BAB II TINJAUAN PUSTAKA KONDISI HIDROLOGIS DAS II.1. Siklus

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA KONDISI HIDROLOGIS DAS
II.1.
Siklus Hidrologi
Hidrologi adalah suatu ilmu tentang kehadiran dan gerakan air di alam. Secara
khusus menurut SNI No. 1724-1989-F hidrologi didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari sistem kejadian air di atas, pada permukaan, dan di dalam tanah.
Definisi tersebut terbatas pada hidrologi rekayasa. Secara luas hidrologi meliputi
pula pergerakan dan distribusi, berbagai bentuk air, termasuk transformasi antara
keadaan cair, padat dan gas dalam atmosfir, di atas, dan di bawah permukaan
tanah. Di dalamnya tercakup pula air laut yang merupakan sumber dan penyimpan
air yang mengaktifkan kehidupan di planet bumi ini. (Joyce, 1982).
Daur atau siklus hidrologi adalah suatu siklus yang mensimulasikan
keseimbangan air baik di lautan, atmosfer, maupun di badan air dan
pergerakannya dari laut ke udara, kemudian jatuh ke permukaan tanah dan
akhirnya mengalir ke laut kembali baik secara fisik maupun geografis. Siklus
peristiwa tersebut sebenarnya tidaklah sesederharna yang kita bayangkan, karena:
1.
Pertama, daur itu dapat berupa daur pendek, yaitu hujan yang segera dapat
mengalir kembali ke laut.
2.
Kedua, tidak adanya keseragaman waktu yang diperlukan oleh suatu daur.
Selama musim kemarau kelihatannya daur seolah-olah berhenti, sedangkan
dalam musim hujan berjalan kembali.
3.
Ketiga, intensitas dan frekuensi daur tergantung pada letak geografi dari
keadaan iklim suatu lokasi. Siklus ini berjalan karena adanya sinar matahari.
Posisi matahari akan berubah setiap masa menurut meridiennya (meskipun
pada dasarnya posisi bumi yang berubah).
4.
Keempat, berbagai bagian daur dapat menjadi sangat kompleks, sehingga kita
hanya dapat mengamati bagian akhir saja terhadap suatu curah hujan di atas
permukaan tanah yang kemudian mencari jalannya untuk kembali ke laut.
13
Gambar II.1. Siklus hidrologi
Air laut menguap karena radiasi matahari menjadi awan dan kemudian awan yang
terjadi oleh penguapan air bergerak di atas daratan karena tertiup angin.
Presipitasi yang terjadi karena adanya tabrakan antara butir-butir uap air akibat
desakan angin, dapat berbentuk hujan atau salju. Presipitasi tersebut kemudian
jatuh tertarik oleh gravitasi bumi dan jatuh ke tanah yang kemudian menimbulkan
limpasan (runoff) yang mengalir kembali ke laut. Dalam usahanya mengalir
kembali ke laut beberapa di antaranya masuk kembali ke dalam tanah (infiltrasi)
dan bergerak terus ke bawah (perkolasi) ke dalam daerah jenuh (saturated zone)
yang terdapat di bawah permukaan air tanah atau yang dinamakan permukaan
freatik. Air dalam daerah ini bergerak perlahan-lahan melewati akuifer masuk ke
sungai maupun langsung masuk ke laut.
Air yang masuk ke dalam tanah (infiltrasi) memberi hidup kepada tumbuhan
namun ada diantaranya naik ke atas lewat akuifer diserap akar dan batangnya
sehingga terjadi transpirasi, yaitu evaporasi (penguapan) lewat tumbuh-tumbuhan,
melalui bagian bawah daun (stomata). Air yang tertahan di permukaan tanah
(surface detention) sebagian besar mengalir kembali masuk ke sungai-sungai
sebagai limpasan permukaan (surface runoff) ke dalam palung sungai.
14
Permukaan sungai dan danau juga mengalami penguapan (evaporasi), sehingga
masaih ada lagi air yang dipindahkan menjadi uap. Akhirnya, air yang tidak
menguap ataupun mengalami infiltrasi tiba kembali ke laut melewati palungpalung sungai. Air tanah yang bergerak jauh lebih lambat mencapai laut dengan
jalan melewati alur-alur masuk ke sungai atau langsung merembes ke pantaipantai, sehingga seluruh daur telah dijalani dan kemudian akan berulang kembali.
Dengan demikian ada empat proses penting dalam daur hidrologi yang perlu
difahami, yaitu: a). presipitasi, b). evaporasi, c). infiltrasi serta d). limpasan
permukaan (surface runoff) dan limpasan air tanah (subsurface runoff).
II.2. Komponen-Komponen Hidrologi
Dalam model fisik hidrologi terdapat banyak komponen yang mempengaruhi
siklus hidrologi, beberapa komponen tersebu adalah ;.
II.2.1
Curah Hujan
Hujan merupakan suatu bentuk presipitasi, atau turunan cairan dari angkasa,
seperti salju, hujan es, embun, dan kabut. Hujan terbentuk apabila titik air yang
terpisah jatuh ke bumi dari awan. Tidak semua air hujan sampai ke permukaan
bumi, sebagian menguap kembali ketika jatuh melalui udara kering, sejenis
presipitasi yang dikenali sebagai virga. Kondisi yang diperlukan untuk terjadinya
hujan ini adalah pendinginan udara yang datang sehingga batas jenuh uap air,
pengembunan (perubahan uap air dalam bentuk awan) dimana dibutuhkan inti
pembentukan, dan adanya penggabungan inti-inti air di awan atau kristal es
menjadi partikel yang cukup besar untuk jatuh ke permukaan bumi sebagai hujan
atau salju. (Nelson, 2005).
Hujan memainkan peranan penting dalam siklus hidrologi, dimana kelembaban
dari laut menguap, bertukar menjadi awan, terkumpul menjadi awan, lalu turun
kembali ke bumi, dan akhirnya kembali ke laut melalui sungai dan anak sungai
untuk mengulangi kembali daur ulang tersebut. Jumlah air hujan diukur
menggunakan pengukur hujan dan dinyatakan sebagai kedalaman air yang
terkumpul pada permukaan rata yang diukur kurang lebih setiap 0,25 mm.
Biasanya hujan memiliki kadar asam pH 6. Hujan di bawah pH 5 – 6, dianggap
sebagai hujan asam. Banyak orang menganggap bahwa bau yang dicium pada saat
15
hujan dianggap wangi atau menyenangkan. Sumber dari bau ini adalah petrichor,
minyak yang diproduksi oleh tumbuhan, kemudian diserap oleh batuan dan tanah,
dan kemudian dilepas ke udara pada saat hujan. Suatu presipitasi umumnya
digolongkan berdasarkan faktor utama yang mempengaruhi pengangkatan (lifting)
udara, sehingga terjadi proses pendinginan yang cukup untuk membentuk
presipitasi. (Linsley, 1969).
Hujan yang turun ke bumi tidak berlangsung merata di seluruh wilayah
(geografis) maupun di setiap waktu, namun terdistribusi sesuai kedua kondisi
tersebut.
a.
Distribusi geografis. Faktor-faktor yang menentukan besarnya curah hujan
rata-rata tahunan di suatu daerah/tempat adalah latitude, suhu laut dan air
laut, posisi dan luas daerah, efek geografis, jarak/sumber lembah, dan
ketinggian. Latitude berhubungan dengan sirkulasi atmosfer. Umumnya curah
hujan meningkat besarnya dari arah pantai ke pegunungan di daerah
pedalaman. Curah hujan juga berubah dengan ketinggian lereng, meningkat
sampai ketinggian tertentu (+ 900 meter) dan kemudian berkurang, karena
kejenuhan kelembaban spesifik dan dengan itu juga banyaknya air maksimum
di dalam suatu kolom di atas permukaan tanah berkurang.
b.
Distribusi menurut waktu. Jatuhnya hujan terjadi menurut suatu pola dan
siklus tertentu. Hanya kadang-kadang terjadi penyimpangan-penyimpangan
pada pola tersebut. Namun biasanya pada waktu tertentu akan kembali pada
pola yang teratur. Dalam suatu series data hujan terdapat fluktuasi-fluktuasi
yang fasa dan amplitudonya tidak teratur. Dengan mengadakan perataan
(smoothing) seperlunya maka kita bisa mendapatkan variasi yang nampaknya
akan menyerupai variasi siklus. Meski demikian, data curah hujan yang
tersedia tidak cukup panjang untuk menyatakan fluktuasi-fluktuasi jangka
panjang sedangkan variasi-variasi jangka pendek biasanya tidak teratur
sehingga bisa didapatkan banyak sekali siklus. Di antara variasi-variasi
tersebut, terdapat yang kita kenal dengan variasi musiman. Distribusi hujan
musiman ini biasanya terjadi sebagai hujan konvektif yang disebabkan oleh
naiknya udara panas ke tempat yang lebih dingin atau hujan orografik yang
disebabkan naiknya udara yang terpusatkan di suatu daerah atau sebagai
16
hujan siklonik, terjadi dari naiknya udara yang terpusatkan di suatu daerah
yang tekanan rendah. Dan sebagian hujan di Indonesia terjadi sebagai hujan
konvektif.
