IEEE Paper Template in A4 (V1)

advertisement
First Mover Advantages dan Internal Resources
Sebagai Sumber Keunggulan Kompetitif:
Kajian di Industri Telekomunikasi
Samuel Tarigan
#
Management Department, STIE-HB
Jln. Dipatiukur 80-84
[email protected]
Abstrct — This study compares the perspective of competitive
dynamics, that places first mover as one of the competitive
advantages (Lieberman dan Montgomery (1988), and that of the
resource-based. Analysis on the growth of PT. Telkomsel, the
largest cellular operator in the era of duopoly, triopoly, and then
full competition in Indonesia reveals that the first mover
advantage did give the company advantage in the era of limited
competition, but the internal resources accumulated throughout
the early years then produced competitive advantage in the era
of full competition. The study provides a qualitative finding on
the contingent role of industry structure and internal resources
in determining the competitiveness of a company in the
telecommunication sector in Indonesia, which can be further
quantitatively studied in the future.
Keywords— competitive dynamics, first mover advantage,
resource based view, telecommunication, industry structure,
competitive advantage, Telkomsel, Indosat, Excelcomindo
Abstrak— Studi ini membandingkan perspektif competitive
dynamics yang menempatkan first mover sebagai salah satu
sumber keunggulan persaingan (Lieberman dan Montgomery
(1988) dan perspektif resource-based. Analisis terhadap
perkembangan PT. Telkomsel, perusahaan seluler terbesar di
industri telekomunikasi di Indonesia dalam era dupoli, trioppoli
dan dalam era kompetisi penuh menunjukkan bahwa first mover
advantage menghasilkan keuntungan berupa pangsa pasar dalam
era kompetisi terbatas, sementara sumberdaya internal yang
terakumulasi menghasilkan keunggulan bersaing dalam iklim
kompetisi penuh. Studi ini memberikan sebuah temuan kualitatif
mengenai peran kontinjen dari struktur industri dan
sumberdaya internal terhadap daya saing di industri
telekomunikasi di Indonesia, yang dapat diperluas dan
diperdalam melalui berbagai penelitian kuantitatif berikutnya.
Kata kunci— competitive dynamics, first mover advantage,
resource based view, telecommunication, industry structure,
competitive advantage, Telkomsel, Indosat, Excelcomindo
I. LATAR BELAKANG
Keunggulan kompetitif perusahaan adalah faktor-faktor
yang menyebabkan sebuah perusahaan dapat bersaing secara
efektif sehingga memiliki nilai ekonomis lebih tinggi dari
perusahaan lainnya (Barney dan Clark, 2007 p.52). Terdapat
dua teori utama yang menjelaskan mengapa sebuah
perusahaan unggul bersaing: faktor eksternal dan faktor
59
internal. Faktor eksternal misalnya struktur industri (Bain,
1956; dan Porter, 1980). Struktur triopoli/duopoli, misalnya
seperti pada awal industri telekomunikasi, dapat menyebabkan
perusahaan di sebuah industri memiliki keuntungan ekonomis
di atas perusahaan-perusahaan industri lainnya. Saat industri
telekomunikasi kemudian dibuka oleh regulator hingga
menjadi kompetitif, maka perusahaan-perusahaan yang telah
lebih dahulu bergerak (first movers) sudah memiliki beberapa
keuntungan (advantages) berupa skala bisnis, brand image
(reputasi), kepercayaan pelanggan, dan personil yang
berpengalaman. Keuntungan-keuntungan ini dapat pula dilihat
sebagai bundle sumberdaya (Penrose,1959; dan Wernerfelt,
1984) yang merupakan faktor internal dapat dimanfaatkan
perusahaan untuk mempertahankan keunggulan kompetitifnya.
Kajian ini akan mengulas bagaimana Telkomsel dapat
menjadi market leader sejak era pra-kompetisi sampai era
kompetitif saat ini. Pada awal perkembangannya Telkomsel
diuntungkan oleh faktor (a) struktur industri telekomunikasi
tetap yang bersifat kompetisi terbatas (faktor eksternal).
Telkomsel memanfaatkan struktur industri tersebut dengan
baik dengan membangun jaringan lebih awal dan memperoleh
first mover advantage dengan menujadi operator seluler
pertama yang memiliki cakupan jaringan nasional. Pada akhir
90-an, industri telekomunikasi kemudian dibuka (liberalisasi
industri) melalui UU 36/1999 untuk menuju iklim full
competition. Pada era kompetisi bebas ini, Telkomsel
diuntungkan oleh faktor (b) brand image (faktor internal)
yang baik yang telah diciptakan selama bertahun-tahun
sebelumnya pada masa pra kompetisi.
