aspek gender arsitektur rumah adat karampuang di

advertisement
ASPEK GENDER ARSITEKTUR RUMAH ADAT KARAMPUANG DI
KABUPATEN SINJAI, SULAWESI SELATAN
GENDER ASPECTS IN THE ARCHITECTURE OF KARAMPUANG
TRADITIONAL HOUSE IN SINJAI REGENCY, SOUTH SULAWESI
Nasruddin,¹ Ria Wikantari,² Afifah Harisah²
¹Mahasiswa Magister Teknik Arsitektur, Universitas Hasanuddin, Makassar
²Laboratorium Sejarah dan Teori Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin,
Makassar
Alamat Korespondensi:
Nasruddin, ST.
Perumahan Bukit Khatulistiwa, Blok K/ No. 36
Kel. Paccerakkang, Kec. Biringkanaya, Makassar
HP. 085242378836
Email: [email protected]
Abstrak
Arsitektur adat pada masyarakat Karampuang di Sinjai yang mengekspresikan karakter spesifik berbeda dari
arsitektur tradisional Bugis pada umumnya di Sulawesi Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
aspek-aspek apa saja yang didasari oleh gender dalam arsitektur rumah adat Karampuang; menjelaskan dan
mendeskripsikan penerapan gender terhadap arsitektur rumah masyarakat Karampuang. Penelitian ini
dilaksanakan di Dusun Karampuang, Desa Tompobulu yang terletak di Kecamatan Buluppoddo Kabupaten
Sinjai. Penelitian ini dilakukan secara deskriptif dan eksplanatif yang menjelaskan gender dalam arsitektur
Karampuang. Fokus penelitian diarahkan pada berbagai hal yang berhubungan dengan gender dalam arsitektur
rumah adat dan rumah masyarakat Karampuang. Pembatasan fokus penelitian dengan menentukan elemenelemen ruang, bentuk, dan fungsi ruang. Pengambilan sampel (kasus amatan) dilakukan secara purposive
sampling di rumah adat dan rumah masyarakat di sekitar kawasan adat Karampuang. Teknik analisis data yaitu
analisis deskriptif-eksplanatif dan deskriptif-komparatif secara sistematis faktual dan akurat mengenai faktafakta dan situasi yang berhubungan dengan obyek penelitian. Kemudian data diorganisasikan dan disimpulkan
sesuai dengan unsur-unsur pada jenis rumah dan membandingkan gender yang ada di rumah adat dengan rumah
masyarakat yang ada di sekitar kawasan adat Karampuang. Hasil analisis data dikemukakan dengan gambar dan
tabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek dan simbol yang didasari oleh gender perempuan tidak terlepas
dari sejarah Karampuang dimana orang yang pertama membangun dan memakmurkan Karampuang adalah
seorang perempuan. Penggunaan dan penempatan simbol-simbol terhadap bagian maupun ornamen rumah
mewakili anatomi tubuh perempuan. Temuan lain yang didapatkan dari penelitian ini adalah area yang menjadi
dominan ditentukan serta dimanfaatkan oleh gender wanita adalah bagian dalam rumah, sedangkan yang
dominan dimanfaatkan serta diatur sepenuhnya oleh gender laki-laki adalah bagian kolong rumah, sawah atau
kebun. Pemanfaatan ruang baik ruang dalam rumah ataupun kolong rumah, sawah dan kebun sangat dipegaruhi
oleh profesi yang berimplikasi pada waktu-waktu penggunaan ruang.
Kata Kunci: Gender, Arsitektur Tradisional, Rumah Adat, Karampuang
Abstract
Traditional architecture of Karampuang community in Sinjai which expresses specific character, that is different
from the common Buginese traditional architecture in South Sulawesi. This study aims to: identify gender
aspects in the architecture of Karampuang traditional houses; and explain and describe the application of
gender in the traditional house architecture. The research was conducted at Karampuang, Tompobulu village
located in Buluppoddo Subdistrict, Sinjai regency. It was conducted by using descriptive and explanative
approaches. The research was focused on various gender aspects, including the room elements, forms, and room
functions in the architecture of traditional houses and the houses of Karampuang community. The samples
(observed case) were selected from traditional houses and people’s houses of Karampuang custom area by using
the purposive sampling technique. The data were analyzed based on the facts systematically and accurately by
using descriptive-explanative and descriptive comparative methods. The analysis was focused on facts and
situations related to the object of research. The data were then organized and concluded according to the
elements of the house forms. The gender aspects in the traditional houses and people’s houses were also
compared. The results were presented by using pictures and tables. The results reveal that the aspects and
symbols tha are based on female gender is an influence of Karampuang history. The first person who built and
improved the condition of Karampuang was a woman. The use and the position of symbols in the parts and
ornaments of the houses represent the anatomy of a female body. This study also shows that the area dominantly
used for female gender is the inside part of the house, while the area dominantly used and arranged completely
based on male gender is the space under the house, paddy fields, or yards. This space utility is strongly
influenced by profession, which has an implication on the time of space utility.
