Fenomena Demotivasi dalam Pembelajaran Bahasa Arab di Madrasah: Penyebab dan Alternatif Pemecahannya Oleh: Prof. Dr. Moh. Ainin, M.Pd Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab Fakultas Sastra (FS) UM Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh Yth. Rektor selaku Ketua Senat Universitas Negeri Malang Yth. Ketua dan Anggota Komisi Guru Besar Universitas Negeri Malang Yth. Para Anggota Senat Universitas Negeri Malang Yth. Para Pejabat Struktural Universitas Negeri Malang Yth. Para Rektor Perguruan Tinggi di Malang Yth. Para dosen dan mahasiswa Universitas Negeri Malang Yth. Para undangan dan hadirin yang mulia. Pada kesempatan yang terhormat ini, marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah swt atas rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga kita bersama-sama dapat hadir dalam acara pidato pengukuhan saya selaku Guru Besar di bidang Pembelajaran Bahasa Arab (BA). Pidato pengukuhan ini sekaligus merupakan tangungjawab moral akademik saya sebagai salah seorang guru besar di Universitas Negeri Malang ini. Perkenankanlah saya sebagai guru besar di bidang pembelajaran BA menyampaikan pidato pengukuhan dengan judul “Fenomena Demotivasi dalam Pembelajaran Bahasa Arab di Madrasah: Penyebab dan Alternatif Pemecahannya” Judul ini saya kemukakan dalam pidato pengukuhan ini atas dasar realitas kesejarahan dan realitas pembelajaran BA di lapangan. Dari aspek kesejarahan dapat dikemukakan, bahwa pembelajaran bahasa Arab di Indonesia dimulai sejak agama Islam berkembang di Indonesia pada abad ke 13. Pendapat lain ada yang menyatakan bahasa bahasa Arab masuk ke nusantara bersamaan dengan agama Islam, yaitu sekitar abad ke 7-8 Masehi Fakta ini menunjukkan bahwa BA di Indonesia telah mengambil peranan penting dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab, 1 Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011 Repository Library UM kebudayaan dan masyarakat Indonesia (Umam, et all., 1975) sebelum bahasa asing lainnya, misalnya bahasa Inggris. Kehadiran BA di Indonesia memberikan sumbangan yang signifikan dalam memperkaya kazanah kosa kata bahasa Indonesia dan kebudayaan Nasional. Keberadaan BA yang cukup strategis dan fungsional dalam memperkaya kazanah kosa kata bahasa Indonesia dan kebudayaan Nasional ini tampak terlupakan oleh perjalanan waktu. Menurut Madjid (1988), di masa lalu yang tidak terlalu jauh, BA pernah mempunyai peran dan kedudukan yang cukup penting, jelas lebih penting dari yang ada sekarang. Sebelum kedatangan penjajah Barat, BA sempat berpengaruh kepada bangsa-bangsa di Nusantara. Perbendaharaan BA masuk ke dalam perbendaharaan bahasa Melayu dan Indonesia, dan huruf Arab dalam penggunaannya untuk penulisan bahasa Melayu telah membantu menyebarluaskan bahasa tersebut sehingga menjadi Lingua Franca Nusantara. Dari sisi realitas pembelajaran, akhir-akhir ini ditengarahi terjadi suatu fenomena demotivasi dalam pembelajaran BA pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, terutama pendidikan dasar dan menengah di bawah pengelolaan Kementerian Agama, misalnya Madrasah Ibtidaiyah (MI), Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA). Istilah demotivasi mengacu pada suatu stimulus yang menahan dilakukannya perbuatan tertentu (Gintings, 2007). Dalam konteks pembelajaran bahasa Arab, demotivasi mengacu pada suatu stimulus baik itu terencana maupun tidak terencana yang menyebabkan pelaksana pendidikan (siswa, guru, kepala Sekolah) maupun stakeholders lainnya yang terkait menahan atau menghambat, mengurangi, bahkan menghilangkan spirit belajar bahasa Arab bagi siswa maupun guru. Pada tahun sebelum sembilanpuluhan, keberadaan matapelajaran bahasa Arab di madrasah merupakan matapelajaran prestisius. Matapelajaran bahasa Arab selalu mendapat apresiasi yang tinggi dari pihak madrasah dan sekaligus sebagai matapelajaran kebanggaan. Akan tetapi, setelah tahun sembilanpuluhan, secara perlahan namun pasti, keberadaan matapelajaran