First Mover Advantages dan Internal Resources Sebagai Sumber Keunggulan Kompetitif: Kajian di Industri Telekomunikasi Samuel Tarigan # Management Department, STIE-HB Jln. Dipatiukur 80-84 [email protected] Abstrct — This study compares the perspective of competitive dynamics, that places first mover as one of the competitive advantages (Lieberman dan Montgomery (1988), and that of the resource-based. Analysis on the growth of PT. Telkomsel, the largest cellular operator in the era of duopoly, triopoly, and then full competition in Indonesia reveals that the first mover advantage did give the company advantage in the era of limited competition, but the internal resources accumulated throughout the early years then produced competitive advantage in the era of full competition. The study provides a qualitative finding on the contingent role of industry structure and internal resources in determining the competitiveness of a company in the telecommunication sector in Indonesia, which can be further quantitatively studied in the future. Keywords— competitive dynamics, first mover advantage, resource based view, telecommunication, industry structure, competitive advantage, Telkomsel, Indosat, Excelcomindo Abstrak— Studi ini membandingkan perspektif competitive dynamics yang menempatkan first mover sebagai salah satu sumber keunggulan persaingan (Lieberman dan Montgomery (1988) dan perspektif resource-based. Analisis terhadap perkembangan PT. Telkomsel, perusahaan seluler terbesar di industri telekomunikasi di Indonesia dalam era dupoli, trioppoli dan dalam era kompetisi penuh menunjukkan bahwa first mover advantage menghasilkan keuntungan berupa pangsa pasar dalam era kompetisi terbatas, sementara sumberdaya internal yang terakumulasi menghasilkan keunggulan bersaing dalam iklim kompetisi penuh. Studi ini memberikan sebuah temuan kualitatif mengenai peran kontinjen dari struktur industri dan sumberdaya internal terhadap daya saing di industri telekomunikasi di Indonesia, yang dapat diperluas dan diperdalam melalui berbagai penelitian kuantitatif berikutnya. Kata kunci— competitive dynamics, first mover advantage, resource based view, telecommunication, industry structure, competitive advantage, Telkomsel, Indosat, Excelcomindo I. LATAR BELAKANG Keunggulan kompetitif perusahaan adalah faktor-faktor yang menyebabkan sebuah perusahaan dapat bersaing secara efektif sehingga memiliki nilai ekonomis lebih tinggi dari perusahaan lainnya (Barney dan Clark, 2007 p.52). Terdapat dua teori utama yang menjelaskan mengapa sebuah perusahaan unggul bersaing: faktor eksternal dan faktor 59 internal. Faktor eksternal misalnya struktur industri (Bain, 1956; dan Porter, 1980). Struktur triopoli/duopoli, misalnya seperti pada awal industri telekomunikasi, dapat menyebabkan perusahaan di sebuah industri memiliki keuntungan ekonomis di atas perusahaan-perusahaan industri lainnya. Saat industri telekomunikasi kemudian dibuka oleh regulator hingga menjadi kompetitif, maka perusahaan-perusahaan yang telah lebih dahulu bergerak (first movers) sudah memiliki beberapa keuntungan (advantages) berupa skala bisnis, brand image (reputasi), kepercayaan pelanggan, dan personil yang berpengalaman. Keuntungan-keuntungan ini dapat pula dilihat sebagai bundle sumberdaya (Penrose,1959; dan Wernerfelt, 1984) yang merupakan faktor internal dapat dimanfaatkan perusahaan untuk mempertahankan keunggulan kompetitifnya. Kajian ini akan mengulas bagaimana Telkomsel dapat menjadi market leader sejak era pra-kompetisi sampai era kompetitif saat ini. Pada awal perkembangannya Telkomsel diuntungkan oleh faktor (a) struktur industri telekomunikasi tetap yang bersifat kompetisi terbatas (faktor eksternal). Telkomsel memanfaatkan