Keywords: Gender, Traditional Architecture, Traditional House, Karampuang
PENDAHULUAN
Arsitektur tradisional di Indonesia selalu menarik perhatian, selain karena keunikan
juga karena keindahannya. Meskipun mempunyai persamaan satu bentuk arsitektur tradisional
dengan lain, seperti pada bentuk konstruksi kolong, penggunaan bahan-bahan yang diperoleh
dari alam atau lingkungan, dilatarbelakangi oleh kepercayaan dan budaya, namun secara
arsitektural, satu dengan lain sangat berbeda dan mempunyai ciri tersendiri. Kemajuan
teknologi, komunikasi, perhubungan, berbagai arsitektur tradisional mengalami perubahanperubahan yang cenderung meninggalkan keasliannya. Perubahan-perubahan tersebut akan
mengurangi bahkan dapat menghilangkan keaslian, keunikan dan keindahan yang sebetulnya
justru menjadi daya tariknya (Sumalyo, 2001). Proses atau kecendrungan semacam ini
berlangsung di banyak tempat termasuk di Karampuang, Kabupaten Sinjai.
Dalam merumuskan konsep bentuk dapat dilakukan dengan berbagai cara dan metode.
Konsep bentuk dapat dilakukan dengan mengangkat karakter arsitektur lokal ataupun
arsitektur tradisional. Perumusan arsitektur lokal seperti pandangan terhadap alam
(kosmologi), simbol, makna dan batas karakter privat dan publik, sistem sosial, dan kekhasan
suatu permukiman membedakan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Menurut Bagus
dalam Setiadi (2010), faktor-faktor yang mendasari bentuk dalam arsitektur dapat bersumber
dari konsep yang bersifat tradisional.
Arsitektur tradisional sarat akan makna simbolik. Arsitektur tradisional khususnya di
Sulawesi Selatan banyak merepresentasikan gender dalam analogi bentuknya. Simbol-simbol
gender dijadikan sebagai bentuk tampilan bangunan. Bentuk penampilan rumah adat rumah
tradisional Karampuang di Kabupaten Sinjai mempunyai filosofi bentuk yang melambangkan
tubuh seorang perempuan (Muhannis, 2009). Rumah adat Karampuang terdiri dari dua unit
rumah adat yang masing-masing ditempati oleh pemangku adat dengan fungsi yang berbeda.
Satu sebagai tempat tinggal raja (Arung atau To Matoa) yang juga sebagai tempat menyimpan
benda-benda kerajaan (arajang). Sementara satu unit lainnya sebagai tempat tinggal perdana
menteri (Gella). Wujud fisik rumah adat Karampuang dapat dilihat pada gambar 1.
Penelitian tentang arsitektur tradisional Indonesia yang berhubungan dengan gender
juga cukup banyak. Adapun penelitian tentang gender dan kaitannya dengan arsitektur
tradisional. Muqoffa (2005), yang meneliti aspek gender pada dalem bangsawan di Surakarta
menemukan bahwa secara umum ruang tidak disikapi dengan perbedaan peran gender.
