27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Koreksi Suhu

advertisement
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Koreksi Suhu
Koreksi suhu udara antara data MOTIWALI dengan suhu udara sebenarnya
(suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis
tersebut dihasilkan persamaan yang menghubungkan kedua parameter yang
dianalisis dengan persamaan Y = 0,9985X + 3,539 pada selang kepercayaan 95%,
dimana X adalah suhu udara yang terukur oleh MOTIWALI dan Y adalah suhu
manual. Gambar 11 merupakan grafik koreksi kedua suhu tersebut.
Gambar 11. Grafik koreksi suhu
Jumlah data yang digunakan dalam melakukan koreksi sebanyak 25 data,
baik MOTIWALI maupun manual. Hal ini disebabkan karena keterbatasan dari
data suhu manual yang ada, sehingga suhu MOTIWALI disesuaikan dengan suhu
manual. Oleh karena suhu manual dan MOTIWALI tidak memiliki waktu
pengukuran yang tepat sama, sehingga pemilihan data MOTIWALI dilakukan
dengan melihat waktu pengukuran yang terdekat dari waktu pengambilan data
27
28
suhu manual. Setelah mengevaluasi data menggunakan persamaan yang
diperoleh, untuk suhu MOTIWALI sebesar 21,6 ºC di udara yang sebenarnya
suhu memiliki nilai sebesar 25,1 ºC. Suhu MOTIWALI sebesar 23,6 ºC suhu
udara sebenarnya memiliki nilai 27,1 ºC. Sehingga dapat diketahui bahwa antara
suhu MOTIWALI dan suhu udara sebenarnya memiliki perbedaan sebesar 4,5 ºC.
Selain menghasilkan persamaan regresi linear, pencocokan (fitting) data
menggunakan metode analisis regresi linear juga menghasilkan beberapa
parameter fitting, diantaranya adalah (r-square) (r2) dan root mean square error
(rmse). Nilai r-square (r2) atau dalam Walpole (1993) disebut koefisien
determinasi contoh dari hubungan antara suhu MOTIWALI dan suhu manual
sebesar 0,6107 yang berarti 61,07% dari nilai-nilai suhu manual (sumbu-y) dapat
dijelaskan oleh hubungan linear dengan nilai-nilai suhu MOTIWALI (sumbu-x).
Mengacu pada acuan nilai r2, data-data tersebut memiliki kecenderungan sebesar
0,3893 atau 38,93% tidak dapat dijelaskan berdasarkan hubungan linearnya. Dari
nilai r2 dapat diketahui koefisien korelasi (dilambangkan dengan r) sebesar
0,7814. Nilai root mean square error (rmse), semakin mendekati nilai nol maka
persamaan fitting yang digunakan akan semakin baik. Nilai rmse dari hubungan
suhu MOTIWALI dan manual adalah 0,4264. Berdasarkan nilai rmse yang
diperoleh dapat dikatakan bahwa persamaan yang didapat masih belum baik.
Untuk memperbaiki persamaan dapat dilakukan dengan memperbanyak data
pengukuran.
4.2. Jarak dan Suhu MOTIWALI
Pengukuran dilakukan untuk mendapatkan faktor koreksi dengan
menggunakan jarak tetap sebagai acuan sebesar 173 cm. Pada Gambar 12, data
29
suhu (garis warna merah) dan jarak MOTIWALI (garis biru) serta jarak acuan
(garis coklat).
