`Increase our faith` (Lk 17:5) - University of Divinity Repository

advertisement
BAB 12
TANTANGAN BAGI GEREJA KATOLIK
John Mansford Prior SVD
Setelah melihat Gerakan Pantekostal dari sudut pandang para
pakar ilmu sosial, Bab terakhir menelusuri anjuran Antonio de
los Reyes supaya Gerakan Pantekostal dipertemukan dengan
jaringan KBG. John Prior menyimpulkan bahwa budaya paroki
dan keuskupan konvensional tidak mampu menampung kedua
gerakan ini. Paroki/keuskupan mesti memekarkan diri dan
menjadi jaringan majemuk yang terbuka.
1. BEBERAPA TANGGAPAN GEREJA
Bila kecenderungan-kecenderungan yang sudah ditunjukkan dalam bab-bab terdahulu terus
berlanjut, yakni pergeseran Kekristenan global ke Selatan dan Timur akan didominasi oleh
Gereja Katolik Roma dan Gereja Pantekostal,1 hal tersebut menggarisbawahi pentingnya
dialog Gereja Katolik Roma-Pantekostal. Maka, bagaimana dokumen-dokumen Gereja
Katolik Roma menilai manifestasi dari “wacana primal/asli (ujaran ekstatis), kesalehan
primal/pribumi (pengalaman mistik, kerasukan roh dan penyembuhan) dan harapan
primal/indigenus (kerinduan yang tak tergoyahkan tentang suatu masa depan yang lebih baik
… kemunculan kembali yang tak terduga dari spiritualitas primal pada masa kita”? 2 Catatan
berikut diawali dengan sebuah Laporan Vatikan dari tahun 1985, dan diakhiri dengan sebuah
Lokakarya Pleno FABC pada tahun 2000.3
LAPORAN TENTANG „SEKTE-SEKTE‟ DAN GERAKAN-GERAKAN RELIGIUS BARU, 1985
Tidak selalu jelas apa yang dirujuk istilah “sekte” dalam dokumen-dokumen Gereja.4 Ketika
Sekretariat untuk Kesatuan Kristen mengumpulkan hasil-hasil sebuah kuesioner tentang
kehadiran dan aktivitas “sekte-sekte” dan “gerakan-gerakan religius baru” pada tahun 1985,
deskripsi tentang “sekte-sekte” itu oleh para responden sedemikian beragam dan bertentangan
sehingga tidak muncul satu gambaran pasti.5 Dan begitulah Sekretariat tersebut lebih suka
memilih suatu pemahaman pastoral untuk istilah “sekte” dimaksud. “Sekte-sekte” merujuk
pada badan-badan Kristen yang berhasil merekrut anggotanya dari kalangan Kristen yang
lain, termasuk orang-orang Katolik. Pada ujung-ujungnya, inilah tantangan yang kita hadapi.
1
Philip Jenkins, The Next Christendom: The Coming of Global Christianity, Oxford: Oxford University Press,
2002.
2
Harvey Cox, Fire from Heaven: The Rise of Pentecostal Spirituality and the Reshaping of Religion in the
Twenty-first Century. New York: Addison-Wesley Pub. Com., 1995. (London: Cassell, 1996), 83.
3
Saya secara sengaja tidak menelisik proses selama 26 tahun olehnya gerakan karismatik diakui secara resmi
oleh Vatikan. Menyangkut proses dimaksud, lihat Kilian McDonnell (ed.), Presence, Power and Praise:
Documents on the Charismatic Renewal, Collegeville: The Liturgical Press, 1980. Teresa O. Goncalves dari
Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama (PCID) pada tahun 1999 menerbitkan beberapa hasil survei singkat
tentang berbagai kegiatan Dewan tersebut menyangkut sekte-sekte, dan tahun 2004 menerbitkan aneka
perkembangan dalam pemikiran tentang sekte-sekte itu selama bertahun-tahun (Teresa O. Goncalves, “Report
on the Activities of the PCID: Attention to Sects and New Religious Movements”, Pro Dialogo Bulletin 101
(1999), 220-224; “Sects and New Religious Movements: Interpretations during these 40 Years”, Pro Dialogo
Bulletin 116-117 (2004), 20-43).
4
Bdk. Sects and New Religious Movements: An Anthology of Texts from the Catholic Church 1986-1994. ed.
Working Group on New Religious Movements, Vatican City (USA Catholic Conference 1995). Nyaris tak ada
konsistensi dalam pemakaian istilah. Sebagai contoh, bila sidang istimewa Dewan Kardinal pada bulan April
1991, yang diselenggarakan Yohanes Paulus II, membahas “tantangan sekte-sekte”, maka relator Kardinal
Arinze, lebih suka memakai istilah “gerakan-gerakan religius baru”.
5
Kuestioner ini merupakan bagian kajian yang melibatkan Dewan Kepausan untuk Kebudayaan.
Bersama Barreda6 saya lebih suka mengatakan “tantangan” alih-alih “ancaman”, walaupun
istilah ini dahulunya digunakan oleh Yohanes Paulus II, “Perkembangan sekte-sekte ini
merupakan ancaman bagi Gereja Katolik dan bagi semua Persekuan Gerejani yang terlibat
dalam dialog dengannya.”7 Pada tahun yang sama (1991) Yohanes Paulus menulis tentang
“bahaya fanatisisme atau fundamentalisme di kalangan mereka, yang atas nama suatu
ideologi, dengan pretensi tampil sebagai ilmiah atau berjiwa keagamaan, menganggap diri
berwenang memaksakan kepada pihak-pihak lain pandangan mereka sendiri tentang manakah
yang benar dan baik … Iman Kristen tidak menuntut juga supaya kenyataan sosial-politik
yang bermacam ragam dikekang dalam kungkungan rambu-rambu tertentu … karena
mengakui keunggulan martabat manusia, Gereja dalam cara-caranya bersikap dan bertindak
selalu menghormati kebebasan.”8 Keprihatinan Yohanes Paulus II dapat dimaklumi; dengan
berpijak pada laju pertumbuhan sekarang ini, maka pada tahun 2010 akan ada lebih banyak
orang Kristen ala Pantekostal yang beribadat setiap minggunya di Amerika Latin daripada
orang-orang Katolik – dan hal ini berlangsung di benua Katolik. Dalam pada itu, sebanyak
75% orang-orang Katolik Brasil yang beribadat pada setiap hari Minggu ambil bagian dalam
komunitas basis gerejawi (KBG). Kenyataannya, kedua gerakan akar rumput yang kuat ini
tengah menarik minat orang kebanyakan.9
MENUJU SUATU PENDEKATAN PASTORAL TERHADAP BUDAYA, 1999
Bagian singkat tentang “sekte-sekte dan gerakan-gerakan religius baru” dalam dokumen dari
Dewan Kepausan untuk Kebudayaan, Towards a Pastoral Approach to Culture,10
memusatkan perhatian pada faktor-faktor “tarik-ulur” yang tengah menghela orang-orang
Katolik ke luar dari Gereja dan masuk ke dalam gerakan-gerakan religius baru. Gerakangerakan ini dipahami sebagai suatu reaksi terhadap budaya sekular serta konsekuensi dari
beragam pergolakan sosial dan budaya yang mencabut agama dari akar-akarnya. Pergolakan
sosial dan budaya dimaksud tentu saja membantu kita memahami mengapa gerakan-gerakan
Pantekostal sangat berhasil di Asia selama lebih dari 30 tahun belakangan ini.
Refleksi Diri
Sebelumnya pada tahun 1990 John Locke SJ menyatakan bahwa setiap pendekatan pastoral
harus bermula dengan sebuah refleksi tentang “pengalaman bersama tentang kehidupan di
tengah sebuah dunia yang terancam oleh perubahan yang berkesinambungan …
Bagaimanakah hal itu mempengaruhi kita secara pribadi? Bagaimanakah hal itu
mempengaruhi Gereja Katolik lokal kita?”11 Konsili Vatikan II sudah meninggalkan
gambaran tentang Gereja sebagai kubu baluarti dan kembali lagi ke gambaran patristik
tentang jemaat Allah. Dalam penziarahan, kita ambil bagian dalam proses “penuh ancaman”
menginkarnasikan Pemerintahan Allah dalam dunia dewasa ini.12
6
Jesús-Angel Barreda, “The Church‟s Apostolate before the Phenomenon of New Religious Movements”,
Omnis Terra 292 (1998), 355-361.
7
Redemptoris missio, Roma: Yohanes Paulus II, 1991, 50.
8
Centesimus annus, Roma: Yohanes Paulus II, 1991, 46.
9
Andrew Kirk, “Response”, dalam Allan H. Anderson dan Walter J. Hollenweger (ed.), Pentecostals after a
Century: Global Perspectives on a Movement in Transition. Sheffield: Academic Press, 1999, 135-137. Charles
Self memperkirakan bahwa angka yang paling tinggi untuk partisipasi aktif dalam komunitas basis gerejawi di
Brasil pada penghujung tahun 1980-an ialah antara 2-4 juta, sedangkan kelompok karismatik Katolik antara 4-5
juta, dan kaum evangelicos (kebanyakan kaum Pantekostal) sudah mencapai antara 20-30 juta orang (Charles
Self, “Conscientization, Conversion and Convergence: Reflections on Base Communities and Emerging
Pentecostalism in Latin America”, Pneuma 14/1 (1992), 68-69).
10
Towards a Pastoral Approach to Culture. Rome: Pontifical Council for Culture 1999, 46-48.
11
John Locke SJ, “Some Reflections on the Phenomenon of Fundamentalism”, FABC Papers 57g (1990), 15.
Lihat juga FABC Papers 82 (1996), 32-43.
12
Locke, “Some Reflections”, 21.
2
Bagi kaum beriman yang berwawasan terbuka kebenaran harus senantiasa dicari karena
kebenaran itu lebih besar daripada diri kita sendiri dan lebih besar daripada tradisi kita
masing-masing, sebab Allah adalah kebenaran. Jadi, kita berkontemplasi tentang kebenaran
alih-alih memilikinya.
Kesahajaan Yang Mencolok
Keberhasilan Gereja-Gereja ala Pantekostal terletak dalam kemampuan mereka untuk
menyajikan kebenaran yang dapat berfungsi sebagai jangkar untuk berbagai adat istiadat serta
praktik sosial, sembari berupaya menata kembali semua ranah kehidupan seturut perangkat
nilai-nilai mereka yang khas.13 Kesahajaan yang mencolok tidak niscaya negatif, hal ini
bergantung pada bagaimana gerakan itu mengaitkan para anggotanya dengan dunia
selebihnya. Salah satu contoh positif tentangnya ialah gerakan Mahatma Gandhi yang
mempersatukan bangsa India di seputar simbol-simbol yang cocok (garam, satyagraha,
charkha), dan dengan itu menggelorakan bangsa tersebut melalui sebuah program yang
sederhana namun benar-benar konstruktif (pendidikan nasional, industri pedesaan, dll).14
Bersikap sahaja dan gamblang tidak niscaya berarti fundamentalis dan sektarian.
