BAKORWIL ”DAPAT DIBENTUK” OLEH GUBERNUR DALAM PELAKSANAAN KOORDINASI PEMERINTAHAN DAN PEMBANGUNAN Oleh : M. Arry Djauhari *) Abstract To help coordinate the work area governors in general is quite extensive and the number of people quite a lot, the role of the previously named "Assistant Governor" and later became the Regional Coordinating Board (Bakorwil), for Government Coordination and Regional Development or any other name, is still required to support their governor in their respective working areas. 1. Latar Belakang Pada dasarnya tugas pokok Pemerintah Indonesia adalah menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan dalam rangka mewujudkan tujuan Nasional. Oleh karena itu pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan Nasional, maka tugas pokok Pemerintah Daerah juga pada hakekatnya adalah untuk mewujudkan tujuan Nasional dalam wilayah yang bersangkutan. Pembangunan Daerah yang pada dasarnya diorientasikan pada pengembangan suatu wilayah tertentu, pada akhir-akhir ini semakin diharapkan kepada berbagai permasalahan yang kompleks, sehingga perlu terselenggaranya koordinasi. Penyelenggaraan pemerintah di Daerah yang berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, mendudukan Gubernur Kepala Daerah baik selaku alat Pemerintah Daerah Propinsi juga alat Pemerintah Pusat di Daerah. Gubernur Kepala Daerah mempunyai kewajiban mengkoordinasikan perencanaan pembangunan sektoral dan pembangunan daerah, agar terdapat keserasian dan keterpaduan dalam pencapaian sasarannya, berdasarkan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh RPJP Nasional dan RPJP Daerah. Selanjutnya Gubernur Kepala Daerah berkewajiban mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan operasional baik yang dilakukan oleh instansi-instansi vertical di Daerah maupun oleh dinas-dinas Daerah. Sejak diundangkannya Peraturan Presiden No.22 tanggal 25 Oktober 1963 semua keresidenan dinyatakan dihapus. Dengan dihapuskannya Keresidenan yang semula dapat merupakan channel pengawasan terhadap Kabupaten/Kota, ternyata baru dirasakan kemudian, Gubernur terlalu luas “Span of Controlnya”. Berdasarkan pengalaman-pengalaman dalam praktek penyelenggaraan pemerintah di daerah, adanya faktor-faktor geografis, jumlah penduduk, rentang kendali dan lain sebagainya, maka dalam rangka peningkatan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan, masih dirasakan kebutuhan adanya eselon jabatan Pembantu Gubernur yang mempunyai wilayah kerja tertentu dalam rangka dekonsentrasi, yang dicantumkan dalam pasal 73 Undang-Undang No.5 tahun 1974. Sedangkan sejak dikeluarkannya Peraturan Presiden tanggal 25 Oktober 1963 No.22 tahun 1963 hingga diundangkannya Undang-Undang No.5 tahun 1974, kepada para residen diberi tugas Pembantu/Penghubung Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang mempunyai wilayah kerja yang menyangkut beberapa wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dengan tugas koordinasi saat itu. Sebagaimana telah diutarakan di atas, bahwa jabatan Pembantu Gubernur secara yuridis formalnya diatur dalam pasal 73 Undang-Undang No.5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam pasal ini ditetapkan bahwa apabila dipandang perlu, Menteri Dalam Negeri dapat menunjuk Pembantu Gubernur, Pembantu Bupati atau Pembantu Walikotamadya yang mempunyai wilayah kerja tertentu dalam rangka dekonsentrasi. Menurut Taliziduhu Ndraha, “Pembantu Guberbur adalah staf teritorial” (Taliziduhu Ndraha, Metodologi Ilmu Pemerintahan Indonesia, 1983 : 110). Sebagai staf teritorial, Pembantu Gubernur bertindak untuk dan atas nama Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan oleh karena itu, Pembantu Gubernur diharapkan dapat menjadi perpanjangan tangan Gubernur yang akan berhadapan langsung dengan instansi-instansi Vertikal, berbagai jenis program dalam kondisi wilayah yang luas. Dalam mengkoordinasikan, mengawasi, serta membina pemerintahan umum dan pembangunan di daerah, maka Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat dibantu oleh para Pembantu Gubernur. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa barat No. 794/Ok.100-Huk/Sk/79. tanggal 18 Juli 1979, bahwa pembagian wilayah Kantor Pembantu Gubernur se-Jawa Barat meliputi 5 wilayah yaitu : 1. Wilayah I Serang yang meliputi Kabupaten Daerah Tiingkat II Serang, Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak, Kabupaten Daerah Tingkat II Pandeglang, Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang. 2. Wilayah II yang meliputi Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor, Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor, Kabupaten Daerah Tingkat II Sukabumi, Kotamadya Daerah Tingkat II Sukabumi, Kabupaten Daerah Tingkat II Cianjur. 3. Wilayah III Cirebon yang meliputi Kabupaten Daerah Tingkat II Cirebon, Kotamadya Daerah Tingkat II Cirebon, Kabupaten Daerah Tingkat II Kuningan, Kabupaten Daerah Tingkat II Majalengka, Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu. 4. Wilayah IV Purwakarta meliputi Kabupaten Daerah Tingkat II Purwakarta, Kabupaten daerah Tingkat II Karawang, Kabupaten Daerah Tingkat II Subang, Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi. 5. Wilayah V yang meliputi Kabupaten Daerah Tingkat II Garut, Kabupaten Daerah Tingkat II Tasikmalaya, Kabupaten Daerah Tingkat II Ciamis, Kabupaten Daerah Tingkat II Sumedang, Kabupaten Daerah tingkat II Bandung. Koordinasi adalah salah satu masalah pemerintahan yang terpenting, yang lebih-lebih sesudah perang dunia pertama semakin bertambah sukar tetapi pula semakin besar artinya, demikian menurut Poelje. (Dalam Ateng Syafrudin, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di daerah, 1976 : 67). Mengenai apa yang dimaksudkan oleh Van Poelje dengan masalah koordinasi dinyatakan sebelumnya, bahwa masalah kerjasama antara aparatur pemerintah pertaliannya satu sama lain merupakan masalah koordinasi. Sekalipun pada umumnya telah disadari mengenai pentingnya koordinasi dalam proses administrasi/Manajemen Pemerintah, tetapi kenyataannya dalam praktek tidak jarang terdapat berbagai masalah yang menyebabkan kurang efektifnya pelaksanaan koordinasi yang diperlukan, sehingga pencapaian sasaran/tujuan tidak selalu berjalan sebagaimana yang diharapkan. Adapun berbagai faktor yang dapat menghambat tercapainya koordinasi menurut Soewarno Handayaningrat adalah sebagai berikut : a. Hambatan-hambatan dalam koordinasi vertical (struktural). Dalam koordinasi vertical (struktural) sering terjadi hambatan-hambatan, sisebabkan perumusan tugas, wewenang dan tanggungjawab tiap-tiap satuan kerja (unit) kurang jelas. Di samping itu adanya hubungan dan tata kerja serta prosedur kerja yang kurang dipahami oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan kadang-kadang timbul keragu-raguan diantara mereka. Sebenarnya hambatanhambatan itu tidak perlu timbul, karena antara yang mengkoordinasikan dan yang dikoordinasikan ada hubungan komando dalam susunan organisasi yang bersifat hirarhis. b. Hambatan-hambatan dalam koordinasi fungsional. Hambatan-hambatan yang