Menurut Eddy (2010), dalam masyarakat Karo mengindikasikan bahwa peranan gender dapat
mempengaruhi didalam pembentukan bangunan rumah tradisional Karo, dan terdapat
dominasi gender di dalamnya. Menurut Nugroho (2008), faktor-faktor yang mempengaruhi
pergeseran gender dalam interior rumah tinggal di kawasan Jeron Benteng Yogyakarta lebih
dikarenakan oleh realitas di masyarakat dan latar belakang penghuni seperti: modernisasi,
emansipasi wanita, dan sikap menghormati. Muqoffa (2010), mengatakan bahwa perubahan
hubungan gender dalam rumah Jawa mempunyai tiga varian, dominasi peran perempuan,
dominasi peran laki-laki dan berusaha membagi peran yang sama. Pola ranah gender
mengalami pergeseran. Wardi (2012), menemukan bahwa dalam lingkungan hunian
tradisional khususnya di Dusun Sade Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah, kaum
perempuan memiliki kesempatan yang sangat luas dalam menentukan desain huniannya
sendiri. Terjadi keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan sebagai mitra sejajar
dalam rumah tangga. Setyoningrum (2013), menemukan ketimpangan gender sesungguhnya
tidak terjadi dalam nilai-nilai kodrati yang asli pada budaya bangsa Indonesia, dari pola
penggunaan ruang rumah Gadang kita dapat melihat bahwa kaum perempuan secara alamiah
lebih piawai dalam menjaga, merawat, mengkonservasi.
Penelitian tentang gender dalam arsitektur tradisional diketahui bahwa untuk
beberapa daerah di Indonesia terdapat beberapa konsep yang mendukung keberadaan
perempuan dalam arsitektur, seperti proses pembangunan, pembagian dan pemanfaatan ruang,
serta pemilihan perabot yang akan digunakan. Ada yang berupa pembagian ruang berdasarkan
peran perempuan dalam aktifitasnya sehari-hari, ada pula yang berkaitan menyiasati peran
perempuan karena pergeseran nilai-nilai budaya dan gaya hidup.
Aspek gender dalam arsitektur tradisional Karampuang di Kabupaten Sinjai dalam
hal simbolisasi anatomi tubuh perempuan, antara lain: perletakan tangga dan dapur di tengah
rumah sebagai simbol alat reproduksi seorang perempuan, penggunaan ornamen pada bagian
samping kiri dan kanan bangunan. Ornamen ini dianggap sebagai perhiasan wanita (antinganting). Peran gender dalam arsitektur tradisional perlu kajian yang mendalam. Berbagai
aspek yang perlu dikaji mulai dari aspek proses pembangunan, pembagian tata ruang (sacred
and profane). Aspek kajian dikhususkan peranan gender apa saja yang paling dominan dalam
arsitektur rumah adat Karampuang. Seperti apa peran gender mulai dari proses perencanaan
seperti: penentuan ruang, ukuran ruang, sampai penentuan perabot. Penelitian ini juga akan
mengkaji peran gender dalam pemanfaatan ruang baik dalam kegiatan sehari-hari sampai
dengan kegiatan seremonial yang sewaktu-waktu dilakukan di rumah adat. Penelitian ini juga
bertujuan untuk mengidentifikasi aspek-aspek apa saja yang merepresantasikan gender dalam
arsitektur rumah adat Karampuang.
BAHAN DAN METODE
Lokasi Penelitian dan Rancangan Penelitian
Lokasi penelitian di Dusun Karampuang, Desa Tompobulu, Kecamatan Buluppoddo,
dengan objek
penelitian rumah adat Karampuang. Lokasi penelitian dapat dilihat pada
gambar 2. Jenis penelitian ini dilakukan secara deskriptif dan eksplanatif dengan pendekatan
paradigma naturalistik (fenomenologi).
Fokus Amatan (Populasi) dan Kasus Amatan (sampel)
Untuk penelitian kualitatif istilah populasi disebut kelompok ‘fokus amatan’, ‘satuan
kajian’ atau unit analisis (unit of analysis) sedangkan sampel disebut kasus amatan.
Sedangkan menurut Spradley (dalam Sugiyono, 2013), menyebutnya ‘social situation’
(situasi sosial) yang terdiri dari tiga elemen yatu: tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas
(activity) yang berinteraksi secara sinergitas.
Pada penelitian ini fokus amatan yaitu rumah adat Karampuang beserta penghuninya,
kegiatan yang dilakukan, tempat, serta perlengkapan atau peralatan yang digunakan ataupun
yang melengkapinya. Karena rumah adat Karampuang hanya ada dua unit rumah saja, maka
semua fokus amatan (populasi) juga sekaligus sebagai kasus amatan (sampel). Penentuan
sampel (kasus amatan) pada penelitian kualitatif tidak didasarkan pada perhitungan statistik.