II. PERTANYAAN PENELITIAN
Studi ini membahas dua pertanyaan sentral. Pertama,
apakah menjadi first mover dalam sebuah emerging industry
yang memiliki iklim kompetisi terbatas menghasilkan
keuntungan bersaing (advantages)? Kedua, apakah
perusahaan dapat mempertahankan keunggulan bersaingnya
dengan mengandalkan sumberdaya yang dimilikinya ketika
industri tersebut kemudian berkembang menjadi sangat
kompetitif?
III. STUDI LITERATUR
Bagian ini akan membahas dua teori yang menjelaskan
mengapa sebuah perusahaan seperti Telkomsel dapat memiliki
kinerja unggul dibandingkan perusahaan lain di industri
Telekomunikasi. Teori yang pertama adalah ‘First Mover
Advantage’ yang membuat Telkomsel unggul pada awal
industri seluler, terutama pada era sebelum kompetisi bebas.
Teori yang kedua adalah ‘Resource Based View’ yang dapat
menjelaskan mengapa Telkomsel dapat mempertahankan
keunggulannya dalam era yang sangat kompetitif.
teknologi CDMA ternyata menawarkan solusi lebih murah
daripada teknologi GSM sehingga sebagian pangsa pasar
Telkomsel direbut oleh operator-operator tersebut.
Dalam sejarah industri telekomunikasi, kenyataan bahwa
Telkomsel dapat menjadi first mover tidak terlepas dari
struktur industri yang pada awalnya bersifat duopoli. Oleh
karena itu penulis menilai bahwa Kajian ini perlu membahas
pula teori yang menjelaskan hubungan antara struktur industri
A. First Mover Advantages
dengan kinerja perusahaan yang beraliran Industrial
Lieberman dan Montgomery (1988) mengemukakan bahwa Organization (fokus pada faktor-faktor eksternal yang
perusahaan yang menerapkan sebuah strategi lebih dahulu menjelaskan keunggulan kinerja sebuah perusahaan). Aliran
dapat memperoleh keunggulan kompetitif dibandingkan ini berkembang dari model Structure-Conduct-Performance
perusahaan lainnya di industrinya. Keuntungan tersebut dapat yang pertama kali diajukan oleh Bain dan Mason (Bain 1956,
berupa akses pada jalur distribusi, reputasi yang baik dan 1968; Mason, 1939). Dalam model ini, struktur sebuah
kepercayaan pelanggan yang merupakan sumberdaya industri
akan
menentukan
aktivitas-aktivitas
yang
perusahaan untuk mempertahankan keunggulan kompetitifnya. mungkin/dapat dilakukan oleh sebuah perusahaan (conduct)
Keuntungan lainnya dapat berupa efek pembelajaran yang pada akhirnya akan menentukan kinerjanya
(learning curve), akses kepada sumberdaya terbatas (spektrum (performance). Dalam jangka panjang, kinerja dari
frekuensi dalam kasus Telkomsel), dan penciptaan switching perusahaan-perusahaan dalam industri yang sama akan sama
cost (Boulding & Christen, 2001; Grimm & Smith, 1997). saja. Dalam pandangan ini, bila ada perusahaan yang bisa
Dalam industri seluler maka salah satu switching cost adalah meraih keuntungan yang superior, maka perusahaan tersebut
‘biaya’ tak langsung berupa kesulitan pelanggan untuk dianggap pasti menikmati iklim non-kompetitif.
dihubungi oleh para rekanannya ketika ia berganti nomor
Menurut teori SCP di atas, iklim duopoli di awal
telepon.
perkembangan industri seluler menyebabkan first move
Beberapa penelitian mencoba menjawab seberapa jauh advantages yang dinikmati Telkomsel menjadi sangat
keunggulan kompetitif sebagai first mover akan dapat signifikan. Ketika industri telekomunikasi kemudian dibuka
bertahan. Hasilnya umumnya menunjukkan bahwa oleh regulator menjadi kompetitif, maka Telkomsel perlu
keunggulan first mover ternyata akan surut seiring dengan mempertahankan berbagai keuntungannya sebagai first mover.
