pengukuran faktor koreksi jarak pada instrumen

advertisement
PENGUKURAN FAKTOR KOREKSI JARAK PADA
INSTRUMEN MOTIWALI
ANUGRAH ADITYAYUDA
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
PENGUKURAN FAKTOR KOREKSI JARAK PADA
INSTRUMEN MOTIWALI
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan didalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka
dibagian akhir Skripsi ini.
Bogor, September 2012
ANUGRAH ADITYAYUDA
C54070081
RINGKASAN
ANUGRAH ADITYAYUDA. Pengukuran Faktor Koreksi Jarak pada
Instrumen MOTIWALI. Dibimbing oleh INDRA JAYA dan AGUS SALEH
ATMADIPOERA.
Instrumen Mobile Tide and Water Level Instrument (MOTIWALI)
merupakan alat pengukur pasang surut atau level air yang dapat digunakan untuk
pengukuran bersifat mobile (bergerak) maupun tetap. Kemampuan tambahan
yang dimiliki MOTIWALI berupa transmisi data menggunakan GSM atau
frekuensi radio dan dilengkapi dengan sistem alarm (Iqbal dan Jaya, 2011).
Berdasarkan pembagian alat pengukur pasang surut menurut Intergovernmental
Oceanographic Commission (IOC) (2006), MOTIWALI termasuk kedalam
acoustical tide gauges. Tujuan dari penelitian ini adalah menguji akurasi
instrumen MOTIWALI, menganalisis pengaruh faktor koreksi suhu dalam
kaitannya dengan penentuan jarak untuk pengolahan data pasang surut dari
instrumen MOTIWALI, dan menentukan tipe pasang surut di perairan Pulau
Pramuka secara visual.
Penelitian ini dilakukan di workshop Akustik dan Instrumentasi Kelautan,
Deptartemen ITK, FPIK, IPB selama 1 hari dan di Perairan Pulau Pramuka, Kep.
Seribu, DKI. Jakarta pada titik koordinat 106,61372º BT dan 5,74260º LS selama
3 hari. Pengukuran di laboratorium dilakukan dengan membandingkan jarak tetap
(acuan) dengan jarak yang dihasilkan MOTIWALI. Data suhu yang didapatkan
dari MOTIWALI dibandingkan dengan data suhu hasil pengukuran menggunakan
termometer dengan metode Linear Least Square Fitting. Pengukuran pasang
surut di lapang dilakukan dengan membandingkan pengukuran menggunakan
MOTIWALI dan Mistar Pasut.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa untuk suhu MOTIWALI
sebesar 21,6 ºC, di udara yang sebenarnya suhu memiliki nilai sebesar 25,1 ºC.
Dengan demikian, suhu pengukuran MOTIWALI dan suhu sebenarnya memiliki
perbedaan sebesar 4,5 ºC. Data jarak yang diperoleh oleh MOTIWALI memiliki
nilai rataan sebesar 169,1 cm dan setelah dilakukan koreksi terhadap suhu udara
data memiliki nilai rataan sebesar 171,2 cm pada pengukuran jarak tetap sebesar
173 cm. Dengan demikian, akurasi MOTIWALI meningkat sebesar 46,1%.
MOTIWALI memiliki rata-rata akurasi pengukuran sebesar 1,8 cm. Hasil
pengukuran lapang yang dilakukan menunjukkan adanya perbedaan antara
pengukuran manual dan MOTIWALI dimana pengukuran MOTIWALI memiliki
grafik yang lebih halus dibandingkan dengan pengukuran manual. Perbedaan ini
terjadi karena MOTIWALI memiliki sampling rate yang tinggi yaitu setiap 5
menit, sedangkan manual dilakukan pengukuran setiap 15 menit. Berdasarkan
hasil penelitian pasang surut menggunakan MOTIWALI didapat tipe pasang surut
di perairan Pulau Pramuka secara visual yaitu pasang surut campuran dominansi
tunggal dengan pasang tertinggi terjadi pada selang waktu antara pukul 18:00:00
WIB sampai 00:00:00 WIB atau waktu dari pasang ke surut lebih panjang
dibandingkan waktu dari surut ke pasng.
© Hak cipta milik ANUGRAH ADITYAYUDA, tahun 2012
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
PENGUKURAN FAKTOR KOREKSI JARAK PADA
INSTRUMEN MOTIWALI
ANUGRAH ADITYAYUDA
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
SKRIPSI
Judul Skripsi
: PENGUKURAN FAKTOR KOREKSI JARAK PADA
INSTRUMEN MOTIWALI
Nama Mahasiswa : Anugrah Adityayuda
Nomor Pokok
: C54070081
Departemen
: Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc.
NIP. 19610410 198601 1 001
Dr. Ir. Agus S. Atmadipoera, DESS
NIP. 19660706 199212 1 002
Mengetahui,
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc
NIP. 19580909 198303 1 003
Tanggal Lulus : 31 Agustus 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan semesta alam Allah SWT
yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul PENGUKURAN FAKTOR
KOREKSI JARAK PADA INSTRUMEN MOTIWALI disusun sebagai salah
satu syarat kelulusan pada program sarjana.
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.
Kedua orang tua (Bapak Asep Djuanda Sunarya dan Ibu Komariah), serta
kakak dan adik tercinta Dimas Pratama Yuda dan Dendi Ahmad Patria Yuda
yang telah memberikan semangat, motivasi dan kasih sayang.
2.
Bapak Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. dan Dr.Ir. Agus S. Atmadipoera, DESS.
selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dan
masukkan kepada penulis.
3.
Ibu Dr. Ir. Yuli Naulita, M.Si. selaku dosen penguji skripsi yang telah
memberikan banyak masukan kepada penulis.
4.
Muhammad Iqbal, S. Pi., M. Si. yang banyak membantu penulis dalam
memahami penelitian yang dilaksanakan.
5.
Klub MIT (Khasanah, Rizqi Rizaldi, Erik Munandar, Hollanda, dan Iman)
atas diskusi mengenai MOTIWALI.
6.
Keluarga besar ITK 44 (Arief, Dinno, Iqbal, dan Aldelanov) dan seluruh
warga ITK yang telah memberikan pelajaran dan pengalaman hidup kepada
penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu,
kritik dan saran yang sifatnya membangun akan bermanfaat bagi penulis dalam
perbaikan di kemudian hari.
Bogor, September 2012
Anugrah Adityayuda
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
.............................................................................
x
.........................................................................
xi
.....................................................................
xii
1. PENDAHULUAN ........................................................................
1.1. Latar Belakang .......................................................................
1.2. Tujuan Penelitian ....................................................................
1
1
2
2. TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................
2.1. Instrumen Pengukur Pasang Surut
..........................................
2.2. Instrumen MOTIWALI ...........................................................
2.2.1. Perangkat lunak MOTIWALI .....................................
2.2.2. Perangkat elektronik MOTIWALI ..............................
2.2.3. Cara kerja sensor ultrasonik dan sensor suhu ...............
2.3. Metode Fitting ........................................................................
2.4. Pasang Surut ...........................................................................
2.4.1. Interaksi pasang surut bulan dan matahari ...................
2.4.2. Tipe pasang surut ........................................................
2.4.3. Komponen harmonik pasang surut ...............................
2.5. Pengukuran Pasang Surut .......................................................
2.6. Metode Filtering .....................................................................
4
4
8
10
11
11
13
13
14
15
16
17
17
3. METODE PENELITIAN
...........................................................
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ..................................................
3.2. Data ........................................................................................
3.2.1. Akuisisi data laboratorium ..........................................
3.2.2. Akuisisi data lapang
...................................................
3.3. Pengolahan Data ....................................................................
3.3.1. Pengolahan data laboratorium .....................................
3.3.2. Pengolahan data lapang ..............................................
3.4. Analisis Data ..........................................................................
3.4.1. Analisis data koreksi suhu
..........................................
3.4.2. Analisis data faktor koreksi suhu ................................
3.5. Metode Penempatan Alat .......................................................
19
19
19
19
20
20
20
23
24
24
25
25
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................
4.1. Koreksi Suhu .........................................................................
4.2. Jarak dan Suhu MOTIWALI ..................................................
4.3. Jarak dan Suhu Hasil Koreksi .................................................
4.4. Perbandingan Jarak ................................................................
4.5. Pengukuran Lapang Pasang Surut ..........................................
27
27
28
30
32
34
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
4.5.1.
4.5.2.
4.5.3.
Jarak dan suhu koreksi di lapang .......................................
Perbandingan jarak di lapang ............................................
Pasang surut ......................................................................
35
36
37
5. KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................
5.1. Kesimpulan ............................................................................
5.2. Saran ......................................................................................
42
42
42
DAFTAR PUSTAKA
........................................................................
43
......................................................................................
46
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Susunan File CONFIG.INI MOTIWALI
............................................. 10
2. Tabel Tipe Pasang Surut Berdasarkan Bilangan Formzhal
3. Deskriptif Statistik Data MOTIWALI
................... 17
................................................ 30
4. Deskriptif Statistik Data MOTIWALI Terkoreksi
5. Deskriptif Statistik Data Perbandingan Jarak
................................ 32
....................................... 33
6. Deskriptif Statistik Data MOTIWALI Terkoreksi di Lapang
7. Deskriptif Statistik Data Perbandingan Jarak di Lapang
8. Deskriptif Statistik Pengukuran Pasang Surut
9. Nilai Tunggang Pasut
. .............. 36
....................... 37
...................................... 39
.......................................................................... 40
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar
1. Pressure tide gauge
Halaman
..............................................................................
2. Stilling well tide gauge
3. NGWLMS tide gauge
5
.........................................................................
6
...........................................................................
7
4. Uji coba OTT Kalesto (radar gauge) di Liverpool
...............................
