faktor – faktor yang berhubungan dengan pemberian makanan

advertisement
FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
PEMBERIAN MAKANAN PRELAKTEAL SERTA IMPLIKASINYA
TERHADAP BERAT BADAN BAYI USIA 0-6 BULAN
DI PUSKESMAS ATAMBUA SELATAN
2013
RELATIONSHIP OF INTERNAL AND EXTERNAL FACTORS
TO PRELACTEAL FEEDING AND THE IMPLICATION
TO 0-6 PERIOD BABY’S WEIGHT
IN SOUTH ATAMBUA COMMUNITY HEALTH CENTER
2013
OLEH
Maria Elsiana Lanamana1
Ns. Yustina Purwarini Acihayati, M.Kep., Sp.Mat2
Dr. Ir. Wilhelmus Hary Susilo, MM., IAI3
ARTIKEL ILMIAH
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN JALUR A
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN Sint Carolus JAKARTA
Maret, 2014
1
Mahasiswa STIK Sint Carolus Jakarta
Dosen Tetap STIK Sint Carolus Jakarta
3
Dosen Tidak Tetap STIK Sint Carolus Jakarta
2
2
ABSTRAK
Asupan prelaktasi adalah makanan atau minuman buatan yang diberikan kepada bayi
sebelum kegiatan menyusui dimulai. Hal ini berbahaya karena menggantikan kolostrum,
menyebabkan infeksi, alergi, bingung puting, memungkinkan ibu menderita engorgement dan
mastitis, serta mengurangi bonding attachment. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
gambaran variabel independen, yaitu dukungan keluarga, petugas kesehatan, teman, budaya,
pekerjaan, pengetahuan, paritas; variabel antara, yaitu pemberian makanan prelakteal; dan
variabel antara yaitu berat badan bayi di Puskesmas Atambua Selatan serta hubungan antara
tiap variabel tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan desain cross-sectional dan metode
kuantitatif deskriptif. Jumlah sampel adalah 73 orang ibu yang memiliki bayi berusia 0 - 6
bulan dan dipilih secara acak. Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat statistik
deskriptif dan Chi-Square. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada dua fator yang
berhubungan secara signifikan, yaitu dukungan keluarga (p=0.000) dan dukungan petugas
kesehatan (p=0.000). Faktor yang tidak berhubungan signifikan antara lain teman (p=0.876),
budaya (p=0.228), pekerjaan (p=0.757), pengetahuan (p=0.114), paritas (p=0.979) dan
pemberian makanan prelakteal dan berat badan bayi tidak berhubungan secara signifikan
dengan p=0.732. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa dukungan keluarga dan petugas
kesehatan berperan penting dalam proses pemberian makan pada bayi. Oleh karena itu, peran
keluarga dan petugas kesehatan harus terus ditingkatkan dalam mencegah pemberian
makanan prelakteal pada bayi usia 0-6 bulan, antara lain melalui penyuluhan pada ayah,
masyarakat umum, dan meningkatkan jumlah dan motivasi petugas kesehatan.
Kata Kunci: makanan prelakteal, ASI Eksklusif, berat badan bayi usia 0-6 bulan
ABSTRACT
Prelacteal feeding is meals or drink that given to baby before breastfeeding is started. It is
harmful because replacing colostrums, causing an infection and allergic, disturbing baby’s
sucking reflex, breast engorgement and mastitis in mother, and less of bonding attachment.
The aims of the research are to know the description of factors such as family’s support,
professional health care support, friends, cultures, employment, mother’s knowledge, parity,
prelacteal feeding, and baby’s weight in South Atambua Community Health Center. Thus, we
examine the relationship of all factors to prelacteal feeding and relationship between
prelacteal feeding and baby’s weight. Research was done by spreading the questionnaires to
73 mothers randomly in cross-sectional design and quantitative method. Univariate analyses
were carried out to estimate the distribution of each factor. Chi-square test was used to
examine bivariate analyses. The result shows that only two factors have the significant
relationship, those are family’s support (p=0.000) and professional health care’s support
(p=0.000). Another factors have no significant relationship; friends (p=0.876), cultures
(p=0.228), employment (p=0.757), mother’s knowledge (p=0.114), and parity (p=0.979). And
prelacteal feeding and baby’s weight have no significant relationship (p=0.732). Finally, we
can conclude that family’s support and professionals’ health care have the important role to
improve infant feeding; to prevent prelacteal feeding and give the exclusive breast milk. And
it has been very important to educate the family, especially father, about the importance of
breastfeeding; and to increase the amount of professional health care.