struktur industri tersebut dengan baik dengan membangun jaringan lebih awal dan memperoleh first mover advantage dengan menujadi operator seluler pertama yang memiliki cakupan jaringan nasional. Pada akhir 90-an, industri telekomunikasi kemudian dibuka (liberalisasi industri) melalui UU 36/1999 untuk menuju iklim full competition. Pada era kompetisi bebas ini, Telkomsel diuntungkan oleh faktor (b) brand image (faktor internal) yang baik yang telah diciptakan selama bertahun-tahun sebelumnya pada masa pra kompetisi. II. PERTANYAAN PENELITIAN Studi ini membahas dua pertanyaan sentral. Pertama, apakah menjadi first mover dalam sebuah emerging industry yang memiliki iklim kompetisi terbatas menghasilkan keuntungan bersaing (advantages)? Kedua, apakah perusahaan dapat mempertahankan keunggulan bersaingnya dengan mengandalkan sumberdaya yang dimilikinya ketika industri tersebut kemudian berkembang menjadi sangat kompetitif? III. STUDI LITERATUR Bagian ini akan membahas dua teori yang menjelaskan mengapa sebuah perusahaan seperti Telkomsel dapat memiliki kinerja unggul dibandingkan perusahaan lain di industri Telekomunikasi. Teori yang pertama adalah ‘First Mover Advantage’ yang membuat Telkomsel unggul pada awal industri seluler, terutama pada era sebelum kompetisi bebas. Teori yang kedua adalah ‘Resource Based View’ yang dapat menjelaskan mengapa Telkomsel dapat mempertahankan keunggulannya dalam era yang sangat kompetitif. teknologi CDMA ternyata menawarkan solusi lebih murah daripada teknologi GSM sehingga sebagian pangsa pasar Telkomsel direbut oleh operator-operator tersebut. Dalam sejarah industri telekomunikasi, kenyataan bahwa Telkomsel dapat menjadi first mover tidak terlepas dari struktur industri yang pada awalnya bersifat duopoli. Oleh karena itu penulis menilai bahwa Kajian ini perlu membahas pula teori yang menjelaskan hubungan antara struktur industri A. First Mover Advantages dengan kinerja perusahaan yang beraliran Industrial Lieberman dan Montgomery (1988) mengemukakan bahwa Organization (fokus pada faktor-faktor eksternal yang perusahaan yang menerapkan sebuah strategi lebih dahulu menjelaskan keunggulan kinerja sebuah perusahaan). Aliran dapat memperoleh keunggulan kompetitif dibandingkan ini berkembang dari model Structure-Conduct-Performance perusahaan lainnya di industrinya. Keuntungan tersebut dapat yang pertama kali diajukan oleh Bain dan Mason (Bain 1956, berupa akses pada jalur distribusi, reputasi yang baik dan 1968; Mason, 1939). Dalam model ini, struktur sebuah kepercayaan pelanggan yang merupakan sumberdaya industri akan menentukan aktivitas-aktivitas yang perusahaan untuk mempertahankan keunggulan kompetitifnya. mungkin/dapat dilakukan oleh sebuah perusahaan (conduct) Keuntungan lainnya dapat berupa efek pembelajaran yang pada akhirnya akan menentukan kinerjanya (learning curve), akses kepada sumberdaya terbatas (spektrum (performance). Dalam jangka panjang, kinerja dari frekuensi dalam kasus Telkomsel), dan penciptaan switching perusahaan-perusahaan dalam industri yang sama akan sama cost (Boulding & Christen, 2001; Grimm & Smith, 1997). saja. Dalam pandangan ini, bila ada perusahaan yang bisa Dalam industri seluler maka salah satu switching cost adalah meraih keuntungan yang superior, maka perusahaan tersebut ‘biaya’ tak langsung berupa kesulitan pelanggan untuk dianggap pasti menikmati iklim non-kompetitif. dihubungi oleh para rekanannya ketika ia berganti nomor Menurut teori SCP di atas, iklim duopoli di awal telepon. perkembangan industri seluler menyebabkan first move Beberapa penelitian mencoba menjawab seberapa jauh advantages yang dinikmati Telkomsel menjadi sangat keunggulan kompetitif sebagai first mover akan dapat signifikan. Ketika