waktu. Dalam industri reksadana, misalnya, keuntungan harga Dalam ‘5-Force Model of Industry Structure’, Porter (1980)
dan pangsa pasar dari first mover pada akhirnya akan menjelaskan bahwa ancaman dari pemain baru adalah salah
menghilang (Makadok, 1998). Keuntungan first mover satu dari lima tekanan yang menentukan daya tarik sebuah
ternyata akan berkurang akibat munculnya produk-produk industri. Empat tekanan lainnya adalah daya tawar pemasok,
tiruan (Lee, Smith, Grimm dan Schomburg, 2000). Dalam daya tawar pembeli, ancaman dari produk/layanan subsitusi,
studi lain, ditemukan bahwa first mover akan dapat menikmati dan persaingan antar perusahaan yang ada dalam sebuah
keunggulan keuntungan untuk jangka waktu 10 tahun untuk industri. Dalam hal ancaman pemain baru, Porter
kategori produk konsumer sampai dengan 12 tahun untuk mengidentifikasi beberapa hambatan utama (entry barriers)
kategori produk industri.
yang dapat menghalangi pemain baru untuk masuk ke sebuah
Selain berfokus pada aspek sustainability dari first mover industri, yaitu:
advantage, terdapat pula beberapa penelitian mengenai faktor- 1. Skala ekonomi: perusahaan mapan atau incumbent
faktor kontinjen yang menentukan first mover advantage.
berskala besar umumnya memiliki biaya per unit yang
Pendekatan taktikal yang berbeda ternyata akan menghasilkan
rendah dan tidak bisa dikejar oleh pemain baru.
pertumbuhan sales yang berbeda (Covin, Slevin, Heeley, 2. Diferensiasi produk yang dicapai oleh perusahaan mapan
2000). Selain kontinjensi internal tersebut, konteks industri
melalui brand equity dan customer loyalty sebagai akibat
juga ternyata turut menentukan keunggulan yang dapat
dari iklan di masa lalu, pelayanan pelanggan yang baik,
diperoleh perusahaan. Dalam industri yang baru (emerging),
produk/layanan yang unggul, atau karena perusahaan
seperti kasus Telkomsel pada awal industri seluler, ternyata
semata-mata adalah yang pertama dikenal pelanggan
first mover advantages juga dapat diperoleh perusahaan
(first mover advantage).
meskipun unsur ketidakpastiannya tinggi (Isobe et al., 2000; 3. Kebutuhan modal yang besar dapat membatasi jumlah
Pan & Chi, 1999). Lebih jauh lagi, ternyata first mover
pesaing yang bisa masuk ke sebuah industry
advantages dapat lebih dipertahankan dalam industri yang 4. Switching cost: pembeli harus mengeluarkan biaya besar
baru muncul (emerging) daripada pada industri yang sudah
untuk beralih dari produk yang ditawarkan oleh
mapan (Durand dan Coeruderoy, 2001). Faktor kontinjensi
perusahaan mapan yang sudah ada
eksternal lainnya adalah karakteristik pasar. Ketika konsumen 5. Akses kepada jalur distribusi: perusahaan mapan dapat
mementingkan kualitas produk dibandingkan jumlah jenis
mendominasi jalur distribusi yang ada sehingga pemain
produk yang ditawarkan, maka pemain yang masuk
baru tidak bisa masuk
belakangan ternyata dapat menggunakan teknologi baru yang 6. Cost disadvantages yang tidak terkait dengan sakala.
lebih baik dalam bersaing dengan first mover (Bohlmann,
Perusahaan yang mapan dan incumbent memiliki
Golder dan Mitra, 2002). Dalam hal industri telekomunikasi,
60
7.
pengetahuan produk, teknologi dan pengalaman
manajemen produksi yang baik karena sudah melalui
kurva pembelajaran, sehingga mereka dapat
menghasilkan produk/layanan yang lebih baik dengan
cara yang lebih efisien.
Kebijakan pemerintah melalui lisensi dan perijinan dapat
membatasi jumlah pemain yang masuk
B. Mempertahankan First Mover Advantage dari sudut
pandang Resource Based
Resourced Based View (RBV) mengutamakan analisis
terhadap faktor-faktor sumberdaya internal yang membedakan
kinerja sebuah perusahaan dengan perusahaan lainnya dalam
sebuah industri. Aliran ini diawali oleh Penrose (1959) yang
menyatakan bahwa heterogenitas sumberdaya adalah
prasyarat keunggulan bersaing dan bahwa bundle of resources
(kombinasi sumberdaya) yang dimiliki sebuah perusahaan
akan menentukan daya saing perusahaan tersebut. Menurut
aliran ini bila semua perusahaan identik (memiliki
sumberdaya yang persis sama) maka inisiatif strategis
perusahaan first mover pasti bisa ditiru pesaingnya sehingga
‘first mover advantage’ tidak dapat dipertahankan. Dengan
kata lain ‘first mover advantage’ hanya bisa dipertahankan
apabila ada heterogenitas sumberdaya.