8
5. Keseluruhan tampak belakang (atas) dan kotak elektronik (bawah) ........
9
6. Diagram alir perangkat lunak MOTIWALI
.......................................... 12
7. a) spring tide (pasut purnama), b) neap tide (pasut perbani)
.................. 15
8. Diagram alir pengolahan data MOTIWALI di Workshop Akustik dan
Instrumentasi Kealautan, Departemen ITK, FPIK, IPB ......................... 20
9. Diagram alir pengolahan data MOTIWALI di lapang
........................... 23
10. Penempatan MOTIWALI dan mistar pasut di lapang
........................... 26
11. Grafik koreksi suhu
.............................................................................. 27
12. Grafik keluaran MOTIWALI
............................................................... 29
13. Grafik suhu dan jarak terkoreksi ............................................................ 31
14. Grafik perbandingan jarak
................................................................... 32
15. Grafik perbandingan jarak terkoreksi dan jarak tetap
16. Grafik suhu dan jarak terkoreksi di lapang
17. Grafik perbandingan jarak di lapang
18. Grafik pengukuran pasang surut
........................... 34
............................................ 35
.................................................... 36
......................................................... 38
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Data sheet pengukuran pasang surut
..................................................... 47
2. Tabel komponen harmonik pasut yang penting
3. Kecepatan suara berdasarkan suhu
4. Kecepatan suara di udara
..................................... 48
...................................................... 49
..................................................................... 50
5. Contoh RAW data yang didapat MOTIWALI
..................................... 51
6. Diagram alir keseluruhan perangkat lunak MOTIWALI
7. MOTIWALI
...................... 52
........................................................................................ 53
xii
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pasang surut merupakan fenomena pergerakan naik dan turunnya
permukaan air laut secara periodik yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan
matahari (Zakaria, 2009), serta adanya gaya gravitasi oleh bumi (Dronkers, 1964).
Menurut Ongkosongo (1987), dalam dunia kelautan dan kehidupan manusia
sehari-hari, pasang surut sangat penting dikaji untuk keperluan seperti bidang
geologi, pembangunan konstruksi teknik sipil, lingkungan, bidang biologi dan
pertanian, serta pengembangan energi pasut. Pengukuran pasang surut air laut
umumnya menggunakan alat atau instrumen pengukur pasang surut yang
didalamnya terdapat komponen elektronik (tide gauge) dan tide staff, berupa
papan mistar dengan pembagian skala yang ditancapkan ke dasar perairan.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka ada
alternatif lain yang lebih mudah yaitu dengan menggunakan gelombang akustik
atau perambatan suara.
Keunggulan pengukuran pasut menggunakan akustik
yaitu dapat dilakukan pada kondisi udara terbuka (IOC, 1994; 2000; dan 2006).
Dalam perambatan di udara, suara mengalami atenuasi yang besarnya tergantung
pada konsentrasi partikel terlarut di udara, jarak antara sumber suara dan objek
yang dapat mempengaruhi waktu kembali suara ke penerima, serta karakteristik
objek.
Menurut Lamancusa (2000), komponen-komponen yang biasanya
mempengaruhi suara di atmosfer adalah komponen tipe dan geometri sumber
suara, kondisi meteorologi seperti variasi suhu dan angin, penyerapan suara oleh
atmosfer, kontur dan jenis permukaan, serta penghalang seperti bangunan dan
tanaman.
1
2
Penelitian ini dikhususkan untuk menganalisis kinerja instrumen pasang
surut berbasis gelombang akustik dan pengaruh dari suhu udara. Suara di udara
dipengaruhi oleh suhu udara itu sendiri. Semakin tinggi suhu udara, maka akan
menghasilkan kecepatan suara yang tinggi pula, walaupun tidak bersifat linier
(Ingard, 1953; Branconi, 1740 in Bohn, 1988). Berdasarkan Intergovernmental
Oceanographic Commission (IOC) (1994; 2000; dan 2006), kecepatan suara di
udara secara signifikan bervariasi terhadap suhu dan kelembaban (sekitar
0,17%/ºC). Dengan diketahuinya pengaruh suhu udara terhadap perambatan suara
di udara, maka untuk mendapatkan hasil pengukuran pasang surut yang akurat
dengan menggunakan instrumen akustik diperlukan koreksi dari suhu udara di
lingkungan pengambilan data.
Penelitian ini menggunakan instrumen pengukur pasang surut Mobile Tide
and Water Level Instrument (MOTIWALI) yang dikembangkan oleh Bagian
Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. MOTIWALI
menggunakan transduser akustik 40 kHz sebagai sensor pengukur jarak antara
transduser dan permukaan air serta sensor suhu sebagai pengoreksi. Instrumen
MOTIWALI didesain sedemikian rupa sehingga dapat ditempatkan dengan
mudah, serta ringan sehingga sangat cocok untuk pengukuran jangka pendek dan
panjang.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menguji akurasi instrumen MOTIWALI,
menganalisis pengaruh faktor koreksi suhu dalam kaitannya dengan penentuan
3
jarak untuk pengolahan data pasang surut dari instrumen MOTIWALI, dan
menentukan tipe pasang surut di perairan Pulau Pramuka secara visual.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Instrumen Pengukur Pasang Surut
Tide gauge merupakan alat atau instrumen yang digunakan untuk mengukur
tinggi pasut. Instrumen pengukur pasang surut yang umum digunakan diantaranya
adalah tide staff, floating tide gauge, dan pressure tide gauge (Djaja, 1987).
a)
Tide staff, merupakan alat pengukur pasang surut yang paling sederhana
berupa papan mistar memiliki ketebalan antara 1 sampai 2 inchi dengan lebar
4 sampai 6 inchi, dan dengan pembagian skala yang umumnya dalam sistem
meter, sedangkan panjangnya harus lebih besar dari tunggang pasut (tidal
range). Misalnya, pada perairan dengan tunggang pasut sebesar 2 m, maka
ukuran papan skala ini harus lebih dari 2 m gauge (Djaja, 1987).
b) Floating tide gauge. Prinsip kerja alat ini berdasarkan gerakan naik turunnya
permukaan laut yang dapat diketahui melalui pelampung yang dihubungkan
dengan alat pencatat. Pengukuran tinggi muka air oleh alat ini dilakukan
dengan mendeteksi pergerakan naik turun dari air. Perubahan tinggi pada
permukaan air akan menyebabkan pelampung begerak vertikal (naik turun),
pelampung dan penahan beban diikat dengan kabel dan dihubungkan dengan
sebuah katrol yang terdapat pada enkoder, sehingga gerakan pelampung dapat
memutar katrol. Perputaran yang terjadi pada katrol akan dikonversikan
menjadi suatu sinyal digital dan ditransfer ke unit data logger melalui kabel
transduser. Di dalam data logger unit sinyal listrik tersebut diproses sehingga
menjadi nilai yang terukur gauge (Djaja, 1987).
c)
Pressure tide gauge. Prinsip kerjanya sama dengan floating tide gauge,
hanya saja gerakan naik turunnya permukaan laut dapat diketahui dari
4
5
perubahan tekanan yang terjadi di dalam laut. Seberapa besar tekanan yang
diterima oleh sensor akan diubah dalam bentuk kedalaman yang telah
dirancang sedemikian rupa, sehingga diperoleh tinggi muka air dari nilai ini
dengan mempertimbangkan nilai densitas dan gravitasi. Gambar 1
merupakan contoh dari pressure tide gauges gauge (Djaja, 1987).
Gambar 1. Pressure tide gauge (IOC, 2006)
Selain ketiga alat ukur yang digunakan di atas, IOC (2006) membagi
instrumen pengukur pasut menjadi empat bagian yaitu stilling well tide gauges,
pressure gauges, acoustic tide gauges, dan radar gauges.
a)
Stilling well tide gauges, merupakan pipa yang ditempatkan secara vertikal di
dalam air, cukup panjang untuk menutupi segala kemungkinan tunggang
pasut dibeberapa stasiun. Bagian bawah dari sumur tertutup kecuali untuk
masukan, satu untuk masukan di bawah dan lainnya dengan pipa masukan
yang terhubung ke bagian lebih rendah dari sumur. Cara kerja dari alat ini
6
sama dengan floating tide gauge. Contoh gambar dari alat ini dapat dilihat
pada Gambar 2.
Gambar 2. Stilling well tide gauge (IOC, 2006)
b) Acoustic tide gauges. Alat atau intrumen pengukur pasang surut yang
menggunakan gelombang suara untuk mendapatkan data pasang surut.
Pengukurannya bergantung pada perubahan waktu perambatan dari sinyal
akustik yang direfleksikan secara vertikal dari permukaan laut ke sensor
penerima (receiver). Contoh untuk alat ukur acoustic tide gauges dapat
dilihat pada Gambar 3.
7
Gambar 3. NGWLMS tide gauge (IOC, 2006)
c)
Radar gauges. Alat ini dilengkapi dengan pemancar pulsa radar
(transmitter), penerima pulsa radar (receiver), serta jam berakurasi tinggi.
Pada sistem ini, radar memancarkan pulsa-pulsa gelombang radio ke
permukaan laut. Pulsa-pulsa tersebut dipantulkan oleh permukaan laut dan
diterima kembali oleh radar. Sistem radar ini dapat mengukur ketinggian
radar di atas permukaan laut dengan menggunakan waktu tempuh dari pulsa
radar yang dikirimkan ke permukaan laut, dan dipantulkan kembali ke radar
(IOC, 2002). Contoh dari radar gauges dan perbandingannya dengan
bubbler gauge dapat dilihat pada Gambar 4.
8
Gambar 4. Uji coba OTT Kalesto (radar gauge) di Liverpool (IOC, 2006)
2.2. Instrumen MOTIWALI
Instrumen MOTIWALI (Mobile Tide and Water Level Instrument)
merupakan alat pengukur pasang surut atau level air yang dapat digunakan untuk
pengukuran yang bersifat mobile atau bergerak maupun stasiun tetap dengan
kemampuan tambahan seperti transmisi data menggunakan GSM atau frekuensi
radio dan dilengkapi dengan sistem alarm. Instrumen MOTIWALI ini
menggunakan transduser akustik 40 kHz sebagai sensor pengukur jarak antara
sensor dengan permukaan air dan sensor suhu sebagai pengoreksi data (Iqbal dan
Jaya, 2011). Berdasarkan pembagian alat pengukur pasang surut menurut IOC
(2006), MOTIWALI termasuk kedalam acoustical tide gauge. Bentuk dari
instrumen MOTIWALI dapat dilihat pada Gambar 5 dan Lampiran 7.