BA di madrasah, baik di MI, MTs, maupun MA kurang mendapatkan apresiasi yang proporsional. Inilah yang saya sebut sebagai gejala demotivasi. Gejala demotivasi ini lebih terlihat pada madrasah-madarasah negeri. Apabila pada tahun-tahun sebelumnya, alokasi jam untuk matapelajaran bahasa Arab berkisar 4 jam per minggu, saat ini di madrasah-madrasah, alokasi jam untuk matapelajaran bahasa Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab, 2 Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011 Repository Library UM Arab berkisar 2 jam sampai 3 jam per minggu, kecuali madrasah swasta berbasis pesantren yang masih mengalokasikan 4 jam per minggu. Justru pembelajaran bahasa Arab saat ini memperoleh apresiasi yang signifikan di jenjang pendidikan dasar dan menengah pada sekolah-sekolah di bawah pengelolaan Kementerian Pendidikan Nasional, misalnya SD, SMP, dan SMA/SMK yang sebelum tahun delapanpuluhan dianggap asing dan aneh apabila bahasa Arab diajarkan di SD, SMP, dan SMA/SMK. Fenomena lain yang mengisyaratkan demotivasi tercermin pada hasil survey terbatas pada MTs dan MA Negeri dan swasta di Kota Malang. Hasil survey terbatas yang dilaksanakan pada pertengahan tahun 2010 menunjukkan bahwa bahasa asing yang menjadi pilihan utama adalah bahasa Inggris (79%), bahasa Arab (20%) dan bahasa Jepang (1%). Alasan pemilihan bahasa Inggris sebagai pilihan utama lebih bersifat pragmaits-instrumental, yakni untuk bekerja, studi lanjut, dan karena bahasa Inggris merupakan salah satu matapelajaran yang di-UN-kan. Sementara itu, alasan pemilihan bahasa Arab lebih dekat sebagai motivasi integratif, yakni untuk melanjutkan studi bahasa Arab ke perguruan tinggi dan bahasa Arab sebagai bahasa agama. Dalam perspektif psikologis, apabila fenomena demotivasai dibiarkan, maka pembejalaran bahasa Arab pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, terutama di MI, MTs, dan MA akan tinggal nama tanpa makna. Padahal dalam konteks pendidikan di madrasah yang berbasis pada nilai-nilai keislaman, seharusnya matapelajaran bahasa Arab merupakan matapelajaran andalan untuk mencapai visi dan misi madrasah. Dari aspek kesejarahan dan fungsi, bahasa Arab mempunyai kaitan erat dengan ajaran Islam. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Tarigan (1988), bahwa faktor agama menyebabkan bahasa Latin diajarkan pada penganut agama Katholik, bahasa Arab diajarkan bagi pemeluk agama Islam, dan bahasa Sanskerta diajarkan bagi pemeluk agama Hindu. Meskipun demikian, bahasa Arab tidak selalu identik dengan Islam. Tidak sedikit orang non-muslim yang mahir berbahasa Arab dan tidak sedikit pula orang muslim yang kurang mahir berbahasa Arab. Faktor Demotivasi Ada dua faktor utama yang menyebabkan fenomena demotivisasi dalam pembelajaran bahasa Arab ini terjadi, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal terkait dengan implementasi sistem pembelajara bahasa Arab. Faktor eksternal lebih bersifat makro yang lebih terkait dengan variable-variabel di luar sistem pembelajaran Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab, 3 Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011 Repository Library UM yang secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan demotivasi pembelajaran bahasa Arab terjadi. Berbagai persoalan internal yang mendorong demotivasi dalam pembelajaran bahasa Arab adalah sebagai berikut. Pertama, kemampuan awal bahasa Arab input siswa MTs dan MA rendah. Berdasarkan informasi dari salah seorang guru BA dapat dikemukakan, bahwa sekitar 70% lebih input siswa MAN tempat dia mengajar berasal dari SMP dan mereka belum mengenal tata baca dan tata tulis bahasa Arab dengan baik. Kemampuan awal bahasa Arab yang demikian ini membuat mereka kesulitan menerima dan memahami materi ajar bahasa Arab yang distandarkan oleh kurikulum dan pada akhirnya mereka kurang berminat belajar bahasa Arab.Hal ini dikarenakan tingkat kesulitan bahan ajar bahasa Arab jauh di atas kemampuan awal yang