Teori RBV ini juga memiliki cara pandang serupa terhadap
konsep ‘barriers to entry’ atau ‘mobility barriers’ (Caves and
Porter 1977). Bila sumberdaya perusahaan- perusahaan dalam
sebuah industri bersifat homogen maka tidak akan ada sebuah
perusahaanpun yang dapat membuat entry barrier.
Kesimpulannya heterogenitas sumberdaya adalah faktor kunci
yang memungkinkan terjadinya entry barrier.
Paradigma RBV didukung oleh beberapa riset empiris.
Hasil penelitian Rumelt (1991) mengungkapkan bahwa
economic rents bervariasi secara signifikan dari bisnis ke
bisnis. Variasi kinerja sebuah bisnis dengan bisnis lainnya
ternyata tidak terlalu ditentukan oleh jenis industri dan bentuk
korporasinya. Demsetz (1973) menyimpulkan bahwa
perbedaan kemampuan sebuah perusahaan untuk meresponi
kebutuhan pelanggan dengan lebih efektif dan efisienlah yang
menyebabkan perusahaan bisa memiliki kinerja yang superior.
Kinerja superior belum tentu disebabkan karena iklim yang
non-kompetitif. Dalam kasus Telkomsel, RBV menjelaskan
bahwa bundle sumberdaya yang dimiliki Telkomsel
menyebabkan perusahaan ini bisa tetap unggul walaupun
industri telekomunikasi akhirnya dibuka oleh regulator dan
menjadi sangat kompetitif.
Seorang tokoh RBV lainnya, Wernerfelt (1984)
menegaskan bahwa sumberdaya yang berada di belakang
strategi produk dan market adalah awal dari keunggulan
kompetitif. Setiap strategi produk/market pasti didukung oleh
satu atau lebih sumberdaya tertentu. Dan sebaliknya, setiap
sumberdaya juga dapat digunakan untuk lebih dari satu
produk/layanan sehingga bisa dikembangkan untuk
produk/market yang baru. Menurut teori ini first mover
advantage dihasilkan oleh resource position barrier.
Wernerfelt berpendapat bahwa setiap perusahaan perlu
menciptakan situasi di mana posisi sumberdaya (resource
position) yang dimilikinya sulit dikejar atau ditandingi oleh
61
perusahaan pesaingnya. Dalam kasus bahasan, salah satu
contoh resource position barrier yang menyebabkan
Telkomsel dapat mempertahanakan first mover advantage-nya
adalah brand image. Dengan citra yang baik di pasar maka
peluang pemain baru untuk masuk dan merebut posisi
Telkomsel akan semakin kecil. Tentunya brand image tersebut
dihasilkan oleh banyak sumberdaya lainnya. Sumberdaya
tangible seperti jaringan telekomunikasi maupun intangible
seperti manajemen teknologi, keterampilan marketing yang
baik, proses bisnis yang efisien, skala dan modal turut
mempengaruhi keunggulan kompetitif (Caves, 1971). Ries
dan Trout (1981) menyimpulkan bahwa customer loyalty atau
kesetiaan pelanggan adalah sumberdaya yang sulit ditiru oleh
pesaing.
Barney dan Clark (2007) mengajukan kerangka V-R-I-O
untuk menilai apakah sebuah sumberdaya akan memberikan
keunggulan kompetitif yang berkesinambungan (sustainable).
Pertama, sumberdaya harus Valuable (V) atau memberikan
nilai tambah untuk produk akhir dan konsimen. Kedua,
sumberdaya tersebut sulit diperoleh atau Rare (R). Bila
sumber daya tidak sulit diperoleh maka suatu waktu akan
terjadi competitiveness parity . Ketiga, sumberdaya harus sulit
ditiru atau memiliki low Imitability (I) karena bersifat historis,
memiliki hubungan kausal dengan kinerja yang sulit dipahami,
kompleks secara sosial (tertanam dalam hubungan antar
individu dalam perusahaan), atau memang tidak bisa
disubstitusi. Terakhir, sumberdaya tersebut harus dieksploitasi
dengan baik oleh organisasi (O).