9
(e)
(a)
(c)
(b)
(d)
(f)
(e)
(b)
(a)
(g)
(j)
(h)
(i)
(k)
Gambar 5. Keseluruhan tampak belakang (atas) dan kotak elektronik (bawah)
(Iqbal dan Jaya, 2011)
Keterangan:
a = Kotak utama elektronik
b = Tiang penghubung transduser dan kotak elektronik
c = Pipa ¼ inchi penghubung transduser dan tiang
d = Kotak transduser
e = Antene GSM/Radio
f = Penyangga tiang transduser
g = Soket eksternal (1) power luar, (2) RS232, (3) device control
h = Tempat peralatan elektronik
i = Pintu
j = Tempat accu internal
k = Gagang pintu
10
2.2.1. Perangkat lunak MOTIWALI
Pembangkitan sinyal 40 KHz menggunakan Timer 1 yang dimiliki
mikrokontroler. Mikrokontroler akan melakukan setting register sehingga terjadi
overflow pada setiap 1/40000 detik dan sinyal 16-bit tersebut kemudian dapat
diakses pada pin OCR1A dan OCR1B pada mikrokontroler (Iqbal dan Jaya,
2011).
Untuk mengatur kerja MOTIWALI digunakan file CONFIG.INI. Ada
beberapa hal yang harus diatur dalam file ini seperti pada Tabel 1. Terlihat 9
variabel yang dapat diatur oleh pengguna melalui file ini. Variabel tersebut
dimaksudkan agar pengguna dapat menyesuaikan kebutuhannya. Khusus untuk
alarm atau pengiriman data GSM, pengguna harus menambahkan modem GSM
atau sejenisnya dengan menggunakan komunikasi RS232. Alarm dimaksudkan
jika pengguna ingin mendapatkan peringatan jika air sudah memenuhi jarak
tertentu yang telah ditentukan baik dengan menyalakan/mematikan peralatan lain
atau mengirimkan SMS pemberitahuan ke nomor tertentu (Iqbal dan Jaya, 2011).
Tabel 1. Susunan File CONFIG.INI MOTIWALI
No.
Variabel
1
2
MOTIWALI
Waktu_penyimpanan
String
Integer
3
Transmit (1 atau 0)
Byte
4
5
No_GSM
Waktu_transmit
String
Integer
6
Alarm (1 atau 0)
Byte
7
Tipe_alarm
Byte
8
Jarak_alarm
Integer
9
Gsm_alarm_no
String
Sumber : Iqbal dan Jaya (2011)
Tipe Data
Keterangan
Pengenal file
Dalam Menit
1=transmit GSM
0=tidak transmit (default)
Nomor HP yang dituju
Dalam menit
1=alarm
0=tidak alarm (default)
1=relay
0=GSM
Jarak alarm berfungsi
(cm)
Nomor HP yang dituju
11
Cara kerja perangkat lunak MOTIWALI yaitu pada saat mulai dinyalakan
mikrokontroler akan mengecek keberadaan MMC/SD Card dan sensor. Jika
belum siap, mikrokontroler akan mengulang kembali pada tahap awal proses, jika
siap dilanjutkan dengan membaca file CONFIG.INI yaitu mendapatkan nilai 8
variabel pada Tabel 1. Transmit sinyal pada transduser kemudian dilakukan
hingga mendapat sinyal balik dan mengukur waktu pada saat mulai transmit
hingga penerimaan tersebut, kemudian dilakukan dengan pembacaan sensor suhu.
Data kemudian disimpan pada modul SD/MMC Card (Iqbal dan Jaya, 2011).
2.2.2. Perangkat elektronik MOTIWALI
Perangkat elektronik terdiri atas beberapa bagian utama yaitu catu daya
yang diambil dari accu dengan opsi catudaya luar DC 12 Volt, mikrokontroller
sebagai pusat pengendali dan pengolah data, modul transduser dengan frekuensi
resonansi 40 KHz, tegangan input maksimum 20 Vrms dan sensitivitas minimal 67 dB sebagai pengukur jarak ke permukaan air, sensor suhu digital DS18B20,
dan modul data logger sebagai penyimpan dan backup data menggunakan
komunikasi SPI (Serial Programming Interface). Catudaya yang digunakan
adalah accu 12 Volt 7 Ampere Hour (Iqbal dan Jaya, 2011).
2.2.3. Cara kerja sensor ultrasonik dan sensor suhu
Cara kerja sensor ultrasonik terdiri dari sensor pengirim yang dikendalikan
dari mikrokontroler melalui keluaran I/O dengan memberikan gelombang persegi
40 KHz. Sebelumnya gelombang persegi tersebut dikonversi baik level tegangan
maupun arus serapnya menggunakan IC level converter sehingga sesuai dengan
spesifikasi transduser. Sinyal pantulan kemudian diterima oleh transduser
12
penerima dan selanjutnya dikonversi sinyal keluarannya melalui rangkaian
pengkondisi sinyal sehingga keluaran sinyal tersebut dapat diolah oleh
mikrokontroler (Iqbal dan Jaya, 2011).
Cara kerja sensor suhu cukup sederhana. Sensor keluaran DALLAS
Instrument ini menggunakan komunikasi 1-wire sebagai protokol keluaran data.
Resistor pull-up dimaksudkan untuk menyamakan arus serap yang dimiliki sensor
dan pin mikrokontroler. Dari hasil uji coba resistor pull-up yang dapat digunakan
yaitu antara 4.7 – 10 KΩ. Semakin besar impedansi kabel yang digunakan maka
semakin besar resistansi resistor pull-up yang dihasilkan (Iqbal dan Jaya, 2011).
Pada Gambar 6 dapat dilihat proses dari cara kerja perangkat lunak MOTIWALI.
Keseluruhan diagram alir dari MOTIWALI dapat dilihat pada Lampiran 6.
Gambar 6. Diagram alir perangkat lunak MOTIWALI (modifikasi dari Iqbal dan
Jaya, 2011)
13
2.3. Metode Fitting
Wijayanto (1994) in Notodiputro et al. (1997) mengatakan bahwa fitting
data dilakukan untuk mengindari bias dari suatu data, sehingga kesalahan dari
perhitungan dapat diperkecil. Menurut Betzler (2003), ada beberapa alasan dan
tujuan dilakukannya fitting yaitu untuk mendapatkan sekumpulan data yang
khusus (menentukan maksimum data atau titik perubahan), membuat tampilan
grafik menjadi lebih baik, mendeskripsikan data dengan prinsip fisik yang mudah,
dan menetukan formula untuk hubungan antara data fisik yang berbeda.
Fitting data pada umumnya dilakukan dengan metode kuadrat terkecil
(least squares fitting method). Metode ini dapat dilakukan dengan mudah bila
bentuk dari kurvanya telah diketahui dan sederhana (Lasijo, 2001). Menurut
Luknanto (1992), regresi kuadrat terkecil adalah suatu regresi dengan
pembatasnya adalah jumlah kuadrat jarak vertikal setiap titik dalam data terhadap
kurva regresi menjadi minimum. Kurva dengan derajat terkecil dapat berupa garis
lurus, polynomial, atau polynomial berderajat tinggi maupun kurva jenis lainnya.
2.4. Pasang Surut
Pasang surut air laut merupakan proses naik dan turunnya permukaan air
laut secara periodik yang ditimbulkan oleh adanya gaya tarik menarik dari bendabenda angkasa, yang terutama sekali disebabkan oleh gaya tarik matahari dan
gaya tarik bulan terhadap massa air di permukaan bumi (Zakaria, 2009).
Pasang surut terjadi karena adanya gaya penggerak. Gaya-gaya penggerak
pasut adalah benda-benda atmosfer, tetapi dari semua benda angkasa hanya
matahari dan bulan yang sangat berpengaruh melalui tiga gerakan utama. Ketiga
gerakan itu adalah (Pariwono, 1987):
14
1.
Revolusi bulan terhadap bumi, dimana orbitnya berbentuk elips dan
memerlukan waktu 29,5 hari untuk menyelesaikan revolusinya;
2.
Revolusi bumi terhadap matahari, dengan orbitnya berbentuk elips dan
periode yang diperlukan untuk ini adalah 365,25 hari;
3.
Perputaran bumi terhadap sumbunya sendiri dan waktu yang diperlukan
adalah 24 jam (one solar day).
2.4.1. Interaksi pasang surut bulan dan matahari
Interaksi pasang surut bulan dan matahari dibagi menjadi dua, yaitu pasang
surut purnama dan pasang surut perbani. Pasang surut purnama merupakan
pasang surut dimana posisi bumi bulan dan matahari sejajar. Keadaan ini
menyebabkan terjadinya pasang naik lebih tinggi dan surut lebih rendah. Pasang
surut ini terjadi pada saat bulan baru dan bulan purnama. Pasang perbani
merupakan pasang surut yang terjadi pada saat bulan, bumi dan matahari
membentuk sudut 90º dan 270 º. Bulan dikatakan dalam keadaan perempat
bagian ketika pasang surut perbani terjadi (Supangat dan Susanna, 2003). Gambar
7 merupakan gambar pasang purnama dan pasang perbani yang dibentuk oleh
posisi bulan dan matahari terhadap bumi.
15
Gambar 7. a) spring tide (pasut purnama), b) neap tide (pasut perbani) (Hicks,
2006)
2.4.2. Tipe pasang surut
Pada umumnya pasang surut memiliki empat tipe, yaitu (Wyrtki, 1961):
1.
Pasang surut harian tunggal (Diurnal Tide). Merupakan pasut yang hanya
terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari, ini terdapat di
Selat Karimata.
2.
Pasang surut harian ganda (Semi Diurnal Tide). Merupakan pasut yang
terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang tingginya hampir sama dalam
satu hari, ini terdapat di Selat Malaka hingga Laut Andaman.
3.
Pasang surut campuran condong harian tunggal (Mixed Tide, Prevailing
Diurnal). Merupakan pasut yang tiap harinya terjadi satu kali pasang dan
16
satu kali surut tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua kali surut
yang sangat berbeda dalam tinggi dan waktu, ini terdapat di Pantai Selatan
Kalimantan dan Pantai Utara Jawa Barat.
4.
Pasang surut campuran condong harian ganda (Mixed Tide, Prevailing Semi
Diurnal). Merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut
dalam sehari tetapi terkadang terjadi satu kali pasang dan satu kali surut
dengan memiliki tinggi dan waktu yang berbeda, ini terdapat di Pantai
Selatan Jawa dan Indonesia Bagian Timur.