ECCLESIA IN ASIA (1999)
Ecclesia in Asia merefleksikan berbagai pertimbangan yang diajukan Sinode Asia (1998) di
bawah tema, “Yesus Kristus Sang Penebus dan Misi Cinta Kasih serta Pelayanan-Nya di
Asia: „Supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan‟.”15
Walaupun Ecclesia in Asia sama sekali tidak menyinggung apa pun tentang gerakan-gerakan
religius sektarian atau fundamentalis, namun ia menyediakan bagi kita suatu bingkai yang
cocok guna menangani masalah ini ketika ia merujuk pada cara-cara Asia mewartakan Yesus
Kristus. Pendekatan Asia, “didukung bukan oleh dorongan sektarian atau semangat
proselitisme, atau rasa keunggulan mana pun … melainkan membicarakan kebenaran dalam
cinta kasih (Ef 4:15) ... disertai sikap menghormati dan menghargai penuh cinta kasih para
pendengarnya … menghormati hak-hak suara hati dan tidak melanggar kebebasan …
menganut pedagogi yang akan mengantar orang-orang tahap demi tahap … dapat dilengkapi
dengan perspektif-perspektif relasional, historis dan bahkan kosmis … seraya terbuka bagi
cara-cara yang baru dan mengejutkan …”16
FEDERASI KONFERENSI-KONFERENSI PARA USKUP ASIA (FABC), 1996, 1997, 1998, 2000
Tanggapan Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia terhadap gerakan-gerakan ala
Pantekostal secara mencolok bercorak positif, sebuah contoh kasus yang jelas tentang
“ekumenisme reseptif”.17
Mengindahkan Pengalaman Religius Secara Sungguh-Sungguh
Biro Urusan Teologi FABC (FABC-OTC) memahami perpindahan orang-orang Katolik ke
Pantekostalisme sebagai tantangan agar kita mengindahkan pengalaman religius secara lebih
13
Aloysius Fonseca, “Combating the Root of Fundamentalism”, Vidyajyoti 63/8 (1999), 590.
Fonseca, 592.
15
Ecclesia in Asia. Roma: Yohanes Paulus II, 1999.
16
Ecclesia in Asia, 20.
17
Istilah ini berasal dari Walter Kasper, Ketua Sekretariat untuk Kesatuan Kristen. Dalam makalahnya tentang
prinsip-prinsip ekumene Katolik dan Protestan (Durham University, UK, January 2006) ia menerangkan
“ekumenisme reseptif” sebagai keterbukaan untuk menerima karunia-karunia yang diberikan Gereja-Gereja lain
kepada kita yang kita butuhkan agar kita menjadi lebih lengkap daripada sebelumnya. Pendekatan ini berakar
dalam pemikiran Yohanes Paulus II yang menerangkan dialog ekumenis sebagai “bukan hanya pertukaran
gagasan melainkan juga pertukaran karunia” (UUS 28).
14
3
sungguh-sungguh. Hijrah sedemikian banyak orang Katolik juga menantang kita untuk
memikirkan kembali teologi pembaptisan dalam roh dan peran glossolalia sedemikian rupa
sehingga selaras dengan dan bukannya mengaburkan keyakinan-keyakinan Katolik lainnya.
FABC-OTC itu sendiri melihat tanda-tanda kehadiran Roh dalam dahaga akan doa, lapar
akan firman Allah, tampilnya perayaan-perayaan Ekaristi yang partisipatif, kepatuhan kepada
berbagai karisma dan dalam menggalakkan perdamaian dan keadilan. 18 Refleksi tentang
pengalaman nyata memiliki kekuatan untuk membarui.
Religiositas Kerakyatan
FABC-OTC selanjutnya mengaitkan unsur-unsur Pantekostalisme dengan kekhasan
religiositas kerakyatan di mana hati, perasaan dan wacana poetik lebih penting daripada
intelek, penalaran dan bahasa analitis dalam relasi kita dengan Allah; di mana ditemukan
suatu cita rasa yang kuat tentang kehadiran Allah dalam kehidupan sehari-hari dan di tengah
alam, dalam rupa-rupa gambar dan tempat; di mana makna religius dari kehidupan,
perkawinan dan kematian ditekankan; dan di mana nilai-nilai religius dari kaum lemah dan
sakit, kaum miskin dan yang tergusur, kaum lanjut usia dan anak-anak diakui sebagai loci
kehadiran Allah.19
Mengabaikan Injil Sosial
Dalam sebuah lokakarya selama Musyawarah Paripurna FABC VII (Bangkok 2000), Antonio
de Los Reyes menyajikan sebuah makalah tentang gerakan-gerakan karismatik dan
komunitas basis gerejawi. Ia berpendapat bahwa gerakan karismatik “belum sungguhsungguh berpegang pada perintah untuk menyalurkan kuat kuasanya yang luar biasa ke dalam
berbagai kebutuhan dunia fana, menuju seruan Injil untuk membarui tatanan sosial sesuai
dengan rencana Allah … Gerakan ini belum lagi mampu mendorong sebagian besar
pengikutnya untuk mengejawantahkan kemuridan radikal dari jemaat-jemaat Kristen bahari.
Ia memasung dirinya pada suatu spiritualitas pertobatan, kekudusan dan persekutuan, dan
gagal menggembleng para pengikutnya menjadi suatu kekuatan advokasi dan aksi menentang
struktur-struktur dosa.”20 Di lain pihak, De Los Reyes melihat komunitas basis gerejawi
sebagai “kelompok rumah tangga yang berdiam di wilayah geografis yang sama, yang
memadukan peribadatan, katekese dan aksi sosial ke dalam kehidupan mereka di bidang
sosial, budaya dan ekonomi … yang terpusat pada Kristus, berakar dalam firman Allah,
berkumpul dalam perayaan-perayaan Ekaristi yang sarat makna, terbuka kepada dialog
kehidupan dengan orang-orang beriman lain, dan bertekad untuk membarui masyarakat dan
memerdekakan orang dari struktur-struktur yang menindas.”21 Ia meminta agar kedua
gerakan itu memperkaya satu sama lain, dan bertanya, “Apakah mungkin memadukan
dinamika gerakan-gerakan karismatik dan kekompakan komunitas basis gerejawi guna
memperkokoh iman Katolik di Asia? Tidak hanya mungkin, barangkali itulah pilihan yang
paling masuk akal bagi Gereja.”22
Walaupun benar bahwa sebagian besar gerakan karismatik cuma memiliki sedikit kesadaran
sosial, namun KBG per se tidak dapat diserupakan dengan aktivisme sosial. Banyak
keuskupan membangun KBG guna menata kembali paroki-paroki besar yang tidak memiliki
para pastor tertahbis dalam jumlah memadai, dan karenanya KBG dikembangkan sebagai
cabang paroki yang diarahkan oleh pusat alih-alih sebagai Gereja akar rumput kaum miskin.
Banyak KBG tetap menjadi kelompok lingkungan kecil untuk kesalahen syering Alkitab dan
18
Office of Theological Concerns (FABC-OTC), “The Spirit at Work in Asia Today”. FABC Papers 81 (1997),
81-82.
19
FABC-OTC, 83.
20
Antonio de Los Reyes, “Charismatic Movements and Small Church Communities”, FABC Papers 92h (2000),
10.
21
De Los Reyes, 11.
22
De Los Reyes, 12.
4
satuan administratif untuk paroki yang lebih besar. Namun demikian, tantangan penting yang
diajukan De Los Reyes mesti dikaji lebih jauh (Bagian 3).
Pengalaman dan Persekutuan
Pada Musyawarah Bangkok yang sama John Locke SJ, yang ketika itu menjabat sebagai
sekretaris FABC-OTC, menyajikan sebuah makalah tentang tantangan fundamentalisme
agama. Ia merujuk pada sebuah survei yang diselia para uskup Katolik India yang ingin
memahami mengapa ada begitu banyak orang Katolik yang hengkang ke jemaat-jemaat
Pantekostal.23 Survei ini menyingkapkan empat alasan utama mengapa orang-orang Katolik
itu sedemikian terpikat, yakni mereka ingin “mengalami Allah”, mereka tengah mencari
kontak langsung dengan Alkitab, mereka ingin terlibat aktif dalam sebuah persekutuan yang
erat dan hangat, dan mereka tengah mencari reksa pastoral antarpribadi yang berkanjang. 24
Karena survei semacam ini terbilang segelintir di Asia, maka ia patut mendapat perhatian.
Survei India tersebut mengaitkan sikap fundamentalis dengan perasaan bingung dan rancu:
“Munculnya kemajemukan dan ledakan pengetahuan dalam dunia modern telah benar-benar
menggoncangkan corak masuk akal dari beberapa definisi dan praktik religius tradisional,
seraya meninggalkan banyak pengikutnya kehilangan arah dan merasa tak aman. Dalam
Gereja Katolik masalah itu diperparah oleh perubahan-perubahan mendasar yang
diperkenalkan Konsili Vatikan II. Banyak orang Katolik dewasa ini yang gelisah secara
intelektual; mereka tidak lagi yakin sebagaimana biasanya menyangkut keabsahan dari
berbagai keyakinan dan praktik mereka. Gerakan-gerakan Pantekostal bisa dilihat sebagai
hasil dari ketidakpastian ini. Hengkangnya kaum beriman dari Gereja-Gereja arus utama ke
sekte-sekte fundamentalis dalam arti tertentu merupakan pelarian dari ketidakpastian kepada
kepastian … Gereja mesti segera mengatasi masalah bagaimana membantu orang-orang
Katolik ini untuk mengatasi rasa tak pasti dan kehilangan arah tanpa menyerah kepada
godaan fundamentalis untuk menafsir Alkitab dan tradisi secara harfiah dengan kepastian
sektarian.”25
Kaum Urban Kelas Menengah
Orang-orang Katolik India yang pindah ke Gereja-Gereja Pantekostal kebanyakan adalah
kaum urban, berpendidikan dan dari kelas menengah.26 Hal ini menyajikan suatu gambaran
yang sangat berbeda dari keadaan di Amerika Latin di mana para perantau miskin di berbagai
kota yang pindah ke Gereja-Gereja ini. Dalam pada itu, Gereja-Gereja yang mengakar secara
etnis cuma kehilangan sangat segelintir anggotanya walaupun dibujuk agar hengkang. Bila
Gereja Katolik sepadan dengan identitas etnis maka perubahan dalam persekutuan gerejawi
jarang terjadi.
Pengalaman Religius dan Reksa Pastoral
Orang-orang Katolik di India yang bergabung dengan kaum Pantekostal terbilang di antara
umat yang paling rajin dan tekun.27 Lebih dari seperempat yang hengkang dari Gereja Katolik
ke Pantekostalisme sebelumnya aktif terlibat dalam gerakan karismatik. Tampaknya bahwa
bagi sementara orang Katolik gerakan karismatik meretas jalan menuju Pantekostalisme, bagi
yang lain barangkali gerakan itu justru menghentikan “pendarahan” yang lebih parah lagi.
23
S. Arulsamy (ed.), Neo-Pentecostalism: A Study. New Delhi: CCBI, 1996.
John Locke SJ, “The Call to a Renewed Church in Asia and The Challenges of Religious Fundamentalism”,
FABC Papers 92m (2000), 12; lihat juga tanggapan yang dikemukakan Paul Parathazham dalam artikelnya “The
Challenge of Neo-Pentecostalism” (Vidyajyoti 61/5 (1997), 307-320), serta Jacob Kavunkal dalam artikelnya
“Neo-Pentecostalism: A Missionary Reading” (Vidyajyoti, 62/6 (1998), 407-422).
25
Parathazham, 319-320.
26
Parathazham, 309.
27
Parathazham, 310.
24
5
Tidak kurang dari 58% mantan orang Katolik menandaskan kurangnya reksa pastoral sebagai
alasan untuk bergabung dengan kaum Pantekostal.
Jacob Kavunkal28 melihat gerakan-gerakan religius baru ini sebagai suatu ajakan bagi kita
selaku Gereja untuk menerima kehadiran aktif Roh Kudus yang dicurahkan kepada semua
orang. Ia menulis, “orang-orang merasa lapar tidak terutama pada khotbah-khotbah yang
benar secara doktrinal dan tepat secara dogmatis, tetapi pengetahuan eksperiensial yang
memupuk hati mereka. Misi berkembang subur melalui kesaksian sejati dan pengalaman
bersama.” Singkatnya, banyak orang Katolik yang bergabung dengan jemaat-jemaat
Pantekostal tengah mencari suatu pengalaman religius yang tidak disajikan oleh paroki
tradisionalnya.