Gambar 12. Grafik keluaran MOTIWALI
Berdasarkan Gambar 12, terlihat bahwa suhu dan jarak memiliki hubungan
yang berkebalikan sesuai dengan teori Branconi (1740) in Bohn (1988), yang
menyatakan peningkatan suhu di udara akan meningkatkan kecepatan suara di
udara. Dengan demikian, pada jarak yang tetap (fix) akan ditempuh dalam waktu
yang lebih singkat. Data jarak memiliki bentuk grafik yang sangat rapat karena
waktu pengambilan data (sampling) yang singkat. Pada lingkaran warna hitam
terdapat pencilan data yang diduga terjadi akibat kesalahan elektronik. Kesalahan
ini terjadi bias disebabkan karena tegangan masukan yang tidak seimbang,
sehingga menyebabkan adanya delay berlebih pada saat penerimaan sinyal balik
(echo) dari objek. Dugaan lain adalah terjadi efek Dopler yang menyebabkan
nilai dari pantulan bertambah. Bertambahnya nilai pantulan ini karena ada lebih
dari satu echo yang terdeteksi oleh sensor. Untuk mengurangi kesalahan data
30
akibat data pencilan ini, sebaiknya data tersebut dihilangkan atau di sortir terlebih
dahulu. Keterangan statistik dari data yang diperoleh data dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Deskriptif Statistik Data MOTIWALI
Parameter
Minimal
Maksimal
Mean
Median
Modus
Standar Deviasi
Range
MOTIWALI
Suhu (ºC) Jarak (cm)
21,6
168,2
23,8
171,4
22,5
169,1
22,3
169,2
22,3
169,2
0,5
0,2
2,2
3,2
Kisaran jarak selama pengukuran diperoleh nilai terbesar sebesar 171,4 cm
dan terkecil sebesar 168,2 cm dan memiliki nilai rata-rata sebesar 169,1 cm,
sedangkan suhu terbesar yaitu 23,8 ºC dan terkecil sebesar 21,6 ºC dengan ratarata nilai suhu sebesar 22,5 ºC. Ketelitian data MOTIWALI untuk pengukuran
jarak sebesar 169,1 ± 0,2 cm.
4.3. Jarak dan Suhu Hasil Koreksi
Sebelum data diproses menggunakan Persamaan (2) sampai Persamaan (4),
data tersebut ditapis menggunakan metode moving average filtering dengan
rentang data setiap lima data dan data suhu dikoreksi menggunakan persamaan
yang didapat dari koreksi suhu (Persamaan (1)). Pemilihan perata-rataan setiap
lima data didasari pada mean absolute percentage error (MAPE) yang paling
kecil, dengan nilai sebesar 0,087313, dibandingkan dengan perata-rataan setiap
tiga maupun sepuluh data, dengan nilai MAPE masing-maasing sebesar 0,088861
dan 0,087431. Jarak hasil koreksi ini sudah meminimalisir pengaruh suhu udara
terhadap jarak. Setelah meminimalisir pengaruh suhu, diharapkan jarak yang
31
didapat mendekati jarak sebenarnya atau jarak acuannya. Data suhu ditunjukkan
oleh garis warna merah, dan jarak ditunjukkan dengan garis biru, sedangkan jarak
acuan ditunjukkan oleh warna coklat (Gambar 13).
Gambar 13. Grafik suhu dan jarak terkoreksi
Berdasarkan Gambar 13, jarak hasil koreksi suhu lebih halus dibandingkan
dengan jarak sebelum dikoreksi akibat proses smoothing. Terlihat bahwa secara
umum pola garis yang dibentuk oleh jarak berlawanan dengan pola suhunya,
artinya jarak akan sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu. Adanya pola garis
jarak yang mengikuti pola garis suhu diduga karena faktor yang mempengaruhi
kecepatan suara tidak hanya suhu (Bohn, 1988).
Nilai jarak tertinggi sebesar 171,7 cm dan jarak terendah sebesar 170,6 cm
(Tabel 4). Apabila mengacu pada jarak tetap yang diketahui, yaitu 173 cm, maka
akurasi MOTIWALI mengalami peningkatan sebesar 46,1%. Ketelitian dari jarak
terkoreksi adalah 171,2 ± 0,1 cm. Data suhu yang telah dikoreksi memiliki nilai
tertinggi sebesar 27,3 ºC dan terendah sebesar 25,1 ºC dengan nilai rata-rata
32
sebesar 26,0 ºC. Ketelitian dari nilai suhu setelah dikoreksi adalah 26,0 ± 0,5 ºC
(Tabel 4).
