai dua perangkat kebijakan perekonomian makro yakni
kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Intervensi pemerintah dalam bidang
ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan secara
3
langsung maupun secara tidak langsung, tergantung pada konteks dan
kebutuhannya. Salah satu bentuk intervensi pemerintah secara langsung adalah
dengan intervensi anggaran (budget interventions) melalui kebijakan fiskal (fiscal
policy) yang ditempuh melalui berbagai paraturan maupun regulasi pemerintah.
Kebijakan Fiskal ekspansif dinilai dapat peningkatan permintaan agregat
yang menurut Keynes sangat dibutuhkan untuk meningkatkan investasi.
Kebijakan fiskal ekspansif ditandai dengan peningkatan pengeluaran pemerintah
sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal. Namun, sebagai konsekuensinya
maka peningkatan pengeluaran pemerintah tersebut seringkali diiringi dengan
peningkatan defisit anggaran pemerintah.
Salah satu topik yang menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ahli
ekonomi baik secara teoritis maupun empiris adalah hubungan antara
pengeluaran pemerintah dengan kinerja perekonomian khususnya kegiatan
ekonomi sektor swasta. Secara teoritis ada dua pandangan yang berbeda
mengenai dampak pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta.
Ekonomom
Klasik
berpendapat
bahwa
peningkatan
pengeluaran
pemerintah menyebabkan meningkatnya suku bunga dan mendorong investasi
swasta menurun (Crowding out). Crowding Out terjadi ketika kebijakan fiskal
ekspansioner menyebabkan suku bunga meningkat, sehingga mengurangi
pengeluaran swasta, terutama investasi (Dornbusch, Fischer, dan Startz, 2008 :
259).
Dengan demikian Klasik berpendapat bahwa aktivitas sektor publik
(pemerintah) bersaing dengan sektor swasta terhadap sumberdaya yang langka
dan mendorong harga tinggi. Hal ini terjadi terutama pada kasus dimana aktivitas
sektor publik dibiayai melalui pinjaman yang mengarah pada peningkatan suku
bunga pasar dan peningkatan biaya modal terhadap sektor swasta. Hasilnya
adalah crowding-out investasi swasta melalui investasi sektor publik. Secara
4
umum percaya bahwa investasi sektor swasta mampu mempercepat kegiatan
ekonomi karena swasta fokus terhadap efisiensi dan maksimisasi profit, selain itu
peningkatan pengeluaran pemerintah atas biaya atau biaya sektor swasta
berdampak negatif pada investasi swasta (Hussain, Mohammad, Akram, dan Lal,
2009).
Disisi
lain
ekonom
Keynesian
berpendapat
bahwa
peningkatan
pengeluaran pemerintah menyebabkan infrastruktur, kesehatan, pendidikan lebih
baik sebagai hasil merangsang investasi swasta, karena pengeluaran ini dapat
mengurangi biaya produksi perusahaan dan konsekuensinya (crowding-in)
terhadap investasi swasta. Jadi menurut keynesian, investasi swasta menjadi
saluran
penting
bagi
efektivitas
kebijakan
fiskal
dalam
peningkatan
pembangunan ekonomi (Ahmad&Miller, 1999 ; Ahmad&Qayyum, 2008 ;
Mohammad&Husain, 2009).
Berikut
data
perkembangan
investasi
swasta
dan
pengeluaran
pemerintah di Indonesia selama duapuluh dua tahun terakhir. Data tersebut
menunjukkan bahwa selama duapuluh dua tahun terakhir perkembangan
investasi swasta di Indonesia cenderung masih mengalami peningkatan. Ini
mencerminkan bahwa pertumbuhan investasi di Indonesia perlahan-lahan telah
menunjukkan ke arah yang lebih baik.
Secara empiris peran aktif pemerintah dalam perekonomian di Indonesia
masih cukup besar. Hal ini ditandai dengan pengeluaran pemerintah yang
cenderung mengalami peningkatan secara berkesinambungan pada periode
tersebut. Namun trend peningkatan pengeluaran pemerintah tersebut ternyata
tidak sejalan dengan investasi swasta di Indonesia.
Pada grafik tersebut nampak bahwa pada awal tahun 1990 pengeluaran
pemerintah mengalami peningkatan, namun investasi swasta justru mengalami
penurunan. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan Crowding Out terhadap
5
investasi swasta. Selanjutnya pada tahun 1993 – 1997, pengeluaran pemerintah
terus mengalami peningkatan dan diikuti oleh peningkatan Investasi Swasta
secara perlahan. Ini menunjukkan mulai membentuk pola hubungan Crowding In
terhadap investasi swasta. Pada tahun 1998 pengeluaran pemerintah terus
meningkat akan tetapi terjadi penurunan yang tajam pada Investasi swasta yakni
sebesar 42,72 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan bahwa ketika
itu pasca krisis ekonomi yang dibarengi dengan runtuhnya pemerintahan rezim
orde baru yang membawa perubahan besar pada Indonesia. Namun pada tahun
1999 pengeluaran pemerintah menurun sebesar 74,18 persen dari tahun
sebelumnya, akan tetapi pada tahun 2000 pengeluaran pemerintah kembali
meningkat ekstrim pasca krisis sebesar 396,77 persen dalam rangka perbaikan
dan pemulihan ekonomi di Indonesia, ini terjadi hingga tahun 2011. Sebaliknya
investasi swasta mengalami penurunan pada tahun 1998 lalu meningkat pada
tahun 1999 dan cenderung konstan hingga tahun 2003. Tahun 2004 pengeluaran
pemerintah meningkat dan diikuti oleh peningkatan investasi swasta yang
menunjukkan hubungan Crowding In hingga tahun 2011. Hal ini dapat dilihat
pada grafik berikut:
Gambar 1.1
Investasi Swasta dan Pengeluaran Pemerintah Indonesia
Periode 1990-2011 (Milyar Rupiah)
2010
2008
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
I
G
-
200,000
400,000
600,000
800,000 1,000,000 1,200,000 1,400,000
6
Sumber: BPS, World Bank, SEKI Bank Indonesia, 2012
Dari gambar 1.1 tersebut di atas bahwa sebenarnya hubungan antara
pengeluaran pemerintah dan investasi swasta di Indonesia masih ambigu.
Selama periode tersebut ternyata pengeluaran pemerintah yang terus meningkat
ternyata belum diikuti oleh meningkatnya investasi swasta sehingga hubungan
antara pengeluaran pemerintah dan investasi swasta apakah sejalan atau
bertentangan. Karena secara teoritis kedua hal tersebut masih dalam perdebatan
hingga saat ini. Secara khusus dalam rentang waktu tertentu pola hubungan
tersebut di Indonesia belum jelas, oleh karena itu melakukan penelitian ini.
Selanjutnya dalam rangka mendorong pembangunan di negara-negara
berkembang, salah satu tujuan kebijakan fiskal adalah meningkatkan investasi
swasta dan pemerintah dalam perekonomian. Hal ini sejalan dengan pendapat
Narayan (2004) bahwa pengeluaran pemerintah sebagai investasi publik penting
sebagai motor penggerak bagi investasi swasta yang pada gilirannya mendorong
pertumbuhan ekonomi.
Namun terkadang upaya pemerintah dalam rangka mendorong investasi
melalui kebijakan fiskal dapat meningkatkan investasi swasta, akan tetapi disisi
lain kebijakan fiskal itu justru tidak bersifat kondusif. Sebagai contoh, misalnya
menaikkan pajak, hal itu akan mendorong penerimaan pemerintah meningkat
namun disisi lain ternyata sangat tidak mendorong investasi swasta dengan
pajak yang tinggi karena menambah biaya produksi.
Demikian pula secara deskriptif bahwa kebijakan fiskal ekspansif yang
dilakukan melalui instrumen peningkatan pengeluaran pemerintah belum dapat
menjamin adanya peningkatan investasi secara signifikan. Hal ini dapat saja
terjadi bilamana peningkatan pengeluaran pemerintah yang masih didominasi
atas pengeluaran yang bersifat konsumtif. Sehingga, Asumsi Keynes bahwa
pengeluaran pemerintah yang dapat berpengaruh secara positif terhadap
7
investasi swasta mungkin saja tidak terbukti. Begitu pula dengan defisit anggaran
terhadap investasi.
Meskipun pengeluaran pemerintah dapat mempengaruhi investasi
swasta, namun secara teoritis dan empiris masih terdapat variabel lain yang
dapat mempengaruhi investasi swasta itu sendiri. Pengeluaran investasi
umumnya berfluktuasi karena tergantung pada sejumlah faktor dan responsif
terhadap PDB dan siklus bisnis (Dornbusch, 2008). Selain itu mengingat bahwa
di negara berkembang perilaku investasi swasta perlu mengakomodasi sejumlah
variabel selain yang selama ini dikenal secara teoritis yakni variabel pengeluaran
pemerintah, nilai tukar, beban hutang luar negeri dan faktor non ekonomi
mencakup stabilitas dalam negeri, kepercayaan investor dan kepastian hukum
(Greene, 1991). Berdasarkan hal tersebut maka penting untuk mengekplorasi
determinan investasi swasta guna merumuskan kebijakan stabilitas dalam usaha
meminimalkan pengaruh buruk fluktuasi investasi dalam perekonomian.
1.1.1. Fenomena Investasi di Indonesia
Indonesia menjadi primadona investasi di kawasan Asia Tenggara. Di
mata para investor, Indonesia dengan segala kekurangannya yang ada masih
tetap dinilai paling menarik untuk investasi dibandingkan dengan sembilan
negara anggota ASEAN lainnya. Hasil survei daya saing ASEAN yang dilakukan
Lee Kuan Yew School of Public Policy dan National University of Singapore
selama 2011-2012 menyebutkan bahwa Indonesia paling diminati investor
dibanding beberapa negara ASEAN lainnya. (Kompas, November 2012).
Nilai investasi menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal mulai
triwulan I-2012 sampai triwulan III-2012 berturut-turut Rp 71,2 triliun, Rp 76,9
triliun, dan Rp 81,8 triliun. Secara akumulatif, realisasi investasi mencapai Rp
8
229,9 triliun atau 81,09 persen dari target. Survei daya saing ASEAN atas
sponsor ABAC dilakukan September 2011-Maret 2012. Sebanyak 405 responden
dari beragam pelaku usaha di 10 negara ASEAN terlibat. Profil usahanya meliputi
sektor jasa (45 persen), manufaktur (35 persen), dan lain-lain (18 persen) seperti
pertanian serta pertambangan.
Skala usahanya mulai usaha kecil (40 persen), usaha menengah (24
persen), sampai usaha besar (36 persen). Dari kelompok usaha skala besar, 16
persen di antaranya perusahaan multinasional level Asia dan 14 persen
multinasional level global. Dari skala daya tarik investasi 0-10, Indonesia
mendapatkan nilai 6,89 atau tertinggi dibandingkan dengan sembilan negara
ASEAN lainnya. Setelah Indonesia, menyusul Vietnam, Singapura, Thailand, dan
Malaysia. ( Doing Business Report, World Bank, 2011)
Namun ada sejumlah faktor yang sangat berpengaruh pada baik
buruknya iklim berinvestasi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut tidak hanya
menyangkut stabilitas politik dan sosial, tetapi juga stabilitas ekonomi, kondisi
infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi dan prasarana jalan dan pelabuhan),
berfungsinya sektor pembiayaan dan pasar tenaga kerja (termasuk isu-isu
perburuhan), regulasi dan perpajakan, birokrasi (dalam waktu dan biaya yang
diciptakan), masalah good governance termasuk korupsi, konsistensi dan
kepastian dalam kebijakan pemerintah yang langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi keuntungan neto atas biaya resiko jangka panjang dari kegiatan
investasi, dan hak milik mulai dari tanah sampai kontrak.
Seperti telah diketahui bersama bahwa peningkatan investasi menjadi
pendorong utama bagi pertumbuhan Indonesia yang kuat saat ini, yang
selanjutnya menjadi penting untuk mempertahankan pertumbuhan yang akan
9
datang. Berikut data perkembangan investasi Indonesia beberapa tahun terakhir.
Nampak bahwa terjadi fluktuasi terutama pada saat krisis.
Gambar 1.2. Grafik Perkembangan Investasi di Indonesia
Sumber: CEIC Data Company Ltd dan IMF staff calculation, 2012
Indonesia telah mengalami peningkatan investasi yang cukup besar
dalam beberapa tahun terakhir. Data diatas menunjukkan bahwa investasi
menurun pada akhir tahun 1990 an dan mulai membaik belum lama ini. Investasi
agregat mencapai 30 persen dari PDB sebelum krisis tahun 2008. Namun
demikian, investasi publik yang rendah mencerminkan peningkatan yang tajam
pada investasi swasta (Zhou, 2012).
Selanjutnya fenomena investasi di Indonesia dibandingkan dengan
beberapa negara ASIA lainnya sangat rendah. Penurunan yang tajam nampak
pada akhir tahun 1990 an terutama setelah krisis pada tahun 1998 yang
membuat Indonesia mengalami penurunan investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Hal ini dapat dilihat pada gambar berikut:
10
Gambar 1.3. Perkembangan Investasi di ASIA (1990-2010) persentasi PDB
Sumber: IMF, WEO database dan staff calculations, 2011
Kontras dengan daya tarik Investasi Indonesia, yang menjadi salah satu
penghambat investasi di Indonesia dibandingkan dengan negara lain adalah
daya saing bisnis di Indonesia yang menurut data Doing Business, Indonesia
berada pada peringkat 30 pada tahun 2011 dan peringkat 31 pada tahun 2012
dibandingkan dengan negara lain di ASIA.
Gambar 1.4. Peringkat Kemudahan Melakukan Bisnis di ASIA
periode 2011-2012
Sumber : Doing Business, World Bank, 2012
11
Data di atas menunjukkan bahwa kemudahan melakukan bisnis di
Indonesia relatif buruk dan ketidakfleksibelan kerja yang tinggi justru menjadi
penghambat investasi. Reformasi iklim usaha dapat membantu peningkatan
investasi Asing Langsung dan domestik serta meningkatkan pertumbuhan PDB
potensial. Survei menunjukkan bahwa proses yang lebih efisien bagi penciptaan
bisnis, fleksibilitas tenaga kerja dan kerangka hukum serta peraturan yang lebih
baik bagi pengusaha dan kebangkrutan akanmengurangi persepsi atas resiko
dalam berinvestasi.
Hal tersebut penting untuk dikaji kembali dalam rangka meningkatkan
daya saing Indonesia terutama Investasi. Sehingga menjadi daya tarik positif
bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia. Menjadi suatu dilema ketika daya
tarik sumber daya alam yang melimpah dan potensi pasar yang besar untuk
berinvestasi di Indonesia sementara di sisi lain berbagai polemik non ekonomi
justru menjadi penghambat Investasi swasta di Indonesia.
1.1.2. Keragaman mengenai dampak pengeluaran pemerintah terhadap
Investasi Swasta
Dampak pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta telah
menimbulkan isu penting dalam perdebatan kebijakan fiskal, meskipun sejumlah
studi telah dilakukan dan memberi kontribusi terhadap isu tersebut namun tetap
masih menimbulkan kontroversi (Wang, 2005). Studi empiris yang telah
dilakukan pada beberapa negara mengenai hubungan pengeluaran pemerintah
terhadap investasi swasta memberikan hasil yang tidak konsisten dan berbeda.
Apakah pengeluaran pemerintah sebagai pelengkap atau bahkan substitusi
terhadap investasi swasta (Erden dan Holcombe, 2005 ; Hatano, 2010).
12
Bukti empiris yang ditemukan oleh sejumlah peneliti pada satu negara
sample Pradhan, Ratha dan Sarma (1990); Gannely (2000); Voss (2002);
Narayan (2004); Kustepeli (2005); Basar dan Temurlenk (2007); Ang (2009)
bahwa pengeluaran pemerintah berupa investasi pemerintah memberikan efek
Crowding Out terhadap investasi swasta. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Gannely (2000) lebih lanjut menemukan adanya efek Crowding Out secara
langsung investasi pemerintah terhadap investasi swasta yang memberikan efek
positif terhadap output dalam jangka pendek pada perekonomian tertutup.
Penelitian dengan menggunakan data panel secara khusus yang
dilakukan di negara-negara berkembang dan negara-negara maju. Giannaros,
Kolluri dan Panik (1999); Ahmad dan Miller (2000); Atukeren (2005); Furceri dan
Sausa (2011) menemukan pengeluaran pemerintah memberikan efek crowding
out terhadap investasi swasta terutama di negara-negara berkembang. Dampak
Pengeluaran pemerintah yang diklasifikasikan atas pengeluaran pembangunan
dan pengeluaran non pembangunan terhadap investasi swasta Ahmad dan
Qayyum (2008); Andreoni dan Payre (2011) menemukan bahwa pengeluaran
non pembangunan menimbulkan efek Crowding Out terhadap investasi swasta
dalam jangka panjang.
Kontras dengan hipotesis Klasik (crowding out), dampak pengeluaran
pemerintah terhadap investasi swasta bersifat crowding in yang mendukung
hipotesis Keynes. Sejumlah studi empiris yang menemukan efek crowding in atas
pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta. Bahmani dan Oskooee
(1999); Hyder (2001); Ang (2009); Hasan, Othman dan Zaini (2011) menemukan
bahwa investasi publik memberikan efek crowding in terhadap investasi swasta
secara signifikan dalam jangka panjang.
Hipotesis Keynes ditemukan pula pada sample sejumlah negara-negara
berkembang yang disajikan dalam analisis panel. Erden dan Helcome (2005);
13
Afonso dan Alegre (2008), Afonso dan Aubyn (2008); Cavallo dan Daude (2011)
menemukan bukti empiris bahwa investasi publik memberi efek crowding out
terhadap investasi swasta. Secara khusus di Jepang, Alani (2006) dengan
menggunakan analisis dekriptif menemukan adanya hubungan positif antara
investasi
publik
terhadap
investasi
swasta.
Sementara
Hatano
(2010)
menemukan bukti empiris di Jepang bahwa hubungan antara investasi swasta
dan publik dalam keseimbangan jangka panjang memberikan efek crowding in
dengan mempertimbangkan stok ekuilibrium jangka panjang.
Dampak lebih lanjut atas pengeluaran pemerintah terhadap investasi
swasta secara spesifik diukur melalui kategori atau komponen pengeluaran
secara parsial memberi efek yang berbeda. Mengikuti saran Aschuer (1989)
pada Wang (2005) bahwa penelitian tersebut tidak hanya terbatas dilakukan
secara agregat atas pengeluaran pemerintah, namun terpenting menguji
dampaknya terhadap jenis pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta.
Ahmad dan Miller (2000); Mohammad dan Husain (2009); Laopadis
(2001); Wang (2005). Pengeluaran pemerintah atas pendidikan, kesehatan,
transportasi, infrastruktur memberikan efek crowding in terhadap investasi
swasta dalam jangka panjang. Pengeluaran militer, pembiayaan hutang,
pelayanan umum dan perumahan crowding out terhadap investasi swasta dalam
jangka panjang. Penelitian tersebut memberikan bukti yang mendukung hipotesis
bahwa
pengeluaran
pemerintah
mendorong
investasi
swasta
bilamana
difokuskan untuk pengeluaran produktif.
Raju dan Mukhrjee (2010) memiliki temuan yang berbeda dari penelitian
sebelumnya, hasil penelitiannya mengenai dampak pengeluaran pemerintah dan
investasi swasta tidak mendukung adanya efek crowding out maupun efek
crowding in dalam hipotesisnya, melainkan mendukung hipotesis Richardian
Equivalence pada hutang publik.