Karena adanya infiltrasi, intersepsi dan tertahannya air hujan di bagian-bagian
rendah maka besarnya aliran (debit) di dalam sungai tidak sama dengan
banyaknya air hujan yang jatuh di daerah aliran. Banyaknya air hujan yang hilang
sangat dipengaruhi oleh keadaan meteorologis di wilayah pengalirannya. Faktorfaktor meteorologis yang mempengaruhi banyaknya kehilangan air adalah:
a.
Hujan, Yaitu besarnya hujan, intensitas hujan, luas daerah hujan, distribusi
musiman dan di daerah yang juga terdapat salju juga proporsi dari salju dan
hujan. Banjir besar terjadi jika hujan terjadi tidak merata di seluruh daerah
aliran dengan intensitas yang tinggi serta lama waktu hujan yang panjang.
Akan tetapi keadaan hujan yang demikian tersebut belum tentu menyebabkan
terjadinya banjir yang maksimum di dalam sungai.
b.
Suhu udara. Besarnya evaporasi dan transpirasi sangat tergantung pada suhu
udara, demikian pula kelembaban tanah dan adanya salju. Semakin tinggi
suhu udara maka akan semakin besar pula tingkat evaporasi.
c.
Kelembaban relatif. Hal ini juga besar pengaruhnya pada evaporasi dan
transpirasi. Semakin tingi kelembaban maka akan semakin kecil evaporasi.
d.
Angin. Mempengaruhi juga besarnya evaporasi. Semakin besar kecepatan
angin, maka akan semakin cepat tingkat evaporasi.
Sedangkan faktor daerah aliran yang mempengaruhi kehilangan air adalah:
a.
Luas dan bentuk daerahnya yang dihitung tiap km2. Debit sungai dengan
daerah aliran sungai yang kecil biasanya lebih besar kehilangan air daripada
debit sungai dengan daerah aliran yang lebih luas. Ini disebabkan karena pada
daerah kecil, air hujan mudah mencapai sungai, selain itu biasanya pada
daerah yang lebih besar banyak terdapat rawa, danau, dll. yang bisa menahan
air hujan.
b.
Kepadatan drainase, yaitu panjang dari saluran-saluran per satuan luas
daerahnya. Kepadatan drainase yang kecil menunjukkan bahwa secara relatif
17
pengaliran melalui permukaan tanah memerlukan perjalanan yang panjang
untuk mencapai sungai.
c.
Geologi. Sifat – sifat tanah memiliki pengaruh pada banyaknya kehilangan
air. Kerapatan dan tebalnya lapisan tanah yang kedap air sangat menentukan
besarnya infiltrasi dan evaporasi.
d.
Keadaan topografi. Di daerah yang keadaan tanahnya miring terdapat aliran
permukaan yang deras dan besar dan berpengaruh pada kecepatan
meningkatnya banjir.
e.
Elevasi rata-rata. Hujan yang lebat umumnya lebih banyak terjadi pada
daerah pegunungan dari pada di daerah yang datar.
II.2.2
Evaporasi dan Transpirasi
Evaporasi merupakan faktor penting dalam studi tentang pengelolaan dan
pengembangan sumber daya air. Evaporasi sungai mempengaruhi debit sungai,
besarnya kapasitas waduk, kapasitas pompa untuk irigasi, penggunaan konsumtif
untuk tanaman dan lain-lain. Evaporasi adalah proses dimana air berubah menjadi
uap atau gas. Evaporasi akan terjadi di permukaan air saat atmosfir di atasnya
memiliki kelembaban relatif kurang dari 100%.
Sumber energi utama evaporasi adalah radiasi matahari. Jumlah evaporasi
dipengaruhi oleh radiasi matahari, kecepatan angin, kelembaban relatif, suhu, dan
tingkat turbulensi udara di atas permukaan evaporasi, sebagaimana oleh
perbedaan tekanan uap air antara permukaan air dan udara tidak jenuh di atasnya.
Di daerah yang beriklim sedang hingga lembab, kehilangan air melalui evaporasi
bebas dapat mencapai 60 cm/tahun dan kira-kira 45 cm lewat evaporasi
permukaan tanah. Di daerah beriklim kering seperti Irak dan Saudi Arabia, angka
tersebut dapat menjadi 200 cm dan 10 cm. (Soemarto, 1995)
Semua jenis tanaman memerlukan air untuk kelangsungan hidupnya. Dan masingmasing tanaman berbeda tingkat kebutuhan airnya. Namun demikian hanya
sebagian kecil air saja yang tertinggal di dalam tubuh tumbuhan, sedangkan
sisanya diserap oleh akar-akar dan dahan-dahan untuk kemudian ditranspirasikan
18
melalui daun. Transpirasi adalah proses dimana air mengalir (merambat) melalui
tumbuhan untuk kemudian lepas ke atmosfer sebagai uap air hasil metabolisme
tumbuhan. Transpirasi tumbuhan selama musim tumbuh dapat bernilai 100 kali
lebih banyak dari jumlah air biologis pada tumbuhan di suatu masa tertentu.
Jumlah air yang ditranspirasikan oleh tumbuhan dapat bertambah besar, misalnya
pada pohon yang besar dengan akar-akarnya yang sangat dalam menembus tanah.
Jumlah air yang akan ditranspirasikan akan lebih banyak jika dibandingkan air
tersebut dievaporasikan sebagai air bebas. Proses transpirasi berjalan terus hampir
sepanjang hari di bawah pengaruh sinar matahari, dan pada malam hari pori-pori
daun menutup. Apabila stomata tersebut menutup, maka proses transpirasi
terhenti.
Istilah evapotranspirasi sering digunakan untuk mengkombinasikan air yang
menguap melalui evaporasi dari permukaan tanah dan transpirasi dari kelembaban
tanah dan udara melalui vegetasi. Jumlah kadar air yang hilang dari
evapotranspirasi tergantung pada ketersediaan air yang cukup (hujan, dan lain –
lain), faktor iklim seperti suhu dan kelembaban, serta tipe dan cara kultivasi
tumbuh-tumbuhan tersebut. Jika jumlah air yang tersedia sangat banyak dan
berlebihan dari yang diperlukan tumbuhan selama proses transpirasi, maka jumlah
air yang ditranspirasikan akan lebih besar dibandingkan dengan keperluan,
sehingga evaporasi pada kondisi ini disebut evaporasi potensial. Sedangkan
evaporasi yang tetap terjadi pada kondisi air cukup dan tidak berlebihan disebut
dengan kejadian evaporasi aktual.
Lebih lanjut mengenai analisis evaporasi dan transpirasi ini akan dibahas dalam
bagian analisis ketersediaan air pada bab ini.
II.2.3.
Limpasan
Sungai mengumpulkan tiga jenis limpasan, yakni limpasan permukaan (surface
runoff), aliran intra (Interflow), dan limpasan air tanah (groundwater runoff) yang
pada akhirnya akan mengalir ke laut. Sirkulasi yang kontinu antara air laut dan air
di daratan melalaui sungai ini berlangsung terus-menerus. Di dalam sistem
penyediaan air minum yang berasal dari air permukaan, sungai merupakan
limpasan sumber air baku air minum.
19
Sungai merupakan jalan air yang alami. Laluan melalui sungai merupakan cara
biasa air hujan yang turun di daratan untuk mengalir ke laut atau tampungan air
yang besar seperti danau. Sungai terdiri dari beberapa bagian, bermula dari mata
air yang mengalir ke anak sungai. Beberapa anak sungai akan bergabung untuk
membentuk sungai utama untuk kemudian bertemu dengan air laut di muara.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi limpasan dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu elemen-elemen meteorologi yang diwakili oleh curah hujan dan
elemen-elemen daerah pengaliran yang menyatakan sifat-sifat fisik daerah
pengalirannya. (Sosrodarsono, Takeda, 1987).
a.
Elemen-Elemen Meteorologi
Faktor-faktor yang termasuk ke dalam kelompok meteorologi adalah:
b.

Jenis presipitasi

Intensitas curah hujan

Lamanya curah hujan

Distribusi curah hujan dalam daerah pengaliran

Arah pergerakan curah hujan

Curah hujan terdahulu dan kelembaban tanah

Kondisi – kondisi meteorologi lainnya.