Keywords: prelacteal feeding, exclusive breastfeeding, 0-6 period baby’s weight
3
I.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Banyak langkah yang ditempuh oleh lembaga – lembaga formal maupun non-formal
dalam upaya mencapai kesejahteraan manusia. World Health Organization (WHO) berusaha
meregulasi kesehatan masyarakat dunia dengan salah satu poinnnya adalah Deklarasi Hak
Anak untuk Menikmati Standar Kesehatan yang Tinggi melalui menyusui. (Depkes RI,
2008). WHO telah mencanangkan beberapa upaya untuk mencapai tujuan ini, secara khusus
bagi bayi dan ibu post partum diberlakukan peraturan untuk melakukan Inisiasi Menyusu
Dini paling lambat 1 jam setelah kelahiran, diteruskan dengan pemberian ASI eksklusif
sampai bayi berusia 6 bulan, pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) mulai
diperkenalkan pada usia 6 bulan dan ASI diteruskan hingga usia 2 tahun. (Dirjen Bina
Kesehatan Masyarakat Depkes RI, 2007).
Pelaksanaan kebijakan ini masih menghasilkan suatu kesenjangan di lapangan. Cakupan
pemberian ASI eksklusif pada seluruh bayi meningkat dari 58,9% pada tahun 2004 menjadi
61,3% pada tahun 2009 (Survei Sosial Ekonomi Nasional [Susenas], 2009). Hal ini belum
sesuai target yang diamanatkan Undang – Undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal
128 yaitu setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6
(enam) bulan, yang berarti target pencapaian harus mencapai 100% (www.depkes.go.id).
Data di atas juga didukung oleh hasil Riset Kesehatan Dasar 2010 yang menunjukkan fakta
memprihatinkan, karena Inisiasi Menyusu Dini (<1 jam setelah bayi lahir) hanya dilakukan
pada 29.3 % bayi dan hanya 74.7% yang mendapat kolostrum. Hasil penelitian Riskesdas
2010 menunjukkan bahwa makanan prelakteal yang paling banyak diberikan adalah susu
formula (71,3%). Di propinsi NTT sendiri tercatat ada 24,6 % bayi yang diberi makanan
prelakteal. Kabupaten Belu yang merupakan salah satu kabupaten di propinsi NTT, belum
memiliki data pasti mengenai pemberian ASI eksklusif dan makanan prelakteal. Puskesmas
Kecamatan Atambua Selatan yang merupakan salah satu puskesmas di kabupaten ini pun
belum memiliki data mengenai pemberian makanan prelakteal atau ASI Eksklusif. Dengan
demikian informasi mengenai ASI Eksklusif atau prelakteal belum terdata dengan baik di
wilayah Atambua Selatan (Riskesdas, 2010). Pemberian makanan prelakteal pada hakikatnya
tidak sesuai dengan kebutuhan bayi. Behrman, dkk (2000) memaparkan bahwa penelitian
nutrisi objektif bayi yang sedang bertumbuh (misalnya kecepatan pertumbuhan berat dan
panjang badan) menunjukkan perbedaan yang relatif kecil antara bayi yang minum ASI dan
bayi yang minum susu sapi.
4
Karena itu, perlu penelitian lebih lanjut tentang faktor – faktor yang berhubungan
dengan pemberian makanan prelakteal serta implikasinya pada berat badan bayi usia 0-6
bulan di Puskesmas Atambua Selatan.
Rumusan Masalah
Pemberian makanan prelakteal pada bayi usia 0-6 bulan masih ditemukan di mana
pemberian susu formula menempati urutan pertama dengan presentasi 71,3%. Di propinsi
NTT sendiri tercatat ada 24,6 % bayi yang diberi makanan prelakteal. Sedangkan di
Puskesmas Kecamatan Atambua Selatan belum ada data pasti mengenai bayi yang mendapat
ASI eksklusif. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti ingin melihat faktor
apa saja yang berhubungan dengan pemberian makanan prelakteal serta implikasinya pada
berat badan bayi usia 0-6 bulan di Puskesmas Atambua Selatan.
Tujuan
1. Tujuan Umum
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui faktor – faktor yang berhubungan
dengan pemberian makanan prelakteal serta implikasinya terhadap berat badan bayi usia
0-6 bulan di Puskesmas Atambua Selatan.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran distribusi frekuensi pemberian makanan prelakteal dan berat
badan bayi usia 0-6 bulan di Puskesmas Atambua Selatan.
b. Mengetahui hubungan antara dukungan keluarga, petugas kesehatan, dukungan
teman, budaya, pekerjaan, pengetahuan, dan paritas
dengan pemberian makanan
prelakteal pada bayi usia 0-6 bulan di Puskesmas Atambua Selatan
c. Mengetahui hubungan antara pemberian makanan prelakteal dan berat badan bayi usia
0-6 bulan di Puskesmas Atambua Selatan
Harapan
Peneliti berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat sebagai salah satu acuan untuk
memperbaiki asupan nutrisi bayi melalui data yang telah tersedia. Adanya penelitian ini pun
dapat menjadikan acuan bagi institusi dan mahasiswa dalam memberikan penyuluhan bagi
para orang tua dan calon orang tua.hasil akhir yang diharapkan adalah semua bayi di
Indonesia bisa mendapat ASI Eksklusif sesuai ketentuan WHO dan Kementerian Kesehatan.