Tabel 4. Deskriptif Statistik Data MOTIWALI Terkoreksi
Parameter
Minimal
Maksimal
Mean
Median
Modus
Standar Deviasi
Range
MOTIWALI
Suhu (ºC) Jarak (cm)
25,1
170,6
27,3
171,7
26,0
171,2
25,8
171,2
25,8
171,1
0,5
0,1
2,2
1,1
4.4. Perbandingan Jarak
Pada Gambar 14, ditunjukkan perbandingan nilai jarak yang didapat dari
keluaran MOTIWALI (garis warna biru) dengan jarak yang sudah terkoreksi
dengan suhu udara (garis warna merah) dan jarak acuan (garis warna coklat).
Gambar 14 . Grafik perbandingan jarak
Dengan nilai jarak acuan atau jarak tetap sebesar 173 cm, nilai jarak yang
dihasilkan dari hasil koreksi memiliki nilai yang semakin mendekati jarak acuan
33
tersebut yaitu sebesar 171,7 cm. Apabila dibandingkan dengan jarak keluaran
sebelum dilakukan pengkoreksian terhadap suhu udara yang memiliki nilai jarak
sebesar 171,4 cm, maka jarak terkoreksi menjadi lebih akurat. Grafik jarak hasil
koreksi, memiliki pola yang lebih halus dibandingkan dengan grafik jarak
keluaran MOTIWALI dengan pola fluktuatif. Data yang ditandai dengan
lingkaran warna hitam (awal dan akhir susunan data), menunjukkan bahwa pada
suhu di atas 26,0 ºC (Gambar 13) diduga menyebabkan salah yang besar terhadap
jarak (Gambar 14).
Penentuan koefisien koreksi dibutuhkan untuk menambahkan nilai hasil
pengukuran MOTIWALI agar mendekati nilai keadaan sebenarnya, digunakan
Persamaan (6) dengan menentukan rata-rata dari selisih jarak tetap dikurangi
dengan jarak koreksi. Keterangan statistik data jarak dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Deskriptif Statistik Data Perbandingan Jarak
Parameter
Minimal
Maksimal
Mean
Median
Modus
Standar Deviasi
Range
Jarak (cm)
MOTIWALI
Koreksi
168,2
170,6
171,4
171,7
169,1
171,2
169,2
171,2
169,2
171,1
0,2
0,1
3,2
1,1
Gambar 15 menunjukkan perbandingan grafik jarak tetap (garis coklat)
dengan jarak terkoreksi (garis biru). Nilai jarak setelah dikoreksi memiliki
standar deviasi sebesar 0,1 (Tabel 5). Apabila membandingkan ketelitian antara
jarak keluaran MOTIWALI dan jarak koreksi didapat perbedaan yaitu jarak
MOTIWALI memiliki rentang yang lebih besar, 3,2 cm, sedangkan jarak koreksi
34
sebesar 1,1 cm, sehingga ketelitiannya menjadi semakin tinggi setelah dikoreksi.
Rata-rata dari selisih antara jarak tetap dikurangi dengan jarak terkoreksi suhu
udara adalah sebesar 1,8 cm, sehingga dapat dikatakan bahwa rata-rata akurasi
pengukuran adalah pada kisaran 1,8 cm.
Gambar 15. Grafik perbandingan jarak terkoreksi dan jarak tetap
4.5. Pengukuran Lapang Pasang Surut
Pengukuran lapang pasang surut dimaksudkan untuk menguji kinerja alat
ketika digunakan pada pengukuran sebenarnya. Selain untuk menguji kinerja alat,
pengukuran lapang pasang surut juga bertujuan untuk mengetahui secara visual
pola pasang surut yang terbentuk selama pengukuran. Pengukuran pasang surut
dengan menggunakan MOTIWALI dilakukan dengan metode yang sama dengan
pengukuran di laboratorium. Namun demikian, pada pengukuran pasang surut di
lapang dilakukan dengan jarak yang berubah-ubah mengikuti gerakan naik
turunnya permukan air laut.