mereka miliki. Kedua, masalah buku ajar atau buku teks. Dari sisi substansi, buku teks atau buku ajar BA yang digunakan memuat tema-tema yang jauh dari pengalaman nyata siswa, terutama tema-tema pada buku teks untuk MA terbitan tahun 2004 yang sampai saat ini masih digunakan di berbagai MA, bahkan kualitas buku teks bahasa Arab MA tahun 2008 tidak lebih baik dari sebelumnya. Atau dengan ungkapan lain, terjadi dekontekstualisasi bahan ajar dalam pembelajaran bahasa Arab di MA. Penelitian Brain menunjukkan bahwa kita belajar dengan baik apabila kita memperoleh makna dari tugas maupun materi pelajaran yang baru dan kita dapat menemukan makna apabila kita mampu menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman. Demikian pula, siswa akan dapat belajar dengan baik apabila mereka dapat menghubungkan materi pelajaran dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (Johnson, 2005). Berdasarkan hasil wawancara dengan guru-guru bahasa Arab MA yang sedang tugas belajar pada Program Studi S2 Pendidikan Bahasa Arab di PPs UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dapat dikemukakan, bahwa materi dalam buku teks bahasa Arab MA, baik yang terkait dengan materi keterampilan berbicara maupun membaca kurang menarik dan kurang sesuai dengan kehidupan nyata siswa. Mereka mengalami kesulitan mengkontekstualisasikan materi dengan pengalaman nyata dan kehidupan siswa seharihari. Materi dalam buku teks bahasa Arab di MA tersebut kurang berbasis pada “kekinian” dan “kedisinian” siswa. Tidak berlebihan apabila dikatakan, bahwa materi dalam buku teks BA MA yang diterbitkan pada tahun 2004 dan sampai sekarang masih digunakan di berbagai MA kurang membumi dan lebih berbasis pada kehidupan Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab, 4 Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011 Repository Library UM “ukhrowi”. Selain materinya yang kurang menarik, latihan-latihan yang dikembangkan dalam buku teks BA MA kurang memiliki karakteristik latihan yang baik. Artinya, latihan-latihan yang dikembangkan kurang mengukur kemampuan yang seharusnya diukur atau kurang memenuhi unsur-unsur validitas (Ainin, 2007). Ketiga, kualifikasi guru bahasa Arab. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualifikasi guru BA baik pada jenjang pendidikan dasar maupun menengah kurang memenuhi standar guru bahasa Arab profesional. Hasil penelitian Maslichah, dkk (2002) menunjukkan, bahwa sebagian besar (42,24%) guru bahasa Arab MA di Kabupaten Malang berlatar belakang sarjana Pendidikan Agama Islam. Sementara itu, yang berlatarbelakang sarjana Pendidikan BA 35,14%, 13,51% berlatar belakang sarjana non-BA, 5,41% berlatarbelakang sarjana muda pendidikan BA, dan 2,70% berlatar belakang sarjana Sastra Arab. Penelitian Khasairi, dkk (2002) yang terkait dengan latar belakang pendidikan guru bahasa Arab MI se Wilayah Malang menujukkan bahwa 55% guru bahasa Arab berlatar belakang pendidikan sarjana dan 45% berlatarbelakang pendidikan SLTA/pesantren dan diploma II. Dari 55% tersebut, sebagian besar (35%) berlatarbelakang pendidikan agama Islam, 15% berlatar belakang Pendidikan Bahasa Arab, 2,5% berlatar belakang pendidikan sastra Arab, sedangkan 2,5% berlatar belakang pendidikan filsafat Islam. Bagaimana latar belakang pendidikan guru MTs. Hasil penelitian Khasairi, dkk (2003) menunjukkan hasil yang relatif sama. 70% guru bahasa Arab berlatarbelakang pendidikan sarjana dan 30 % berlatarbelakang pendidikan SLTA/pesantren. Dari 70% tersebut, sebagian besar (53%) berlatarbelakang pendidikan agama Islam, 13,33% berlatarbelakang sastra Arab, dan hanya 3,33% yang berlatarbelakang pendidikan bahasa Arab. Data tentang kualifikasi guru bahasa Arab sebagaimana di atas didasarkan pada hasil penelitian pada awal tahun 2000-an. Bagaimana halnya kualifikasi guru bahasa Arab pada tahun 2010/2011. Data menunjukkan bahwa sampai saat ini kualifikasi guru BA di madrasah belum mengalami perubahan yang signifikan. Data pada