Fenomena Demotivasi dalam Pembelajaran Bahasa Arab di

advertisement
Fenomena Demotivasi dalam Pembelajaran Bahasa Arab
di Madrasah: Penyebab dan Alternatif Pemecahannya
Oleh:
Prof. Dr. Moh. Ainin, M.Pd
Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab
Fakultas Sastra (FS) UM
Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Yth. Rektor selaku Ketua Senat Universitas Negeri Malang
Yth. Ketua dan Anggota Komisi Guru Besar Universitas Negeri Malang
Yth. Para Anggota Senat Universitas Negeri Malang
Yth. Para Pejabat Struktural Universitas Negeri Malang
Yth. Para Rektor Perguruan Tinggi di Malang
Yth. Para dosen dan mahasiswa Universitas Negeri Malang
Yth. Para undangan dan hadirin yang mulia.
Pada kesempatan yang terhormat ini, marilah kita panjatkan puji syukur ke
hadirat Allah swt atas rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga kita bersama-sama
dapat hadir dalam acara pidato pengukuhan saya selaku Guru Besar di bidang
Pembelajaran Bahasa Arab (BA). Pidato pengukuhan ini sekaligus merupakan
tangungjawab moral akademik saya sebagai salah seorang guru besar di Universitas
Negeri Malang ini.
Perkenankanlah saya sebagai guru besar di bidang pembelajaran BA
menyampaikan pidato pengukuhan dengan judul “Fenomena Demotivasi dalam
Pembelajaran Bahasa Arab di Madrasah: Penyebab dan Alternatif Pemecahannya”
Judul ini saya kemukakan dalam pidato pengukuhan ini atas dasar realitas kesejarahan
dan realitas pembelajaran BA di lapangan. Dari aspek kesejarahan dapat dikemukakan,
bahwa pembelajaran bahasa Arab di Indonesia dimulai sejak agama Islam berkembang
di Indonesia pada abad ke 13. Pendapat lain ada yang menyatakan bahasa bahasa Arab
masuk ke nusantara bersamaan dengan agama Islam, yaitu sekitar abad ke 7-8 Masehi
Fakta ini menunjukkan bahwa BA di Indonesia telah mengambil peranan penting dalam
Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab,
1
Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011
Repository Library UM
kebudayaan dan masyarakat Indonesia (Umam, et all., 1975) sebelum bahasa asing
lainnya, misalnya bahasa Inggris. Kehadiran BA di Indonesia memberikan sumbangan
yang signifikan dalam memperkaya kazanah kosa kata bahasa Indonesia dan
kebudayaan Nasional.
Keberadaan BA yang cukup strategis dan fungsional dalam memperkaya
kazanah kosa kata bahasa Indonesia dan kebudayaan Nasional ini tampak terlupakan
oleh perjalanan waktu. Menurut Madjid (1988), di masa lalu yang tidak terlalu jauh, BA
pernah mempunyai peran dan kedudukan yang cukup penting, jelas lebih penting dari
yang ada sekarang. Sebelum
kedatangan penjajah Barat, BA sempat berpengaruh
kepada bangsa-bangsa di Nusantara. Perbendaharaan BA masuk ke dalam
perbendaharaan bahasa Melayu dan Indonesia, dan huruf Arab dalam penggunaannya
untuk penulisan bahasa Melayu telah membantu menyebarluaskan bahasa tersebut
sehingga menjadi Lingua Franca Nusantara.
Dari sisi realitas pembelajaran, akhir-akhir ini ditengarahi terjadi suatu
fenomena demotivasi dalam pembelajaran BA pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah, terutama pendidikan dasar dan menengah di bawah pengelolaan
Kementerian Agama, misalnya Madrasah Ibtidaiyah (MI), Tsanawiyah (MTs), dan
Madrasah Aliyah (MA). Istilah demotivasi mengacu pada suatu stimulus yang menahan
dilakukannya perbuatan tertentu (Gintings, 2007). Dalam konteks pembelajaran bahasa
Arab, demotivasi mengacu pada suatu stimulus baik itu terencana maupun tidak
terencana yang menyebabkan pelaksana pendidikan (siswa, guru, kepala Sekolah)
maupun stakeholders lainnya yang terkait menahan atau menghambat, mengurangi,
bahkan menghilangkan spirit belajar bahasa Arab bagi siswa maupun guru.
