BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Pengambilan Keputusan Etis Dalam Djatmiko (2003: 83), pengambilan keputusan adalah : “Proses pengambilan pilihan dari sejumlah alternatif.” Salusu (2004: 76) mengungkapkan perbedaan pengambilan keputusan etis dengan pengambilan keputusan lainnya terletak pada apa yang disebut sebagai prinsip-prinsip etis yang mendasari pengambilan keputusan etis dan pada fakta bahwa pengambil keputusan menerima prinsip yang dipersoalkan itu sebagai bagian dari pandangan moralnya berkaitan dengan persoalan baik dan buruk yang diketahui secara umum / keputusan yang baik secara moral dan legal di hadapan masyarakat umum. Etika juga menjelaskan pilihan-pilihan etis karena pemahaman terhadap etika menolong orang dalam mendekati pilihan yang membuatnya mengambil keputusan etis (Simorangkir, 2003: 11). Kualitas jasa konsultasi perpajakan merupakan fungsi dari kompetensi teknis dan pemahaman terhadap etika untuk dapat melakukan pertimbangan dalam membuat keputusan yang etis (Ludigdo, 2007: 52). Profesi konsultan pajak merupakan pekerjaan yang sarat dengan etika dan muatan moral. Dalam Brooks dan Dunn (2012) mengungkapkan kekeliruan yang sering dilakukan para pembuat keputusan dalam dunia bisnis : 11 12 1. Berfokus pada keuntungan jangka pendek dan pemegang saham tanpa memandang sisi lain di luar keuntungan dan pemegang saham. 2. Berfokus hanya pada legalitas atau hanya peduli dengan apakah suatu tindakan sesuai dengan aturan yang ada. 3. Keadilan yang terbatas, kadang-kadang pengambil keputusan bersikap adil hanya untuk kelompok yang disukai. Cara yang terbaik untuk menjamin suatu keputusan itu etis bila berlaku adil untuk semua pemangku kepentingan. 4. Konflik kepentingan, situasi dimana pengambil keputusan tidak dapat mengambil keputusan secara objektif. 5. Kegagalan mempertimbangkan motivasi dalam mengambil keputusan yang etis. Lawrence Kohlberg (1963) dalam Bertens (2013: 61), menjelaskan teori perkembangan moral (cognitive development theory) mencakup penalaran remaja dan orang dewasa. Teori ini berpandangan bahwa perkembangan moral merupakan dasar dari perilaku etis. Perkembangan moral tidak terjadi karena pembawaan tetapi merupakan hasil interaksi manusia dengan lingkungan sosialnya. Dari teori Kohlberg tersebut, James Rest (1986) dalam Wittmer (2005: 51) membuat sebuah model dalam pengambilan keputusan etis atau disebut 4 komponen seseorang dalam menghadapi dilema etika : 13 Tabel 2.1 Model 4 Komponen Rest (1986) Model 4 Komponen Uraian Rest I. Sensitivitas Etis (Persepsi Etis) Identifikasi dilema etis Pertimbangan - pertimbangan Dipengaruhi II. Pertimbangan Etis oleh apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi dilema etis faktor – faktor individual mengenai III. Motivasi etis IV. Karakter Etis Niat untuk patuh atau tidak patuh dengan solusi yang ideal Mengacu pada sifat-sifat atau kepribadian Sumber : Wittmer (2005: 51) dalam terjemahan Indonesia 1. Komponen I : komponen Rest yang pertama adalah sensitivitas etika atau persepsi etis yang merupakan adanya suatu keyakinan bahwa situasi memiliki implikasi etis / adanya keterlibatan etika dengan masalah tersebut. 2. Komponen II : komponen kedua ini adalah pertimbangan etis, yang didefinisikan sebagai pertimbangan-pertimbangan mengenai yang harus dilakukan untuk mengantisipasi dilema etis. Proses dari tahapan pertimbangan etis ini meliputi pemikiran etis dari pertimbangan profesionalnya seperti kompetensi profesi dan pemahaman etika profesinya dalam sebuah pemecahan yang ideal untuk sebuah dilema etis. 14 3. Komponen III : motivasi etis dimulai dari adanya need atau kebutuhan pada diri individu yang menyebabkan timbulnya dorongan yang berfungsi memberi arah dari suatu perilaku untuk mengatasi atau memenuhi kebutuhan yang menjadi penyebab timbulnya dorongan itu sendiri. 4. Komponen IV : adalah karakter etis, yang mengacu pada sifat-sifat atau kepribadian seperti kekuatan ego, kekerasan hati (ketekunan), ketabahan, dan keberanian dalam pengambilan keputusan yang etis. Berlandaskan pada model James Rest (1986) mengenai 4 komponen seseorang dalam menghadapi dilema etis tersebut digunakan faktor-faktor individual berupa persepsi pentingnya etika dan tanggung jawab sosial, sifat machiavellian dan pertimbangan etis konsultan pajak untuk mengetahui pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan etis berhubungan dengan penghindaran pajak yang dilakukan konsultan pajak. Shafer dan Simmons (2008), melakukan penelitian mengenai profesional pajak dalam mengambil keputusan etis dan menyebutkan bahwa keputusan etis oleh profesional pajak yang dimaksud adalah tidak membantu wajib pajak melakukan penghindaran pajak. Dalam penelitian ini juga, pengambilan keputusan etis konsultan pajak tentunya berhubungan dengan melakukan / tidak melakukan penghindaran pajak. 