14
Secara
khusus
penelitian
yang
dilakukan
di
Indonesia
dengan
menggunakan model AIDS yakni Kuncoro (2000) dan Hidayat (2005) bahwa
ekspansi pengeluaran pemerintah menyebabkan terjadinya crowding out
terhadap investasi swasta dan crowding in terhadap konsumsi swasta.
Paradigma Richardian Equivalen tidak terbukti di Indonesia. Di Indonesia
Kebijakan fiskal ekspansif mampu menggairahkan sektor swasta dalam jangka
pendek.
Bukti empiris yang telah diuraikan di atas memberikan implikasi atas
pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta masih menunjukkan hasil
yang kontroversial secara teoritis maupun empiris. Hasilnya memberikan efek
Crowding out (substitusi), Crowding in (Komplementer) dan mendukung hipotesis
Richardian Equivalence (Netral). Baik diteliti pada satu negara maupun sejumlah
negara yang disajikan dalam
suatu panel, yang diamati atas pengeluaran
pemerintah secara agregat maupun yang diteliti pada komponen pengeluaran
pemerintah (Erden dan Helcome, 2005). Hasil tersebut telah menjadi kontroversi
yang kuat dalam teori ekonomi dan kebijakan, baik implikasinya di Indonesia
maupun di negara lain.
Secara khusus di Indonesia, berdasarkan studi empiris dan data
perkembangan pengeluaran pemerintah dan investasi swasta yang telah
diuraikan di atas menunjukkan bahwa hubungan tersebut masih ambigu. Hal ini
terutama ketika meneliti efeknya lebih jauh terhadap klasifikasi pengeluaran
pemerintah. Studi mengenai topik tersebut disinyalir belum banyak diteliti dan
secara umum masih bersifat global, maka menarik untuk diteliti lebih lanjut.
1.1.3. Keragaman Variabel Determinan Investasi Swasta
Investasi merupakan isu utama dalam teori ekonomi makro karena
memainkan peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hal ini
15
menjadi penting terutama dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi
ekonomi dan kemajuan teknologi melalui penggunaan teknik baru.
Bagi pemerintah tujuan utama investasi yang dilakukan terutama
menggerakkan kegiatan dalam perekonomian, sementara bagi pelaku ekonomi
swasta
adalah
untuk
memaksimalkan
profit.
Sebagai
upaya
untuk
memaksimalkan profit tersebut, investasi swasta dipengaruhi oleh sejumlah
faktor penentu investasi.
Secara teoritis faktor penentu investasi yakni; penerimaan, biaya
termasuk tingkat bunga dan ekspektasi mengenai kondisi perekonomian dimasa
yang akan datang (Samuelson dan Nordhauss, 2002: 469). Selain faktor penentu
investasi tersebut, terdapat sejumlah faktor lain turut mempengaruhi investasi
swasta antara lain seperti ketidakstabilan ekonomi makro itu sendiri dapat
menjadi hambatan utama dalam investasi swasta, investasi pemerintah sebagai
komplementer atas investasi swasta terutama dalam penyediaan SOC,
pertumbuhan kredit bagi sektor swasta dan keamanan (Assante, 2000).
Sejumlah peneliti sepakat bahwa variabel non pemerintah seperti tingkat
bunga, Produk Domestik Bruto (PDB), kredit sektor swasta dan stabilitas politik
dianggap sebagai determinan investasi yang sangat penting (Samuelson dan
Northaus, 2002, Dornbush,et all, 2008; Ang, 2009; Mondaria, Wu dan Zhang,
2010; Misati dan Nyomogo, 2011; Morrissey dan Udomkerdmongkol, 2012)
Secara teoritis suku bunga berhubungan negatif terhadap investasi
swasta. Suku bunga yang tinggi akan meningkatkan real cost of capital yang
pada gilirannya akan menghambat investasi swasta (Nurdeen, 2009). Namun hal
yang berbeda diungkapkan secara teoritik oleh McKinnon (1973) dan Shaw
(1973) dalam Khan dan Khan (2007) menyatakan bahwa kemungkinan ada
hubungan positif antara investasi dengan tingkat suku bunga rill, karena
peningkatan suku bunga rill akan meningkatkan tabungan sebagai hasilnya
16
volume kredit dalam negeri akan meningkatdan menghasilkan ekuilibrium
investasi yang lebih tinggi. Hipotesis tersebut dikenal dengan McKinnon dan
Shaw hipotesis yang berdasar pada asumsi bahwa kuantitas sumberdaya
keuangan merupakan kendala utama investasi jika dibandingkan dengan
kuantitas sumberdaya pembiayaan. Hal ini sejalan dengan temuan Ang (2009)
bahwa suku bunga berhubungan positif terhadap investasi swasta.
Variabel ketidakpastian makroekonomi yang mewakili variabel inflasi
berhubungan negatif terhadap investasi swasta (Ahmad dan Qayyum, 2008; Ang,
2009; Acosta dan Loza, 2005) dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Ouattara, (2004) menemukan bukti bahwa Investasi Swasta secara positif
dipengaruhi oleh PDB rill dan bantuan asing, sementara kredit ke sektor swasta
dan perdagangan berdampak negatif.
Variabel yang berbeda sebagai determinant Investasi Swasta di Argentina
diungkapkan oleh Acosta dan Loza (2005) mengungkapkan bahwa variabel
ekonomi makro yang berpotensi dapat mempengaruhi keputusan investasi pada
suatu negara. Keputusan investasi jangka pendek ditentukan oleh gejolak
revenues (nilai tukar, liberalisasi perdagangan) dan permintaan agregat.
Bukti empiris yang ditemukan Nurdeen (2009) pada kasus Nigeria atas
determinan investasi swasta, bahwa pertumbuhan pendapatan rill, nilai tukar,
keterbukaan ekonomi dan tabungan yang lebih tinggi memiliki efek positif
terhadap investasi swasta. Di sisi lain, kredit yang tinggi justru menghambat
investasi.
Berbeda dengan Nurdin (2009), yang menemukan variabel kredit
menghambat investasi, Jongwanic dan Kohipaibon (2008) menemukan kredit
justru mempengaruhi investasi swasta dalam jangka pendek. Sementara dalam
jangka panjang dipengaruhi oleh peluang bisnis (business opportunity) dan biaya
investasi. Variabel yang berbeda untuk menentukan investasi swasta oleh Khan
17
dan Khan (2007), bahwa faktor tradisional dan faktor non tradisional
mempengaruhi investasi swasta secara positif dalam jangka pendek dan jangka
panjang.
Stasavage
(2002)
mengemukakan
bahwa
determinan
investasi
dipengaruhi oleh faktor kelembagaan melalui variabel chek and balances yang
dapat memberi manfaat terhadap investasi. Variabel ini masih kurang di
aplikasikan pada penelitian lain sehingga menarik untuk mengembangkan lebih
lanjut variabel political institution sebagai salah satu variabel non ekonomi yang
dianggap dapat mempengaruhi investasi.
Keragaman variabel dalam mempengaruhi investasi swasta telah
diungkapkan diatas terutama variabel makroekonomi. Namun sejumlah peneliti
telah mengembangkan variabel non ekonomi yang secara empiris telah
menunjukkan pengaruh terhadap investasi swasta di berbagai negara seperti
korupsi, kualitas pemerintahan maupun kelembagaan. Penelitian ini mencoba
mengeksplorasi variabel political institution yang secara spesifik belum dilakukan
di Indonesia.
1.2.
Permasalahan Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada determinan investasi swasta. Seperti
diketahui bahwa selain investasi publik, investasi swasta juga sangat diperlukan
untuk kemajuan ekonomi, sebab secara umum percaya bahwa investasi swasta
mampu mempercepat kegiatan ekonomi karena mereka fokus terhadap efisiensi
dan maksimisasi profit.
Secara teoritis bahwa pengeluaran investasi swasta yang secara umum
berfluktuatif karena ditentukan oleh sejumlah faktor dan siklus bisnis (Dornbush,
Fichser dan Richard, 2008: 339), maka berdasarkan hal tersebut masih sangat
penting untuk mengeksplorasi determinan investasi swasta. Selain itu mengingat
18
bahwa determinan investasi swasta secara teoritis dan empiris berbeda di setiap
negara, baik di negara maju maupun di negara berkembang.
Fokus kedua penelitian ini adalah meneliti dampak pengeluaran
pemerintah terhadap investasi swasta di Indonesia. Mengingat bahwa ada
kecenderungan pengeluaran pemerintah yang meningkat juga dibarengi dengan
peningkatan investasi swasta di Indonesia. Berkenaan dengan hal tersebut,
menimbulkan pertanyaan penting yang mendasar yakni; apakah pengeluaran
pemerintah dan Investasi swasta bersifat crowding out, crowding in atau bahkan
netral satu sama lain?
Kebijakan fiskal ekspansif yang selalu diterapkan pemerintah pada
awalnya bertujuan untuk turut mendorong peningkatan investasi di Indonesia.
Akan tetapi, pengeluaran pemerintah yang selalu meningkat tersebut tidak diikuti
dengan semakin intensifnya investasi swasta di Indonesia.
Dampak pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta memberikan
efek yang berbeda, satu sisi mendukung hipotesis Klasik, disisi lain mendukung
hipotesis Keynes, atau bahkan tidak mendukung keduanya. Hasil ini memberikan
efek yang tidak konsisten apakah sebagai pelengkap atau substitusi terutama di
negara
berkembang
(Erden
dan
Halcombe,
2005:
Helcombe,
2006).
Berdasarkan perbedaan pandangan tersebut secara teoritis dan empiris maka
sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut hubungan pengeluaran pemerintah
dengan investasi swasta di Indonesia.
Alasan utama diangkatnya tema ini
sebagai objek penelitian karena
Pertama, Pentingnya investasi dalam suatu negara karena menyangkut prospek
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta perbaikan produktivitas kerja,
sehingga tanpa adanya investasi berarti tidak adanya ekspansi usaha dan
mengarah pada stabilitas perekonomian di Indonesia. Oleh Karena itu perlu dikaji
19
lebih lanjut mengenai determinan Investasi swasta di Indonesia dalam jangka
pendek dan panjang, yang dipengaruhi oleh variabel ekonomi. Kedua, belum
ditemukan efek yang jelas antara pengeluaran pemerintah dan investasi swasta
di Indonesia apakah crowding in atau crowding out. Ketiga,, penelitian mengenai
dampak pengeluaran pemerintah yang dikalifikasikan berdasarkan fungsi
pengeluarannya terhadap investasi swata di Indonesia masih relatif terbatas dan
disinyalir belum banyak yang mengeksplorasi masalah tersebut. Menurut
Aschouver (1989) dalam Wang (2005) bahwa penelitian empiris tidak hanya
memeriksa efek belanja pemerintah secara agregat namun terpenting meneliti
efek dari berbagai jenis pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta
secara parsial. Secara umum penelitian serupa di Indonesia melihat secara
global atas pengeluaran pemerintah, sementara dalam penelitian ini mengkaji
secara spesifik pengeluaran pemerintah menurut fungsi pengeluarannya
sehingga diharapan nantinya dapat diperoleh hasil yang lebih spesifik atas efek
yang ditimbulkan terhadap investasi swasta, tentu saja ini menarik untuk dikaji
lebih lanjut. Keempat, penelitian ini menggunakan variabel political institution
(Stasavage, 2002) yang disinyalir masih belum banyak mengeksplor variabel
tersebut.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya karena
penelitian sebelumnya secara umum meneliti determinan investasi swasta pada
suatu negara atau wilayah saja tanpa melihat lebih jauh efek yang ditimbulkan
oleh pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta. Demikian pula melihat
secara terpisah dampak pengeluaran pemerintah secara parsial menimbulkan
efek crowding out atau crowding in terhadap investasi swasta. Sementara pada
penelitian ini mencoba melihat determinan investasi swasta yang meliputi PDB,
suku bunga, pengeluaran pemerintah, inflasi dan tenaga kerja. Selain itu
penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek yang ditimbulkan oleh
20
pengeluaran pemerintah secara parsial berdasarkan fungsi pengeluarannya
terhadap investasi swasta di Indonesia.
Berdasarkan pertimbangan dan pemikiran seperti yang diungkapkan di
atas, maka permasalahan penelitian dapat disusun sebagai berikut:
1.2.1. Apakah PDB, Suku Bunga, Pengeluaran Pemerintah, Inflasi, Upah dan
Political Institution berpengaruh terhadap investasi swasta di Indonesia
dalam jangka panjang maupun jangka pendek?
1.2.2. Apakah pengeluaran pemerintah bersifat crowding out atau crowding in
terhadap Investasi Swasta di Indonesia?
1.3.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, tujuan
penelitian disusun sebagai berikut:
1.3.1. Untuk mengetahui apakah PDB, Suku Bunga, Pengeluaran Pemerintah,
Inflasi, upah dan political institution berpengaruh terhadap keseimbangan
investasi swasta di indonesia dalam jangka panjang dan jangka pendek.
1.3.2. Untuk mengetahui apakah pengeluaran pemerintah bersifat Crowding Out
atau Crowding In terhadap investasi swasta di Indonesia.
1.3.3. Untuk mengetahui dampak lebih lanjut investasi terhadap kesempatan
kerja di Indonesia
1.4.
Manfaat Penelitian
Hasil studi empiris yang dilakukan oleh penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat pada:
1.4.1. Manfaat Teoritis
a. Secara teoritis penelitian ini mengembangkan variabel determinan
investasi
swasta.
Dari
segi
variabel
bebas
peneliti
mencoba
21
mengembangkan variabel pengeluaran pemerintah yang secara agregat
telah dilakukan oleh sejumlah penelitian sebelumnya Ahmad dan Qayyum
(2008), Ang (2009), Akkina dan Celebi (2002), Ouarta (2004), Furceri dan
Sousa (2011). Peneliti mengembangkan variabel pengeluaran pemerintah
secara parsial mengikuti model Laopadis (2001) dan Wang (2005),
dengan meneliti secara parsial untuk membuktikan hipotesis Crowding
Out atau Crowding In terhadap investasi swastan dengan menggunakan
komponen pengeluaran pemerintah berdasarkan fungsi.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah Ilmu Ekonomi
secara khusus dalam pengembangan teori Investasi dan memperkaya
studi empiris determinan investasi swasta berdasarkan studi empiris di
Indonesia.
c. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi terutama bagi
peneliti lain yang ingin mendalami dan melanjutkan studi mengenai
determinan investasi swasta.
1.4.2. Manfaat Praktis
a.
Memberikan masukan kepada pemerintah dan mendorong pemerintah
dalam menggunakan anggaran belanja secara efektif yang sesuai
dengan skala prioritas dari rencana program pembangunan nasional
yang mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi
swasta di Indonesia. Selain itu informasi hasil penelitian ini diharapkan
dapat membantu para penentu kebijakan untuk melakukan upaya
maksimal dalam meningkatkan daya tarik dan peluang investasi di
Indonesia.
22
b.
Dengan mengetahui bahwa hubungan pengeluaran pemerintah dengan
investasi swasta, jika ternyata ditemukan bahwa investasi swasta
merupakan komplementer dengan pengeluaran pemerintah (crowding
in) maka hal ini akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi
maupun kesempatan kerja.
23
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Tinjauan Teoritik
2.1.1. Defenisi Investasi
2.1.1.1. Pengertian dan Konsep Investasi
Investasi merupakan konsep aliran (flow concept) sebab besarannya
dihitung selama satu interval periode waktu tertentu. Investasi termasuk di
dalamnya berupa investasi barang modal (capital goods) dan bangunan
(construction) adalah pengeluaran untuk pembelian pabrik, mesin, peralatan
produksi dan bangunan atau gedung baru. Seperti diketahui bahwa daya tahan
barang modal dan bangunan umumnya lebih dari satu tahun, maka seringkali
investasi disebut sebagai investasi dalam bentuk harga tetap (fixed investment).
Di Indonesia, istilah fixed investment setara dengan pembentukan modal
tetap domestik bruto (PMTDB) merupakan komponen yang menentukan
pengeluaran agregat. Tabungan
dari sektor rumah tangga melalui lembaga
keuangan akan mengalir ke sektor perusahaan/ swasta. Kegiatan ekonomi
ditentukan oleh besarnya pengelauran agregat yang terdiri dari empat jenis
pengeluaran yakni, pengeluaran konsumsi rumah tangga, investasi oleh
perusahaan, pengeluran pemerintah dan net ekspor.
Dalam ekonomi makro, investasi mempunyai arti yang lebih sempit
secara tekhnis berarti; investasi adalah arus pengeluaran yang menambah stok
modal fisik (Dornbusch, Fisher dan startz, 2008). Investasi merupakan arus
(flows), sedangkan capital merupakan stock. Capital stock meliputi fixed assets
yang bukan hanya sehubungan dengan kapasitas produktif, misalnya pabrikpabrik, mesin-mesin, peralatan, persediaan, tetapi juga mencakup konsumsi
24
untuk masa yang akan datang, misalnya residential fixed assets. Batasan penting
tentang karakteristik fixed assets, yakni pencerminan konsumsi yang ditunda:
seseorang melakukan investasi pada fixed assets karena mengharapkan barangbarang dan jasa-jasa di masa yang akan datang.
Hampir semua ahli ekonomi menekankan arti pentingnya pembentukan
modal sebagai penentu utama pertumbuhan ekonomi. Pembentukan modal itu
sendiri sebagaimana bahwa masyarakat tidak menggunakan seluruh aktivitas
produktifnya saat ini untuk kebutuhan dan keinginan berkonsumsi melainkan
menggunakan sebagian bagi pembentukan barang modal .Secara umum
investasi dapat dibagi dalam tiga jenis pengeluaran investasi (Dornbusch, Fisher
dan startz, 2008: 348; Mankiew, 2007:476)
1) Business fixed investment, yakni investasi dalam barang-barang modal fisik
(fixed capital) seperti pabrik, mesin-mesin dan peralatan produksi lainnya
yang mendukung proses produksi.
2) Residential investment, yakni investasi dalam perumahan terdiri dari
bangunan keluarga tunggal dan kediaman banyak keluarga. Teori investasi
perumahan dimulai dengan memperhatikan permintaan untuk stok rumah
yang ada. Permintaan stok rumah tergantung pada pengembalian rill netto
yang diperoleh dari memiliki rumah
3) Investasi Inventory yang terdiri atas bahan baku, barang dalam proses
produksi dan barang jadi yang disimpan perusahaan sebagai antisipasi
penjualan produk.
Ketiga jenis komponen investasi tersebut termasuk investasi bruto yang
meliputi
investasi
untuk
menambah
kemampuan
produksi
dalam
perekonomian dan mengganti barang modal yang telah disedresiasikan. Jika
25
investasi
bruto
tersebut
dikurangi
dengan
depresiasi
maka
akan
menghasilkan investasi neto.
2.1.1.2. Apakah Investasi Penting
Belanja investasi memainkan peranan penting tidak hanya pada
pertumbuhan jangka panjang namun juga pada siklus bisnis jangka jangka
pendek karena investasi merupakan unsur GDP yang paling sering berubah
(Mankiw, 2007: 476). Aggregate fixed investment merupakan komponen penting
aggregate demand dan sangat menentukan dalam pendapatan nasional dan
GDP.
Selain
itu,
investasi
memiliki
pengaruh
yang
penting
terhadap
kesempatan kerja dalam perekonomian. Investasi yang dilakukan pada suatu
waktu tertentu akan mempengaruhi kegiatan ekonomi di masa yang datang
karena
pembentukan
sumberdaya
capital
yang
akan
digunakan
untuk
menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa yang merupakan pembentukan
potensi produktif. Dengan demikian investasi menjadi determinan utama
pertumbuhan ekonomi. Apabila investasi dan pertumbuhan kapasitas produktif
meningkat, maka pertumbuhan ekonomi dan produktivitas akan meningkat pula
yang pada gilirannya akan meningkat produktivitas tenaga kerja, upah dan
tingkat hidup masyarakat. Sebagai salah satu komponen aggregate demand
yang mudah berubah, pengaruh investasi juga besar terhadap siklus dunia usaha
(business cycle) yang secara keseluruhan mempengaruhi perekonomian secara
makro.
Pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintah dalam berbagai aras perlu
memahami tentang prinsip-prinsip investasi tersebut. Pengeluaran untuk
26
infrastruktur publik dalam bentuk gedung-gedung, mesin-mesin dan peralatan
untuk rumah sakit, sekolah-sekolah, jalan kereta api, jalan raya, kelistrikan,
fasilitas komunikasi, fasilitas kebersihan, bendungan dan lain-lain merupakan
fixed investment yang pengaruhnya cukup besar dalam perekonomian.
2.1.2. Teori Investasi
2.1.2.1. Teori Keynes
Teori Keynes mengenai investasi bertumpu pada "marginal efficiency of
capital". Marginal efficiency of capital (MEC) merupakan determinan kunci
sekaligus ukuran tentang tingkat keuntungan yang diharapkan (expected
profitability) dari suatu investasi. Secara singkat MEC adalah suatu tingkat
diskonto yang menyamakan the present value penerimaan investasi di masa
yang akan datang dengan current supply price (current replacement cost)
investasi tersebut. Dengan demikian MEC mirip dengan teori Fisher tentang
internal rate of return. Di samping itu, Keynes sependapat dengan Fisher tentang
peranan suku bunga dalam mempengaruhi investasi. Selanjutnya menurut
Keynes bahwa investasi akan berlangsung hingga MEC sama dengan tingkat
bunga yang ada. Perbedaannya dengan Fisher, walaupun sulit dikuantifikasi,
Keynes mengakomodasikan ekspektasi dan ketidak-pastian (Nopirin, 2000;
Dornbusch, Fisher dan startz, 2008 ; Mankiew, 2007) .
Menurut Keynes bahwa MEC tidak hanya dipengaruhi oleh penilaian
obyektif, tetapi juga oleh pengaruh-pengaruh subyektif sepertl perilaku
konvensional dan psikologi massa (crowd psychology). Hal ini disebabkan oleh
ketidakpastian yang membatasi kemampuan para investor untuk menghitung
MEC secara obyektif. Dengan keterbatasan kalkulasi rasional dan animal spirits
berupa kekuatan optimisme spontan, jumlah investasi dapat lebih besar sesuai
27
yang diinginkan masyarakat dibandingkan jika para investor mendasari
keputusan mereka pada kalkulasi rasional.
Selanjutnya Keynes menekankan pentingnya investasi swasta, tetapi
sejumlah kendala yang dihadapi oleh pengambil keputusan di sektor swasta
memerlukan intervensi pemerintah. Keynes juga menganjurkan kebijakan
pengeluaran pemerintah sebagai alat untuk mendorong tingkat investasi.
Investasi pemerintah dapat dilaksanakan untuk meningkatkan capital stock ke
tingkat yang dikehendaki sehingga meningkatkan efek multiplier. Setiap bentuk
investasi pemerintah akan berpengaruh secara positif dan menghambat
terjadinya kontraksi dalam kegiatan perekonomian. Oleh karena itu investasi
pemerintah
seyogyanya
diarahkan
kepada
tujuan-tujuan
produktif
yang
mendukung kegiatan sektor swasta (Natural Resource Character, 2010).
2.1.2.2. Teori Akselerator
Model Akselaerator dapat menjelaskan investasi inventori dengan
membandingkan investasi inventori dengan perubahan output. Hubungan antara
tingkat pertumbuhan output dan tingkat investasi neto. (Branson, 1989). Model
akselerator menyatakan bahwa pengeluaran investasi proporsional dengan
perubahan output dan tidak berpengaruh atas biaya modal (Dornbusch, Fisher
dan startz, 2008 : 359).
Teori akselerator (accelerator theory) dalam bentuknya yang sederhana
menggambarkan investasi sebagai proses penyesuaian capital stock. Desired
capital stock ditentukan oleh expected demand terhadap produksi suatu
perusahaan sehingga investasi netto yang merupakan perubahan capital stock,
merupakan fungsi pertumbuhan output (Branson, 1989). Dalam bentuknya yang
sederhana tersebut, spesifikasi model akselerator berfokus pada pertumbuhan
28
output pada suatu periode tertentu yang merupakan determinan keputusan
investasi dengan mengabaikan peranan lags dalam keputusan investasi dan
pembentukan ekpektasi .
Ada dua langkah yang berbeda dalam pengembangan model flexible
accelerator. Langkah pertama melibatkan penentuan tingkat capital stock yang
diinginkan. Langkah kedua menunjukkan bagaimana pergerakan investasi aktual
yang terkait dengan keseimbangan capital stock. (Bronson, 1989)
Dalam model akselerator yang luwes (flexible accelerator models),
kelemahan
tersebut
ditutupi
dengan
memasukkan
struktur
lags
yang
menggambarkan investasi sebagai fungsi distributed lag pertumbuhan output
dalam beberapa periode. Fungsi distributed lags tersebut merangkum (tanpa
memisahkan) berbagai sumber lags, misalnya lags yang mencerminkan
keterlambatan dalam pengambilan keputusan, perencanaan, pemesanan,
penyerahan dan pemasangan proyek-proyek investasi baru, dan pembentukan
ekspektasi.
Teori akselerator secara umum dapat dihubungankan dengan pendekatan
Keynesian karena penekanan yang diberikan pada variabel kuantitas ketimbang
harga. Walaupun model akselerator ini mengandung banyak masalah teoritis,
tetapi secara empiris hasilnya dipandang baik (Mankiew, 2003).
2.1.2.3. Teori Jorgenson
Teori Jorgenson merupakan dasar teori investasi neo-klasik modern.
Jorgenson mengembangkan model investasi sebagai suatu proses penyesuaian
capital stock. Menurut Jorgenson bahwa investor yang rasional dan profitmaximizer akan memperhitungkan present value imbalan keputusan investasinya
29
dan akan menyamakan marginal benefit dengan marginal cost dari investasi
yang direncanakan. (Jorgenson, 1967)
Marginal benefit investasi merupakan marginal productivity of capital yang
diturunkan dari fungsi produksi Cobb-Douglas. Marginal cost dirangkum dalam
"user cost of capital' yang merupakan biaya-biaya yang timbul dari penggunaan
capital, termasuk biaya bunga, depresiasi, dan keuntungan atau kerugian yang
timbul akibat perubahan harga barang-barang capital. Jorgenson berasumsi
bahwa investasi yang dilakukan oleh perusahaan yang bersaing secara
sempurna berlangsung “seketika” tanpa biaya penyesuaian perbedaan antara
capital stock yang optimal di masa sekarang dengan di masa lalu. Pembentukan
ekspektasi tentang masa depan juga tidak diperlukan karena para investor dapat
melakukan respons secara cepat tanpa biaya terhadap perubahan-perubahan
yang terjadi (Jorgenson, 1967).
Model makro investasi Jorgenson dibangun dari fondasi mikro yang
menggambarkan
perilaku
perusahaan
profit-maximizing
firm
yang
mengakomodasikan sejumlah asumsi tentang ekspektasi yang bersifat statis,
penyesuaian capital stock yang bersifat seketika, dan tidak adanya biaya-biaya
penyesuaian. Sejumlah asumsi restriktif melandasi teori ini, antara lain
ekspektasi yang statis, penyesuaian capital stock yang instan, tidak terdapat
biaya penyesuaian, dan keputusan investasi yang bersifat reversible.
Teori investasi Jorgenson mendapat banyak keritikan terutama fondasi
mikro yang digunakan untuk membangun model sehingga perilku agregat
dipandang hanya merupakan pembesaran (scaled-up) perilaku perusahaan yang
memaksimisasi laba dalam pasar bersaing. Hal ini terkait dengan pendekatan
neo-klasik yang berasumsi bahwa perbedaan antara mikroekonomi dengan
30
makroekonomi hanya merupakan masalah agregasi. Ketergantungannya pada
hipotesis tentang perusahaan yang dianggap
yang
menyesatkan
“mewakili’,
merupakan
hal
karena keseluruhan bukan merupakan penjumlahan
bagian-bagiannya. Terdapat perbedaan antara makroekonomi dan mikroekonomi
khususnya bila perilku makroekonomi dipengaruhi oleh saling-ketergantungan,
perilaku kawanan (herd-behavior), dan feedback effects (Jorgenson, 1967;
Baddeley, 2003).
2.1.2.4. Teori Q Tobin
Business fix investment
ditentukan oleh produk marjinal modal dan
jumlah penyusustan atau depresiasi. Hal ini memberi indikasi bahwa salah satu
determinan investasi yang penting adalah tingkat bunga. Penurunan tingkat
bunga rill akan mengurangi biaya modal, begitu pula sebaliknya. Perusahaan
akan melakukan investasi sampai pada titik dimana biaya perolehan kapital
(harga kapital ditambah biaya penyesuaian) sama dengan nilai dari kapital
tersebut. (Romer, 2006 : 395).
Secara teoritis, rasio q mencerminkan bagaimana tambahan satu rupiah
kapital akan meningkatkan nilai sekarang dari keuntungan perusahan.
Perusahaan akan meningkatkan persediaan kapitalnya apabila nilai q > 1 dan
akan mengurangi investasi bila q < 1. Interpretasi ekonomi dari nilai q adalah
setiap kenaikan satu unit persediaan kapital perusahaan akan meningkatkan nilai
sekarang dari keuntungan perusahaan sebesar q. Dengan demikian q adalah
nilai pasar dari suatu unit kapital.
Rasio nilai pasar kapital terhadap biaya penyesuaian kapital dikenal
sebagai Q Tobin (Tobin, 1969 dalam Romer, 2006). Dengan kata lain q-Tobin
merupakan perbandingan nilai pasar perusahaan terhadap inventasi bersihnya.
31
Apabila terjadi peningkatan harga saham
perusahaan maka nilai pasar
perusahaan akan meningkat dan selanjutnya rasio q-Tobin akan meningkat yang
memungkinkan perusahaan melakukan investasi tetap (Fix Investment).
Keunggulan q-Tobin sebagai ukuran dari intensif untuk investasi adalah
mengimplikasikan profitabilitas modal masa depan yang diharapkan serta
profitabilitas sekarang. Teori Investasi q-Tobin menekankan bahwa keputusan
investasi bergantung tidak hanya pada kebijakan ekonomi saat ini melainkan
juga pada kebijakan yang diharapkan berlaku di masa depan (Mankiew, 2003).
 Implikasi Model q
Perubahan pada output, suku bunga, dan kebijakan pajak memberikan
implikasi pada model q. Peningkatan output yang permanen mendorong
terjadinya kenaikan investasi temporer, sementara peningkatan temporer dari
output meskipun meningkatkan investasi namun dengan respon yang lebih
rendah dibandingkan dengan kenaikan output permanen (Romer, 2006).
Penurunan permanen suku bunga jangka pendek menghasilkan booming
investasi sesaat, sedangkan kenaikan suku bunga jangka pendek yang
diharapkan dimasa datang akan mengurangi investasi.
Pengaruh pemotongan pajak atas investasi akan meningkatkan investasi
dan menurunkan keuntungan industri sehingga nilai q akan turun, dan tidak
intensif bagi perusahaan untuk melakukan investasi dengan nilai q < 1.
Ketidakpastian keuntungan dimasa datang tidak memiliki dampak langsung
terhadap investasi, selama nilai kapital melebihi biaya perolehannya. Biaya
penyesuaian yang tidak simetris menyebabkan perubahan investasi yang tidak
sama saat terjadi peningkatan maupun penurunan investasi. Ketidakpastian
resiko (discount factor) yang berkorelasi negatif dengan resiko agregat akan
32
meningkatkan investsi, sebaliknya ketidakpastian resiko yang berkorelasi positif
dengan resiko agregat akan mengurangi nilai kapital sehingga menurunkan nilai
investasi (Romer, 2006 : 413).
2.1.3. Teori Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah merupakan instrumen yang digunakan dalam
menentukan kontribusi peran sektor pemerintah dan sektor swasta. Selain itu,
pengeluaran pemerintah dapat digunakan sebagai penentu pokok jumlah
pengeluaran agregat serta penentu pertumbuhan Produk Nasional Bruto rill
dalam jangka pendek.
Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila
pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa
maka pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh
pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut (Mangkoesubroto,1996 :
169). Teori mengenai pengeluaran pemerintah dapat digolongkan menjadi dua
bagian yakni teori pengeluaran pemerintah secara makro dan teori pengeluaran
pemerintah secara mikro.
2.1.3.1. Tinjauan Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah dalam hal ini pengeluaran investasi pemerintah
memiliki kedudukan yang strategis dalam meningkatkan laju pertumbuhan
ekonomi nasional. Sering pula dikatakan bahwa pengeluaran investasi
pemerintah dapat memainkan peran sebagai salah satu penggerak utama (prime
mover) dalam perekonomian, sehingga ketika perekonomian sedang mengalami
kelesuan akibat adanya resesi ekonomi yang memerosotkan kemampuan
masyarakat dalam melakukan kegiatan perekonomian, pemerintah melalui
instrumen kebijakan yang dimiliki dapat tampil menyelamatkan keadaan dengan
33
memperbesar pengeluaran pemerintah melalui anggaran belanja defisit, dan
sebaliknya. Dalam setiap sistem perekonomian, baik kapitalis atau sistem
perekonomian sosialis, pemerintah senantiasa mempunyai peranan yang
penting.
Peranan pemerintah sangat besar dalam sistem perekonomian sosialis
dan sangat terbatas dalam sistem kapitalis. Adam Smith mengemukakan teori
bahwa pemerintah hanya mempunyai tiga fungsi : 1. Fungsi pemerintah untuk
memelihara keamanan dalam negeri dan pertahanan. 2. Fungsi pemerintah
untuk menyelenggarakan peradilan. 3. Fungsi pemerintah untuk menyediakan
barang-barang yang tidak disediakan oleh pihak swasta, seperti halnya dengan
jalan, bendungan dan lain sebagainya. Dalam penelitian Gwartney, Lawson dan
Holcombe (1998), menyebutkan bahwa pemerintah mempunyai fungsi sebagai
core function. Fungsi ini dapat membuat peningkatan dalam efisiensi
perekonomian dan seterusnya dapat meningkatkan pertumbuhan.
Ada dua kategori dalam fungsi ini yang kebanyakan digunakan dalam
berbagai penelitian, yaitu ; fungsi sebagai pelindung (protective function) dan
fungsi sebagai penyedia barangbarang publik (provision of a limitedm set of
collective goods). Protective function termasuk di dalamnya penegakan peraturan
dan hukum dan hak-hak individu yang dapat melindumgi masyarakat dari
kehilangan hak-haknya.
Fungsi yang kedua yaitu provision of a limited set of collective goods,
adalah menyediakan barang-barang atau jasa seperti pertahanan, jalan,
pendidikan dan layanan masyarakat lainnya serta barang-barang yang tidak
disediakan atau disediakan dalam jumlah yang sedikit sekali oleh sektor swasta.
Dengan tersedianya barang-barang seperti disebutkan diatas dan perlindungan
hak kepemilikan dapat meningkatkan pertumbuhan PDB (Burda dan Wyplosz,
2001). Pengeluaran pemerintah secara garis besar terdiri dari pengeluaran rutin
34
dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran konsumsi pemerintah tercakup
dalam pengeluaran rutin dan pengeluaran investasi pemerintah tercakup dalam
pengeluaran pembangunan.
2.1.3.2. Teori Makro Pengeluaran Pemerintah
Model Pembangunan ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave
(Mangkoesoebroto,1996:170)
yang
menghubungkan
perkembangan
pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yang
dibedakan antara tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap
awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total
investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana
seperti pendidikan, kesehatan, transportasi dan sebagainya. Pada tahap
menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada
tahap ini peran investasi swasta sudah semakin membesar. Peran pemerintah
tetap besar pada tahap menengah karena perans swasta yang semakin besar
banyak menimbulkan kegagalan pasar (market failure) dan juga menyebabkan
pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih
banyak dan kualitas yang lebih baik. Selain itu, pada tahap ini perkembangan
ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antarsektor yang semakin rumit.
Musrgave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan,
investasi swasta dalam persentase terhadap GNP semakin besar dan
persentase pemerintah terhadap GNP akan semakin kecil (Mangkoesoebroto
1996:170). Sementara menurut Wagner bahwa dalam suatu perekonomian,
bilamana pendapatan per kapita meningkat, secara relatif pengeluaran
pemerintah pun akan ikut meningkat. Menurut Wagner, terdapat lima hal yang
35
menyebabkan pengeluaran pemerintah selalu meningkat, yakni: (i) tuntutan
peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan, (ii) kenaikan tingkat
pendapatan masyarakat, (iii) Urbanisassi yang mengiringi pertumbuhan ekonomi,
(iv) perkembangan demokrasi, (v) ketidakefisienan birokrasi yang mengiringi
perkembangan pemerintah.
2.1.4. Dampak Pengeluaran Pemerintah Terhadap Investasi Swasta
Pada bagian ini akan diulas mengenai teori dampak pengeluaran
pemerintah terhadap investasi swasta dari sudut pandang yang berbeda.
Mengingat bahwa pertumbuhan defisit fiskal dan hasil peningkatan hutang
pemerintah telah menarik perhatian bagi pembuat kebijakan dan analisis pasar
keuangan. Namun, dampak faktor-faktor pada variabel ekonomi masih
kontroversial bagi kalangan ekonom terutama dalam hal efek anggaran defisit
pemerintah terhadap perekonomian terutama investasi. Ada pandangan yang
berbeda dan masih eksis pada dampak peningkatan pengeluaran pemerintah
terhadap investasi swasta (Kustepeli, 2005).
2.1.4.1. Efek Crowding Out
Teori ini dipelopori oleh kaum Klasik muncul kembali tahun 1970-an
dalam
diskursus
perdebatan
tentang
pengaruh
pengaruh
pengeluaran
pemerintah yang dibiayai dengan anggaran defisit. Menurut teori ini bahwa
campurtangan pemerintah dalam perekonomian menyebabkan menurunnya
(crowds-out) kegiatan sektor swasta (Bailey, 2003). Dikenal dua jenis crowdingout, yakni a) real resource (direct) crowding-out, dan b) financial (indirect)
crowding-out.
Real
crowding-out
terjadi
jika
pengeluaran
pemerintah
menyebabkan pengalihan sumberdaya dari sektor swasta ke sektor pemerintah.
Berhubung sektor
swasta dipandang
lebih efisien dibandingkan sektor
36
pemerintah, maka pengeluaran pemerintah untuk kegiatan produksi barangbarang dan jasa-jasa akan menurunkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Financial crowding-out terjadi
perpajakan,
dan
pinjaman
jika
pengeluaran
pemerintah,
pemerintah menyebabkan turunnya gairah untuk
bekerja (disincentive-to-work) atau untuk investasi (disincentive-to-invest).
Disincentive-to-work terjadi jika sektor swasta memandang peningkatan
beban pajak akibat peningkatan pengeluaran pemerintah lebih besar daripada
manfaat yang diterima sehingga menurunkan dorongan untuk bekerja.
Disincentive-to-invest terjadi apabila pengeluaran pemerintah dibiayai dengan
pinjaman (obligasi) menyebabkan kenaikan tingkat bunga sehingga menurunkan
minat sektor swasta untuk melakukan investasi (Alani, 2006).
Crowding out terjadi ketika kebijakan fiskal ekspansioner menyebabkan
suku bunga naik, akibatnya mengurangi pengeluaran sektor swasta terutama
investasi (Dornbusch, Fischer dan Startz, 2008:259). Pada setiap kasus semakin
besar tingkat crowding out, semakin tinggi kenaikan suku bunga ketika
pengeluaran pemerintah meningkat.