Pada tahun sebelum sembilanpuluhan, keberadaan matapelajaran bahasa Arab di
madrasah merupakan matapelajaran prestisius. Matapelajaran bahasa Arab selalu
mendapat apresiasi yang tinggi dari pihak madrasah dan sekaligus sebagai
matapelajaran kebanggaan. Akan tetapi, setelah tahun sembilanpuluhan, secara perlahan
namun pasti, keberadaan matapelajaran BA di madrasah, baik di MI, MTs, maupun MA
kurang mendapatkan apresiasi yang proporsional. Inilah yang saya sebut sebagai gejala
demotivasi.
Gejala demotivasi ini lebih terlihat pada madrasah-madarasah negeri. Apabila
pada tahun-tahun sebelumnya, alokasi jam untuk matapelajaran bahasa Arab berkisar 4
jam per minggu, saat ini di madrasah-madrasah, alokasi jam untuk matapelajaran bahasa
Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab,
2
Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011
Repository Library UM
Arab berkisar 2 jam sampai 3 jam per minggu, kecuali madrasah swasta berbasis
pesantren yang masih mengalokasikan 4 jam per minggu. Justru pembelajaran bahasa
Arab saat ini memperoleh apresiasi yang signifikan di jenjang pendidikan dasar dan
menengah pada sekolah-sekolah di bawah pengelolaan Kementerian Pendidikan
Nasional, misalnya SD, SMP, dan SMA/SMK yang sebelum tahun delapanpuluhan
dianggap asing dan aneh apabila bahasa Arab diajarkan di SD, SMP, dan SMA/SMK.
Fenomena lain yang mengisyaratkan demotivasi tercermin pada hasil survey
terbatas pada MTs dan MA Negeri dan swasta di Kota Malang. Hasil survey terbatas
yang dilaksanakan pada pertengahan tahun 2010 menunjukkan bahwa bahasa asing
yang menjadi pilihan utama adalah bahasa Inggris (79%), bahasa Arab (20%) dan
bahasa Jepang (1%). Alasan pemilihan bahasa Inggris sebagai pilihan utama lebih
bersifat pragmaits-instrumental, yakni untuk bekerja, studi lanjut, dan karena bahasa
Inggris merupakan salah satu matapelajaran yang di-UN-kan. Sementara itu, alasan
pemilihan bahasa Arab lebih dekat sebagai motivasi integratif, yakni untuk melanjutkan
studi bahasa Arab ke perguruan tinggi dan bahasa Arab sebagai bahasa agama.
Dalam perspektif psikologis, apabila fenomena demotivasai dibiarkan, maka
pembejalaran bahasa Arab pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, terutama di
MI, MTs, dan MA akan tinggal nama tanpa makna. Padahal dalam konteks pendidikan
di madrasah yang berbasis pada nilai-nilai keislaman, seharusnya matapelajaran bahasa
Arab merupakan matapelajaran andalan untuk mencapai visi dan misi madrasah. Dari
aspek kesejarahan dan fungsi, bahasa Arab mempunyai kaitan erat dengan ajaran Islam.
Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Tarigan (1988), bahwa faktor agama
menyebabkan bahasa Latin diajarkan pada penganut agama Katholik, bahasa Arab
diajarkan bagi pemeluk agama Islam, dan bahasa Sanskerta diajarkan bagi pemeluk
agama Hindu. Meskipun demikian, bahasa Arab tidak selalu identik dengan Islam.
Tidak sedikit orang non-muslim yang mahir berbahasa Arab dan tidak sedikit pula
orang muslim yang kurang mahir berbahasa Arab.
Faktor Demotivasi
Ada dua faktor utama yang menyebabkan fenomena demotivisasi dalam
pembelajaran bahasa Arab ini terjadi, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal
terkait dengan implementasi sistem pembelajara bahasa Arab. Faktor eksternal lebih
bersifat makro yang lebih terkait dengan variable-variabel di luar sistem pembelajaran
Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab,
3
Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011
Repository Library UM
yang secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan demotivasi pembelajaran
bahasa Arab terjadi. Berbagai persoalan internal yang mendorong demotivasi dalam
pembelajaran bahasa Arab adalah sebagai berikut.
Pertama, kemampuan awal bahasa Arab input siswa MTs dan MA rendah.
Berdasarkan informasi dari salah seorang guru BA dapat dikemukakan, bahwa sekitar
70% lebih input siswa MAN tempat dia mengajar berasal dari SMP dan mereka belum
mengenal tata baca dan tata tulis bahasa Arab dengan baik. Kemampuan awal bahasa
Arab yang demikian ini membuat mereka kesulitan menerima dan memahami materi
ajar bahasa Arab yang distandarkan oleh kurikulum dan pada akhirnya mereka kurang
berminat belajar bahasa Arab.Hal ini dikarenakan tingkat kesulitan bahan ajar bahasa
Arab jauh di atas kemampuan awal yang mereka miliki.