15 2.1.2 Penghindaran Pajak 2.1.2.1 Pajak Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 tahun 2007 mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan dalam Zain (2010: 2), pajak adalah : “Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH. (1990) dalam Mardiasmo (2011: 1) menyebutkan bahwa pajak : “Iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” Sedangkan Prof. Dr. P.J.A. Adriani dalam Waluyo (2005: 2), Pajak adalah sebagai berikut : “Iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang yang oleh wajib membayarnya menurut peraturan umum (undangundang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.” Mengingat betapa pentingnya peran masyarakat untuk membayar pajak dalam pembiayaan negara, dituntut kesadaran warga negara untuk memenuhi kewajiban kenegaraan. Terlepas dari kesadaran sebagai warga negara, sebagian besar warga negara tidak memenuhi kewajiban membayar pajak. Dalam hal demikian disebut perlawanan terhadap pajak (Sari, 2013: 50). 16 Perlawanan terhadap pajak yang dilakukan oleh wajib pajak merupakan hambatan dalam pemungutan pajak. Hal tersebut dapat disebabkan oleh kondisi negara dan masyarakat, maupun oleh usaha-usaha wajib pajak yang disadari atau tidak mempersulit pemasukan pajak dalam kas negara (Pohan, 2013: 22). 2.1.2.2 Tax Hidrance Dalam Loen dan Meliana (2009: 49), sebuah istilah yaitu Tax Hidrance, Tax berarti pajak dan Hidrance yang berarti hambatan, rintangan atau gangguan. Menurut Mardiasmo (2011: 8), hambatan dalam pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu : 1. Perlawanan pasif Pada perlawanan pasif, tidak ada usaha secara nyata dari wajib pajak untuk menghambat pemungutan pajak atau menghindari pajak melainkan karena tidak mengerti peraturan perundang-undangan perpajakan. 2. Perlawanan aktif Meliputi semua usaha untuk secara langsung ditujukkan kepada fiskus dengan tujuan menghindari pajak seperti, penghindaran pajak (tax avoidance) yaitu usaha wajib pajak untuk meringankan beban pajak dengan cara tidak melanggar undang-undang dan penggelapan pajak (tax evasion) yaitu usaha wajib pajak untuk meringankan beban pajak dengan melanggar undang-undang. 17 2.1.2.3 Tax Avoidance Menurut Lyons (1996) dalam Suandy (2008: 7), tax avoidance adalah : “Tax avoidance is a term used to describe the legal arrangements of tax payer’s affairs so as to reduce his tax liability. For example it is use to describe avoidance achieved by artificial arrangements of personal or business affair to take advantage of loopholes, ambiguities, anomalies or other deficiencies of tax law.” Tax Avoidance merupakan rekayasa agar beban pajak dapat ditekan serendah mungkin dengan memanfaatkan celah peraturan yang ada tetapi berbeda dengan tujuan dan esensi sebenarnya dalam undang-undang perpajakan (Suandy: 2008: 6). Penghindaran pajak (Tax Avoidance) seringkali menyangkut konsultan pajak yang terlibat di dalamnya. Secara sederhana, penghindaran pajak (Tax Avoidance) mengartikan tindakan konsultan pajak dalam meminimalkan kewajiban perpajakan para wajib pajak adalah dengan bergerak di ruang yang tidak diatur oleh undang-undang perpajakan yang dikenal dengan memanfaatkan loopholes (celah) (Loen dan Meliana, 2009: 51). Loen dan Meliana (2009: 65) mengungkapkan bahwa dengan memperhatikan esensi tax avoidance, tentunya kerugian penerimaan pada kas negara akan terus berlangsung, mengingat definisi tax avoidance itu sendiri adalah meminimalkan beban pajak tanpa melanggar undang-undang. Bila seperti itu, maka negara telah menjadi korban penipuan yang dilakukan oleh warganya sendiri. Dalam Kode Etik Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), berhubungan dengan wajib pajak pun telah menyebutkan bahwa seorang konsultan pajak harus 18 menjunjung tinggi integritas, martabat dan kehormatan dengan bersikap jujur, mampu melihat mana yang benar, serta bersikap profesional dengan menggunakan pertimbangan moralnya dalam pemberian jasa yang dilakukan. Tentunya itu berarti bahwa konsultan pajak dilarang untuk menerima setiap ajakan / permintaan wajib pajak atau pihak lain untuk melakukan rekayasa atau perbuatan yang bertentangan dengan kode etik konsultan pajak. Kebanyakan konsultan pajak beranggapan bahwa pajak dipungut karena ketetapan undang-undang perpajakan. Artinya, setiap hal pada dasarnya boleh dilakukan selama belum secara konkret dilarang oleh undang-undang. Itulah yang kemudian menjadi esensi tax avoidance, dimana semua perbuatan meminimalisasi utang pajak sah untuk dilakukan, selama tidak diatur dengan rinci dalam perundang-undangan perpajakan yang tentunya sesuai dengan kepentingan mereka, yang di sisi lain berlawanan dengan maksud sebenarnya yang ada dalam undang-undang (Loen dan Meliana, 2009: 66). Dari penjelasan di atas tentu saja dapat disimpulkan bahwa tax avoidance itu adalah salah walaupun tidak melanggar undang-undang tetapi berlawanan dengan kode etik dan dapat merugikan negara (Loen dan Meliana, 2009: 68). 