35
4.5.1. Jarak dan suhu koreksi di lapang
Gambar 16 merupakan grafik data keluaran MOTIWALI. Dari data tersebut
dihubungkan data suhu MOTIWALI (garis merah) dan jarak MOTIWALI (garis
biru).
Gambar 16. Grafik suhu dan jarak terkoreksi di lapang
Grafik jarak pada Gambar 16 adalah hasil pengukuran jarak dari permukaan
sensor (transduser) ke permukaan muka air laut, sehingga pola dari grafiknya
berkebalikan dengan pola gerakan naik turunnya muka air laut sebenarnya. Tanda
panah dengan keterangan surut menggambarkan keadaan surut pada kondisi
lapang sebenarnya, sedangkan tanda panah dengan keterangan pasang
menggambarkan keadaan pasang pada keadaan yang sebenarnya.
Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa jarak tertinggi dan terendah
yang didapat dari hasil pengukuran berturut-turut adalah 108,5 cm dan 54,3 cm,
dengan jarak rata-rata sebesar 84,6 cm. Untuk suhu tertinggi sebesar 30,5 ºC dan
terendah sebesar 24,5 ºC, dengan suhu rata-rata sebesar 26,7 ºC.
36
Tabel 6. Deskriptif Statistik Data MOTIWALI Terkoreksi di Lapang
Parameter
Minimal
Maksimal
Mean
Median
Modus
Standar Deviasi
Range
MOTIWALI
Suhu (ºC) Jarak (cm)
24,5
54,3
30,5
108,5
26,7
84,6
26,5
87,2
25,6
80,1
1,3
12,6
6,0
54,2
4.5.2. Perbandingan jarak di lapang
Jarak MOTIWALI sebelum dan sesudah dikoreksi dibandingkan untuk
melihat perbedaan pada peningkatan nilai jarak pada jarak setelah dikoreksi.
Gambar 17 merupakan grafik perbandingan kedua nilai jarak, dimana jarak
MOTIWALI ditunjukkan dengan garis warna merah dan jarak koreksi
ditunjukkan denagn garis warna biru.
Gambar 17. Grafik perbandingan jarak di lapang
37
Berdasarkan Gambar 17, setelah jarak ditapis dan dikoreksi, jarak menjadi
semakin halus dan mengalami peningkatan nilai sebesar 1,1 cm. Jarak yang
didapat MOTIWALI memiliki nilai tertinggi sebesar 108,6 cm dan terendah
sebesar 50,9 cm. Selang (range) data dari kedua jarak tersebut juga berbeda.
Jarak MOTIWALI memiliki selang data sebesar 57,7 cm, sedangkan jarak koreksi
memiliki selang data sebesar 54,2 cm. Dari selang data ini diketahui bahwa
amplitudo jarak koreksi menjadi menjadi lebih kecil dibandingkan dengan
amplitudo jarak MOTIWALI (Tabel 7).
Tabel 7. Deskriptif Statistik Perbandingan Jarak di Lapang
Parameter
Minimal
Maksimal
Mean
Median
Modus
Standar Deviasi
Range
Jarak (cm)
MOTIWALI
Koreksi
50,9
54,3
108,6
108,5
83,5
84,6
86,0
87,2
58,7
80,1
12,6
12,6
57,7
54,2
4.5.3. Pasang surut
Pengukuran lapang pasang surut dilakukan di perairan Pulau Pramuka yang
termasuk dalam wilayah Laut Jawa. Laut Jawa merupakan perairan dangkal
dengan kedalaman meningkat dari 20 m hingga lebih dari 60 m (Koropitan dan
Ikeda, 2008). Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan dua alat ukur, yaitu
MOTIWALI (automatic recording) dan Mistar Pasut (manual recording).