Kedua, masalah buku ajar atau buku teks. Dari sisi substansi, buku teks atau
buku ajar BA yang digunakan memuat tema-tema yang jauh dari pengalaman nyata
siswa, terutama tema-tema pada buku teks untuk MA terbitan tahun 2004 yang sampai
saat ini masih digunakan di berbagai MA, bahkan kualitas buku teks bahasa Arab MA
tahun 2008 tidak lebih baik dari sebelumnya. Atau dengan ungkapan lain, terjadi
dekontekstualisasi bahan ajar dalam pembelajaran bahasa Arab di MA. Penelitian Brain
menunjukkan bahwa kita belajar dengan baik apabila kita memperoleh makna dari tugas
maupun materi pelajaran yang baru dan kita dapat menemukan makna apabila kita
mampu menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman.
Demikian pula, siswa akan dapat belajar dengan baik apabila mereka dapat
menghubungkan materi pelajaran dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari
(Johnson, 2005).
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru-guru bahasa Arab MA yang sedang
tugas belajar pada Program Studi S2 Pendidikan Bahasa Arab di PPs UIN Maulana
Malik Ibrahim Malang dapat dikemukakan, bahwa materi dalam buku teks bahasa Arab
MA, baik yang terkait dengan materi keterampilan berbicara maupun membaca kurang
menarik dan kurang sesuai dengan kehidupan nyata siswa. Mereka mengalami kesulitan
mengkontekstualisasikan materi dengan pengalaman nyata dan kehidupan siswa seharihari.
Materi dalam buku teks bahasa Arab di MA tersebut kurang berbasis pada
“kekinian” dan “kedisinian” siswa. Tidak berlebihan apabila dikatakan, bahwa materi
dalam buku teks BA MA yang diterbitkan pada tahun 2004 dan sampai sekarang masih
digunakan di berbagai MA kurang membumi dan lebih berbasis pada kehidupan
Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab,
4
Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011
Repository Library UM
“ukhrowi”. Selain materinya yang kurang menarik, latihan-latihan yang dikembangkan
dalam buku teks BA MA kurang memiliki karakteristik latihan yang baik. Artinya,
latihan-latihan yang dikembangkan kurang mengukur kemampuan yang seharusnya
diukur atau kurang memenuhi unsur-unsur validitas (Ainin, 2007).
Ketiga, kualifikasi guru bahasa Arab. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kualifikasi guru BA baik pada jenjang pendidikan dasar maupun menengah kurang
memenuhi standar guru bahasa Arab profesional. Hasil penelitian Maslichah, dkk
(2002) menunjukkan, bahwa sebagian besar (42,24%) guru bahasa Arab MA di
Kabupaten Malang berlatar belakang sarjana Pendidikan Agama Islam. Sementara itu,
yang berlatarbelakang sarjana Pendidikan BA 35,14%,
13,51% berlatar belakang
sarjana non-BA, 5,41% berlatarbelakang sarjana muda pendidikan BA, dan 2,70%
berlatar belakang sarjana Sastra Arab. Penelitian Khasairi, dkk (2002) yang terkait
dengan latar belakang pendidikan guru bahasa Arab MI se Wilayah Malang
menujukkan bahwa 55% guru bahasa Arab berlatar belakang pendidikan sarjana dan
45% berlatarbelakang pendidikan SLTA/pesantren dan diploma II. Dari 55% tersebut,
sebagian besar (35%) berlatarbelakang pendidikan agama Islam, 15% berlatar belakang
Pendidikan Bahasa Arab, 2,5% berlatar belakang pendidikan sastra Arab, sedangkan
2,5% berlatar belakang pendidikan filsafat Islam. Bagaimana latar belakang pendidikan
guru MTs. Hasil penelitian Khasairi, dkk (2003) menunjukkan hasil yang relatif sama.
70% guru bahasa Arab berlatarbelakang pendidikan sarjana dan 30 % berlatarbelakang
pendidikan SLTA/pesantren. Dari 70% tersebut, sebagian besar (53%) berlatarbelakang
pendidikan agama Islam, 13,33% berlatarbelakang sastra Arab, dan hanya 3,33% yang
berlatarbelakang pendidikan bahasa Arab.