2.4.3. Komponen harmonik pasang surut
Rotasi bumi, revolusi bumi terhadap matahari dan revolusi bulan terhadap
bumi meyebabkan resultan gaya penggerak pasang surut yang rumit dapat
diuraikan sebagai hasil gabungan sejumlah komponen harmonik pasut (harmonic
constituent). Komponen harmonik tersebut dapat dibagi menjadi tiga komponen,
yaitu tengah harian, harian dan periode panjang (Pariwono, 1987). Beberapa
komponen harmonik yang penting dapat dilihat pada Lampiran 2.
Dari komponen harmonik yang didapat, tipe pasang surut di suatu perairan
dapat diketahui dengan menggunakan persamaan yang biasa disebut dengan
bilangan Formzhal (Pugh, 1987) dan klasifikasi dari tipe pasang surut berdasarkan
bilangan Formzhal dapat dilihat pada Tabel 2.
𝐹=
𝐻 π‘˜1 + 𝐻𝑂1
𝐻𝑀 2 + 𝐻𝑆2
…………………….
(1)
Keterangan (Pariwono, 1987):
Hk1 = Luni-solar Diurnal
Hm2
= Prinsip Lunar Semi-diurnal
H01 = Prinsip Lunar Diurnal
Hs2
= Prinsip Solar Semi-diurnal
17
Tabel 2. Tabel Tipe Pasang Surut Berdasarkan Bilangan Formzhal
Bilangan Formnzhal
Tipe Pasang Surut
0 sampai 0.25
semidiurnal
0.25 sampai 1.50
mixed, mainly semidiurnal
1.50 sampai 3.00
mixed, mainly diurnal
lebih besar dari 3.00
diurnal
Sumber: Pugh (1987)
2.5. Pengukuran Pasang Surut
Pengamatan naik turunnya muka laut atau pasang surut yang selama ini
digunakan menggunakan dua alat, yaitu manual recording dan automatic
recording system. Manual recording merupakan alat ukur yang dibuat dari kayu
atau bahan anti karat yang diberi skala ukur dengan panjang tidak lebih dari 10
meter dan dalam pengoperasiannya dibutuhkan operator untuk pembacaan skala
ukurnya, sedangkan automatic recording system atau yang dikenal dengan
pressure gauge atau tide gauge adalah alat ukur yang merekam secara otomatis
dan datanya disimpan dalam media penyimpanan data digital (Cahyadi, 2007).
Menurut Djaja (1987), pencatatan pasang surut dapat dilakukan secara non
registering, yaitu dengan pengamatan langsung untuk mengukur dan mencatat
tinggi pasut dari papan ukur yang disebut tide staff, atau pengukuran secara self
registering, yaitu pencatatan pasut secara otomatik dengan alat automatic gauge
baik berbentuk grafik, punched tape, atau foto.
2.6. Metode Filtering
Filtering atau penapisan merupakan cara untuk memperhalus suatu data
yang berfluktuasi sehingga dapat diketahui trend dari data tersebut. Filtering data
dapat dilakukan dengan metode moving average (perata-rataan berjalan). Moving
18
average merupakan metode untuk merata-ratakan data yang dekat dengan data
yang jauh tetapi masih berhubungan (Riley dan Lutgen, 1999). Secara umum
moving average dapat ditulis dengan persamaan berdasarkan Gencay dan Stengos
(1998) sebagai berikut,
𝑀𝐴𝑑 =
1
𝑛
𝑛−1
𝑖=0 𝑋𝑑−1
……………………..
(2)
dimana n adalah periode waktu dan t adalah nilai-nilai yang akan dijumlahkan
berdasarkan periode waktu. Menurut Callegaro (2010), secara singkat persamaan
moving average dapat dijabarkan seperti persamaan di dibawah:
𝑀𝐴 𝑛 =
𝑋𝑑−1 +𝑋𝑑−2 +β‹―+𝑋𝑑−𝑛
𝑛
………………
(3)
3. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di laboratorium dan lapangan. Penelitian di
laboratorium dilakukan pada 28-29 Februari 2012 yang bertempat di Workshop
Akustik dan Isntrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan penelitian
lapang dilakukan pada 9-11 Maret 2012 yang bertempat di perairan Pulau
Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI. Jakarta pada titik koordinat 106,61372º BT dan
5,74260º LS.
3.2. Data
3.2.1. Akuisisi data laboratorium
Data yang dikumpulkan pada pengukuran di laboratorium adalah data suhu
udara manual dan data yang didapat dari instrumen MOTIWALI. Pengambilan
data MOTIWALI di atur setiap 1 menit selama 1 hari. Pengukuran data suhu
manual dilakukan setiap 1 jam sekali selama 1 hari. Data yang didapat dari
intrumen MOTIWALI berbentuk file dalam format *.txt yang didalamnya terdapat
data waktu, jarak, dan suhu (Lampiran 5). Untuk data suhu manual didapat data
waktu dan suhu udara. Pengambilan data suhu udara manual bertujuan untuk
mengkoreksi suhu udara yang didapat dari instrumen MOTIWALI yang dilakukan
dengan menggunakan termometer air raksa dengan skala 1 ºC. Selain data dari
instrumen MOTIWALI dan data suhu manual, pada pengukuran ini diperoleh data
acuan jarak sebesar 173 cm yang diukur menggunakan meteran dengan skala 1
mm untuk dibandingkan dengan data hasil pengolahan.
19
20
3.2.2. Akuisisi data lapang
Pada pengukuran di lapang didapatkan data dari instrumen MOTIWALI dan
data pengukuran pasang surut manual menggunakan mistar pasut dengan skala
setiap 1 cm dan dicatat pada datasheet (Lampiran 1). Instrumen MOTIWALI
diatur untuk pengambilan data setiap 5 menit. Pengukuran pasang surut manual
dilakukan setiap 15 menit.
3.3. Pengolahan Data
3.3.1. Pengolahan data laboratorium
Pengolahan data hasil pengukuran di laboratorium ditunjukkan pada
Gambar 8 di bawah ini. Proses pengumpulan data di laboratorium menggunakan
tiga alat utama yaitu MOTIWALI, termometer dan meteran.
Gambar 8. Diagram alir pengolahan data MOTIWALI di Workshop Akustik dan
Instrumentasi Kealautan, Departemen ITK, FPIK, IPB
21
Berdasarkan Gambar 8, MOTIWALI merekam data suhu udara dan jarak.
Selanjutnya, data yang terkumpul ditapis (filter) menggunakan metode moving
average filtering setiap lima deret data agar data yang dihasilkan menjadi lebih
halus (smooth). Pemilihan perata-rataan setiap lima deret data didasari pada mean
absolute percentage error (MAPE) yang paling kecil, dengan nilai sebesar
0,087313, dibandingkan dengan perata-rataan setiap tiga maupun sepuluh data,
dengan nilai MAPE masing-maasing sebesar 0,088861 dan 0,087431.Kemudian,
suhu udara yang dihasilkan oleh MOTIWALI dikoreksi dengan suhu udara
manual hasil pegukuran menggunakan termometer. Dari hasil koreksi ini,
menggunakan metode fitting linear least square, didapat persamaan suhu dalam
bentuk Y = aX+b (Persamaan 1), dimana Y adalah suhu udara manual dan X adalah
suhu udara MOTIWALI, serta a dan b adalah konstanta. Selanjutnya, suhu udara
dari MOTIWALI dimasukkan kedalam persamaan tersebut sehingga
menghasilkan suhu yang sudah terkoreksi.
Untuk melihat pengaruh suhu terhadap kecepatan suara, sesuai dengan teori
bahwa kecepatan suara akan meningkat dengan meningkatnya suhu (Maher,
2007), maka suhu udara terkoreksi dimasukkan ke dalam persamaan C = 331,5 +
0,6θ (Persamaan (2)), dimana C merupakan kecepatan suara dalam satuan m/s dan
θ adalah suhu udara dalam satuan ºC, sehingga menghasilkan kecepatan suara
terkoreksi. Sebagai catatan bahwa Persamaan (2) di gunakan untuk
mempermudah perhitungan (sengpielaudio.com, 2011). Dengan melihat
Persamaan (2), dapat disimpulkan bahwa perubahan suhu sebesar 1 ºC akan
menyebabkan penambahan kecepatan suara sebesar kurang lebih 0,6 m/s. Setelah
mendapatkan kecepatan suara yang telah terkoreksi, maka diperlukan waktu
22
tempuh yang dibutuhkan suara untuk terdeteksi oleh sensor untuk mengetahui
jarak terkoreksi.
Sebelumnya, harus diketahui dulu waktu tempuh dari refleksi gelombang
suara dengan pembagian antara jarak yang didapat MOTIWALI dengan kecepatan
suara konstan berdasarkan teori. Kecepatan suara berdasarkan teori yang
digunakan adalah kecepatan suara yang diukur oleh Laplace (1816) in
Weir (2001) sebesar 343 m/s. Kecepatan suara ini berada pada suhu 20ºC
dan pada tekanan udara 1 atm (untuk kecepatan suara pada suhu yang berbeda
dapat dilihat pada Lampiran 3). Jarak yang sudah terkoreksi dapat diperoleh
dengan mengalikan kecepatan suara terkoreksi di udara Persamaan (2) dengan
waktu yang didapat dari Persamaan (3). Persamaan (2) merupakan turunan dari
hubungan antara densitas, tekanan dan kecepatan suara di udara (Lampiran 4).
Untuk lebih jelas, persamaan-persamaan yang digunakan sebagai berikut:
π‘Œ = π‘Žπ‘‹ + 𝑏
……………………………….….
(1)
𝐢 = 331.5 + 0.6πœƒ
…………………………………..
(2)
…………………………………..
(3)
π‘Šπ‘Žπ‘˜π‘‘π‘’ =
π½π‘Žπ‘Ÿπ‘Žπ‘˜ π‘€π‘‚π‘‡πΌπ‘Šπ΄πΏπΌ
𝐢 π‘‘π‘’π‘œπ‘Ÿπ‘–
π½π‘Žπ‘Ÿπ‘Žπ‘˜ π‘‡π‘’π‘Ÿπ‘˜π‘œπ‘Ÿπ‘’π‘˜π‘ π‘– = 𝐢 × π‘Šπ‘Žπ‘˜π‘‘π‘’
…………………………..
