69 PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK BALITA DI

advertisement
PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK BALITA DI
PUSKESMAS BLIMBING MALANG
Oleh
Ma’rufah
Prodi Analis Kesehatan-AAKMAL Malang
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisa hasil pemeriksaan di
laboratorium dan hasil pengamatan di lapangan. Penelitian ini mempunyai ruang lingkup
keilmuan parasitologi yang dilaksanakan pada anak usia balita di Puskesmas Blimbimng
Malang. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji
laboratorium, observasi, dan wawancara secara langsung.
Metode pengambilan data adalah metode yang digunakan untuk memperoleh data
penelitian, dalam hal ini termasuk cara pengumpulan spesimen dan metode pemeriksaan.
Spesimen yang digunakan adalah spesimen tinja dari beberapa anak balita di Puskesmas
Blimbimng Malang.
Sebelum melakukan pemeriksaan, kami terlebih dahulu
melakukan pengarahan kepada orang tua balita untuk menjelaskan maksud dan tujuan
pemeriksaan.
Metode Pemeriksaan parasitologi pada spesimen tinja dilakukan baik secara makroskopis
maupun mikroskopis. Pemeriksaan makroskopis meliputi pengamatan bau, warna dan
konsistensi tinja. Pemeriksaan makroskopis sebaiknya dilakukan sesegera mungkin. Hal
ini dikarenakan dalam waktu tertentu spesimen akan mengalami perubahan yang bisa
mempengaruhi hasil pemeriksaan.
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa infeksi soil transmitted helminths pada
kelompok anak balita di Puskesmas Blimbing Malang menunjukkan semua hasil negatif.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh lingkungan sekitar yang bersih, kebiasaan untuk
hidup bersih dan tingginya pengawasan orang tua terhadap anak.
PENDAHULUAN
Penyakit infeksi kecacingan masih banyak terjadi di masyarakat terutama di
daerah tropik dan subtropik, termasuk di Indonesia. Infeksi ini diakibatkan oleh kelompok
cacing soil transmitted helminths (STH), yaitu kelompok cacing yang penularannya
melalui tanah. Infeksi yang sering terjadi di daerah pedesaan dan daerah kumuh
perkotaan ini, dapat terjadi pada semua umur, baik pada balita, anak ataupun orang
dewasa, namun infeksi paling banyak terjadi pada anak usia balita karena pada usia
tersebut anak paling sering kontak dengan tanah, sering bermain di lingkungan terbuka,
serta sering mengkonsumsi makanan sembarangan yang mudah terkontaminasi tinja.
Individu dengan infeksi ringan cenderung mempunyai gejala ringan atau bahkan
tanpa gejala sedangkan infeksi berat dan lama sering menunjukkan keluhan dan tanda
klinis serta menimbulkan komplikasi. (Ideham, et al, 2007). Oleh sebab itu, penderita
penyakit kecacingan, seringkali baru menyadari bahwa dirinya menderita penyakit
kecacingan pada kondisi yang sudah kronis. (http://groups.yahoo.com/group/
pelita/message/4586). Pada kondisi infeksi berat dan kronis, dapat terjadi diare terus
menerus, malnutrisi dan anemia, pada akhirnya dapat mengakibatkan menurunnya daya
tahan tubuh, kecerdasan (intelegensia), serta gizi buruk. Hal ini berdampak pada kualitas
sumber daya manusia tiap individu juga menurun. (Sumanto, 2008).
Dari laporan WHO diketahui bahwa lebih dari 1 milyar orang menderita infeksi
cacing yang ditularkan melalui tanah, lebih dari 250 juta oleh Ascaris lumbricoides, 46
juta oleh Trichuris trichiura dan 151 juta oleh cacing tambang (Monstresor et al, 1998).
Cacing yang ditularkan melalui tanah yang prevalensinya cukup tinggi di Indonesia
69
adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang. Sedangkan
Strongyloides stercoralis prevalensinya sangat rendah. Hasil survey Subdit diare pada
tahun 2002 dan 2003 pada 40 Sekolah Dasar (SD) di 10 provinsi menunjukkan prevalensi
kecacingan berkisar antara 2,2% - 90,3%. (Depkes R.I, 2004).
Spesies cacing yang termasuk dalam kelompok soil transmitted helminth (STH)
ialah Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale (cacing tambang), Trichuris trichiura (cacing cambuk), serta Strongyloides
stercoralis (cacing benang). (Sutanto, et al, 2008). Tinggi rendahnya infeksi kecacingan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pencemaran lingkungan, keadaan sanitasi,
ada atau tidak ada dan perilaku manusia sangat berperan pada penularan infeksi cacing.
Pencemaran tanah dengan tinja merupakan media penularan yang baik bagi penularan soil
transmitted helminths (STH). Telur yang dibuahi akan berkembang dengan cepat pada
keadaan lingkungan yang menguntungkan dan menajdi telur yang infektif dalam waktu
beberapa minggu. Infeksi pada manusia terjadi melalui tangan yang tercemar telur cacing
yang infektif, lalu masuk ke mulut bersama makanan atau larva menembus kulit pada
infeksi cacing tambang. (Ulukanligil et al, 2001).
Faktor kebersihan pribadi juga merupakan salah satu hal penting, karena
manusia sebagai sumber infeksi dapat mengurangi kontaminasi / pencemaran tanah oleh
telur ataupun larva cacing atau sebaliknya akan menambah polusi lingkungan sekitarnya.
Perilaku yang dapat membantu pencegahan kecacingan adalah memelihara kebersihan
kuku tangan dan kaki serta kebersihan sesudah buang air besar. (Maharani, 2005).
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dikemukakan suatu rumusan masalah
yaitu, Berapa prevalensi infeksi kecacingan pada anak balita di Puskesmas Blimbing
Malang?
Tinjauan Pustaka
Nematoda
Nematoda berasal dari filum nemathelminthes. Nemathelminthes (cacing gilig)
mempunyai ciri umum bentuk tubuh yang silindrik, filariform, bilateral simetrik dengan
ukuran 2 mm – 30 cm. Cacing dari filum ini memiliki rongga tubuh serta alat pencernaan
yang lengkap, tetapi tidak dilengkapi sistem saraf dan sistem ekskresi yang sempurna.