Data tentang kualifikasi guru bahasa Arab sebagaimana di atas didasarkan pada
hasil penelitian pada awal tahun 2000-an. Bagaimana halnya kualifikasi guru bahasa
Arab pada tahun 2010/2011. Data menunjukkan bahwa sampai saat ini kualifikasi guru
BA di madrasah belum mengalami perubahan yang signifikan. Data pada Kementerian
Agama RI menunjukkan bahwa jumlah guru MIN di Indonesia yang berstatus PNS
mencapai 11.478 orang. Sementara itu, guru PNS yang ditugaskan di MIS sebanyak
25.918 orang. Dari jumlah guru yang berstatus PNS tersbut, terdapat 30,7% (11.489
orang) tidak memenuhi syarat sebagai guru profesional di MI, termasuk guru bahasa
Arab. Mereka umumnya lulusan SLTA/PGA atau D1. Profil kualifikasi guru bahasa
Arab di MA juga tidak jauh berbeda dengan guru di MI. Data menunjukkan bahwa
Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab,
5
Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011
Repository Library UM
52,7% guru di MA, termasuk guru bahasa Arab tidak memiliki spesialisasi yang tepat.
(http://mirror.unpad.ac.id/orari/library/library-non-ict/statistics).
Apabila profil sebagian besar guru bahasa Arab di sekolah tidak
berlatarbelakang pendidikan bahasa Arab, bahkan ada yang berlatarbelakang pendidikan
SLTA/pesantren, maka pertanyaan yang patut dikemukakan adalah bagaimana kualitas
pembelajaran bahasa Arab di sekolah. Dapatkah pembelajaran bahasa Arab di sekolah
dengan kualifikasi guru sebagaimana tersebut mampu menumbuhkembangkan motivasi
siswa dalam mempelajari bahasa Arab atau justru sebaliknya. Pepata arab mengatakan
bahwa “ath-thariqah ahammu mina al-maddah, al-mudarris ahammu mina aththariqah, wa ruhu al-mudarris ahammu min kulli sya’iin” (Metode itu lebih penting
daripada materi, guru lebih penting daripada metode, dan integritas guru lebih penting
dari segalanya).
Keempat, secara tidak disadari, pembelajaran bahasa Arab di kelas lebih
menekankan aspek belajar (leraning atau ta’allum) daripada aspek pemerolehan
(acquisition atau iktisab). Pembelajaran yang mengedepankan leraning akan
menghasilkan siswa yang mampu memahami bentuk-bentuk bahasa Arab, tetapi tidak
mampun memproduksi bahasa Arab sebagai alat komunikasi. Dari aspek psikologis,
pembelajaran bahasa Arab yang menekankan pada aspek bentuk daripada penggunaan
bahasa menyebabkan pembelajaran kurang menarik, kurang interaktif, dan kurang
komunikatif. Bahkan dalam situasi kelas tertentu, pembelajaran bahasa Arab yang
berbasis pada bentuk menimbulkan kesulitan siswa dalam menginternalisai materi.
Dalam pandangan Krashen (1985), kelas bahasa seperti ini kurang kondusif
sebagai penyedia masukan yang terpahami (comprehensible input). Dalam hipotesis
inputnya dia menyatakan bahwa seseorang memperoleh bahasa dengan satu cara, yaitu
memahami pesan atau menerima masukan. Oleh Krashen, masukan yang terpahami
dirumuskan dengan i + 1. Apabila masukan bahasa itu terpahami dan memadai, maka
secara otomatis bentuk-bentuk bahasa atau kaidah bahasa juga tercakup di dalamnya.
Pembelajaran bahasa Arab yang mengabaikan aspek pemerolehan berarti mengabaikan
penyediaan masukan bagi siswa, dan pengabaian terhadap masukan menyebabkan siswa
tidak memiliki kemamapuan dalam menggunakan bahasa Arab sebagai alat komunikasi.
Kelima, selain adanya pengabaikan aktivitas pemerolehan, metode yang
digunakan dalam pembelajaran BA kurang bervariatif. Ada kecendrungan, guru
melakukan pembelajaran bahasa Arab dengan metode-metode klasik-konvensional,
Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab,
6
Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011
Repository Library UM
misalnya metode tatabahasa-terjemah. Dibandingkan dengan metode-metode lain,
misalnya metode langsung (direct method), metode alamiah (natural method), dan
metode komunikatif (communicative method), metode tatabahasa-terjemah ini lebih
mudah diimplementasikan, karena guru diperkenankan menggunakan bahasa ibu atau
bahasa Nasional sebagai alat komunikasi di kelas. Selain itu, penggunaan metode
tabahasa-terjemah ini juga tidak memerlukan penggunaan media pembelajaran dan tidak
menuntut variasi strategi pembelajaran. Akan tetapi, metode ini kurang dapat
menciptakan kelas bahasa Arab yang kondusif, interaktif, atraktif, dan komunikatif.