Sampel (kasus amatan) yang dipilih berfungsi untuk mendapatkan informasi yang maksimum,
bukan untuk digeneralisasikan (Sugiyono, 2013). Metode pengambilan data dengan studi
kepustakaan yang relevan dengan penelitian, observasi, dan wawancara langsung dengan
responden (informan kunci) seperti para pemangku adat, serta panrita bola atau sanro bola
(uragi).
Aspek gender yang mendasari arsitektur rumah adat Karampuang dapat dilihat dari: 1)
simbol gender yang meliputi simbol gender, peran gender, posisi gender; 2) aspek nonfisik
meliputi sejarah, budaya, kehidupan sosial, aktifitas kegiatan; 3) aspek fisik terdiri dari ruang,
bentuk, dan bahan bangunan; 4) asfek fungsi yang meliputi kegiatan domestik dan kegiatan
seremonial. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1.
HASIL
Karasteristik Rumah Adat Karampuang
Masyarakat
Karampuang
sebagai
salah
satu
masyarakat
adat
yang
masih
mempertahankan dengan baik adat-istiadatnya. Sebagai masyarakat adat dibutuhkan
perangkat adat untuk menjalankan kehidupan serta pemerintahan adat. Dalam masyarakat adat
Karampuang dikenal empat pemimpin adat. Pemimpin adat yang tertinggi yaitu To Matoa
atau Arung, harus dijabat oleh laki-laki. To Matoa juga disebut sebagai raja. Dalam
menjalankan tugasnya To Matoa dibantu oleh Gella yang bertugas menjalankan pemerintahan
serta kehidupan perekonomian adat. Gella disebut juga sebagai perdana menteri, yang harus
dijabat oleh laki-laki juga. Pemimpin adat yang lain adalah Sanro yang bertugas untuk
melaksanakan kegiatan spiritual masyarakat, dan harus dijabat oleh seorang perempuan.
pemimpin adat yang terakhir adalah Guru yang bertugas untuk memimpin ritual keagamaan
(agama Islam). Guru harus dijabat oleh laki-laki. To Matoa, Sanro, dan Guru menempati satu
unit rumah adat, dan Gella juga menempati satu unit rumah adat.
Rumah adat Karampuang berbentuk panggung seperti kebanyakan rumah-rumah Bugis
pada umumnya di Sulawesi Selatan, namun memiliki beberapa perbedaan yang memberikan
jati diri tersendiri sebagai arsitektur masyarakat yang lahir, tumbuh dan berkembang sebagai
arsitektur Karampuang. Perbedaan antara arsitektur Karampuang dengan arsitektur Bugis
lainnya disebabkan oleh penghargaan terhadap leluhur mereka yang diyakini seorang
perempuan.
PEMBAHASAN
Penelitian menunjukkan aspek arsitektural yang dipengaruhi oleh gender
‘perempuan’ baik pada rumah adat To Matoa maupun pada rumah adat Gella yaitu: 1)
simbol-simbol yang dimiliki oleh rumah (aspek simbol); 2) bentuk penampilan (aspek peran
gender); 3) aspek kesejarahan; 5) hirarki ruang (aspek ruang); 6) aspek bentuk meliputi:
ekspresi bentuk, sistem struktur, ornamentasi; 7) aspek fungsi: kegiatan domestik di dalam
rumah dan seremonial. Banyaknya aspek dan simbol yang didasari oleh gender perempuan
tidak terlepas dari sejarah Karampuang dimana orang yang pertama membangun dan
memakmurkan Karampuang adalah seorang perempuan. Penggunaan dan penempatan simbolsimbol terhadap bagian maupun ornamen rumah mewakili anatomi tubuh perempuan.
Sedangkan hal-hal berkaitan dengan aspek arsitektural yang dipengaruhi oleh gender ‘lakilaki’ adalah aspek peran gender dalam hal proses pembangunan (pengadaan bahan/material,
dan ritual Maddui), aspek pemanfaatan ruang: kolong dan sawah atau kebun, aspek fisik
seperti pengadaan bahan. Aspek kegiatan seremonial peran laki-laki dan perempuan
sebanding.