2.1.2.4 Ethical Dilemmas Vignettes Dalam pengukuran pengambilan keputusan etis digunakan ethical dilemmas vignettes (yang berarti sketsa). Sketsa dari Burton et al (1991), Davis dan Welton (1991) dan Cohen et al (1996) ini digunakan oleh Richmond (2001) 19 dan Jiwo (2011) berdasarkan situasi dilema etika yang sering dihadapi dalam bisnis dan oleh para profesional akuntansi. Seperti pada instrumen sketsa dilema yang digunakan peneliti lain yaitu Difining Issue Test (DIT) dan Thorne’s Ethical Dilemmas (TED), sketsa ini memiliki prinsip pengukuran yang sama, yaitu teori Kohlberg (1963) dan James Rest (1986) dalam menghadapi dilema etika. Sketsa dilema vignettes ini dipilih diantara sketsa dilema lain karena sketsa dilema lainnya berdasarkan etika secara universal sedangkan sketsa dilema vignettes ini berdasarkan situasi dilema etika yang sering dihadapi dalam bisnis dan oleh para profesional akuntansi. Sketsa dilema ini memungkinkan responden untuk menjadi actor dalam situasi dilema tersebut dan sketsa ini dapat menempatkan masalah etika dalam konteks yang realistis. Sebanyak tujuh sketsa digunakan untuk menentukan bagaimana penalaran etika, moral, evaluasi dilema etika konsultan pajak. 2.1.3 Persepsi Pentingnya Etika dan Tanggung Jawab Sosial 2.1.3.1 Persepsi Dalam Robbins (2006: 169), persepsi adalah : “Proses yang digunakan individu mengelola dan menafsirkan kesan indera dalam rangka memberikan makna pada lingkungan mereka.” Bimo Walgito (2004: 89) mengungkapkan bahwa persepsi : 20 “Merupakan suatu proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga menjadi sesuatu yang berarti.” Persepsi seseorang itu penting dalam studi perilaku individu karena perilaku manusia didasarkan pada persepsi mereka mengenai apa realitas yang ada. Persepsi dalam arti umum adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu yang akan mendasari bagaimana dan dengan apa seseorang akan bertindak. Persepsi disini berhubungan dengan etika dan tanggung jawab sosial. 2.1.3.2 Etika dan Tanggung Jawab Sosial Etika berhubungan dengan seluruh ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan manusia dan masyarakat seperti antropologi, psikologi, politik maupun ekonomi. Menurut Ludigdo (2007: 21), etika adalah : “Pemikiran dan pertimbangan moral yang memberikan dasar bagi seseorang maupun sebuah komunitas dalam melakukan suatu tindakan.” Dan Bertens (2013: 5) mengartikan etika sebagai : “Nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.” Sedangkan pengertian moralitas didefinisikan oleh Ernawan (2007: 2), sebagai berikut : 21 “Suatu sistem nilai yang memberikan petunjuk konkrit tentang bagaimana harus bertindak yang baik dan bagaimana cara menghindari tindakan yang tidak baik.” Bertens (2013: 6), mendefinisikan moralitas adalah : “Sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.” Etika dan moralitas memiliki arti yang sama, namun dalam pemakaian sehari-harinya ada sedikit perbedaan. Moralitas langsung menunjukkan inilah caranya untuk bertindak sedangkan etika justru mempersoalkan apakah harus dengan cara ini untuk bertindak, jadi etika merupakan sikap kritis masyarakat dalam merealisasikan moralitas (Ernawan, 2007: 4). Isu penting yang tengah menjadi perhatian dunia usaha baik dalam maupun luar negeri adalah masalah yang berkaitan dengan etika dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap eksistensinya dalam masyarakat, yang dikenal dengan corporate social responsibility (CSR). Motivasi utama setiap perusahaan yang tidak memperhatikan dan tidak menerapkan nilai-nilai moral, hanya berorientasi pada laba (tujuan) jangka pendek sudah tentu adalah meningkatkan keuntungan semata (Ernawan, 2007: 108). Saat ini konsep Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan respon dari tindakan perusahaan yang merugikan masyarakat dan lingkungan. Dalam Wibisono (2007) mendefinisikan tanggung jawab sosial perusahaan sebagai komitmen bisnis untuk secara terus menerus berperilaku etis dan berkontribusi dalam pembangunan