5
II.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan menggunakan desain potong lintang atau cross-sectional
dengan metode kuantitatif deskriptif. Variabel – variabel dalam penelitian diobservasi pada
saat yang bersamaan melalui pengisian kuesioner dan analisis grafik z-score dengan
menggunakan software WHO - Antropometri. Populasi yang digunakan adalah 73 orang ibu
yang dipilih dengan teknik simple random sampling serta memiliki bayi usia 0-6 bulan,
KMS, dan berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Atambua Selatan pada bulan Agustus
2013. Peneliti menggunakan kuesioner dengan nilai Cronbach’s Alpha 0.713. Langkah –
langkah penelitian ini meliputi
memeriksa data (editing), memberi kode (coding),
memasukkan data (entry), verifikasi data (verify), cleaning, dan membuat dokumen file
analisis, sedangkan untuk teknik analisis data menggunakan rumus Chi-Square.
III.
HASIL PEMBAHASAN
Hasil Univariat
Tabel III.1 Distribusi Frekuensi Tiap Variabel
(dukungan keluarga, petugas kesehatan, teman, budaya,
pekerjaan, pengetahuan, paritas, makanan prelakteal,
serta berat badan bayi) di Puskesmas Atambua Selatan tahun 2013
Dukungan
keluarga
Petugas
kesehatan
Teman
Budaya
Pekerjaan
Pengetahuan
Paritas
Makanan
prelakteal
Berat badan
Variabel
Mendukung
Tidak mendukung
Mendukung
Tidak mendukung
Mendukung
Tidak Mendukung
Terpengaruh
Tidak terpengaruh
Bekerja
Tidak bekerja
Baik
Kurang
Primipara
Multipara
Diberikan
ASI E
BB sangat rendah
BB rendah
BB normal
BB lebih
6
N
35
38
25
48
12
61
26
47
20
53
56
17
27
46
38
35
3
9
48
13
%
47.9
52.1
34.2
65.8
16.4
83.6
35.6
64.4
27.4
72.6
76.7
23.3
37.0
63.0
52.1
47.9
4.1
12.3
65.8
17.8
Setiap variabel yang diteliti dilihat gambaran frekuensinya yang tercantum dalam tabel
III.1. Dalam tabel tersebut terlihat bahwa persentase pemberian ASI Eksklusif hanya 47.9%.
Hal ini menimbulkan keprihatinan walaupun jumlah bayi dengan berat badan normal lebih
dominan (65.8%). Dasar pengetahuan ibu yang baik (76.7%) tidak menjadi jaminan bahwa
bayi akan terus diberi ASI. Kenyataan bahwa peran keluarga yang sangat kuat bagi ibu
menyebabkan ibu pun memberikan makanan prelakteal bagi bayinya. Selain itu, banyaknya
ibu yang tidak bekerja atau menjadi ibu rumah tangga tidak berimplikasi terhadap pemberian
ASI secara eksklusif bagi bayinya. Ada pula ibu – ibu yang berstatus multi para (46%) dan
telah berpengalaman dalam memberikan makanan pada anak. Namun semua hal tersebut
tidak menjadi penentu bahwa seorang bayi akan tetap diberi ASI sesuai yang disarankan.