Elemen-Elemen Daerah Pengaliran

Kondisi penggunaan lahan

Daerah pengaliran

Kondisi topografi dalam daerah pengaliran

Jenis tanah

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi
II.2.4.
Daerah Aliran Sungai (DAS)
Daerah aliran sungai (DAS) dinyatakan sebagai suatu kesatuan wilayah tata air
yang terbentuk secara alamiah yang merupakan tempat air jatuh melalui
presipitasi, meresap dan/atau mengalir dari permukaan tanah ke sungai dan anak –
anak sungainya dari hulu hingga ke muara dan dibatasi oleh punggung gunung
dan bukit yang dapat menampung seluruh curah hujan yang terjadi. Daerah ini
20
umumnya dibatasi oleh batas topografi yang berarti ditetapkan berdasarkan tata
aliran air permukaan. Batas ini tidak ditetapkan berdasarkan air tanah karena air
tanah permukaannya selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat kegiatan
pemakaian. Nama suatu DAS ditandai dengan nama sungai yang bersangkutan
dan dibatasi oleh titik kontrol yang dianggap penting, maka DAS ditandai dengan
nama pada titik kontrolnya tersebut sedangkan titik kontrol lainnya berada di
hulunya disebut sebagai Sub-DAS.
Ada tiga aspek yang menjadi perhatian di dalam pengelolaan DAS yaitu jumlah
air yang tersedia (water yield), waktu aliran (timing of water yield), dan
kandungan sedimen. Ketiga aspek tersebut ditentukan oleh perbedaan antara
jumlah curah hujan dengan evapotranspirasi dan kapasitas infiltrasi tanah. Secara
singkat dapat disimpulkan bahwa cara pengelolaan mempengaruhi produktifitas
dan fungsi DAS secara keseluruhan.
Untuk mengukur debit air yang melewati DAS tersebut, biasanya dipasang pospos pengukuran debit. Dalam prakteknya, penetapan batas ini di sungai diperlukan
untuk kepentingan analisis. Dalam penelitian, batas-batas DAS diperlukan untuk
menetapkan daerah yang akan dianalisis. Daerah yang dimaksud akan dihitung
jumlah konsumsi yang digunakan untuk keperluan domestik, pertanian, industri,
dll. (Sri Harto, 1993). Elemen DAS yang berkaitan erat dengan penelitian
hidrologi secara umum (Joyce, 1982) adalah:
1.
Kondisi tata penggunaan tanah (land use) karena tanaman memperbesar
intersepsi, infiltrasi, soil moisture, hingga limpasan kecil;
2.
Kondisi topografi dan bentuk DAS akan mempengaruhi volume air yang
tertampung dalam saluran, disamping kemiringan yang akan memperkecil
infiltrasi
3.
Jenis tanah yang mempengaruhi besarnya infiltrasi
4.
Karakteristik jaringan sungai dll.
21
II.3.
Ketersediaan Air
Salah satu aspek yang harus diketahui sebelum melakukan analisis neraca air
untuk suatu daerah/kawasan adalah jumlah ketersediaan air. Ketersediaan air
dalam pengertian sumber daya air pada dasarnya berasal dari air hujan
(atmosferik), air permukaan dan air tanah. Hujan yang jatuh di atas permukaan
pada suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) atau Wilayah Sungai (WS) sebagian akan
menguap kembali sesuai dengan proses iklimnya, sebagian akan mengalir melalui
permukaan dan sub permukaan masuk ke dalam saluran, sungai atau danau dan
sebagian lagi akan meresap jatuh ke tanah sebagai imbuhan (recharge) pada
kandungan air tanah yang ada.
Ketersediaan air yang merupakan bagian dari fenomena alam, sering sulit untuk
diatur dan diprediksi dengan akurat. Hal ini karena ketersediaan air mengandung
unsur variabilitas ruang (spatial variability) dan variabilitas waktu (temporal
variability) yang sangat tinggi. Oleh karena itu, analisis kuantitatif dan kualitatif
harus dilakukan secermat mungkin agar dapat dihasilkan informasi yang akurat
untuk perencanaan dan pengelolaan sumber daya air.
Air permukaan adalah air yang mengalir baik secara berkesinambungan maupun
dengan terputus-putus dalam alur sungai atau saluran dari sumbernya yang
tertentu, dimana semua ini merupakan bagian dari sistem sungai yang
menyeluruh. Ilustrasi proses terbentuknya aliran permukaan disajikan pada
Gambar II.2.
Aliran yang terukur di sungai atau saluran maupun danau merupakan potensi debit
air permukaan, begitu halnya dengan air yang mengalir ke dalam tanah,
kandungan air yang tersimpan dalam tanah merupakan potensi debit air tanah.
Dari ketiga sumber air tersebut di atas, yang mempunyai potensi paling besar
untuk dimanfaatkan adalah sumber air permukaan dalam bentuk air di sungai,
saluran, danau/waduk dan lainnya. Penggunaan air tanah sangat membantu
pemenuhan kebutuhan air baku maupun air irigasi pada daerah yang sulit
mendapatkan air permukaan, namun pemanfaatan air tanah membutuhkan biaya
operasional pompa yang sangat mahal.
22
Gambar II.2. Ilustrasi proses terbentunya air permukaan
Dalam analisis melakukan ketersediaan air permukaan yang akan digunakan
sebagai acuan adalah debit andalan (dependable flow). Sehingga yang paling
berperan dalam studi ketersediaan air permukaan adalah data rekaman debit aliran
sungai. Rekaman tersebut harus berkesinambungan dalam periode waktu yang
dapat digunakan untuk pelaksanaan proyek penyediaan air. Apabila penyadapan
air akan dilakukan dari sungai yang masih alami, maka diperlukan rekaman data
dari periode-periode aliran rendah yang kristis yang cukup panjang, sehingga
keandalan pasok air dapat diketahui.
Debit andalan adalah suatu besaran debit pada suatu titik kontrol (titik tinjau) di
suatu sungai di mana debit tersebut merupakan gabungan antara limpasan
langsung dan aliran dasar. Debit ini mencerminkan suatu angka yang dapat
diharapkan terjadi pada titik kontrol yang terkait dengan waktu dan nilai
keandalan. Keandalan yang dipakai untuk pengambilan bebas baik dengan
maupun tanpa struktur pengambilan adalah 80%, sedangkan keandalan yang
dipakai untuk pengambilan dengan struktur yang berupa tampungan atau reservoir
adalah sebesar 50%.
23
Untuk data aliran yang terbatas dan data hujan yang cukup panjang maka data
aliran tersebut dapat dibangkitkan dengan menggunakan metoda pendekatan
modelling hujan-aliran. Model hujan-aliran yang dapat digunakan adalah Metoda
Mock. Metoda Mock lebih sering dipakai dibandingkan dengan metoda-metoda
yang lain (SMAR, NRECA dll.) karena metoda ini dikembangkan di Indonesia,
penerapannya mudah dan menggunakan data yang relatif lebih sedikit.
II.3.1.
Metoda Mock
Hasil penaksiran atau perkiraan debit limpasan (run off) tidak bisa menggantikan
dokumentasi data aliran sungai. Namun dalam hal dimana sangat dibutuhkan
tersedianya data tersebut, maka diperlukan adanya penaksiran atau perkiraan. Ada
banyak metoda untuk menaksir debit limpasan. Akurasi dari masing-masing
metoda tersebut bergantung pada keseragaman dan keandalan data yang tersedia.
Salah satu metoda tersebut adalah Metoda Mock. Metoda Mock adalah suatu
metoda untuk memperkirakan keberadaan air berdasarkan konsep water balance.
Keberadaan air yang dimaksud di sini adalah besarnya debit suatu daerah aliran
sungai. Data yang digunakan untuk memperkirakan debit ini berupa data
klimatologi dan karakteristik daerah aliran sungai.
Metoda Mock dikembangkan oleh Dr. F. J. Mock berdasarkan atas daur hidrologi.
Metoda Mock merupakan salah satu dari sekian banyak metoda yang menjelaskan
hubungan rainfall-runoff. Secara garis besar model rainfall-runoff bisa dilihat
pada Gambar 1.3. Metoda Mock dikembangkan untuk menghitung debit bulanan
rata-rata. Data-data yang dibutuhkan dalam perhitungan debit dengan Metoda
Mock ini adalah data klimatologi, luas dan penggunaan lahan dari daerah
tangkapan air.
Pada prinsipnya, Metoda Mock memperhitungkan volume air yang masuk, keluar
dan yang disimpan dalam tanah (soil storage). Volume air yang masuk adalah
hujan. Air yang keluar adalah infiltrasi, perkolasi dan yang dominan adalah akibat
evapotranspirasi. Perhitungan evapotranspirasi menggunakan Metoda Penmann.