ekonomi serta 22 meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, masyarakat lokal dan masyarakat luas pada umumnya (Agoes dan Ardana, 2009: 89). Keraf (1998) dalam (Agoes dan Ardana, 2009: 93). mengungkapkan alasan-alasan yang menentang adanya konsep tanggung jawab sosial perusahaan diantaranya : a. Perusahaan adalah lembaga ekonomi yang tujuan pokoknya mencari keuntungan, bukan merupakan lembaga sosial. b. Perhatian manajemen perusahaan akan terpecah dan akan membingungkan mereka bila perusahaan dibebani banyak tujuan. c. Biaya kegiatan sosial akan meningkatkan biaya produk yang akan ditambahkan pada harga produk sehingga akan merugikan masyarakat. d. Tidak semua perusahaan mempunyai tenaga terampil dalam kegiatan sosial. Sementara itu, alasan-alasan yang mendukung konsep tanggung jawab sosial perusahaan yaitu : a. Kesadaran yang meningkat dan masyarakat yang semakin kritis terhadap dampak negatif dari tindakan perusahaan yang merusak alam serta merugikan masyarakat sekitarnya. b. Sumber daya alam yang semakin terbatas. c. Menciptakan lingkungan sosial yang baik. 23 d. Perimbangan yang adil dalam memikul tanggung jawab dan kekuasaan dalam memikul beban sosial dan lingkungan antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat. e. Menciptakan keuntungan jangka panjang. Seperti diungkapkan di atas, setiap individu masih memiliki pandangan yang berbeda mengenai pentingnya sebuah etika dan tanggung jawab sosial perusahaan. Shafer dan Simmons (2008) yang meneliti mengenai pengaruh antara tanggung jawab sosial perusahaan, sifat machiavellian dan penghindaran pajak pada profesional pajak Hong Kong mengungkapkan profesional pajak yang kurang mementingkan tanggung jawab sosial perusahaan kemungkinan besar profesional pajak tersebut akan mengambil keputusan tidak etis dengan melakukan penghindaran pajak. Seperti profesional pajak yang meyakini bahwa kepentingan utama perusahaan adalah pemegang saham saja dan hanya berorientasi meningkatkan laba perusahaan tanpa memperhitungkan kesejahteraan karyawan dan masyarakat, serta kualitas lingkungan maka profesional pajak tersebut akan menganggap wajar penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan. Standar Profesi Konsultan Pajak (SPKP) dalam IKPI (2010), menyebutkan bahwa selain bertanggung jawab terhadap klien seharusnya konsultan pajak juga memiliki tanggung jawab terhadap : a. Masyarakat b. Profesinya (tunduk pada Standar Profesi dan Kode Etik) c. Dirinya sendiri 24 d. Organisasi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) e. Otoritas Pajak g. Setiap rekan dalam anggota persekutuan profesi h. Pemberi kerja bila bekerja pada suatu Kantor Konsultan Pajak (KKP) Penguasaan keterampilan dan pengetahuan tidaklah cukup bagi konsultan pajak untuk menjadi profesional. Karakter diri yang dicirikan oleh ada dan tegaknya etika profesi merupakan hal penting yang harus dikuasainya juga. Pengetahuan dan pemahaman atas etika dan tanggung jawab sosial dapat menjadi dasar membuka kesadaran diri akuntan untuk berperilaku etis. Dalam Bertens (2013: 192), disebutkan 2 paham mengenai etika. Sikap / penilaian terhadap etika dan tanggung jawab sosial harus dipandang baik secara : 1. Deontologis (sikap terhadap etika dengan menilai apakah etis atau tidak etis jika bertindak sesuai kewajiban / prinsip / legalitas saja tanpa melihat konsekuensi yang timbul dari tindakan tersebut) seperti dalam kasus perpajakan, pada konsultan pajak yang berpikir bahwa meminimalisasi pajak / melakukan penghindaran pajak dengan memanfaatkan celah hukum dianggap baik / etis karena legal / tidak melanggar undang-undang perpajakan walaupun sebenarnya tidak sesuai dengan makna yang ada dalam kode etik dan mengakibatkan tidak maksimalnya pendapatan pajak pemerintah. 25 2. Teleologis (sikap terhadap etika dengan menilai suatu tindakan etis atau tidak etis dengan berfokus pada tujuan / akibat / konsekuensi dilakukannya tindakan tersebut tanpa mementingkan cara mencapai tujuan tersebut). 2.1.3.3 The Perceived Role of Ethics and Social Responsibility (PRESOR) Dalam Ludigdo (2007: 39), Singhapakdi (1996) mengembangkan sebuah instrumen untuk mengukur persepsi pentingnya etika dan tanggung jawab sosialThe Perceived Role of Ethics and Social Responsibility (PRESOR). Item yang termasuk dalam skala persepsi pentingnya etika dan tanggung jawab sosial dikelompokkan dalam dua kategori : “pandangan stockholder / shareholder” dan “pandangan stakeholder”. 