Tubuhnya tidak bersegmen tetapi disertai kutikulum yang menutupi seluruh tubuhnya.
Nematoda bereproduksi dengan cara uniseksual. (Soedarto, 2008).
Nematoda memiliki daur hidup dan habitat yang berbeda dalam tubuh manusia,
di usus, jaringan atau organ manusia. (Gandahusada, 1998). Tiap spesies nematoda juga
mempunyai cara penularan atau transmisi yang berbeda, seperti per - oral (memakan
makanan yang terinfeksi telur berembrio atau kista berisi larva), subkutan (larva yang
menembus kulit), serta hewan perantara (arthropoda). Cacing dari kelas nematoda paling
banyak mengakibatkan soil transmitted helminthiasis, yaitu infeksi yang disebabkan oleh
penularan cacing melalui media tanah, seperti Ascaris lumbricoides, Ancylostoma
duodenale, Necator americanus, Trichuris trichiura, dan Strongyloides stercoralis.
(Onggowaluyo, 2002).
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa kelompok cacing nematoda yang hidup
di usus mempunyai tingkat penularan yang tinggi melalui media tanah atau yang biasa
disebut soil transmitted helminths, baik secara per - oral maupun secara subkutan. Bahkan
ada cacing nematoda yang transmisinya secara autoinfeksi, seperti Strongyloides
stercoralis. Adanya autoinfeksi bisa menyebabkan penderita terkena infeksi menahun.
(Prasetyo, 2002; Soedarto, 2008). Akan tetapi tidak semua cacing nematoda yang hidup
di usus merupakan kelompok soil transmitted helminths, seperti Trichinella spiralis dan
Enterobius
vermicularis. Sedangkan mekanisme penularan cacing nematoda yang hidup di jaringan
atau organ cenderung melalui hewan perantara (arthropoda), seperti Aedes culex,
Anopheles, dan Mansonia. (Prasetyo, 2002).
70
Tinggi rendahnya infeksi kecacingan dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya pencemaran lingkungan, keadaan sanitasi, ada atau tidak ada, aspek ekonomi,
tingkat pengetahuan, dan perilaku manusia sangat berperan pada penularan infeksi
cacing. (Maharani, 2005).
Soil Transmitted Helminths
Soil transmitted helminths merupakan kelompok cacing yang menyebabkan
infeksi kecacingan melalui media tanah. Sebagian besar nematoda merupakan soil
transmitted helminths. Penyebab soil transmitted helminths yang paling sering di
Indonesia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang.
(Gandahusada, 1998; Margono, 2003).
Tanah yang lembab dan suhu optimum merupakan kondisi yang baik bagi
kelompok cacing ini untuk berkembang biak. (Ideham, et al, 2007). Pada suhu 25˚30˚C, telur Ascaris lumbricoides akan matang dalam waktu kurang dari 3 minggu pada
tanah dengan kelembaban tinggi. Pada suhu 25˚- 30˚C, telur Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus akan menetas dalam waktu kurang dari 2 hari dan akan menjadi
larva rhabditiform, kemudian pada hari ke 5 - 8 larva rhabditiform akan menjadi larva
filariform pada tanah yang berpasir. Pada suhu 30˚C, telur Trichuris trichiura akan
matang dalam waktu 3 - 6 minggu pada tanah liat yang lembab. Sedangkan, pada suhu
23˚- 25˚C, larva filariform
Strongyloides stercoralis akan terbentuk dalam waktu kurang dari 2 hari di tanah yang
berpasir dan siklus bentuk bebas ada di tanah liat. (Sutanto, et al, 2008).
Tingginya prevalensi infeksi kecacingan atau soil transmitted helminthiasis di
beberapa negara, dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya letak geografis suatu
wilayah, kondisi iklim tropis atau subtropis, tingkat kelembaban yang tinggi, serta aspek
ekonomi sosial yang tergolong rendah, seperti di Indonesia. Oleh karena itu, tingkat
prevalensi soil transmitted helminthiasis di Indonesia sangat tinggi, terutama pada anak
usia balita. Hal ini dikarenakan anak usia balita paling sering kontak dengan tanah,
sering bermain di lingkungan terbuka, serta sering mengkonsumsi makanan sembarangan
yang mudah terkontaminasi parasit. (Onggowaluyo, 2002).
Kelompok Cacing Soil Transmitted Helminths
1 Ascaris lumbricoidess
Ascaris lumbricoides atau cacing gelang merupakan nematoda yang habitatnya di
lumen usus halus manusia. Memiliki masa hidup sekitar 12 – 18 bulan. Merupakan salah
satu nematoda yang transmisinya melalui media tanah. (Soedomo, 2008). Penyakit yang
disebabkan oleh cacing ini disebut askariasis. (Onggowaluyo, 2002). Selain askariasis,
larva Ascaris lumbricoides juga bisa menyebabkan Loeffler Syndrome di paru.
(Gandahusada, 1998).
1) Epidemiologi
Ascaris lumbricoides bersifat kosmopolit, yang artinya bisa hidup hampir di
semua tempat. Parasit ini merupakan salah satu penyebab soil transmitted helminths
yang paling banyak di Indonesia. Dari laporan WHO diketahui bahwa lebih dari 1 milyar
orang menderita soil transmitted helminthiasis, dan diantaranya lebih dari 250 juta orang
menderita askariasis. (Depkes R.I, 2004).
Penderita askariasis paling banyak adalah anak usia balita, hal ini dikarenakan
anak usia balita paling sering melakukan kontak dengan tanah, sering bermain di
lingkungan terbuka, serta sering mengkonsumsi makanan sembarangan yang mudah
terkontaminasi tinja. (Onggowaluyo, 2002). Parasit ini dapat berkembang dengan baik di
daerah yang panas dan lembab. (Ideham, et al, 2007).