Mengakar dan Peduli
Seiring dengan semangat utama Gereja-Gereja Katolik Asia, John Locke mencatat dua
kriteria penting untuk memindai kehadiran sejati Roh dalam gerakan-gerakan religius baru
ini. Pertama, apakah gerakan-gerakan tersebut telah mengakar dalam aneka budaya dan
tradisi Asia? Dan, kedua, apakah gerakan-gerakan tersebut mendorong orang agar peduli
terhadap kaum miskin dan yang tergusur, dan terhadap transformasi sosial?29
Pembaruan Paroki
Sebagai tanggapan terhadap hasil-hasil survei tadi Konferensi Waligereja India menyerukan
diadakannya pembaruan paroki melalui komunitas basis gerejawi dan gerakan pembaruan
karismatik Katolik.30 Dalam nada serupa para uskup Katolik Indonesia menerbitkan beberapa
panduan panjang, hati-hati dan positif tentang pembaruan karismatik,31 dan pada musyawarah
nasionalnya di tahun Yubileum (SAGKI tahun 2000) menempatkan pemberdayaan komunitas
basis gerejawi sebagai jantung hati pendekatan pastoralnya.32 Sebelumnya, beberapa panduan
Episkopal di Filipina dilancarkan untuk mengakomodasi kelompok-kelompok ala Pantekostal
yang menjamur secara mandiri di luar paroki-paroki.33 Dengan demikian, para uskup Filipina,
India dan Indonesia memberi tanggapan dalam cara yang relatif tidak bercorak defensif.
Ini berarti bahwa jemaat-jemaat Katolik yang berserakan di Asia harus melampaui
kepentingan diri yang bercorak sektarian dan keprihatinan sempit demi kelestarian diri, dan
dengan berani berkelana dan masuk menerobos ke dalam masyarakat di sekitarnya dengan
sebuah program yang imajinatif lagi berkanjang guna mempertahankan nilai-nilai manusiawi
dan adikodrati di tengah abad globalisasi dan konsumerisme ini.
2. GEREJA, SEKTE, GERAKAN
Sebelum maju ke persoalan tantangan pastoral (Bagian 3), ada baiknya untuk melirik sekilas
pada arti istilah “Gereja”, “sekte” dan “gerakan” sebagaimana yang telah dikembangkan
dalam ilmu-ilmu sosial.
Istilah itu penting; kita mesti jelas dalam cara pikir kita dan berbicara dengan rasa hormat.
Saya telah mengganti istilah “sekte-sekte” dalam judul yang dianjurkan34 dengan sebutan
“Pantekostal” karena gerakan-gerakan Pantekostal dalam serba ragam jenisnya menjadi
28
Kavunkal, 421.
Locke, “The Call to a Renewed Church”, 14.
30
CCBI-LR (Konferensi Waligereja India), “Neo-Pentecostalism: A Pastoral Response”, FABC Papers 79
(1997), 9-10.
31
KWI (Konferensi Waligereja Indonesia), “The Renewal of Christian Life as Charism of the Spirit: Guidelines
for the Renewal of the Catholic Charismatic Movements”, FABC Papers 79 (1997), 13-36.
32
KWI, “Rangkuman Hasil Sidang Agung Gereja Indonesia Tahun 2000”, Spektrum 29 (2001), 11-19.
33
Manila Archdiocese, Guidelines of the Catholic Charismatic Renewal Movement in the Archdioceses of
Manila. Manila: Archdiocesan Office for Research and Development, 1983.
34
Dianjurkan oleh Kardinal Paul Poupard, Presiden Dewan Kepausan untuk Kebudayaan.
29
6
kelompok Gereja yang paling pesat pertumbuhannya dalam langgam Kekristenan dewasa ini,
barangkali merupakan sepertiga dari penduduk Kristen Asia, sebuah proporsi yang terus
meningkat secara mantap.35 Maka, teramat pentinglah untuk memahami apa yang tengah
berlangsung baik terhadap Kekristenan maupun masyarakat pada umumnya, karena “mutasi
religius” ini merupakan bagian terpadu dari, dan barangkali juga sangat menentukan bagi,
transformasi sosial besar-besaran yang tengah kita alami.36
KONTINUM GEREJA-SEKTE
Istilah “sekte” masih digunakan para ilmuwan sosial yang telah sejak lama bergumul dengan
cara-cara merumpunkan kelompok-kelompok religius. Sosiologi klasik Barat tampil dengan
tipologi “Gereja-sekte”.37 Daftar sifat yang saling bertentangan disusun, beberapa darinya
dikenakan pada “Gereja-Gereja” yang lain pada “sekte-sekte”. Namun tipologi Gereja-sekte
pada umumnya telah ditinggalkan karena sifat-sifat yang berlaku untuk “sekte-sekte” kadang
kala dapat ditemukan pula dalam “Gereja-Gereja”, dan ciri-ciri khas “Gereja-Gereja” sering
kali dijumpai dalam “sekte-sekte”. Daftar tentang ciri pembawaan sektarian boleh jadi
cenderung berjalan beriringan, namun tidak selalu. Bila sekte-sekte cenderung otoriter38
begitu pula dengan Gereja-Gereja tertentu. Kaum evangelikal dan Pantekostal konservatif
tidak dapat dicakup oleh deskripsi tunggal “sekte”.39 Singkatnya, cakupan “sekte-sekte” dan
“Gereja-Gereja” terlalu luas sehingga tidak dapat ditempatkan secara apik dalam kategorikategori tersendiri.
Kita juga menghadapi masalah konseptual lainnya. Sekte-sekte bukanlah lembaga-lembaga
lembam yang dapat dengan mudah dicekokkan ke dalam kotak-kotak yang apik. Sekte-sekte
itu mencair dan dinamis, kebanyakan darinya melewati suatu proses asimilasi dan
penyesuaian sosial menuju sikap kritis yang berujung pada daur yang tiada berkesudahan
yakni kelahiran, pembaruan, perpecahan dan kelahiran kembali.40 Kita tengah berhadapan
dengan gerakan-gerakan yang meluas dan mengeping, alih-alih organisasi-organisasi yang
stabil, dengan sebuah pengalaman alih-alih sebuah denominasi. Dalam kurun kurang dari satu
abad gerakan Pantekostal pecah menjadi aneka divisi sebanyak yang dihasilkan Gereja
selama satu milenium.41 Seperti yang dikatakan teolog Pantekostal Terry Cross, “kita
dipenuhi Roh namun juga dipepaki skisma.”42
Namun demikian, para sosiolog agama secara intuitif merasa bahwa harus ada pemilahan
yang mesti dibuat. Sembari tetap mempertahankan istilah “sekte” dan “Gereja”, Benton
35
Menyangkut pembahasan ringkas tentang jumlah, kecenderungan dan definisi, lihat Allan H. Anderson, An
Introduction to Pentecostalism: Global Charismatic Christianity, Cambridge: University Press, 2004, 1-15;
untuk Pantekostalisme di Asia hlm. 123-143. Lihat juga Amos Yong, The Spirit Poured Out on All Flesh:
Pentecostalism and the Possibility of Global Theology, Grand Rapids: Baker Academic, 2005, 45-58.
36
Cox, Harvey, “Foreword”, dalam Anderson and Hollenweger (eds.), Pentecostals after a Century, 12.
37
Ernst Troeltsch, The Social Teaching of the Christian Churches, 2 jilid, London: George Allen & Unwin,
1931 (edisi asli dalam bahasa Jerman terbit tahun 1911); Max Weber, Economy and Society, 2 volumes,
Berkeley: University of California Press, 1978 (edisi asli dalam bahasa Jerman terbit tahun 1922); Thomas F.
O‟Dea, The Sociology of Agama, New Jersey: Prentice-Hall, 1966; Bryan R. Wilson, “A Typology of Sects”,
dalam Roland Robertson (ed.), Readings in the Sociology of Religion. London: Penguin, 1969, 361-383.
38
Rudolf C. Heredia, “Religious Fundamentalism: Reaction and Response”, Vidyajyoti 68/1 (2004), 30-43.
39
Salah satu ciri umum barangkali ialah bahwa dalam penafsirannya yang bercorak intuitif (dekontekstualisasi?) atas Alkitab, mereka tampaknya mengabaikan fungsi simbolik dari bahasa religius yang,
demikian Aquinas dan tradisi intelektual Katolik, bersifat metaforis. Penafsiran Alkitab akan dikaji secara
singkat pada permulaan Bagian 3.
40
Richard Niebuhr, The Social Sources of Denominationalism, New York: Meridian Books, 1957 (diterbitkan
pertama kali oleh Henry Holt, 1929). Menyangkut kritik baik terhadap Troeltsch maupun Niebuhr, lihat Bryan
R. Wilson, “Persistence of Sects”, Indian Missiological Review 17/2 (1995), 220-232. Secara etimologis kata
“sekte” tidak berasal dari kata Latin secare (memotong) atau sectio (menyayat), tetapi sebaliknya dari kata sequi
(ikut) dan barangkali juga secta (jalan setapak, kelompok, mazhab).
41
Allan H. Anderson, “Pentecostals, Healing and Ecumenism”, International Review of Mission, 95/370-371
(2004), 489.
42
Terry L. Cross, “Possintne Omnes Unum Esse: A Pentecostal Response to Ut unum sint”, One in Christ 41/1
(2006), 3-22.
7
Johnson kemudian memilih satu sifat tunggal untuk merumpunkan kelompok-kelompok
religius:
Gereja adalah satu kelompok religius yang menerima lingkungan sosial di mana ia berada. Sekte
adalah satu kelompok religius yang menolak lingkungan sosial di mana ia berada.43
Maka bagi Johnson, “sekte” lebih merupakan kata sifat (kecenderungan sektarian) daripada
kata benda (lembaga agama tertentu). Semakin sebuah gerakan religius berciri eksklusif dan
percaya diri, semakin sektarian pula coraknya.
Johnson mendalilkan adanya sebuah kontinum yang mewakili derajat ketegangan yang
dimiliki satu kelompok religius dengan lingkungannya. Pada ekstrem yang satu ia
menempatkan “sekte ideal” di mana para anggotanya menolak dunia di sekitarnya seperti
kelompok-kelompok tertentu yang bermentalitas bunker yang menolak seluruhnya zaman ini.
Pada ekstrem yang lain Johnson menaruh “Gereja ideal” yang hidup secara selaras dengan
lingkungannya, malah nyaris tidak dapat dibedakan dari keadaan di sekitarnya. Hal ini dapat
terjadi manakala sebuah Gereja lokal melebur dengan satu identitas etnis seperti yang
dahulunya terjadi di Tanah Batak yang Protestan dan Flores yang Katolik.
Dari satu perspektif teologis, sekte adalah gerakan yang menemukan terang dan kebenaran
hanya dalam jemaatnya sendiri, dan kepalsuan dan kegelapan berada di luar sana – “extra
communitatem non est salus” (“tidak ada keselamatan di luar kelompokku”). Ia sendiri saja
yang murni; para anggotanya berada dalam kebenaran sejauh mereka terikat pada kelompok.
Nemesisnya adalah sebuah Gereja yang memandang dirinya sebagai tulang punggung suatu
masyarakat, sebagai lem yang mempersatukan dan merekatkan masyarakat. “Gereja mapan”
seperti itu tidak dapat menantang kesalahan-kesalahan masyarakat, karena sebuah agama
budaya melestarikan tenunan masyarakat tanpa gangguan.