industri telekomunikasi kemudian dibuka bertahan. Hasilnya umumnya menunjukkan bahwa oleh regulator menjadi kompetitif, maka Telkomsel perlu keunggulan first mover ternyata akan surut seiring dengan mempertahankan berbagai keuntungannya sebagai first mover. waktu. Dalam industri reksadana, misalnya, keuntungan harga Dalam ‘5-Force Model of Industry Structure’, Porter (1980) dan pangsa pasar dari first mover pada akhirnya akan menjelaskan bahwa ancaman dari pemain baru adalah salah menghilang (Makadok, 1998). Keuntungan first mover satu dari lima tekanan yang menentukan daya tarik sebuah ternyata akan berkurang akibat munculnya produk-produk industri. Empat tekanan lainnya adalah daya tawar pemasok, tiruan (Lee, Smith, Grimm dan Schomburg, 2000). Dalam daya tawar pembeli, ancaman dari produk/layanan subsitusi, studi lain, ditemukan bahwa first mover akan dapat menikmati dan persaingan antar perusahaan yang ada dalam sebuah keunggulan keuntungan untuk jangka waktu 10 tahun untuk industri. Dalam hal ancaman pemain baru, Porter kategori produk konsumer sampai dengan 12 tahun untuk mengidentifikasi beberapa hambatan utama (entry barriers) kategori produk industri. yang dapat menghalangi pemain baru untuk masuk ke sebuah Selain berfokus pada aspek sustainability dari first mover industri, yaitu: advantage, terdapat pula beberapa penelitian mengenai faktor- 1. Skala ekonomi: perusahaan mapan atau incumbent faktor kontinjen yang menentukan first mover advantage. berskala besar umumnya memiliki biaya per unit yang Pendekatan taktikal yang berbeda ternyata akan menghasilkan rendah dan tidak bisa dikejar oleh pemain baru. pertumbuhan sales yang berbeda (Covin, Slevin, Heeley, 2. Diferensiasi produk yang dicapai oleh perusahaan mapan 2000). Selain kontinjensi internal tersebut, konteks industri melalui brand equity dan customer loyalty sebagai akibat juga ternyata turut menentukan keunggulan yang dapat dari iklan di masa lalu, pelayanan pelanggan yang baik, diperoleh perusahaan. Dalam industri yang baru (emerging), produk/layanan yang unggul, atau karena perusahaan seperti kasus Telkomsel pada awal industri seluler, ternyata semata-mata adalah yang pertama dikenal pelanggan first mover advantages juga dapat diperoleh perusahaan (first mover advantage). meskipun unsur ketidakpastiannya tinggi (Isobe et al., 2000; 3. Kebutuhan modal yang besar dapat membatasi jumlah Pan & Chi, 1999). Lebih jauh lagi, ternyata first mover pesaing yang bisa masuk ke sebuah industry advantages dapat lebih dipertahankan dalam industri yang 4. Switching cost: pembeli harus mengeluarkan biaya besar baru muncul (emerging) daripada pada industri yang sudah untuk beralih dari produk yang ditawarkan oleh mapan (Durand dan Coeruderoy, 2001). Faktor kontinjensi perusahaan mapan yang sudah ada eksternal lainnya adalah karakteristik pasar. Ketika konsumen 5. Akses kepada jalur distribusi: perusahaan mapan dapat mementingkan kualitas produk dibandingkan jumlah jenis mendominasi jalur distribusi yang ada sehingga pemain produk yang ditawarkan, maka pemain yang masuk baru tidak bisa masuk belakangan ternyata dapat menggunakan teknologi baru yang 6. Cost disadvantages yang tidak terkait dengan sakala. lebih baik dalam bersaing dengan first mover (Bohlmann, Perusahaan yang mapan dan incumbent memiliki Golder dan Mitra, 2002). Dalam hal industri telekomunikasi, 60 7. pengetahuan produk, teknologi dan pengalaman manajemen produksi yang baik karena sudah melalui kurva pembelajaran, sehingga mereka dapat menghasilkan produk/layanan yang lebih baik dengan cara yang lebih efisien. Kebijakan pemerintah melalui lisensi dan perijinan dapat membatasi jumlah pemain yang masuk B. Mempertahankan First Mover Advantage dari sudut