Sementara soil storage adalah volume air yang disimpan dalam pori-pori tanah,
hingga kondisi tanah menjadi jenuh. Secara keseluruhan perhitungan debit dengan
24
Metoda Mock ini mengacu pada water balance, dimana volume air total yang ada
di bumi adalah tetap, hanya sirkulasi dan distribusinya yang bervariasi.
Evapotrasnspira
Rainfall
Surface
Storage
Surface Runoff
Total Runoff
Infiltrasi
Groundwater
Storage
Groundwater Runoff
Gambar II.3. Bagan alir rainfall-runoff
Proses perhitungan yang dilakukan dalam Metoda Mock dijelaskan secara umum
dalam Gambar II.4 berikut ini.
Perhitungan Evapotranspirasi Potensial
(Metoda Penman)
Perhitungan Evapotranspirasi Aktual
Perhitungan Water Surplus
Perhitungan Baseflow, Direct Runoff
dan Stormoff
Gambar II.4. Bagan alir perhitungan debit dalam metoda Mock
25
II.3.1.1. Water Balance
Dalam siklus hidrologi, penjelasan mengenai hubungan antara aliran ke dalam
(inflow) dan aliran keluar (outflow) di suatu daerah untuk suatu perioda tertentu
disebut neraca air atau keseimbangan air (water balance). Hubungan-hubungan
ini lebih jelas ditunjukkan oleh Gambar 1.5.
Bentuk umum persamaan water balance adalah:
P = Ea + ΔGS + TRO
dengan:
P = presipitasi.
Ea = evapotranspirasi.
ΔGS = perubahan groundwater storage .
TRO = total run off.
Water balance merupakan siklus tertutup yang terjadi untuk suatu kurun waktu
pengamatan tahunan tertentu, dimana tidak terjadi perubahan groundwater storage
atau ΔGS = 0. Artinya awal penentuan groundwater storage adalah berdasarkan
bulan terakhir dalam tinjauan kurun waktu tahunan tersebut. Sehingga persamaan
water balance menjadi:
P = Ea + TRO
Beberapa hal yang dijadikan acuan dalam prediksi debit dengan Metoda Mock
sehubungan dengan water balance untuk kurun waktu (misalnya 1 tahun) adalah
sebagai berikut:
a.
Dalam satu tahun, perubahan groundwater storage (ΔGS) harus sama dengan
nol.
b.
Jumlah total evapotranspirasi dan total runoff selama satu tahun harus sama
dengan total presipitasi yang terjadi dalam tahun itu.
Dengan tetap memperhatikan kondisi-kondisi batas water balance di atas, maka
prediksi debit dengan Metoda Mock diharapkan dapat akurat.
26
Presipitasi
Evaporasi
Air
Limpasan
Curah Hujan
Perkolasi
Air
Perkolasi
Uap Air
Kelembaban
Tanah
Evaporasi
Presipitasi
Gambar II.5. Sirkulasi air
II.3.1.2.
Data Iklim
Data iklim yang digunakan dalam Metoda Mock adalah presipitasi, temperatur,
penyinaran matahari, kelembaban relatif dan data kecepatan angin. Secara umum
data-data ini digunakan untuk menghitung evapotranspirasi. Dalam Metoda Mock,
data-data iklim yang dipakai adalah data bulanan rata-rata, kecuali untuk resipitasi
yang digunakan adalah jumlah data dalam satu bulan. Notasi dan satuan yang
dipakai untuk data iklim ditabelkan pada Tabel 1.4.
Tabel II.1. Notasi dan satuan parameter iklim
Data Meteorologi
Notasi
Satuan
Presipitasi
P
Milimeter (mm)
Temperatur
T
Derajat Celcius (oC)
Penyinaran Matahari
S
Persen (%)
Kelembaban Relatif
H
Persen (%)
Kecepatan Angin
W
Mile per Hari (mile/hr)
Sumber : Sudirman, 2002
27
II.3.1.3.
Evapotranspirasi
Evapotranspirasi merupakan faktor penting dalam memprediksi debit dari data
curah hujan dan klimatologi dengan menggunakan Metoda Mock. Hal ini karena
evapotranspirasi memberikan nilai yang besar atas terjadinya debit dari suatu
daerah aliran sungai. Evapotranspirasi diartikan sebagai kehilangan air dari lahan
dan permukaan air dari suatu daerah aliran sungai akibat kombinasi proses
evaporasi dan transpirasi. Lebih rinci tentang evapotranspirasi potensial dan
evapotranspirasi aktual diuraikan di bawah ini.
a.
Evapotranspirasi Potensial
Evapotranspirasi potensial adalah evapotranspirasi yang mungkin terjadi pada
kondisi air yang tersedia berlebihan. Faktor penting yang mempengaruhi
evapotranspirasi potensial adalah tersedianya air yang cukup banyak. Jika
jumlah air selalu tersedia secara berlebihan dari yang diperlukan oleh
tanaman selama proses transpirasi, maka jumlah air yang ditranspirasikan
relatif lebih besar dibandingkan apabila tersedianya air di bawah keperluan.
Beberapa rumus empiris untuk menghitung evapotranspirasi potensial adalah
rumus empiris dari: Thornthwaite, Blaney-Criddle, Penman dan TurcLangbein-Wundt. Dari rumus-rumus empiris di atas, Metoda Mock
menggunakan rumus empiris dari Penman. Rumus empiris Penman
memperhitungkan banyak data klimatologi yaitu temperatur, radiasi matahari,
kelembaban, dan kecepatan angin sehingga hasilnya relatif lebih akurat.
Perhitungan evaporasi potensial Penman didasarkan pada keadaan bahwa
agar terjadi evaporasi diperlukan panas. Menurut Penman besarnya
evapotranspirasi potensial diformulasikan sebagai berikut:
E
AH + 0,27 D
=
A + 0,27
dengan:
H
= energy budget,
= R (1-r) (0,18 + 0,55 S) - B (0,56 – 0,092 d e ) (0,10 + 0,9 S)
D
= panas yang diperlukan untuk evapotranspirasi,
= 0,35 (ea – ed) (k + 0,01w)
28
A
= slope vapour pressure curve pada temperatur rata-rata, dalam
mmHg/oF.
= radiasi benda hitam pada temperatur rata-rata, dalam mmH2O/hari.
Ea
= tekanan uap air jenuh (saturated vapour pressure) pada temperatur
rata-rata (mmHg).
R
= radiasi matahari, dalam mm/hari.
r
= koefisien
refleksi,
elektromagnetik
yaitu
(dalam
perbandingan
sembarang
antara
radiasi
nilai
panjang
rentang
gelombang yang ditentukan) yang dipantulkan oleh suatu benda
dengan jumlah radiasi yang terjadi, dan dinyatakan dalam
persentasi.
Radiasi elektromagnetik yang dipantulkan
r
=
S
= rata-rata persentasi penyinaran matahari bulanan, dalam persen
Jumlah radiasi yang terjadi
x 100 %
(%).
ed
= tekanan uap air sebenarnya (actual vapour pressure ), dalam
mmHg.
= ea x h.
h
= kelembaban relatif rata-rata bulanan, dalam persen (%).
k
= koefisien kekasaran permukaan evaporasi (evaporating surface).
Untuk permukaan air nilai k = 0,50 dan untuk permukaan vegetasi
nilai k = 1,0.
w
= kecepatan angin rata-rata bulanan, dalam mile/hari.
Substitusi persamaan-persamaan di atas menghasilkan:
E
=
A{R(1-r)(0,18 + 0,555) – B(0,5 – 0,092 √ed)(0,1 + 0,95)} + 0,27{0,35(ea – ed)(k + 0,01w)
A + 0,27
29
dalam bentuk lain :
E =
A B(0,5 – 0,092 √ed)
(0,1 + 0,95)
A + 0,27
A (0,18 + 0,555)
R (1-r) A + 0,27
+
0,27 x 0,35(ea – ed)
A + 0,27
(k + 0,01w)
Jika:
F1 = f(T,S)
F2 = f(T,h)
F3 = f(T,h)
A (0,18 + 0,555)
A + 0,27
A B(0,5 – 0,092 √ed)
A + 0,27
0,27 x 0,35(ea – ed)
A + 0,27
maka:
E =
F1 x R(1 - r) - F2 x (0,1 + 0,9S) + F3 x (k + 0,01w)
dan jika:
E1
=
F1 x R(1 - r)
E2
=
F2 x (0,1 + 0,9S)
E3
=
F3 x (k + 0,01w)
maka bentuk yang sederhana dari persamaan evapotranspirasi potensial
menurut Penman adalah:
E =
E1 - E2 + E3
Formulasi inilah yang dipakai dalam Metoda Mock untuk menghitung
besarnya evapotranspirasi potensial dari data-data klimatologi yang lengkap
(temperatur,
lama
penyinaran
matahari,
kelembaban
relatif,
dan
kecepatanangin). Besarnya evapotranspirasi potensial ini dinyatakan dalam
mm/hari. Sehingga untuk menghitung besarnya evapotranspirasi potensial
dalam 1 bulan maka kalikan dengan jumlah hari dalam bulan itu. Besarnya A,
B dan ea tergantung pada temperatur rata-rata.