Hasil Bivariat
1. Hubungan antara faktor eksternal responden (dukungan keluarga, petugas kesehatan,
teman, dan budaya) terhadap pemberian makanan prelakteal
Diagram III.1. Hubungan antara Dukungan Keluarga,
Petugas Kesehatan, Teman, dan Budaya dengan
Pemberian Makanan Prelakteal di Puskesmas
Atambua Selatan tahun 2013
38.4%
42.5% 42.5%
9.6%
43.8%
39.7%
34.2%
30.1%
28.8%
23.3%
21.9%
9.6%
5.5%
Keluarga
(p=0.00;
OR=17.714;
CC=0.524)
8.2%8.2%
Petugas
Kesehatan
(p=0.00;
OR=9.574;
CC=0.419)
Teman
(p=0.87;
OR=0.906;
CC=0.018)
13.7%
Budaya
(p=0.228;
OR=1.818;
CC=0.14)
Tidak Mendukung Makanan Prelakteal dan Memberikan ASI
Tidak Mendukung Makanan Prelakteal namun Memberikan makanan Prelakteal
Mendukung Makanan Prelakteal namun Memberikan ASI
Mendukung Makanan Prelakteal dan Memberikan makanan Prelakteal
7
Penelitian ini membuktikan ada hubungan yang signifikan antara dukungan
keluarga terhadap pemberian makanan prelakteal. Secara statistik, hal ini dibuktikan
dengan nilai contingency coefficient yaitu 0.524 dan p-value, yaitu 0.000. Hasil OR (odds
ratio) menunjukkan bahwa responden yang mendapat dukungan keluarga berpeluang
17,714 kali memberikan makanan prelakteal kepada bayinya. Hasil ini sejalan dengan
pendapat James, Nelson, dan Ashwill (2013) mengenai peran keluarga terhadap
keputusan ibu dalam memberi bayi makan. Seorang ibu akan memilih untuk tidak
menyusui akibat kurangnya dukungan dari pasangannya atau keluarga. Studi lanjutan
dari Purdy (2010) menyebutkan bahwa informasi menyusui yang diperoleh ibu lebih
banyak berasal dari keluarga (62%). Ibu memperoleh dukungan keluarga dalam
pemberian makanan prelakteal ketika terjadi kesulitan dalam memberi ASI. Masalah ini
dapat berupa pemahaman ibu bahwa ASI-nya kurang, tidak kuat menyusui, atau kondisi
anak yang tidak mau menyusui. Pada umumnya, keluarga menyarankan ibu untuk
memberi susu formula, air putih, atau makanan lainnya untuk membantu agar ibu tidak
repot dalam menyusui. Heinig dalam Brown, Raynor, dan Lee (2011) menyatakan bahwa
para ibu mengakui bahwa mereka mendengarkan nasihat dari petugas kesehatan
professional tetapi terkadang mengabaikannya jika mereka merasa hal tersebut tidak
cocok dengan keadaan keluarganya. Jika mereka melakukan hal yang berlawanan dengan
nasihat yang direkomendasikan petugas kesehatan, mereka akan segan untuk meminta
bantuan ke petugas kesehatan dan lebih mencari pertolongan ke keluarga dan teman.
Selain dukungan keluarga, faktor petugas kesehatan pun berkontribusi terhadap
keputusan ibu dalam memberikan makanan prelakteal. Secara statistik, hal ini dibuktikan
dengan nilai contingency coefficient yaitu 0.419 dan p-value, yaitu 0.000 serta odds ratio
(OR) yang menunjukkan dukungan petugas kesehatan berpeluang 9,574 kali
mempengaruhi ibu untuk memberikan makanan prelakteal kepada bayinya. Penelitian
kualitatif yang dilakukan oleh Amy Brown, Peter Raynor, dan Michelle Lee (2011)
membenarkan hal tersebut. Petugas kesehatan mengeluh tentang keterbatasan waktu dan
tenaga untuk memberikan dukungan. Akibatnya, cukup banyak ibu yang tidak dimotivasi
dan didorong untuk tidak memberikan makanan prelakteal selama periode ASI Eksklusif.
Menurut pengamatan peneliti, adanya pegawai dengan status sukarela ini turut
mempengaruhi pelaksanaan program – program yang ditetapkan oleh Puskesmas.
Pegawai dengan status sukarela kurang diberi motivasi berupa insentif sehingga
kinerjanya pun menurun. Hal ini turut mempengaruhi pelayanan kesehatan ibu dan anak
di wilayah kerja Puskesmas ini. Selain itu, penyuluhan yang dilakukan masih terbatas
8
pada ibu bayi dan belum mencakup hingga ayah bayi tersebut. Hal ini diamati oleh
peneliti pada antenatal care yang dilakukan pada tiap – tiap posyandu, di mana para ibu
melakukannya tanpa didampingi suami. Peneliti berasumsi bahwa hal ini terjadi karena
tidak sebandingnya tenaga kesehatan yang turun ke lapangan untuk pemeriksaan
kehamilan dengan jumlah kliennya. Hal inilah yang memicu timbulnya kesan ‘tergesagesa’ dalam pelayanan antenatal care. Akibatnya, petugas kesehatan pun tidak
berkesempatan untuk memberi penyuluhan secara dini kepada ibu/calon ibu dalam
mempersiapkan pemberian ASI Eksklusif kepada bayinya.
Secara statistik, dukungan teman tidak berhubungan dengan pemberian makanan
prelakteal yang dibuktikan dengan nilai contingency coefficient yang kecil, yaitu 0.018
dan p-value sebesar 0.876 (>0.05). Jika ditinjau dari nilai odds ratio (OR), maka teman
yang mendukung pemberian makanan prelakteal berpeluang 0.906 kali bagi responden
untuk tidak memberikan ASI Eksklusif. Dari hasil ini dan dibandingkan dengan hasil
pada variabel lainnya, peneliti mencermati bahwa pengaruh keluarga dan petugas
kesehatan terhadap responden lebih kuat daripada teman, dengan asumsi teman
responden telah mendapatkan pengetahuan yang lebih memadai mengenai manfaat ASI
Eksklusif.