Dalam konteks pembelajaran bahasa Arab di sekolah/madrasah, metode ini tampak
monoton dan dominasi guru lebih kuat.
Keenam, pengabaian penggunaan media pembelajaran, baik elektronik
maupun non-elektronik. Media pembelajaran memang bukan tujuan, tetapi sebagai alat
(Shini, et all., 1984). Meskipun demikian, penggunaan media mempunyai andil yang
cukup besar untuk meningkatkan hasil belajar dan minat siswa. Pengalaman saya baik
sebagai pendamping maupun instruktur dalam pelatihan pembelajaran BA bagi guru
BA, masih banyak dijumpai guru yang tidak memanfaatkan media yang ada, baik
elektronik misalnya tape recoder, laboratorium bahasa, dan CD pembelajaran maupun
non-elektronik misalnya benda asli, benda tiruan, gambar, kartu kata, kartu kalimat, dan
lain-lain. Sekalipun di sekolah/madrasah tempat mereka bertugas memiliki laboratorium
bahasa, mereka tidak tergerak untuk memanfaatkannya, akhirnya laboratorium bahasa
yang ada hanya dimanfaatkan oleh guru bahasa Asing lainnya. Hal ini menimbulkan
image dalam diri siswa bahwa bahasa Arab kurang prestisius.
Ketujuh, model penilaian masih berbasis pada hasil daripada proses. Dalam
konteks ini, penilaian lebih difokuskan pada skor-skor yang diperoleh melalui tes
formatif maupun sumatif. Sementara itu, kemampuan riil siswa sehari-hari (kemampuan
performansi) dalam aktivitas berbahasa Arab kurang mendapat perhatian. Aspek yang
dinilai lebih mengedepankan kemampuan reseptif daripada kemampuan produktif.
Kemampuan produktif, khususnya kemampuan lisan (maharah kalam) hampir tidak
mendapatkan tempat secara proporsional, padahal hakikat utama bahasa adalah ujaran.
Penyebab utama dari pengabaian penilaian maharah kalam ini adalah bersifat teknis dan
atau substansif. Alasan yang bersifat teknis terkait dengan alokasi waktu yang tersedia
untuk pembelajaran BA relatif kecil (sekitar 2 sampai 3 jam perminggu untuk
Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab,
7
Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011
Repository Library UM
madrasah),
sedangkan
alasan
substantif
terkait
dengan
masalah
mekanisme
penyelenggaran dan sistem penilaian yang merepresentasikan maharah kalam.
Sementara itu, faktor eksternal yang menyebabkan demotivasi dalam
pembelajaran bahasa Arab dapat diidentifikasi sebagai berikut. Pertama adalah
keberadaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 74 tahun 2009
tentang Ujuan Nasional (UN) untuk Sekolah Dasar/MI dan Permendiknas No. 75
tentang UN untuk Sekolah Mengenah Pertama/MTs maupun Sekolah Menengah
Atas/MA. Dalam Permendiknas No 74 tahun 2009 tentang Ujian Nasional di SD/MI,
pasal 3 dikemukakan, bahwa materi UN meliputi: matapelajaran Bahasa Indonesia,
Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Sementara itu, permendiknas No. 75
tahun 2009 tentang materi UN untuk SMA/MA program IPA meliputi: Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi. Untuk Program IPS
meliputi Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ekonomi, Sosiologi, dan
Geografi. Untuk Program SMA/MA Program Bahasa meliputi: Bahasa Indonesia,
Bahasa Inggris, Matematika, Bahasa Asing yang diambil, Sejarah Budaya/Antropologi,
dan Sastra Indonesia. Sementara itu, materi UN untuk MA Program Keagamaan
meliputi: Bahasa Indonesaia, Bahasa Inggris, Matematika, Tafsir, Hadits, dan Fikih.
Permendiknas tahun 2009, baik No. 74 maupun No. 75 tidak memasukkan
matapelajaran bahasa Arab sebagai materi yang di-UN-kan di Madrasah, keculai pada
MA Program Bahasa. Yang lebih mengejutkan lagi, materi bahasa Arab tidak di-UNkan di MA untuk Program Keagamaan. Padahal penguasaan bahasa Arab merupakan
kemampuan dasar bagi siswa untuk dapat memahami Agama Islam secara utuh dan
komprehensif. Bukankah misi utama penyelenggaraan MA Keagamaan itu untuk
menghasilkan ulama plus. Adalah sangat aneh apabila bahasa Arab di MA Keagamaan
bukan termasuk matapelajaran yang di-UN-kan. Dari aspek psikologis dan edukatif,
peraturan ini berdampak pada pengabaian siswa untuk belajar matapelajaran yang tidak
dujikan secara nasional, termasuk matapelajaran bahasa Arab.