PEMBENTUKAN SEKTE
Sekte-sekte juga dapat dibedakan seturut cara kelahirannya. Seturut pemahaman ini, sektesekte adalah kelompok-kelompok skismatik yang memecahkan dirinya dari sebuah Gereja
atau sekte guna menata kembali kemurnian “iman kuno”.44 Sebagai contoh, sekte Lefebvre
(Serikat St. Pius X) menganggap dirinya sebagai tradisi Katolik yang autentik dan murni,
yang telah disimpangkan oleh Konsili Vatikan II. Ia tidak melihat dirinya sebagai sebuah
Gereja baru, tetapi sebagai muasal yang dipulihkan (ecclesia pura).
Bila sebuah Gereja tidak lagi melayani kebutuhan-kebutuhan sekelompok kecil anggotanya,
maka ada kemungkinan tercipta sebuah sekte yang memecahkan dirinya dari lembaga induk,
atau minoritas tertentu beralih ke Gereja yang lain. Berbagai cacat celah dari Kekatolikan di
Asia pada umumnya masuk dalam kategori ini. Orang-orang Katolik yang penuh pengabdian
justru hengkang dari Gereja dan bergabung dengan kelompok-kelompok Pantekostal dalam
upaya menggapai iman “bertegangan tinggi”.
FUNDAMENTALISME RELIGIUS
Gerakan-gerakan sektarian Kristen, dan juga Gereja-Gereja evangelikal konservatif, sering
kali dicap “fundamentalis”. Oleh karena istilah ini memiliki arti yang sangat berbeda-beda,
maka layak ditelisik secara singkat.
43
Benton Johnson, “On Church and Sect”, American Sociological Review, 28 (1963), 542.
Rodney Stark dan William Sims Bainbridge, The Future of Religion: Secularisation, Revival and Cult
Formation, Los Angeles: University of California Press, 1985, 99ff. Para sosiolog membedakan sekte yang
merupakan gerakan skismatik bertegangan tinggi dalam satu tradisi religius dominan (Stark and Bainbridge,
149) dari kultus yang merupakan satu gerakan yang seluruhnya baru, semisal Risshö Köseikai atau Aum
Shinrikyö di Jepang dewasa ini. Banyak teolog dan pastor yang mengabaikan pemilahan semacam ini. Msl. D.
O‟Donnell, “The Success of the Sects”, Sedos 84/5 (1984), 73-76.
44
8
Fundamentalisme45 dalam Islam46, Hinduisme47 dan Buddhisme48 berbeda satu sama lain, dan
berbeda pula dari fundamentalisme Kristen; namun semuanya memperagakan “kemiripan
keluarga”.49 Latar belakangnya bercorak teologis (gerakan-gerakan pembaruan dalam Islam,
Hinduisme dan Buddhisme), kultural (berbagai pemilihan dengan nilai-nilai modernitas dan
post-modernitas) dan psikologis (rontoknya kepribadiannya di tengah sebuah dunia yang
tengah berubah secara pesat).
Modernitas dan Post-Modernitas
Asia tengah mengalami perubahan sosial pesat, khususnya sejak kemedekaan politik serta
globalisasi ekonomi dan komunikasi. Maka, muncullah gerakan-gerakan religius baru ketika
modernitas satu-matra dan praktik religius yang mandek kehilangan kemampuannya untuk
menjadi sumber makna spiritual.50 Walaupun ada perlombaan pesat menuju modernisasi,
namun masyarakat Asia belum lagi menemukan sebuah panduan pencarian makna dalam
ilmu pengetahuan, teknologi dan rasionalisme.51 Munculnya gerakan-gerakan religius baru,
seperti Gereja-Gereja ala Pantekostal, merupakan tanggapan terhadap pencarian akan makna,
jati diri, kekuasaan, martabat serta harga diri.
Antropolog Pakistan Akbar S. Ahmed memadatkan dan menata budaya post-modern ke
dalam empat elemen dasar, yakni eklektisme, sinkretisme, penjajaran dan ironi.52 Di tengah
sebuah dunia yang cair, multi-matra dan fana setiap ikhtiar atau klaim tentang kebenaran
yang unik dan satu-satunya dilihat sebagai selubung dominasi. Fundamentalisme religius oleh
agama-agama mayoritas di Asia adalah sebuah reaksi melawan ciri-ciri modernitas yang
invasif, intrusif dan mengancam.
Perubahan Pesat
Berbagai budaya dan agama Asia yang menekankan pentingnya keluarga, komunitas, tradisi
dan nilai-nilai sosial mengalami kesulitan yang amat besar ketika berhadapan dengan
perubahan yang sangat pesat ini.53 Heredia,54 mengutip Sudhir Kakar, berpendapat bahwa
fundamentalisme religius berupaya mempertahankan kepribadian yang nyaris ambruk sama
seperti perancah berupaya mempertahankan bangunan yang hampir roboh. Kepribadian
semacam itu membutuhkan suatu tatanan hierarkis di mana setiap pihak mempunyai seorang
45
Sama seperti istilah “sekte” memiliki konotasi negatif, demikian juga dengan kata “fundamentalisme”.
Dewasa ini kata tersebut pada umumnya diganti dalam kalangan Kristen dengan istilah “evangelikal
(konservatif)”. Kebanyakan Pantekostalisme muncul dengan permulaan fundamentalis semacam ini.
46
Menyangkut tipologi rangkap tiga pembaruan Islam, yakni “moderat reformis”, “militan revolusioner” dan
“kamp militer”, lihat Muhammad Mumtaz Ali (ed.), Modern Islamic Movements: Models, Problems and
Prospects, Kuala Lumpur: International Islamic University, 2000. Menyangkut revitalisasi Islam di tengahtengah perubahan sosial yang pesat, lihat Saïd Amir Arjomand, “Social Change and Movements of
Revitalisation in Contemporary Islam”, dalam James Beckford (ed.), New Religious Movements and Rapid
Social Change, London: Sage, 1987, 87-111.
47
Menyangkut pengelompokan gerakan pembaruan Hindu sebagai “tri kiblat”, lihat Yvon Ambroise, “Hindu
Religious Movements: A Sociological Perspective”, Journal of Dharma 7/4 (1982), 358-373; menyangkut
pengelompokan alternatif lihat Ainslie T. Embree, (ed.), The Hindu Tradition, New York: Modern Library,
1972, 273-276. Menyangkut gerakan-gerakan neo-revivalis lihat M. Sivakumara Swamy, “Neo-Revivalist
Movements in Hinduism and their Challenges to Hindu Fundamentalism”, Journal of Dharma, 15/2 (1990),
135-147; menyangkut fungsi psikologis dan sosiologis gerakan-gerakan baru di Kerala lihat P. Radhika, “New
Religious Movements: A Contemporary Kerala Scene”, Jeevadhara, 34/203 (2004), 403-416.
48
Untuk memahami gerakan “Sinhala-Buddhis” di Sri Lanka lihat Antony Fernando, “Understanding the
„Sinhala-Buddhist‟ Movement in Sri Lanka”, Journal of Dharma, 20/2 (1995), 207-222.
49
Martin E. Marty, dan Scott Appleby, Fundamentalisms Observed, jilid 1, Chicago: Chicago University Press,
1991.
50
Cox, Fire from Heaven, 300-301.
51
S.M. Michael, “Socio-Political Analysis of Fundamentalism”, Vidyajyoti 68/6 (2004), 410.
52
Michael, 411.
53
Michael, 413.
54
Heredia, 36-37.
9
yang memerintah dan seorang yang menaati. Fundamentalisme memberi stabilitas, kejelasan
dan kepastian.
Fundamentalisme Politik
Di Asia agama tidak pernah sekadar berupa syahadat belaka tetapi merupakan cara hidup.
Langgam fundamentalisnya cenderung bercorak totaliter, artinya ingin merengkuh semua
ranah kehidupan baik privat maupun publik. Hal ini mendorong timbulnya suatu minoritas
fundamentalis di kalangan agama-agama mayoritas yang mempolitikkan agama dan
“mengagamakan” politik. Karena merasa terancam, kaum fundamentalis memperalat agama
secara picik guna memperoleh atau mempertahankan kekuasaan bagi dirinya sendiri dan
menyingkarkan orang-orang yang berpikir dan hidup secara berbeda. Mereka memiliki
keterkaitan dengan kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi dari partai-partai tertentu
guna mempertahankan pengaruh, kekuasaan, kekayaan dan status. Dengan cara ini,
fundamentalisme dalam agama-agama mayoritas tengah mengubah wajah realitas politik
Asia.55
Tanggapan Gereja-Gereja Katolik Asia
Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia melalui berbagai lokarkarya, pertemuan
dan musyawarahnya, menempatkan gerakan-gerakan religius fundamentalis dalam konteks
politik keagamaan, gerakan-gerakan nasionalis dan kemunculan agama Islam.56 Biro Urusan
Teologi FABC mencatat bahwa eskalasi fundamentalisme agama telah meningkatkan
“semangat persaingan, merasa lebih unggul, sikap eksklusif, tak bertenggang rasa, kebencian
dan kehancuran.”57 Karena yakin bahwa mereka memiliki sepenuhnya kebenaran, maka
kaum fundamentalis merasa bahwa mereka dapat memaksakan kebenaran itu dengan
kekerasan.
Pada tahun 1996, 26 uskup dari Asia Selatan berkumpul guna merefleksikan tanggapan
Kristen terhadap tindak kekerasan. Thomas Michel SJ menyajikan sebuah makalah yang
sangat berbobot tentang fundamentalisme Kristen dan Muslim.58 Michel menarik pemilahan
yang tegas di antara keduanya. Gerakan-gerakan evangelikal menempatkan panca asas
alkitabiah sebagai intipati iman mereka, sedangkan gerakan-gerakan pembaruan Muslim
berupaya kembali ke Islam “murni” yang pernah ada di masa lampau keemasan. Para wakil
Muslim pada pertemuan FABC menandaskan bahwa dari ke-550 jejaring militan dan teroris
internasional di lebih dari 60 negara yang didaftar PBB, hanya 20 buah terbilang sebagai
organisasi Muslim, dan bahwa kaum militan berjumlah tidak lebih dari 1% dari keseluruhan
penduduk Muslim di seantero dunia yang berjumlah 1,4 milyar.59
Sama seperti kaum fundamentalis Islam, Hindu dan Buddha, versi fundamentalis Kristen juga
mengikhtiarkan kepastian dan keamanan. Berbeda dari kelompok mayoritas, lembagalembaga sektarian minoritas Kristen di Asia cenderung bercorak “akhirat”, nir-politik dan
mengarahkan perhatian ke dalam dirinya sendiri. Karena disingkirkan oleh kaum mayoritas,
mereka justru mengucilkan dirinya lebih lanjut dengan mencari “benteng perlindungan suci”
dalam ritual dan devosi. Gerakan Kristen “akhirat” ini, baik di dalam maupun di luar jemaat
Katolik, menjadi tema kajian saya. Dan mengingat bahwa mayoritas orang Katolik Asia yang
55
“Bentuk ulang” berbeda dari fundamentalisme. Pembaruan konsiliar tidak bermaksud melakukan kembali apa
yang sudah dilakukan generasi para rasul dan mengulanginya dewasa ini. Sebaliknya, pembaruan konsiliar
adalah ihwal memilah-milih karisma dan semangat generasi para rasul, dan melakukan dewasa ini apa yang
barangkali akan mereka perbuat dalam situasi kita. (Arbuckle, Gerald, Refounding the Church: Dissent for
Leadership. London: Geoffrey Chapman, 2000, 4, 131).
56
Felix Wilfred, “Sunset in the East? The Asian Realities Challening the Church and its Laity Today”, FABC
Papers 45 (1986).
57
FABC-OTC, 41
58
Thomas Michel SJ, “Christian and Muslim Fundamentalism”, FABC Papers 82 (1996), 43-62.
59
Taha M. Basman, “Militant Islamic Movements”, FABC Papers 114 (2005), 49, 59.