30
b.
Evapotranspirasi Aktual
Jika dalam evapotranspirasi potensial air yang tersedia dari yang diperlukan
oleh
tanaman
selama
proses
transpirasi
berlebihan,
maka
dalam
evapotranspirasi aktual ini jumlah air tidak berlebihan atau terbatas. Jadi
evapotranspirasi aktual adalah evapotranspirasi yang terjadi pada kondisi air
yang tersedia terbatas. Evapotranspirasi aktual dipengaruhi oleh proporsi
permukaan luar yang tidak tertutupi tumbuhan hijau (exposed surface) pada
musim kemarau. Besarnya exposed surface (m) untuk tiap daerah berbedabeda.
F.J. Mock mengklasifikasikan menjadi tiga daerah dengan masingmasing
nilai exposed surface ditampilkan pada Tabel 2.2.
Tabel II.2. Exposed Surface,
No.
m
Daerah
1.
0%
2.
10 – 40 %
Daerah tererosi
3.
30 – 50 %
Daerah ladang pertanian
Hutan primer, sekunder
Sumber : Sudirman, 2002
Selain exposed surface evapotranspirasi aktual juga dipengaruhi oleh jumlah
hari hujan (n) dalam bulan yang bersangkutan. Menurut Mock rasio antara
selisih evapotranspirasi potensial dan evapotranspirasi aktual dengan
evapotranspirasi potensial dipengaruhi oleh exposed surface (m) dan jumlah
hari hujan (n), seperti ditunjukan dalam formulasi sebagai berikut.
∆E
Ep
=
m
20
(18 – n)
m
20
(18 – n)
Sehingga
∆E =
31
Dari formulasi diatas dapat dianalisis bahwa evapotranspirasi potensial akan
sama dengan evapotranspirasi aktual (atau ΔE = 0) jika:
a.
Evapotranspirasi terjadi pada hutan primer atau hutan sekunder. Dimana
daerah ini memiliki harga exposed surface (m) sama dengan nol (0).
b.
Banyaknya hari hujan dalam bulan yang diamati pada daerah itu sama
dengan 18 hari.
Jadi evapotranspirasi aktual adalah evapotranspirasi potensial yang
memperhitungkan faktor exposed surface dan jumlah hari hujan dalam bulan
yang bersangkutan. Sehingga evapotranspirasi aktual adalah evapotranspirasi
yang sebenarnya terjadi atau actual evapotranspiration, yang dihitung
sebagai berikut:
Eactual = EP – ΔE
II.3.1.4.
Water Surplus
Water surplus didefinisikan sebagai air hujan (presipitasi) yang telah mengalami
evapotranspirasi dan mengisi tampungan tanah (soil storage, disingkat SS). Water
surplus ini berpengaruh langsung pada infiltrasi atau perkolasi dan total run off
yang merupakan komponen debit. Persamaan water surplus (disingkat WS) adalah
sebagai berikut:
WS = (P – Ea) + SS
Dengan memperhatikan Gambar 2.4., maka water surplus merupakan air limpasan
permukaan ditambah dengan air yang mengalami infiltrasi.
Tampungan kelembaban tanah (soil moisture storage, atau SMS) terdiri dari
kapasitas kelembaban tanah (soil moisture capacity, atau SMC), zona infiltrasi,
limpasan permukaan tanah dan tampungan tanah (soil storage, atau SS).
32
Gambar II.6. Water surplus merupakan presipitasi yang telah mengalami
evapotranspirasi atau limpasan yang ditambah infiltrasi.
Besarnya soil moisture capacity (SMC) tiap daerah tergantung dari tipe tanaman
penutup lahan (land cover) dan tipe tanahnya, seperti ditunjukkan dalam Tabel
2.3. Dalam studi yang dilakukan Mock di daerah aliran sungai di Bogor,
ditetapkan besarnya kapasitas kelembaban tanah maksimum adalah 200
mm/bulan. Dalam Metoda Mock, tampungan kelembaban tanah dihitung sebagai
berikut:
SMS =
ISMS + (P – Ea)
dengan:
ISMS =
initial soil moisture storage (tampungan kelembaban tanah awal),
merupakan soil moisture capacity (SMC) bulan sebelumnya.
P–Ea =
presipitasi yang telah mengalami evapotranspirasi.
33
Tabel II.3. Soil Moisture Capacity untuk Berbagai Tipe Tanaman dan Tipe Tanah
Asumsi yang dipakai oleh Dr. F.J. Mock adalah air akan memenuhi SMC terlebih
dahulu sebelum water surplus tersedia untuk infiltrasi dan perkolasi yang lebih
dalam atau melimpas langsung (direct run off). Ada dua keadaan untuk
menentukan SMC, yaitu:
a) SMC = 200 mm/bulan, jika P – Ea < 0.
Artinya soil moisture storage (tampungan tanah lembab) sudah mencapai
kapasitas maksimumnya atau terlampaui sehingga air tidak disimpan dalam
tanah lembab. Ini berarti soil storage (SS) sama dengan nol dan besarnya
water surplus sama dengan P - Ea.
34
b) SMC = SMC bulan sebelumnya + (P – Ea), jika P – Ea < 0.
Untuk keadaan ini, tampungan tanah lembab (soil moisture storage) belum
mencapai kapasitas maksimum, sehingga ada air yang disimpan dalam tanah
lembab. Besarnya air yang disimpan ini adalah P – Ea. Karena air berusaha
untuk mengisi kapasitas maksimumnya, maka untuk keadaan ini tidak ada
water surplus (WS = 0).
Selanjutnya WS ini akan mengalami infiltrasi dan melimpas di permukaan (run
off). Besarnya infiltrasi ini tergantung pada koefisien infiltrasi.
II.3.1.5.
Limpasan Total
Air hujan yang telah mengalami evapotranspirasi dan disimpan dalam tanah
lembab selanjutnya melimpas di permukaan (surface run off) dan mengalami
perkolasi. Berikutnya, menurut Mock besarnya infiltrasi adalah water surplus
(WS) dikalikan dengan koefisien Infiltrasi (if), atau:
Infiltrasi (i) = WS x if
Koefisien infiltrasi ditentukan oleh kondisi porositas dan kemiringan daerah
pengaliran. Lahan yang bersifat porous umumnya memiliki koefisien yang
cenderung besar. Namun jika kemiringan tanahnya terjal dimana air tidak sempat
mengalami infiltrasi dan perkolasi ke dalam tanah, maka koefisien infiltrasinya
bernilai kecil.
Infiltrasi terus terjadi sampai mencapai zona tampungan air tanah (groundwater
storage, disingkat GS). Keadaan perjalanan air di permukaan tanah dan di dalam
tanah diperlihatkan dalam Gambar 2.5.
Dalam Metoda ini, besarnya groundwater storage (GS) dipengaruhi oleh:
a.
Infiltrasi (i). Semakin besar infiltrasi maka groundwater storage semakin
besar pula, dan begitu pula sebaliknya.
b.
Konstanta resesi aliran bulanan (K). Konstanta resesi aliran bulanan (monthly
flow recession constan) disimbolkan dengan K adalah proporsi dari air tanah
bulan lalu yang masih ada bulan sekarang. Nilai K ini cenderung lebih besar
pada bulan basah.
35
c.
Groundwater storage bulan sebelumnya (GSom). Nilai ini diasumsikan
sebagai konstanta awal, dengan anggapan bahwa water balance merupakan
siklus tertutup yang ditinjau selama rentang waktu menerus tahunan tertentu.