timbul pada koordinasi fungsional, baik yang horizontal maupun diagonal, disebabkan mengkoordinasikan tidak terdapat hubungan hirarhis (garis komando). karena antara yang Sedangkan hubungan keduanya terjadi karena adanya kaitan, bahkan interdepensi atas dasar fungsi masing-masing. Adapun hal-hal yang biasanya menjadi hambatan dalam pelaksanaan koordinasi, antara lain : 1) Para pejabat sering kurang menyadari bahwa tugas yang dilaksanakannya hanyalah merupakan sebagian dari keseluruhan tugas dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi tersebut. 2) Para pejabat sering memandang tugasnya sendiri sebagai tugas yang paling penting dibandingkan dengan tugas-tugas yang lain. 3) Adanya pembagian kerja atau spesialisasi yang berlebihan dalam organisasi. 4) Kurang jelasnya rumusan tugas/fungsi, wewenang dan tanggung jawab dari masing-masing pejabat atau satuan organisasi. 5) Adanya prosedur dan tatakerja yang kurang jelas dan berbelit-belit dan tidak diketahui oleh semua pihak yang bersangkutan dalam usaha kerjasama. 6) Kurangnya kemampuan dari pimpinan untuk menjalankan koordinasi yang disebabkan oleh kurangnya kecakapan, wewenang, kewibawaan dan sebagainya. 7) Tidak atau kurangnya forum komunikasi di antara para pejabat yang bersangkutan yang dapat dilakukan dengan saling tukar informasi dan diciptakan adanya saling pengertian guna kelancaran pelaksanaan kerjasama. (Soewarno Handayaningrat, Administrasi Pemerintahan Dalam Pembangunan Nasional, 1983 : 129). 2. Permasalahan Pada Saat Berlakunya UU No. 5 Tahun 1974 Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa koordinasi mutlak diperlukan oleh suatu pemeritahan dalam pembangunan. Agar koordinasi yang dilakukan oleh Pembantu Gubernur dapat berjalan efektif, maka diperlukan berbagai fasilitas pendukungnya baik secara kualitas maupun kuantitas di antaranya skill, komunikasi, sarana dan prasarana pendukung lainnya. Koordinasi memegang peranan yang penting dalam mewujudkan keseimbangan kegiatan pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh individu dan bagian-bagian dalam suatu unit kerja, karena koordinasi merupakan suatu proses yang harus dilaksanakan oleh pimpinan untuk mencapai suatu tujuan keseimbangan kegiatan-kegiatan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pembantu Gubernur yang bertugas membantu Gubernur Kepala Daerah dalam mengkoordinasikan, mengawasi dan membina penyelenggaraan pemerintahan umum dan pembangunan yang dilaksanakan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dalam lingkungan wilayah kerjanya, dalam pelaksanaannya tidak dapat berfungsi secara optimal hal ini disebabkan kurangnya kewenangan yang diberikan. 3. Pengertian dan Prinsip-Prinsip Koordinasi Koordinasi merupakan suatu pengaturan yang tertib dan serasi dari suatu usaha, sehingga pelaksanaan usaha itu menghasilkan kegiatan-kegiatan teratur dan terpadu menuju tujuan yang telah ditetapkan. Setiap usaha pencapaian tujuan dalam proses manajemen memerlukan koordinasi agar setiap kegiatan dalam proses manajemen mengarah pada kesatuan gerak dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Dalam ensiklopedi umum (1973 : 707) koordinasi diartikan sebagai usaha harmonisasi dan sinkronisasi (penyerentakan) tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Tercapai atau tidaknya koordinasi sebagian besar tergantung pada komunikasi. G.R. Terry megemukakan pengertian tentang koordinasi sebagai berikut : Koordinasi dapat dinyatakan sebagai sinkronisasi usaha secara teratur yang ditujukan untuk memberikan