C. Kombinasi Faktor Eksternal dan Internal
Penulis berargumen bahwa baik faktor eksternal (struktur
industri) dan faktor internal (brand image) keduanya turut
berpengaruh terhadap keberhasilan Telkomsel untuk
memanfaatkan dan mempertahankan manfaat berbagai
keuntungannya sebagai first mover. IO dan RBV tidaklah
selalu bersifat kontradiktif melainkan juga bisa komplementer.
Penjelasan market power atau struktur industri, misalnya,
berlaku dalam iklim yang bersifat oligopoli (Gale, 1972 dalam
Barney, 2007) atau monopoli yang diregulasi (Bain, 1941
dalam Barney, 2007) sedangkan penjelasan efisiensi dan
heterogenitas sumberdaya berlaku dalam industri yang sangat
kompetitif atau pada saat barrier to entry tidak ada atau tidak
efektif (Cool, Dierickx, dan Jemison, 1989 dalam Barney,
2007). Dan Telkomsel adalah kasus nyata di mana faktor
eksternal dan internal saling komplementer.
IV. PEMBAHASAN KASUS
A. Telkomsel meraih First Mover Advantage dalam Iklim
Duopoli/Triopoli
Layanan seluler digital berbasis Global Systems for Mobile
Communications
(GSM)
sebenarnya
pertama
kali
diperkenalkan secara komersial oleh PT. Satelit Palapa
Indonesia (Satelindo) pada tahun 1994 dengan area cakupan
yang terbatas di Jakarta. Pada tahun berikutnya, PT.
Telekomunikasi Seluler Indonesia (Telkomsel), anak
perusahaan PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom), berdiri
dan mulai beroperasi secara komersial. Karena proyek
diisi sesegera mungkin dengan traffic agar bisa menghasilkan
cash flow dan menghasilkan net present value (NPV) positif
(Macmillan, 1988). Persaingan yang terbatas pada tiga pemain
GSM dalam periode 1994-1999 menguntungkan bagi para
operator saat itu karena membuat pelanggan tidak terpecah
kepada terlalu banyak pemain lain. Akibatnya, baik Telkomsel,
Indosat maupun Exelcom mendapat volume bisnis yang cukup
memadai untuk bisa bertumbuh dengan sehat. Apalagi pada
saat itu layanan GSM masih dalam tahap perkenalan (jumlah
pelanggan belum terlalu banyak) dan para operator sendiri
membutuhkan waktu pembelajaran sebelum akhirnya dapat
melayani pelanggan dalam jumlah besar dengan efisien.
Dalam emerging industry yang bersifat duopoli/triopoli
tersebut, keuntungan sebagai first mover dengan jaringan
nasional bagi Telkomsel menjadi semakin besar seperti:
1. Skala bisnis yang memadai (besar) karena jumlah
pemain terbatas.
2. Market leadership karena pelanggan seluler saat itu
menginginkan jaringan nasional.
3. Alokasi spektrum frekuensi, sebagai barrier to entry
dalam bentuk penguasaan raw material (MacMillan,
1988). Bagi operator seluler, spektrum frekuensi ibarat
lahan bercocok tanam bagi petani yang dapat
menghasilkan Ricardian Rent (Barney, 2007).
4. Switching cost (Porter, 1980). Pelanggan dengan nilai
ekonomis tinggi, terutama dari korporat, cenderung
enggan berganti-ganti nomor karena banyaknya relasi
mereka.
Keberhasilan Telkmosel memanfaatkan first mover
advantage di atas menjadikannya market leader dalam era
triopoli seperti digambarkan dalam Gambar 1.
ERA TRIOPOLI
3
ERA KOMPETISI PENUH
Juta pelanggan
Juta pelanggan
percontohan yang dimulai sejak tahun 1993 di pulau Batam
dan pulau Bintan berhasil, Telkomsel memutuskan mengambil
strategi yang berbeda dari Satelindo. Telkomsel membangun
jaringan dengan cepat dari luar Jakarta mulai dari Medan dan
kota-kota lain di Sumatera, Surabaya, Bandung, Denpasar,
baru kemudian akhirnya masuk ke Jakarta. Pada akhir 1996,
dengan dibukanya jaringan di Ambon sebagai provinsi ke-27
yang dilayani, Telkomsel menjadi operator pertama yang
memiliki jaringan nasional (nationwide network coverage).