pandang Resource Based Resourced Based View (RBV) mengutamakan analisis terhadap faktor-faktor sumberdaya internal yang membedakan kinerja sebuah perusahaan dengan perusahaan lainnya dalam sebuah industri. Aliran ini diawali oleh Penrose (1959) yang menyatakan bahwa heterogenitas sumberdaya adalah prasyarat keunggulan bersaing dan bahwa bundle of resources (kombinasi sumberdaya) yang dimiliki sebuah perusahaan akan menentukan daya saing perusahaan tersebut. Menurut aliran ini bila semua perusahaan identik (memiliki sumberdaya yang persis sama) maka inisiatif strategis perusahaan first mover pasti bisa ditiru pesaingnya sehingga ‘first mover advantage’ tidak dapat dipertahankan. Dengan kata lain ‘first mover advantage’ hanya bisa dipertahankan apabila ada heterogenitas sumberdaya. Teori RBV ini juga memiliki cara pandang serupa terhadap konsep ‘barriers to entry’ atau ‘mobility barriers’ (Caves and Porter 1977). Bila sumberdaya perusahaan- perusahaan dalam sebuah industri bersifat homogen maka tidak akan ada sebuah perusahaanpun yang dapat membuat entry barrier. Kesimpulannya heterogenitas sumberdaya adalah faktor kunci yang memungkinkan terjadinya entry barrier. Paradigma RBV didukung oleh beberapa riset empiris. Hasil penelitian Rumelt (1991) mengungkapkan bahwa economic rents bervariasi secara signifikan dari bisnis ke bisnis. Variasi kinerja sebuah bisnis dengan bisnis lainnya ternyata tidak terlalu ditentukan oleh jenis industri dan bentuk korporasinya. Demsetz (1973) menyimpulkan bahwa perbedaan kemampuan sebuah perusahaan untuk meresponi kebutuhan pelanggan dengan lebih efektif dan efisienlah yang menyebabkan perusahaan bisa memiliki kinerja yang superior. Kinerja superior belum tentu disebabkan karena iklim yang non-kompetitif. Dalam kasus Telkomsel, RBV menjelaskan bahwa bundle sumberdaya yang dimiliki Telkomsel menyebabkan perusahaan ini bisa tetap unggul walaupun industri telekomunikasi akhirnya dibuka oleh regulator dan menjadi sangat kompetitif. Seorang tokoh RBV lainnya, Wernerfelt (1984) menegaskan bahwa sumberdaya yang berada di belakang strategi produk dan market adalah awal dari keunggulan kompetitif. Setiap strategi produk/market pasti didukung oleh satu atau lebih sumberdaya tertentu. Dan sebaliknya, setiap sumberdaya juga dapat digunakan untuk lebih dari satu produk/layanan sehingga bisa dikembangkan untuk produk/market yang baru. Menurut teori ini first mover advantage dihasilkan oleh resource position barrier. Wernerfelt berpendapat bahwa setiap perusahaan perlu menciptakan situasi di mana posisi sumberdaya (resource position) yang dimilikinya sulit dikejar atau ditandingi oleh 61 perusahaan pesaingnya. Dalam kasus bahasan, salah satu contoh resource position barrier yang menyebabkan Telkomsel dapat mempertahanakan first mover advantage-nya adalah brand image. Dengan citra yang baik di pasar maka peluang pemain baru untuk masuk dan merebut posisi Telkomsel akan semakin kecil. Tentunya brand image tersebut dihasilkan oleh banyak sumberdaya lainnya. Sumberdaya tangible seperti jaringan telekomunikasi maupun intangible seperti manajemen teknologi, keterampilan marketing yang baik, proses bisnis yang efisien, skala dan modal turut mempengaruhi keunggulan kompetitif (Caves, 1971). Ries dan Trout (1981) menyimpulkan bahwa customer loyalty atau kesetiaan pelanggan adalah sumberdaya yang sulit ditiru oleh pesaing. Barney dan Clark (2007) mengajukan kerangka V-R-I-O untuk menilai apakah sebuah sumberdaya akan memberikan keunggulan kompetitif yang berkesinambungan (sustainable). Pertama, sumberdaya harus Valuable (V) atau memberikan nilai tambah untuk produk akhir dan konsimen. Kedua, sumberdaya tersebut sulit diperoleh atau Rare (R). Bila sumber daya tidak