Kementerian Agama RI menunjukkan bahwa jumlah guru MIN di Indonesia yang berstatus PNS mencapai 11.478 orang. Sementara itu, guru PNS yang ditugaskan di MIS sebanyak 25.918 orang. Dari jumlah guru yang berstatus PNS tersbut, terdapat 30,7% (11.489 orang) tidak memenuhi syarat sebagai guru profesional di MI, termasuk guru bahasa Arab. Mereka umumnya lulusan SLTA/PGA atau D1. Profil kualifikasi guru bahasa Arab di MA juga tidak jauh berbeda dengan guru di MI. Data menunjukkan bahwa Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab, 5 Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011 Repository Library UM 52,7% guru di MA, termasuk guru bahasa Arab tidak memiliki spesialisasi yang tepat. (http://mirror.unpad.ac.id/orari/library/library-non-ict/statistics). Apabila profil sebagian besar guru bahasa Arab di sekolah tidak berlatarbelakang pendidikan bahasa Arab, bahkan ada yang berlatarbelakang pendidikan SLTA/pesantren, maka pertanyaan yang patut dikemukakan adalah bagaimana kualitas pembelajaran bahasa Arab di sekolah. Dapatkah pembelajaran bahasa Arab di sekolah dengan kualifikasi guru sebagaimana tersebut mampu menumbuhkembangkan motivasi siswa dalam mempelajari bahasa Arab atau justru sebaliknya. Pepata arab mengatakan bahwa “ath-thariqah ahammu mina al-maddah, al-mudarris ahammu mina aththariqah, wa ruhu al-mudarris ahammu min kulli sya’iin” (Metode itu lebih penting daripada materi, guru lebih penting daripada metode, dan integritas guru lebih penting dari segalanya). Keempat, secara tidak disadari, pembelajaran bahasa Arab di kelas lebih menekankan aspek belajar (leraning atau ta’allum) daripada aspek pemerolehan (acquisition atau iktisab). Pembelajaran yang mengedepankan leraning akan menghasilkan siswa yang mampu memahami bentuk-bentuk bahasa Arab, tetapi tidak mampun memproduksi bahasa Arab sebagai alat komunikasi. Dari aspek psikologis, pembelajaran bahasa Arab yang menekankan pada aspek bentuk daripada penggunaan bahasa menyebabkan pembelajaran kurang menarik, kurang interaktif, dan kurang komunikatif. Bahkan dalam situasi kelas tertentu, pembelajaran bahasa Arab yang berbasis pada bentuk menimbulkan kesulitan siswa dalam menginternalisai materi. Dalam pandangan Krashen (1985), kelas bahasa seperti ini kurang kondusif sebagai penyedia masukan yang terpahami (comprehensible input). Dalam hipotesis inputnya dia menyatakan bahwa seseorang memperoleh bahasa dengan satu cara, yaitu memahami pesan atau menerima masukan. Oleh Krashen, masukan yang terpahami dirumuskan dengan i + 1. Apabila masukan bahasa itu terpahami dan memadai, maka secara otomatis bentuk-bentuk bahasa atau kaidah bahasa juga tercakup di dalamnya. Pembelajaran bahasa Arab yang mengabaikan aspek pemerolehan berarti mengabaikan penyediaan masukan bagi siswa, dan pengabaian terhadap masukan menyebabkan siswa tidak memiliki kemamapuan dalam menggunakan bahasa Arab sebagai alat komunikasi. Kelima, selain adanya pengabaikan aktivitas pemerolehan, metode yang digunakan dalam pembelajaran BA kurang bervariatif. Ada kecendrungan, guru melakukan pembelajaran bahasa Arab dengan metode-metode klasik-konvensional, Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab, 6 Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011 Repository Library UM misalnya metode tatabahasa-terjemah. Dibandingkan dengan metode-metode lain, misalnya metode langsung (direct method), metode alamiah (natural method), dan metode komunikatif (communicative method), metode tatabahasa-terjemah ini lebih mudah diimplementasikan, karena guru diperkenankan menggunakan bahasa ibu atau bahasa Nasional sebagai alat komunikasi di kelas. Selain itu, penggunaan metode tabahasa-terjemah ini juga tidak memerlukan penggunaan media pembelajaran dan tidak menuntut variasi strategi pembelajaran. Akan tetapi, metode ini kurang dapat menciptakan kelas bahasa Arab yang kondusif, interaktif, atraktif, dan komunikatif. Dalam konteks pembelajaran bahasa Arab di