1. Pandangan stockholder / shareholder berpegang bahwa perusahaan hanya memiliki tanggung jawab terhadap pemegang saham dan tanggung jawab yang kecil di luar tujuannya untuk mencari laba / memaksimalkan laba. 2. Pandangan stakeholder mengakui bahwa tanggung jawab sosial memiliki wilayah yang lebih luas selain terhadap pemegang saham dan mencari keuntungan tetapi mencakup semua pihak seperti karyawan, konsumen, kreditor, pemerintah, masyarakat dan lainnya. 26 2.1.4 Sifat Machiavellian Sifat machiavellian pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli filsuf politik dari Italia bernama Niccolo Machiavelli (1469-1527). Niccolo Machiavelli (1469-1527) dalam (Leary dan Hoyle, 2009: 93), sifat machiavellian : “Manipulative interpersonal strategies such as flattery and lying.” Christie dan Geis (1970: 106) dalam Richmond (2001) mendefinisikan sifat machiavellian : “A process by which the manipulator gets more of some kind of reward than he would have gotten without manipulating, while someone else gets less, at least within the immediate context.” Jadi sifat machiavellian diartikan sebagai sebuah proses dimana manipulator mendapatkan lebih banyak reward dibandingkan yang dia peroleh ketika tidak melakukan manipulasi, ketika orang lain mendapatkan lebih kecil, minimal dalam jangka pendek. 2.1.4.1 Kepribadian Machiavellian Dalam (Leary dan Hoyle, 2009: 94-99), dijelaskan bahwa kepribadian machiavellian sebagai berikut : 1. Machiavellian memiliki eksternal locus of control yaitu mereka mempercayai bahwa perilaku kerja dan keberhasilan tugas mereka lebih dikarenakan faktor di luar diri yaitu organisasi. Sehingga jika mereka 27 mengalami kegagalan akan menyalahkan organisasi daripada introspeksi dirinya sendiri. 2. Orang tipe mach tinggi menganggap orang lain adalah lemah dan memiliki sedikit kontrol atas situasi mereka. Dalam bidang ini, orang tipe mach tinggi percaya bahwa mereka dapat memanipulasi orang lain untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. 3. Mengingat kecenderungan manipulatif mereka, orang tipe mach tinggi memiliki niat rendah menghormati kesepakatan yang telah mereka buat (Forgas, 1998) dan menjadi lebih mungkin untuk menahan informasi yang akan membahayakan mereka secara ekonomi. 4. Dibandingkan dengan orang tipe mach rendah, orang tipe mach tinggi memberi prioritas tinggi uang, kekuasaan, dan persaingan sedangkan prioritas relatif rendah untuk membangun komunitas, cinta-diri, dan keluarga. 5. Orang mach tinggi memiliki cara pandang adalah goal-oriented bukan process-oriented sehingga dalam mencapai tujuannya lebih menyukai jalan pintas. 6. Orang tipe mach tinggi relatif lebih menekankan pada nilai-nilai kompetensi yaitu menilai kompetensi dan kemampuan untuk berhasil ( Musser & Orke , 1992; Trapnell & Paulhus). Machiavellian dapat disesuaikan dengan baik dan bahkan disukai. Mereka kadang-kadang disukai sebagai pemimpin tetapi dalam Wilson (1998) 28 menunjukkan orang tipe mach yang tinggi dipandang sebagai kurang diinginkan untuk sebagian besar bentuk interaksi sosial (misalnya, kepercayaan atau mitra bisnis) melainkan sebagai mitra debat (Leary dan Hoyle, 2009: 94). 2.1.4.2 Kemampuan Machiavellian Seorang machiavellian mempunyai kecenderungan untuk mengontrol dan mempengaruhi orang lain serta menggambarkan karakter negatif yang meliputi manipulasi, kelicikan, duplikasi atau peniruan, dan bad faith (keyakinan yang buruk). (Davies & Stone, 2003; McIlwain, 2003; Repacholi, Slaughter, Pritchard, & Gibbs, 2003 ) dalam (Leary dan Hoyle, 2009: 94) menyebutkan bahwa machiavellian mempunyai kemampuan untuk " membaca pikiran " dalam arti mengantisipasi apa yang orang lain pikirkan dalam interaksi interpersonal. Fehr (1992) dalam Leary dan Hoyle (2009: 97), mengatakan bahwa strategi persuasi, keterbukaan diri, kebohongan dan menjilat sebagai taktik pengaruh yang paling disukai oleh Orang tipe mach. Orang tipe Mach juga lebih mungkin untuk menggunakan taktik keramahan dan emosional, mungkin karena kemampuan mereka untuk tetap mengontrol emosi mereka terlepas dari situasi. 2.1.4.3 Mach IV Richmond (2001) dalam penelitiannya menemukan bukti bahwa kepribadian individu mempengaruhi keputusan etis. Richmond menginvestigasi hubungan paham machiavellianisme yang membentuk suatu tipe kepribadian yang 29 disebut machiavellian dengan kecenderungan perilaku individu dalam menghadapi dilema-dilema etika (perilaku etis). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kecenderungan sifat machiavellian seseorang, maka semakin mungkin untuk malakukan manipulasi. Untuk mengukur karakter / sifat konsultan pajak, apakah mereka memiliki kinginan melakukan manipulasi yang tinggi / sifat machiavellian yang tinggi, digunakan alat ukur Mach IV terdiri dari 20 item instrumen berdasarkan ciri-ciri kepribadian sifat machiavellian di atas. Individu dengan Skala Mach IV yang tinggi mempunyai kepribadian machiavellian yang tinggi (Leary dan Hoyle, 2009: 103). 