Dengan demikian maka nilai asumsi awal bulan pertama tahun pertama harus
dibuat sama dengan nilai bulan terakhir tahun terakhir. Dari ketiga faktor di atas,
Mock merumuskan sebagai berikut:
GS = { 0,5 x (1 + K) x i } + { K x GSom }
Gambar II.7. Perjalanan air hujan sampai terbentuk debit
Seperti telah dijelaskan, metoda Mock adalah metoda untuk memprediksi debit
yang didasarkan pada water balance. Oleh sebab itu, batasan-batasan water
balance ini harus dipenuhi. Salah satunya adalah bahwa perubahan groundwater
storage (ΔGS) selama rentang waktu tahunan tertentu adalah nol, atau (misalnya
untuk 1 tahun):
Perubahan groundwater storage (ΔGS) adalah selisih antara groundwater storage
bulan yang ditinjau dengan groundwater storage bulan sebelumnya. Perubahan
groundwater storage ini penting bagi terbentuknya aliran dasar sungai (base flow,
36
disingkat BF). Dalam hal ini base flow merupakan selisih antara infiltrasi dengan
perubahan groundwater storage , dalam bentuk persamaan:
BF = i – ΔGS
Jika pada suatu bulan ΔGS bernilai negatif (terjadi karena GS bulan yang ditinjau
lebih kecil dari bulan sebelumnya), maka base flow akan lebih besar dari nilai
Infiltrasinya. Karena water balance merupakan siklus tertutup dengan perioda
tahunan tertentu (misalnya 1 tahun) maka perubahan groundwater storage (ΔGS)
selama 1 tahun adalah nol. Dari persaman di atas maka dalam 1 tahun jumlah base
flow akan sama dengan jumlah infiltrasi.
Selain base flow, komponen debit yang lain adalah direct run off (limpasan
langsung) atau surface run off (limpasan permukaan). Limpasan permukaan
berasal dari water surplus yang telah mengalami infiltrasi. Jadi direct run off
dihitung dengan persamaan:
DRO = WS - i
Setelah base flow dan direct run off komponen pembentuk debit yang lain adalah
storm runoff , yaitu limpasan langsung ke sungai yang terjadi selama hujan deras.
Storm run off ini hanya beberapa persen saja dari hujan. Storm runoff hanya
dimasukkan ke dalam total run off , bila presipitasi kurang dari nilai maksimum
soil moisture capacity. Menurut Mock storm run off dipengaruhi oleh percentage
factor, disimbolkan dengan PF. Percentage factor adalah persen hujan yang
menjadi limpasan. Besarnya PF oleh Mock disarankan 5% - 10%, namun tidak
menutup kemungkinan untuk meningkat secara tidak beraturan hingga mencapai
37,3%.
Dalam perhitungan debit ini, Mock menetapkan bahwa:
a. Jika presipitasi (P) > maksimum soil moisture capacity maka nilai storm
runoff = 0.
b. Jika P < maksimum soil moisture capacity maka storm runoff adalah
jumlah curah hujan dalam satu bulan yang bersangkutan dikalikan dengan
percentage factor
atau:
37
SRO = P x PF
Dengan demikian maka total run off (TRO) yang merupakan komponenkomponen pembentuk debit sungai (stream flow) adalah jumlah antara base flow,
direct run off dan storm run off , atau:
TRO = BF + DRO + SRO
Total run off ini dinyatakan dalam mm/bulan. Maka jika TRO ini dikalikan
dengan catchment area (luas daerah tangkapan air) dalam km2 dengan suatu
angka konversi tertentu didapatkan besaran debit dalam m3/det.
II.3.1.6.
Data Kalibrasi
Kalibrasi terhadap parameter Mock yang digunakan perlu dilakukan agar hasil
perhitungan debit dengan metoda ini dapat mewakili kondisi aktual seperti di
lapangan (dibandingkan dengan debit hasil pengukuran hidrometri yang diperoleh
dari data sekunder).
Dalam perhitungan debit limpasan dengan menggunakan metoda Mock tersebut,
digunakan data debit bulanan hasil pengumpulan data sekunder untuk kalibrasi
yang dilakukan pada semua sungai di Pulau Jawa yang memiliki data stasiun
pengukuran debit.
II.3.2. Analisis Neraca Air
Analisis neraca air sangat terkait dengan sifat dari sumber daya air yang selalu
berubah-ubah menurut waktu, ruang, jumlah dan mutu. Oleh karena itu, pada
setiap daerah akan memiliki karakteristik yang khas. Perhitungan neraca air
ilakukan dengan didasarkan pada perbandingan antara ketersediaan air permukaan
dengan memperhatikan adanya titik-titik pengambilan (misalnya: bendung atau
waduk) dengan total kebutuhan air di wilayah yang dilayaninya, dengan belum
memperhitungkan adanya optimasi pemanfaatan jika terjadi defisit air.
Langkah-langkah analisis keseimbangan air dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Menghitung ketersediaan air pada masing-masing DAS yang akan melayani
wilayah administrasi tertentu sebagai titik-titik pusat kebutuhan yang juga
dihitung kebutuhan airnya.
38
b.
Menghitung
keseimbangan
air
antara
titik-titik
kebutuhan
dengan
wilayahwilayah DAS yang melayaninya.
c. Melakukan proyeksi terhadap kebutuhan sehingga dapat diperkirakan
kebutuhan air di masa yang akan datang.
Ilustrasi dari analisis neraca air dapat dilihat pada Gambar 2.6. Skematisasi
wilayah sungai hendaknya disusun sedemikian rupa sehingga ketersediaan air
pada setiap bangunan kontrol dan bangunan pengambilan utama telah terwakili.
Biasanya sub wilayah sungai hulu digabungkan di titik tersebut. Untuk
skematisasi tersebut perlu dibedakan sistem sumberdaya air yang mempunyai
pengaruh besar terhadap wilayah tersebut dan titik-titik pengambilan yang banyak
dan kecil-kecil. Wilayah sungai yang besar diperlukan pengelompokan setiap titik
yang kecil-kecil, dengan tujuan penyederhanaan permasalahan.
Gambar II.8. Analisis neraca air
39
II.4. Konsep Dinamika Pertumbuhan Penduduk
Model dinamika perkembangan penduduk secara struktural dijelaskan oleh
Meadows (2004), dimana akumulasi jumlah penduduk ditentukan oleh faktorfaktor kelahiran dan kematian. Faktor kelahiran mendorong perilaku jumlah
penduduk
yang
semakin
meningkat,
sementara
faktor
kematian
akan
mengarahkan tingkat pertumbuhannya. Selanjutnya Weeks (1994) berpandangan
bahwa kelahiran, kematian dan migrasi adalah elemen dinamik dalam sebuah
analisis demografi. Jumlah penduduk yang semakin meningkat dalam
perjalanannya memunculkan persoalan sosial, ekonomi dan politik, seperti
keamanan
pangan,
polusi,
inflasi,
permukiman,
pendapatan,
energi,
pengangguran, baca tulis serta kebebasan individu.
Analisis terhadap migrasi tidak terlepas dari adanya keterkaitan fenomena migrasi
dengan pertumbuhan penduduk, disparitas sosial ekonomi regional dan perubahan
sosial. Seperti dikemukakan oleh Hugo Dkk. (1987), terdapat hubungan dua arah
antara mobilitas penduduk dalam proses pembangunan sosial ekonomi. Di satu
sisi, migrasi akan mengundang ketimpangan pembangunan sedangkan di sisi lain,
ketimpangan pembangunan antar wilayah akan mengundang kehadiran para
migran. Dalam perspektif neoklasik, perpindahan penduduk dari suatu daerah ke
daerah lain dipandang sebagai respon dari ketidakseimbangan distribusi modal
dan sumberdaya manusia. Arah migrasi akan datang dari wilayah yang kurang
modal (investasi) ke wilayah dimana investasi banyak tercurah.
Sebagai sumberdaya alam yang esensial bagi penduduk, ketersediaan air pada
suatu wilayah mempengaruhi keberadaan penduduknya. Ketersediaan kuantitas
dan kualitas air menentukan distribusi penyebaran penduduknya.
II.5. Teori Akumulasi Kapital Produksi
Pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah dicirikan oleh adanya peningkatan
output produksi pada sektor-sektor ekonomi pembentuknya. Peningkatan output
produksi merepresentasikan terjadinya akumulasi kapital (Produk Modal Tetap
Bruto, PMTB) dari sektor ekonomi. Hubungan antara output produksi dengan stok
kapital dijelaskan oleh teori Harrod-Domar Model, yang menyatakan bahwa
40
investasi dan koefisien kapital merupakan faktor kritis penentu bagi akumulasi
stok kapital dan pertumbuhan output, dengan asumsi seluruh tabungan digunakan
untuk fixed investment. Model persamaan tersebut dikenal dengan Incremental
Capital Output Ratio (ICOR). Jika nilai kapital output rasio konstan maka laju
pertumbuhan output produksi (Y) sama dengan laju pertumbuhan stok kapital (K).
Secara definisi, ICOR adalah suatu ukuran yang menunjukan besarnya tambahan
investasi baru yang diperlukan untuk meningkatkan output, yang dalam hal ini
adalah nilai tambah, sebesar satu unit. Dalam bentuk formula, ICOR dinyatakan
sebagai rasio pertambahan capital (K) terhadap pertambahan output atau nilai
tambah (Y) atau ICOR = K/Y.