sekolah/madrasah, metode ini tampak monoton dan dominasi guru lebih kuat. Keenam, pengabaian penggunaan media pembelajaran, baik elektronik maupun non-elektronik. Media pembelajaran memang bukan tujuan, tetapi sebagai alat (Shini, et all., 1984). Meskipun demikian, penggunaan media mempunyai andil yang cukup besar untuk meningkatkan hasil belajar dan minat siswa. Pengalaman saya baik sebagai pendamping maupun instruktur dalam pelatihan pembelajaran BA bagi guru BA, masih banyak dijumpai guru yang tidak memanfaatkan media yang ada, baik elektronik misalnya tape recoder, laboratorium bahasa, dan CD pembelajaran maupun non-elektronik misalnya benda asli, benda tiruan, gambar, kartu kata, kartu kalimat, dan lain-lain. Sekalipun di sekolah/madrasah tempat mereka bertugas memiliki laboratorium bahasa, mereka tidak tergerak untuk memanfaatkannya, akhirnya laboratorium bahasa yang ada hanya dimanfaatkan oleh guru bahasa Asing lainnya. Hal ini menimbulkan image dalam diri siswa bahwa bahasa Arab kurang prestisius. Ketujuh, model penilaian masih berbasis pada hasil daripada proses. Dalam konteks ini, penilaian lebih difokuskan pada skor-skor yang diperoleh melalui tes formatif maupun sumatif. Sementara itu, kemampuan riil siswa sehari-hari (kemampuan performansi) dalam aktivitas berbahasa Arab kurang mendapat perhatian. Aspek yang dinilai lebih mengedepankan kemampuan reseptif daripada kemampuan produktif. Kemampuan produktif, khususnya kemampuan lisan (maharah kalam) hampir tidak mendapatkan tempat secara proporsional, padahal hakikat utama bahasa adalah ujaran. Penyebab utama dari pengabaian penilaian maharah kalam ini adalah bersifat teknis dan atau substansif. Alasan yang bersifat teknis terkait dengan alokasi waktu yang tersedia untuk pembelajaran BA relatif kecil (sekitar 2 sampai 3 jam perminggu untuk Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab, 7 Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011 Repository Library UM madrasah), sedangkan alasan substantif terkait dengan masalah mekanisme penyelenggaran dan sistem penilaian yang merepresentasikan maharah kalam. Sementara itu, faktor eksternal yang menyebabkan demotivasi dalam pembelajaran bahasa Arab dapat diidentifikasi sebagai berikut. Pertama adalah keberadaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 74 tahun 2009 tentang Ujuan Nasional (UN) untuk Sekolah Dasar/MI dan Permendiknas No. 75 tentang UN untuk Sekolah Mengenah Pertama/MTs maupun Sekolah Menengah Atas/MA. Dalam Permendiknas No 74 tahun 2009 tentang Ujian Nasional di SD/MI, pasal 3 dikemukakan, bahwa materi UN meliputi: matapelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Sementara itu, permendiknas No. 75 tahun 2009 tentang materi UN untuk SMA/MA program IPA meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi. Untuk Program IPS meliputi Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ekonomi, Sosiologi, dan Geografi. Untuk Program SMA/MA Program Bahasa meliputi: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Bahasa Asing yang diambil, Sejarah Budaya/Antropologi, dan Sastra Indonesia. Sementara itu, materi UN untuk MA Program Keagamaan meliputi: Bahasa Indonesaia, Bahasa Inggris, Matematika, Tafsir, Hadits, dan Fikih. Permendiknas tahun 2009, baik No. 74 maupun No. 75 tidak memasukkan matapelajaran bahasa Arab sebagai materi yang di-UN-kan di Madrasah, keculai pada MA Program Bahasa. Yang lebih mengejutkan lagi, materi bahasa Arab tidak di-UNkan di MA untuk Program Keagamaan. Padahal penguasaan bahasa Arab merupakan kemampuan dasar bagi siswa untuk dapat memahami Agama Islam secara utuh dan komprehensif. Bukankah misi utama penyelenggaraan MA Keagamaan itu untuk menghasilkan ulama plus. Adalah sangat aneh apabila bahasa Arab di MA Keagamaan bukan termasuk matapelajaran yang di-UN-kan. Dari aspek psikologis dan edukatif, peraturan ini berdampak pada pengabaian siswa untuk belajar matapelajaran yang tidak dujikan secara nasional, termasuk