71
2) Morfologi dan Daur Hidup
Telur Ascaris lumbricoides yang sudah dibuahi (fertilized) berbentuk bulat agak
oval dengan ukuran 45 x 60 µm, memiliki kulit ganda dengan batas yang jelas. Kulit luar
kasar, berwarna coklat, dan kadang tertutup tonjolan kecil (corticated). Kulit dalam yang
halus, tebal dan tidak berwarna, berisi suatu masa tunggal, bulat, bergranula, tidak
berwarna dan terletak di tengah.
Telur Ascaris lumbricoides yang belum dibuahi (unfertilized) berbentuk oval
dengan ukuran 40 x 90 µm, memiliki kulit ganda dengan batas yang tidak nyata, kulit luar
berwarna coklat dan kadang disertai tonjolan seperti bergelombang (corticated). Kulit
dalam agak tipis dan tidak berwarna, berisi butiran bulat besar yang tampak membias.
Lapisan albumin pada telur Ascaris lumbricoides kadang tampak seperti tonjolan
bergelombang, tetapi kadang tidak dapat dilihat karena sudah tidak memiliki lapisan
albumin (decorticated). (Bruckner, 1996; Prasetyo, 1996).
Morfologi cacing dewasa mirip dengan cacing tanah, dengan kedua ujung tubuh
membulat. Tubuh berwarna kuning kecoklatan, mempunyai kutikulum yang halus
dengan garis halus. Cacing dewasa memiliki 3 bibir, satu di bagian dorsal, dan yang lain
di bagian subventral. Cacing betina memiliki ukuran 22 – 35 cm, dengan bentuk tubuh
yang lurus, dan membulat. Sedangkan cacing jantan memiliki ukuran lebih kecil dari
cacing betina, yaitu 10 – 30 cm, dengan kedua ujung posterior runcing dan memiliki 2
spikulum yang melengkung, dengan panjang 2 mm. (Prasetyo, 2002).
Telur Ascaris lumbricoides yang sudah dibuahi dapat berkembang biak dengan
baik pada lingkungan yang sesuai, yaitu tanah liat yang lembab dan suhu 25 – 30º C.
Telur akan berubah menjadi bentuk yang infektif , yaitu telur yang mengandung embrio
atau larva dalam waktu 3 minggu. (Soedarto, 2008). Bila bentuk infektif ini tertelan
manusia, maka akan menetas di dalam usus menjadi larva. Larva kemudian menembus
dinding usus halus, lalu terbawa aliran darah menuju jantung, paru, dan alveolus (lung
migration). Lung migration terjadi dalam kurun waktu 10 – 14 hari. Larva kemudian akan
menuju faring melalui trakea yang merangsang timbulnya batuk. Pada saat batuk, larva
akan tertelan ke dalam esofagus, dan kembali menuju usus halus. Di usus halus, larva
kemudian berkembang menjadi cacing dewasa. (Samad, 2009). Selain bermigrasi ke
paru, kadang cacing dewasa juga bermigrasi ke anus, mulut, dan hidung. (Onggowaluyo,
2002).
3) Patologi dan Gejala Klinis
Cacing Ascaris lumbricoides dewasa seringkali menimbulkan gejala yang
ringan, atau bahkan tanpa gejala. Kadang penderita hanya mengalami gangguan ringan
seperti dispepsia, yaitu rasa mual pada perut, diare, serta konstipasi. Lung migration
kadang bisa menyebabkan Loeffler Syndrome, yaitu penderita mengalami batuk darah,
demam, dan peningkatan jumlah eosinofil dalam tubuh (eosinofilia), dimana kondisi ini
sering disalah-artikan sebagai TBC. (Gandahusada, 1998).
Gejala yang lebih berat biasanya disebabkan oleh larva. Larva ini hidup dengan
menyerap sari makanan pada tubuh inang, sehingga menyebabkan penderita mengalami
malabsorbsi, yaitu suatu keadaan dimana kemampuan usus untuk menyerap sari makanan
menjadi berkurang. Infeksi ini dapat menjadi lebih berat bila terjadi obstruksi usus (ileus).
(Ideham, et al, 2007). Migrasi cacing dewasa ke organ tubuh , seperti hidung, anus, dan
mulut juga bisa menimbulkan kelainan yang serius. (Onggowaluyo, 2002).
Ringannya gejala menyebabkan penderita baru menyadari bahwa dirinya
menderita penyakit kecacingan pada kondisi yang sudah kronis dan berat.
(http://groups.yahoo.com/group/pelita/message/4586). Pada kondisi infeksi kronis dan
berat dapat mengakibatkan menurunnya daya tahan tubuh, kecerdasan (intelegensia),
serta gizi buruk. (Sumanto, 2008).
72
4) Diagnosis
Diagnosis askariasis berdasarkan pemeriksaan parasitologi , baik secara
makroskopik maupun secara mikroskopik. Bila pada spesimen yang diperiksa ditemukan
bentuk diagnostik dari Ascaris lumbricoides, maka dapat disimpulkan bahwa pasien
menderita askariasis. Pemeriksaan imunologi dan radiologi juga bisa digunakan untuk
membantu menegakkan diagnosis askariasis. ( Brown Harold W, 1979).
Tabel 1. Pemeriksaan parasitologi Ascaris lumbricoides (Prasetyo, 2002)
No
Bahan Pemeriksaan
Telur
1.
2.
3.
4.
5.
Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan cairan empedu
Pemeriksaan bahan muntahan
Pemeriksaan biopsi jaringan paru
Pemeriksaan sputum
Bentuk Diagnostik
Larva
Cacing dewasa
√
5) Pencegahan dan Pengobatan
Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor yang dapat
menyebabkan infeksi kecacingan, melaksanakan prinsip-prinsip kesehatan lingkungan
yang baik, serta menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Pendidikan kesehatan pada
penduduk perlu dilakukan untuk menunjang upaya pencegahan penyebaran dan
pemberantasan askariasis. Pengobatan bisa dilakukan dengan memberi obat cacing
seperti mebendazol, piperasin, levamizol, pirantel pamoat, dan albendazol pada
penderita. (Onggowaluyo, 2002). Pengobatan massal juga perlu dilakukan, terutama di
daerah endemik, sehingga dapat memutus siklus hidup cacing ini. (Soedarto, 2008).