Dampak crowding out terjadi apabila pengeluaran pemerintah bertindak
sebagai substitusi untuk pengeluaran swasta. Dampak ini bersumber dari
menurunnya investasi dan apresiasi nilai mata uang, sebagai akibat dari naiknya
tingkat bunga karena adanya stimulus fiskal. Besaran turunnya dampak
pengganda tergantung pada hal-hal berikut (Abimanyu 2005):
1.
Sensitivitas investasi terhadap tingkat bunga, naiknya sensitivitas investasi
terhadap tingkat bunga akan menurunkan koefisien pengganda. Namun
demikian, apabila investasi merupakan fungsi positif dari pendapatan, maka
angka pengganda tidak terlalu berpengaruh.
37
2.
Hubungan antara permintaan uang dengan tingkat bunga dan pendapatan.
Semakin besar pengaruh tingkat bunga terhadap permintaan uang, akan
semakin menekan besarnya dampak pengganda, sebaliknya dengan
kenaikan pendapatan.
3.
Tingkat keterbukaan ekonomi dan sistem nilai tukar yang digunakan.
Keterbukaan ekonomi menimbulkan peluang substitusi permintaan, dari
domestik menjadi impor, sehingga memperkecil dampak kebijakan fiskal
yang diharapkan. Terkait dengan sistem nilai tukar, sistem nilai tukar
fleksibel yang digunakan dapat meningkatkan crowding out, sehingga
menurunkan efektivitas stimulus fiskal.
4.
Fleksibelitas
harga
berpengaruh
secara
negatif
terhadap
besarnya
pengganda.
5.
Rational expectation, apabila kebijakan stimulus fiskal ditempuh secara
permanen, maka hal tersebut akan menimbulkan harapan akan naiknya
tingkat bunga dan menguatnya nilai tukar. Sehingga stimulus fiskal menjadi
kurang efektif, karena mempunyai crowding out yang cukup besar.
6.
Pandangan Ricardian equivalen, kebijakan fiskal tidak memengaruhi
pendapatan permanen dan pola konsumsi masyarakat. Hal ini disebabkan
adanya
pola
pikir
masyarakat
yang
berpendapat
bahwa
kenaikan
pendapatan dari stimulus fiskal pasti akan diikuti dengan kenaikan pajak
dimasa yang akan datang.
2.1.4. 2. Teori Keynes Crowding In
Teori ini dikemukakan oleh kelompok Keynesian dengan argumen bahwa
peningkatan
pengeluaran
pemerintah
mendorong
(crowds-in)
kegiatan
perekonomian terutama investasi swasta karena pemerintah membantu
38
pengembangan sektor swasta melalui penyediaan infrastruktur fisik dan non-fisik.
Peningkatan pengeluaran dengan anggaran defisit meningkatkan produksi dalam
negeri. Para investor swasta lebih optimis tentang perekonomian di masa depan
sehingga mereka meningkatkan investasinya (Alani, 2006).
Teori yang lain yang dapat dikaitkan dengan hal tersebut adalah teori
Hirschman tentang pembangunan yang tidak seimbang (unbalanced growth).
Untuk mendorong pembangunan di negara-negara berkembang, salah satu
tujuan kebijakan fiskal adalah adalah meningkatkan investasi swasta dan
pemerintah
dalam
perekonomian.
Berhubung
keterbatasan
sumberdaya
finansial, maka pemerintah terlebih dahulu melakukan investasi terutama dalam
penyediaan social overhead capital (SOC) berupa jalanan, jembatan, pelabuhan,
kelistrikan, telekomunikasi, pengairan, pendidikan, dan lain-lain untuk mendorong
investasi swasta dalam bentuk direct productive activities (DPA) atau kegiatan
produktif
yang
langsung
menghasilkan
barang-barang
yang
dibutuhkan
masyarakat. Kebijakan seperti ini oleh Hirschman disebut imbalance through
SOC-DPA (Yotopoulus & Nugent, 1985, Jhingan, 1990).
Sebaliknya, pemerintah dapat juga terlebih dahulu membiarkan investasi
swasta berkembang sendiri dengan hanya memberikan insentif perpajakan dan
subsidi. Pembangunan SOC oleh pemerintah dilakukan setelah munculnya
berbagai tekanan termasuk
politik dari sektor swasta. Kebijakan seperti ini
disebut imbalance through DPA-SOC, Tetapi kebijakan yang terakhir sulit untuk
dilaksanakan di negara-negara berkembang karena lemahnya kekuatan sektor
swasta. Kebijakan imbalance through SOC-DPA dan DPA-SOC dapat dilihat
pada Gambar 2.1.
39
Gambar 2.1.
Imbalance through SOC-DPA
SOC
dan DPA-SOC
Gambar 2.1. menunjukkan bahwa investasi pemerintah dalam SOC pada
sumbu datar, sedangkan
edangkan investasi swasta melalui DPA pada sumbu tegak. Kurva
a, b, dan c adalah isoquants yang menunjukkan berbagai jumlah SOC dan DPA
yang menghasilkan output yang sama pada suatu waktu tertentu
Asumsinya, yaitu pertama, investasi SOC dan DPA tidak dapat
dikembangkan bersamaan, kedua, capital yang digunakan bekerja dengan
kapasitas penuh. Jika pengeluaran pemerintah pada investasi SOC terlebih
dahulu, maka perekonomian akan mengkuti garis-garis
garis garis terputus M'BB"C.
Sebaliknya jika DPA terlebih dahulu, maka perekonomian
perekonomian akan mengikuti garis
AB'BC'C.
Hirschman mengemukakan juga peranan 'forward linkage' dan 'backward
linkage' yang ditimbulkan, baik oleh investasi pemerintah maupun investasi
swasta dalam mendorong kegiatan perekonomian. (Yotopoulus
( Yotopoulus & Nugent, 1985
1985)
40
2.1.4.3. Teori Ricardian Equivalence Hypothesis (REH)
Pendekatan ini dikemukakan oleh Barro yang berpendapat bahwa
kenaikan defisit anggaran, menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah
harus di bayar saat ini atau nanti melalui total penerimaan nilai sekarang yang
ditentukan oleh total pengeluaran nilai sekarang (Kustipeli, 2005)
Prinsip umumnya adalah bahwa hutang pemerintah ekuivalen dengan
pajak masa depan dan jika konsumen cukup melihat ke depan, pajak masa
depan akan ekuivalen dengan pajak saat ini. Jadi, mendanai pengeluaran
pemerintah dengan utang adalah ekuivalen dengan mendanainya dengan pajak
(Mankiew, 2007: 431). Dengan demikian pemotongan pajak saat ini harus
diimbangi dengan peningkatan pajak masa depan, menyisahkan suku bunga
sehingga investasi swasta tidak berubah.
Implikasi atas pengeluaran pemerintah terhadap Investasi swasta dapat
memberikan efek Crowding Out, Crowding In dan Ricardian Equivalence. Muncul
pertanyaan mendasar bahwa apakah investasi pemerintah atau sektor publik dan
swasta merupakan substitusi atau komplementer telah menjadi dasar untuk
kontroversi yang kuat dalam teori ekonomi dan kebijakan. Pendukung pasar
bebas berpendapat bahwa intervensi pemerintah dalam perekonomian harus
diminimalkan. Menurut pandangan ini aktivitas sektor publik bersaing dengan
sektor swasta untuk sumberdaya yang langka dan mendorong harga meningkat.
Hal ini terjadi terutama jika investasi sektor publik yang dibiayai dari pinjaman,
maka akan menyebabkan peningkatan suku bunga pasar sehingga dengan
demikian dapat meningkatkan biaya modal bagi sektor swasta. Oleh karena itu ,
beberapa proyek sektor swasta menjadi tidak menguntungkan atau tidak layak.
Hasil akhirnya adalah crowding out investasi swasta dengan investasi sektor
41
publik, karena secara umum menerima bahwa investasi sektor swasta
memberikan kontribusi lebih terhadap pertumbuhan ekonomi, peningkatan
ukuran sektor publik dengan mengorbankan sektor swasta juga menghambat
pertumbuhan ekonomi (Alani, 2006).
Disisi lain, berpendapat bahwa investasi publik mungkin bermanfaat bagi
pengembangan sektor swasta. Sektor pemerintah, misalnya mampu untuk
berinvestasi pada proyek-proyek infrastruktur yang melibatkan sunk cost besar
dan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa memperoleh manfaat atau
keuntungan. Sektor swasta dapat mengambil manfaat dari spillovers seperti
proyek sektor publik selama dan setelah selesainya proyek. Suatu infrastruktur
yang lebih baik dapat dikembangkan seperti jalan raya dan kereta api, dapat
mengurangi biaya transportasi sehingga dapat memberikan fasilitas lingkungan
usaha yang lebih baik. Selain itu, investasi publik pada pelayanan fasilitas
pendidikan dan kesehatan membantu peningkatan dan kualitas modal manusia
dalam suatu perekonomian. Selain itu, sebagai alat manajemen permintaan
agregat, investasi pemerintah dapat digunakan sebagai ukuran kebijakan
counter-cyclical ekonomi untuk memperlancar siklus bisnis dan merevitalisasi
kegiatan sektor swasta setidaknya dalam jangka pendek.
Argumentasi crowding out yang dijelaskan diatas di dasarkan pada
asumsi bahwa perekonomian beroperasi pada titik batas kemungkinan produksi
dan telah berkembang dengan baik dan efisiensi fungsi pasar keuangan. Kondisi
ini tidak selalu terpenuhi terutama pada negara-negara berkembang.
Dengan demikian, investasi sektor publik belum tentu bersaing dengan
sektor swasta untuk sumber daya langka dan terbatas. Sejumlah investasi sektor
swasta mungkin juga tidak akan dibiayai jika pasar keuangan yang terbatas.
42
Dalam situasi seperti itu, investasi sektor publik mungkin memainkan peran
katalis dalam menyediakan infrastruktur ekonomi yang sangat dibutuhkan dan
jika tidak maka sulit untuk melakukan investasi. Akibatnya, sektor swasta dan
ekonomi pada umumnya dapat mengambil manfaat dari investasi sektor publik
tersebut.
2. 1. 5. Determinan Investasi Swasta
Secara teoritis determinan investasi swasta ditentukan oleh sejumlah
faktor yang di duga kuat pengaruhnya terhadap investasi. Sejumlah faktor yang
diasumsikan secara teoritis dapat mempengaruhi investasi antara lain; suku
bunga, penyusutan, kebijaksanaan perpajakan, ekpektasi penjualan dan
penerimaan serta kebijakan ekonomi (Nopirin, 2000). Selain itu iklim investasi
yang diduga mampu menggerakkan sektor rill dan meningkiatkan investasi
(Kuncoro, 2009). Determinan investasi swasta yang meliputi variabel ekonomi
dan variabel non ekonomi yang diakomodasi dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.
Suku Bunga. Berdasarkan teori investasi salah satu komponen biaya modal
yang utama adalah suku bunga, sehingga semakin tinggi suku bunga maka
investasi akan semakin berkurang hal ini sesuai dengan teori klasik dan
Keynes. (Nurdeen, 2009). Suku bunga yang tinggi akan meningkatkan real
cost of capital yang pada gilirannya akan menghambat investasi swasta.
2.
Produk Domestik Bruto (PDB). Prinsip Teori Akselerasi menyatakan bahwa
besarnya investasi proporsional terhadap perubahan output (PDB). Teori
neoklasik menunjukkan bahwa bahwa investasi swasta berhubungan positif
terhadap pertumbuhan PDB rill (Ouattara, 2004)
3.
Inflasi. Salah satu faktor uncertainity secara teoritis mempengaruhi investasi
adalah inflasi (Rodrik, 1991 ; Jongwanich & Kohpaibon, 2008). Keynes
43
mengakomodasikan variabel ketidak-pastian sebagai faktor determinan
investasi. Demikian pula Teori portofolio menyatakan bahwa salah satu
faktor penentu investasi adalah tingkat inflasi (Setyari, 2008). Semakin tinggi
inflasi maka orang akan cenderung menukarkan kekayaan jenis uang (surat
berharga) dengan kekayaan jenis barang fisik seperti rumah. Inflasi juga
dapat menyebabkan kenaikan investasi (produksi), karena kenaikan harga
akan mendahului upah sehingga revenue bagi pengusaha akan meningkat,
dengan asumsi pada tingkat inflasi yang moderat.
4.
Upah. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang dapat
mendukung proses produksi. Secara teoritis peningkatan tenaga kerja
menyebabkan harga (upah) tenaga kerja menjadi murah sehingga biaya
produksi relatif menjadi rendah (Almeida, 2007). Hal ini akan menyebabkan
investor tertarik untuk melakukan investasi.
Secara umum dinegara
berkembang, faktor produksi tenaga kerja umumnya berlimpah (abudance)
sehingga menarik bagi investor. Selain itu, tenaga kerja merupakan faktor
endowment atas determinan investasi (Blonigen, 2011).
2. 2. Tinjauan Empirik
Pada bagian ini peneliti akan mereview beberapa hasil penelitian
terdahulu yang berkaitan dengan dampak pengeluaran pemerintah terhadap
investasi swasta. Demikian pula efek yang ditumbulkan atas pengeruh tersebut.
Pada bagian kedua akan direview beberapa hasil penelitian secara empiris
mengenai determinan investasi swasta. Pada bagian ini melihat sejumlah
variabel yang mempengaruhi investasi swasta di negara lain.
44
2.2.1. Studi Empiris Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Investasi
Swasta
Sejumlah penelitian mengenai pengeluaran pemerintah telah dilakukan di
berbagai negara termasuk di Indonesia. Penelitian tersebut mengkaji kebijakan
fiskal dalam konteks pengeluaran pemerintah maupun dalam konteks budget
deficit. Namun pada pembahasan berikut lebih ditekankan pada konteks
hubungan pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta. Secara umum,
sejumlah literatur yang mengkaji hubungan tersebut memberikan hasil yang
berbeda di setiap negara secara inconsistency, yakni Crowding Out, Crowding In
bahkan mendukung Richardian Equivalence.
Studi empiris atas kepekaan sektor swasta terhadap kebijakan fiskal
ekspansif (Hidayat, 2005) menemukan bahwa kebijakan ekspansif yang di
implementasikan di Indonesia sejak awal pelita I tahun 1969 hingga akhir Pelita
VI tahun 1998 memberikan efek yang berbeda terhadap investasi swasta dan
pengeluaran konsumsi masyarakat. Kebijakan fiskal merupakan substitusi
terhadap investasi swasta dan komplemeter terhadap konsumsi swasta. Namun
secara keseluruhan kebijakan fiskal ekspansif mampu mendorong pertumbuhan
ekonomi, khususnya melalui jalur konsumsi.
Hal yang serupa diungkapkan
Kuncoro (2001) menemukan bahwa kebijakan ekspansioner pada pengeluaran
pembangunan tidak menyebabkan crowding out di pasar barang domestik.
Desakan pengeluaran pembangunan dari pemerintah hanya terjadi secara
parsial pada komponen pengeluaran investasi swasta (paradigma klasik berlaku).
Crowding out tidak terjadi atas pengeluran konsumsi masyarakat (paradigma
Keynes
berlaku).
meningkatakan
Secara
pengeluaran
Hadiwibowo (2010)
totalitas,
sektor
kebijakan
swasta.
ekspansi
Berbeda
anggaran
dengan
akan
temuan
hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan dan
pengeluaran pemerintah saat ini mempengaruhi investasi dan pertumbuhan
45
ekonomi negatif. Sebaliknya, pengeluaran pembangunan memiliki efek positif
terhadap investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Penelitian yang dilakukan oleh Laopodis (2001) mengenai dampak
pengeluaran publik (militer dan non-militer) gterhadap investasi swasta dengan
menggunakan analisis kointegrasi dan koreksi kesalahan. Bukti empiris dari
empat negara Eropa menunjukkan bahwa pengeluaran publik bagi ketiga negara
(Yunani, Irlandia dan Portugis) telah memberikan positif terhadap investasi
swasta, namun pengeluaran militer tidak mempengaruhi investasi swasta. Intinya
bahwa
di
negara-negara
dengan
tingkat
pembangunan
yang
rendah,
pengeluaran publik non militer memiliki dampak positif yang kuat terhadap
investasi swasta sementara pada negara dengan perekonomian yang lebih maju
(Spanyol) belanja publik yang tinggi secara umum dapat menggantikan investasi
swasta.
Penelitian serupa dilakukan oleh Wang (2005) mengenai dampak
pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta di Kanada. Dengan
menggunakan metode analisa kointegrasi dan ECM menemukan bahwa
pengeluaran pemerintah atas pendidikan dan kesehatan berdampak positif
terhadap investasi swasta, sementara pengeluaran modal dan infrastruktur justru
berpengaruh negatif terhadap investasi swasta.
Erden dan Holcombe (2005), melakukan penelitian mengenai dampak
investasi publik terhadap investasi swasta dalam mengembangkan ekonomi.
Berangkat dari literatur mengenai dampak investasi publik di negara berkembang
yang memberikan hasil yang tidak konsisten apakah sebagai pelengkap atau
substitusi terhadap investasi swasta. Dengan menggunakan data panel dari
sembilan belas negara berkembang dan dua belas negara industri dari tahun
1980 hingga 1997, menemukan bahwa investasi publik melengkapi investasi
swasta pada negara berkembang. Setiap kenaikan sepuluh persen investasi
46
publik akan diikuti dengan peningkatan dua persen investasi swasta. Hasil
penelitian
ini
juga
menemukan
bahwa
investasi
swasta
dibatasi
oleh
ketersediaan kredit bank di negara berkembang. Dengan menggunakan model
empiris yang sama pada panel negara maju, menunjukkan temuan yang
berbeda. Investasi publik di negara maju crowd-out (substitusi) terhadap
investasi swasta di negara maju. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa
dalam beberapa cara penting, investasi swasta di negara maju di dipengaruhi
oleh faktor yang berbeda dari investasi swasta di negara berkembang. Model
dalam penelitian yang dilakukan Erden menggunakan Panel dinamis yang
menggunakan Fix effect dan 2SLS Non Linier Least Square dengan metode
GARCH. Dalam penelitian tersebut ditemukan hasil yang berbeda dari setiap
panel negara berkembang dan negara industri dengan penentu faktor investasi
swasta yang berbeda bagi kedua kelompok negara tersebut.
Penelitian yang dilakukan Kustepeli (2005) bertujuan untuk mengetahui
efektifitas kebijakan fiskal pemerintah dalam konteks hipotesis crowding out di
Turki. Membangun dua model dengan variabel dependen yang sama namun
salah satu variabel independennya berbeda. Secara keseluruhan model tersebut
adalah investasi sebagai fungsi dari GDP, suku bunga, dan kebijakan fiskal.
Pada model pertama variabel fiskal yang dimasukkan adalah pengeluaran
pemerintah dan model yang kedua adalah defisit fiskal. Model pertama
mencerminkan pemikiran Keynes sementara model kedua merupakan aliran
Neoklasik. Menggunakan uji kointegrasi Johansen dan Analisis VAR untuk
memverifikasi antara pandangan Keynes dan Neoklasik di Turki. Hasilnya
menunjukkan perbedaan dalam konteks crowding out maupun crowding in
dalam investasi swasta. Peningkatan pengeluaran pemerintah memberikan efek
crowding in terhadap investasi swasta, sedangkan defisit pemerintah ditemukan
memberikan efek crowding out terhadap investasi swasta di Turki. Selain itu,
47
pada penelitian ini variabel antara, suku bunga berpengaruh negatif sementara
pendapatan nasional berpengaruh positif terhadap investasi swasta.