petunjuk pelaksanaan, timing pelaksanaan dan arah pelaksanaan agar dengan demikian dapat dicapai tindakan-tindakan yang harmonis serta yang disatukan dalam rangka usaha mencapai objective tertentu. (Winardi, (penyadur), Asas-asa Manajemen , 1970 : 55). The Liang Gie menyebutkan : Koordinasi suatu pengertian dimana terkandung aspek-aspek tidak terjadinya kekacauan, percekcokan, kekembaran dan kekosongan kerja sebagai akibat daripada pekerjaan menghubunghunbungkan; penyatu-paduan dan penyelarasan orang-orang dan pekerjaan dalam suatu kerjasama yang diarahkan kepada pencapaian tujuan tertentu (Kamus Administrasi, 1973 : 92). Arifin Abdulrahman memberikan pengertian tentang koordinasi sebagai berikut : Pengkoordinasian adalah kegiatan-kegiatan untuk menertibkan, sehingga segenap kegiatan manajemen maupun kegiatan pelaksanaan satu sama lain tidak simpang siur, tidak berlawanan dan dapat ditujukan kepada titik arah pencapaian tujuan dengan efisien (ordo-adalah orde=tertib). (Arifin Abdulrahman. Kerangka pokok-pokok Manajemen Umum, 1979 : 113). Definisi lain adalah : Koordinasi ialah pengaturan dan pemeliharaan tata hubungan golongan manusia ke arah tertib usaha, sehingga terjamin adanya kesatuan tindakan ke arah tujuan bersama. Untuk tertibnya hubungan ini perlu diciptakan hubungan yang harminis antara berbagai bagian dari organisasi itu dimana masingmasing menyerahkan dirinya sedemikian, sehingga tiap-tiap bagian memberikan sumbangan yang maksimal bagi tercapainya hasil usaha bersama dan keseluruhannya itu. (Achmad Ichsan, Tata Administrasi Kekaryaan, 19 : 98). S.P. Siagian berpendapat bahwa : “Koordinasi adalah suatu proses pengaturan tata hubungan dari usaha bersama untuk memperoleh kesatuan tindakan dalam usaha pencapaian tujuan bersama pula”. (S.P. Siagian, Peranan staf dalam manajemen, 1978 : 110). Mooney dan Reily menyebutkan : “Coordination as the achievement of orderlygroup effort, and unity of action in the persuit of a common purpose” (Koordinasi sebagai pencapaian usaha kelompok secara teratur dan kesatuan tindakan di dalam mencapai tujuan bersama). (Soewarno Handayaningrat, Pengantar Ilmu Administrasi dan Manajemen, 1982 : 88). Dari uraian di atas terlihat bahwa koordinasi bukan sekedar kegiatan atau kerjasama yang bersyarat walaupun unsur kerjasama merupakan unsur penting dalam koordinasi. Ensiklopedi umum menyebutkan komunikasi sebagai syaratnya. Kamus Administrasi, menekankan pentingnya pengarahan; sementara Achmad Ichsan memandang perlu tiap bagian memberikan sumbangan yang maksimal bagi tercapainya hasil usaha bersama. Sedangkan S.P. Siagian sejalan dengan pendapat Mooney dan Reily yang menekankan pentingnya kesatuan tindakan. Ateng syafrudin memberikan penjelasan tentang kerjasama (cooperation) sebagai berikut : “Kerjasama (cooperation) secara singkat dapat diartikan sebagai tindakan kolektif dari satu orang dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama. (Ateng Syafrudin, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di Daerah, 1976 : 68). Jadi kerjasama berbeda dengan koordinasi sebab dalam koordinasi yang lebih penting adalah menciptakan keserasian, keteraturan dan ketertiban serta kekompakan seluruh kegiatan dalam setiap kerjasama untuk mencapai tujuan yang dikehendaki bersama. Pada koperasi/kerjasama terdapat unsur kesukarelaan atau sifat sukarela (voluntary attitude) dari orang-orang di dalam organisasi, sedangkan koordinasi tidak terdapat unsur kerjasama secara sukarela, tetapi besifat kewajiban (compulsory) (Soewarno Handayaningrat, 1982 ; 90). Dalam mengartikan koordinasi dapat dilihat : 1. Dari segi tujuan : Koordinasi adalah pengaturan mekanisme kerjasama yang tertib dan serasi, sehingga menghasilkan kegiatan-kegiatan yang teratur dan terpadu menuju pada tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian maka hubungan kerja yang simpang siur, duplikatif dapat dihindarkan dan efisiensi pelaksanaan kerja dapat tercapai. 