2 Necator americanus dan Ancylostoma duodenale
Necator americanus dan Ancylostoma duodenale merupakan soil transmitted
helminths yang habitatnya di mukosa usus halus. Penyakit yang disebabkan oleh cacing
ini disebut nekatoriasis dan ankilostomiasis. (Onggowaluyo, 2002). Selain nekatoriasis
dan ankilostomiasis, cacing ini juga bisa menyebabkan kardiomegali, pneumositis, dan
AKB (Gandahusada, 1998).
1) Epidemiologi
Cacing ini bersifat kosmopolit, yang artinya bisa hidup hampir di semua tempat,
sama seperti Ascaris lumbricoides. Kedua cacing ini paling banyak ditemukan di daerah
tropis dan subtropis. Cacing ini bisa tumbuh dengan baik pada lingkungan dengan suhu
dan kelembaban yang tinggi, seperti daerah perkebunan dan pertambangan. Oleh karena
cacing ini sering mengakibatkan infeksi pada pekerja tambang, maka cacing ini juga
disebut cacing tambang (hookworm). (Onggowaluyo, 2002). Merupakan penyebab soil
transmitted helminthiasis paling tinggi setelah Ascaris lumbricoides. (Depkes R.I, 2004).
2) Morfologi dan Daur Hidup
Telur Necator americanus dan Ancylostoma duodenale mempunyai bentuk yang
hampir sama, sehingga sulit dibedakan secara mikroskopik. Telur kedua cacing tambang
ini mempunyai ukuran 50 – 70 µm, berbentuk oval dengan kedua kutub agak mendatar.
Kulit telur ini sangat tipis, hanya tampak sebagai garis hitam. Bagian dalam berwarna abu
– abu, berisi 4 – 16 blastomer, tergantung tingkat maturitasnya. (Prasetyo, 2002).
Cacing tambang mempunyai 2 stadium larva, yaitu larva rhabditiform dan larva
filariform. Pada stadium larva rhabditiform, kedua cacing tambang ini memiliki bentuk
tubuh yang hampir sama, sehingga sulit dibedakan. Sedangkan pada stadium filariform
terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya.
73
Tabel 2. Perbedaan larva rhabditiform & larva filariform
Larva rhabditiform
Gemuk
Panjang 250 µm
Rongga mulut panjang
Tidak infektif
Bulbus esofagus
-
Larva filariform
Necator americanus
Ancylostoma duodenale
Langsing
Panjang 600 µm
Rongga mulut panjang
Infektif
Tombak esofagus
menonjol, sering terbuka
Ujung posterior lancip
Diselubungi sheat yang
bergaris melintang
Langsing
Panjang 600 µm
Rongga mulut panjang
Infektif
Tombak esofagus tidak
menonjol, sering tertutup
Ujung posterior tumpul
Diselubungi sheat tanpa
garis melintang (polos)
(Prasetyo, 2002)
Pada fase dewasa, Necator americanus memiliki bentuk tubuh yang mirip dengan
huruf S, rongga mulut yang disertai plat pemotong, serta tidak ada spinal kaudal pada
ekor cacing betina. Sedangkan Ancylostoma duodenale memiliki bentuk tubuh yang mirip
dengan huruf C, rongga mulut yang disertai gigi, serta adanya spinal kaudal pada ekor
cacing betina. (Prasetyo, 2002).
Telur cacing tambang dapat berkembang biak dengan baik pada lingkungan yang
sesuai, yaitu pada tanah liat dengan kelembaban tinggi dan dengan suhu 25 – 30º C. Pada
kondisi lingkungan seperti ini, telur akan menetas menjadi larva rhabditiform dalam waku
kurang dari 2 hari, kemudian pada hari ke 5 - 8 larva rhabditiform akan berubah menjadi
bentuk yang infektif, yaitu larva filariform pada tanah yang berpasir. Larva filariform bisa
bertahan hidup di tanah dalam waktu 3 – 4 minggu. (Gandahusada, 1998).
Larva filariform menginfeksi manusia melalui media tanah secara per - oral
dan subkutan, berbeda dengan Ascaris lumbricoides yang menginfeksi manusia hanya
secara per - oral. Setelah masuk ke dalam kulit, larva ini akan terbawa aliran darah
menuju paru, kemudian larva akan menuju faring melalui trakea. Setelah di dalam faring,
larva akan tertelan ke dalam usus. (Prasetyo, 2002). Larva kemudian akan melekat pada
mukosa usus halus dengan menggunakan plat pemotong ataupun gigi dan menghisap
darah dari tubuh inang. Sedangkan bila larva filariform Ancylostoma duodenale masuk
melalui tubuh secara per - oral, maka larva filariform bisa langsung melekat pada mukosa
usus halus tanpa melalui peredaran darah, paru, trakea, serta faring. (Onggowaluyo,
2002).
3) Patologi dan Gejala Klinis
Gejala klinis bisa ditimbulkan oleh larva maupun cacing dewasa, semakin banyak
jumlah larva yang masuk ke dalam tubuh, maka semakin berat pula gejala yang
ditimbulkan. Bila larva masuk ke dalam tubuh secara subkutan, maka bisa menimbulkan
rasa gatal. Rasa gatal ini bisa menyebabkan infeksi sekunder bila lesi meluas dan
menjadi terbuka, yang disebut ‘ground itch’. (Soedarto, 2008).