10
hengkang dari Gerejanya ke lembaga-lembaga Kristen yang lain justru bergabung dengan
jemaat-jemaat ala Pantekostal, maka saya memusatkan perhatian pada tradisi Kristen yang
baru lagi berkembang pesat ini.
KECENDERUNGAN SEKTARIAN
Meninggalkan Gereja untuk bergabung dengan salah satu denominasi Pantekostal bukan
merupakan satu-satunya pilihan bagi kaum minoritas yang tidak puas ini. Banyak pula yang
menemukan ruang gerak cukup leluasa dalam Kekatolikan. Semua pranata religius yang
besar seperti Gereja Katolik mencakup amat banyak sub-kelompok, mulai dari gerakangerakan devosional dan karismatik hingga jejaring aktivis sosial dan advokasi politik.
Gerakan-gerakan dalam Gereja Katolik kadang kala dianggap sektarian karena coraknya yang
“ekstra-paroki” yang tidak sepenuh terintegrasi ke dalam paroki atau keuskupan. Namun
mereka mampu menghindari sektarianisme berkat kesetiaan mereka pada hierarki dan
digalakkannya gerakan-gerakan dimaksud oleh Paulus VI, Yohanes Paulus II dan Benediktus
XVI. Gerakan-gerakan ini bisa saja memiliki keyakinan-keyakinan yang ekstrem namun
tanpa semangat atau kecenderungan sektarian.
Di mana ada stratifikasi sosial dalam masyarakat maka di sana jejaring sosial cenderung
mengeping. Semakin besar perpecahan sosial semakin canggung pula relasi di antara
kelompok-kelompok yang terstratifikasi itu. Hal ini terpantul dalam jemaat-jemaat Gereja.
Dalam satu paroki atau keuskupan yang sama, para pengusaha kaya dan buruh miskin
bergerak seturut lingkaran sosial yang terpisah. Bila terjadi ketimpangan ekonomi atau politik
yang substantial di antara para warga paroki, maka berbagai sub-jejaring cenderung
memberaikan kelompok-kelompok paroki satu dari yang lain. Kalau para anggota berbeda
dalam kekuasaan dan privilese maka mereka cenderung akan membentuk aneka sub-jejaring,
yang masing-masingnya memiliki kebutuhan-kebutuhan religius yang khas dan saling
bertentangan. Warga paroki yang lebih berkuasa ingin mengurangkan tegangan dengan
lingkungan sekitar, sedangkan yang kurang berkuasa ingin meningkatkannya. Kelompok
yang diuntungkan bisa jadi lebih devosional, sedangkan pihak yang dirugikan dapat saja
bertumbuh menjadi kelompok radikal alkitabiah.
Banyak paroki dan keuskupan terperangkap dalam upaya untuk sekaligus berada dalam
tegangan rendah dan tinggi dengan lingkungan sekitarnya. Namun dalam praktik, melayani
satu konstituen niscaya mengabaikan yang lain. Tidak mudah untuk mendukung pada saat
yang bersamaan kelompok-kelompok doa “akhirat” dan komunitas basis gerejawi yang aktif
secara politis. Dalam situasi semacam ini bisa saja terbentuk pelbagai sub-jejaring internal
yang bercorak sektarian dalam paroki, yang mungkin saja menjurus pada merosotnya
keterlibatan di paroki-paroki “favorit” (bila tersedia sarana transportasi dan paroki-paroki
alternatif) dan juga pada lembaga-lembaga religius di luar Kekatolikan. Tak satu pun
organisasi religius bercorak monokrom atau monolitik yang mampu secara memadai
memenuhi keseluruhan spektrum aneka kebutuhan dan hasrat religius dalam masyarakat
multi-budaya dan sangat terstratifikasi.
Di sini kita mesti mencatat satu keberatan penting. Bila keanggotaan pada sebuah Gereja
mencakup pula satu tanda pengenal etnis atau rasial yang khas, sebagaimana yang berlaku
untuk Gereja-Gereja Pantekostal Cina-Indonesia, Gereja Batak Lutheran dan Gereja Katolik
di Flores, maka “penyeberangan” semacam itu agak jarang.
MENYERAP KECENDERUNGAN SEKTARIAN
Ada banyak kelompok dan jejaring sektarian dalam Gereja Katolik dan Gereja Protestan di
Asia. Secara tradisional, Gereja Katolik telah berhasil menyerap berbagai kecenderungan
sektarian melalui kelahiran aneka ordo religius yang energetis, serta paguyuban dan gerakan
kaum awam. Fransiskus dari Assisi pada awal abad ke-13, Ignasius dari Loyola pada
pertengahan abad ke-16 dan Escrivá de Balaguer pada pertengahan abad ke-20 direkrut dari
sosok-sosok religius paling aktif dan giat dari masing-masing generasinya. Ordo-ordo religius
11
dan paguyuban-paguyuban kaum awam seperti itu biasanya berawal dengan kecenderungan
sektarian yang tajam, namun kemudian diperlunak ketika kelompok-kelompok kian matang.60
Dengan cara ini, nafsu sektarian disalurkan ke dalam aneka rupa pelayanan kerasulan yang
teramat penting. Paguyuban-paguyuban tersebut memikat kaum non-kompromistis yang
tengah mencari kesejatian dan komitmen total. Tidak mengherankan bahwa jika ordo-ordo
religius dan gerakan-gerakan kaum awam itu membentuk jejaring sosial yang terpadu dan
intensif, maka mereka hidup dalam tegangan dengan Gereja yang lebih luas.
Kenyataan bahwa sejumlah signifikan orang-orang Katolik Asia bergabung dengan GerejaGereja Pantekostal dan ala Pantekostal menyiratkan bahwa berbagai ordo, paguyuban dan
gerakan yang ada dewasa ini tidak lagi memberi ruang yang memadai di dalam Gereja untuk
serba ragam keprihatinan konkret dari banyak orang, dan karenanya orang-orang Katolik ini
mulai mencari jawaban mereka di tempat-tempat yang lain. Gerakan-gerakan ini menandai
suatu krisis budaya dalam hal makna; norma-norma dominan dari masyarakat dan Gererja
tengah ditantang.61
3. TANTANGAN PASTORAL
“Gereja Katolik memilih untuk berpihak pada kaum miskin
sedangkan kaum miskin memilih untuk berpihak pada Pantekostalisme.”
Tantangan “pantekostalisasi” Kekristenan Asia teramat penting sebab pada akar rumput,
agama barangkali merupakan kekuatan yang paling ampuh untuk menciptakan kehidupan
bersama dan juga konflik dalam masyarakat. Maka, tantangannya bukan sekadar meniru
bentuk lahiriah gerakan-gerakan ala Pantekostal (walaupun hal ini tidak dilarang!), melainkan
berupaya menanggapi soal-soal mendasar yang dijawab oleh munculnya Pantekostalisme.
SEBUAH KEKRISTENAN MULTI-KUTUB
Menyitir ungkapan terkenal dari Felix Wilfred dari Chennai, kita sedang menghadapi sebuah
“krisis dalam Kekristenan sedunia”.62 Dunia yang mengglobal tengah menempa sebuah
Kekristenan multi-kutub di tengah sebuah dunia multi-agama, di mana peran utama sedang
dimainkan oleh gerakan-gerakan religius yang secara alamiah bercorak majemuk. Tapal-tapal
batas agama dan budaya tengah ditarik kembali. Kaleidoskop budaya Kekristenan yang
sedang berubah dengan pesat pada umumnya datang dari pinggiran, dari gerakan-gerakan
Pantekostal/karismatik. Namun seperti yang diisyaratkan oleh hieroglif Cina, krisis sekaligus
berarti bahaya dan peluang.63
Menuju Sebuah Tanggapan Yang Lebih Memadai
Sebagaimana yang telah dikaji dalam Bagian 1, FABC sudah menemukan beberapa unsur
untuk tanggapan Katolik. Pendekatan ini tak diragukan dan telah dibabarkan secara terperinci
60
Menyangkut diperlunaknya Opus Dei dari masa lampaunya yang sektarian menjadi masa kini yang lebih
ramah, lihat John Allen, Opus Dei: An Objective Look Behind the Myths and Reality of the Most Controversial
Force in the Catholic Church. New York: Doubleday, 2005.
61
Menyangkut seleksi atas beberapa kajian ilmu sosial tentang gerakan-gerakan agama baru, lihat Bryan R.
Wilson (ed.), The Social Dimensions of Sectarianism: Sects and New Religious Movements in Contemporary
Society, Oxford: Oxford University Press, 1992, dan Bryan R. Wilson (ed.), New Religious Movements. London:
Routledge, 1999.
62
Felix Wilfred, “Our Neighbours and Christian Mission: Deconstructing Mission without Destroying the
Gospel”, dalam Philip Wickeri et al. (ed.), The People of God Among All God’s Peoples: Frontiers in Christian
Mission, Hong Kong: CCA and CWM, 2000, 89ff; “Searching for David‟s Sling: Tapping the Local Resources
of Hope”, Concilium 2004/5, 85-95.
63
Alexandre Ganoczy berpendapat bahwa teori khaos dapat diterapkan untuk pergolakan religius dewasa ini;
sebagaimana dalam fisika, khaos adalah fase penuh pergolakan darinya bisa muncul kemungkinan tatanan baru.
Lihat Alexandre Ganoczy, “The Ecclesiology of the Charismatic Communities”, Concilium 2003/3, 89.
12
selama 35 tahun belakangan ini. Kita memberi tanggapan bukan dengan menjauhkan diri kita
dari pergolakan sosial atau dengan menarik diri dari lanskap multi-agama dan multi-budaya
yang mengancam itu, melainkan dengan menjumpainya dalam iman. Dalam bahasa Yohanes
Paulus II, pendekatan kita langkah demi langkah mesti menghormati kebudayaan dan
kebebasan beragama, berakar dalam relasi yang benar dan ditopang oleh penghargaan atas
sejarah; sikap dasar ini bercorak kosmik dalam cakupannya.64
Masalah pastoral ialah bagaimana kita mesti tanggap terhadap kebutuhan akan kepastian dan
stabilitas dari orang-orang Katolik yang bimbang? Bagaimana kita dapat
memaksimalisasikan keterlibatan kaum awam, memupuk persekutuan yang hangat dan
mewartakan Injil pengharapan dan pemberdayaan kepada kaum yang bingung dan
tersingkirkan? Bagaimana kita dapat mengakui dunia roh-roh, para shaman dan mukjizat,
kebutuhan yang dirasakan akan penyembuhan fisik dan psikologis, sembari juga tanggap
terhadap kebutuhan riil bagi penyembuhan masyarakat dan alam? Bagaimana kita dapat
mewartakan Injil dengan serba kesahajaan tanpa bersikap picik dan meremehkan? Bagaimana
kita dapat membaca Alkitab secara kritis tanpa mengosongkan daya adikodratinya?
Bagaimana kita dapat mengembangkan kepemimpinan tim yang tidak otoriter? Bagaimana
kita dapat mendorong agar jemaat-jemaat kita bergerak melampaui kepedulian mereka
terhadap dirinya dan para anggota keluarganya sendiri agar mampu mengamalkan Injil
sosial?