Temuan lain yang didapatkan dari penelitian ini adalah area yang menjadi dominan
ditentukan serta dimanfaatkan oleh gender wanita adalah bagian dalam rumah, sedangkan
yang dominan dimanfaatkan serta diatur sepenuhnya oleh gender laki-laki adalah bagian
kolong rumah, sawah atau kebun. Pemanfaatan ruang, baik ruang dalam rumah ataupun
kolong rumah, sawah dan kebun (ruang luar) sangat dipegaruhi oleh profesi yang berimplikasi
pada waktu-waktu penggunaan ruang. Profesi sebagai petani oleh laki-laki secara kodrati
lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah serta melakukan aktifitas dari pagi hingga
sore hari. Sedangkan profesi sebagai Ibu rumah tangga lebih banyak menghabiskan waktu di
rumah. Pemanfaatan rumah secara bersama sebagai relasi gender digunakan pada malam hari.
Jika dihitung berdasarkan lama penggunaan ruang rumah, maka gender perempuanlah yang
lebih dominan memanfaatkan ruang dalam rumah.
Sistem kosmologi rumah adat Karampuang membagi dunia ini menjadi tiga bagian atau
tiga tingkat. Bagian yang paling atas yakni boting langi untuk dunia atas atau langit tempat
bersemayamnya Dewata Seuae atau PatotoE. Bagian tengah disebut ale kawa dimaksudkan
sebagai dunia yang dihuni oleh manusia. Bagian yang terbawah adalah paratiwi yakni tempat
bersemayamnya orang-orang telah tiada, sehingga rumah adatnya tidak beralas dan tiangnya
ditanam ke dalam tanah.
Penampilan kedua bangunan rumah adat Karampuang di Kabupaten Sinjai mempunyai
filosofi bentuk yang melambangkan tubuh seorang perempuan yang disebut
Nene’
Makkunrai Indo ri Karampuang (seorang nenek yang dijadikan Ibu di Karampuang). Ibu dari
Karampuang ini dimaksudkan sebagai seorang dewi yang pertama yang membangun adat
yang ada di Karampuang sebagai To Manurung (orang suci yang tidak diketahui asalnya dari
mana).
Masyarakat adat Karampuang mempunyai tradisi sendiri dalam mendirikan rumah.
Tahapan-tahapan sebelum mendirikan rumah yaitu: 1) rapat bersama (mabbahang) semua
pemangku adat; 2) menetukan material (kayu, bambu, daun enau/bakkaweng, dan lain-lain)
yang akan digunakan; 3) menentukan hari penebangan pohon; 4) pohon yang akan ditebang
terlebih dahulu akan di bacakan mantra oleh Sanro dengan maksud untuk meminta izin
kepada sang pencipta untuk menebang pohon dan diberikan keselamatan kepada penghuninya
kelak, kriteria pohon yang akan ditebang harus diperhatikan dengan baik, seperti: pohonnya
segar dan daun rimbun, berbatang lurus dan mulus, ditumbuhi beberapa tanaman lain yang
dianggap baik oleh warga; 5) Setelah pohon ditebang, pohon akan dibawa ke lokasi rumah
adat dengan cara ditarik (ritual ini biasa disebut dengan ritual Maddui); 6) Penentuan Possi
Bola atau pusat rumah juga mempunyai cara dan ritual sendiri, yang sering dilaukan oleh
sanro bola (uragi). Di bawah tanah yang akan ditempati Possi Bola,
juga ditanam berbagai
macam benda-benda yang disebut tuli’ (seperti beras ada hitam, kuning, putih) yang tentunya
dipercaya akan mebawa pengaruh yang baik.
Kedua bangunan rumah adat karampuang, mempunyai orientasi yang berbeda. Rumah
adat yang ditempati oleh To Matoa (raja) mempunyai orientasi kearah Barat (Akhirat).
Filosofi orientasi ini dikarenakan Raja sebagai pemimpin tertinggi dalam adat dan sekaligus
sebagai orang tua akan selalu berorientasi kearah kehidupan selanjutnya (akhirat), sebagaiman
arah barat adalah arah tenggelamnya matahari sebagai akhir dari kehidupan. Raja (Arung)
yang akan memberikan pesan-pesan moral, wejangan-wejangan untuk selalu berbuat baik,
sebagai bekal kita menghadap sang pencipta, serta memberikan pesan kepada masyarakat
untuk tetap selalu melestarikan adat. Dengan kata lain bahwa pada rumah adat To Matoa
adalah tempat membicarakan hal-hal yang ritual.
Rumah adat Puang Gella (perdana menteri) mempunyai orientasi ke arah Timur
(Duniawi). Ini melambangkan bahwa matahari terbit dari timur, tanda dimulainya kehidupan..