Alani (2006), meneliti efektivitas kebijakan fiskal dalam konteks hipotesis
crowding out atau crowding in di Jepang selama periode 1998 – 2006. Dengan
menggunakan analis deskriptif melihat hubungan antara hutang pemerintah dan
pasar obligasi pemerintah dan investasi sektor swasta. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa adanya hubungan positif antara investasi sektor publik
terhadap investasi swasta. Berangkat dari pemikiran bahwa defisist anggaran
pemerintah itu menjadi bentuk penting kebijakan fiskal yang memberi efek pada
variabel makroekonomi terutama ketika hal tersebut diabiayai oleh obligasi
pemerintah sehingga jelas melalui rasio keterantungan obligasi yang besar.
Anggaran defisit pemerintah yang dibiayai oleh obligasi, dampak crowding out
dapat dihindari dengan sejumlah argumentasi: (i) suku
bunga tidak sensitif
terhadap anggaran, (ii) hubungan antara investasi sektor swasta dan investasi
sektor publik yang saling melekapi, (iii) pengeluaran pemerintah yang produktif,
(iv) tingkat pengembangan pasar keuangan dan tingkat integrasi dalam pasar
keuangan
internasional
yang
sangat
tinggi,
sehingga
pemerintah
dan
perusahaan swasta dapat melakukan pinjaman keuangan dari pasar keuangan
domestik
dan internasional. Maka untuk alasan tersebut, pasar obligasi
pemerintah crowding in investasi swasta dalam perekonomian Jepang selama
periode pengamatan.
Afonso dan Aubyn (2008), melakukan penelitian dampak makroekonomi
dari investasi publik dan investasi swasta. Penelitian ini menggunakan data panel
dari empet belas negara Uni Eropa ditambah Kanada, Jepang dan Amerika
Serikat yang dianalisis dengan menggunakan metode VAR. Kemudian dari fungsi
respon impuls dapat dinilai sejauh mana dampak crowding in atau crowding out
dari kedua komponen investasi. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar
48
adanya efek positif dari investasi publik dan investasi swasta pada output. Di sisi
lain, efek crowding in investasi publik terhadap investasi swasta bervariasi antar
negara, sementara efek crowding in investasi swasta terhadap investasi publik
dapat digeneralisir.
Cavallo dan Daude (2008) menganalisis dampak investasi publik
terhadap invesatsi swasta pada negara berkembang. Penelitian ini menggunakan
data panel sebanyak seratus enam belas negara-negara berkembang selama
periode 1980 – 2006. Dengan menggunakan metode panel dinamis, penelitian ini
menemukan adanya efek crowding out kuat dan kokoh yang nampaknya sebagai
norma bukan pengecualian baik antar daerah maupun dari waktu ke waktu. Hal
lain ditemukan bahwa efek ini dikurangi (atau bahkan hilang) pada negaranegara dengan institusi yang lebih baik dan lebih terbuka bagi perdagangan
internasilan dan arus keuangan. Hasil tersebut konsisten terhadap hipotesis
bahwa infrastruktur publik mungkin melengkapi investasi swasta dalam fungsi
produksi agregat. Sebagimana investasi publik idealnya harus difokuskan pada
peningkatan produktivitas dan daya saing. Ada distorsi terkait dengan proses
investasi publik yang mungkin membuat crowding out atas investasi swasta
dalam membangun stok modal publik . Distorsi ini, pada gilirannya, lebih banyak
terjadi di negara-negara dengan lembaga yang buruk atau kurangnya
perdagangan dan keterbukaan keuangan.
Penelitian Hussain, Adnan dan Sulaiman (2009), meneliti efektivitas
pengeluaran pemerintah crowding in atau crowding out yang dilakukan di
Pakistan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan jangka
panjang antara investasi swasta dan pengeluaran pemerintah (kebijakan fiskal).
Dengan menggunakan data time series tahunan perekonomian Pakistan selama
periode 1975 – 2008 dengan metode analisis teknik kointegrasi dan Error
Correction Model (ECM). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengeluaran
49
non pembangunan seperti pengeluaran pertahanan, pelunasan hutang dan lainlain menyebabkan crowding out investasi swasta dan pengeluaran non
pembangunan terhadap investasi swasta berkorelasi negatif terutama dalam
jangka
panjang.
Peningkatan
cepat
pengeluaran
pemerintah
saat
ini
menyebabkan peningkatan lebih lanjut dalam defisit fiskal dan beban pajak masa
masyarakat di masa akan datang. Jika defisit fiskal dipenuhi oleh pembiayaan
defisit (meminjam dari bank sentral) dapat meningkatkan jumlah uang beredar
dalam negeri bersama dengan itu meningkatkan volatilitas nilai tukar yang
merugikan karena mempengaruhi kepercayaan investor asing. Jadi pemerintah
harus merasionalisasikan pengeluaran non pembangunan guna mendorong
investasi swasta. Di sisi lain, pemerintah harus meningkatkan pengeluaran
pembangunan seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan lain–lain yang
meminimalkan biaya produksi dan berdampak positif pada investasi swasta dan
meningkatkan skala ekonomi serta produktivitas. Hasil studi ini menunjukkan
bahwa pengeluaran non pembangunan seperti pelayanan(pembiayaan) hutang
dan pertahanan mendukung crowding out seperti hipotesis ekonom klasik,
sedangkan pengeluaran pembangunan seperti infrastruktur (telekomunikasi,
transportasi, bendungan, pasar lebih baik, jalan dan jaringan kereta api jalan),
kesehatan, pendidikan dan program kesejahteraan sosial memberikan efek
crowding in dalam hipotesis ekonom Keynesian.
Hatano (2010) meneliti efek investasi publik terhadap investasi swasta
berdasarkan data empiris di Jepang. Dengan asumsi bahwa modal publik yang
terakumulasi seiring dengan akumulasi modal swasta dalam jangka panjang dari
perspektif sejarah sangat wajar bahwa ada hubungan positif antara investasi
swasta dan investasi publik. Peneltian ini mempertimbangkan kemungkinan
menganalisis hubungan jangka panjang antara investasi swasta dan publik pada
fase stok dibanding fase flow. Karena hubungan jangka panjang antara investasi
50
swasta dan publik tidak berada pada hubungan flow tetapi dalam fase stok. Oleh
karena itu, dalam rangka untuk menguji hubungan antara investasi swasta dan
publik, terdapat kebutuhan untuk mempertimbangkan stok ekuilibrium jangka
panjang. Hasil empiris menunjukkan bahwa ada hubungan kointegrasi antara
modal swasta dan modal publik. Dengan demikian, hubungan antara investasi
swasta dan publik harus diwakili oleh mekanisme koreksi kesalahan yang
dirancang untuk mencapai keseimbangan stok jangka panjang. Hasil estimasi
dengan menggunakan ECM, menegaskan bahwa adanya efek crowding-in
investasi publik pada investasi swasta.
Hassan, Othman, dan Zaini (2011), melakukan penelitian Investasi
swasta dan publik di Malysia, suatu analisis panel time series. Adanya hipotesis
investasi publik yang menjelaskan bahwa hubungan positif yang eksis antara
investasi swasta dan investasi publik. Penelitian ini membahas validitas hipotesis
tersebut dengan menggunakan analisis panel time series pada empat sektor
ekonomi Malaysia yakni pertanian; industri dan perdagangan; transportasi dan
komunikasi; dan konstruksi. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah panel kointegrasi untuk membuktikan adanya hubungan investasi swasta
domestik dan investasi publik dengan menggunakan data panel untuk periode
1976 – 2006 . Dua variabel berinteraksi yakni (investasi publik dan produk
domestik bruto) dan ( investasi dan kebijakan privatisasi) yang dimasukkan
sebagai variabel independen untuk memperhitungkan pengaruh dari produk
domestik bruto dan kebijakan privatisasi memberikan efek atas investasi publik
dan investasi swasta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi publik
berpengaruh positif crowding in terhadap investasi swasta di semua tiga sektor
kecuali
sektor
pertanian,
menunjukkan
bahwa
pengeluaran
pemerintah
mendorong investasi swasta lebih jika fokusnya diberikan untuk pengeluaran
yang produktif.
51
Berbeda dari hasil penelitian sebelumnya di atas yang menemukan
hubungan pengeluaran pemerintah terhadap investasi swasta yang meghasilkan
efek crowding out yang mendukung hipotesis klasik ataupun memberikan efek
crowding in
menguji
yang mendukung hipotesis keynes. Raju dan Mukherjee (2010)
hubungan
jangka
panjang
antara
defisit
fiskal,
crowding
out
pembentukan modal swasta dan ekspor bersih untuk ekonomi India selama
periode 1980-1981 sampai 2008-1009. Dengan menerapkan tes unit root dan
kointegrasi teknik yang memungkinkan untuk endogen struktural ditentukan,
analisis dilakukan secara terpisah dengan defisit fiskal bruto pemerintah pusat,
dan defisit gabungan dari pemerintah pusat dan negara. Hasil tidak menunjukkan
adanya hubungan jangka panjang antara variabel-variabel, meskipun terjadi
krisis neraca pembayaran dari 1990-1991 dan defisit 1997-1998 dan seterusnya.
Temuan penelitian tidak mendukung crowd out maupun crowding in dalam
hipotesis antara pengeluaran pemerintah dan investasi swasta. Sebaliknya, hasil
merujuk pada Teori Kesetaraan Ricardian (Richardian Equivalence Theorem)
pada hutang publik, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak peduli
apakah pemerintah membiayai pengeluaran dengan utang atau kenaikan pajak,
efeknya terhadap total tingkat permintaan ekonomi akan menjadi yang sama.
Penyesuaian fiskal dilakukan sebagai kombinasi dari pendapatan menambah
langkah serta penyesuaian pengeluaran yang tepat telah membantu untuk
mencapai pertumbuhan berkelanjutan ekonomi yang tinggi dengan stabilitas
makroekonomi. Sementara jumlah sebenarnya untuk mendisiplinkan defisit fiskal
masih bisa diperdebatkan, jalan ke depan untuk India adalah pengakuan bahwa
aturan tanggung jawab fiskal yang penting untuk mempertahankan pertumbuhan
output makro. Selanjutnya, target defisit fiskal secara mandiri tidak akan cukup
jika tidak didukung oleh target pendapatan atau defisit prime.
52
2.2.2. Studi Empiris Determinan Investasi Swasta
Sejumlah penelitian yang melihat daterminan investasi swasta dengan
menggunakan variabel ekonomi secara berbeda yang diterapkan baik di negara
berkembang maupun di negara maju. Secara teoritis bahwa determinan investasi
antara lain penerimaan, tingkat bunga, pengeluaran pemerintah, produk domestik
bruto, ketidakstabilan makroekonomi, stabilitas politik dan kredit sektor swasta
(Samuelson dan Northaus, 2002; Dornbusch, Fischer, dan Startz, 2008 ;
Assante, 2000; Ouatra, 2004; Acosta dan Loza, 2005, Ang, 2009; Mondaria, Wu
dan Zhang, 2010; Misati dan Nyomogo, 2011; Andreoni dan Payre, 2011;
Onaran, 2010; Morrissey dan Udomkerdmongkol, 2012).
Menurut Greenee dan Villamueva (1991), Everhart (2001), Agenor (2002),
Kok dan Ersoy (2009) bahwa untuk menjelaskan fluktuasi investasi swasta di
negara-negara berkembang, perlu diperhitungkan pengaruh sejumlah variabel di
samping variabel-variabel yang selama ini dikenal secara teoritis. Hal tersebut
dipandang penting berhubung perbedaan kondisi ekonomi antara negaranegara-negara maju dan negara-negara berkembang.
Faktor-faktor yang perlu diakomodasi sebagai determinan investasi di
negara-negara berkembang:
1) Real Per Capita Growth Rate. Terdapat kesepahaman umum di kalangan
ekonom bahwa tingkat pertumbuhan suatu negara mempengaruhi secara
positif investasi swasta. Pertumbuhan yang tinggi akan meningkatkan
kegiatan investasi swasta jika hubungan antara output riel dengan desired
capital stock relatif tetap.
2) Suku Bunga riel. Terjadi perbedaan pandangan mengenai pengaruh suku
bunga riel terhadap investasi swasta. Suku bunga yang tinggi akan
53
meningkatkan real cost of capital yang pada gilirannya akan menghambat
investasi swasta. Tapi pada sisi lain, financial market di negara-negara
berkembang sangat lemah dan akses kepada pembiayaan luar negeri untuk
proyek-proyek swasta sangat rendah. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa
investasi swasta sangat ditentukan oleh tabungan dalam negeri yang secara
teoritis bereaksi positif terhadap suku bunga yang tinggi. Dengan demikian,
investasi swasta dapat berhubungan positif terhadap suku bunga di negaranegara berkembang.
3) Tingkat Pendapatan Per Capita. Pendapatan perkapita berhubungan positif
terhadap kegiatan investasi swasta karena income yang tinggi di suatu
negara lebih diarahkan pada tabungan.
4) Investasi Pemerintah. Seperti halnya suku bunga, pengaruh tingkat investasi
pemerintah (rasio pengeluaran investasi pemerintah terhadap GDP) terhadap
investasi swasta juga tidak pasti. Investasi pemerintah dapat bersifat
komplementer dan mendukung investasi swasta. Hal ini terjadi jika investasi
pemerintah terutama melibatkan pengeluaran untuk infrastruktur dasar
seperti sekolah-sekolah, sistem transportasi, listrik, pengairan, dan fasilitas
lainnya. Proyek-proyek seperti ini cenderung meningkatkan rate of return dan
mendorong peningkatan investasi swasta. Sebaliknya, investasi pemerintah
dapat melemahkan kegiatan investasi swasta sampai batas tertentu karena
investasi pemerintah tersebut menjadi substitusi proyek-proyek swasta. Hal
ini
terjadi
apabila
investasi
melibatkan
proyek-proyek
perusahaan-
perusahaan pemerintah yang produknya bersaing dengan produk sektor
swasta. Tingkat investasi pemerintah yang tinggi dapat pula "crowds-out”
kegiatan investasi swasta apabila pengeluaran pemerintah yang besar untuk
proyek-proyek capital menyebabkan naiknya suku bunga, penjatahan kredit
secara ketat, atau beban pajak yang tinggi pada saat sekarang atau di masa
54
yang akan datang. Dengan demikian positif atau negatifnya pengaruh
kegiatan investasi pemerintah pada tingkat investasi swasta merupakan hal
yang bersifat empiris (Ahmed dan Miller, 1999).
5) Tingkat Inflasi Dalam Negeri. Tingkat inflasi yang tinggi berpengaruh secara
negatif terhadap kegiatan investasi swasta karena meningkatkan
resiko
proyek-proyek jangka panjang, menurunkan maturity rata-rata pjnjaman
komersial, menimbulkan distorsi informasi yang disinyalkan oleh harga dalam
perkonomian. Di samping itu, tingkat inflasi yang tinggi sering dipandang
sebagai instabilitas ekonomi makro dan ketidakmampuan pemerintah
mengendalikannya berpengaruh secara negatif terhadap investasi swasta.
6) Exchange Rate (Kurs). Exchange rate berpengaruh pada keputusan investasi
swasta berhubung mesin-mesin dan peralatan yang diperlukan dalam
kegiatan investasi kebanyakan harus diimpor dari negara lain dengan
menggunakan valuta asing. Di samping itu, meningkatnya nilai tukar mata
uang asing terhadap mata uang dalam negeri meningkatkan resiko
pengembalian utang-utang komersial dari luar negeri yang pada gilirannya
mempengaruhi secara negatif kegiatan investasi swasta.
7) Beban Hutang Luar Negeri. Diukur dengan debt-service ratio (DSR) dan rasio
utang luar negeri terhadapat GDP, utang luar negeri dapat besar
pengaruhnya secara negatif pada tingkat investasi swasta di suatu negara.
DSR yang tinggi berarti berarti semakin terbatasnya sumberdaya yang
tersedia untuk penggunaan dalam negeri, termasuk investasi swasta dan
pengaruhnya negatif terhadap kegiatan ekonomi dalam negeri. Selain itu,
rasio utang luar negeri yang tinggi menunjukkan bahwa suatu negara
memiliki utang besar yang tertunda dan hal ini menurunkan investasi swasta
karena porsi tertentu future
return on investment harus digunakan untuk
55
membayar kembali kewajiban utang sehingga menyulitkan berkembangnya
investasi swasta
8) Faktor-faktor non-ekonomi. Selain variabel-variabel ekonomi di atas,
sejumlah variabel lainnya seperti kestabilan politik, kepercayaan investor,
keamanan, korupsi dan kepastian hukum, memegang peranan yang penting
dalam
mempengaruhi
ekspektasi
pelaku
ekonomi
swasta
tentang
investasinya di masa yang akan datang. Tetapi diakui bahwa hal ini sukar
untuk dikuantifikasi terutama di negara-negara berkembang.
Assante (2000), meneliti determinan perilaku investasi swasta di Ghana
periode 1970 – 1992. Dengan asumsi bahwa ketidakstabilan makroekonomi telah
menjadi hambatan utama bagi investasi swasta. Penelitian ini menggunakan
analisis time series dan cross section. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kebijakan yang membahas beberapa komponen ketidakstabilan ekonomi makro
mungkin tidak cukup untuk menghidupkan kembali investasi swasta. Variabel
pertumbuhan kredit sektor rill swasta memiliki efek positif dan secara statistik
signifikan pada investasi swasta. Investasi swasta dan investasi publik yang
ditemukan untuk saling melengkapi dan dengan demikian ada kebutuhan bagi
pemerintah untuk terus mengembangkan basis infrasturktural ekonomi untuk
meningkatkan sektor swasta. Hasil ekonometrik menunjukkan bahwa variabel
non ekonomi seperti kudeta militer mungkin telah menciptakan iklim yang tidak
kondusif terhadap investasi swasta.
Penelitian yang dilakukan oleh Ouattara (2004) di Senegal, meneliti model
determinan jangka panjang investasi swasta selama periode 1970 – 2000.
Pertama menguji variabel untuk unit root menggunakan dua, relatif, pengujian
baru dengan nama Dickey-Fuller GLS de-trending tes yang diusulkan oleh Eliot,
et al (1996) dan tes Ng-perron oleh Ng dan Perron (2001). Persamaan jangka
56
panjang investasi swasta diturunkan menggunakan teknik Ko-inegrasi Johansen
(Johansen,1988; Johansen dan Juselius, 1990) dan uji pendekatan terbaru yang
diajukan oleh Pesaran et al.(2001). Pada kasus ini, hasilnya mengindikasikan
bahwa investasi publik, pendapatan rill dan arus bantuan asing berdampak positif
terhadap investasi swasta, sementara dampak kredit terhadap sektor swasta dan
perdagangan adalah negatif. Penelitian ini juga menemukan bukti bahwa
investasi swasta, investasi publik, PDB riil, kredit ke sektor swasta, bantuan, dan
perdagangan secara terikat bersama-sama dalam jangka panjang. Bukti juga
menunjukkan bahwa investasi swasta secara positif dipengaruhi oleh investasi
publik, GDP riil dan bantuan luar negeri, sementara kredit kepada sektor swasta
dan perdagangan berdampak negatif. Selain itu, uji stabilitas menunjukkan
bahwa parameter diperkirakan mengalami kestabilan struktural.