sulit diperoleh maka suatu waktu akan terjadi competitiveness parity . Ketiga, sumberdaya harus sulit ditiru atau memiliki low Imitability (I) karena bersifat historis, memiliki hubungan kausal dengan kinerja yang sulit dipahami, kompleks secara sosial (tertanam dalam hubungan antar individu dalam perusahaan), atau memang tidak bisa disubstitusi. Terakhir, sumberdaya tersebut harus dieksploitasi dengan baik oleh organisasi (O). C. Kombinasi Faktor Eksternal dan Internal Penulis berargumen bahwa baik faktor eksternal (struktur industri) dan faktor internal (brand image) keduanya turut berpengaruh terhadap keberhasilan Telkomsel untuk memanfaatkan dan mempertahankan manfaat berbagai keuntungannya sebagai first mover. IO dan RBV tidaklah selalu bersifat kontradiktif melainkan juga bisa komplementer. Penjelasan market power atau struktur industri, misalnya, berlaku dalam iklim yang bersifat oligopoli (Gale, 1972 dalam Barney, 2007) atau monopoli yang diregulasi (Bain, 1941 dalam Barney, 2007) sedangkan penjelasan efisiensi dan heterogenitas sumberdaya berlaku dalam industri yang sangat kompetitif atau pada saat barrier to entry tidak ada atau tidak efektif (Cool, Dierickx, dan Jemison, 1989 dalam Barney, 2007). Dan Telkomsel adalah kasus nyata di mana faktor eksternal dan internal saling komplementer. IV. PEMBAHASAN KASUS A. Telkomsel meraih First Mover Advantage dalam Iklim Duopoli/Triopoli Layanan seluler digital berbasis Global Systems for Mobile Communications (GSM) sebenarnya pertama kali diperkenalkan secara komersial oleh PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) pada tahun 1994 dengan area cakupan yang terbatas di Jakarta. Pada tahun berikutnya, PT. Telekomunikasi Seluler Indonesia (Telkomsel), anak perusahaan PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom), berdiri dan mulai beroperasi secara komersial. Karena proyek diisi sesegera mungkin dengan traffic agar bisa menghasilkan cash flow dan menghasilkan net present value (NPV) positif (Macmillan, 1988). Persaingan yang terbatas pada tiga pemain GSM dalam periode 1994-1999 menguntungkan bagi para operator saat itu karena membuat pelanggan tidak terpecah kepada terlalu banyak pemain lain. Akibatnya, baik Telkomsel, Indosat maupun Exelcom mendapat volume bisnis yang cukup memadai untuk bisa bertumbuh dengan sehat. Apalagi pada saat itu layanan GSM masih dalam tahap perkenalan (jumlah pelanggan belum terlalu banyak) dan para operator sendiri membutuhkan waktu pembelajaran sebelum akhirnya dapat melayani pelanggan dalam jumlah besar dengan efisien. Dalam emerging industry yang bersifat duopoli/triopoli tersebut, keuntungan sebagai first mover dengan jaringan nasional bagi Telkomsel menjadi semakin besar seperti: 1. Skala bisnis yang memadai (besar) karena jumlah pemain terbatas. 2. Market leadership karena pelanggan seluler saat itu menginginkan jaringan nasional. 3. Alokasi spektrum frekuensi, sebagai barrier to entry dalam bentuk penguasaan raw material (MacMillan, 1988). Bagi operator seluler, spektrum frekuensi ibarat lahan bercocok tanam bagi petani yang dapat menghasilkan Ricardian Rent (Barney, 2007). 4. Switching cost (Porter, 1980). Pelanggan dengan nilai ekonomis tinggi, terutama dari korporat, cenderung enggan berganti-ganti nomor karena banyaknya relasi mereka. Keberhasilan Telkmosel memanfaatkan first mover advantage di atas menjadikannya market leader dalam era triopoli seperti digambarkan dalam Gambar 1. ERA TRIOPOLI 3 ERA KOMPETISI PENUH Juta pelanggan Juta pelanggan percontohan yang dimulai sejak tahun 1993 di pulau Batam dan pulau Bintan berhasil, Telkomsel memutuskan mengambil strategi yang berbeda dari Satelindo. Telkomsel membangun jaringan dengan cepat dari luar Jakarta mulai