Kedua adalah faktor komitmen pimpinan madrasah (kepala Madarasah dan
para wakilnya). Kepala Madrasah merupakan top leader di madrasah. Sebagai top
leader, maka yang bersangkutan memiliki pengaruh menegrial yang kuat dalam
menentukan
arah
kebijakan
pembelajaran,
termasuk
menentukan
eksistensi
matapelajaran bahasa Arab. Kepala Madrasah yang memiliki komitmen tinggi terhadap
eksistensi matapelajaran bahasa Arab, secara sosiologis dan psikologis akan berdampak
Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab,
8
Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011
Repository Library UM
positif terhadap pencitraan bahasa Arab, implikasinya, matapelajaran bahas Arab di
madrasah akan diapresiasi oleh para guru siswa. Sebaliknya, apabila kepala Madrasah
kurang peduli terhadap eksistensi bahasa Arab, maka posisi bahasa Arab akan
dipertanyakan. Amat disayangkan apabila ada kepala Madrasah yang meniadakan
pembelajaran bahasa Arab pada semester akhir karena alasan bahasa Arab tidak di-UNkan.
HAKIKAT MOTIVASI
Motivasi merupakan energi utama yang mendorong seseorang untuk melakukan
suatu tindakan. Sebagai energi utama, maka keberadaan motivasi berfungsi sebagai
penggerak (to move) keberlansungan suatu tindakan. Tanpa ada motivasi pada diri
seseorang maka tidak akan terwujud suatu gerakan atau paling tidak gerakan yang
terjadi menjadi lemah, lamban, dan tidak mampu mencapai titik akhir yang diharapkan
dari tujuan itu sendiri. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Mc. Donald (dalam
Sardiman, 1986), bahawa motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang
ditandai dengan munculnya feeling dan didahului dengan tanggapan terhadap tujuan.
Slavin
(2009)
mengemukakan
bahwa
motivasi
adalah
sesuatu
yang
menyebabkan seseorang berjalan, membuat dirinya tetap berjalan, dan menentukan ke
mana arah seseorang berusaha berjalan. Para ahli psikologi mendefinisikan motivasi
sebagai proses internal yang mengaktifkan, menuntun, dan mempertahankan perilaku
dari waku ke waktu (Murphy & Alexander, 2000, Pintrich, 2003, Schunk, 2000, Stipek,
2002 dalam Salvin, 2009). Santrock. (2010) mendefinisikan motivasi sebagai suatu
proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya, perilaku yang
termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama. Motivasi
dapat berbeda-beda menurut intensitas maupun arah (Ryan & Deci, 2000, dalam Salvin,
2009). Dua siswa dapat saja termotivasi untuk bermain game video, tetapi salah seorang
di antaranya mungkin mempunyai motivasi yang lebih kuat untuk melakukannya
daripada yang lainnya. (Salvin, 2009).
Diceritakan, Lance Amstrong adalah pembalap sepeda yang hebat, tetapi
kemudian
dia
didiagnosis
mengidap
penyakit
kanker
pada
1996.
Peluang
kesembuhannya secara medik diperkirakan kurang dari 50%. Saat pembalap itu
mengikuti kemoterapi emosinya memburuk. Akan tetapi, Lance pulih dari penyakit itu
dan bertekad memenangkan lomba Tour de France sejauh kurang lebih 2.000 mil,
Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab,
9
Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011
Repository Library UM
sebuah lomba balap sepeda paling bergensi di dunia. Hari demi hari Lance berlatih
keras, terus bertekad memenangkan lomba itu, Lance kemudian berhasil memenangkan
lomba balap Tour de France bukan hanya sekali, tetapi empat kali (1999, 2000, 2001,
dan 2002). (Santrock, 2010).
Para psikolog menemukan bahwa motivasi memiliki dua komponen utama, yaitu
kebutuhan (need) dan dorongan (drive) (Sprinthall, 1990). Keberadaan kebutuhan pada
diri manusia disebabkan oleh adanya kekurangan (defisit) pada diri manusia baik
kebutuhan fisik maupun psikis. Kebutuhan fisik terkait dengan pemenuhan kebutuhan
unsur-unsur yang bersifat jasmani (tubuh), misalnya kebutuhan air, makanan, sek,
kebutuhan tidur (istirahat), dan lain-lain. Motivasi yang berhubungan dengan kebutuhan
fisik disebut dengan motivasi fisiologis. Sementara itu, kebutuhan psikis terkait dengan
kebutuhan kejiwaan, misalnya kebutuhan untuk mendapatkan restu, penghargaan atau
penguatan, kekuasaan, prestise, dan lain-lain. Kebutuhan yang terjadi pada diri manusia
melahirkan suatu dorongan (drive) melalukan suatu tindakan untuk mencapai suatu
kebutuhan yang diinginkan.