matapelajaran bahasa Arab. Kedua adalah faktor komitmen pimpinan madrasah (kepala Madarasah dan para wakilnya). Kepala Madrasah merupakan top leader di madrasah. Sebagai top leader, maka yang bersangkutan memiliki pengaruh menegrial yang kuat dalam menentukan arah kebijakan pembelajaran, termasuk menentukan eksistensi matapelajaran bahasa Arab. Kepala Madrasah yang memiliki komitmen tinggi terhadap eksistensi matapelajaran bahasa Arab, secara sosiologis dan psikologis akan berdampak Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab, 8 Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011 Repository Library UM positif terhadap pencitraan bahasa Arab, implikasinya, matapelajaran bahas Arab di madrasah akan diapresiasi oleh para guru siswa. Sebaliknya, apabila kepala Madrasah kurang peduli terhadap eksistensi bahasa Arab, maka posisi bahasa Arab akan dipertanyakan. Amat disayangkan apabila ada kepala Madrasah yang meniadakan pembelajaran bahasa Arab pada semester akhir karena alasan bahasa Arab tidak di-UNkan. HAKIKAT MOTIVASI Motivasi merupakan energi utama yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Sebagai energi utama, maka keberadaan motivasi berfungsi sebagai penggerak (to move) keberlansungan suatu tindakan. Tanpa ada motivasi pada diri seseorang maka tidak akan terwujud suatu gerakan atau paling tidak gerakan yang terjadi menjadi lemah, lamban, dan tidak mampu mencapai titik akhir yang diharapkan dari tujuan itu sendiri. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Mc. Donald (dalam Sardiman, 1986), bahawa motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling dan didahului dengan tanggapan terhadap tujuan. Slavin (2009) mengemukakan bahwa motivasi adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang berjalan, membuat dirinya tetap berjalan, dan menentukan ke mana arah seseorang berusaha berjalan. Para ahli psikologi mendefinisikan motivasi sebagai proses internal yang mengaktifkan, menuntun, dan mempertahankan perilaku dari waku ke waktu (Murphy & Alexander, 2000, Pintrich, 2003, Schunk, 2000, Stipek, 2002 dalam Salvin, 2009). Santrock. (2010) mendefinisikan motivasi sebagai suatu proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya, perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama. Motivasi dapat berbeda-beda menurut intensitas maupun arah (Ryan & Deci, 2000, dalam Salvin, 2009). Dua siswa dapat saja termotivasi untuk bermain game video, tetapi salah seorang di antaranya mungkin mempunyai motivasi yang lebih kuat untuk melakukannya daripada yang lainnya. (Salvin, 2009). Diceritakan, Lance Amstrong adalah pembalap sepeda yang hebat, tetapi kemudian dia didiagnosis mengidap penyakit kanker pada 1996. Peluang kesembuhannya secara medik diperkirakan kurang dari 50%. Saat pembalap itu mengikuti kemoterapi emosinya memburuk. Akan tetapi, Lance pulih dari penyakit itu dan bertekad memenangkan lomba Tour de France sejauh kurang lebih 2.000 mil, Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab, 9 Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011 Repository Library UM sebuah lomba balap sepeda paling bergensi di dunia. Hari demi hari Lance berlatih keras, terus bertekad memenangkan lomba itu, Lance kemudian berhasil memenangkan lomba balap Tour de France bukan hanya sekali, tetapi empat kali (1999, 2000, 2001, dan 2002). (Santrock, 2010). Para psikolog menemukan bahwa motivasi memiliki dua komponen utama, yaitu kebutuhan (need) dan dorongan (drive) (Sprinthall, 1990). Keberadaan kebutuhan pada diri manusia disebabkan oleh adanya kekurangan (defisit) pada diri manusia baik kebutuhan fisik maupun psikis. Kebutuhan fisik terkait dengan pemenuhan kebutuhan unsur-unsur yang bersifat jasmani (tubuh), misalnya kebutuhan air, makanan, sek, kebutuhan tidur (istirahat), dan lain-lain. Motivasi yang berhubungan dengan kebutuhan fisik disebut dengan motivasi fisiologis. Sementara itu, kebutuhan psikis terkait dengan kebutuhan