Pengukuran manual dilakukan untuk dibandingkan dengan pengukuran
menggunakan MOTIWALI. Grafik tinggi muka air (sea level) berdasarkan
pengukuran manual (menggunakan mistar pasut) ditunjukkan dengan garis warna
38
merah, sedangkan pengukuran menggunakan MOTIWALI ditunjukkan dengan
garis warna biru (Gambar 18).
Gambar 18. Grafik pengukuran pasang surut
Grafik pasang surut pada Gambar 18 dibagi berdasarkan hari yang diberi
keterangan pada bagian atas gambar tersebut. Hari ke-1 memiliki nilai tertinggi
sebesar untuk MOTIWALI dan Manual, masing-masing 11,2 cm dan 13,4 cm,
sedangkan nilai minimumnya sebesar -24 cm dan -21,6 cm untuk MOTIWALI
dan Manual. Hari ke-2 memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan pada Hari
ke-1 yaitu sebesar 30,2 cm untuk MOTIWALI dan 30,9 cm untuk Manual. Nilai
terendah dari MOTIWALI dan Manual pada Hari ke-2 sebesar -15,7 cm dan -16,6
cm. Untuk lebih jelas, nilai-nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Penyebab
terjadinya perbedaan nilai dari hasil kedua pengukuran tersebut adalah
kekurangakuratan pada saat pengukuran menggunakan mistar pasut diakibatkan
karena terjadi paralaks mata. Selain itu, skala yang digunakan kurang teliti yaitu
hanya sebesar 1 cm. Namun demikian, dengan perbedaan yang kecil ini, dapat
dikatakan bahwa MOTIWALI sudah baik untuk mengukur pasang surut air laut.
39
Tabel 8. Deskriptif Statistik Pengukuran Pasang Surut
Sea Level (cm)
Parameter
Minimal
Maksimal
MOTIWALI
Hari ke-1
Hari ke-2
-24,0
-15,7
11,2
30,2
Mistar Pasut
Hari ke-1
Hari ke-2
-21,6
-16,6
13,4
30,9
Berdasarkan Gambar 18 dapat dilihat bahwa pengukuran pasang surut
menggunakan MOTIWALI memiliki pola yang serupa dengan pengukuran pasang
surut menggunakan mistar pasut. Pengukuran pasang surut menggunakan
MOTIWALI dan mistar pasut memiliki perbedaan yang terlihat dari grafik
MOTIWALI lebih halus dibandingkan dengan pengukuran Manual. Perbedaan
ini terjadi karena MOTIWALI memiliki sampling rate yang tinggi yaitu setiap 5
menit, sedangkan pengukuran Manual dilakukan setiap 15 menit. Jika melihat
grafik pasang surut pada Hari ke-1, terlihat bahwa pasang tertinggi terjadi pada
waktu malam hari mendekati waktu pergantian hari antara pukul 18:00:00 WIB
sampai pukul 00:00:00 WIB. Selanjutnya diikuti dengan dua kali surut dan satu
kali pasang yang tidak terlalu tinggi pada selang waktu antara pukul 06:00:00
WIB sampai pukul 18:00:00 WIB.
Hari ke-2 terjadi dua kali pasang dan satu kali surut, surut pertama terjadi
antara pukul 12:00:00 WIB sampai pukul 18:00:00 WIB. Selang waktu antara
pukul 18:00:00 WIB sampai pukul 06:00:00 WIB terjadi pasang yang lebih tinggi
dibandingkan Hari ke-1 dengan puncak mendekati pukul 00:00:00 WIB. Surut
kedua terjadi pada selang waktu antara pukul 06:00:00 WIB sampai pukul
12:00:00 WIB. Menurut Suyarso (1987), karakteristik pasang surut di perairan
dangkal memiliki waktu dari surut ke pasang yang lebih kecil dibandingkan
40
dengan dari pasang ke surut. Hal ini dapat dilihat pada garis hitam (surut ke
pasang) dan garis hijau putus-putus (pasang ke surut) pada Gambar 18.