Dalam konteks pembelajaran, motivasi dapat dimaknai sebagai suatu gerak jiwa
yang mendorong siswa terlibat dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Para pakar dan hasil penelitian menyimpulkan bahwa motivasi terkait erat
dengan prestasi belajar siswa. Motivasi akan melahirkan kinerja atau keterlibatan kerja
yang berimplikasi pada prestasi. Suatu fakta empirik menyatakan bahwa motivasi
merupakan komponen utama dalam pembelajaran dan merupakan faktor non-intelektual
yang berperan utama dalam menentukan keberhasilan belajar siswa. (Sprinthall, 1990).
Hubungan antara
motivasi dan prestasi belajar oleh Ginting (2008) digambarkan
sebagai berikut.
Motivasi
Belajar
Kinerja atau
Partisipasi Belajar
Prestasi
Belajar
TEORI DAN JENIS MOTIVASI
Para pakar sepakat bahwa motivasi merupakan suatu energi penggerak, tetapi
mereka memaknai motivasi dari perspektif yang berbeda. Para penganut psikologi
behavioris, misalnya Skinner atau Watson lebih menekankan peran pemberian
penghargaan atau rewards (dan kemungkinan juga pemberian hukuman atau
Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab,
10
Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011
Repository Library UM
punishments) dalam pemberian motivasi (Brown, 2007). Konsep motivasi menurut teori
ini berkaitan dengan prinsip, bahwa perilaku yang telah diperkuat pada masa lalu
mempunyai kemungkinan yang lebih besar diulangi daripada perilaku yang belum
diperkuat atau yang telah dihukum (Slavin, 2009).
Teori behavioris (behavioristic approach) ini merupakan teori psikologi yang
dikembangkan oleh B. F. Skinner dari hasil studi teoritik dan empirik ilmuwan bernama
Pavlov dan Watson (Nunan, 1991). Pavlov (1849--1939) sebagai pelopor madzhab ini
termasyhur dengan teorinya yang menghubungkan stimulus primer (makanan) dan
stimulus skunder (nyala lampu dan bunyi lonceng) dengan respons (keluarnya air liur)
anjing yang dijadikan sebagai hewan percobaan. Berdasarkan penelitiannya, Pavlov
menemukan bahwa air liur anjing mengalir pada saat lampu menyala meskipun tanpa
ada makanan (Al-‘Araby, 1981). Selanjutnya teori ini oleh B. F. Skinner (1957)
dikembangkan untuk meneliti perilaku manusia (Nunan, 1991) dan diaplikasikan ke
dalam dunia pendidikan (Al-’Araby, 1981). Untuk itu, B.F. Skinner diakui sebagai
bapak aliran behaviorisme. Bukunya Verbal Behavior (1957) sangat terkenal dan
dipakai sebagai rujukan oleh pengikut aliran ini (Baradja, 1990).
Pendapat ini diperkuat oleh Santrock (2010), bahwa perspektif behavioral
menekankan imbalan dan hukuman eksternal sebagai kunci dalam menentukan motivasi
siswa.
Insentif merupakan peristiwa atau stimuli positif atau negatif yang dapat
memotivasi perilaku siswa. Bentuk-bentuk insentif yang dapat digunakan oleh guru
misalnya pemberian nilai yang baik yang mengindikasikan kualitas pekerjaan siswa,
memberikan tanda bintang atau pujian apabila mereka menyelesaikan suatu tugas
dengan baik, memberi penghargaan atau pengakuan pada karya siswa (memamerkan
karya siswa), memberi sertifikat prestasi, dan memberi kehormatan.
Dalam mengimplementasikan teori ini, ada prosedur yang selayaknya diikuti.