Pada faktor budaya terlihat bahwa ada tingkat keeratan antara budaya terhadap
pemberian makanan prelakteal, yang secara statistik dilihat dari coefficient contingency
sebesar 0.140. Namun, hubungan variabel ini bersifat tidak bermakna yang secara
statistik tampak dalam p-value, yaitu 0.228. Hasil statistik juga menunjukkan bahwa
responden yang masih mengikuti budaya setempat berpeluang sebesar 1,818 kali untuk
memberi bayinya makanan prelakteal. Jumlah responden yang tidak mengikuti budaya
setempat cukup banyak bila mempertimbangkan semakin majunya penyebaran informasi
yang mematahkan tradisi – tradisi lama di tempat tersebut. Hal ini akan tercermin dalam
variabel pengetahuan di mana sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang
baik, yang dapat mereka gunakan sebagai dasar pertimbangan untuk tidak mengikuti
budaya setempat yang menghalangi mereka untuk menyusui secara eksklusif.
9
Diagram III.2.
Hubungan antara Pekerjaan dan Pemberian Makanan Prelakteal
di Puskesmas Atambua Selatan tahun 2013
Pekerjaan
(p=0.757; OR=1,177; CC=0.036)
TidakKerja-ASI
15.1%
12.3%
35.6%
TidakKerja-MP
Kerja-ASI
37.0%
Kerja-MP
Dari diagram di atas, kita ketahui bahwa ada tidak hubungan signifikan antara
pekerjaan dan pemberian makanan prelakteal, namun masih terdapat tingkat keeratan
antara kedua variabel tersebut. Hal ini terlihat dari hasil perhitungan statistik yang
menunjukkan nilai contingency coefficient sebesar 0.036 dan p-value sebesar 0.757.
Dilihat dari perhitungan Odds Ratio, responden yang bekerja memiliki peluang
sebesar 1,177 kali untuk memberi anaknya makanan prelakteal daripada yang tidak
bekerja. Hasil tersebut bertolak belakang dengan pendapat James, Nelson, dan
Ashwill (2013) yang menyebutkan para ibu bekerja cenderung memilih susu formula
sebagai pengganti ASI pada saat mereka kembali bekerja. Di tempat penelitian ini,
peneliti mengamati bahwa jika rumahnya dekat ibu boleh kembali ke rumah untuk
menyusui anaknya setelah meminta izin pada atasannya. Bagi ibu yang bekerja di
tempat yang jauh dari rumah, mereka biasanya memerah ASI atau membawa bayinya
untuk dititipkan di rumah keluarga yang dekat dengan tempat kerjanya. Dengan
begitu, mereka masih bisa menyusui bayinya. Namun
keberadaan ibu di rumah
bersama bayi tidak serta – merta mendorong ibu untuk tidak memberikan makanan
prelakteal. Hal ini tercermin dari angka pemberian makanan prelakteal pada
responden yang tidak bekerja cukup tinggi yaitu 37%. Peneliti menghubungkan hal ini
dengan keterlibatan keluarga yang memiliki hubungan dalam memberikan pemberian
makanan prelakteal pada bayi. Ketika ibu berada di rumah, ibu cenderung mendapat
pengaruh dari anggota keluarga lain untuk tidak menyusui. Hal ini mendukung
penelitian Amy Brown, Peter Raynor, dan Michelle Lee (2011) yang menyebutkan
10
bahwa dengan tidak menyusui akan memberi kesempatan bagi orang lain untuk
menunjukkan perhatiannya pada bayi.
Diagram III.3.
Hubungan antara Pengetahuan dan Pemberian Makanan Prelakteal
di Puskesmas Atambua Selatan tahun 2013
Pengetahuan
(p=0.114; OR=2,444; CC=0.182)
15.1%
Pengetahuan kurang namun
memberikan ASI
8.2%
43.8%
Pengetahuan Kurang dan
memberikan makanan
prelakteal
Pengetahuan Baik dan
memberikan ASI
32.9%
Pengetahuan Baik namun
memberikan makanan
prelakteal
Penelitian juga membuktikan adanya hubungan yang tidak signifikan antara
pengetahuan terhadap pemberian makanan prelakteal, walaupun masih terdapat
tingkat keeratan. Secara statistik, hal ini dibuktikan dengan contingency coefficient
sebesar 0.182 dan p-value 0.114. Responden yang memiliki tingkat pengetahuan yang
baik berpeluang 2,444 kali memberikan makanan selain ASI kepada bayinya. Dari
penjelasan tersebut, penelitian ini menolak pernyataan hipotesis keenam, yaitu ada
hubungan antara pengetahuan dan pemberian makanan prelakteal. Hasil ini dapat
diartikan walau ibu memiliki pengetahuan yang baik mengenai dampak negatif
pemberian makanan prelakteal, hal tersebut tidak mempengaruhi ibu agar selalu
memberikan ASI Eksklusif bagi bayinya. Sesuai dengan pendapat Notoatmodjo dalam
Wawan dan Dewi (2010), ada beberapa tingkatan dari pengetahuan yang dimiliki oleh
seseorang, antara lain tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Ketika pengetahuan seseorang belum mampu menggerakkannya untuk bertindak
sesuai dengan pengetahuan tersebut, maka dapat dikatakan tingkatan pengetahuan
orang tersebut belum sampai pada tahap aplikasi. Hal ini juga dipertegas oleh hasil
penelitian lain dari Patel, Banerjee, dan Kaletwad (2011) yang menyebutkan bahwa
kegagalan Inisiasi Menyusu Dini berhubungan signifikan dengan pemberian makanan
prelakteal dengan p-value
sebesar 0.000. Artinya, walaupun ibu memiliki
pengetahuan yang baik dan selalu mendapat edukasi maternal, hal tersebut menjadi
11
tidak berarti karena sejak awal tidak dikenalkan dengan baik melalui Inisiasi Menyusu
Dini.