Tabel 9 menggambarkan nilai Tidal Range (tunggang pasut) antara setiap
pasang dan surut yang terjadi. Tidal Range adalah selisih antara pasang tertinggi
dan surut terendah. Pasang 1-1 menjelaskan pasang pertama yang terjadi pada
Hari ke-1, sedangkan Pasang 2-1 menjelaskan pasang pertama yang terjadi pada
Hari ke-2. Begitu juga dengan surut, Surut 1-1 menjelaskan surut pertama yang
terjadi pada Hari ke-1, Surut 2-1 adalah surut pertama pada Hari ke-2.
Tabel 9. Nilai Tunggang Pasut
Tidal Range
Nilai (cm)
Mistar
Pasut Keterangan
MOTIWALI
(Manua
l)
Pasang 1-1
dengan
Surut 1-1
23,1
Pasang 1-2
dengan
Surut 1-1
13,8
15,0
Pasang 2-1
dengan
Surut 2-1
45,9
47,5
Pasang 2-1
dengan
Surut 2-2
41,6
25,0
Hari ke-1
Hari ke-2
42,5
Jika melihat pola pasang surut yang terjadi dalam satu hari secara visual,
maka pola pasang surut yang terbentuk di perairan Pulau Pramuka masuk ke
dalam tipe pasang surut campuran dominansi tunggal. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan Pariwono (1987), perairan Laut Jawa didominasi oleh tipe pasang
surut harian tunggal, khusus di perairan Kepulauan Seribu tipe pasang surutnya
41
adalah campuran cenderung tunggal. Menurut Wyrtki (1961), Pasang surut
campuran condong harian tunggal merupakan pasut yang tiap harinya terjadi satu
kali pasang dan satu kali surut tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua
kali surut yang sangat berbeda dalam tinggi dan waktu.
Pasang 1-1 ke Surut 1-1 memiliki tunggang pasut sebesar 23,1 cm dan 25
cm untuk MOTIWALI dan Manual, sedangkan dari Pasang 1-2 ke Surut 1-1
memiliki tunggang pasut sebesar 13,8 cm dan 15 cm. Hari ke-2 memiliki nilai
tunggang pasut lebih besar dibandingkan dengan Hari ke-1. Hal ini disebabkan
karena pada saat pengukuran terjadi gelombang yang cukup besar disekitar
perairan Pulau Pramuka, sehingga menyebabkan permukaan air laut menjadi lebih
tinggi. Nilai tunggang pasut dari Pasang 2-1 ke surut 2-1 sebesar 45,9 cm dan
47,5 cm untuk MOTIWALI dan Manual, sedangkan dari Pasang 2-1 ke Surut 2-2
sebesar 41,6 cm dan 42,5 cm.
Wyrtki (1961) in Koropitan dan Ikeda (2008) mengatakan bahwa tipe
pasang surut campuran cenderung tunggal (predominantly diurnal) berhubungan
pada sifat dari perambatan pasang surut dari laut perbatasan. Pasut semi-diurnal
yang memasuki Laut Jawa lemah karena efek dari pembelokan gelombang pasut
yang menuju ke utara dari Samudera Hindia di Laut Flores. Selain itu, bagian
terkecil dari gelombang yang dibelokkan merambat jauh sampa ke Selat Makasar
dan bertemu dengan gelombang yang berasal dari Samudera Pasifik. Dilain sisi,
gelombang pasut diurnal yang lebih kuat dari Samudera Pasifik mampu masuk
sampai ke Laut Flores dan bertemu gelombang dari Samudera Hindia melewati
Kepulauan Paparan Sunda dan Laut Timor.
Download