Gaya pastoral ini mesti beriak dalam Gereja-Gereja lokal melalui solidaritas kita dengan
kaum yang disingkirkan, dialog antar-iman, inkulturasi dan pembaruan liturgi. Gaya ini mesti
diragakan pada akar rumput dengan menggalakkan komunitas basis gerejawi (KBG) sebagai
“cara baru meng-Gereja”, sebuah Gereja lokal yang “terjelma dalam sebuah bangsa, sebuah
Gereja pribumi dan inkulturatif … sebuah Gereja yang senantiasa berdialog, dalam
kerendahan hati dan cinta kasih, dengan aneka tradisi, kebudayaan, agama yang hidup –
singkatnya, dengan segenap realitas kehidupan bangsa di mana ia telah menancapkan akarakarnya secara mendalam dan yang sejarah dan kehidupannya dengan gembira dijadikannya
sebagai milik kepunyaannya sendiri” (FABC I, Taipei 1974).65
Pembaruan Pantekostal dan Komunitas Basis Gerejawi
Walaupun FABC memiliki wawasan konsiliar, namun gerakan Pantekostal tetap menyebar
pesat di kalangan orang-orang Katolik. Itulah alasannya mengapa bagian terakhir dari tulisan
ini hendak mencermati fenomena komunitas basis gerejawi (KBG) dan membandingkannya
dengan gerakan Pantekostal dan gerakan karismatik (GK) Asia dalam Gereja Katolik.
Sambil menyitir pernyataan sebuah studi dari Amerika Latin yang membandingkan
Pantekostalisme dengan KBG,66 kita boleh bertanya: apabila Pantekostalisme benar-benar
merupakan iman dari kaum miskin, maka apakah FABC sekadar menghasilkan wawasan
untuk kaum miskin? Walaupun Pantekostalisme maupun KBG tidak terbatas pada kaum
miskin Asia, namun sangat boleh jadi bahwa jemaat-jemaat Pantekostal tertentu justru
mengejawantahkan apa yang diteologikan oleh para uskup dan petugas pastoral Katolik.
Sementara KBG secara aktif digalakkan FABC, maka GK muncul dengan menempuh
64
Ecclesia in Asia, 20.
FABC, “Statement of First Assembly, Taipei 1974”, dalam Gaudencio Rosales dan C.G. Arévalo (ed.), For
All the Peoples of Asia: Federation of Asian Bishops’ Conferences Documents from 1970 to 1991, Manila:
Claretian Publications, 1992, 12-19. Ungkapan “cara baru meng-Gereja” ditemukan dalam dokumen-dokumen
FABC sejak Musyawarah Paripurna di Bandung pada tahun 1990. komunitas basis gerejawi tengah digalakkan
melalui berbagai lokakarya AsIPA (Pendekatan Pastoral Terpadu Asia) yang diselenggarakan Biro Kaum Awam
FABC.
66
Self, Charles, “Conscientization, Conversion and Convergence: Reflections on Base Communities and
Emerging Pentecostalism in Latin America”, Pneuma 14 (1992) 1, 59-72. Jan Joris Rietveld telah
membandingkan keberhasilan dari kebijakan opsi radikal bersama orang miskin di antara umat Katolik yang
aktif dengan pertumbuhan tak henti-hentinya dari Pantekostalisme di kalangan umat Katolik „statistikal‟ atau
„tak terjangkau‟ dalam salah satu keuskupan. Lihat, “The Awakening of a New Form of Christianity?
Catholicism in the Cariri Region (Brazil), Exchange 35 (2006) 4, 383-397.
65
13
jalannya sendiri. KBG menerapkan wawasan FABC, sedangkan GK menjawab kebutuhankebutuhan nyata.
Sampai pada taraf tertentu kaum karismatik atau orang-orang Katolik Pantekostal
mewujudkan sejenis Kekristenan, sedangkan KBG menampilkan langgamnya yang lain. GK
cenderung tidak peduli terhadap dunia, sedangkan KBG mesti aktif bergiat di dalamnya.
Kebanyakan GK condong pada kompromi budaya, sedangkan beberapa KBG cenderung
menjadi pembangkang budaya. Baik GK maupun KBG di kalangan yang makmur secara
ekonomi lazimnya menerima atau malah mengabsahkan tatanan sosial yang sedang berlaku,
sedangkan KBG di kalangan kaum miskin perkotaan dan pedesaan diharapkan melancarkan
kritik terhadap status quo dan berjuang demi transformasi sosial, budaya dan agama. Bila GK
menanti dengan penuh semangat kedatangan kembali Kristus dalam segenap kemuliaan-Nya,
maka KBG diharapkan untuk bersaksi tentang kedatangan pemerintahan Allah di atas bumi
ini, di sini dan sekarang ini (bdk. Mat 6:9-10).
Maka, sejalan dengan pendekatan FABC, terdapat tiga kriteria utama untuk menilai dan
menanggapi gerakan-gerakan Pantekostal/karismatik dan komunitas basis gerejawi, yaitu 1)
keberakarannya di dalam budaya, 2) keterbukaannya kepada tradisi-tradisi iman yang lain,
dan 3) solidaritasnya dengan kaum yang disingkirkan. Semuanya ini telah dibentangkan
secara gamblang dalam banyak musyawarah dan lokakarya FABC. Pertanyaannya ialah
seberapa banyak wawasan ini telah sampai ke tingkat akar rumput, sebab pada tingkat akar
rumput itulah kita tengah menghadapi tantangan pastoral.
Dalam rangka memadukan visi Gaudium et spes dengan wawasan dinamis gerakan
Pantekostal, maka kita mesti mencamkan tiga soal penting berikut, yakni: 1) Seberapa
memadainya komunitas basis gerejawi mewujudkan wawasan keterlibatan Gaudium et spes
tentang Gereja, dan seberapa jauh gerakan-gerakan karismatik itu mengambil jarak dari, atau
memberi dukungan terhadap, wawasan konsiliar ini? 2) Bagaimana mungkin KBG mampu
mewujudkan wawasan Gaudium et spes dan pada saat yang sama menjawab kebutuhan riil
dari orang-orang yang kebingungan, tak berdaya dan hidup di pinggiran masyarakat? 3) Jenis
budaya manakah yang kita punyai di paroki dan keuskupan guna memupuk dan memberi
ruang gerak untuk kedua gerakan ini, tidak sendiri-sendiri tetapi dalam suatu tegangan yang
dinamis dan kreatif? Oleh karena itu, ada baiknya bila kita memusatkan perhatian pada
berbagai titik temu antara GK dan KBG, dan juga pada beberapa titik pisah yang mencolok di
antara keduanya.67
GK DAN KBG: TITIK TEMU DAN TITIK PISAH
Tantangan Spiritual
GK merangkul misteri dari yang adikodrati yang mengilhami harapan. Penyembuhan
mendapat tempat utama, namun bukan melulu penyembuhan ajaib. Kelompok-kelompok ala
Pantekostal terlibat secara intensif dalam konseling di mana penderitaan dikuakkan dengan
sendirinya. Jemaat mereka memiliki potensi spiritual, sebuah pengalaman spiritual yang
membarui.
Kedua gerakan itu sama-sama mengalami Allah sebagai yang dermawan dan kudus, berbelas
kasih dan adil, manakala para anggotanya berpaling dari egoisme dan membaktikan hidupnya
untuk saling melayani. “Kuat kuasa” dan “kedaulatan” Allah disingkapkan tatkala kaum
beriman memilih untuk hidup di bawah salib, menderita demi keadilan dan kasih. Terdapat
banyak cakupan untuk aksi bersama demi keadilan yang berbela rasa serta cinta kasih yang
nyata.68
67
Analisis ini bersandar pada tulisan Cecília Mariz, walaupun terdapat beberapa perbedaan mencolok antara
Brasil yang Katolik dan Asia yang jamak-iman; lihat Cecília Mariz, “Religion and Poverty in Brazil: A
Comparison of Catholic and Pentecostal Communities”, Sociological Analysis 53 (1992), 63-70.
68
Self, 71.
14
Baik KBG maupun GK sama-sama menekankan pembaruan gaya hidup para pengikutnya.
Keduanya sama-sama mendorong para anggotanya mengamalkan keyakinan religius mereka
dalam kehidupan aktual. GK menekankan pengalaman pertobatan pribadi dan mengutamakan
perubahan gaya hidup dan moralitas perorangan; para anggotanya diharapkan menafsir
Alkitab secara saleh dan menerapkannya dalam kehidupan mereka masing-masing.
Sebaliknya, KBG didorong untuk membaca Alkitab dalam terang tanda-tanda zaman yang
semestinya terjurus pada keterlibatan sosial. Praktisnya, keterkaitan atau ketakterkaitan antara
iman dan kehidupan dalam KBG dan GK kurang-lebih serupa.
Bagi beberapa kalangan, keterlibatan dalam GK tidak lebih dari sebuah fase dalam ziarah
imannya (misalnya di Indonesia & India). GK cenderung bertahan dalam kelompokkelompok Pantekostal yang terbuka kepada dunia adikodrati di tengah kehidupan sehari-hari,
di mana penyembuhan psikologis, dan sampai taraf tertentu penyembuhan fisik, menduduki
tempat utama. Banyak KBG juga terbilang sebagai jemaat-jemaat peralihan yang cuma aktif
untuk kurun tertentu saja. Bila KBG mengakar kuat dalam tradisi-tradisi budaya dan sosial
dari kebudayaan rakyat, seperti yang terjadi di kawasan timur Indonesia dan di Filipina, maka
dalam jangka panjang KBG itu memiliki banyak peluang untuk bertahan dan berkembang.
Tampaknya cuma ada segelintir, itu pun kalau ada, penekanan pada penyembuhan dalam
KBG. Apa yang tampaknya bertahan dalam kedua gerakan ini adalah praktik religius yang
berciri personal dan kekeluargaan serta keyakinan yang tetap bercorak Katolik yang
dibarengi dengan perayaan sakramen secara berkala.
Namun demikian, oleh karena terjadi perubahan sosial yang pesat, maka kini orang-orang
Katolik merasa agak bebas untuk menempa aneka makna dan jejaring baru dalam GK dan
KBG, yang sering kali cuma berkaitan secara longgar dengan paroki. Ada kemajemukan
dalam model-model Kekatolikan kontemporer.69 Seperti yang terjadi di Amerika Latin,
kesetiaan orang-orang Katolik tengah beralih dari paroki ke berbagai gerakan, kelompok dan
organisasi.70
Tantangan Sosial
Di berbagai kota besar, majemuk dan kian anonim, baik GK maupun KBG menawarkan
suatu persekutuan yang hangat, di mana setiap orang diakui dan dibuat “berasa seperti di
rumah sendiri”. Kedua gerakan ini menjawab kebutuhan psikologis yang mesti menjadi
bagian dari perencanaan pastoral, pengambilan keputusan dan penerapannya. Di dalam kedua
gerakan itu para anggotanya merasa berarti, lega dan nyaman. Dalam GK ada keterlibatan
total. Pertemuan-pertemuan akbar dibarengi oleh kelompok-kelompok sel untuk studi Alkitab
dan memberi dukungan. Kelompok-kelompok yang lebih kecil ini di dalam kedua gerakan
tersebut memajukan relasi kesetaraan gender. GK sering kali melahirkan kelompokkelompok kepentingan demi kemajuan diri sendiri, pembaruan diri atau devosi.
Baik GK maupun KBG menawarkan jejaring dukungan yang terpusat pada kewajiban saling
membantu. Keduanya menawarkan sokongan psikologis dengan berdoa, berbicara,
mendengarkan dan menasihati satu sama lain. Para anggota GK cenderung membantu satu
sama lain secara individual; gerakan ini mempertinggi kedudukan individu sejalan dengan
masyarakat perkotaan post-modern. Para anggota KBG membantu dirinya dengan bekerja
sama dan mencari jalan keluar bersama atas masalah bersama, mengelola kredit union,
mengerjakan proyek-proyek ekonomi lokal, terlibat dalam politik lokal, memberi bantuan
hukum dan membela hak-hak asasi manusia, dan seterusnya. Beberapa anggota KBG kadang
kala berjuang secara publik demi kepentingan kaum miskin, sedangkan GK terutama terpusat
pada anggotanya sendiri dan cara hidup mereka.
69
Enzo Pace, “Increase and Multiply: From Organicism to a Plurality of Models in Contemporary Catholicism”,
Concilium 2003/3, 67-79.