Selain ‘ground itch’, cacing tambang juga bisa menyebabkan pneumositis dan
nekrosis jaringan usus. Pneumositis diakibatkan oleh lung migration yang dilakukan oleh
larva cacing tambang. Lung migration kadang juga bisa menyebabkan reaksi alergi yang
ringan. Sedangkan nekrosis jaringan usus diakibatkan oleh larva yang melekat pada
mukosa usus halus penderita, sehingga menyebabkan perdarahan terus menerus. Larva ini
hidup di dalam usus dengan cara menghisap darah dari tubuh inang, yang mengakibatkan
penderita mengalami AKB (anemia kurang besi). Penderita akan tampak pucat karena
mengalami penurunan kadar hemoglobin. (Gandahusada, 1998). Pada infeksi akut sering
disertai dengan gejala sakit perut, muntah, serta diare dengan tinja berwarna merah pekat
74
akibat banyak darah yang keluar, dapat dijumpai eosinofilia perifer. (Ideham, et al, 2007;
Gandahusada, 1998)
4). Diagnosis
Diagnosis nekatoriais dan ankilostomiasis berdasarkan pemeriksaan parasitologi
secara mikroskopik. Bila pada spesimen yang diperiksa ditemukan bentuk diagnostik dari
cacing tambang, maka dapat disimpulkan bahwa penderita terinfeksi cacing tambang.
Pada pemeriksaan parasitologi cacing tambang perlu diperhatikan cara penanganan
spesimen. Spesimen tinja harus diperiksa dalam waktu 24 jam, agar telur tidak menetas
menjadi larva rhabditiform. Spesimen lebih baik diperiksa pada sediaan basah, karena
pewarnaan bisa berpengaruh pada hasil pemeriksaan. (Onggowaluyo, 2002).
Upaya pencegahan bisa dilakukan dengan lebih memperhatikan kebersihan diri
dan lingkungan. Pembuatan jamban serta pemakaian alas kaki bisa mencegah terjadinya
infeksi akibat cacing tambang. Penyuluhan juga perlu dilakukan untuk menambah
pengetahuan masyarakat sehingga bisa mencegah terjadinya penyebaran infeksi cacing
tambang. Pengobatan bisa ditujukan untuk mengatasi anemia maupun memberantas
cacing dalam tubuh. Beberapa obat yang bisa diberikan pada penderita adalah
mebendazol, albendazol, dan juga levamisol. Sedangkan untuk terapi anemia bisa
digunakan folic acid dan preparat besi. (Soedarto, 2008).
3 Trichuris trichiura
Trichuris trichiura merupakan soil transmitted helminth yang habitatnya di
mukosa usus besar manusia. Penyakit yang disebabkan oleh cacing ini disebut trikuriasis.
(Onggowaluyo, 2002). Infeksi cacing ini sering terjadi bersamaan dengan infeksi Ascaris
lumbricoides. Selain menyebabkan trikuriasis, cacing ini juga bisa mengakibatkan
perdarahan dan anemia. (Gandahusada, 1998).
1) Epidemiologi
Trichuris trichiura bersifat kosmopolit, yaitu tersebar hampir di semua tempat,
terutama di daerah yang panas dan lembab. Frekuensi penyebaran tertinggi terjadi di
daerah tropis, dengan hujan lebat serta banyak kontaminasi tinja. Frekuensi infeksi cacing
cambuk relatif tinggi, tetapi biasanya bersifat ringan. Infeksi ini sering terjadi bersamaan
dengan infeksi Ascaris lumbricoides. Anak usia balita lebih rentan terkena infeksi
dibandingkan orang dewasa. Hal ini dikarenakan anak usia balita lebih sering melakukan
kontak dengan tanah yang tercemar tinja. (Brown Harold W, 1979).
2) Morfologi dan Daur Hidup
Telur Trichuris trichiura berbentuk seperti tempayan dengan ukuran 50 µm x 32
µm. Memiliki 2 lapisan kulit, yaitu kulit tebal dan tipis yang berwarna oranye. Pada tiap
kutub dilengkapi tutup (plug) yang transparan. Berisi masa bergranula yang seragam
dengan warna kekuningan. (Prasetyo, 2002).
Cacing Trichuris trichiura dewasa memiliki bentuk seperti cambuk. Bagian
anterior merupakan 3/5 bagian tubuhnya, berbentuk lonjong seperti rambut. Sedangkan
2/5 bagian tubuh merupakan bagian posterior yang lebih tebal. Cacing jantan memiliki
panjang 3 - 4 cm, dengan bagian kaudal yang melengkung ke arah ventral. Memiliki
spikulum retraktil yang dilingkupi oleh selubung. Sedangkan cacing betina memiliki
panjang 4 – 5 cm, dengan bagian kaudal yang membulat dan tumpul seperti tanda koma.
(Prasetyo, 2002; Gandahusada, 1998).
Telur Trichuris trichiura yang sudah dibuahi akan berkembang menjadi telur
yang mengandung embrio atau larva dalam waktu 3 – 6 minggu. Telur bisa berkembang
jika berada pada lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah lembab dengan suhu 30˚C.
Bila telur yang berisi larva tertelan oleh manusia, maka telur akan menetas menjadi larva
di dalam usus halus. larva yang telah berkembang menjadi cacing dewasa akan masuk ke
75
daerah kolon, terutama daerah sekum. Cacing ini tidak mempunyai siklus paru (lung
migration). (Gandahusada, 1998). Cacing ini mempunyai masa hidup 4 - 6 tahun, tetapi
dapat juga terjadi infeksi yang menetap pada tubuh penderita hingga 8 tahun. (Ideham, et
al, 2007).
3) Patologi dan Gejala Klinis
Gejala klinis yang diakibatkan oleh cacing ini bisa bersifat berat maupun ringan,
atau bahkan tanpa gejala, sesuai jumlah cacing yang menginfeksi. Cacing ini melekat
pada mukosa usus besar dan hidup dengan cara menghisap darah dari tubuh inang,
sehingga menimbulkan perdarahan pada tempat perlekatan. Perdarahan yang terjadi terus
– menerus bisa mengakibatkan anemia pada penderita dengan kadar hemoglobin kurang
dari 5 g/dl.
Pada infeksi berat, cacing kadang terlihat di mukosa rektum yang
mengalami prolaps akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi. (Soedarto, 2008).
4) Diagnosis
Diagnosis trikuriasis berdasarkan pada pemeriksaan parasitologi, baik secara
makroskopis maupun secara mikroskopik. Pada pemeriksaan secara makroskopis, dapat
ditemukan adanya cacing dewasa pada spesimen mukosa dan prolapsus rektum.