dari Medan dan kota-kota lain di Sumatera, Surabaya, Bandung, Denpasar, baru kemudian akhirnya masuk ke Jakarta. Pada akhir 1996, dengan dibukanya jaringan di Ambon sebagai provinsi ke-27 yang dilayani, Telkomsel menjadi operator pertama yang memiliki jaringan nasional (nationwide network coverage). Sementara Satelindo masih berkutat di Jakarta dan daerah lain di pulau Jawa, Telkomsel memasarkan produk andalannya kartuHALO (postpaid) dengan keunggulan cakupan nasional yang pertama.Inilah alasan mengapa penulis menganggap Telkomsel sebagai first mover meskipun dia bukan operator pertama yang berdiri. Strategi ini ternyata berhasil. Telkomsel menjadi market leader karena pelanggan saat itu mementingkan mobilitas atau cakupan layanan yang bersifat nasional. Ini adalah titik awal Telkomsel menikmati first mover advantage. Strategi jaringan nasional ini juga akhirnya ditiru oleh pemain-pemain bermodal kuat yang tidak terhalang ‘barrier to entry’ berupa modal (Porter, 1980) seperti Satelindo (Indosat group), dan kemudian Exelcomindo. Namun mereka ternyata membutuhkan waktu yang panjang untuk mengejarnya sehingga Telkomsel memiliki waktu ekspolitasi yang lama untuk meningkatkan brand imange-nya (MacMillan, 1988). Pada awal industri seluluer di pertengahan tahun 90-an, regulasi mewajibkan semua operator teleponi tetap (fixed alias non-mobile) yang menyelenggarakan layanan lokal, jarah jauh, dan internasional untuk dikuasai secara langsung atau tidak langsung oleh Telkom (saat itu penyelenggara jaringan dan layanan penuh) dan/atau Indosat (saat itu masih berstatus operator internasional). Artinya operator fixed haruslah anak perusahaan salah satu atau kedua incumbent tersebut. Era ini dikenal sebagai regim duopoli telekomunikasi tetap (fixed telephony).. Saat itu, Telkomsel (anak perusahaan Telkom) dan Satelindo (anak perusahaan Indosat) keduanya sangat diuntungkan karena jumlah pelanggan fixed telephony jauh lebih besar daripada pelanggan seluler. Para pelanggan seluler sangat memandang penting tarif yang murah untuk menghubungi/dihubungi oleh para pelanggan telepon tetap. Akibatnya, meskipun pada akhir tahun 1996 pemerintah memberikan lisensi kepada PT. Exelcomindo (Excelcom) sebagai operator mobile cellular ketiga, pelanggan lebih memilih Telkomsel atau Satelindo. Beberapa alasan lain yang menjelaskan fenomena sulitnya Exelcom menembus pasar saat itu: Telkom dan Satelindo adalah first movers dibandingkan Exelcom. Selain itu Telkom dan Satelindo memiliki jaringan fisik yang lebih luas, tarif interkoneksi yang lebih murah (terutama untuk telepon lokal dan internasonal ke telepon fixed), serta pengalaman customer service yang lebih panjang. Gabungan persaingan terbatas triopoli di industri seluler dengan duopoli dalam bisnis fixed telephony sangat menguntungkan Telkomsel dan Indosat di awal perkembangan industri seluler. Karena industri seluler padat modal maka jaringan yang dibangun dengan biaya investasi besar harus 2 160 FWA 140 Others 120 Exelcom 100 2 80 Indosat 1 60 40 Telkomsel 1.03 1 60.5 20 0 0.09 1996 0 1999 1.03 3.25 6.01 9.6 1999 2001 2002 2003 … 2008Q3 Gambar 1. Jumlah Pelanggan Seluler Pra dan Pasca Kompetisi Bebas (19962008Q3) Sumber: Laporan Tahunan Telkomsel, Telkom, Indosat dan Exelcomindo Sejak awal industri seluler sampai hari ini, urutan posisi pangsa pasar ketiga pemain ini tidak pernah berubah: Telkomsel (market leader) diikuti Satelindo (atau grup Indosat) dan Exelcom. Penulis menyimpulkan bahwa menjadi first mover sangat penting dalam sebuah emerging industry dengan persaingan terbatas seperti pada industri seluler. 