Keterangan:
Y = Suhu udara pengukuran termometer (ºC)
X = Suhu udara pengukuran MOTIWALI (ºC)
a
= Konstanta (0,9985)
b = Konstanta (3,539)
C = Kecepatan suara terkoreksi (m/s)
θ
= Suhu udara terkoreksi (ºC)
C teori = Kecepatan suara di udara (343 m/s)
(4)
23
3.3.2. Pengolahan data lapang
Pada pengolahan data hasil pengukuran lapang terdapat perbedaan untuk
suhu pengukuran MOTIWALI. Suhu tersebut tidak dicocokkan (fitting) dengan
suhu manual karena sudah ada persamaan untuk mengetahui suhu udara
sebenarnya yang didapat dari pengukuran di laboratorium. Proses pengolahan
data hasil pengukuran lapang dapat di lihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Diagram alir pengolahan data MOTIWALI di lapang
Data yang didapat dari pengukuran menggunakan MOTIWALI, baik jarak
maupun suhu, ditapis (filter) menggunakan metode moving average filtering.
Selanjutnya, pengolahan data lapang dilakukan seperti langkah pengolahan data
laboratorium. Akan tetapi, untuk data lapang tidak perlu lagi pencocokan data
24
suhu karena pada pengolahan data laboratorium sebelumnya telah didapat
Persamaan (1), sehingga suhu hasil pengukuran MOTIWALI menjadi suhu
terkoreksi setelah dimasukkan kedalam Persamaan (1). Setelah itu, suhu
terkoreksi digunakan untuk mencari kecepatan suara terkoreksi dengan
menggunakan Persamaan (2). Data jarak yang didapat MOTIWALI digunakan
untuk mencari waktu tempuh perambatannya dengan pembagian jarak tersebut
terhadap kecepatan suara berdasarkan teori (lihat Persamaan (3)). Dari proses ini
dapat diketahui jarak terkoreksi dengan menggunakan Persamaan (4). Jarak
terkoreksi bisa diolah lagi menjadi data kedalaman dengan menggunakan
Persamaan (5) di bawah.
π‘ƒπ‘’π‘Ÿπ‘’π‘π‘Žβ„Žπ‘Žπ‘› πΎπ‘’π‘‘π‘Žπ‘™π‘Žπ‘šπ‘Žπ‘› = 𝑏 − 𝑐
.....................................
(5)
Keterangan:
c
= Jarak yang terukur oleh MOTIWALI (cm)
b = Jarak dari dasar perairan ke permukaan sensor MOTIWALI (cm)
3.4. Analisis data
Analisis data dibagi menjadi dua yaitu analisis data untuk koreksi suhu dan
analisis data untuk menentukan faktor koreksi suhu.
3.4.1. Analisis data koreksi suhu
Analisis data dilakukan untuk mengoreksi suhu yang didapat MOTIWALI
dengan suhu udara sebenarnya yang diukur menggunakan termometer (suhu
manual) dengan cara analisis regresi linear menggunakan curve fitting tool yang
ada pada software MATLAB. Hasil akhir dari analisis ini berupa persamaan
regresi linear. Analisis ini dilakukan dengan memplotkan nilai kedua suhu
25
tersebut pada sumbu X dan sumbu Y dengan menggunakan MATLAB, dimana X
adalah suhu MOTIWALI dan Y adalah suhu manual.
3.4.2. Analisis data faktor koreksi suhu
Analisis data untuk menentukan faktor koreksi suhu dilakukan dengan
mencari nilai rata-rata dari selisih antara jarak acuan dan jarak koreksi suhu
(Persamaan (6)).
π΄π‘˜π‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘ π‘– =
π‘˜
𝑖 (π½π‘Žπ‘Ÿπ‘Žπ‘˜
π΄π‘π‘’π‘Žπ‘› −π½π‘Žπ‘Ÿπ‘Žπ‘˜ πΎπ‘œπ‘Ÿπ‘’π‘˜π‘ π‘– )
𝑛
...................
(6)
Keterangan:
i
= Data pertama
k = Data ke-k
n = Jumlah data
3.5. Metode Penempatan Alat
Penempatan alat dilakukan di tempat yang tidak terkena pengaruh
gelombang secara langsung, yaitu di darmaga pelabuhan kapal. Mistar pasut
ditempatkan dengan cara diikatkan ke badan darmaga secara tegak lurus. Untuk
alat MOTIWALI ditempatkan di darat dengan sensor menjorok ke laut dan
mengarah ke permukaan air laut (Gambar 10). Sensor transduser yang dimiliki
MOTIWALI menghasilkan gelombang akustik yang berfungsi mengukur jarak
dari sensor ke permukaan air laut.
26
Gambar 10. Penempatan MOTIWALI dan mistar pasut di lapang
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Koreksi Suhu
Koreksi suhu udara antara data MOTIWALI dengan suhu udara sebenarnya
(suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis
tersebut dihasilkan persamaan yang menghubungkan kedua parameter yang
dianalisis dengan persamaan Y = 0,9985X + 3,539 pada selang kepercayaan 95%,
dimana X adalah suhu udara yang terukur oleh MOTIWALI dan Y adalah suhu
manual. Gambar 11 merupakan grafik koreksi kedua suhu tersebut.
Gambar 11. Grafik koreksi suhu
Jumlah data yang digunakan dalam melakukan koreksi sebanyak 25 data,
baik MOTIWALI maupun manual. Hal ini disebabkan karena keterbatasan dari
data suhu manual yang ada, sehingga suhu MOTIWALI disesuaikan dengan suhu
manual. Oleh karena suhu manual dan MOTIWALI tidak memiliki waktu
pengukuran yang tepat sama, sehingga pemilihan data MOTIWALI dilakukan
dengan melihat waktu pengukuran yang terdekat dari waktu pengambilan data
27
28
suhu manual. Setelah mengevaluasi data menggunakan persamaan yang
diperoleh, untuk suhu MOTIWALI sebesar 21,6 ºC di udara yang sebenarnya
suhu memiliki nilai sebesar 25,1 ºC. Suhu MOTIWALI sebesar 23,6 ºC suhu
udara sebenarnya memiliki nilai 27,1 ºC. Sehingga dapat diketahui bahwa antara
suhu MOTIWALI dan suhu udara sebenarnya memiliki perbedaan sebesar 4,5 ºC.
Selain menghasilkan persamaan regresi linear, pencocokan (fitting) data
menggunakan metode analisis regresi linear juga menghasilkan beberapa
parameter fitting, diantaranya adalah (r-square) (r2) dan root mean square error
(rmse). Nilai r-square (r2) atau dalam Walpole (1993) disebut koefisien
determinasi contoh dari hubungan antara suhu MOTIWALI dan suhu manual
sebesar 0,6107 yang berarti 61,07% dari nilai-nilai suhu manual (sumbu-y) dapat
dijelaskan oleh hubungan linear dengan nilai-nilai suhu MOTIWALI (sumbu-x).
Mengacu pada acuan nilai r2, data-data tersebut memiliki kecenderungan sebesar
0,3893 atau 38,93% tidak dapat dijelaskan berdasarkan hubungan linearnya. Dari
nilai r2 dapat diketahui koefisien korelasi (dilambangkan dengan r) sebesar
0,7814. Nilai root mean square error (rmse), semakin mendekati nilai nol maka
persamaan fitting yang digunakan akan semakin baik. Nilai rmse dari hubungan
suhu MOTIWALI dan manual adalah 0,4264. Berdasarkan nilai rmse yang
diperoleh dapat dikatakan bahwa persamaan yang didapat masih belum baik.
Untuk memperbaiki persamaan dapat dilakukan dengan memperbanyak data
pengukuran.
4.2. Jarak dan Suhu MOTIWALI
Pengukuran dilakukan untuk mendapatkan faktor koreksi dengan
menggunakan jarak tetap sebagai acuan sebesar 173 cm. Pada Gambar 12, data
29
suhu (garis warna merah) dan jarak MOTIWALI (garis biru) serta jarak acuan
(garis coklat).
Gambar 12. Grafik keluaran MOTIWALI
Berdasarkan Gambar 12, terlihat bahwa suhu dan jarak memiliki hubungan
yang berkebalikan sesuai dengan teori Branconi (1740) in Bohn (1988), yang
menyatakan peningkatan suhu di udara akan meningkatkan kecepatan suara di
udara. Dengan demikian, pada jarak yang tetap (fix) akan ditempuh dalam waktu
yang lebih singkat. Data jarak memiliki bentuk grafik yang sangat rapat karena
waktu pengambilan data (sampling) yang singkat. Pada lingkaran warna hitam
terdapat pencilan data yang diduga terjadi akibat kesalahan elektronik. Kesalahan
ini terjadi bias disebabkan karena tegangan masukan yang tidak seimbang,
sehingga menyebabkan adanya delay berlebih pada saat penerimaan sinyal balik
(echo) dari objek. Dugaan lain adalah terjadi efek Dopler yang menyebabkan
nilai dari pantulan bertambah. Bertambahnya nilai pantulan ini karena ada lebih
dari satu echo yang terdeteksi oleh sensor. Untuk mengurangi kesalahan data
30
akibat data pencilan ini, sebaiknya data tersebut dihilangkan atau di sortir terlebih
dahulu. Keterangan statistik dari data yang diperoleh data dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Deskriptif Statistik Data MOTIWALI
Parameter
Minimal
Maksimal
Mean
Median
Modus
Standar Deviasi
Range
MOTIWALI
Suhu (ºC) Jarak (cm)
21,6
168,2
23,8
171,4
22,5
169,1
22,3
169,2
22,3
169,2
0,5
0,2
2,2
3,2
Kisaran jarak selama pengukuran diperoleh nilai terbesar sebesar 171,4 cm
dan terkecil sebesar 168,2 cm dan memiliki nilai rata-rata sebesar 169,1 cm,
sedangkan suhu terbesar yaitu 23,8 ºC dan terkecil sebesar 21,6 ºC dengan ratarata nilai suhu sebesar 22,5 ºC. Ketelitian data MOTIWALI untuk pengukuran
jarak sebesar 169,1 ± 0,2 cm.