Sedangkan pada pemeriksaan secara mikroskopis, dapat ditemukan bentuk telur yang
khas pada spesimen tinja. (Prasetyo, 2002). Pada infeksi ringan, perlu dilakukan berbagai
cara konsentrasi. (Harold, 1979).
Tabel 3. Pemeriksaan parasitologi cacing Trichuris trichiura (Prasetyo, 2002)
No
Bahan Pemeriksaan
Telur
1.
2.
Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan mukosa rektum
3.
Pemeriksaan prolapsus rektum
Bentuk Diagnostik
Cacing dewasa
(Prasetyo, 2002)
5). Pencegahan dan Pengobatan
Upaya pencegahan bisa dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya memberikan
penyuluhan, terutama pada anak usia balita , tentang sanitasi dan higiene seperti
membiasakan diri mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air. Pembuatan
jamban juga turut serta dalam upaya mencegah terjadinya soil transmitted helminthiasis.
Pengobatan pada penderita trikuriasis bisa dilakukan dengan memberi kombinasi pirantel
pamoat dan oksantel pamoat secara bersamaan dengan dosis pirantel pamoat 10 mg/kg
berat badan dan oksantel pamoat 10 – 20 mg/kg berat badan. (Soedarto, 2008).
4 Strongyloides stercoralis
Strongyloides stercoralis merupakan cacing nematoda yang penularannya melalui
media tanah secara subkutan. Selain itu cacing ini juga bisa menyebabkan autoinfeksi.
Penyakit yang disebabkan oleh cacing ini disebut strongiloidiasis. (Gandahusada, 1998;
Onggowaluyo, 2002). Infeksi cacing ini juga bisa menyebabkan kematian akibat
kerusakan otak, kegagalan pernafasan, dan peritonitis. (Bruckner, 1996).
1) Epidemiologi
Penyebaran infeksi cacing Strongyloides stercoralis sering ditemukan bersamaan
dengan infeksi cacing tambang, hanya saja frekuensinya lebih rendah di daerah beriklim
sedang. Cacing ini sering terdapat di daerah beriklim tropis dan subtropis, terutama di
daerah dengan sanitasi yang buruk. (Brown Harold W, 1979; Ideham, et al, 2007).
76
2) Morfologi dan Daur Hidup
Larva rhabditiform Strongyloides stercoralis berukuran 200 – 250 µm, memiliki
mulut yang pendek dengan dua pembesaran esofagus. Larva filariform memiliki ukuran
yang lebih panjang, yaitu sekitar 700 µm, dengan bentuk tubuh yang langsing tidak
berselubung, bermulut pendek, memiliki esofagus silindris serta ekor yang bercabang.
(Soedarto, 2008; Prasetyo, 2002).
Cacing dewasa Strongyloides stercoralis memiliki 2 bentuk, yaitu bentuk
parasitik dan bentuk bebas. Cacing yang parasitik berukuran sekitar 2,2 mm, berbentuk
seperti benang halus, tidak berwarna dan semi transparan. Cacing ini juga dilengkapi
dengan sepasang uterus dan memiliki sistem reproduksi partenogenesis. (Prasetyo, 2002;
Gandahusada, 1998). Sedangkan cacing dewasa yang hidup bebas (free living) berukuran
lebih pendek daripada cacing yang parasitik, memiliki esofagus yang mirip dengan
esofagus pada stadium larva rhabditiform, cacing jantan memiliki ekor yang bengkok dan
dilengkapi dengan spikulum. (Prasetyo, 2002).
3) Patologi dan Gejala Klinis
Gejala klinis bisa bersifat ringan, sedang ataupun berat, tergantung jumlah cacing.
Bila larva yang masuk ke dalam kulit dalam jumlah besar, maka akan menimbulkan rasa
gatal, atau bahkan dapat menyebabkan kelainan kulit, yaitu creeping eruption. Infeksi
ringan biasanya tanpa gejala. Infeksi sedang sering menimbulkan rasa mual, muntah,
diare dan juga konstipasi. Infeksi yang lebih berat terjadi dalam jangka waktu yang
panjang. (Gandahusada, 1998). Pada saat tertentu, dimana penderita mengalami
penurunan imunitas dan keseimbangan, maka infeksi akan semakin meluas yang ditandai
dengan peningkatan produksi larva di dalam tubuh. Hal ini dapat menyebabkan
peritonitis, kerusakan otak, dan juga kegagalan pernafasan yang bisa mengakibatkan
kematian. (Soedarto, 2008; Bruckner, 1996).
4) Diagnosis
Diagnosis strongiloidiasis berdasarkan pada pemeriksaan parasitologi, secara
mikroskopik. Pemeriksaan secara mikroskopik lebih baik menggunakan metode
konsentrasi atau metode biakan (Harada Mori), karena pada metode langsung jarang
ditemukan adanya bentuk diagnostik pada spesimen. Telur cacing lebih sering ditemukan
pada infeksi ringan, sedangkan pada infeksi berat kadang hanya bisa ditemukan
larvarhabditiform maupun larva filariform. (Onggowaluyo, 2002).
Tabel 4. Pemeriksaan parasitologi Strongyloides stercoralis. (Prasetyo, 2002)
No
Bahan Pemeriksaan
Telur
1.
2.
3.
4.
Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan biakan
Pemeriksaan perianal
Pemeriksaan cairan
duodenum
Bentuk Diagnostik
Larva
Rhabditiform
Filariform
Cacing
dewasa
free living
5) Pencegahan dan Pengobatan
Upaya pencegahan lebih sulit dilakukan dibandingkan pencegahan terhadap
infeksi cacing tambang. Hal ini dikarenakan adanya hewan sebagai hospes reservoir,
selain itu terjadinya autoinfeksi serta siklus hidup bebas di tanah menyebabkan sulitnya
pemberantasan penyakit ini. (Soedarto, 2008). Meskipun demikian, penyebaran infeksi ini
bisa diminimalkan dengan membiasakan diri memakai alas kaki serta menghindari
defekasi di sembarang tempat. (Onggowaluyo, 2002). Pengobatan sendiri dapat
77
dilakukan dengan memberikan tiabendazol dengan dosis 25 mg/kg berat badan setiap
hari, yang terbagi dalam 3 dosis dan diberikan selama 3 hari. Selain itu albendazol juga
dapat diberikan pada penderita dengan dosis tunggal 400 mg. (Soedarto, 2008).