2. Dari segi-segi unsur koordinasi, meliputi adanya : a. b. c. d. e. 3. Hubungan kerjasama Kesatuan tindakan Pengarahan mengenai kepemimpinan Sinkronisasi kegiatan antar unit komunikasi Dari segi proses pelaksanaan : Koordinasi adalah kerjasama (cooperative) yang berada pada rasionalitas yang tinggi, jadi bukan kerjasama biasa melainkan kerjasama yang didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan rasional dalam suatu sistem administrasi. Sasaran pengaturan dalam koordinasi adalah hubungan kerjasama, dan karena berlangsung menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan (misalnya mengenai tugas, wewenang dan ruang lingkup tanggung jawab) maka hubungan kerjasama itu bersifat mengikat (bukan sukarela). Kordinasi di suatu fihak dipandang sebagai fungsi manajemen di antara fungsi-fungsi lainnya, sedangkan di fihak lain dipandang sebagai salah satu prinsip manajemen menurut Herbert G. Hicks : Prinsip adalah sebuah pernyataan fundamental atau kebenaran yang menjadi pedoman kearah pemikiran atau tindakan. (S.P. Siagian, Manajemen dalam Pemerintahan, 1978 : 18). Melalui prinsip-prinsip manajemen, seorang manajer dapat menghindari terjadinya kesalahan-kesalahan fundamental dalam tindakan-tindakannya. (G.R. Terry, Principles of Management, Alih Bahasa : Winardi, 1979 : 12). Dengan demikian koordinasi sebagai salah satu prinsip manajemen merupakan pedoman yang melandasi setiap kegiatan manajerial yang harus ditentukan terlebih dahulu dengan jelas dan tegas sebelum kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan sehingga kesalahan-kesalahan fundamental dapat dihindari. 4. Pelaksanaan Koordinasi di Daerah Propinsi Dalam mengkoordinasikan pembangunan baik sektoral maupun regional, Gubernur berkewajiban : 1. Mengkoordinasikan Perencanaan Pembangunan Sektoral dan Pembangunan Gubernur Kepala Daerah berkewajiban mengkoordinasikan perencanaan sektoral dan pembangunan daerah, agar terdapat keserasian dan keterpaduan dalam pencapaian sasarannya, berdasarkan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh RPJP Nasionall dan RPJP Daerah. Adapun aparatur Daerah yang bertugas mengkoordinasikan perencanaan pembangunan sektoral dan pembangunan daerah ialah Bappeda. Bappeda di dalam melaksanakan tugasnya mendapat pengarahan dan pembinaan teknis dari Bappenas, sebagai Badan yang bertanggungjawab dalam perencanaan pembangunan yang bersifat nasional. Dalam penyusunan rencana dan program pembangunan di Daerah, baik yang bersifat sektoral maupun regional, Bappeda mendapat bahan-bahan dari Departemen/Lembaga Pemerintahan non Departemen dan Dinas-Dinas Daerah, serta dari Departemen Dalam Negeri yang mengkoordinasikan bantuan dari Pemerintah Pusat. Hubungan kerja dalam usaha koordinasi perencanaan dan penyusunan program pembangunan di daerah, antara Bappeda dengan instansi vertikal di daerah dinas-dinas Daerah, yaitu penentuan tindakantindakan yang perlu diambil dalam rangka memperlancar sasaran sesuai dengan tugas pokok instansi yang bersangkutan dalam memperoleh keserasian dan keterpaduan pola pembangunan yang menyeluruh di Daerah. 