70
Christian Smith, “The Spirit and Democracy: Base Communities, Protestantism and Democratisation in Latin
America”, Sociology of Religion 55/2 (1994), 119-143.
15
Sebagaimana yang diperlihatkan oleh contoh-contoh dari Cina, Korea, Filipina dan India, GK
terbuka dan sinambung dengan gaya-gaya religius pribumi. Dengan menegaskan peran utama
penyembuhan dan kerasukan roh, GK berinteraksi dengan ranah-ranah vital dari aneka
kebudayaan Asia yang selama ini diabaikan oleh proses inkulturasi yang lebih formal.
Gerakan ini jauh lebih mampu menyesuaikan diri dengan pengalaman religius akar rumput
dan lebih spontan daripada paroki tradisional. Di Asia, seperti juga di tempat-tempat lain,
agama Pantekostal memperlihatkan keserupaan yang mencolok dengan pengalaman sosial
dan budaya dari kalangan kelas pekerja perkotaan. Sebab banyak KBG, dan bukan melulu
gerakan Pantekostal, mengakar dalam budaya lisan, “pra-tulisan”, dan karenanya kedua
gerakan itu menantang kita untuk mengakarkan kembali teologi, spiritualitas dan praktik
pastoral kita dalam pengalaman (narasi dan kesaksian), alih-alih dalam konsep-konsep
abstrak atau perencanaan yang diturunkan dari atas.
Tantangan Profetis
Dalam dinamikanya yang terbaik GK merupakan sebuah gerakan transformasi dari bawah
yang muncul sebagai jawaban atas kebutuhan-kebutuhan nyata kaum awam dan religius,
suatu gerakan yang sudah mulai diakui kalangan hierarki di Asia. Sebaliknya, KBG lazimnya
diprakarsai oleh program-program pastoral keuskupan. Maka dapat dipahami jika programprogram keuskupan yang telah melahirkan KBG tetapi pembinaan berkelanjutan diabaikan,
banyak KBG berubah menjadi tidak lebih dari sekadar unit-unit administrasi dalam sebuah
paroki konvensional. Secara potensial baik GK maupun KBG mampu memberdayakan
gerakan-gerakan yang berakar dalam kehidupan umat, namun sayangnya tidak begitulah
keadaannya di mana-mana.
Baik GK maupun KBG secara potensial bercorak profetis. Selain kecenderungannya pada
hal-hal “akhirat” dan sikap hormatnya pada otoritas resmi, GK menyemaikan harapan baru
dan karenanya pandangan hidup yang kritis dan non fatalistik.71 “Pembaptisan dalam roh”
melibatkan suatu goncangan yang dramatis terhadap dunia yang diterima begitu saja selama
ini, dan para anggotanya menganut cara baru untuk melihat dan memahami realitas itu
sendiri. Dalam pada itu, para anggota KBG menemukan horizon-horizon baru dengan berbagi
pengalaman tentang soal-soal kehidupan dalam terang Alkitab. Oleh karena itu, baik GK
maupun KBG menjadi tandingan terhadap pandangan fatalistik dengan memberanikan umat
untuk menentang realitas sebagaimana yang didefinisikan secara konvensional, dan
karenanya bermuara pada transformasi.72 Juga, KBG dan GK tidak jauh terpisah ketika
sampai pada tujuan-tujuannya praktis demi kesejahteraan umum: kedua gerakan ini
menentang daya destruktif dari kekuasaan, penindasan, kolusi dan korupsi dengan amanat
Injil tentang pengabdian, pembebasan dan persekutuan bersama.73
Namun demikian, pendekatan GK terhadap perubahan sosial berciri individualistik; kita
mengubah masyarakat dengan mempertobatkan individu. Penekanan pada kekudusan
personal dan perubahan dalam moralitas pribadi dituangkan dalam cetakan rasional.
Introspeksi spiritual, disiplin diri metodis, penerapan iman pada pengalaman sehari-hari,
semuanya melahirkan etos individualisme rasional.74 Hal ini menanggapi penekanan
masyarakat modern pada individu. Dan walaupun pada dasarnya konservatif, tidak memiliki
kepedulian politik dan secara struktural bercorak otoriter, namun para anggota GK menafikan
71
Pada bulan Oktober 2006 Pew Forum on Religion & Public Life menerbitkan hasil-hasil surveinya tentang
Pantekostalisme di 10 negara termasuk di 3 negara di Asia, yakni India, Filipina dan Korea. “Di 9 dari 10 negara
yang diteliti sekurang-kurangnya separuh kaum Pantekostal mengatakan bahwa kelompok-kelompok agama
harus menyatakan pandangan mereka tentang berbagai masalah sosial dan politik sehari-hari … Bahkan di
negara-negara yang pada umumnya konservatif, kaum Pantekostal sering kali mendukung pandanganpandangan tradisional mereka menyangkut cakupan luas masalah sosial dan moral … kaum Pantekostal entah
bagaimana cenderung lebih optimis daripada orang-orang Kristen seumumnya tentang prospek finansial mereka
di masa depan.” Laporan lengkap hlm. 233 dst. Spirit and Power: A 10-Country Survey of Pentecostals.
72
Bdk. Mariz.
73
Self, 72.
74
Smith.
16
dusta, korupsi dan ketidakadilan, dan beberapa secara tegas menjauhi gaya hidup
konsumeristik. Sebaliknya, KBG tidak jarang memobilisasi keterlibatan politik, seperti dalam
gerakan people power di Filippina pada tahun 1980-an, dan dalam gerakan demokrasi dan
hak-hak asasi manusia di Korea Selatan dalam dasawarsa yang sama. Secara potensial, KBG
dapat menjadi basis kekuatan untuk melancarkan pengaruh pada berbagai LSM dan partaipartai politik.
Tantangan Kepemimpinan
Baik GK maupun KBG tidak memberi banyak penekanan pada paroki atau dewan-dewan
paroki, walaupun GK dibimbing oleh sejumlah klerus dan rohaniwan kenamaan. Para peserta
dalam kedua gerakan ini diilhami secara langsung oleh Allah dalam doa dan syering Alkitab.
Setiap orang dianggap kompeten untuk merenungkan dan menafsir Alkitab.
Para pemimpin GK, dan dalam beberapa kasus pemimpin KBG, bukan terutama fungsionaris
atau administrator melainkan pemimpin spiritual. Para pemimpin GK yang sukses diakui
sebagai nabi, penyembuh dan konselor. Kelompok-kelompok ala Pantekostal memiliki aneka
ragam pelayanan, dan para anggota kaum awam biasa mengklaim memiliki kematangan dan
karunia-karunia rohani serta mendarmakan pelayanan di dalam Gereja. Hal ini cenderung
menjembatani pembagian dan pemisahan kepemimpinan kaum awam dalam paroki
konvensional.
Banyak, walaupun tidak semua, KBG telah mengembangkan kepemimpinan dan
pengambilan keputusan secara kolektif. Hal ini menciptakan ruang terbuka untuk berpikir dan
merumuskan, yang memacu sikap kritis sembari mengembangkan keterampilan organisasi,
komunikasi dan kepemimpinan dari para anggotanya. Kepemimpinan tim dan pengambilan
keputusan bersama atas soal-soal kehidupan memupuk rasa tanggung jawab atas kondisi
masyarakat.75 Bila KBG tidak lebih daripada sekadar “bangsal” paroki, maka
kepemimpinannya cenderung berada di tangan satu orang saja. Kepemimpinan dalam GK
bisa juga berubah haluan ke tangan seorang sosok karismatis berkuasa semisal yang terjadi
dalam KTM di Indonesia. Dalam kasus semacam ini, otoritarianisme adalah kelumrahan.
Perkembangan kedua gerakan ini menantang kita untuk menemukan keseimbangan yang
tepat di antara kepemimpinan personal, enterpernir, ministerial dan karismatis dengan peranperan yang tertata, konstitusional, terdiferensiasi dalam Gereja.76
Tantangan Oikumenis
Selama 34 tahun dialog resmi antara Gereja Katolik Roma dan Gereja-Gereja Pantekostal
Klasik harus menjadi rahasia terbesar dari gerakan oikumenis! Dialog itu memang luar biasa,
malah profetis, antara Gereja Kristen terbesar dan gerakan Kristen yang bertumbuh paling
pesat. Pemahaman Katolik/Pantekostal telah diperdalam dan sikap hormat timbal balik
digalakkan. Namun saya tidak melihat gemanya di Asia, dan juga tidak tampak dalam
dokumentasi yang diterbitkan di Asia selama ini. Laporan-laporan dari Pertemuan PancaTahap seyogianya mengilhami aneka dialog pada level lokal antara kaum karismatik Katolik,
kaum Pantekostal klasik dan pribumi bersama dengan para aktivis dalam komunitas basis
gerejawi. Tanpa sama sekali hendak mengabaikan kontak yang berkesinambungan dengan
Gereja-Gereja arus utama, 34 tahun setelah kaum Pantekostal dan orang-orang Katolik
terlibat dalam dialog rupanya belum cukup bagi Gereja-Gereja Katolik di Asia untuk
membuka dirinya kepada jemaat-jemaat Pantekostal pribumi. Sejauh yang saya tahu hanya
ada satu Konferensi Waligereja yang telah melakukan survei secara resmi, yakni India.77
75
Salah satu masalah penting yang tidak dikaji di sini ialah menyangkut ketidakcocokan eklesiologi partisipatif
dan egaliter dalam KBG dengan konteks umum Gereja hierarkis.
76
Jeffrey Gros, “Can They All be One? A Response”, One in Christ 41/1 (2006), 34-41.
77
Untuk survei di India lihat Bagian 1 di atas. Konferensi Waligereja Indonesia juga pernah membuat sebuah
studi tentang gerakan karismatik. Lihat Emmanuel Subangun, Pembaharuan Karismatik Katolik: Gerakan dan
Pemujaan, Yogyakarta: Alocita, 1993).
17
FABC, Konferensi-Konferensi Waligereja nasional beserta sekolah-sekolah tinggi
teologi/pastoral semuanya dapat membantu memprakarsai kontak-kontak dimaksud. Hal ini
meniscayakan suatu cara pandang baru dari pihak kita menyangkut aneka kebudayaan lisan
dan pribumi di Asia dari mana mayoritas orang Katolik bersemi.
TANTANGAN TERHADAP PAROKI DAN KEUSKUPAN
Sebagaimana yang telah kita saksikan, bila ada sekelompok minoritas yang berjumlah
substansial yang merasakan bahwa kebutuhan-kebutuhan religius mereka tidak dipenuhi,
maka mereka bisa jadi bergabung dengan sebuah gerakan religius baru, entah di dalam atau
di luar Gereja. Maka, kita harus mencermati kebutuhan-kebutuhan religius dan pastoral
tersebut. Dan bila kita ingin menjawab kebutuhan-kebutuhan kaum Pantekostal Asia, maka
kita mesti menggantikan budaya hegemonik dari paroki konvensional.78
Konsili Yohanes XXIII (1962-1965) memicu kemajemukan budaya dalam Kekatolikan
dalam skala luas. Hal ini berujung pada munculnya banyak gerakan baru termasuk GK dan
KBG. Beberapa gerakan ini menafsir kemunculan konsili itu sebagai suatu panggilan untuk
terlibat di dalam dunia dan mengangkat soal-soal keadilan sosial (Gereja Gaudium et spes),
sedangkan yang lain membaca konsili itu sebagai seruan bagi sebuah Gereja yang lebih
devosional (Gereja ritualistik). Sering kali, namun tidak selalu, komunitas basis gerejawi
menempuh alur pertama, sedangkan kelompok-kelompok karismatik menuruti garis kedua.
Paroki konvensional tidak mampu menangani dua kecenderungan yang saling berlawanan ini.