kejiwaan, misalnya kebutuhan untuk mendapatkan restu, penghargaan atau penguatan, kekuasaan, prestise, dan lain-lain. Kebutuhan yang terjadi pada diri manusia melahirkan suatu dorongan (drive) melalukan suatu tindakan untuk mencapai suatu kebutuhan yang diinginkan. Dalam konteks pembelajaran, motivasi dapat dimaknai sebagai suatu gerak jiwa yang mendorong siswa terlibat dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Para pakar dan hasil penelitian menyimpulkan bahwa motivasi terkait erat dengan prestasi belajar siswa. Motivasi akan melahirkan kinerja atau keterlibatan kerja yang berimplikasi pada prestasi. Suatu fakta empirik menyatakan bahwa motivasi merupakan komponen utama dalam pembelajaran dan merupakan faktor non-intelektual yang berperan utama dalam menentukan keberhasilan belajar siswa. (Sprinthall, 1990). Hubungan antara motivasi dan prestasi belajar oleh Ginting (2008) digambarkan sebagai berikut. Motivasi Belajar Kinerja atau Partisipasi Belajar Prestasi Belajar TEORI DAN JENIS MOTIVASI Para pakar sepakat bahwa motivasi merupakan suatu energi penggerak, tetapi mereka memaknai motivasi dari perspektif yang berbeda. Para penganut psikologi behavioris, misalnya Skinner atau Watson lebih menekankan peran pemberian penghargaan atau rewards (dan kemungkinan juga pemberian hukuman atau Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab, 10 Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011 Repository Library UM punishments) dalam pemberian motivasi (Brown, 2007). Konsep motivasi menurut teori ini berkaitan dengan prinsip, bahwa perilaku yang telah diperkuat pada masa lalu mempunyai kemungkinan yang lebih besar diulangi daripada perilaku yang belum diperkuat atau yang telah dihukum (Slavin, 2009). Teori behavioris (behavioristic approach) ini merupakan teori psikologi yang dikembangkan oleh B. F. Skinner dari hasil studi teoritik dan empirik ilmuwan bernama Pavlov dan Watson (Nunan, 1991). Pavlov (1849--1939) sebagai pelopor madzhab ini termasyhur dengan teorinya yang menghubungkan stimulus primer (makanan) dan stimulus skunder (nyala lampu dan bunyi lonceng) dengan respons (keluarnya air liur) anjing yang dijadikan sebagai hewan percobaan. Berdasarkan penelitiannya, Pavlov menemukan bahwa air liur anjing mengalir pada saat lampu menyala meskipun tanpa ada makanan (Al-‘Araby, 1981). Selanjutnya teori ini oleh B. F. Skinner (1957) dikembangkan untuk meneliti perilaku manusia (Nunan, 1991) dan diaplikasikan ke dalam dunia pendidikan (Al-’Araby, 1981). Untuk itu, B.F. Skinner diakui sebagai bapak aliran behaviorisme. Bukunya Verbal Behavior (1957) sangat terkenal dan dipakai sebagai rujukan oleh pengikut aliran ini (Baradja, 1990). Pendapat ini diperkuat oleh Santrock (2010), bahwa perspektif behavioral menekankan imbalan dan hukuman eksternal sebagai kunci dalam menentukan motivasi siswa. Insentif merupakan peristiwa atau stimuli positif atau negatif yang dapat memotivasi perilaku siswa. Bentuk-bentuk insentif yang dapat digunakan oleh guru misalnya pemberian nilai yang baik yang mengindikasikan kualitas pekerjaan siswa, memberikan tanda bintang atau pujian apabila mereka menyelesaikan suatu tugas dengan baik, memberi penghargaan atau pengakuan pada karya siswa (memamerkan karya siswa), memberi sertifikat prestasi, dan memberi kehormatan. Dalam mengimplementasikan teori ini, ada prosedur yang selayaknya diikuti. Prosedur tersebut meliputi tiga tahap: stimulus ()المثير, respons, ()االستجابة, dan penguatan/reinforcement ( )التعزيزatau umpan balik. Suatu perilaku akan muncul bila didahului oleh stimulus, Perilaku itu dapat diperkuat, dibiasakan dengan memberikan penguatan (Azies dan Alwasilah, 1996). Apabila teori ini diimplementasikan ke dalam dunia pendidikan, maka dapat dikatakan, bahwa proses belajar terjadi melalui jalinan hubungan antara: (a) stimulus yang membangkitkan perilaku, (b) respons yang timbul oleh adanya stimulus. Hubungan antara dua unsur tersebut dipacu oleh