Output adalah hasil yang diperoleh baik dalam bentuk barang maupun jasa dari
pemanfaatan seluruh faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi.
Pertambahan output sebenarnya bukan hanya disebabkan oleh investasi semata,
tetapi juga oleh faktor-faktor lainnya. Sungguhpun demikian dalam perhitungan
ICOR digunakan asumsi bahwa tidak ada faktor lain yang mempengaruhi ouput
selain investasi, atau dengan kata lain faktor faktor diluar investasi dianggap
konstan. Angka ICOR sangat diperlukan karena dapat memberikan informasi
mengenai produktivitas nasional.
Output industri dinyatakan dengan PDRB sektor industri, sementara pertambahan
kapital merupakan besarnya bagian dari output yang diinvestasikan kembali
menjadi kapital industri. Nilai awal kapital industri diestimasi dari perkalian
antara KOR dan PDRB industri awal. Konsep nilai tambah berkaitan erat dengan
penghitungan output. Keduanya merupakan konsep penghitungan neraca ekonomi
yang berkaitan dengan kegiatan produksi. Demikian halnya dengan sektor lain,
seperti sektor jasa dan perdagangan dimana output jasa dan perdagangan dinyatakan dengan PDRB sektor jasa dan perdagangan, sementara pertambahan kapital
merupakan besarnya bagian dari output yang diinvestasikan kembali menjadi
kapital jasa dan perdagangan. Nilai awal kapital jasa dan perdagangan diestimasi
dari perkalian antara KOR dan PDRB sektor jasa dan perdagangan awal.
41
II.6. Tekanan Penduduk Terhadap Tata Guna Lahan
Pertumbuhan penduduk yang tinggi akan meningkatkan kebutuhan terhadap
sumber daya lahan, sebagai konsekuensi atas tuntutan untuk memenuhi kebutuhan
permukiman
maupun
kebutuhan
pangan.
Faktor
paling
utama
yang
mempengaruhi terjadinya pengalihan tataguna lahan pada suatu wilayah
tangkapan air adalah jumlah penduduk (Sandy, 1973). Demikian halnya dengan
pendapat McKinney (1999) yang menyatakan bahwa dalam sistem wilayah daerah
pengaliran sungai tidak saja menyangkut karakteristik hidrologi dan proses fisik
namun juga menyangkut kebijakan pengelolaan yang dibentuk oleh perilaku
manusia.
Tekanan penduduk terhadap sumber daya lahan merupakan faktor utama
terjadinya deforestasi yang selanjutnya menimbulkan berbagai permasalahan lain
seperti erosi tanah, kekeringan dan juga banjir.Di dalam suatu wilayah yang
merupakan bagian dari kawasan yang pertumbuhan perekonomian dan
penduduknya sangat tinggi seperti Kawasan Cekungan Bandung, tekanan
pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi terutama terkait dengan kebutuhan
akan lahan permukiman. Tekanan kebutuhan tersebut mendorong terjadinya
konversi lahan pertanian (termasuk ladang) menjadi lahan permukiman,
sedangkan kebutuhan akan lahan pertanian yang tetap ada mendorong terjadi
konversi lahan dari lahan hutan menjadi lahan pertanian (deforestasi). Diperlukan
upaya-upaya yang terintegrasi dan sistemik untuk menguraikan permalahan
konversi lahan tersebut terutama karena menyangkut faktor penduduk (manusia)
yang merupakan mahluk sosial.
II.7. Lubang Resapan Biopori
Dari perspektif pengelolaan DAS (daerah aliran sungai), persoalan ketersediaan
air dan banjir berkaitan dengan meningkatnya koefisien limpasan (C) di satu
DAS. Studi yang dilakukan Lukman (2006), misalnya, menemukan bahwa
koefisien limpasan DAS Ciliwung ketika terjadi banjir besar pada tahun 2002
adalah 0,72. Itu artinya, dari seluruh volume air hujan yang jatuh di DAS
42
Ciliwung (seluas 31.297 ha), 72 % diantaranya menjadi aliran permukaan yang
terukur sebagai volume Sungai Ciliwung.
Satu hal yang kurang memperoleh pembahasan selama ini - tapi justru menjadi
kunci penanggulangan banjir ke depan - adalah bahwa koefisien limpasan DAS
pada dasarnya merupakan rata-rata tertimbang dari koefisien limpasan dari
masing-masing persil lahan yang ada di DAS yang bersangkutan. Dan yang tidak
boleh dilupakan: masing-masing persil lahan itu melekat hak kepemilikan
(property right) atasnya. Dari perspektif tersebut maka banjir (dan juga
kekeringan) dapat ditanggulangi jika warga DAS berpartisipasi menurunkan
koefisien limpasan pada persil lahannya masing-masing. Itu artinya, tiap warga
DAS, yaitu individu atau badan hukum yang menguasai persil lahan di DAS
tersebut, harus melakukan upaya dengan mengadakan atau membangun sistem
genangan dan atau sistem resapan di persilnya masing-masing.
Meski setiap individu warga DAS harus berpartisipasi, keikutsertaan itu harus
dalam konteks aksi kolektif (collective action). Hal ini menjadi prasyarat penting
karena yang akan ditangani adalah sumber daya yang memiliki karakteristik
public good, yaitu air hujan dan air limpasan permukaan. Aksi individu, betapa
pun optimalnya, tidak akan pernah dapat menangani persoalan yang berkaitan
sumber daya dengan karakteristik public good seperti ini. Aksi kolektif tersebut
sebaiknya dilakukan pada level dimana komunitas itu memiliki tingkat
kohesivitas sosial yang tinggi, atau memiliki pengalaman bekerjasama di masa
lalu (Thomson dan Freudenberger, 1997). Dalam konsteks DAS di Indonesia, aksi
kolektif itu dapat dilakukan mulai level RT/RW dan Kelurahan/Desa. Itu artinya,
penanggulangan banjir dapat terjadi jika terdapat aksi kolektif di tingkat lokal di
seluruh wilayah DAS (think globally, act locally).
Biopori merupakan lubang silindris yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah
dengan diameter berkisar antara 10-30 cm. Kedalaman lubang resapan biopori
(LRB) sekitar 100 cm atau tidak melebihi kedalaman air tanah. Lubang biopori
tersebut biasanya diisi sampah organik yang berfungsi untuk menghidupkan
mikroorganisme tanah, seperti cacing tanah dan juga rayap. Cacing ini nantinya
bertugas membentuk pori-pori atau terowongan dalam tanah (biopori). Hal
tersebut yang menyebabkan kedalam biopri tidak boleh lebih dari 1 meter untuk
43
menjaga kandungan oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme yang ada di
dalamnya.
Manfaat yang dihasilkan dari lubang biopori ini sangat beragam. Pori-pori
menjadikan tanah berongga guna mempercepat proses peresapan air ke dalam
tanah. Secara horizontal, resapan air mengalir dalam tanah melalui lubang biopori
yang dihasilkan dari aktivitas cacing. Lubang biopori merupakan teknologi tepat
guna yang bermanfaat untuk mengurangi genangan air dan sampah organik. Di
kawasan permukiman padat yang sebagian besar permukaannya sudah tertutup
bangunan/perkerasan bipori sangat bermanfaat karena selain akan mampu
meningkatkan kualitas lahan melalui peningkatan kapasitas infiltrasi, biopori
tersebut juga akan mampu mengurangi tingkat genangan air di kawasan tersebut.
Cara membuat lubang peresepan biopori cukup sederhana yanitu dengan membuat
lubang di dalam tanah dengan kedalaman kurang lebih 1 meter dengan diameter
kurang lebih 10-30 cm cm, kemudian di dalamnya dimasukkan sampah-sampah
organik untuk memancing binatang-binatang seperti semut, cacing atau rayap
masuk dan membuat biopori berupa terowongan-terowongan kecil horisontal di
dalamnya yang akan membuat air cepat meresap. Dengan demikian meskipun air
yang tekumpul di dalam lubang tersebut cukup banyak namun kondisinya tidak
jenuh air yang berarti air cukup, udara cukup, dan makanan tercukupi dari sampah
(hal tersebut juga yang menyebabkan sampah tidak menyebarkan bau). Untuk
mencegah orang terperosok, biopori dapat dilengkapi dengan jaring kawat
pengaman.
Biopori dapat dibuat di rumah yang halamannya terbatas karena ukuran
diameternya hanya sekitar 10 cm. Bahkan bisa dilakukan di bangunan-bangunan
modern yang halamannya telah di beton atau di semen. Tentu saja harus ada
pengorbanan yang dilakukan, yaitu dengan melakukan pelubangan terhadap beton
dan semen -- memang memakan biaya -- namun perlu dilakukan karena sangat
bermanfaat untuk mencegah banjir dan memperbanyak cadangan air tanah.