Dalam banyak hal paroki-paroki berkembang menjadi complexio oppositorum (kompleks
kontradiksi) dari aneka organisasi berbeda yang hidup berdamping satu di samping yang lain
tanpa saling memperkaya secara sarat makna. “Seluruh Kekatolikan … harus memutuskan
apakah … pembangunan jati dirinya mesti berupa suatu jejaring akbar yang terdiri dari
banyak situs (yang masing-masingnya) dikhususkan untuk seorang pelanggan terdaftar, atau
sebuah „kuil‟ terbuka, yang manusiawi, rela memberi tumpangan di mana … setiap orang
menyumbang andilnya, setiap orang menanggung bebannya.”79
Paroki Konvensional
Tidaklah cukup untuk memberi anjuran-anjuran liturgis, kateketis dan pastoral guna memberi
hidup baru bagi paroki.80 Paroki konvensional secara kultural berciri monoton dan terbatas
pada pandangan hidup yang sepadan dengan akal sehat. Ia bergantung pada imam tertahbis
dan dewan pastoralnya, di mana kewenangan dari atas ke bawah dipusatkan melalui saluransaluran yang terkontrol. Cita-cita menyangkut integrasi organis yang komprehensif ini
mencerminkan masyarakat pedesaan yang stabil, dengan komunitasnya yang organis dan
tertata rapi. Semua komponen disinkronisasikan oleh kewenangan pusat guna menggapai kata
sepakat. Paroki atau keuskupan semacam itu tidak melihat perlunya ikhtiar untuk
menyeimbangkan gerakan-gerakan yang beragam agar saling melengkapi, tetapi memadukan
atau mengenyahkannya atas nama keselarasan. Dalam kultur gerejawi yang konvensional
semacam ini hanya ada sedikit ruang untuk kepentingan partikular, keragaman sosial,
kemajemukan budaya atau sikap non kompromi religius, apalagi mempertanyakan otoritas.
Semuanya dianggap menghalangi kepentingan umum.
78
Saya dengan sengaja tidak membahas soal-soal doktrinal dan memusatkan perhatian pada hal-hal kultural dan
pastoral. Saya sepakat dengan Walter Hollenweger bahwa Pantekostalisme memiliki akar Katolik, dan hal ini
menjelaskan mengapa secara komparatif beberapa kelompok karismatik Katolik meninggalkan Gereja (Walter J.
Hollenweger, Pentecostalism: Origin and Developments Worldwide, Peabody MA: Hendrickson, 1997, 144180). “Kita dapat mengatakan bahwa Pantekostalisme adalah sebuah cara menjadi Katolik tanpa menerima
struktur-struktur yuridis Gereja Katolik” (Walter J. Hollenweger, “The Black Roots of Pentecostalism”, dalam
Anderson and Hollenweger (eds.), Pentecostals after a Century, Sheffield: Academic Press, 1999, 33-44).
79
Alberto Melloni, “Movements: On the Significance of Words”, Concilium 2003/3, 19.
80
Hal ini tampaknya menjadi pendekatan yang ditempuh berbagai Konferensi Waligereja (msl. Filipina, India,
Indonesia), dan juga para teolog semisal Jesús-Angel Barreda (Barreda, “The Church‟s Apostolate”, 358-360).
18
Tidak mengherankan bila budaya paroki Katolik konvensional dicirikan oleh otoritarianisme,
elitisme dan patriarkalisme. Budaya paroki seperti itu amat dekat dengan budaya pedesaan
tempo doeloe, atau budaya-budaya kompromi ala banyak pemeritahan otoriter Asia dewasa
ini. Tanpa suatu perubahan radikal dalam budaya paroki dan reksa pastoral, maka GerejaGereja Pantekostal akan senantiasa “mengisap” orang-orang Katolik yang tidak lagi
menemukan tempat dalam Gereja.
Pergeseran dalam Budaya Paroki
Baik KBG maupun GK tidak dapat bernapas dalam satu budaya beku lagi seragam. Sebab
bila KBG terserap ke dalam struktur institutional paroki konvensional maka ia cenderung
direduksi menjadi tidak lebih daripada sekadar “bangsal” paroki. Dalam kasus semacam ini
para aktivis Katolik akan bergerak ke luar dan membentuk jejaring ekstra-gerejawi. Demikian
pula, bila kaum karismatik ditaruh di bawah kendali paroki konvensional, dan tapal-tapal
batas yang tegas dipaksakan antara ritus-ritus liturgi dan perayaan-perayaan karismatik,81
maka dapat dimaklumi bila banyak orang akan hengkang ke Gereja-Gereja Pantekostal yang
lebih bebas.
Bila dibiarkan tumbuh dewasa seturut dinamikanya sendiri, maka kedua gerakan ini akan
memajukan kemajemukan sosial, menggalakkan keterlibatan dalam masyarakat yang lebih
luas dan mendukung harapan akan serta praktik akuntabilitas baik di dalam Gereja maupun di
tengah masyarakat. GK dan KBG menyingkapkan proses diferensiasi sosial dalam arah
pilihan personal dan partisipasi yang lebih besar.
Baik dalam KBG maupun GK kaum perempuan mengalami kebebasan dan harga diri. Kedua
gerakan ini mendorong pilihan individual dan karenanya kehendak bebas. Penekanannya
lebih pada status yang dicapai daripada status yang diwariskan, yang bertentangan secara
tajam dengan paroki konvensional.
Maka, kita perlu beralih dari budaya otoriter ke budaya kolegial; dari ethos komando ke ethos
mendengarkan; dari religiositas yang menanamkan sikap pasrah ke religiositas yang
mengilhami iman-dalam-tindakan; dari budaya gerejawi yang over-adaptif terhadap normanorma budaya lokal dan global ke budaya gerejawi yang berjangkar dalam pelbagai nilai dan
norma Alkitab; dari Gereja yang terpusat pada para anggotanya ke Gereja yang fokus pada
tugas perutusannya bagi masyarakat.
Menuju Persekutuan Jemaat-Jemaat
Bila kita hendak mengemukakan anjuran jitu agar gerakan-gerakan karismatik dan komunitas
basis gerejawi mesti belajar satu dari yang lain,82 maka budaya paroki konvensional perlu
digantikan oleh budaya jejaring terbuka. Kita perlu mengembangkan paroki menjadi jejaring
dengan aneka pusat yang fleksibel, di mana KBG dan GK dapat saling memperkaya alih-alih
menghindari satu sama lain. Bila kedua gerakan yang ampuh ini mampu, entah dengan cara
bagaimana, memadukan kekuatannya dalam beberapa dasawarsa yang akan datang, maka
hasilnya akan benar-benar luar biasa. Bila GK menyerap, dan diubah oleh, wawasan keadilan
sosial KBG, sementara itu KBG membusanakan “eksperiensialisme” GK yang bercorak
emosional, komunal, narasional, penuh harapan dan terejawantahkan secara radikal, maka
“anak” yang diturunkan niscaya lebih kuat dan perkasa daripada kedua “orangtua”-nya.83
Benang merah yang menjadi titik temu dalam “nukleus” jejaring dengan aneka pusat ini ialah
berupa para aktivis Katolik dan keluarga mereka di dalam kedua gerakan tersebut. Intipati ini
akan ambil bagian dalam pelatihan berlanjut yang menuntut kekuatan terpadu dari tim
pastoral paroki.
81
Walaupun norma-norma disipliner dari “Instruksi tentang Penyembuhan” (pasal 1-10) secara teoretis masuk
akal, namun saya tidak terlalu yakin dengan penerapannya yang, bila dilaksanakan, sangat boleh jadi menghela
lebih banyak orang Katolik ke dalam Gereja-Gereja Pantekostal.
82
De Los Reyes.
83
Cox, Fire from Heaven, 319.
19
Para pemimpin awam baik dari sel-sel karismatik dan KBG bisa dididik bersama dengan para
pastor tertahbis seturut model refleksi-aksi-refleksi (melihat-menilai-bertindak) yang
membaca kehidupan dalam terang Alkitab dan melaksanakannya. Hal ini dapat membantu
GK dan KBG untuk membongkar akar-akar sosial dan implikasi-implikasi religius dari
berbagai permasalahan hidup. Kedua kelompok bisa belajar membaca Alkitab dengan cara
menjangkarkan berbagai simbol, peristiwa dan ajaran Kristen pada kehidupan kaum miskin di
Asia. Begitulah, sejauh para pemimpin tertahbis tidak merasa terancam oleh perkembanganperkembangan ini, namun senantiasa bekerja sama dalam keberanian yang rendah hati, maka
budaya paroki terbuka akan melahirkan suatu persekutuan jemaat-jemaat.84
Memupuk Budaya Sakramentalitas
Orang-orang Katolik Asia ditemukan dalam jemaat-jemaat yang terpencar dan berserakan di
mana-mana, yang kebanyakan darinya cuma menerima pelayanan secara sekali-sekali dari
seorang pastor tertahbis. Sebuah persekutuan sakramental diasup oleh pelayanan sakramental.
Dengan membatasi imamat tahbisan pada anggota jemaat yang hidup wadat dan jebolan
universitas, serta menjadikannya sebagai pekerjaan purna waktu dan seumur hidup, dan
hanya pada kaum lelaki saja, maka kita justru menghalangi jemaat-jemaat kita menjadi
jemaat-jemaat Ekaristi dengan menafikan bagi mereka perayaan sakramental secara berkala.
Pasti ada di antara pembatasan-pembatasan ini yang dapat dicabut. Tidak akan ada tanggapan
Katolik yang berkanjang atas kemunculan Pantekostalisme sejauh kita gagal menahbiskan
jumlah presbiter yang memadai untuk melayani jemaat-jemaat Ekaristi dalam konteks
menggagas ulang seluruh permasalahan menyangkut pelayanan.85 Sejauh kita abai
melakukannya, maka orang-orang Katolik akan senantiasa berpaling kepada gerakan-gerakan
Pantekostal agar mendapatkan asupan spiritual dan personal mereka.
Judul Asli: “The Challenge of the Pentecostal in Asia: Part Two – The Responses of the
Roman Catholic Church”, Exchange, 36/2 (2007).
Penerjemah: Yosef Maria Florisan.
84
Menyangkut apresiasi dan penilaian kritis tentang pancawindu Gaudium et spes, lihat Felix Wilfred, “Asian
Christianity and Modernity Forty Years after Gaudium et Spes”, Info on Human Development 32/1-3 (2006), 1520. Felix Wilfred bertolak dari analisis yang luas tentang masyarakat dari sudut sosiologis-politis-ekonomibudaya, alih-alih dari sisi antropologi budaya yang agak sempit.
85
William R. Burrows, New Ministries: The Global Context, New York: Orbis Books, 1980; “Mission and
Missiology in the Pontificate of John Paul II”, International Bulletin of Missionary Research 30/1 (2006), 3-8.
Burrows meletakkan landasan teologis untuk mengkaji kembali pelayanan dalam Gereja Katolik dalam bukunya
yang terbit tahun 1980 itu. Agak belakangan, dengan menyitir Annuarium Statisticum (Burrows, “Mission and
Missiology”, 5), ia menyajikan data-data berikut: antara tahun 1978-2003 jumlah orang Katolik sedunia
bertumbuh dari 757 juta menjadi 1,07 milyar. Untuk melayani 300 juta lebih orang Katolik pada tahun 2003
terdapat penyusutan 15.000 imam. Menyangkut ihwal menggagas ulang kerasulan tim akar rumput, lihat Fritz
Lobinger, Like His Brothers and Sisters: Ordaining Community Leaders, Manila: Claretian Publications, 1998;
Priests for Tomorrow: A Plea for teams of “Corinthian priests” in the parishes, Quezon City: Claretian
Publications, 2004.
20
Download