2. Mengkoordinasikan pelaksanaan Rencana dan Program Gubernur berkewajiban mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan operasional baik yang dilakukan oleh badan-badan, lembaga teknis Daerah manapun oleh dinas-dinas Daerah. Berbagai proyek pembangunan sektoral di Daerah yang dilakukan oleh berbagai Departemen/Direktorat Jenderal, Lembaga Pemerintahan non Departemen, dan proyek-proyek Daerah yang dilakukan oleh berbagai Dinas Daerah, serta proyek-proyek bantuan pemerintah baik yang dilakukan oleh unit pelaksana Daerah maupun yang ditangani langsung oleh aparatur Pemerintah Pusat di Daerah, kesemuanya harus diserasikan secara terpadu dan sinkron oleh Gubernur Kepala Daerah, agar tidak terjadi tumpang tindih, duplikasi dan kemacetan-kemacetan. Oleh karena itu, maka Gubernur Kepala Daerah berkewajiban memberikan pengarahan, bimbingan dan pembinaan kegiatan taktis operasional kepada semua Instansi dan Dinas-Dinas Daerah serta unit-unit pelaksana Daerah lainnya yang terlibat di dalam pelaksanaan kegiatan operasional, agar terjalin adanya kerjasama dan saling membantu dalam penyelesaian proyek-proyek yang bersangkutan. Apabila sesuatu proyek pembangunan yang sifatnya mulai fungsional atau sektoral di daerah, karena melibatkan instansi, dinas-dinas daerah, dan unit-unit pelaksana daerah lainnya dibentuk wadah koordinasi yang disebut Tim Koordinasi. 3. Mengkoordinasikan Pengawasan dan Pengendalian Proyek Pembangunan Agar perencanaan dan program pembangunan di Daerah dapat berjalan sesuai dengan anggaran yang telah ditentukan, maka diperlukan pengawasan dan pengendalian proyek-proyek pembangunan di Daerah. Pengawasan dimaksudkan untuk mengetahui apakah hasil pelaksanaan yang dilakukan oleh aparatur Pemerintah Pusat ataupun aparatur Pelaksana di Daerah, sesuai dengan rencana/program yang ditentukan dalam anggaran. Pengendalian dimaksudkan untuk mengetahui hasil pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan tahap-tahap yang telah ditentukan, dan melakukan tindakan perbaikan apabila terjadi penyimpangan-penyimpangan daripada rencana/program yang telah ditentukan. 5. Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi Pembantu Gubernur Berdasarkan UU No. 5 tahun 1974 Seperti telah dikemukakan bahwa dalam menyelenggarakan Pemerintahan Khususnya pada Propinsi digunakan dua asas utama, yaitu asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi. Berdasarkan asas pertama dibentuk daerah-daerah Otonom, sedangkan berdasarkan asas kedua dibentuk wilayah-wilayah administratif. Dalam urusan-urusan dekonsentratif, Gubernur Kepala Daerah dibantu oleh beberapa Pembantu Gubernur yang masing-masing Pembantu Gubernur mempunyai wilayah Kerja tertentu. Para pembantu Gubernur adalah sebagai staf teritorial. Secara kategoris tidak semua propinsi memerlukan Pembantu Gubernur. Propinsi yang memerlukan Pembantu Gubernur adalah Propinsi yang memilki 8 Daerah Tingkat II atau lebih, karena manurut peraturan yang berlaku adalah lebih berdaya guna dan berhasil guna apabila seorang Pembantu Gubernur mempunyai wilayah kerja 4 atau 5 wilayah Kabupaten. Jabatan Pembantu Gubernur diatur dalam pasal 75 Undang-Undang No.5 tahun 1974. dalam pasal ini ditetapkan bahwa apabila dipandang perlu, Menteri Dalam Negeri dapat menunjuk Pembantu Gubernur, Pembantu Bupati atau Pembantu Walikotamadya yang mempunyai wilayah kerja tertentu dalam rangka dekonsentrasi. Dari staf teritorial diharapkan penguasaan secara sedikit demi sedikit tentang semakin banyak hal, karena Pembantu Gubernur dihadapkan kepada banyak instansi, berbagai jenis program, dan kondisi wilayah yang luas. Sebagai staf, Pembantu Gubernur bertindak dan atas nama Gubernur Kepala daerah yang bersangkutan. Dalam memahami tugas dan kewenangan yang diberikan kepada lembaga Pembantu Gubernur saat itu, perlu diperhatikan perkembangan administrasi pemerintahan dan administrasi Pembangunan Indonesia. Variable-variabel yang diperhitungkan dalam hubungan ini antara lain : 1. Tanggung jawab dan kewenangan Kepala wilayah. 