5. Faktor Penyebab
1) Faktor Usia
Faktor usia sangat berpengaruh terhadap tingginya prevalensi
infeksi
kecacingan. Pada umumnya, anak usia balita lebih rentan terkena infeksi kecacingan
daripada orang dewasa. Hal ini dikarenakan anak usia balita paling sering melakukan
kontak dengan tanah, sering bermain di lingkungan terbuka, serta sering mengkonsumsi
makanan sembarangan yang mudah terkontaminasi tinja. (Onggowaluyo, 2002).
Minimnya pengawasan orang tua juga turut berperan dalam penularan infeksi kecacingan,
terkadang orang tua tidak membiasakan anak untuk memakai alas kaki, sehingga anak
rawan terkena infeksi kecacingan.
2) Faktor Lingkungan
Keadaan lingkungan juga bisa berpengaruh terhadap penularan infeksi
kecacingan, baik lingkungan rumah maupun lingkungan luar. Ada tidaknya sumber air
bersih dan jamban yang memenuhi syarat kesehatan juga turut menjadi tolak ukur.
Lingkungan dengan sanitasi yang baik dapat mencegah terjadinya penularan infeksi
kecacingan.
3) Faktor Kebersihan Diri
Kebersihan diri merupakan hal yang sangat penting yang harus diperhatikan.
Usaha untuk senantiasa menjaga kebersihan diri merupakan usaha untuk melindungi,
memelihara, dan mempertinggi derajat kesehatan manusia, sehingga tidak sampai
menimbulkan gangguan terhadap kesehatan. Kebersihan diri sendiri meliputi kebersihan
kulit, seperti mandi minimal 2x sehari, mandi dengan menggunakan sabun, serta menjaga
kebersihan pakaian. Selain itu, tiap individu harus membiasakan diri untuk melakukan
kebiasaan baik, seperti :
1. Menghindari kontak langsung dengan tanah, membiasakan diri untuk memakai alas
kaki.
2. Mencuci tangan sebelum dan setelah makan, serta setelah buang air.
3. Mencuci kaki dan tangan sebelum tidur.
4. Memotong kuku secara teratur.
5. Mencuci buah dan sayur yang tidak dimasak dengan air hangat.
Kebersihan diri sangat berhubungan erat dengan sanitasi lingkungan, artinya bila
melakukan upaya untuk menjaga kebersihan diri, maka harus didukung oleh sanitasi
lingkungan yang baik, seperti saat mencuci tangan sebelum makan, maka dibutuhkan air
yang bersih, yang tentunya harus berasal dari sumber air yang bersih dan memenuhi
syarat
kesehatan.
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16404/4/
Chapter%20II.pdf).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisa hasil pemeriksaan di
laboratorium dan hasil pengamatan di lapangan. Penelitian ini mempunyai ruang lingkup
keilmuan parasitologi yang dilaksanakan pada anak usia balita di Puskesmas Blimbimng
Malang.
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji
laboratorium, observasi, dan wawancara secara langsung.
Metode pengambilan data adalah metode yang digunakan untuk memperoleh
data penelitian, dalam hal ini termasuk cara pengumpulan spesimen dan metode
pemeriksaan.
78
Spesimen yang digunakan adalah spesimen tinja dari beberapa anak balita di
Puskesmas Blimbimng Malang. Sebelum melakukan pemeriksaan, kami terlebih dahulu
melakukan pengarahan kepada orang tua balita untuk menjelaskan maksud dan tujuan
pemeriksaan.
Metode Pemeriksaan parasitologi pada spesimen tinja dilakukan baik secara
makroskopis maupun mikroskopis.
Pemeriksaan makroskopis meliputi pengamatan bau, warna dan konsistensi tinja.
Pemeriksaan makroskopis sebaiknya dilakukan sesegera mungkin. Hal ini dikarenakan
dalam waktu tertentu spesimen akan mengalami perubahan yang bisa mempengaruhi
hasil pemeriksaan.
Pemeriksaan mikroskopis terdiri dari 3 cara, yaitu :
1. Cara Langsung.
2. Cara Konsentrasi.
a) Metode Endapan.
b) Metode Apung.
c) Metode Biakan (Harada Mori).
3. Cara Pengenceran. (Prasetyo, 2002).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pemeriksaan
Dari total 60 wadah penampung tinja yang dibagikan, didapatkan 24 sampel tinja
untuk pemeriksaan laboratorium, dengan rincian sebagai berikut :
Jenis Kelamin
Jumlah
Persentase (%)
Laki-laki
5
21%
Perempuan
19
79%
Total
24
100%
Dari tabel di atas, diketahui bahwa dari 24 sampel yang terkumpul didapatkan 5 sampel
dari anak laki – laki, dan 19 sampel dari anak perempuan.
Gambar . Diagram Sampel Pemeriksaan
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Laki-Laki Perempuan
Setelah dilakukan pemeriksaan parasitologi di laboratorium, didapatkan hasil
sebagai berikut :
Tabel 7. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
79
Hasil
Frekuensi
Persentase (%)
Positif
0
0
Negatif
24
100%
Total
24
100%
Sumberf: Data diolah
Dari tabel hasil pemeriksaan laboratorium diatas, dapat diketahui bahwa semua
sampel menunjukkan hasil yang negatif.
Pembahasan
Spesimen yang digunakan adalah spesimen tinja dari beberapa anak balita di
Puskesmas Blimbing Malang. Sebelum melakukan pemeriksaan, kami terlebih dahulu
melakukan pengarahan kepada orangtua balita untuk menjelaskan maksud dan tujuan
pemeriksaan. Setelah pengarahan, kami membagikan beberapa pot sampel kepada orang
tua balita , yang akan kami ambil secara berkala. Setelah didapatkan sampel pemeriksaan,
kami membawa sampel tersebut ke laboratorium Parasitologi Akademi Analis Kesehatan
Malang untuk dilakukan pemeriksaan makroskopis dan juga mikroskopis.