Pembuatan biopori mungkin tidak cukup dengan himbauan sukarela, tetapi harus
dengan sedikit “paksaan” atau jika perlu dengan peraturan daerah. Toh hasilnya
akan dinikmati oleh semua penduduk kota. Dibandingkan dengan membuat sumur
44
resapan bagi setiap rumah yang mahal, akan lebih murah dan mudah untuk
membuat beberapa biopori di setiap rumah.
Kelebihan lain dari biopori adalah memperkaya kandungan air hujan. Bila sumber
air hanya berupa air hujan tanpa tambahan apa-apa berarti kandungannya hanya
H2O. Namun setelah diresapkan kedalam tanah lewat biopori yang mengandung
lumpur dan bakteri, air akan melarutkan dan kemudian mengandung mineralmineral yang diperlukan oleh kehidupan.
Peralatan yang digunakan untuk membuat lubang resapan biopori ini sangat
sederhana yanitu berupa bor tanah, cangkul, golok, palu, pahat, ember, gayung,
bambu, pipa, dan sendok semen. Bor berfungsi untuk melubangi bidang tanah
sekaligus mengangkat tanah hasil galian. Bor juga bisa digunakan untuk
memasukkan kompos dalam lubang. Bor tanah terbuat dari besi yang didesain
khusus. Di sepanjang bor ada alat ukur angka satuan sentimeter untuk mengetahui
kedalaman lubang. Mata bor dibuat dari lempengan besi tipis yang dibuat oval
meruncing pada bagian ujungnya. Dengan disain seperti ini, bor bisa menembus
tanah yang keras sekalipun. Panjang bor sekitar 120 sentimeter. Sementara di
bagian pangkal dibuat pegangan, sehingga memudahkan dalam penggunaan.
Cangkul digunakan untuk membersihkan permukaan tanah. Pahat dan palu
digunakan untuk membongkar lapisan semen pada permukaan tanah yang
disemen. Bahan yang digunakan untuk membuat lubang berupa semen, pasir, batu
hias, air, dan sampah organik. Semen dan pasir digunakan untuk memperhalus
permukaan lubang. Batu hias atau pecahan keramik berfungsi sebagai pemanis.
Air untuk melunakkan tanah dan sampah organik digunakan untuk pengisinya.
Lubang resapan biopori yang telah dibor selanjutnya pada sekeliling permukaan
mulut lubangnya diberi semen agar kuat, lalu dimasukan potongan pipa PVC yang
telah dibungkus koran pada lubang bipori sedalam 2 sentimeter. Lalu, sisipkan
adukan semen dan pasir di sekeliling pipa. Bila penguat bibir lubang sudah
mengeras, cabut pipa PVS dari tempatnya. Selanjutnya dorong kertas koran ke
dalam lubang menggunakan jari tangan. Setelah lubang biopori siap, masukkan
sampah organik ke dalam lubang sampai penuh.
45
Untuk memasukkan sampah lebih dalam bisa menggunakan bambu untuk
mendorong ke dalam lubang. Pengisian sampah jangan terlalu padat agar tidak
mengurangi jumlah oksigen di dalam tanah, dan agar tidak membahayakan karena
letaknya yang berada di daerah yang juga digunakan beraktivitas warga maka
lubang biopori tersebut ditutup dengan besi beton atau alat penutup lain yang bisa
dilalui air dan kuat menahan beban jika terinjak.
Gambar II.9. Lubang resapan biopori
(sumber : Kamir R brata SM Departemen Ilmu Tanah dan sumber daya lahan
Fakultas Pertanian IPB)
II.8. Waduk (Bendung)
Air merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang sangat penting yang
keberadaannya harus tetap terjaga secara terus-menerus sepanjang waktu.
Penyediaan air dengan cara menyadap langsung dari sungai untuk memenuhi
berbagai kebutuhan manusia seperti air minum, irigasi, industri meupun sebagai
pembangkit tenaga listrik seringkali tidak tercukupi di sepanjang waktu ataupun
musim terutama pada musim kering. Sungai mungkin hanya akan mampu
mengalirkan air yang sedikit di musim kering dan sebaliknya di musim hujan air
yang mengalir cenderung berlebih sehingga berpotensi menjadi bencana banjir.
Salah satu metoda untuk menjaga keberadaan dan kestabilan air adalah dengan
membangun waduk. Sebuah waduk penampung atau waduk konservasi dapat
menampung air pada musim hujan untuk dimanfaatkan pada musim kering. Di
46
samping untuk menampung air untuk dimanfaatkan pada masa yang akan datang
waduk juga akan memperkecil debit air pada saar aliran sangat deras sehingga
bermanfaat untuk memperkecil resiko kerusakan di hilir waduk akibat banjir.
Secara garis besar waduk dapat dibedakan berdasarkan tujuannya, sebagai berikut:
a.
Waduk untuk pembangkit tenaga listrik (PLTA)
b.
Waduk untuk penyediaan air (water supply)
c.
Waduk untuk pengendali banjir
d.
Waduk distribusi di dalam sistem penyediaan air atau waduk yang akan
menampung air sebelum didistribusikan kepada para konsumennya
e.
Waduk untuk pemenuhan kebutuhan air irigasi
f.
Waduk sebagai obyek pariwisata dan tempat olah raga air
g.
Waduk sebagai tempat menampung limbah industri, dll.
Suatu waduk bisa dibangun dengan fungsi tunggal seperti tersebut d atas (single
purpose reservoir) maupun dengan fungsi yang lebih dari satu (multi purpose
reservoir).
Karena fungsi utama waduk sebagai tempat menyimpan (menampung) air maka
kriteria fisik waduk yang paling penting adalah kapasitas tampungan. Secara
umum tampungan waduk dapat dibagi dalam beberapa bagian sebagai berikut:
a. Dead storage (simpanan mati atau inactive), yaitu bagian volume tampungan
waduk yang tidak dapat dilepaskan atau dimanfaatkan
b.
Conservation storage (simpanan konservasi), yaitu bagian volume tampungan
waduk yang digunakan untuk pengoperasian waduk
c.
Flood control storage (tampungan untuk pengendali banjir)
d.
Surcharge storage (tampungan tambahan)
e.
Freeboard (daerah jagaan)
Daerah-daerah tampungan waduk tersebut di atas dapat diilustrasikan seperti
terlihat pada Gambar 2.8 berikut ini.
47
dam freeboard
surcharge
Flood control
conservation
inactive
. Gambar II.10. Bagian tampungan waduk
Dead storage atau simpana mati (inactive) adalah bagian tampungan waduk yang
tidak dapat dilepaskan untuk dimanfaatkan. Umumnya elevasi bagian atas dari
simpanan mati ditentukan oleh elevasi bangunan pelepasan yang terendah di
waduk tersebut. Pada waduk dengan fungsi sebagai PLTA, elevasi bagian atas
simpanan mati ditentukan oleh nilai minimum elevasi/tinggi muka air wadukyang
masih memungkinkan bagi turbin untuk dapat tetap beroperasi. Nilai minimum
elevasi tersebut ditentukan oleh elevasi dari bangunan pengambilan/pelepasam
(intake) yang akan mengambil air menuju ke turbin.
Conservation storage adalah bagian tampungan waduk yang dapat dimanfaatkan
untuk penyediaan air baku untuk berbagai kebutuhan sesuai fungsi waduk. Bagian
ini sering disebut sebagai kapasitas efektif (effective storage). Sedangkan di atas
conservation storage terdapat bagian tampungan waduk yang berfungsi sebagai
pengendali banjir. Bagian ini disebut sebagai flood control storage. Umumnya
aelevasi bagian atas flood control storage ditentukan oleh elevasi mercu pelimpah
banjir (sipillway) yang ada di waduk tersebut. Pada waktu banjir, debit yang
melalui pelimpah bisa mengakibatkan naiknya muka air lebih tinggi sehingga
simpanan/tampungan tambahan (surcharge storage) akan diperlukan di atas flood
control storage. Surcharge storage adalah bagian yang tidak terkendali dan hanya
ada pada waktu banjir sehingga bagian ini tidak dapat terus dipertahankan dan
dipergunakan untuk peengoperasian waduk.
48
Elevasi bagian atas surcharge storage umumnya dibatasi dengan elevasi muka air
banjir rencana waduk. Namun banjir yang besar mungkin menyebabkan kenaikan
permukaan air hingga melebihi bagian surcharge storage. Sehingga di atas
surcharge storage tersebut perlu diberi daerah jagaan (freeboard) agar air tidak
melimpah melalui puncak bendungan.
49
Download