2.1.5 Pertimbangan Etis Rest (1986) dalam Wittmer (2005: 51), menyatakan bahwa pertimbangan etis didefinisikan sebagai : “Judgment of the ideal solution to the moral dilemma.” Jadi pertimbangan etis merupakan pertimbangan-pertimbangan yang harus dilakukan untuk mengantisipasi dilema etis. Pertimbangan etis telah menjadi komponen penting dalam studi mengenai kepribadian dalam profesi akuntansi. Berkembangnya profesi akuntansi telah membuka banyak dilema etika yang cukup potensial. Konsultan pajak selalu berhadapan dengan banyak hambatan yang berhubungan dengan etika sehingga konsultan pajak harus memiliki pertimbangan etis yang tinggi. Untuk dapat melakukan pertimbangan 30 etis, tidaklah cukup bagi konsultan pajak hanya memiliki kompetensi perpajakan yang baik tetapi yang lebih penting adalah kesadaran dan pemahaman tentang pentingnya standar etika dalam profesinya yang ada dalam Kode Etik. 2.1.5.1 Kode Etik Keterkaitan perilaku manusia tidak akan terlepas dari unsur etika yang ada dalam dirinya sehingga dengan keahlian yang dimilikinya pasti terdapat etika yang mendasarinya (Ernawan, 2007: 122). Dalam setiap profesi tentunya memiliki etika yang dikodifikasikan menjadi kode etik profesi. Dengan adanya kode etik kepercayaan masyarakat terhadap suatu profesi dapat diperkuat. Kode etik ibarat kompas yang menunjukkan arah moral bagi suatu profesi dan sekaligus juga menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat (Bertens, 2013: 5). Scwhartz (2002) dalam Ludigdo (2007: 41) menyebutkan bahwa kode etik adalah : “Suatu dokumen formal yang tertulis dan membedakan yang terdiri dari standar moral untuk membantu mengarahkan perilaku karyawan dan organisasi.” Kode etik dibuat untuk mengatur tingkah laku moral suatu kelompok profesi yang ada dalam masyarakat melalui ketentuan-ketentuan tertulis yang diharapkan dipegang teguh. Di dalam aplikasi etika, kode etik merupakan pedoman etika paling populer di kebanyakan organisasi. Kode etik organisasi 31 seharusnya merefleksikan standar moral universal. Menurut Schwartz (2001) dalam Ludigdo (2007: 42) yaitu : 1. Trustworthiness (dalam hal ini yaitu honesty, integrity, reliability, dan loyality). 2. Respect (perhatian atas perlindungan hak asasi manusia) 3. Responsibility (meliputi accountability) 4. Fairness (tidak memihak) 5. Caring (penghindaran tindakan yang merugikan) 6. Citizenship (penghormatan atas hukum dan perlindungan lingkungan) 2.1.5.2 Kode Etik Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Dalam Profesi konsultan pajak juga memiliki etika yang dikodifikasikan dalam Kode Etik Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI). Konsultan pajak yang sudah menjadi anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) diharuskan untuk tunduk pada kode etik tersebut (Loen dan Meliana, 2009: 19). Kode Etik Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), pasal 1 dalam IKPI (2009) dijelaskan bahwa : “Kode Etik Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) adalah kaidah moral yang menjadi pedoman dalam berfikir, bersikap dan bertindak bagi setiap anggota IKPI.” Pada Kode Etik Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), pasal 7 dalam IKPI (2009) menjelaskan bahwa konsultan pajak harus : 1. Menjunjung tinggi integritas, martabat dan kehormatan ; 32 a. Dengan memelihara kepercayaan masyarakat. b. Bersikap jujur dan berterus terang tanpa mengorbankan rahasia penerima jasa. c. Dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak boleh menerima kecurangan atau mengorbankan prinsip. d. Mampu melihat mana yang benar, adil dan mengikuti prinsip obyektivitas dan kehatihatian. 2. Bersikap profesional ; a. Senantiasa menggunakan pertimbangan moral dalam pemberian jasa yang dilakukan. b. Senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan dan menghormati kepercayaan masyarakat dan pemerintah. c. Melaksanakan kewajibannya dengan penuh kehati-hatian, dan mempunyai kewajiban mempertahankan pengetahuan dan keterampilan. 3. Menjaga kerahasiaan dalam hubungan dengan Wajib Pajak ; a. Harus menghormati dan menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh selama menjalankan jasanya, dan tidak menggunakan atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali ada hak atau kewajiban legal profesional yang legal atau hukum atau atas perintah pengadilan untuk mengungkapkannya. 