4.3. Jarak dan Suhu Hasil Koreksi
Sebelum data diproses menggunakan Persamaan (2) sampai Persamaan (4),
data tersebut ditapis menggunakan metode moving average filtering dengan
rentang data setiap lima data dan data suhu dikoreksi menggunakan persamaan
yang didapat dari koreksi suhu (Persamaan (1)). Pemilihan perata-rataan setiap
lima data didasari pada mean absolute percentage error (MAPE) yang paling
kecil, dengan nilai sebesar 0,087313, dibandingkan dengan perata-rataan setiap
tiga maupun sepuluh data, dengan nilai MAPE masing-maasing sebesar 0,088861
dan 0,087431. Jarak hasil koreksi ini sudah meminimalisir pengaruh suhu udara
terhadap jarak. Setelah meminimalisir pengaruh suhu, diharapkan jarak yang
31
didapat mendekati jarak sebenarnya atau jarak acuannya. Data suhu ditunjukkan
oleh garis warna merah, dan jarak ditunjukkan dengan garis biru, sedangkan jarak
acuan ditunjukkan oleh warna coklat (Gambar 13).
Gambar 13. Grafik suhu dan jarak terkoreksi
Berdasarkan Gambar 13, jarak hasil koreksi suhu lebih halus dibandingkan
dengan jarak sebelum dikoreksi akibat proses smoothing. Terlihat bahwa secara
umum pola garis yang dibentuk oleh jarak berlawanan dengan pola suhunya,
artinya jarak akan sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu. Adanya pola garis
jarak yang mengikuti pola garis suhu diduga karena faktor yang mempengaruhi
kecepatan suara tidak hanya suhu (Bohn, 1988).
Nilai jarak tertinggi sebesar 171,7 cm dan jarak terendah sebesar 170,6 cm
(Tabel 4). Apabila mengacu pada jarak tetap yang diketahui, yaitu 173 cm, maka
akurasi MOTIWALI mengalami peningkatan sebesar 46,1%. Ketelitian dari jarak
terkoreksi adalah 171,2 ± 0,1 cm. Data suhu yang telah dikoreksi memiliki nilai
tertinggi sebesar 27,3 ºC dan terendah sebesar 25,1 ºC dengan nilai rata-rata
32
sebesar 26,0 ºC. Ketelitian dari nilai suhu setelah dikoreksi adalah 26,0 ± 0,5 ºC
(Tabel 4).
Tabel 4. Deskriptif Statistik Data MOTIWALI Terkoreksi
Parameter
Minimal
Maksimal
Mean
Median
Modus
Standar Deviasi
Range
MOTIWALI
Suhu (ºC) Jarak (cm)
25,1
170,6
27,3
171,7
26,0
171,2
25,8
171,2
25,8
171,1
0,5
0,1
2,2
1,1
4.4. Perbandingan Jarak
Pada Gambar 14, ditunjukkan perbandingan nilai jarak yang didapat dari
keluaran MOTIWALI (garis warna biru) dengan jarak yang sudah terkoreksi
dengan suhu udara (garis warna merah) dan jarak acuan (garis warna coklat).
Gambar 14 . Grafik perbandingan jarak
Dengan nilai jarak acuan atau jarak tetap sebesar 173 cm, nilai jarak yang
dihasilkan dari hasil koreksi memiliki nilai yang semakin mendekati jarak acuan
33
tersebut yaitu sebesar 171,7 cm. Apabila dibandingkan dengan jarak keluaran
sebelum dilakukan pengkoreksian terhadap suhu udara yang memiliki nilai jarak
sebesar 171,4 cm, maka jarak terkoreksi menjadi lebih akurat. Grafik jarak hasil
koreksi, memiliki pola yang lebih halus dibandingkan dengan grafik jarak
keluaran MOTIWALI dengan pola fluktuatif. Data yang ditandai dengan
lingkaran warna hitam (awal dan akhir susunan data), menunjukkan bahwa pada
suhu di atas 26,0 ºC (Gambar 13) diduga menyebabkan salah yang besar terhadap
jarak (Gambar 14).
Penentuan koefisien koreksi dibutuhkan untuk menambahkan nilai hasil
pengukuran MOTIWALI agar mendekati nilai keadaan sebenarnya, digunakan
Persamaan (6) dengan menentukan rata-rata dari selisih jarak tetap dikurangi
dengan jarak koreksi. Keterangan statistik data jarak dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Deskriptif Statistik Data Perbandingan Jarak
Parameter
Minimal
Maksimal
Mean
Median
Modus
Standar Deviasi
Range
Jarak (cm)
MOTIWALI
Koreksi
168,2
170,6
171,4
171,7
169,1
171,2
169,2
171,2
169,2
171,1
0,2
0,1
3,2
1,1
Gambar 15 menunjukkan perbandingan grafik jarak tetap (garis coklat)
dengan jarak terkoreksi (garis biru). Nilai jarak setelah dikoreksi memiliki
standar deviasi sebesar 0,1 (Tabel 5). Apabila membandingkan ketelitian antara
jarak keluaran MOTIWALI dan jarak koreksi didapat perbedaan yaitu jarak
MOTIWALI memiliki rentang yang lebih besar, 3,2 cm, sedangkan jarak koreksi
34
sebesar 1,1 cm, sehingga ketelitiannya menjadi semakin tinggi setelah dikoreksi.
Rata-rata dari selisih antara jarak tetap dikurangi dengan jarak terkoreksi suhu
udara adalah sebesar 1,8 cm, sehingga dapat dikatakan bahwa rata-rata akurasi
pengukuran adalah pada kisaran 1,8 cm.
Gambar 15. Grafik perbandingan jarak terkoreksi dan jarak tetap
4.5. Pengukuran Lapang Pasang Surut
Pengukuran lapang pasang surut dimaksudkan untuk menguji kinerja alat
ketika digunakan pada pengukuran sebenarnya. Selain untuk menguji kinerja alat,
pengukuran lapang pasang surut juga bertujuan untuk mengetahui secara visual
pola pasang surut yang terbentuk selama pengukuran. Pengukuran pasang surut
dengan menggunakan MOTIWALI dilakukan dengan metode yang sama dengan
pengukuran di laboratorium. Namun demikian, pada pengukuran pasang surut di
lapang dilakukan dengan jarak yang berubah-ubah mengikuti gerakan naik
turunnya permukan air laut.
35
4.5.1. Jarak dan suhu koreksi di lapang
Gambar 16 merupakan grafik data keluaran MOTIWALI. Dari data tersebut
dihubungkan data suhu MOTIWALI (garis merah) dan jarak MOTIWALI (garis
biru).
Gambar 16. Grafik suhu dan jarak terkoreksi di lapang
Grafik jarak pada Gambar 16 adalah hasil pengukuran jarak dari permukaan
sensor (transduser) ke permukaan muka air laut, sehingga pola dari grafiknya
berkebalikan dengan pola gerakan naik turunnya muka air laut sebenarnya. Tanda
panah dengan keterangan surut menggambarkan keadaan surut pada kondisi
lapang sebenarnya, sedangkan tanda panah dengan keterangan pasang
menggambarkan keadaan pasang pada keadaan yang sebenarnya.
Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa jarak tertinggi dan terendah
yang didapat dari hasil pengukuran berturut-turut adalah 108,5 cm dan 54,3 cm,
dengan jarak rata-rata sebesar 84,6 cm. Untuk suhu tertinggi sebesar 30,5 ºC dan
terendah sebesar 24,5 ºC, dengan suhu rata-rata sebesar 26,7 ºC.
36
Tabel 6. Deskriptif Statistik Data MOTIWALI Terkoreksi di Lapang
Parameter
Minimal
Maksimal
Mean
Median
Modus
Standar Deviasi
Range
MOTIWALI
Suhu (ºC) Jarak (cm)
24,5
54,3
30,5
108,5
26,7
84,6
26,5
87,2
25,6
80,1
1,3
12,6
6,0
54,2
4.5.2. Perbandingan jarak di lapang
Jarak MOTIWALI sebelum dan sesudah dikoreksi dibandingkan untuk
melihat perbedaan pada peningkatan nilai jarak pada jarak setelah dikoreksi.
Gambar 17 merupakan grafik perbandingan kedua nilai jarak, dimana jarak
MOTIWALI ditunjukkan dengan garis warna merah dan jarak koreksi
ditunjukkan denagn garis warna biru.
Gambar 17. Grafik perbandingan jarak di lapang
37
Berdasarkan Gambar 17, setelah jarak ditapis dan dikoreksi, jarak menjadi
semakin halus dan mengalami peningkatan nilai sebesar 1,1 cm. Jarak yang
didapat MOTIWALI memiliki nilai tertinggi sebesar 108,6 cm dan terendah
sebesar 50,9 cm. Selang (range) data dari kedua jarak tersebut juga berbeda.
Jarak MOTIWALI memiliki selang data sebesar 57,7 cm, sedangkan jarak koreksi
memiliki selang data sebesar 54,2 cm. Dari selang data ini diketahui bahwa
amplitudo jarak koreksi menjadi menjadi lebih kecil dibandingkan dengan
amplitudo jarak MOTIWALI (Tabel 7).
Tabel 7. Deskriptif Statistik Perbandingan Jarak di Lapang
Parameter
Minimal
Maksimal
Mean
Median
Modus
Standar Deviasi
Range
Jarak (cm)
MOTIWALI
Koreksi
50,9
54,3
108,6
108,5
83,5
84,6
86,0
87,2
58,7
80,1
12,6
12,6
57,7
54,2
4.5.3. Pasang surut
Pengukuran lapang pasang surut dilakukan di perairan Pulau Pramuka yang
termasuk dalam wilayah Laut Jawa. Laut Jawa merupakan perairan dangkal
dengan kedalaman meningkat dari 20 m hingga lebih dari 60 m (Koropitan dan
Ikeda, 2008). Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan dua alat ukur, yaitu
MOTIWALI (automatic recording) dan Mistar Pasut (manual recording).
Pengukuran manual dilakukan untuk dibandingkan dengan pengukuran
menggunakan MOTIWALI. Grafik tinggi muka air (sea level) berdasarkan
pengukuran manual (menggunakan mistar pasut) ditunjukkan dengan garis warna
38
merah, sedangkan pengukuran menggunakan MOTIWALI ditunjukkan dengan
garis warna biru (Gambar 18).