Prosedur tersebut meliputi tiga tahap: stimulus (‫)المثير‬, respons, (‫)االستجابة‬, dan
penguatan/reinforcement (‫ )التعزيز‬atau umpan balik. Suatu perilaku akan muncul bila
didahului oleh stimulus, Perilaku itu dapat diperkuat, dibiasakan dengan memberikan
penguatan (Azies dan Alwasilah, 1996). Apabila teori ini diimplementasikan ke dalam
dunia pendidikan, maka dapat dikatakan, bahwa proses belajar terjadi melalui jalinan
hubungan antara: (a) stimulus yang membangkitkan perilaku, (b) respons yang timbul
oleh adanya stimulus. Hubungan antara dua unsur tersebut dipacu oleh reinforcement
(ta’ziz) yang menandai apakah respons itu sesuai atau tidak dan yang mendorong
Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab,
11
Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011
Repository Library UM
pengulangan tindak respons atau tidak mengulanginya (Syafi’ie, 1994), Untuk itu,
menurut teori ini, belajar itu sebagai pembiasaan dan pembiasaan itu dapat terjadi
melalui peniruan (imitation), yaitu pembelajar menirukan rangsangan tingkah laku yang
cukup sering sehingga menjadi otomatis atau melalui penguatan baik positif (diganjar)
maupun negatif (dihukum) (Ellis, 1986).
Berikut ini skema hubungan antara stimulus, respons, dan reinforcement yang
dikutip dari Richards dan Rodgers (1986).
Reinforcement
Yang positif
(akan diulangi)
Stimulus
pembelajar
respons
Reinforcement
Yang negatif
(tidak diulangi lagi)
Psikologi kognitiv memiliki sudut pandang yang berbeda dengan psikologi
behavioris. Apabila psikologi behavioris lebih menekankan faktor eksternal sebagai
sumber motivasi, maka psikologi kognitif meletakkan kekuatan internal siswa sebagai
sumber motivasi (Brown, 2007). Dalam perspektif kognitif, pemikiran siswalah yang
akan memandu motivasi. Motivasi muncul karena adanya keinginan internal yang kuat
untuk mencapai tujuan. Persepsi siswa tentang sebab-sebab kesuksesan dan kegagalan,
terutama persepsi mereka bahwa usaha merupakan faktor penting untuk mencapai
prestasi, dan keyakinannya bahwa mereka dapat mengontrol lingkungannya secara
efektif merupakan sumber motivasi (Santrock, 2010).
Perspektif kognitif merekomendasikan agar siswa diberi lebih banyak
kesempatan dan tanggung jawab untuk mengontrol hasil prestasi mereka sendiri
(Santrock, 2010). Motivasi kognitif ini sangat primer dalam pembelajaran di sekolah,
terutama yang berkaitan dengan pengembangan intelektual (Sardiman, 1986). Untuk
itu, menurut Shunk Ertmen 2000 (dalam Santrock, 2010), perspektif kognitif
menekankan arti penting dari penentuan tujuan, perencanaan, dan monitoring kemajuan
menuju suatu tujuan.
Hierarki kebutuhan. Teori motivasi berdasarkan kebutuhan ini dikemukakan
oleh Moslow (1954). Dia merupakan penulis terkenal tentang teori motivasi dan teori
yang
dikemukakan
ini
juga
dikenal
dengan
humanistic
theories
Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab,
12
Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011
Repository Library UM
(http://chiron.valdosta.edu/whuitt/col/motivation/motivate.html).
Ketika para penganut
madzhab behaviorisme berbicara motivasi dari sisi pemberian penguatan dan
penghindaran dari pemberian hukuman, Maslow (1954) mengkonsepsikan motivasi
untuk memuaskan kebutuhan. Artinya, seseorang akan melakukan sesuatu karena
terdorong oleh kebutuhan. Kebutuhan akan timbul karena adanya keadaan yang tidak
seimbang, tidak serasi atau rasa ketegangan yang menuntut suatu kepuasan (Sardiman,
2007).
Mengingat kebutuhan manusia itu beraneka ragam, maka Maslow memandang
bahwa kebutuhan manusia bersifat hierarkis. Artinya, pemenuhan kebutuhan yang lebih
rendah dalam hierarki harus dipuaskan sebelum pemuasan kebutuhan yang lebih tinggi.
Secara gradual, kebutuhan manusia itu meliputi fisiologis (lapar, haus, tidur), keamanan
(perlindungan dari kejahatan), cinta dan rasa memiliki (kasih sayang dan perhatian dari
orang lain), harga diri (menghargai diri sendiri), dan aktualisasi diri (realitas potensi
diri).
Moslow (1954) memposisikan hierarki kebutuhan manusia berdasarkan dua
kelompok atau katagori, yaitu kebutuhan kekurangan dan kebutuhan pertumbuhan.
Hierarki piramida kebutuhan Maslow sebagaimana pada gambar berikut.
Kebutuhan
aktualisasi diri
Kebutuhan estetik
Kebutuhan untuk mengetahui
dan memahami
Kebutuhan harga diri
Kebutuhan hubungan
dan cinta
Kebutuhan keselamatan
Hal. selanjutnya, ..14
Kebutuhan fisiologis
Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab,
13
Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011
Repository Library UM
Download