Dalam hidup ini manusia harus bekerja untuk kelangsungan hidup mereka. Dimana fungsi
Gella sebagai pengatur urusan kehidupan dan ekonomi, pekerjaan masyarakat adat (pallaong
ruma) seperti bercocok tanam, mengolah sawah, masalah rumah tangga, pertikaian/mengadili
perkara, berburu babi hutan sebagai hama, dan lain-lain. Rumah adat Gella adalah tempat
untuk membicarakan hal-hal yang besifat dunia
Rumah adat Karampuang menggunakan material yang mempunyai dimensi berdasarkan
ukuran anggota tubuh manusia (antropometri). Ukuran ini telah dipakai secara turun temurun,
tidak diketahui kapan dimulainya. Menurut para pemangku adat dan Uragi (sanro bola)
meski tidak diketahui secara pasti ukuran tubuh Puang To Matoa dan Puang Gella yang
mejabat pada masa itu, ukuran pada rumah adat tersebut tidak pernah diubah dan tetap dijaga
ukuran awal hingga sekarang jika ada pergantian material. Posisi material yang digantikan
akan menempati posisi awal diupayakan tidak bergeser sedikitpun.
Rumah adat Karampuang mempunyai tata ruang yang hampir sama. Perbedaan tata
ruang pada jumlah kamarnya. Pada bagian depan rumah, terbuka dan tidak ada sekat sebagai
pembatas ruang. Penggunaan sekat terdapat di bagian belakang (sonrong ri munri) yang
digunakan sebagai kamar untuk masing-masing pemangku adat dan pembantunya (ana’
malolo).
Pembagian ruang rumah adat Gella pada prinsipnya sama dengan pembagian ruang
pada rumah adat To Matoa. Yang membedakan adalah jumlah kamar atau bili’ pada bagian
Sonrong ri monri yang hanya terdiri dari dua unit kamar (bili’) saja yang masing-masing
untuk ana’ malolo gella dan Puang Gella sendiri.
Ornamen dan bagian penting yang ada pada rumah adat Karampuang, baik rumah To
Matoa maupun rumah Gella yaitu: 1) Timpa laja; 2) Bate-bate/loe-loe; 3) Zhyuling; 4)
Tappi/tobo’ melambangkan tanduk kerbau, ini menandakan jika bagian rumah pocco lehu
dibongkar (diganti) maka harus disembelihkan seekor kerbau. Ada juga sumber lain yaitu
Puang Mattang seorang pemerhati adat mengatakan kalo itu adalah simbol mahkota (bombo’)
dan tusuk konde (tobo’) seorang dewi (perempuan), lengkap dengan kalungnya; 5) Posi Bola
sebagi pusat atau inti rumah, terletak ditengah-tengah rumah; Addeneng (tangga), posisinya
dibagian tengah rumah yang melambangkan jika manusia itu dilahirkan dari rahim seorang
ibu dan keluar melalui alat kelamin (vagina). Jumlah anak tangga untuk rumah Arung
(Tomato) adalah sebelas, sedangkan Gella Sembilan anak tangga. Artinya Arung lebih tinggi
posisinya dan pasti kedua-duanya jumlahnya ganjil; 6) Dapureng (dapur) posisinya di depan
tangga, juga diibaratkan sebagai payudara ibu dengan maksud manusia terlahir kedunia ini
saat pertama kalinya akan langsung menyusu kepada ibunya. Ini dimaksudkan sebagai sumber
kehidupan; 7) Batu Tuo (batu hidup)
sebagai pemberat untuk membuka pintu yang
diibaratkan sebagai bagian alat kelamin perempuan (klitoris), makna lain adalah merupakan
sesuatu yang harus dijaga dari seorang perempuan, dan dimaksudkan untuk terus menjaga
kelestarian adat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa gender perempuan lebih dominan dalam
rumah adat Karampuang. Aspek yang dilandasi oleh gender dalam rumah adat Karampuang
dipengaruhi oleh sejarah yang diyakini oleh masyarakat, dan unsur-unsur gender perempuan
baik dari segi anatomi tubuh, maupun ruang khusus untuk perempuan diaplikasikan di rumah
adat mereka. Dalam rangka pelestarian rumah adat dan kebudayaan daerah, khususnya di
Karampuang diperlukan perhatian yang serius baik oleh masyarakatnya sendiri maupun oleh
pemerintah dalam upaya melindungi, mempertahankan, serta menjaga kekhasan arsitektur
Karampuang.