Sementara Satelindo masih berkutat di Jakarta dan daerah lain
di pulau Jawa, Telkomsel memasarkan produk andalannya
kartuHALO (postpaid) dengan keunggulan cakupan nasional
yang pertama.Inilah alasan mengapa penulis menganggap
Telkomsel sebagai first mover meskipun dia bukan operator
pertama yang berdiri. Strategi ini ternyata berhasil. Telkomsel
menjadi market leader karena pelanggan saat itu
mementingkan mobilitas atau cakupan layanan yang bersifat
nasional. Ini adalah titik awal Telkomsel menikmati first
mover advantage.
Strategi jaringan nasional ini juga akhirnya ditiru oleh
pemain-pemain bermodal kuat yang tidak terhalang ‘barrier to
entry’ berupa modal (Porter, 1980) seperti Satelindo (Indosat
group), dan kemudian Exelcomindo. Namun mereka ternyata
membutuhkan waktu yang panjang untuk mengejarnya
sehingga Telkomsel memiliki waktu ekspolitasi yang lama
untuk meningkatkan brand imange-nya (MacMillan, 1988).
Pada awal industri seluluer di pertengahan tahun 90-an,
regulasi mewajibkan semua operator teleponi tetap (fixed alias
non-mobile) yang menyelenggarakan layanan lokal, jarah jauh,
dan internasional untuk dikuasai secara langsung atau tidak
langsung oleh Telkom (saat itu penyelenggara jaringan dan
layanan penuh) dan/atau Indosat (saat itu masih berstatus
operator internasional). Artinya operator fixed haruslah anak
perusahaan salah satu atau kedua incumbent tersebut. Era ini
dikenal sebagai regim duopoli telekomunikasi tetap (fixed
telephony).. Saat itu, Telkomsel (anak perusahaan Telkom)
dan Satelindo (anak perusahaan Indosat) keduanya sangat
diuntungkan karena jumlah pelanggan fixed telephony jauh
lebih besar daripada pelanggan seluler. Para pelanggan seluler
sangat memandang penting tarif yang murah untuk
menghubungi/dihubungi oleh para pelanggan telepon tetap.
Akibatnya, meskipun pada akhir tahun 1996 pemerintah
memberikan lisensi kepada PT. Exelcomindo (Excelcom)
sebagai operator mobile cellular ketiga, pelanggan lebih
memilih Telkomsel atau Satelindo. Beberapa alasan lain yang
menjelaskan fenomena sulitnya Exelcom menembus pasar
saat itu: Telkom dan Satelindo adalah first movers
dibandingkan Exelcom. Selain itu Telkom dan Satelindo
memiliki jaringan fisik yang lebih luas, tarif interkoneksi yang
lebih murah (terutama untuk telepon lokal dan internasonal ke
telepon fixed), serta pengalaman customer service yang lebih
panjang.
Gabungan persaingan terbatas triopoli di industri seluler
dengan duopoli dalam bisnis fixed telephony sangat
menguntungkan Telkomsel dan Indosat di awal perkembangan
industri seluler. Karena industri seluler padat modal maka
jaringan yang dibangun dengan biaya investasi besar harus
2
160
FWA
140
Others
120
Exelcom
100
2
80
Indosat
1
60
40
Telkomsel
1.03
1
60.5
20
0
0.09
1996
0
1999
1.03
3.25
6.01
9.6
1999
2001
2002
2003
…
2008Q3
Gambar 1. Jumlah Pelanggan Seluler Pra dan Pasca Kompetisi Bebas (19962008Q3)
Sumber: Laporan Tahunan Telkomsel, Telkom, Indosat dan Exelcomindo
Sejak awal industri seluler sampai hari ini, urutan posisi
pangsa pasar ketiga pemain ini tidak pernah berubah:
Telkomsel (market leader) diikuti Satelindo (atau grup Indosat)
dan Exelcom. Penulis menyimpulkan bahwa menjadi first
mover sangat penting dalam sebuah emerging industry dengan
persaingan terbatas seperti pada industri seluler.
62
B. Pengaruh Brand Image terhadap Keunggulan Kompetitif
Telkomsel Pasca UU 36/1999
Melihat keadaan yang kurang kompetitif, maka pemerintah
(saat itu merangkap regulator industri telekomunikasi)
berupaya membuka industri telekomunikasi agar harga dapat
turun sementara jenis dan kualitas layanan dapat meningkat
melalui Undang-Undang Telekomunikasi nomor 36/1999.