2. Perkembangan Instansi Vertikal di daerah. 3. Posisi Wilayah Kerja Pembantu Gubernur. (Drs. Taliziduhu Ndraha, Metodologi Pemerintahan Indonesia, 1983 : 115). Posisi Pembantu Gubernur di antara Propinsi dengan Kabupaten/Kota juga semakin terasa pentingnya. Ia diharapkan sebagai komunikator antara Gubernur dengan Bupati/Walikota dalam wilayah kerjanya, selain dari itu, ia juga berfungsi sebagai penyaran terhadap urusan desentralisasi, pengambil prakarsa terhadap urusan dekonsentrasi dan pembantuan, bahkan pengambil keputusan terhadap urusan yang bersifat mendadak atau darurat. Ekstensitas dan Intensitas tugas dan tanggungjawab Pembantu Gubernur digambarkan oleh Taliziduhu Ndraha sebagai berikut : Tingkat Kewenangan Darurat/Delegasi Dekonsentrasi Pembantuan Desentralisasi Komunikator X X X X Penyaran X X X X Pemrakarsa X X - - Pemutus X - - - Gambar 1. Tugas dan Tanggungjawab Posisional Pembantu Gubernur (Taliziduhu Ndraha, Metodologi Pemerintahan Indonesia, 1983 : 117). Selanjutnya bidang Pelayanan Staf Teritorial Pembantu Gubernur Taliziduhu Ndraha menggambarkan sebagai berikut : Bidang Pembinaan Pemerintahan Pembangunan 6. Pengawasan Umum Prev. Repres. X X X x X X X x Koordinasi Penyelenggaraan Pemerintahan Umum Menurut Prajudi Atmosudirdjo : “Pemerintahan Umum adalah pemerintahan yang berintikan penegakan kekuasaan, wibawa, dan undang-undang negara secara seutuhnya”, (Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, 1984 : 103). Dengan kata lain pemerintahan umum adalah pemerintahan yang berintikan penegakan politik dan keamanan negara. Lawan atau pembedaan dari pemerintahan umum adalah pemerintahan khusus atau pemerintahan teknis, yakni : pemerintahan di bidang keuangan, pemerintahan perpajakan, pemerintahan di bidang pertanian, pemerintahan di bidang pekerjaan umum, pemerintahan di bidang perindustrian, pemerintahan di bidang kepolisian, dan seterusnya. Bilamana terdapat suatu persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh semua pemerintahan khusus, maka persoalannya diselesaikan oleh pejabat pemerintah umum, yakni Pamong Praja. Karena belum ada perincian yang mendetail tentang urusan pemerintahan yang bersifat dekonsentrasi, maka “wewenang, tugas dan kewajiban Kepala Wilayah” sebagai gambaran tentang apaapa yang termasuk ke dalam urusan pemerintahan umum, sebab Kepala Wilayah adalah merupakan pejabat dalam rangka pelaksanaan tugas. 7. Permasalahan Pada Saat Berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 Untuk memfungsikan pejabat yang mempunyai fungsi koordinasi seperti Pembantu Gubernur setelah berlakunya UU No. 22 tahun 1999 dirasakan masih di perlukan oleh pemerintah pusat, namun dengan otonomi luas yang dimiliki oleh daerah baik kabupaten/kota maupun propinsi dan tidak adanya hubungan secara khirarkhi maupun organisatoris yang dianut oleh UU No. 22 tahun 1999 karena asas dalam UU ini adalah asas desentralisasi dan tugas pembantuan. Fungsi koordinasi pada saat itu sulit di lakukan. Daerah propinsi dan kabupaten/kota berjalan sendiri-sendiri, sehingga mengancam terjadinya disintegrasi bangsa karena daerah propinsi menginginkan otonomi yang seluas-luasnya, malah banyak daerah yang berkeinginan untuk memisahkan diri, Sehingga sebelum UU ini berlaku efektif secara keseluruhan, UU ini sudah dinyatakan tidak berlaku dan diganti dgn UU No. 32 tahun 2004. 