Gambar 18. Grafik pengukuran pasang surut
Grafik pasang surut pada Gambar 18 dibagi berdasarkan hari yang diberi
keterangan pada bagian atas gambar tersebut. Hari ke-1 memiliki nilai tertinggi
sebesar untuk MOTIWALI dan Manual, masing-masing 11,2 cm dan 13,4 cm,
sedangkan nilai minimumnya sebesar -24 cm dan -21,6 cm untuk MOTIWALI
dan Manual. Hari ke-2 memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan pada Hari
ke-1 yaitu sebesar 30,2 cm untuk MOTIWALI dan 30,9 cm untuk Manual. Nilai
terendah dari MOTIWALI dan Manual pada Hari ke-2 sebesar -15,7 cm dan -16,6
cm. Untuk lebih jelas, nilai-nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Penyebab
terjadinya perbedaan nilai dari hasil kedua pengukuran tersebut adalah
kekurangakuratan pada saat pengukuran menggunakan mistar pasut diakibatkan
karena terjadi paralaks mata. Selain itu, skala yang digunakan kurang teliti yaitu
hanya sebesar 1 cm. Namun demikian, dengan perbedaan yang kecil ini, dapat
dikatakan bahwa MOTIWALI sudah baik untuk mengukur pasang surut air laut.
39
Tabel 8. Deskriptif Statistik Pengukuran Pasang Surut
Sea Level (cm)
Parameter
Minimal
Maksimal
MOTIWALI
Hari ke-1
Hari ke-2
-24,0
-15,7
11,2
30,2
Mistar Pasut
Hari ke-1
Hari ke-2
-21,6
-16,6
13,4
30,9
Berdasarkan Gambar 18 dapat dilihat bahwa pengukuran pasang surut
menggunakan MOTIWALI memiliki pola yang serupa dengan pengukuran pasang
surut menggunakan mistar pasut. Pengukuran pasang surut menggunakan
MOTIWALI dan mistar pasut memiliki perbedaan yang terlihat dari grafik
MOTIWALI lebih halus dibandingkan dengan pengukuran Manual. Perbedaan
ini terjadi karena MOTIWALI memiliki sampling rate yang tinggi yaitu setiap 5
menit, sedangkan pengukuran Manual dilakukan setiap 15 menit. Jika melihat
grafik pasang surut pada Hari ke-1, terlihat bahwa pasang tertinggi terjadi pada
waktu malam hari mendekati waktu pergantian hari antara pukul 18:00:00 WIB
sampai pukul 00:00:00 WIB. Selanjutnya diikuti dengan dua kali surut dan satu
kali pasang yang tidak terlalu tinggi pada selang waktu antara pukul 06:00:00
WIB sampai pukul 18:00:00 WIB.
Hari ke-2 terjadi dua kali pasang dan satu kali surut, surut pertama terjadi
antara pukul 12:00:00 WIB sampai pukul 18:00:00 WIB. Selang waktu antara
pukul 18:00:00 WIB sampai pukul 06:00:00 WIB terjadi pasang yang lebih tinggi
dibandingkan Hari ke-1 dengan puncak mendekati pukul 00:00:00 WIB. Surut
kedua terjadi pada selang waktu antara pukul 06:00:00 WIB sampai pukul
12:00:00 WIB. Menurut Suyarso (1987), karakteristik pasang surut di perairan
dangkal memiliki waktu dari surut ke pasang yang lebih kecil dibandingkan
40
dengan dari pasang ke surut. Hal ini dapat dilihat pada garis hitam (surut ke
pasang) dan garis hijau putus-putus (pasang ke surut) pada Gambar 18.
Tabel 9 menggambarkan nilai Tidal Range (tunggang pasut) antara setiap
pasang dan surut yang terjadi. Tidal Range adalah selisih antara pasang tertinggi
dan surut terendah. Pasang 1-1 menjelaskan pasang pertama yang terjadi pada
Hari ke-1, sedangkan Pasang 2-1 menjelaskan pasang pertama yang terjadi pada
Hari ke-2. Begitu juga dengan surut, Surut 1-1 menjelaskan surut pertama yang
terjadi pada Hari ke-1, Surut 2-1 adalah surut pertama pada Hari ke-2.
Tabel 9. Nilai Tunggang Pasut
Tidal Range
Nilai (cm)
Mistar
Pasut Keterangan
MOTIWALI
(Manua
l)
Pasang 1-1
dengan
Surut 1-1
23,1
Pasang 1-2
dengan
Surut 1-1
13,8
15,0
Pasang 2-1
dengan
Surut 2-1
45,9
47,5
Pasang 2-1
dengan
Surut 2-2
41,6
25,0
Hari ke-1
Hari ke-2
42,5
Jika melihat pola pasang surut yang terjadi dalam satu hari secara visual,
maka pola pasang surut yang terbentuk di perairan Pulau Pramuka masuk ke
dalam tipe pasang surut campuran dominansi tunggal. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan Pariwono (1987), perairan Laut Jawa didominasi oleh tipe pasang
surut harian tunggal, khusus di perairan Kepulauan Seribu tipe pasang surutnya
41
adalah campuran cenderung tunggal. Menurut Wyrtki (1961), Pasang surut
campuran condong harian tunggal merupakan pasut yang tiap harinya terjadi satu
kali pasang dan satu kali surut tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua
kali surut yang sangat berbeda dalam tinggi dan waktu.
Pasang 1-1 ke Surut 1-1 memiliki tunggang pasut sebesar 23,1 cm dan 25
cm untuk MOTIWALI dan Manual, sedangkan dari Pasang 1-2 ke Surut 1-1
memiliki tunggang pasut sebesar 13,8 cm dan 15 cm. Hari ke-2 memiliki nilai
tunggang pasut lebih besar dibandingkan dengan Hari ke-1. Hal ini disebabkan
karena pada saat pengukuran terjadi gelombang yang cukup besar disekitar
perairan Pulau Pramuka, sehingga menyebabkan permukaan air laut menjadi lebih
tinggi. Nilai tunggang pasut dari Pasang 2-1 ke surut 2-1 sebesar 45,9 cm dan
47,5 cm untuk MOTIWALI dan Manual, sedangkan dari Pasang 2-1 ke Surut 2-2
sebesar 41,6 cm dan 42,5 cm.
Wyrtki (1961) in Koropitan dan Ikeda (2008) mengatakan bahwa tipe
pasang surut campuran cenderung tunggal (predominantly diurnal) berhubungan
pada sifat dari perambatan pasang surut dari laut perbatasan. Pasut semi-diurnal
yang memasuki Laut Jawa lemah karena efek dari pembelokan gelombang pasut
yang menuju ke utara dari Samudera Hindia di Laut Flores. Selain itu, bagian
terkecil dari gelombang yang dibelokkan merambat jauh sampa ke Selat Makasar
dan bertemu dengan gelombang yang berasal dari Samudera Pasifik. Dilain sisi,
gelombang pasut diurnal yang lebih kuat dari Samudera Pasifik mampu masuk
sampai ke Laut Flores dan bertemu gelombang dari Samudera Hindia melewati
Kepulauan Paparan Sunda dan Laut Timor.
5.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu:
1.
Setelah dilakukan uji coba dengan mengoreksi suhu udara, MOTIWALI
menghasilkan peningkatan akurasi sebesar 46,1% dengan rata-rata akurasi
pengukuran adalah pada kisaran 1,8 cm.
2.
Faktor koreksi suhu menyebabkan bertambahnya nilai jarak dari
MOTIWALI. Pada jarak tetap sebesar 173 cm, MOTIWALI memiliki
ketelitian sebesar 171,2±0,1 cm.
3.
Pola pasang surut yang terbentuk di perairan Pulau Pramuka secara visual
yaitu tipe pasang surut campuran dominansi tunggal.
5.2. Saran
Untuk pengembangan alat MOTIWALI sebaiknya dilakukan juga
pengkoreksian terhadap faktor atmosfer yang lain, seperti kelembaban udara,
tekanan dan faktor lain yang berhubungan. Untuk pengukuran di laboratorium
akan lebih baik jika lamanya waktu pengambilan data diperpanjang, sehingga
menghasilkan data yang lebih baik. Pengambilan data pasang surut di lapang
sebaiknya dilakukan minimal 15 hari agar dapat mengetahui komponen pasang
surut, sehingga dapat dilakukan analisis lebih lanjut. Pengukuran pasang surut
sebaiknya dilakukan dengan cara tertutup atau menggunakan penutup seperti
paralon, agar data yang didapat tidak dipengaruhi oleh gelombang lain selain
pasang surut, Selain itu, konfigurasi penempatan alat memperhatikan titik ikat di
Bench Mark terdekat.
42
DAFTAR PUSTAKA
Betzler, K. 2003. Fitting in MATLAB. Fachberich Physik. Universitat
Osnabruck. Osnabruck.
Bohn, D. A. 1988. Environmental effect on the speed of sound. J. Audio Eng.
Soc. 36(4):223-231.
Cahyadi, A. 2007. Rekayasa instrumen kelautan melalui perubahan fase akustik
untuk penetuan level pasang surut. Jurnal Kelautan Nasional. 2(2):8693.
Callegaro, A. 2010. Forcasting methods for spare parts demand. Tesis. Corso
Di Laurea In Ingegneria Gestionale. Dipartimento Di Tecnica E
Gestione Dei Sistemi Indrustriali. Facolta’ Di Ingegneria. Universita’
Degli Studi Di Padova. Padova.
Djaja, R. 1987. Pengamatan pasang-surut laut untuk penentuan datum
ketinggian. In O. S. R. Ongkosongo dan Suyarso (Ed.), Pasang-surut.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanografi. Jakarta. Hal. 149-191.
Dronkers, J. J. 1964. Tidal computations in rivers and coastal waters. NorthHolland Publishing Company. Amsterdam.
Gencay, R. dan Stengos T. 1998. Moving average rules, volume and the
predictability of security return with feedforward network. Journal of
Forecasting. 17(5-6):401-414.
Hicks, S. D. 2006. Understanding tides. U. S. Departement of Commerce.