Setelah UU tersebut diberlakukan, pemerintah memberikan
kesempatan beroperasi bukan hanya kepada operator seluler
baru yang menawarkan layanan begerak (mobile), tetapi juga
kepada operator tetap baru (fixed telephony) yang sebelumnya
tertutup. Dengan berbasis teknologi CDMA, muncullah
layanan Fixed Wireless Access/FWA (untuk layanan tetap
tanpa roaming ke luar kota) yang menjadi substitusi layanan
mobile cellular. Sesuai dengan karakteristik keunggulan di
sektor yang mementingkan kualitas (Bohlmann, Golder dan
Mitra, 2002), kemunculan teknologi CDMA dengan kualitas
yang hampir sama namun harga jauh lebih murah
menyebabkan Telkomsel kehilangan sebagian pelanggannya
(sebagian dari first mover advantage tererosi) seperti dapat
dilihat dalam Gambar 1.
Dengan demikian industri seluler berkembang menjadi
sangat ramai dengan masuknya kategori FWA ke dalam
kancah persaingan. Industri seluler yang kompetitif ditandai
dengan gencarnya perang harga (price war) di antara belasan
operator mobile dan fixed yang ada: Grup Telkom (Flexi dan
Telkomsel), Grup Indosat (Star One, Matrix/Mentari dan IM3);
Excelcomindo; Hutchison; Mobile; Sinar Mas.; Sampoerna.;
Bakrie.; serta Natrindo. Dalam iklim persaingan yang ketat ini,
meskipun kehilangan sebagian market share, Telkomsel
ternyata tetap dapat mempertahankan posisinya sebagai
market leader seperti ditunjukkan oleh Gambar 1.
Dalam era kompetitif, keunggulan Telkomsel tidak lagi
disebabkan oleh beberapa faktor struktural/eksternal,
melainkan lebih dipengaruhi sumberdaya internal seperti
brand image. Survey oleh Frontier pada tahun 2009
menunjukkan bahwa produk-produk Telkomsel (simPATI dan
KartuHALO) memiliki Top Brand Index (TBI) tertinggi 1.
Brand image tersebut tidak timbul hanya sebagai akibat
advertising selama ini, tetapi tentu juga disebabkan oleh
layanan prima yang merupakan keluaran dari beberapa
sumberdaya kunci (differentiating resources) lainnya seperti:
- Jaringan dengan cakupan terluas dan kualitas yang baik
- Kemampuan marketing, jalur distribusi, dan customer
service yang efektif dalam memenuhi kebutuhan
segmen konsumer maupun korporat, sebagai hasil
pembelajaran selama bertahun-tahun (learning curve).
- Kesetiaan pelanggan akibat switching cost terutama
untuk segmen korporat
- Proses bisnis yang efisien akibat skala bisnis yang
besar. Dengan 65 juta pelanggan (2008), Telkomsel
bisa beroperasi sangat efisien
kompetitif, Telkomsel kemudian mengandalkan sumberdaya
internal untuk mempertahankan keunggulannya. Dengan
menggunakan kerangka analisis V-R-I-O (Barney dan Clark,
2007), maka sumberdaya yang paling berharga bagi
Telkomsel ke depan adalah: cakupan dan kualitas jaringan,
skala bisnis yang besar, serta brand image.
V. KESIMPULAN DAN DISKUSI
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Telkomsel
mendapatkan banyak keuntungan dengan menjadi first mover
pada periode kompetisi terbatas. Ketika industri menjadi
[8]
63
TABEL I. ANALISIS VRIO UNTUK SUMBERDAYA TELKOMSEL
Sumberdaya
Jaringan
Nasional
V:
Bernilai?
R:
Langka?
I: Dapat
Ditiru?
Ya
Ya
(spektrum
terbatas)
Sulit
(investasi
besar)
Sulit
(pasar
sudah
hampir
seluruhnya
dipenetrasi)
Sulit
(switching
cost)
Skala
Ya
Ya
Brand
Image
Ya
Ya
Customer
Service
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Marketing,
Sales &
Distribution
Butuh
Waktu
Butuh
Waktu
O:
Exploited
by
Telkomsel?