Acosta dan Loza (2005) meneliti determinan jangka pendek dan panjang
investasi swasta di Argentina. Studi ini memberikan analisis empiris dari faktor
ekonomi makro yang berpotensi dapat mempengaruhi keputusan investasi di
Argentina dalam perspektif, jangka pendek menengah dan panjang. Literarur
teoritis dan empris direview untuk mengidentifikasi fungsi investasi swasta
selama tiga dekade terakhir (1970-2000). Dengan menggunakan model analisis
ECM dan kointegrasi serta menguji akar unit, hasilnya menunjukkan perubahan
struktural dalam tren investasi selama dekade terakhir, mulai akhir rezim militer
(1976-1983). Terlepas dari pergantian dari semester pertama dekade terakhir,
negara ini belum mampu memulihkan kembali arus penggabungan ibukota era
substitusi impor (1950-1977). Selain itu, eksplorasi determinan investasi swasta
selama tiga dekade terakhir mencerminkan bahwa ritme akumulasi modal dari
sektor swasta tampaknya telah ditentukan terutama, dalam jangka pendek, oleh
faktor-faktor transitori, baik oleh hasil (nilai tukar, inflasi , liberalisasi
57
perdagangan), serta oleh gejolak pada tingkat permintaan agregat. Mengontrol
variabel lain, analisis menunjukkan bukti efek pergeseran ("crowding out")
berasal dari keputusan investasi pemerintah, dengan bersaing untuk sumber
daya yang bisa saja dimanfaatkan oleh sektor swasta. Selain itu, Diantara faktofaktor yang nampaknya telah menentukan jalur pertumbuhan ekonomi jangka
panjang, tingkat utang luar negeri dan pembatasan yang biasanya beroperasi di
pasar kredit domestik yang ditemukan menjadi relevan. Buruknya operasi sistem
kredit finansial nampaknya menjadi kendala penting bagi pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain penelitian ini menyajikan bukti penggabungan modal merupakan
bagian dari sektor swasta yang sangat erat kaitannya pada perspektif
keberlanjutan jangka panjang negara. Posisi hutang luar negeri merupakan
variabel yang berdampak pada ekspektasi investor, karena hal ini biasanya
menentukan keberlanjutan melalui waktu dari kebijakan ekonomi yang
pemerintah harus ambil.
Ahmad dan Qayyum (2008) meneliti dampak pengeluaran pemerintah
dan ketidakpastian ekonomi makro terhadap investasi swasta tetap pada sektor
jasa di Pakistan selama periode 1972 – 2005. Dengan menggunakan metode
kointegrasi dan ECM untuk menyelidiki sifat time series data dan mengestimasi
model jangka panjang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran
pemerintah non-pembangunan sebagian besar muncul sebagai pengganti untuk
investasi swasta dan mempengaruhi investasi swasta dalam sektor jasa secara
negatif dalam jangka panjang. Temuan lain yang utama adalah bahwa
ketidakpastian ekonomi makro mempengaruhi investasi swasta secara negatif.
Analisis juga membuktikan bahwa ada hubungan negatif antara investasi swasta
di sektor jasa dan suku bunga. Analisis menunjukkan bahwa stabilitas ekonomi
makro tingkat tinggi dan tingkat inflasi yang rendah diprediksi memiliki respon
58
yang kuat dari investasi swasta untuk insentif ekonomi. Ketidakstabilan ekonomi
makro yang menghambat investasi swasta saat ini meskipun insentif besar dan
bertanggung jawab atas buruknya kinerja dari sektor swasta. Jadi, harmoni
keseluruhan dan stabilitas di negara itu sangat penting untuk promosi investasi
swasta. Selain itu, langkah-langkah proaktif juga diperlukan untuk menjamin
stabilitas makroekonomi. Peningkatan belanja publik non-pembangunan dapat
meningkatkan defisit anggaran dan pajak berjangka. Selain itu, defisit fiskal
menyebabkan depresiasi mata uang lokal sehingga mempengaruhi kepercayaan
investor asing. Jadi pengeluaran publik non-pembangunan harus dihemat untuk
mendorong investasi swasta. Terdapat kebutuhan yang mendapat perhatian
khusus harus dibayar untuk meningkatkan belanja pembangunan publik untuk
meminimalkan
biaya
produksi
sektor
swasta,
sehingga
meningkatkan
profitabilitas investor dan memungkinkan mereka untuk menerimai keuntungan
dari skala ekonomi. Sehingga, pengeluaran pembangunan harus ditingkatkan
untuk mendorong investasi swasta.
Penelitian yang dillakukan oleh Afrizal (2009) mengenai Analisis Investasi
di Indonesia suatu pendekatan Model dinamik, dengan menggunakan variabel
pendapatan nasional, suku bunga internasional Libor dan angkatan kerja selama
enam belas tahun pengamatan menemukan bahwa secara parsial pendapatan
nasional rill berpengaruh nyata dan negatif terhadao investasi di Indonesia.
Sementara suku bunga internasional berpengaruh nyata terhadap investasi di
Indonesia, namun kondisi tersebut tidak sesuai dengan teori maupun hipotesis.
Selanjutnya pertumbuhan angkatan kerja berpengaruh positif dan signifikan
terhadap tingkat investasi di Indonesia.
Busse & Hefeker ( 2007), mengeksplorasi hubungan anatara resiko politik
dan kelembagaan terhadap investasi swasta, menemukan bahwa stabilitas
59
pemerintahan, political institution berhubungan positif dan signifikant terhadap
investasi swsata. Hal ini sejalan dengan temuan Jansen (2006), bahwa institusi
politik
demokrasi
yang
positif
dapat
mempengaruhi
investasi
swasta
berhubungan positif terhadap investasi swasta. Hal serupa diungkapkan oleh
Nurdeen (2009) di Turki dan Blonigen (2011) pada negara OECD.
60
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN
3.1.
Kerangka Pikir
Untuk
mendapatkan
gambaran
mengenai
penelitian
yang
akan
dilaksanakan, maka penulis merasa perlu menyajikan kerangka pikir penelitian.
Kerangka pikir menjadi penting karena pada bagian ini, menjelaskan alur pikir
yang dibangun berdasarkan literatur teoritis dan literatur empiris hingga
mencapai tujuan akhir yang ingin dicapai dalam penelitian ini.
Kebijakan fiskal ekspansif ditandai dengan peningkatan pengeluaran
pemerintah sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal. Namun, sebagai
konsekuensinya maka peningkatan pengeluaran pemerintah tersebut seringkali
diiringi dengan peningkatan defisit anggaran pemerintah.
Secara deskriptif bahwa kebijakan fiskal ekspansif yang dilakukan melalui
instrumen peningkatan pengeluaran pemerintah belum dapat menjamin adanya
peningkatan investasi secara signifikan. Hal ini dapat saja terjadi bilamana
peningkatan pengeluaran pemerintah yang masih didominasi atas pengeluaran
yang bersifat konsumtif.
Ada dua pandangan yang berbeda mengenai dampak pengeluaran
pemerintah terhadap investasi swasta. Ekonom Klasik berpendapat bahwa
peningkatan pengeluaran pemerintah menyebabkan meningkatnya suku bunga
dan mendorong investasi swasta menurun (crowding-out). Crowding-Out terjadi
ketika kebijakan fiskal ekspansioner menyebabkan suku bunga naik, sehingga
mengurangi pengeluaran swasta, terutama investasi (Dornbusch, Fischer, dan
Startz, 2008:259). Dengan kata lain bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah
sebagai pengganti pengeluaran sektor swasta dapat menurunkan atau
menggeser investasi swasta (Zayanderoody, 2009).
61
Secara
umum
percaya
bahwa
investasi
sektor
swasta
mampu
mempercepat kegiatan ekonomi karena swasta fokus terhadap efisiensi dan
maksimisasi profit, selain itu peningkatan pengeluaran pemerintah atas biaya
atau biaya sektor swasta berdampak negatif pada investasi swasta (Hussain,
Mohammad, Akram, dan Lal, 2009)
Disisi
lain
ekonom
Keynesian
berpendapat
bahwa
peningkatan
pengeluaran pemerintah menyebabkan infrastruktur, kesehatan, pendidikan lebih
baik sebagai hasil merangsang investasi swasta, karena pengeluaran ini dapat
mengurangi biaya produksi perusahaan dan konsekuensinya (crowding-in)
terhadap investasi swasta. Jadi menurut keynesian, investasi swasta menjadi
saluran
penting
bagi
efektivitas
kebijakan
fiskal
dalam
peningkatan
pembangunan ekonomi (Ahmad&Miller, 2000 ; Ahmad&Qayyum, 2008 ;
Mohammad&Husain, 2009).
Investasi
swasta
memainkan
peran
penting
dalam
pertumbuhan sebagai upaya menghasilkan proses dalam mengembangkan
perekonomian (Jongwanich dan Kohpaiboon, 2008). Peran swasta dalam proses
pembangunan sangat strategis, hal ini tercermin dalam struktur PDB yang lebih
dominan dibanding peran pemerintah. Melalui tambahan investasi yang
ditanamkan di berbagai sektor yang menyebabkan ekonomi semakin tumbuh dan
berkembang dengan indikatornya, meningkatkan penyerapan tenaga kerja,
pendapatan yang merupakan indikasi adanya peningkatan kesejahteraan.
Tidak ada yang membantah, bahwa meningkatnya investasi swasta akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi melalui
perluasan produksi dan permintaan yang berdampak tidak hanya pada bidang
ekonomi
saja,
kemasyarakatan.
akan
tetapi
telah
meluas
pada
bidang-bidang
sosial
62
Investasi merupakan pengeluaran agregat kedua setelah konsumsi yang
dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Investasi secara umum dibedakan atas
investasi publik dan investasi swasta. Pembiayaan investasi publik berupa
infrastruktur dibiayai dari pengeluran pemerintah. Sementara pembiayaan
investasi swasta dilakukan oleh sektor swasta dengan melihat determinan
investasi yang mempengaruhinya.
Bagi pemerintah tujuan utama investasi yang dilakukan terutama
menggerakkan kegiatan dalam perekonomian, sementara bagi pelaku ekonomi
swasta
adalah
untuk
memaksimalkan
profit.
Sebagai
upaya
untuk
memaksimalkan profit tersebut, investasi swasta dipengaruhi oleh sejumlah
faktor penentu investasi, antara lain berupa variabel ekonomi dan variabel non
ekonomi.
Pengeluaran pemerintah yang digunakan dalam penelitian ini secara
spesifik menggunakan pengeluaran pemerintah berdasarkan fungsinya untuk
memperoleh hasil empiris yang relevan. Suatu implikasi penting hipotesis
crowding out dan crowding in yakni dengan mengamati pengeluaran pemerintah
berdasarkan kategori yang berbeda sehingga dapat menghasilkan dampak yang
berbeda terhadap investasi swasta (Wang, 2005). Klasifikasi pengeluaran
pemerintah menurut fungsinya mengikuti klasifikasi pengeluaran pemerintah
yang dilakukan oleh Wang (2005) dan Laopadis (2001).
Variabel sebagai indikator determinan investasi swasta yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah variabel PDB yang mewakili output, suku bunga
sebagai
implikasi
atas
cost
of
capital,
infalsi
mewakili
ketidakpastian
makroekonomi, dan upah sebagai salah satu indikator user cost.
Investasi berhubungan proporsional terhadap output. Model akselerator
menyatakan bahwa pengeluaran investasi proporsional dengan perubahan
63
output dan tidak berpengaruh terhadap biaya modal, I = (Y – Y-1) (Dornbusch et
all 2008:359). Output diukur melalui kenaikan produk domestik Bruto (PDB).
(Asante, 2000 ; Celebi dan Akkina, 2002 ; Loza dan Acosta, 2005; Ang, 2009; ).
Secara empiris bahwa PDB berkorelasi positif dan signifikan terhadap investasi
swasta (Sakr dan El-Erian, 1993; Ouattara, 2004; Ang, 2009; Nurdeen, 2009;
Morrissey dan Udomlerdmongkol, 2012).
Berdasarkan tinjauan teoritis bahwa suku bunga merupakan fungsi dari
investasi, maka ketika suku bunga tinggi akan berdampak terhadap biaya modal
dan akan menurunkan rate of return (Dornbusch et all 2008:339). Dalam teori
Keynes, keuntungan yang diharapkan menurut konsep MEC berhubungan
dengan suku bunga. Sejumlah studi empiris juga memasukkan variabel suku
bunga sebagai salah satu variabel penentu investasi swasta yang berhubungan
negatif terhadap investasi swasta(Assante, 2000; Celebi dan Akkina, 2002.;
Qayyum dan Ahmad, 2008; Nurdeen, 2009). Penemuan berbeda bahwa suku
bunga berhubungan positif terhadap investasi swasta (Ang, 2009). Hal ini
mendukung Hipotesis McKinnon dan Shawn (1973) dalam Khan (2007).
Peranan penting ketidakpastian dalam keputusan investasi telah disoroti
dalam karya-karya Keynes sejak awal bahwa investasi swasta mengacu pada
volatilitas semenjak pengembalian investasi selalu tidak pasti (Ang, 2009). Inflasi
digunakan sebagai proksi ketidakpastian ekonomi yang rasional (Acosta dan
Loza, 2005) sehingga inflasi mewakili salah satu variabel ketidakpastian dalam
makroekonomi (Dornbusch, 2008). Selain itu, Teori portofolio menyatakan bahwa
salah satu faktor penentu investasi adalah tingkat inflasi. Semakin tinggi inflasi
(expected inflation) maka orang akan cenderung menukarkan kekayaan jenis
uang (surat berharga) dengan kekayaan jenis barang fisik, seperti rumah. Inflasi
dapat menyebabkan kenaikan investasi (produksi) karena dalam keadaan inflasi
64
biasanya kenaikan harga akan mendahului kenaikan upah sehingga keuntungan
pengusaha meningkat. Kondisi ini tetap dalam catatan bahwa inflasi yang terjadi
merupakan inflasi yang masih dalam tingkat toleransi (creeping inflation <
10%/tahun) (Setyari, 2008).
Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang dapat
mendukung
proses
produksi.
Secara teoritis
peningkatan tenaga kerja
menyebabkan harga (upah) tenaga kerja menjadi murah sehingga biaya produksi
relatif menjadi rendah (Almeida, 2007). Hal ini akan menyebabkan investor
tertarik untuk melakukan investasi. Secara umum dinegara berkembang, faktor
produksi dengan upah tenaga kerja yang murah dapat menjadi daya tarik bagi
investor.
Berdasarkan tinjauan teoritis dan studi empiris yang telah diuraikan
sebelumnya maka determinan investasi swasta yang terdiri dari variabel PDB,
suku bunga, pengeluaran pemerintah (pengeluaran pelayanan umum, ekonomi,
perumahan dan fasilitas umum, kesehatan dan pendidikan) inflasi, upah dan
political institution terhadap investasi swasta di Indonesia dapat diuraikan dalam
skema alur pikir berikut:
65
3. 1. Kerangka Pikir Penelitian
Investasi
Swasta
Publik
Pengeluaran Pemerintah
-
Determinan Investasi Swasta
Pelayanan Umum
Ekonomi
Perumahan & fas.Umum
Pendidikan
kesehatan
-
Faktor Ekonomi
PDB
Suku Bunga
Inflasi
Upah
Hipotesis Klasik / Crowding Out (-)
Hipotesis Keynes / Crowding In (+)
Investasi Swasta
Kesempatan Kerja
Keterangan:
Area yang diteliti
Faktor Non Ekonomi
Political Institution
66
3. 2. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pikir dan penjelasan yang telah di uraikan diatas,
maka hipotesis yang di ajukan dalam penelitian ini berdasarkan literatur teoritis
dan literatur empiris dari pengeluaran pemerintah, investasi swasta dan
determinan investasi swasta sebagai berikut:
3. 2. 1. Diduga bahwa PDB berpengaruh secara positif terhadap investasi
swasta. Hal ini sejalan dengan Model akselerator menyatakan bahwa
pengeluaran investasi proporsional dengan perubahan output dan
tidak berpengaruh atas biaya modal (Dornbusch, Fisher dan startz,
2008 : 359). Pernyataan tersebut didukung oleh Misati & Nyomongo
(2011), Ang (2009), Azzimonti (2009), Khan & Khan (2007),Acosta &
Loza (2005).
Diduga bahwa suku bunga berpengaruh secara negatif terhadap
investasi swasta. Menurut Teori Neoklasik suku bunga merupakan cost
of capital (Jorgenson, 1967), Hal ini didukung pula oleh Keynes dan QTobin (Romer, 2006). Secara empiris telah ditemukan Fujita (2011),
Nurdeen (2009), Almeida (2007), Ayson (2005), Oskooee (1999).
Diduga bahwa pengeluaran pemerintah masih ambigu terhadap
investasi swasta. Berdasarkan hipotesis Klasik Crowding Out jika
negatif dan Crowding in hipotesis Keynes jika positif.
Di duga bahwa inflasi berpengaruh negatif terhadap investasi swasta.
Menurut Keynes (Ahmad & Qayyum, 2008) inflasi merupakan salah
satu veriabel ketidakpastian makroekonomi selain kurs.
67
Diduga bahwa upah tenaga kerja berhubungan positif terhadap
investasi swasta. Premis dasar model investasi neoklasik bahwa
perusahaan meminimalkan biaya produksi termasuk upah (Jorgenson,
1967).
Diduga bahwa Political Institution berhubungan positif terhadap
investasi swasta, ini didukung oleh hasil penelitian Blonigen (2011),
Nurdeen (2009).
2. 2. 2.
Diduga bahwa Pengeluaran pemerintah berdasarkan fungsi yakni
pelayanan umum berhubungan positif terhadap investasi swasta karena
merupakan investasi publik secara teoritis Crowding In (Wang, 2005),
ekonomi berhubungan negatif terhadap investasi swasta secara teoritis
Crowding Out (Ahmad & Miler, 2000) karena termasuk di dalamnya
pembiayaan bunga dan hutang, perumahan dan fasilitas umum berhubungan
negatif mendukung hipotesis Kalsik Crowding Out karena umumnya dibiayai
dari pinjaman (Laopadis, 2001), kesehatan dan pendidikan berhubungan
positif terhadap investasi swasta, mendukung hipitesis Keynes Crowding In
(Husain, Adnan & Sulaiman, 2009) di Indonesia selama periode pengamatan.
3. 3. Definisi Konsep Operasional
a.
Produk Domestik Bruto Adalah nilai akhir produksi barang dan jasa yang
dihasilkan oleh sektor-sektor ekonomi dalam suatu wilayah/ negara dalam
jangka waktu tertentu
b.
Pengeluaran Pemerintah merupakan pengeluaran pemerintah berupa
belanja modal dan belanja barang yang tujuannya sebagai investasi
pemerintah. Secara parsial Pengeluaran pemerintah yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pengeluaran pemerintah berdasarkan fungsinya
68
yang meliputi: pengeluaran pelayanan umum, pengeluaran ekonomi,
pengeluaran perumahan dan fasilitas umum, pengeluaran kesehatan dan
pengeluaran pendidikan.
c.
Investasi Swasta atau investasi merupakan pembentukan modal tetap
bruto yakni pembelian barang yang nantinya akan digunakan untuk
memproduksi lebih banyak barang dan jasa. Investasi adalah jumlah dari
pembelian peralatan modal, persediaan, dan bangunan atau struktur.
Investasi pada bangunan mencakup pengeluaran untuk mendapatkan
tempat tinggal baru.
c.
Suku Bunga yang digunakan dalam penelitian ini merupakan suku bunga
rill (suku bunga nominal dikurangi inflasi)
d.
Upah merupakan harga atau biaya atas tenaga kerja, yang digunakan
dalam penelitian ini adalah upah minimum propinsi di Indonesia
e.
Inflasi, merupakan tingkat perubahan harga yang dihitung berdasarkan
indeks harga konsumen yang dipublikasikan oleh BPS.
f.
Political Institution, suatu kelembagaan politik yang membuat kebijakan
perekonomian dan sistem sosial termasuk didalamnya rezim, demokrasi,
kualitas pemerintahan, akuntabilitas.
g.