National Oceanic and Atmospheric Administration. National Ocean
Service. Maryland.
Ingard, U. 1953. A review of the influence of meteorological condition on sound
propagation. Journal of the Acoustical Society of America. 25(6):10371061.
IOC. 1994. Manual on sea level measurement an interpretation vol II - emerging
technologies. IOC Manual and Guides. UNESCO. Paris.
IOC. 2002. Manual on sea level measurement an interpretation vol III reappraisals and recommendation as of year 2000. IOC Manual and
Guides. UNESCO. Paris.
IOC. 2006. Manual on sea level measurement an interpretation vol IV - an
update to 2006. IOC Manual and Guides. UNESCO. Paris.
43
44
Iqbal, M. dan I. Jaya. 2011. Pengembangan dan uji coba instrumen pasang surut
menggunakan gelombang ultrasonik. Laboratorium Instrumentasi dan
Telemetri Kelautan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Koropitan, A. F. dan M. Ikeda. 2008. Three-dimensional modeling of tidal
circulation and mixing over the java sea. Journal of Oceanography.
64(1):61-80.
Lamancusa, J. S. 2000. Outdoor sound propagation.
http://www.me.psu.edu/lamancusa/me458/10_osp [7 Juli 2012].
Lasijo, R. S. 2001. Fitting kurva dengan menggunakan spline kubik.
INTEGRAL. 6(2):50-57.
Luknanto, D. 1992. Regresi Kuadrat Terkecil untuk Kalibrasi Bangunan Ukur
Debit. Penjelasan Cara Regresi untuk Aplikasi di Lapangan.
Yogyakarta.
Maher, R. C. 2007. Acoustical Characterization of Gunshot. Department of
Electrical and Computer Engineering. Montana State University.
Bozeman. USA.
Notodiputro, K. A., I. M. Sumertajaya, dan H. Simanjuntak. 1997. Penerapan
metode kuadrat terkecil terampat untuk analisis data kepekaan harga
dalam riset pemasaran (an application of the generalized least squares
method on analyzing price sensitivity data in marketing research).
Forum Statistika dan Komputasi. 2(1):46-54.
Ongkosongo, O. S. R. 1987. Penerapan pengetahuan data pasang-surut. In O. S.
R. Ongkosongo dan Suyarso (Ed.), Pasang-surut. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanografi. Jakarta. Hal. 241-255.
Pariwono, J. I. 1987. Gaya gerak pasang-surut. In O. S. R. Ongkosongo dan
Suyarso (Ed.), Pasang-surut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi. Jakarta. Hal. 13-23.
Pariwono, J. I. 1987. Kondisi pasang-surut di Indonesia. In O. S. R. Ongkosongo
dan Suyarso (Ed.), Pasang-surut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi. Jakarta. Hal. 135-147.
Pond, S. dan Pickard, G. L. 1983. Introductory dynamical oceanography second
edition. Redwood Burn Ltd. Wiltshire.
Pugh, D. T. 1987. Tides, surges, and mean sea level. John Wiley & Sons Ltd.
Wiltshire.
45
Riley, R. R. dan L. H. Lutgen. 1999. Using moving average to effectively
analyze trends. http://www.ianr.unl.edu/PUBS/farmmgt/g1055.htm [21
September 2011].
Sengpielaudio. Speed of sound - temperature matters, not air pressure.
http://www.sengpielaudio.com/DieSchallgeschwindigkeitLuftdruck.pdf
[1 April 2011].
Supangat, A. dan Susanna. 2003. Pengantar oseanografi. Pusat Riset Wilayah
Laut dan Sumberdaya Non-hayati. Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Suyarso. 1987. Muka laut rata-rata dan aplikasinya dalam jaring geodesi. In O.
S. R. Ongkosongo dan Suyarso (Ed.), Pasang-surut. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanografi. Jakarta. Hal. 192-200.
Walpole, R. E. 1993. Pengantar statistik edisi ke-3. Diterjemahkan oleh B.
Sumantri. PT. Gramedia. Jakarta.
Weir, G. J. 2001. Sound speed and attenuation in dense, non-cohesive airgranular systems. Chemical Engineering Science. 56(12): 3699–3717.
Wyrtki, K. 1961. Phyical Oceanography of the South East Asian Waters. Naga
Report Vol. 2. Scripps Institution Oceanography. La Jolla. California.
Zakaria, A. 2009. Dasar teori dan aplikasi program interaktif berbasis web untuk
menghitung panjang gelombang dan pasang surut. Bahan Kuliah
Rekayasa Pantai. Jurusan Teknik Sipil. Fakultas Teknik. Univeritas
Lampung. Bandar Lampung.
LAMPIRAN
46
47
Lampiran 1. Data sheet pengukuran pasang surut
DATA SHEET PENGUKURAN PASANG SURUT
Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
Hari/Tanggal
:
Waktu
:
Ketinggian Air Awal :
No.
Waktu (WIB)
1
00:00
2
00:15
3
00:30
4
00:45
5
01:00
6
01:15
7
.
.
.
.
.
dst
01:20
.
.
.
.
dst
Pengumpul Data :
Lat, Long
:
Ketinggian (cm)
Keterangan
48
Lampiran 2. Tabel komponen harmonik pasut yang penting
Nama Komponen
Tengah Harian
(Semi - diurnal):
- Principal lunar
- Principal solar
- Larger lunar elliptic
- Luni-solar semidiurnal
Harian (Diurnal)
- Luni-solar diurnal
- Principal lunar
diurnal
- Principal solar
diurnal
- Larger lunar elliptic
Periode Panjang
(Long - Period)
- Lunar fortnightly
- Lunar monthly
- Solar semi-annual
Sumber :
Simbol
Periode
(jam matahari)
Perbandingan
(relatif)
M2
S2
N2
K2
12,4
12,0
12,7
11,97
100
47
19
13
K1
O1
P1
Q1
23,9
25,8
24,1
26,9
58
42
19
8
Mf
Mm
Ssa
328,0
661,0
2191,0
17
9
8
Pond dan Pickard (1983)
49
Lampiran 3. Kecepatan suara di udara berdasarkan suhu
Sumber : Bohn (1988)
50
Lampiran 4. Kecepatan suara di udara
Berdasarkan Bohn (1988), persamaan umum untuk kecepatan suara adalah
π‘ƒπ‘œ
𝐢=
𝜌
𝛾
(1)
karena udara utamanya tersusun dari molekul diatomic, maka nilai γ dari udara
adalah 1.4, sehingga
𝐢=
1.4
π‘ƒπ‘œ
(2)
𝜌
dan PV = RT dan definisi dari densitas (ρ) adalah massa per unit volume, jadi
persamaan (2) dapat ditulis menjadi
𝐢=
1.4
𝑅𝑇
(3)
𝑀
karena R dan M konstan, turunan pertama dari kecepatan suara menjadi
πΆπ‘œ
𝑇
(4)
273
dimana T merupakan suhu dalam Kelvin dan Co setara dengan kecepatan suara
acuan di bawah kondisiyang telah ditetapkan.
𝑐 ≔ 331.45 1 +
𝑑
(5)
273
Untuk lebih mudah melakukan perhitungan, dapat digunakan Persamaan (6)
(sengpielaudio.com, 2011).
𝑐 = 331.5 + 0.6πœƒ
(6)
51
Lampiran 5. Contoh RAW data yang didapat MOTIWALI
Keterangan:
09-03-12.TXT = tanggal, bulan, dan tahun pengambilan data,
Baris ke-1
= Waktu perekaman data,
Baris ke-2
= Jarak (mm),
Baris ke-3
= Suhu (ºC).
*catatan =
Suhu terlebih dahulu dibagi 100.
Jarak terlebih dahulu dibagi 10 (cm)
52
Lampiran 6. Diagram alir keseluruhan perangkat lunak MOTIWALI
Mulai
Cek MMC, Sensor
Kirim SMS /
Modul RF
ya
tidak
Waktu Pengiriman Data
Kondisi Baik
ya
ya
Kirim data diset=1
tidak
Baca File Config
Space MMC
tidak
Kirim SMS
tidak
tidak
Baca Nilai RTC
Jam, Tanggal
GSM atau
Relay
ya
Alarm diset=1 dan
Jarak <
jarak_set_alarm
Waktu perekaman
memenuhi?
ya
Nyalakan Relay
tidak
For i=1:10
Simpan Data
i>10
Transmit
Sinyal
Waktu=0
Jumlah Jarak
Terima Sinyal
Waktu=t
Konversi
Jarak (t, c)
Baca Sesnor
Suhu (c)
ya
Hitung ratarata Jarak
Sumber : Iqbal dan Jaya (2011)
53
Lampiran 7. MOTIWALI
MOTIWALI Tampak Depan
Komponen Utama MOTIWALI
Sensor Suhu
Sensor
Transduser
Sensor Transduser dan suhu pada MOTIWALI
54
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, 14 Maret 1989 dari Ayah
H. Asep Djuanda S. dan Ibu Komariah. Penulis adalah anak
kedua dari tiga bersaudara. Tahun 2007 Penulis
menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri
(SMAN) 3 Bekasi, Jawa Barat. Penulis melanjutkan studi di
Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru
(SPMB) dengan program studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan.
Selama perkuliahan Penulis aktif diberbagai kegiatan kemahasiswaan
diantaranya: Dewan Formatur Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi
Kelautan (HIMITEKA) 2008-2009, pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu dan
Teknologi Kelautan (HIMITEKA) 2008-2009 sebagai Kepala Divisi Hubungan
Luar dan Komunikasi (Hublukom), dan Marine Instrumentation and Telemetry
(MIT) Club sebagai mahasiswa peneliti. Penulis juga aktif menjadi asisten
praktikum mata kuliah Dasar-dasar Instrumentasi Kelautan 2009, Oseanografi
Umum 2010, Pemetaan Sumberdaya Hayati Laut 2010-2011 dan 2011-2012, serta
Sistem Informasi Geografi Kelautan 2010-2011. Penulis juga pernah melakukan
Praktek Kerja Lapang (PKL) di Balai Pengembangan Budidaya Air Payau dan
Laut (BPBAPL) Karawang, Jawa Barat.
Sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dengan judul “Pengukuran Faktor
Koreksi Jarak pada Instrumen MOTIWALI”.
Download