Ya
(jaringan
terluas)
Ya
(pelanggan
65juta ‘08
terrbesar di
Indonesia)
Ya
Ya
(terbaik di
industri)
Ya
Beberapa hipotesa dan proposisi menyangkut sumberdaya
di atas tentunya masih perlu dibuktikan dengan penelitian
empiris, misalnya dengan melakukan (a) studi kasus yang
lebih mendalam terhadap beberapa operator telekomunikasi
dalam bahkan luar negeri, dan/atau (b) riset pasar untuk
mengetahui mengapa Telkomsel berhasil mempertahankan
posisinya sebagai market.
REFERENCES
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[9]
Bain, J.S. (1956). Barriers to new competition. CambridgeL: Harvard
University Press.
Barney, J.B; dan Clark. D.N. (2007). Resource-Based Theory:
Creating and Sustainng Competitive Advantage. Oxford, New York:
Oxford University Press.
Bohlmann, GJ.D.; Golder, P.N.; & Mitra, D. (2002). “Deconstructing
the pioneer’s advantage: Examining vintage effects and consumer
valuations of quality and variety”, Management Science, 48: 11751195.
Boulding, W.; & Christen, M. (2001). Idea-First mover advantage.
Harvard Business Review, 79(9):20-21.
Caves, R.E., (1971). “International corporations: the industrial
economics of foreign investment”, Economica, 38, 1–27.
Caves, R.E.; & Porter, M. (1977). “From Entry Barriers to Mobility
Barriers: Conjectural Decisions and Contrived Deterrence to new
Competition”, Quarterly Journal of Economics, 91: 241-62.
Caves, R. E.; & Williamson, P. (1985). “What is Product
Differentiation, Really?”, The Journal of Industrial Economics,
34:113-32.
Cool, K.; Dierickx, I.; & Jemison, D. (1989). “Business Strategy,
Market Structure and Risk-return Relationships: A Structural
Approach’, Strategic Management Journal, 10(6):507-22.
Covin, J.G.; Slevin, D.P.; & Heeley, M.B. (2000). “Pioneers and
followers: Competitive tactics, environment, and firm growth”, Journal
of Business Venturing, 15:175-210.
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
Demsetz, H. (1973). “Industry Structure, Market Rivalry, and Public
Policy”, Journal of Law and Economics, 16;1-9.
Gale, B. (1972). “Market Share and Rate of Return”, Review of
Economics and Statistics, 412-23.
Grimm, C. M.;& Smith, K.G.(1997). Strategy as action – Industry
rivalry and coordination. Cicninnati, OH: South-Western College
Publishing.
Isobe, T.M. S..; & Mongtogmery, D.B. 2000. “Resource commitment,
entry timing, and market performance of foreigh direct investments in
emerging economies: The case of japanese international joint ventures
in China”, Academy of Management Journal, 43:468-484.
Lee, H.; Smith, K.G.; Grimm, C. M.;& Schomburg, A. (2000).
“Timing, order and durability of new product advantages with
imitation”, Strategic Management Journal, 21:23-30.
Lieberman, M. B.; & Montgomery, D.BN. (1988). 1st-mover
advantages. Strategic Management Journal, 9:41-58
MacMillan, I. C. (1988). Controlling Competitive Dynamics by Taking
Strategic Inertia”, The Academy of Management Executive, II(2):111118
[17]
[18]
[19]
[20]
[21]
[22]
[23]
[24]
[25]
Makadok, R. (1998).”Can first-mover and early-mover advantages be
sustained in an industry with low barriers to entry/imitation?”,
Strategic Management Journal, 19:683-696.
Mason, E.S. (1939). “Price and production policies of large scale
enterprises”, American Economic Review, 29:61-74.
Pan, Y.G.; & Chi, P.S.K. (1999). “Financial performance and survival
of multinational corporations in China”, Strategic Management
Journal, 20:359-374.
Penrose, E.T.(1959). The Theory of the Growth of the Firm. New York:
John Wiley & Sons
Porter, M.E. (1980). Competitive Strategy. New York: Free Press.
Ries, A.; & Trout, J. (1986). Marketing Warfare. New York: McGraw
Hill
Rumelt, P.P.. (1991). “How much does industry matter?”, Strategic
Management Journal, 12: 167-185.
Wernerfelt, B.(1984). “A Resource-based View of the Firm”, Strategic
Management Journal, 5:171-80
Artikel dari Internet:
“Penghargaan merk terbaik Top Brand Award 2009” (2009).
www.telkom.co.id, 11 Feb.
64
Download