reinforcement (ta’ziz) yang menandai apakah respons itu sesuai atau tidak dan yang mendorong Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab, 11 Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011 Repository Library UM pengulangan tindak respons atau tidak mengulanginya (Syafi’ie, 1994), Untuk itu, menurut teori ini, belajar itu sebagai pembiasaan dan pembiasaan itu dapat terjadi melalui peniruan (imitation), yaitu pembelajar menirukan rangsangan tingkah laku yang cukup sering sehingga menjadi otomatis atau melalui penguatan baik positif (diganjar) maupun negatif (dihukum) (Ellis, 1986). Berikut ini skema hubungan antara stimulus, respons, dan reinforcement yang dikutip dari Richards dan Rodgers (1986). Reinforcement Yang positif (akan diulangi) Stimulus pembelajar respons Reinforcement Yang negatif (tidak diulangi lagi) Psikologi kognitiv memiliki sudut pandang yang berbeda dengan psikologi behavioris. Apabila psikologi behavioris lebih menekankan faktor eksternal sebagai sumber motivasi, maka psikologi kognitif meletakkan kekuatan internal siswa sebagai sumber motivasi (Brown, 2007). Dalam perspektif kognitif, pemikiran siswalah yang akan memandu motivasi. Motivasi muncul karena adanya keinginan internal yang kuat untuk mencapai tujuan. Persepsi siswa tentang sebab-sebab kesuksesan dan kegagalan, terutama persepsi mereka bahwa usaha merupakan faktor penting untuk mencapai prestasi, dan keyakinannya bahwa mereka dapat mengontrol lingkungannya secara efektif merupakan sumber motivasi (Santrock, 2010). Perspektif kognitif merekomendasikan agar siswa diberi lebih banyak kesempatan dan tanggung jawab untuk mengontrol hasil prestasi mereka sendiri (Santrock, 2010). Motivasi kognitif ini sangat primer dalam pembelajaran di sekolah, terutama yang berkaitan dengan pengembangan intelektual (Sardiman, 1986). Untuk itu, menurut Shunk Ertmen 2000 (dalam Santrock, 2010), perspektif kognitif menekankan arti penting dari penentuan tujuan, perencanaan, dan monitoring kemajuan menuju suatu tujuan. Hierarki kebutuhan. Teori motivasi berdasarkan kebutuhan ini dikemukakan oleh Moslow (1954). Dia merupakan penulis terkenal tentang teori motivasi dan teori yang dikemukakan ini juga dikenal dengan humanistic theories Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab, 12 Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011 Repository Library UM (http://chiron.valdosta.edu/whuitt/col/motivation/motivate.html). Ketika para penganut madzhab behaviorisme berbicara motivasi dari sisi pemberian penguatan dan penghindaran dari pemberian hukuman, Maslow (1954) mengkonsepsikan motivasi untuk memuaskan kebutuhan. Artinya, seseorang akan melakukan sesuatu karena terdorong oleh kebutuhan. Kebutuhan akan timbul karena adanya keadaan yang tidak seimbang, tidak serasi atau rasa ketegangan yang menuntut suatu kepuasan (Sardiman, 2007). Mengingat kebutuhan manusia itu beraneka ragam, maka Maslow memandang bahwa kebutuhan manusia bersifat hierarkis. Artinya, pemenuhan kebutuhan yang lebih rendah dalam hierarki harus dipuaskan sebelum pemuasan kebutuhan yang lebih tinggi. Secara gradual, kebutuhan manusia itu meliputi fisiologis (lapar, haus, tidur), keamanan (perlindungan dari kejahatan), cinta dan rasa memiliki (kasih sayang dan perhatian dari orang lain), harga diri (menghargai diri sendiri), dan aktualisasi diri (realitas potensi diri). Moslow (1954) memposisikan hierarki kebutuhan manusia berdasarkan dua kelompok atau katagori, yaitu kebutuhan kekurangan dan kebutuhan pertumbuhan. Hierarki piramida kebutuhan Maslow sebagaimana pada gambar berikut. Kebutuhan aktualisasi diri Kebutuhan estetik Kebutuhan untuk mengetahui dan memahami Kebutuhan harga diri Kebutuhan hubungan dan cinta Kebutuhan keselamatan Hal. selanjutnya, ..14 Kebutuhan fisiologis Pidato Pengukuhan Guru Besar sebagai Guru Besar dalam Bidang Pembelajaran Bahasa Arab, 13 Pada Fakultas Sastra (FS) UM, Kamis, 28 April 2011 Repository Library UM