Diagram III.4.
Hubungan antara Paritas dan Pemberian Makanan Prelakteal
di Puskesmas Atambua Selatan tahun 2013
17.8%
32.9%
19.2%
30.1%
Primipara dan memberikan ASI
Primipara dan memberikan makanan
prelakteal
Multipara dan memberikan ASI
Paritas (p=0.979; OR=1.013; CC=0.003)
Multipara dan memberikan makanan
prelakteal
Tidak ada hubungan yang signifikan antara paritas terhadap pemberian
makanan prelakteal yang terlihat dalam penelitian ini (p-value 0.979), namun masih
terdapat keeratan (contingency coefficient 0.003) antara kedua variabel tersebut. Dari
perhitungan statistik, kita dapat mengetahui bahwa ibu multipara berpeluang 1,013
kali dalam memberikan makanan prelakteal kepada bayinya. Dari penjelasan tersebut,
penelitian ini menolak pernyataan hipotesis ketujuh, yaitu ada hubungan antara paritas
dan pemberian makanan prelakteal. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Phillips, Brett, dan Mendola (2011) di Amerika Serikat yang
menyatakan bahwa 70% ibu multipara mengulang durasi pemberian ASI kepada anak
kedua. Ibu yang menyusui anak pertamanya secara eksklusif selama 4 bulan
berpeluang 90.7 kali melakukan hal yang sama pada anak yang kedua dan hanya
berpeluang 7.2 kali untuk memberikan anak keduanya ASI selama kurang dari 4
bulan. Ibu mutipara tidak hanya cenderung untuk mengulang durasi pemberian ASI
Eksklusif kepada bayi keduanya, tetapi juga semua pengalamannya pada bayi yang
pertama sehingga tidak terjadi pemberian makanan prelakteal.
12
Tabel III.2.
Hubungan antara Pemberian Makanan Prelakteal dan Berat Badan Bayi
di Puskesmas Atambua Selatan tahun 2013
Makanan
Prelakteal
Tidak diberi
Diberi
Total
Berat
badan
sangat
rendah
n %
2 2.7
1 1.4
3 4.1
Klasifikasi Berat Badan
Berat
Berat
Berat
badan
badan
badan
rendah
normal
lebih
n %
3 4.1
6 8.2
9 12.3
n
24
24
48
%
32.9
32,9
65.8
n
6
7
13
%
8.2
9.6
17.8
Total
n
35
36
73
%
47.9
52.1
100
P
Value
Contingency
coefficient
0.732
0.132
Sesuai dengan hasil penelitian ini, pemberian makanan prelakteal tidak
memiliki hubungan yang signifikan terhadap berat badan bayi dengan p-value 0.732.
Meskipun demikian, masih terdapat keeratan antara kedua variabel tersebut dengan
contingency coefficient sebesar 0.132. Ditinjau dari hasil ini, peneliti menganalisis
bahwa ada faktor lain yang turut mempengaruhi berat badan, selain pemberian
makanan prelakteal itu sendiri; seperti jumlah dan jenis makanan prelakteal yang
didapat, genetik, metabolik, dan lingkungan (Hockenberry & Wilson, 2007). Sesuai
penelitian yang dilakukan Nirmala Husin (2009) bayi yang diberi susu formula
cenderung mengalami kelebihan berat badan. Dalam persiapannya, susu formula
harus ditakar hingga sesuai dengan kebutuhan bayi. Namun, susu formula yang juga
merupakan salah satu makanan prelakteal ini tidak menyebabkan kelebihan berat
badan pada bayi jika komposisi susu formula tidak mencukupi kebutuhan bayi (susu
formula terlalu encer) sehingga nutrisi yang masuk sedikit. Selain itu, bayi yang diberi
ASI harus bekerja keras menghisap puting susu sedangkan bayi yang minum dari
botol pasif saja menanti tetesan susu dari botol. Karena harus bekerja, bayi yang
mendapat ASI akan menghentikan hisapannya jika telah kenyang. Sebaliknya bayi
yang minum dari botol tidak akan berhenti meneguk, kecuali botolnya telah kosong.