Kesempatan Kerja, merupakan permintaan terhadap tenaga kerja
69
BAB IV
METODE PENELITIAN
Pada bab ini akan dideskripsikan metode penelitian yang akan digunakan
dalam
penelitian
ini
yang
terdiri
atas:
pendekatan
penelitian,
metode
pengumpulan data, defenisi dan pengukuran variabel dan analisis data. Dalam
penelitian ini, penulis mengembangkan indikator pengeluaran pemerintah dan
determinan investasi swasta dengan metode penelitian yang relevan untuk
menganalisis hubungan pengeluaran pemerintah dalam hal ini investasi publik
terhadap investasi swasta dan hubungan variabel ekonomi dan non ekonomi
sebagai determinan investasi swasta yang berpengaruh terhadap investasi
swasta di Indonesia.
4. 1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan paradigma positivistik. Dengan
pendekatan positif dan metode penelitian kuantitatif menuntut adanya rancangan
penelitian yang menspesifikasi objek secara eksplisit dieliminasikan objek-objek
lain yang tidak diteliti (Moehadjir, 1989:11). Dalam pendekatan penelitian positive
Secara teknis mencari makna yang diaplikasikan dalam bentuk mencari
signifikasi. Langkahnya analisis akan dihentikan manakala teruji kebermaknaan
dalam rangkaian uji signifikansi dengan teknik pembuktian yang didasarkan pada
frekuensi atau ragam kejadian. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan prediksi
terhadap pola hubungan kausalitas yang berangkat dari pernyataan dasar
sebagai asumsi. Asumsi yang digunakan secara logis dan konsisten berasal dari
teori atau model. Pernyataan ini dapat disampaikan dalam bentuk bahasa, grafik
maupun dalam persamaan matematis.
Pendekatan positivistik yang digunakan dalam penelitian ini menganalisis
hubungan korelasi independensi, keeksistensi dan kausaliti, demikian pula
70
mampu memprediksi mengenai hal-hal yang dapat terjadi berkenaan dengan
keterkaitan antara investasi publik terhadap investasi swasta dan determinan
atas investasi swasta. Pendekatan yang digunakan tersebut bertujuan untuk
menjawab permasalahan penelitian melalui pengujian hipotesis.
Dalam pengujian hipotesis peneliti berlandaskan pada tiga metodologi
yaitu;
1. Apriori, merupakan pengetahuan yang berdasarkan pada kesimpulan dari
hal yang telah ditentukan (mengacu pada defenisi atau dari ide-ide yang
sudah diterima secara umum) dalam konteks deduktif, pasti, benar secara
universal dan intuitif.
2. Aposteriori,
merupakan pengetahuan
yang
diperoleh
berdasarkan
pengalaman, setelah ada observasi atau eksperimen (bukti empiris).
3.
Reduksionis,
merupakan
merupakan
perangkat
metodologi
yang
membawa data dan persoalan dalam bentuk yang sesuai dengan analisis
data atau pemecahan permasalahan penelitian.
Artinya dilakukan
penyederhanaan yang awalnya rumit dalam satu bentuk metodologi yang
secara prinsip dapat diterapkan pada semua gejala mengenai efek
investasi publik terhadap investadi swasta dan determinan investasi
swasta.
4. 2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Data sekunder tersebut bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia,
Bank Indonesia (BI), Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan RI, World
Bank, institusi lain dan situs internet yang relevan. Data yang dikumpulkan
meliputi Produk Domestik Bruto (PDB), Investasi Swasta (Pembentukan Modal
Tetap Bruto), Pengeluaran Pemerintah berupa Pelayanan Umum, Ekonomi,
71
Perumahan dan fasilitas umum, Kesehatan, Pendidikan, Suku bunga, Tenaga
Kerja, upah, inflasi dan political institution. Data yang dikumpulkan mulai periode
1981 – 2011. Data tersebut diharapkan dapat menjelaskan determinan investasi
swasta dan asosiasinya terhadap pengeluaran pemerintah di Indonesia.
4. 3. Analisis Data
Model ekonometrik memiliki dasar pada teori investasi kalsik, teori
Keynes dan teori Akselerasi. Ketiga teori tersebut, investasi ditentukan oleh
tingkat bunga, pendapatan dan output. Seperti dikemukakan Ouattara (2004),
teori investasi neoklasik menyatakan bahwa investasi swasta berhubungan
positif dengan pertumbuhan PDB rill. Lebih lanjut dikatakan bahwa ketika
pendapatan meningkat maka tabungan domestik juga meningkat yang pada
gilirannya meningkatkan investasi. Namun, Aysan et al (2005) menyatakan
bahwa model neoklasik tidak memperhitungkan sejumlah kendala khusus yang
tidak dihadapi oleh negara berkembang. Variabel lain yang telah dikutip dalam
literatur
untuk
mempengaruhi
investasi
swasta
termasuk
pengeluaran
pemerintah, Tingkat Bunga Riil, Inflasi (mewakili variabel ketidakpastian), dan
Upah, dan political institution yang menggunakan model estimasi Kointegrasi dan
ECM (Misati dan Nyamongo, 2011 ; Nurdeen, 2009 ; Acosta dan Loza, 2009 ;
Ahmed dan Miller, 2000; Oskooee, 1999).
Berkaitan dengan hal tersebut maka dalam penelitian ini untuk menguji
hipotesis sebagai jawaban atas permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini
dilakukan dua analisis yakni analisis keseimbangan jangka panjang dengan
menggunakan persamaan kointegrasi (cointegration test) dan analisis jangka
pendek dengan metode regresi linier ECM (Error Correction Model). Sebelum
melakukan analisis terlebih dahulu dilakukan uji kestasioneran data dengan
menggunakan Unit root test menggunakan metode uji ADF (Augmented Dickey
72
Fuller) dan PP (Phillips and Peron). Hal ini berarti bahwa data yang digunakan
harus bersifat stasioner, dengan kata lain data tersebut memiliki varians yang
tidak terlalu besar dan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai ratarata (Widarjono, 2007).
Hipotesis yang dikemukakan adalah jika H0 :  = 0 berarti data tidak dan
stasioner jika H1 :   0 berarti data stasioner. Teknik pengujiannya dengan
dengan membuat regresi antara ΔY1 dan Yt-1 sehingga akan diperoleh koefisien
regresinya yakni .
Dengan demikian maka untuk Indonesia, persamaan Investasi Swasta adalah
sebagai berikut:
Y = f (X1, X2, X3, X4, X5, X6)
(1)
Sehingga menghasilkan persamaan 2 berikut:
Yt = 0 + 1 X1t + 2X2t + 3X3t + 4X4t + 5X5t + 6X6t + t
Keterangan:
0
= intersep
1 , 2i , 3 , 4 , 5
= Koefisien regresi
Yt
= Nilai Investasi Swasta pada periode t
Xit
= Produk Domestik Bruto pada periode t
X2t
= Suku Bunga Rill Periode t
X3t
= Pengeluaran Pemerintah Periode T
X31t
: Pengeluaran pemerintah untuk pelayanan umum periode t
(2)
73
X32t
: Pengeluaran pemerintah untuk ekonomi periode t
X33t
: Pengeluaran pemerintah untuk perumahan dan fasilitas umum
periode t
X34t
: Pengeluaran pemerintah untuk kesehatan periode t
X35t
: Pengeluaran pemerintah untuk pendidikan periode t
X4t
= Inflasi periode t
X5t
= Nilai Upah pada periode t
X6t
= Political Institution
t
= error term
Dari regresi terhadap persamaan diatas diperoleh nilai residunya yang
selanjutnya diuji dengan menggunakan metode Augmented Dickey Fuller (ADF)
untuk melihat apakah nilai residual tersebut stasioner atau tidak. Persamaan
ADF tersebut adalah:
(3)
Nilai residu dikatakan stasioner bilamana nilai ADF lebih kecil atau lebih
besar dari nilai kritis mutlak Mc Kinnon pada  =1%, 5%, atau 10% maka dapat
dikatakan regresi tersebut adalah regresi yang terkointegrasi.
Selanjutnya secara khusus dilakukan uji Granger memeriksa hubungan antara
satu atau lebih dari satu variabel lain dengan lag nya (Laopadis, 2001). Dengan
demikian maka diperoleh persamaan:
74
∆ ln(ܻ௧) = ܽ + ܾଵ∆ ln(ܻ௧ିଵ) + ܾଶ∆ln (ܺ௧ିଵ)
(4)
Dimana Y merupakan investasi swasta, X merupakan variabel determinan
investasi yang di uji. a, b1 , b2, merupakan parameter yeng diestimasi dengan
menggunakan metode OLS. Ln merupakan transformasi natural logaritma yang
diaplikasikan pada differens (Δ) variabel.
Berikutnya prosedur PP (Philips-Perron) mendiagnosa ada tidak unit root
pada
masing-masing
seris.
Secara
statistik
estimasi
dijabarkan
dalam
persamaan berikut:
்
ଶ
ln(ܺ௧) = ߜ଴ + ߜଵ ቀ‫ݐ‬− ቁ+ ߜଶ ln(ܺ௧ିଵ) + ‫ݑ‬௧‫ =ݐ‬1,2, … ܶ
(5)
Dimana T/2 mewakili trend waktu dan T merupakan ukuran sampel.
Dalam ekonometrika variabel yang saling terkointegrasi dikatakan dalam
kondisi keseimbangan jangka panjang (Widarjono, 2007). Sehingga interpretasi
model tersebut untuk menganalisis Investasi jangka panjang.
Untuk mengetahui spesifikasi model dengan ECM merupakan model
yang valid, dapat terlihat pada hasil uji stasistik terhadap koefisien residual dari
regresi pertama, yang selanjutnya disebut Error Correction Term (ECT). Model
ECM yang digunakan pada penelitian ini sebagai berikut:
ܻ = ݂(ܺଵ, ܺଶ, ܺଷ, ܺସ, ܺହ)
‫ܽ = ܥ‬ଵ(ܻ௧ − ܻ௧∗ )ଶ + ܽଶ[(ܻ௧ − ܻ௧ିଵ) − ݂௧(ܼ௧ − ܼ௧ିଵ)]ଶ
(6)
(7)
ܼ௧ = ݂(ܺଵ௧, ܺଶ௧, ܺଷ௧ܺସ௧, ܺହ௧)
(8)
2ܽଵ(ܻ௧ − ܻ௧∗ ) + 2ܾଶ[(ܻ௧ − ܻ௧ିଵ) − ݂௧(ܼ௧ − ܼ௧ିଵ)] = 0
(9)
Minimumkan ‫→ ܥ‬
ణ஼
=
ణ஼೟
0
ܽଵ(ܻ௧ − ܻ௧∗ ) + ܾଶ[(ܻ௧ − ܻ௧ିଵ) − ݂௧(ܼ௧ − ܼ௧ିଵ)] = 0
(10)
75
Dengan Substitusi diperoleh:
ܽଵܻ௧ + ܽଶܻ௧ = ܽଵܻ௧∗ + ܽଶܻ௧ିଵ + ܽଷ݂௧(ܼ௧ − ܼ௧ିଵ)
(11)
(ܽଵ + ܽଶ)ܻ௧ = ܽଵ(ߙ଴ + ߙଵܺଵ௧ + ߙଶܺଶ௧ + ߙଷܺଷ௧ + ߙସܺସ௧ + ߙହܺହ௧) + ܽଶܻ௧ିଵ +
ܽଶ݂௧ܼ௧ + ܽଶ݂௧ܼ௧ିଵ
(12)
= ܽଵߙ଴ + ܽଵߙଵܺଵ௧ + ܽଵߙଶܺଶ௧ + ܽଵߙଷܺଷ௧ + ܽଵߙସܺସ௧ + ܽଵߙହܺହ௧ +
ߙଵܽଶ݂ଵܺଵ௧ + ߙଶܽଶ݂ଶܺଶ௧ + ߙଷܽଶ݂ଷܺଷ௧ + ߙସܽଶ݂ସܺସ௧ + ߙହܽଶ݂ହܺ௧ + ߙଵܽଶ݂ଵܺ௧ିଵ +
ߙଶܽଶ݂ଶܺଶ௧ିଵ + ߙଷܽଶ݂ଷܺ௧ିଵ + ߙଷܽଶ݂ଷܺଷ௧ିଵ + ߙସܽଶ݂ସܺସ௧ିଵ + ߙହܽଶ݂ହܺହ௧ିଵ +
ܽଶܻ௧ିଵ
(13)
Maka:
ܻ௧ =
ܽଵߙ଴
ܽଵߙଵ
ܽଶߙଶ
ܽଵߙଷ
ܽଵߙସ
+൤
൨ܺଵ௧ + ൤
൨ܺଶ௧ + ൤
൨ܺଷ௧ + ൤
൨+
ܽଵ + ܽଵ
ܽଵ + ܽଶ
ܽଵ + ܽଶ
ܽଵ + ܽଶ
ܽଵ + ܽଶ
ܽଵߙହ
ܽଶߙଵ݂ଵ
ܽଶߙଶ݂ଶ
ܽଶߙଷ݂ଷ
൤
൨ܺହ௧ + ൤
൨ܺଵ௧ିଵ + ൤
൨ܺଶ௧ିଵ + ൤
൨ܺ
+
ܽଵ + ܽଶ
ܽଵ + ܽଶ
ܽଵ + ܽଶ
ܽଵ + ܽଶ ଷ௧ିଵ
ܽଶߙସ݂ସ
ܽଶߙହ݂ହ
ܽଶ
൤
൨ܺସ௧ିଵ + ൤
൨+
ܻ
ܽଵ + ܽଶ
ܽଵ + ܽଶ
ܽଵܽଶ ௧ିଵ
(14)
Sehingga diperoleh:
ܻ௧ = (1 − ܽ)ߙ଴ + [(1 − ܽ) + ݂ܽଵ]ߙଵܺଵ௧ + [(1 − ܽ) + ݂ܽଶ]ߙଶܺଶ௧ + [(1 − ܽ) +
݂ܽଷ]ߙଷܺଷ௧ + [(1 − ܽ) + ݂ܽସ]ߙସܺସ௧ + [(1 − ܽ) + ݂ܽହ]ߙହܺହ௧ +
ܽߙଵ݂ଵܺଵ௧ିଵ + ܽߙଶ݂ଶܺଶ௧ିଵ + ܽߙଷܺଷ௧ିଵ + ܽߙହܺହ௧ିଵ + ܻܽ௧ିଵ
(15)
ܻ௧ = ݃଴ߙ଴ + ݃ଵߙଵܺଵ௧ + ݃ଷߙଷܺଷ௧ + ݃ସߙସܺସ௧ + ݃ହߙହܺହ௧ + ݃଺ܺଵ௧ିଵ + ݃଻ܺଶ௧ିଵ +
଼݃ܺଷ௧ିଵ + ݃ଽܺସ௧ିଵ + ݃ଵ଴ܺହ௧ିଵ + ݃ଵଵܻ௧ିଵ
(16)
76
a = a2 / (a1 + a2)
g5 = [(1 – a) + af5] 5
a1 = a2 (1 – a) / a
g6 = a1f1
g0 = (1 – a) / 0
g7 = a2f2
g1 = [(1 – a) + af1]1
g8 = a3f3
g2 = [(1 – a) + af2]2
g9 = a4f4
g3 = [(1 – a) + af3]3
g10 = a5f5
g4 = [(1 – a) + af4]4
g11 = a
Reparameterize :
∆ܻ௧ = ߜ଴ߙ଴ + ߜଵߙଵ∆ܺଵ௧ + ߜଶߙଶ∆ܺଶ௧ + ߜଷߙଷ∆ܺଷ௧ + ߜସߙସ∆ܺସ௧ + ߜହߙହ∆ܺହ௧ +
ߜ଺ܺଵ௧ିଵ + ߜ଻ܺଶ௧ିଶ + ߜ଼ܺଷ௧ିଷ + ߜଽܺସ௧ିସ + ߜଵ଴ܺହ௧ିହ − ߜଵଵ(ܻ௧ିଵ − ߣଵܺଵ௧ିଵ −
ߣଶܺଶ௧ିଵ − ߣଷܺଷ௧ିଵ − ߣସܺସ௧ିଵ − ߣହܺହ௧ିଵ
(17)
Dimana:
0 = g0
6 = g6
1 = (g1 + g6) / (1 – g4)
1 = g1
7 = g7
1 = (g2 + g7) / (1 – g4)
2 = g2
8 = g8
1 = (g3 + g8) / (1 – g4)
3 = g3
9 = g9
1 = (g4 + g9) / (1 – g4)
4 = g4
10 = g10
1 = (g5 + g10) / (1 – g4)
5 = g5
11 = (1 – g11)
77
∆ܻ௧ = ߛ଴ߙ଴ + ߛଵߙଶ∆ܺଵ௧ + ߛଶߙଶ∆ܺଶ௧ + ߛଷߙଷ∆ܺଷ௧ + ߛସߙସ∆ܺସ௧ + ߛହߙହ∆ܺହ௧ +
ߛ଺ܺଵ௧ିଵ + ߛ଻ܺଶ௧ିଵ + ߛ଼ܺଷ௧ିଵ + ߛଽܺସ௧ିଵ + ߛଵ଴ܺହ௧ିଵ + ߛଵଵ(ܺଵ௧ିଵ +
ܺଶ௧ିଵ + ܺଷ௧ିଵ + ܺସ௧ିଵ + ܺହ௧ିଵ + ܻ௧ିଵ)
0 = 0
6 = 5 (1 - 1)
1 = 1
7 = 6 (1 - 2)
2 = 2
8 = 7 (1 - 3)
3 = 3
9 = 8 (1 - 4)
4 = 4
10 = 9 (1 - 5)
5 = 5
11 = - 10
(18)
Maka akan menghasilkan persamaan:
∆ܻ௧ = ߚ଴ + ߚଵ∆ܺଵ௧ + ߚଶ∆ܺଶ௧ + ߚଷ∆ܺଷ௧ + ߚସ∆ܺସ௧ + ߚହ∆ܺହ௧ + ߚ଺∆ܺଵ௧ିଵ +
ߚ଻∆ܺଶ௧ିଵ + ߚ଼∆ܺଷ௧ିଵ + ߚଽ∆ܺସ௧ିଵ + ߚଵ଴∆ܺହ௧ିଵ + ߚଵଵ‫ܥܧ‬௧ିଵ + ߝ (19)
Selanjutnya untuk memperoleh elastisitas maka persamaan diatas diubah
menjadi persamaan berikut:
∆݈ܻ݊௧ = ߚ଴ + ߚଵ∆݈݊ܺଵ௧ + ߚଶ∆ܺଶ௧ + ߚଷ∆݈݊ܺଷ௧ + ߚସ∆ܺସ௧ + ߚହ∆݈݊ܺହ௧ +
ߚ଺∆݈݊ܺଵ௧ିଵ + ߚ଻∆ܺଶ௧ିଵ + ߚ଼∆݈݊ܺଷ௧ିଵ + ߚଽ∆ܺସ௧ିଵ + ߚଵ଴∆݈݊ܺହ௧ିଵ +
ߚଵଵ‫ܥܧ‬௧ିଵ + ߝ
Selanjutnya untuk mengoreksi keseimbangan jangka pendek menuju
pada keseimbangan jangka panjang disebut Error Corection Model (ECM).