DAFTAR PUSTAKA
Eddy, Firman. (2010). Peranan Gender Dalam Arsitektur Studi Kasus: Arsitektur Karo,
Koridor. 1. 1: 31 – 42.
Muhannis. (2009). Karampuang dan Bunga Rampai Sinjai. Ombak: Yogyakarta.
Muqoffah, Muhammad. (2005). Mengkonstruksikan Ruang Gender Pada Rumah Jawa Di
Surakarta dalam Perspektif Kiwari Penghuninya. Dimensi Teknik Arsitektur. 33.2: 87
– 93.
Muqoffah, Muhammad. (2010). Rumah jawa Dalam Dinamika Peruangan dan Perubahan
Hubungan Gender Kasus: Komunitas Kampung Batik Laweyan Surakarta. Disertasi
tidak diterbitkan. Surabaya: Program Doktor Arsitektur – ITS.
Nugroho, D. M. (2008). Pergeseran Gender Pada Interior Rumah Tinggal di Kawasan Jeron
Benteng Yogyakarta. Lintas Ruang. Vol. 2.2: 23 – 31.
Setiadi, Amos. (2010). Arsitektur Kampung Tradisional. UAJY Press: Yogyakarta.
Setyoningrum, Yunita. (2013). Mempertanyakan Kesetaraan Gender: Bercermin pada Ruang
Hunian Tradisional Indonesia (studi kasus: rumah gadang minangkabau). (online),
(http://maranatha.academia.edu/YunitaSetyoningrum/Papers, diakses pada Rabu, 09
Oktober 2013)
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Cet-18. Alfabeta:
Bandung.
Sumalyo, Yulianto. (2001). Perkembangan Arsitektur 1. Bahan Ajar tidak diterbitkan.
Makassar: jurusan Teknik Arsitektur-UNHAS.
Wardi , L. H. S. (2012). Pembentukan Konsep Ruang Perempuan pada Lingkungan Hunian
Tradisional Suku Sasak di Dusun Sade Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah.
Media Bina Ilmiah. 6.2: 29 – 35.
Lampiran
A. Rumah Adat Gella
B. Rumah Adat To Matoa
Gambar 1. Rumah Adat Karampuang, (2013)
Rumah Adat
Karampuang
A. Peta Kec. Bulupoddo
B. Foto Udara Kawasan Karampuang
Gambar 2. Lokasi Rumah Adat Karampuang, (2013)
Tabel 1. Identifikasi aspek arsitektural yang didasari oleh gender yang mempengaruhi arsitektur rumah adat Karampuang
Contoh
Gender
Unit Informasi
(Lk/Pr)
Dapur, tangga di tengah,
sambungan kolom
Anting-anting sebagai
ornamen
Pr
Pr
Pr
Proses pembangunan
- Pengadaan bahan
- Pengadaan konsumsi
- Ritual Maddui
- Ritual Mangampo’ dalam Maddui
Lk
Pr
Pr
Lk
Pemanfaatan ruang
- Kolong
- Badan rumah (ale bola)
- Loteng atap (rakkeang)
- Kebun dan sawah
Lk
Pr
Lk
To Manurung pertama
seorang perempuan
Simbol yang digunakan dalam rumah, ornamen, sistem
struktur dan tata ruang menggunakan anatomi tubuh
perempuan
Proses Perencanaan
- bentuk penampilan
Pr
Tema
Peran
gender
dalam
perencanaan
ruang,
proses
pembangunan
dan penggunaan
Makna
Penghargaan kepada leluhur
(To
Manurung)
yang
pertama
Seorang dewi perempuan
yang
telah
berjasa
memakmurkan
serta
meletakkan
fondasi
kehidupan
adat
di
Karampuang.