Hal ini dapat mengarah ke obesitas jika yang dimunim adalah susu formula (Arisman,
2008). Hal yang sama juga terjadi apabila bayi diberi air putih, air gula, atau teh di
mana kandungan nutrisinya sangat kurang dan tidak sesuai dengan kebutuhan bayi.
13
IV.
PENUTUP
Kesimpulan
Hasil dari penelitian di atas menunjukkan bahwa dukungan keluarga dan petugas
kesehatan menjadi hal yang berhubungan signifikan menyangkut pemberian makanan pada
bayi usia 0-6 bulan (p=0.000). Karena itu, tindak lanjut terhadap penelitian ini dapat
dilakukan mulai dari meningkatkan dukungan keluarga dan petugas kesehatan terhadap
pemberian ASI. Walapun begitu, faktor – faktor lain tetap harus diperhatikan sehingga tetap
mendukung pemberian ASI sesuai yang direkomendasikan WHO dan Kementerian
Kesehatan.
Saran
Masyarakat akan mencapai derajat kesehatan yang tinggi apabila didampingi oleh
tenaga kesehatan yang cukup dari segi jumlah dan kompetensi. Karena itu, merupakan suatu
keputusan yang baik jika pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Atambua bersedia menambah
jumlah tenaga kesehatan di Puskesmas Atambua Selatan dan disertai dengan perhatian
khusus bagi mereka saat menjalankan tugas, misalnya insentif berupa biaya transportasi
untuk setiap kunjungan ke masyarakat. Selain itu, dengan mempertimbangkan latar belakang
dan kondisi institusi pada saat dilakukan penelitian (jumlah petugas, sarana dan prasarana),
peneliti memahami kendala yang harus dihadapi para petugas kesehatan. Namun hal ini harus
tetap ditangani dengan mengubah strategi pendekatan kepada klien dengan berbasis
komunitas. Misalnya melakukan penyuluhan pentingnya ASI Eksklusif dan bahaya makanan
prelakteal kepada para ayah yang dilakukan setiap Posyandu serta adanya konsultasi laktasi
yang dilakukan setiap bulan saat posyandu.
14
DAFTAR PUSTAKA
Arisman. (2008). Buku Ajar Ilmu Gizi: Gizi dalam daur Kehidupan. Jakarta: EGC
Behrman, R.E., Robert Kliegman, dan Ann M. Arvin. (2010). Ilmu Kesehatan Anak Nelson
Vol. 1 Ed. 15. Jakarta: EGC.
Brown, A., Petter, R., & Michelle, L. (2011). Healthcare Professionals’ and Mothers’
Perceptions of Factors that Influence Decisions to Breastfeed or Formula Feed Infants:
a Comparative Study. Journal of Advanced Nursing , 1993-2003.
Centers for Disease Controls and Prevention (9 September 2010). Growth Charts.,
http://www.cdc.gov/growthcharts/data/who/grchrt_girls_24lw_9210.pdf
diakses
tanggal 16 April 2013
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI. 2007. Modul
Advokasi Kesehatan Ibu, Neonatal, dan Anak (MNCH). Jakarta: PT. Nisarindo Jaya
Abadi
Departemen Kesehatan RI, Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat, Pemerintah Daerah
Nusa Tenggara Timur, The Indonesian – German Development Cooperation Health
Sector Support Team. (2008). Mengukur Pemenuhan Hak Asasi Manusia di Bidang
Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir Menggunakan Instrumen WHO: Laporan Tentang
Pelaksanaan Undang – Undang, Kebijakan, dan Standar Pelayanan di Tingkat
Provinsi dan Kabupaten. Jakarta: Depkes RI
Departemen Kesehatan RI. (2007). Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan Konseling
Menyusui dan Pelatihan Fasilitator Konseling Menyusui. Jakarta: Depkes RI.
Dinas Kesehatan Kabupaten Belu. (2012). Profil Puskesmas Atambua Selatan. Atambua:
Depkes RI
Dorland, Newman. (2002). Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta:EGC
ENN, IBFAN-GIFA, Fondation Terre des hommes, dll. (2007). Infant Feeding in
Emergencies Module 2 Version 1.1 for Health and Nutritions Workers in Emergency
Situations. Oxford, UK: ENN.