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Blimbing Malang, kami
mendapatkan 24 sampel tinja dari 60 pot sampel yang dibagikan, dengan rincian 19
sampel anak perempuan dan 5 sampel anak laki – laki. Dari 24 sampel tersebut,
semuanya memberikan hasil yang negatif. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
lingkungan sekitar yang bersih, kebiasaan untuk hidup bersih dan tingginya pengawasan
orang tua terhadap anak.
Lingkungan yang bersih, dimana tersedia sumber air bersih dan jamban yang
memenuhi syarat kesehatan, baik di lingkungan rumah, lingkungan bermain, maupun
lingkungan sekolah bisa meminimalkan risiko penularan penyakit kecacingan.
Kebiasaan untuk hidup bersih dan tingginya pengawasan orang tua terhadap anak,
juga turut berperan dalam menekan angka penularan kecacingan. Orang tua berperan aktif
dalam mencegah penularan penyakit kecacingan, seperti mencegah anak untuk
melakukan kontak langsung dengan tanah, membiasakan anak untuk selalu memakai alas
kaki serta mengajarkan anak untuk melakukan kebiasaan baik seperti :
1. Menjaga kebersihan kulit dengan mandi minimal 2x sekali, mandi dengan
menggunakan sabun, serta menjaga kebersihan pakaian.
2. Mencuci tangan sebelum dan setelah makan, serta setelah buang air.
3. Mencuci kaki dan tangan sebelum tidur.
4. Memotong kuku secara teratur.
5. Mencuci buah dan sayur yang tidak dimasak dengan air hangat.
Dengan membiasakan diri untuk selalu hidup bersih, secara tidak langsung bisa
meningkatkan derajat kesehatan manusia sehingga tidak sampai menimbulkan gangguan
terhadap kesehatan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa infeksi
soil transmitted helminths pada kelompok anak balita di Puskesmas Blimbing Malang
menunjukkan semua hasil negatif. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh lingkungan
sekitar yang bersih, kebiasaan untuk hidup bersih dan tingginya pengawasan orang tua
terhadap anak.
Saran
- Memberikan penyuluhan secara intensif pada orang tua agar lebih memperhatikan
lingkungan bermain anak.
80
- Mencuci sayur dan buah yang tidak dimasak dengan air hangat.
- Senantiasa menjaga kebersihan kulit, seperti mandi minimal 3x sehari, mandi dengan
menggunakan sabun, serta menjaga kebersihan pakaian.
- Menghindari kontak secara langsung dengan tanah, membiasakan diri untuk memakai
alas kaki.
- Senantiasa memotong kuku secara teratur.
- Senantiasa membiasakan diri untuk mencuci tangan sebelum dan setelah makan, serta
setelah buang air.
- Membiasakan diri untuk mencuci kaki dan tangan sebelum tidur.
- Memberikan obat cacing secara berkala kepada anak, yaitu setiap 6 bulan sekali.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2011.
Klasifikasi
Soil
Transmitted
Helminths.
Diunduh
dari
http://groups.yahoo.com/group/pelita/message/4586.pdf.
Anonim. 2011. Gambar Telur dan Cacing Dewasa Soil Transmitted Helminths. Diunduh
dari http://www.google.co.id.pdf.
Brown H. W. 1979. Basic Clinical Parasitology. Mereidith Corporation.
Departemen Kesehatan RI. 2004. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Cacingan.
Gandahusada S, et al. 1998. Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Gracia LS, Bruckner. 1996. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Jakarta : EGC.
Ideham B dan Pusarawati S. 2007. Helmintologi Kedokteran. Surabaya : Airlangga
University Press.
Institute of Tropical Disease Airlangga University. 2011. Hookworm Microscopy
Finding.
Diunduh
dari
http://itd.unair.ac.id/files/ebook/DPD/DPDx/HTML/
Frames/GL/Hookworm/body _Hookworm_mic1. htm.
Laboratory identification of parasite of public health concern. 2011. Parasite of The
Intestinal Tract. http://www.dpc.cdc.gov/dpdx.pdf.
Maharani A. 2005. Infeksi Nematoda Usus pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Karang
Mulya 02 Kecamatan Pegandon Kabupatan Kendal. In : Samad H. Hubungan
Infeksi dengan Pencemaran Tanah oleh Telur Cacing yang Ditularkan Melalui
Tanah dan Perilaku Anak Sekolah Dasar di Kelurahan Tembung Kecamatan
Medan Tembung.
Margono S S. 2003. Impotan Human Helminthiasis in Indonesia. In : Crompton DWT,
Montressor A, Neisheim Mc, Savioli L, eds. Controlling Disease Due to Helminth
Infections. WHO. Geneva.
Notoatmodjo, S. 2002. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Onggowaluyo J S. 2002. Parasitologi Medik I Helminthologi. Jakarta : EGC.
Prasetyo R H. 2002. Pengantar Praktikum Helmintologi Kedokteran. Surabaya :
Airlangga University Press.
81
Samad H. 2009. Hubungan Infeksi dengan Pencemaran Tanah oleh Telur Cacing yang
Ditularkan Melalui Tanah dan Perilaku Anak Sekolah Dasar di Kelurahan
Soedarto. 2008. Parasitologi Klinik. Jakarta : Sagung Seto.
Soedomo M. 2008. Penyakit Parasitik yang Kurang Diperhatikan di Indonesia. Jakarta :
Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Entomologi dan Moluska.
Sumanto D. 2010. Faktor Risiko Infeksi Cacing Tambang pada Anak Sekolah. Tesis
Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
Sutanto I, et al. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Tembung Kecamatan Medan Tembung. E journal Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatra Utara.
Ulukanligil M, et al. 2001. Environmental Pollution with Soil Transmitted Helminths in
Salinurfa.Turkey Mem Inst. Ozwaaldo Cruz, Rio de Janeiro.
82
Download