Simbol
gender
Ruang
’Rakkeang’
merupakan ruang ritual
tersendiri
yang
hanya
diperuntukkan
bagi
perempuan
dalam
hal
menyimpan padi
Sejarah
-
Kehidupan
sosial/kekerabat
an
Keterangan : Lk = Laki-laki, Pr = Perempuan, Ket- = Keterangan
Ket-
Simbol-simbol
Gender
Gender yang berpengaruh dalam sejarah masyarakat
Karampuang
- Representasi gender dalam pengurus adat
- Aturan adat yang mengikat dalam hal rumah adat
Representasi gender dalam pengurus adat
Keberadaan gender ada pengakuan dan penghargaan
khususnya laki-laki terhadap wanita
Konsep
Budaya/Adat
istiadat
Sejak dahulu
sudah
ada
kesetaraan
gender
Aspek
non
fisik Gender saling
melengkapi
terdapat
kesetimbangan
gender dalam kehidupan
sosial
dan
budaya
masyarakat
Lanjutan Tabel 1
Contoh
Gender
Unit Informasi
(Lk/Pr)
Tema
Memasak,
menjemur padi
Pr -
Mengurus
rumah,
mengolah
bahan
makanan,
istirahat,
berbincang-bincang
-
Mengolah sawah, kebun,
menggembala ternak
Lk
Lk
-
Pr Lk
-
Ket-
Makna
Aktifitas Kegiatan
Di dalam rumah
Penggunaan
ruang
bergantung
pada
profesi
dan waktu
Di luar rumah
(kebun/sawah)
Waktu
- Pagi – siang
- Siang – sore
- Malam
Pr
Konsep
Tempat
Rumah
Kebun/sawah
Profesi
Mengurus rumah
Petani
Keterangan : Lk = Laki-laki, Pr = Perempuan, Ket- = Keterangan
Aspek
Non Fisik
(lanjutan)
Pada waktu pagi sampai sore hari rumah lebih
banyak digunakan oleh perempuan, sedangkan
laki-laki lebih banyak di kebun ataupun sawah.
Laki-laki hanya kembali beristirahat sejenak
pada siang tengah hari. Artinya berdasarkan
profesi maka waktu pemanfaatan ruang juga
berbeda. Petani pada siang hari di kebun, dan ibu
rumah tangga pada siang hari lebih banyak di
rumah.
Rumah menjadi tempat bersama keluarga (lakilaki dan perempuan) pada malam hari
Lanjutan Tabel 1
Contoh
Penempatan
tangga
dan
dapur,
penggunaan
ornamen,
pengaturan
letak kamar.
Lubang tiang
(alliri) tidak
boleh
dilubangi dari
arah samping
Gender
(Lk / Pr)
Unit Informasi
Tema
Konsep
Jenis ruang
KetAturan adat
Susunan ruang/tata ruang
Aturan adat
Ruang
Makna
Jenis ruang serta tata ruang rumah adat ditentukan oleh aturan adat, yang
telah dilestarikan turun temurun. Ruang-ruang yang ada telah ditetapkan
oleh aturan adat seperti kamar raja (Lk), Sanro (Pr), Guru (Lk), dan ana
malolo arung (Lk)
Hirarki ruang
Pr
Pr
Ekspresi bentuk
Pr
Sistem struktur
Pr
Ornamentasi
Rumah
itu
”ibarat/seperti/
bagaikan”
perempuan
Bentuk
Semua ornamen melambangkan bagian-bagian tubuh serta perhiasan yang
digunakan oleh perempuan zaman dahulu
Penentuan bahan bangunan lebih banyak oleh laki-laki karena lokasi
bahan yang jauh di dalam hutan, serta ukuran yang diambil adalah ukuran
tubuh To Matoa (Lk) dan Gella (Lk) yang pertama, bukan ukuran To
Manurung (Pr) yang pertama
Bahan Bangunan
Lk
Pr
Lk
Pr
Pr
Pr
Pr
Lk
Pr
Lk & Pr
Pr
Lk
Kegiatan domestik
- Dalam rumah
- Di luar rumah
Kegiatan seremonial:
- Mappatinro bine
- Mappogau sihanua
- Mappalesso ase
- Mangampo’
- Mabbissa Lompu
- Kelahiran
- Kematian
- Penggantian tetua adat
- Maddui
Aspek
Fisik
Fungsi
Keterangan: Lk = Laki-laki, Pr = Perempuan, Ket- = Keterangan
Merepresentasikan gender perempuan karena dipercaya leluhur (To
Manurung) Karampuang seorang perempuan
Dalam
pergantian tetua
adat, penentuan
waktu
acara
adat,
ada
persetujuaan dari
perempuan
Banyak ritual yang dijalankan dan dipimpin oleh perempuan (Sanro).
Termasuk dalam upacara adat terbesar Mappogau Sihanua (pesta
kampung) yang merupakan pesta raja (Lk) sebagai pelaksana tetapi
banyak ritual dalam pesta itu yang dipimpin oleh Sanro
Download