8. Permasalahan pada saat ini sejak berlakunya UU No.32 tahun 2004 Dengan berlakunya undang-undang No 32 tahun 2004 yang berasaskan desentralisasi yang moderat atau seimbang dengan asas sentralisasi, sehingga sebagai pejabat pusat yang ada didaerah (dekonsentrasi) yang mempunyai fungsi koordinasi, pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan kepada badan lembaga teknis daerah, dinas dan pemerintah Kabupaten/Kota. Sehingga kedudukan gubernur disamping sebagai kepala daerah juga sebagai kepala wilayah administrative. Untuk membantu mengkoordinasikan wilayah kerja gubernur yang pada umumnya cukup luas dan jumlah penduduk yang cukup banyak, peran lembaga yang sebelumnya bernama “Pembantu Gubernur” dan kemudian menjadi Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil), Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah atau nama lain, masih diperlukan untuk membantu tugas-tugas gubernur di wilayah kerjanya masing-masing. Dengan keluarnya PP 41 tahun 2007 mengisyaratkan gubernur dapat membentuk badan-badan untuk mendukung kinerjanya. Dengan dasar PP 41 tahun 2007 tersebut, maka dibentuklah badan yang mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan koordinasi pemerintahan dan pembangunan dengan nama Badan Kordinasi Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah. Namun demikian dengan semangat reformasi birokrasi yang menganut ramping struktur kaya fungsi, maka kedudukan Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan ini menjadi bertentangan sehingga eksistensi badan ini banyak kalangan yang mempertentangkannya dan mempertanyakan, apakah badan ini betul-betul di perlukan atau diadakan untuk kepentingan tertentu saja. Karena badan ini sifatnya dapat dibentuk, sehingga untuk menentukan dibentuk atau tidaknya badan ini perlu dilakukan suatu kajian akademik yang mendalam sehingga pembentukan badan ini menjadi efektif dan dapat dirasakan manfaatnya baik bagi pemerintah propinsi sebagai pemegang fungsi koordinasi maupun oleh pemerintah kabupaten/kota. DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 1963 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Taliziduhu Ndraha, Metodologi Ilmu Pemerintahan Indonesia, 1983 Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa barat No. 794/Ok.100-Huk/Sk/79. tanggal 18 Juli 1979, bahwa pembagian wilayah Kantor Pembantu Gubernur se-Jawa Barat Ateng Syafrudin, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di daerah, 1976 Soewarno Handayaningrat, Administrasi Pemerintahan Dalam Pembangunan Nasional, 1983 Ensiklopedi Umum, 1973 G.R. Terry , Winardi, (penyadur), Asas-asa Manajemen , 1970 The Liang Gie, Kamus Administrasi, 1973 Arifin Abdulrahman. Kerangka pokok-pokok Manajemen Umum, 1979 Achmad Ichsan, Tata Administrasi Kekaryaan, 1983 S.P. Siagian, Peranan staf dalam manajemen, 1978 Soewarno Handayaningrat, Pengantar Ilmu Administrasi dan Manajemen, 1982 Ateng Syafrudin, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di Daerah, 1976 S.P. Siagian, Manajemen dalam Pemerintahan, 1978 G.R. Terry, Principles of Management, Alih Bahasa : Winardi, 1979 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, 1984 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2007