62 B. Pengaruh Brand Image terhadap Keunggulan Kompetitif Telkomsel Pasca UU 36/1999 Melihat keadaan yang kurang kompetitif, maka pemerintah (saat itu merangkap regulator industri telekomunikasi) berupaya membuka industri telekomunikasi agar harga dapat turun sementara jenis dan kualitas layanan dapat meningkat melalui Undang-Undang Telekomunikasi nomor 36/1999. Setelah UU tersebut diberlakukan, pemerintah memberikan kesempatan beroperasi bukan hanya kepada operator seluler baru yang menawarkan layanan begerak (mobile), tetapi juga kepada operator tetap baru (fixed telephony) yang sebelumnya tertutup. Dengan berbasis teknologi CDMA, muncullah layanan Fixed Wireless Access/FWA (untuk layanan tetap tanpa roaming ke luar kota) yang menjadi substitusi layanan mobile cellular. Sesuai dengan karakteristik keunggulan di sektor yang mementingkan kualitas (Bohlmann, Golder dan Mitra, 2002), kemunculan teknologi CDMA dengan kualitas yang hampir sama namun harga jauh lebih murah menyebabkan Telkomsel kehilangan sebagian pelanggannya (sebagian dari first mover advantage tererosi) seperti dapat dilihat dalam Gambar 1. Dengan demikian industri seluler berkembang menjadi sangat ramai dengan masuknya kategori FWA ke dalam kancah persaingan. Industri seluler yang kompetitif ditandai dengan gencarnya perang harga (price war) di antara belasan operator mobile dan fixed yang ada: Grup Telkom (Flexi dan Telkomsel), Grup Indosat (Star One, Matrix/Mentari dan IM3); Excelcomindo; Hutchison; Mobile; Sinar Mas.; Sampoerna.; Bakrie.; serta Natrindo. Dalam iklim persaingan yang ketat ini, meskipun kehilangan sebagian market share, Telkomsel ternyata tetap dapat mempertahankan posisinya sebagai market leader seperti ditunjukkan oleh Gambar 1. Dalam era kompetitif, keunggulan Telkomsel tidak lagi disebabkan oleh beberapa faktor struktural/eksternal, melainkan lebih dipengaruhi sumberdaya internal seperti brand image. Survey oleh Frontier pada tahun 2009 menunjukkan bahwa produk-produk Telkomsel (simPATI dan KartuHALO) memiliki Top Brand Index (TBI) tertinggi 1. Brand image tersebut tidak timbul hanya sebagai akibat advertising selama ini, tetapi tentu juga disebabkan oleh layanan prima yang merupakan keluaran dari beberapa sumberdaya kunci (differentiating resources) lainnya seperti: - Jaringan dengan cakupan terluas dan kualitas yang baik - Kemampuan marketing, jalur distribusi, dan customer service yang efektif dalam memenuhi kebutuhan segmen konsumer maupun korporat, sebagai hasil pembelajaran selama bertahun-tahun (learning curve). - Kesetiaan pelanggan akibat switching cost terutama untuk segmen korporat - Proses bisnis yang efisien akibat skala bisnis yang besar. Dengan 65 juta pelanggan (2008), Telkomsel bisa beroperasi sangat efisien kompetitif, Telkomsel kemudian mengandalkan sumberdaya internal untuk mempertahankan keunggulannya. Dengan menggunakan kerangka analisis V-R-I-O (Barney dan Clark, 2007), maka sumberdaya yang paling berharga bagi Telkomsel ke depan adalah: cakupan dan kualitas jaringan, skala bisnis yang besar, serta brand image. V. KESIMPULAN DAN DISKUSI Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Telkomsel mendapatkan banyak keuntungan dengan menjadi first mover pada periode kompetisi terbatas. Ketika industri menjadi [8] 63 TABEL I. ANALISIS VRIO UNTUK SUMBERDAYA TELKOMSEL Sumberdaya Jaringan Nasional V: Bernilai? R: Langka? I: Dapat Ditiru? Ya Ya (spektrum terbatas) Sulit (investasi besar) Sulit (pasar sudah hampir seluruhnya dipenetrasi) Sulit (switching cost) Skala Ya Ya Brand Image Ya Ya Customer Service Ya Tidak Ya Tidak Marketing, Sales & Distribution Butuh Waktu Butuh Waktu O: Exploited by Telkomsel? Ya (jaringan terluas) Ya (pelanggan 65juta ‘08 terrbesar di Indonesia) Ya Ya (terbaik di industri) Ya Beberapa hipotesa dan proposisi menyangkut sumberdaya di atas tentunya masih perlu dibuktikan