Metode ini adalah suatu regresi tunggal menghubungkan diferensi pertama pada
variabel terikat (ΔY) dan diferensi pertama untuk semua variabel bebas dalam
78
model. Sehingga model analisis ECM secara lengkap dirumuskan sebagai
berikut:
∆݈ܻ݊௧ = ߚ଴ + ߚଵ∆݈݊ܺଵ௧ + ߚଶ∆ܺଶ௧ + ߚଷ∆݈݊ܺଷ௧ + ߚସ∆ܺସ௧ + ߚହ∆݈݊ܺହ௧ +
ߚ଺∆݈݊ܺଵ௧ିଵ + ߚ଻∆ܺଶ௧ିଵ + ߚ଼∆݈݊ܺଷ௧ିଵ + ߚଽ∆ܺସ௧ିଵ + ߚଵ଴∆݈݊ܺହ௧ିଵ +
ߚଵଵ‫ܥܧ‬௧ିଵ + ߝ
Selanjutnya
Pengeluaran
pemerintah
diklasifikasikan
(20)
berdasarkan
fungsinya yakni terdiri dari pengeluaran pelayanan umum, pengeluaran ekonomi,
pengeluaran perumahan dan fasilitas umum, pengeluaran kesehatan dan
pengeluaran pendidikan. Klasifikasi pengeluaran pemerintah dalam penelitian ini
mengacu pada klasifikasi yang dilakukan oleh Wang (2005) dan Laopadis (2001).
Namun, dari sebelas klasifikasi pengeluaran pemerintah berdasarkan fungsinya
diambil lima kategori yang disinyalir dapat memberi dampak secara langsung
terhadap Investasi swasta di Indonesia. Pengeluaran pemerintah diklasifikasikan
berdasarkan fungsi untuk melihat dampak pengeluaran pemerintah secara
spesifik Crowding out ataupun crowding in terhadap investasi swasta melalui
komponen pengeluaran pemerintah secara spesifik mengacu pada model
Laopodis (2001) dan Wang (2005) sebagai berikut:
Maka berdasarkan persamaan 15 diatas dengan cara yang sama untuk
melihat spesifikasi pengeluaran pemerintah secara parsial berdasarkan fungsi
pengeluarannya menghasilkan persamaan berikut:
∆݈ܻ݊௧ = ߚ଴ + ߚଵ∆݈݊ܺଵ௧ + ߚଶ∆ܺଶ௧ + ߚଷ∆݈݊ܺଷଵ௧ + ߚସ∆ܺସ௧ + ߚହ∆݈݊ܺହ௧ +
ߚ଺∆݈݊ܺଵ௧ିଵ + ߚ଻∆ܺଶ௧ିଵ + ߚ଼∆݈݊ܺଷଵ௧ିଵ + ߚଽ∆ܺସ௧ିଵ + ߚଵ଴∆݈݊ܺହ௧ିଵ +
ߚଵଵ‫ܥܧ‬௧ିଵ + ߝ
(20a)
79
∆݈ܻ݊௧ = ߚ଴ + ߚଵ∆݈݊ܺଵ௧ + ߚଶ∆ܺଶ௧ + ߚଷ∆݈݊ܺଷଶ௧ + ߚସ∆ܺସ௧ + ߚହ∆݈݊ܺହ௧ +
ߚ଺∆݈݊ܺଵ௧ିଵ + ߚ଻∆ܺଶ௧ିଵ + ߚ଼∆݈݊ܺଷଶ௧ିଵ + ߚଽ∆ܺସ௧ିଵ + ߚଵ଴∆݈݊ܺହ௧ିଵ +
ߚଵଵ‫ܥܧ‬௧ିଵ + ߝ
(20b)
∆݈ܻ݊௧ = ߚ଴ + ߚଵ∆݈݊ܺଵ௧ + ߚଶ∆ܺଶ௧ + ߚଷ∆݈݊ܺଷଷ௧ + ߚସ∆ܺସ௧ + ߚହ∆݈݊ܺହ௧ +
ߚ଺∆݈݊ܺଵ௧ିଵ + ߚ଻∆ܺଶ௧ିଵ + ߚ଼∆݈݊ܺଷଷ௧ିଵ + ߚଽ∆ܺସ௧ିଵ + ߚଵ଴∆݈݊ܺହ௧ିଵ +
ߚଵଵ‫ܥܧ‬௧ିଵ + ߝ
(20c)
∆݈ܻ݊௧ = ߚ଴ + ߚଵ∆݈݊ܺଵ௧ + ߚଶ∆ܺଶ௧ + ߚଷ∆݈݊ܺଷସ௧ + ߚସ∆ܺସ௧ + ߚହ∆݈݊ܺହ௧ +
ߚ଺∆݈݊ܺଵ௧ିଵ + ߚ଻∆ܺଶ௧ିଵ + ߚ଼∆݈݊ܺଷସ௧ିଵ + ߚଽ∆ܺସ௧ିଵ + ߚଵ଴∆݈݊ܺହ௧ିଵ +
ߚଵଵ‫ܥܧ‬௧ିଵ + ߝ
(20d)
∆݈ܻ݊௧ = ߚ଴ + ߚଵ∆݈݊ܺଵ௧ + ߚଶ∆ܺଶ௧ + ߚଷ∆݈݊ܺଷହ௧ + ߚସ∆ܺସ௧ + ߚହ∆݈݊ܺହ௧ +
ߚ଺∆݈݊ܺଵ௧ିଵ + ߚ଻∆ܺଶ௧ିଵ + ߚ଼∆݈݊ܺଷହ௧ିଵ + ߚଽ∆ܺସ௧ିଵ + ߚଵ଴∆݈݊ܺହ௧ିଵ +
ߚଵଵ‫ܥܧ‬௧ିଵ + ߝ
(20e)
Keterangan:
Yt
: Nilai Investasi Swasta pada periode t
X1t
: Produk Domestik Bruto periode t
X2t
: Tingkat Bunga periode t
X3t
: Pengeluaran pemerintah periode t
X31t
: Pengeluaran pemerintah untuk pelayanan umum periode t
X32t
: Pengeluaran pemerintah untuk ekonomi periode t
X33t
: Pengeluaran pemerintah untuk perumahan dan fasilitas umum periode t
80
X34t
: Pengeluaran pemerintah untuk kesehatan periode t
X35t
: Pengeluaran pemerintah untuk pendidikan periode t
Secara spesifik variabel pengeluaran pemerintah yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pengeluaran pemerintah berdasarkan fungsi, yakni:
Pelayanan Umum (Gpu), Ekonomi (Ge), Perumahan dan fasilitas umum (Gpf),
Kesehatan (Gs), dan Pendidikan (Gpdk), mengikuti Wang (2005) dan Laopadis
(2001). Secara umum pengeluaran pemerintah berdasarkan fungsinya di
kelompokkan atas 11 fungsi yakni; pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan
keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum,
kesehatan, parawisata dan budaya, agama, pendidikan dan perlindungan sosial.
Namun yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengeluaran pemerintah
yang berfungsi secara ekonomis dan disinyalir sebagai investasi bagi pemerintah
Berdasarkan model yang dikemukakan model Laopodis (2001) dan Wang
(2005), menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah memiliki efek Crowding
Out terhadap Investasi Swasta ketika nilai koefisian variabel pengeluaran
pemerintah menunjukkan negatif dan signifikan. Pengeluaran pemerintah
memiliki efek Crowding In terhadap Investasi Swasta bilamana nilai koefisien
variabel pengeluaran pemerintah menunjukkan positif dan signifikan terhadap
Investasi swasta.
81
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu A. 2005. Kebijakan Fiskal dan Efektivitas Stimulus Fiskal di Indonesia.
Jurnal Ekonomi Indonesia 1:1-35.
Acosta, P. & Loza, A., 2005. Short and Long Run Determinants of Private in
Argentina. Journal of Applied Economic, VIII, pp.389–406.
Afrizal. 2008. Analisis Investasi Indonesia Suatu Pendekatan Model Dinamik
1992.1 – 2007.4 . Jurnal Aplikasi Manajemen. Volume 7 Nomor 1. Februari
2009.pp 211-219.
Afonso, Antonio., Alegere, Juan Gonzalez. 2008. Economic Growthand
Budgetary Components A Panel Assessment For The EU., Working Paper
Series No.848/Januari 2008. European Central Bank.
Afonso, Antonio., Aubyn, M.S., 2008. Macroeconomic Rates of Return of Public
and Private Investment Crowding-In and Crowding-Out Effects. Social
Science Research.
Afonso, Antonio., Sausa, Richardo.M., 2009. The Macroeconomic Effects of
Fiscal Policy in Portugal: a Bayesian SVAR Analysis. Working Paper Series
NIPE WP 3/2009
Ahmad, I. & Qayyum, A., 2008. Effect of Government Spending and MacroEconomic Uncertainty on Private Investment in Services Sector: Evidence
from Pakistan. European Journal of Economics, Finance and Administrative
Sciences, 11(11), p.13.
Ahmed, H. & Miller, S.M., 2000. Crowding-Out and Crowding-In Effects of the
Components of Government Expenditure. Contemporary Economic Policy,
18 (1), pp. 124 -133.
Akkina, krishna rao & Celebi, mehmet ali, 2002. The Determinants of Private
Fixed Investment and the Relationship between Public and Private Capital
Accumulation in Turkey. The Pakistan Development Review, 3(Autumn),
pp.243–253.
Alani, E.M.A.A., 2006. Crowding-Out and Crowding-In Effects of Government
Bonds Market on Private Sector (Japanese Case Study ). Discussion Paper,
No. 74. IDE-JETRO
Almeida, R., 2007. The Labor Market Effects of Foreign Owned Firms. Journal of
International Economics, 72(1), pp.75–96.
Andreoni, J. & Payne, A.A., 2011. Is crowding out due entirely to fundraising?
Evidence from a panel of charities. Journal of Public Economics, Volume 95
Number (5-6), pp.334–343.
82
Ang, J.B., 2009a. Determinants of Private Investment in Malaysia: What Causes
the Postcrisis Slumps? Contemporary Economic Policy, 28(3), pp.378–391.
Ang, J.B., 2009b. Private Investment and Financial Sector Policies in India and
Malaysia. Journal of World Development, Volume 37 Number7, pp.1261–
1273.
Asante, Y., 2000. Determinants of Private Investment Behaviour. , African
Economic Research Consortium, Nairobi March.
Asiedu, E. & Freeman, J., 2009. The Effect of Corruption on Investment Growth:
Evidence from Firms in Latin America, Sub-Saharan Africa, and Transition
Countries. Review of Development Economics, Volume13, Issue 2,
pp.200–214.
Atukeren, Erdal., 2005. Interaction Between Public and Private Investment:
Evidence from Developing Countries. KYKLOS, Volume 58, Number.3, pp.
307 – 330.
Baddeley, Michelle.C. 2003. Investment: theories and Analysis, Palgrave., Mac
Millan, grest Britain.
Bahmani-Oskooee, M., 1999. Do Federal Budget Deficits Crowd Out or Crowd In
Private Investment? Policy Modeling, Volume 21 (5), pp.633–640.
Bailey, Sthepen J., 2002, Public Sector Economics: Theory, Policy and Practice.,
2nd edition., Palgrave.
Branson, William H., 1989, Macroeconomic Theory and Policy., 3rd Edition,
Happer & Row, Publisher
Busse, M., & Hefeker, C. ,2007. Political Risk, Institutions and Foreign Direct
Investment. European Journal of Political Economy, 23(2), 397–415.
Cavallo, E. & Daude, C., 2011. Public investment in developing countries: A
blessing or a curse? Journal of Comparative Economics, 39(1), pp.65–81.
Chen, T. & Ku, Y., 2005. The Effects of Overseas Investment. On Domestic
Employment. eds. International Trade in East Asia, NBER-East Asia
Seminar on Economics. National Bureau of Economic Research: University
of Chicago Press.
Cogan, J.F. et al., 2010. New Keynesian versus old Keynesian government
spending multipliers. Journal of Economic Dynamics and Control, 34(3),
pp.281–295.
Commission on Growth and Development., 2008.,
The Growth Report:
Strategies for Sustained Growth and Inclusive Development The
International Bank for Reconstruction and Development., The World Bank,
Washington DC
83
Dornbusch, Rudiger., Fischer Stainley., & Startz, Richard., 2008, Makroekonomi,
ed.10., McGrow-Hill
Erden, L. & Holcombe, R.G., 2005. The Effects of Public Investment on Private
Investment in Developing Economies. Public Finance, 33(5).
Erenburg, S.J. & Wohar, M.E., 1995. Public and Private Investment: Are There
Causal Linkages? Journal of Macroeconomics, 17(1), pp.1–30.
Everhart, S.S. & Sumlinski, M.A., 2001. Private Investment in developing
Countries. Discussion Paper Number 44, The World Bank and International
Financial Corporation , p.1- 66.
Furceri, D. & Sousa, R.M., 2011. The Impact of Government Spending on the
Private Sector: Crowding-out versus Crowding-in Effects. Kyklos, 64(4),
pp.516–533..
Ganelly, G., 2000. Useful Government Spending , Direct Crowding-Out and
Fiscal Policy Interdependence. Policy, pp.1–38.
Giannaros, D., Kolluri, B. & Panik, M., 1999. The Effects Of Government
Spending On Capital Investment: International Economic Journal, 13(1),
pp.45–55.
Greene, Joshua & Villanueva, Delano., 1991., Private Investment in Developing
Countries: An Empirical Analysis., IMF Staff Papers., Volume 38. Nomor 1.
Pp: 33 – 58.
Hadiwibowo, Yuniarto. 2010., Fiscal Policy, Investment and Long-Run Economic
Growth: Evidence From Indonesia., Asian Sosial Science., Volume 6.
Nomor 9. pp. 1 – 9.
Hasan, Sallahuddin., Othman, Zalila., Zaini, Mohammad. 2011. Private and
Public Investment in Malaysia : A Panel Time-Series Analysis. International
Journal of Economics and Financial Issue, 1(4), pp.199-210.
Hatano, T., 2010. Crowding-in Effect of Public Investment on Private Investment .
Public Policy, 6(1), pp.30–42.
Hidayat, Agus S. 2005. Analisis Kepekaan Sektor Swasta terhadap Kebijakan
Fiskal Ekspansif, Widayariset, Vol.8 No.1 pp.365-381
Holcombe, R.G., 2006. The Linkage Between Public and Private Investment: A
Co-integration Analysis of A Panel of Developing Countries. Eastern
Economic Journal, 32(3), pp.479–492.
Hussain, Adnan, Mohammad D. Sulaiman, L.I., 2009. Effectiveness of
Government Expenditure Crowding-In or Crowding-Out: Empirical Evidence
in Case of Pakistan. Economics, Finance and Administrative Sciences,
16(16), pp1-7.
84
Hyder, Kalim, 2001., Crowding-Out Hypothesis in a Vector Error Correction
Framework: A Case Study of Pakistan., The Pakistan Development Review,
Volume 40., Number 4 Part II. Pp 633 – 650.
Jhingan, M L., 1990., The Economics of Development & Planning, 2nd ., Revised
Edition., Konark Publisher PVT Ltd.
Jongwanich, J. & Kohpaiboon, A., 2008. Private Investment: Trends and
Determinants in Thailand. World Development, 36(10), pp.1709–1724.
Jorgenson, Dale W. 1967. The Theory Investment Behaviour. Electronic Book.
from the National Bureau of Economic Research.
Kok, R. & Ersoy, B.A., 2009. Analyses of FDI determinants in developing
countries. International Journal of Social Economics, 36(1/2), pp.105–123.
Kuncoro, Haryo. 2000. Ekspansi Pengeluaran Pemerintah dan Responsivitas
Sektor Swasta. Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol.5. No.1 pp. 53-63
Kuncoro, Mudrajad., 2009., Ekonomika Indonesia: Dinamika Lingkungan Bisnis di
Tengah Krisis Global., Cet.1., UPP SIM YKPN Yogyakarta
Kustepeli, Y., 2005. Effectiveness of Fiscal Spending: Crowding out and / or
crowding in? YÖNET M VE EKONOM, 12(1), pp.185–192.
Laopodis, Nikiforos T. 2001. Effects of Government Spending on Private
Investment. Applied Economics. Vol. 33 pp 1563-1577.
Misati, R.N. & Nyamongo, E.M., 2011. Financial development and private
investment in Sub-Saharan Africa. Journal of Economics and Business,
63(2), pp.139–151.
Mondria, Jordi,. Wu, Thomas., Zhang, Yi. 2010. The Determinants of
International Investment and Attention Allocations: Using Internet Search
Query Data. Journal of International Economivs, 82(1)., pp. 85-95.
Morrissey, O. & Udomkerdmongkol, M., 2012. Governance, Private Investment
and Foreign Direct Investment in Developing Countries. World
Development, 40(3), pp.437–445.
Narayan, P.K., 2004. Do public investments crowd out private investments?
Fresh evidence from Fiji. Journal of Policy Modeling, 26(6), pp.747–753.
Nopirin. 2000., Ekonomi Moneter. Buku II. Edisi ke 1. Cetakan ke Sepuluh BPFE
Yogyakarta.
Nurcholis., 2006. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Investasi Regional (Studi
Kasus Di Indonesia Tahun 2000-2004. Tesis Magister Perencanaan dan
kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi Univertsitas Indonesia.
85
Nurudeen, A., 2009. Modeling the Long-Run Determinants of Private Investment
in Nigeria. Journal of Financial Economics, VII(3 & 4), pp.48–63.
Ouattara, B., 2004. Modelling the Long Run Determinants of Private Investment
in Senegal. CREDIT Research Paper, No.05/04, Centre for Research in
Economic Development and International Trade, University of Nottingham.
Raju, S. & Mukherjee, J., 2010. Fiscal Deficit , Crowding Out and the
Sustainability of Economic Growth The Case of the Indian Economy, ifri
Centre for Asian Studies.
Romer, D., 2006, Advance Macroecono0mics., 3rd Edition., McGrow-Hill
Companies
Rodrik, D., 1991. Policy uncertainty and private investment in developing
countries. Journal of Development Economics, 36(2), pp.229–242.
Samuelson, Paul A., Nordhaus, William D., 2002. Economics., 17th Edition.,
McGrow-Hill Companies
Samuelson, P.A., 1954. Aspects of Public Expenditure Theories , The Review of
Economics and Statistics 40(4), pp.332–338.
Setyari, Ni P W., Purwanti, Putu AP., Meydianawanthi, Luh G., Widanta, Anak
AB. 2008., Determinan Investasi di Indonesia., Buletin Studi Ekonomi.
Volume 13. Nomor 2. Halalam. 159-171.
Shieh, J., Chen, J. & Lai, C., 2006. Government spending, capital accumulation
and the optimal policy rule: The role of public service capital. Economic
Modelling, 23(6), pp.875–889.
Statistik Indonesia., 2012, Statistical Yearbook of Indonesia., Badan Pusat
Statistik Indonesia
Stasavage, David., 2002, Private Investment and political Institutions, Economics
and Politics, 14(1), pp 41-63.
Todaro, Michael P., Smith, Stephen C., 2006., Economic Development., 9th ed.,
Person Addison-Wesley.
Toole, C.M.O. & Tarp, F., 2012. Corruption and the Efficiency of Capital
Investment in Developing Countries, Working Paper No . 2012 / 27.
Viren, M. et al., 2007. Do government expenditures increase private sector
productivity? International Journal of Social Economics, 34(5), pp.345–360.
Wang, Baotai. 2005. Effects of Government Expenditure on Private Investment:
Canadian Empirical Evidence. Empirical Economics. Vol. 30. Pp. 493-504.
Widarjono, Agus., 2007. Ekonometrika Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan
Bisnis, Edisi kedua, Ekonesia Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta
86
Yotopoulus, Pan A., Jeffrey B Nugent., 1985, Economics of Development :
Empirical Investigation., Harper & Row Publisher, New York.
Zayanderoody, M., 2009. The Effect of Government Expenditures on the Private
Sectors Perception of Crowding-out. Business Review Cambridge, 13(2),
pp.230–236.
Zedillo, Ernesto., Diogo,Luisa., Al-Hamed, Abdlaitf., Ibrahim, Mo., Zhang,
Shengman.
2010.
The
Natural
Resources
Charter.
www.naturalresourcecharter.org.
Zong, Yong Sarah., 2012., What Determines Investment in Indonesia., IMF
Country Report, Indonesia: Selected Issues. 12 (178), pp. 10 – 21.
Download