33 b. Anggota mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa staf atau karyawan maupun pihak lain dalam pengawasannya dan pihak lain yang diminta nasihat dan bantuannya tetap menghormati dan menjaga prinsip kerahasiaan. Pada Kode Etik Ikatan Konsultan Pajak pasal 8 dalam IKPI (2009) mengungkapkan bahwa konsultan pajak dilarang : 1. Memberikan petunjuk atau keterangan yang dapat menyesatkan Wajib Pajak mengenai pekerjaan yang sedang dilakukan. 2. Memberikan jaminan kepada Wajib Pajak bahwa pekerjaan yang berhubungan dengan instansi perpajakan pasti dapat diselesaikan. 3. Menetapkan syarat-syarat yang membatasi kebebasan Wajib Pajak untuk pindah atau memilih Konsultan Pajak lain. 4. Menerima setiap ajakan dari pihak manapun untuk melakukan tindakan yang diketahui atau patut diketahui melanggar peraturan perundangundangan perpajakan 5. Menerima permintaan Wajib Pajak atau pihak lain untuk melakukan rekayasa atau perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perpajakan. Dalam Ernawan (2007: 124) menyebutkan bahwa pelanggaran kode etik terjadi oleh anggota profesinya karena : 1. Kurangnya jaminan kesejahteraan yang bisa menyebabkan profesional melanggar kode etik yang sudah ada. 34 2. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman seorang profesional mengenai substansi dari kode etik yang bersangkutan. 3. Kode etik mengandung idealisme yang kadangkala berseberangan dengan fakta yang ada di sekitar para profesional. 4. Tidak ada pengaturan mengenai sangsi yang tegas dalam kode etik tersebut. Standar Profesi Konsultan Pajak (SPKP), bagian 1, butir 5 dalam IKPI (2010) juga mengungkapkan bahwa tidak ada suatu aturan dan panduan yang dapat mencakup berbagai keadaan dan seluruh permasalahan berkenaan dengan tindakan profesional. Dengan demikian membakukan pedoman secara rinci terhadap hal-hal yang tidak sepenuhnya dilarang dalam standar profesi ini akan membahayakan, karena dapat dianggap hal tersebut diperbolehkan untuk dilakukan. Pendekatan ini akan menghilangkan prinsip dasar profesionalisme. Penting memahami jiwa, semangat dan menggunakan kata-kata yang terkandung dalam aturan dan panduan untuk mengambil kebijakan secara profesional. Hasil penelitian Suliani (2010) yaitu pengaruh pertimbangan etis, perilaku machiavelian, dan gender dalam pembuatan keputusan etis mahasiswa s1 akuntansi menyimpulkan bahwa mahasiswa akuntansi yang telah menempuh pendidikan etika dapat melakukan pertimbangan etis lebih tinggi sehingga dapat membuat keputusan etis. Maka, merupakan hal yang penting bagi profesi akuntansi, untuk memperkuat pertimbangan etisnya karena pertimbangan etis menjadi dasar dalam pengambilan keputusan etis. Penelitian Richmond (2001) 35 menyatakan bahwa perhatian yang lebih besar patut diberikan atas pelatihanpelatihan dan pendidikan para akuntan sebagai persiapan dalam menghadapi beragam kontroversi berkaitan dengan isu etika. 2.1.5.3 Ethical Dilemma Seperti pada penelitian lainnya, pertimbangan etis diukur menggunakan tiga buah sketsa dilema etis. Sketsa ini disusun berdasarkan kasus perpajakan yang sering terjadi. Selain itu sketsa ini juga berhubungan dengan kode etik profesi konsultan pajak (Kode Etik IKPI pasal 7 dan pasal 8), sehingga diharapkan dapat secara akurat mengukur tingkat pertimbangan etis seorang konsultan pajak ketika dihadapkan dengan situasi dilema etis. 36 2.2 Kerangka Pemikiran Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat digambarkan sebagai berikut : Wajib pajak menggunakan jasa konsultan pajak untuk melaksakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya dan dalam menggunakan jasa konsultan pajak, wajib pajak ingin meminimalisasi pembayaran pajaknya dengan melakukan penghindaran pajak. Dalam memberikan jasanya, konsultan pajak dan staff pajaknya dipengaruhi faktor-faktor individual. Persepsi Pentingnya Etika dan Tanggung Jawab Sosial Tanggapan terhadap etika dan tanggung jawab berhubungan dengan tujuan utama perusahaan. (+) Sifat Machiavellian Karakter individual konsultan pajak yang didominasi keinginan memanipulasi. Pertimbangan Etis Mencakup kompetensi dan pemahaman etika agar dapat mempertimbangkan tindakan yang akan dilakukan agar dapat membuat keputusan etis. (-) Pengambilan keputusan etis konsultan pajak untuk melakukan / tidak melakukan penghindaran pajak. Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran (+) 37 2.3 Hipotesis Dalam Sugiyono (2012: 64) mengungkapkan bahwa hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini berkaitan dengan ada atau tidaknya pengaruh variabel X terhadap variabel Y. 2.3.1 Pengaruh Persepsi Pentingnya Etika dan Tanggung Jawab Sosial (PRESOR) terhadap Pengambilan Keputusan Etis Konsultan Pajak Ada dan tegaknya etika profesi merupakan hal penting yang harus dikuasai konsultan pajak. Seperti yang diungkapkan Loen dan Meliana (2009: 19) bahwa seorang konsultan pajak harus tunduk pada kode etiknya. Tentunya seorang konsultan pajak yang memahami etika profesinya akan dapat memahami etika dan tanggung jawab sosial karena seperti yang dikatakan Schwartz (2001) dalam Ludigdo (2007: 42) bahwa etika profesi disusun berdasarkan standar moral universal, sehingga dapat membuka jalan / membuka kesadaran diri untuk mengambil keputusan etis. Dalam Shafer dan Simmons (2008), profesional pajak yang meyakini bahwa kepentingan utama perusahaan adalah pemegang saham saja dan hanya berorientasi meningkatkan laba perusahaan tanpa memperhitungkan kesejahteraan karyawan dan masyarakat, maka profesional 38 pajak tersebut akan menganggap wajar penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan. Seperti disebutkan dalam Standar Profesi Konsultan Pajak (SPKP) dalam IKPI (2010) bahwa konsultan pajak tidak boleh hanya mementingkan kepuasan kliennya saja. Penelitian ini berupaya menguji pengaruh pentingnya etika dan tanggung jawab sosial terhadap pengambilan keputusan etis oleh konsultan pajak yang tentunya berhubungan dengan penghindaran pajak, maka hipotesis pertama dalam penelitan ini adalah : Ho1: Persepsi pentingnya etika dan tanggung jawab sosial tidak berpengaruh secara positif terhadap pengambilan keputusan etis oleh konsultan pajak. Ha1: Persepsi pentingnya etika dan tanggung jawab sosial berpengaruh secara positif terhadap pengambilan keputusan etis oleh konsultan pajak. 2.3.2 Pengaruh Sifat Machiavellian terhadap Pengambilan Keputusan Etis Konsultan Pajak Seperti yang telah diuraikan di atas, dibandingkan dengan orang tipe mach rendah, orang tipe mach tinggi memberi prioritas tinggi uang, kekuasaan, dan persaingan sedangkan prioritas relatif rendah untuk membangun komunitas, cinta-diri, dan keluarga. Selain itu, orang mach tinggi memiliki cara pandang adalah goal-oriented bukan process-oriented sehingga dalam mencapai tujuannya 39 lebih menyukai jalan pintas. Orang tipe mach tinggi pun memiliki keinginan yang tinggi untuk melakukan manipulasi. Sehingga dengan sifat machiavellian yang tinggi, konsultan pajak akan melakukan rekayasa / manipulasi dalam membantu wajib pajak melakukan penghindaran pajak. Penelitian ini berupaya menguji pengaruh sifat machiavellian terhadap pengambilan keputusan etis oleh konsultan pajak yang tentunya berkaitan dengan penghindaran pajak. Hipotesis kedua dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : Ho2: Sifat machiavellian tidak berpengaruh secara negatif terhadap pengambilan keputusan etis oleh konsultan pajak. Ha2: Sifat machiavellian berpengaruh secara negatif terhadap pengambilan keputusan etis oleh konsultan pajak. 2.3.3 Pengaruh Pertimbangan Etis terhadap Pengambilan Keputusan Etis Konsultan Pajak Singhapakdi dan Vitell (1993) dalam Ludigdo (2007: 39) menyebutkan bahwa kompetensi yang baik mengenai perpajakan tidak cukup untuk dapat melakukan pertimbangan etis tetapi yang lebih penting adalah pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya standar etis profesi konsultan pajak untuk dapat melakukan pertimbangan etis yang tinggi. Seperti yang diungkapkan Loen dan Meliana (2009: 19) bahwa seorang konsultan pajak harus tunduk dan memahami esensi dari kode etiknya. 40 Standar Profesi Konsultan Pajak (SPKP), bagian 1, butir 5 dalam IKPI (2010) juga mengungkapkan bahwa tidak ada suatu aturan dan panduan yang dapat mencakup berbagai keadaan dan seluruh permasalahan berkenaan dengan tindakan profesional. Dengan demikian membakukan pedoman secara rinci terhadap hal-hal yang tidak sepenuhnya dilarang dalam standar profesi ini akan membahayakan, karena dapat dianggap hal tersebut diperbolehkan untuk dilakukan. Pendekatan ini akan menghilangkan prinsip dasar profesionalisme. Penting memahami jiwa, semangat dan menggunakan kata-kata yang terkandung dalam aturan dan panduan untuk mengambil kebijakan secara profesional. Dari penjelasan tersebut seharusnya konsultan pajak dapat mengantisipasi dilema etikanya dengan solusi yang ideal sehingga dapat mengambil keputusan etis dengan tidak menbantu wajib pajak melakukan penghindaran pajak. Oleh karena itu, penelitian ini mengajukan hipotesis sebagai berikut : Ho3: Pertimbangan etis tidak berpengaruh secara positif terhadap pengambilan keputusan etis oleh konsultan pajak. Ha3: Pertimbangan etis berpengaruh secara positif terhadap pengambilan keputusan etis oleh konsultan pajak.