dengan penelitian empiris, misalnya dengan melakukan (a) studi kasus yang lebih mendalam terhadap beberapa operator telekomunikasi dalam bahkan luar negeri, dan/atau (b) riset pasar untuk mengetahui mengapa Telkomsel berhasil mempertahankan posisinya sebagai market. REFERENCES [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [9] Bain, J.S. (1956). Barriers to new competition. CambridgeL: Harvard University Press. Barney, J.B; dan Clark. D.N. (2007). Resource-Based Theory: Creating and Sustainng Competitive Advantage. Oxford, New York: Oxford University Press. Bohlmann, GJ.D.; Golder, P.N.; & Mitra, D. (2002). “Deconstructing the pioneer’s advantage: Examining vintage effects and consumer valuations of quality and variety”, Management Science, 48: 11751195. Boulding, W.; & Christen, M. (2001). Idea-First mover advantage. Harvard Business Review, 79(9):20-21. Caves, R.E., (1971). “International corporations: the industrial economics of foreign investment”, Economica, 38, 1–27. Caves, R.E.; & Porter, M. (1977). “From Entry Barriers to Mobility Barriers: Conjectural Decisions and Contrived Deterrence to new Competition”, Quarterly Journal of Economics, 91: 241-62. Caves, R. E.; & Williamson, P. (1985). “What is Product Differentiation, Really?”, The Journal of Industrial Economics, 34:113-32. Cool, K.; Dierickx, I.; & Jemison, D. (1989). “Business Strategy, Market Structure and Risk-return Relationships: A Structural Approach’, Strategic Management Journal, 10(6):507-22. Covin, J.G.; Slevin, D.P.; & Heeley, M.B. (2000). “Pioneers and followers: Competitive tactics, environment, and firm growth”, Journal of Business Venturing, 15:175-210. [10] [11] [12] [13] [14] [15] [16] Demsetz, H. (1973). “Industry Structure, Market Rivalry, and Public Policy”, Journal of Law and Economics, 16;1-9. Gale, B. (1972). “Market Share and Rate of Return”, Review of Economics and Statistics, 412-23. Grimm, C. M.;& Smith, K.G.(1997). Strategy as action – Industry rivalry and coordination. Cicninnati, OH: South-Western College Publishing. Isobe, T.M. S..; & Mongtogmery, D.B. 2000. “Resource commitment, entry timing, and market performance of foreigh direct investments in emerging economies: The case of japanese international joint ventures in China”, Academy of Management Journal, 43:468-484. Lee, H.; Smith, K.G.; Grimm, C. M.;& Schomburg, A. (2000). “Timing, order and durability of new product advantages with imitation”, Strategic Management Journal, 21:23-30. Lieberman, M. B.; & Montgomery, D.BN. (1988). 1st-mover advantages. Strategic Management Journal, 9:41-58 MacMillan, I. C. (1988). Controlling Competitive Dynamics by Taking Strategic Inertia”, The Academy of Management Executive, II(2):111118 [17] [18] [19] [20] [21] [22] [23] [24] [25] Makadok, R. (1998).”Can first-mover and early-mover advantages be sustained in an industry with low barriers to entry/imitation?”, Strategic Management Journal, 19:683-696. Mason, E.S. (1939). “Price and production policies of large scale enterprises”, American Economic Review, 29:61-74. Pan, Y.G.; & Chi, P.S.K. (1999). “Financial performance and survival of multinational corporations in China”, Strategic Management Journal, 20:359-374. Penrose, E.T.(1959). The Theory of the Growth of the Firm. New York: John Wiley & Sons Porter, M.E. (1980). Competitive Strategy. New York: Free Press. Ries, A.; & Trout, J. (1986). Marketing Warfare. New York: McGraw Hill Rumelt, P.P.. (1991). “How much does industry matter?”, Strategic Management Journal, 12: 167-185. Wernerfelt, B.(1984). “A Resource-based View of the Firm”, Strategic Management Journal, 5:171-80 Artikel dari Internet: “Penghargaan merk terbaik Top Brand Award 2009” (2009). www.telkom.co.id, 11 Feb. 64