Fajar, Nurul. (2006). Hubungan antara Perilaku Eksklusif dan Status Kesehatan Bayi Usia 06 Bulan di Unit Yosef PKSC. STIK Sint Carolus, Jakarta: tidak dipublikasikan.
Ghozali, I. (2006). Statistik Non-Parametrik: Teori dan Aplikasi dengan Program SPSS.
Semarang: Badan Penerbit Undip.
Hastono, S. P. (2007). Basic Data Analysis for Health Research Training: Analisis Data
Kesehatan. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Henderson, J., & Redshaw, M. (2010). Midwifery factors Associated with Succesful
Breastfeeding. Child: Care, Health, and Development , 744-753.
Hockenberry, M. J., & Wilson, D. (2007). Wong's Nursing Care of Infants and Children 8th
Edition. St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier.
Husin, Nirmala. (2009). Perbedaan Peningkatan Berat Badan Bayi Usia 6 Bulan antara yang
Mendapat ASI Eksklusif dan Susu Formula di Wilayah Kerja Puskesmas Ba’a,
Kecamatan Lobalain, Kabupaten Rote Ndao. Universitas Muhamadiyah, Malang: tidak
dipublikasikan.
James, S. R., Nelson, K. A., & Ashwill, J. W. (2013). Nursing Care of Children: Principles
and Practices 4th Edition. St. Louis, Missouri: Elsevier.
Kliegman, Robert M., Karen J. Marcdante, Hal B. Jenson, dan Richard E. Behrman. 2006.
Nelson Essentials of Pediatrics 5th Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders
Laporan
Riset
Kesehatan
Dasar
2010
ditelusuri
dari
http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/buku_laporan/lapnas_riskesdas2010/L
aporan_riskesdas_2010.pdf diunduh tanggal 16 April 2013
15
Moehyi, S. (2008). Bayi Sehat dan Cerdas Melalui Gizi dan Makanan Pilihan. Jakarta:
Pustaka Mina.
Notoatmojo, S. (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta
P. S, Auditya. (31 Oktober 2011). Pertumbuhan Bayi Berdasar Berat Badan, Panjang Badan,
& Lingkar Kepala ditelusuri dari http://aufalactababy.com/tag/berat-badan/ diakses
tanggal 16 April 2013
Patel, A., A. Banerjee, dan A. Kaletwad. (2011). Timely Initiation of Breastfeeding and PreLacteal Feeding Rates in Hospital Delivered Babies in India and Associated Factors.
Pediatric Research, 52-58
Phillips, G., Brett, K., & Mendola, P. (2011). Previous Breastfeeding Practices and Duration
of Exclusive Breastfeeding in the United States. Matern Child Health Journal , 12101216.
Pollit, D., & Hungler, B. (2002). Nursing Research: Principles and Methods 6th Edition.
Philipina: Lippincott Williams and Wilkins.
Potts, Nicki L dan Mandleco, Barbara L. (2007). Pediatric Nursing: caring for Children and
Their Families 2nd Edition. Canada: Thomson Delmar Learning.
Prawirohartono, E. P. (2004). Malnutrisi Pada Anak. Yogyakarta: Penerbit Bintang
Cemerlang.
Pudjiadi, S. (1990). Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Purdy, I. B. (2010). Social, Cultural, and Medical Factors that Influence Maternal
Breastfeeding. Issues in Mental Health Nursing , 365-367.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Roesli, U. (2001). Bayi Sehat Berkat ASI Eksklusif. Jakarta: Percetakan Gramedia.
Roesli, U. (2010). Pengenalan Kode Pemasaran Pengganti ASI Internasional. In I. D.
Indonesia, Indonesia Menyusui (pp. 11-18). Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Sofyana, Haris. (2011). Perbedaan Dampak Pemberian Nutrisi ASI Eksklusif dan Non
Eksklusif Terhadap Perubahan Ukuran Antropometri dan Status Imunitas pada
Neonatus di RSUD Al Ihsan Provinsi Jawa Barat. Depok: tidak dipublikasikan.
Sudarma, M. (2008). Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.
Supariasa, I. D., Bakri, B., & Fajar, I. (2002). Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Susilo, W.H. (2013). Diktat Metodologi Penelitian: Program S1 Keperawatan Statistika &
Aplikasi Untuk Penelitian Ilmu Kesehatan. Jakarta: tidak dipublikasikan
Susilo, W.H. (2013). Prinsip-Prinsip Biostatistika dan Aplikasi SPSS pada Ilmu
Keperawatan. Jakarta: IN MEDIA
Judarwanto, Widodo. (2012, Agustus) Waspadai Pemberian Air Putih pada Bayi.,
www.health.kompas.com/read/2012/08/31/15101681/Waspadai.Pemberian.Air.Putih.pa
da.Bayi diakses tanggal 27 Mei 2013
Wawan, A., dan Dewi M. 2010. Teori dan Pengukuran: Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku
Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika
16
Download