PERUBAHAN KOMPOSISI ASAM AMINO DAN

advertisement
PERUBAHAN KOMPOSISI
ASAM AMINO DAN MINERAL BELUT SAWAH
(Monopterus albus) AKIBAT PROSES PENGGORENGAN
IKA ASTIANA
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
RINGKASAN
IKA ASTIANA. C34080034. Perubahan Komposisi Asam Amino dan Mineral
Belut Sawah (Monopterus albus) Akibat Proses Penggorengan. Dibimbing oleh
NURJANAH dan RUDDY SUWANDI.
Belut sawah (Monopterus albus) merupakan salah satu jenis ikan air tawar
yang banyak dikenal dan dikonsumsi oleh masyarakat. Belut sawah sering
dikonsumsi setelah dilakukan proses pengolahan. Proses pengolahan belut yang
umum dilakukan adalah penggorengan. Belut memiliki kandungan gizi (asam
amino dan mineral) yang tinggi, akan tetapi proses penggorengan akan
mempengaruhi kandungan gizi tersebut. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui
perubahan komposisi gizi, asam amino, dan mineral yang terdapat pada belut
sawah setelah pemasakan dengan cara digoreng.
Tahap awal penelitian ini adalah memperoleh informasi mengenai asal
sampel. Tahap selanjutnya adalah pengukuran morfometrik belut sawah segar
yang meliputi panjang, diameter, lingkar badan, dan berat total, pengukuran
rendemen yang meliputi daging, kepala, kulit, tulang dan jeroan, analisis
proksimat, analisis asam amino dan analisis mineral pada belut sawah segar dan
setelah penggorengan dengan suhu 180 oC selama 5 menit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen belut segar yang paling
tinggi yaitu daging sebesar 55,08 %. Komposisi gizi yang mengalami penurunan
jumlah di dalam daging belut sawah setelah penggorengan adalah kadar air
sebesar 55,43 %, kadar protein 2,56 %, dan kadar karbohidrat 12,41 % sedangkan
komposisi gizi yang mengalami kenaikan setelah penggorengan adalah kadar
lemak sebesar 12,69 % dan kadar abu 2,56 %. Belut sawah segar dan goreng
memiliki kandungan 9 asam amino esensial dan 6 asam amino non esensial. Asam
amino esensial yang terdapat pada belut sawah segar adalah histidin, treonin,
tyrosin, metionin, valin, fenilalanin, I-leusin, leusin, dan lisin. Asam amino
nonesensial belut sawah adalah asam aspartat, asam glutamat, serin, glisin,
arginin, dan alanin. Asam amino esensial terbanyak adalah lisin dan asam amino
nonesensial terbanyak adalah asam glutamat. Asam amino pembatas pada belut
sawah segar dan goreng adalah histidin yang jumlahnya masing-masing 1,54
g/100g dan 1,18 g/100g. Asam amino belut sawah setelah penggorengan secara
keseluruhan mengalami penurunan jumlah antara 0,33-3,38 g/100g. Mineral yang
mengalami penurunan jumlah setelah penggorengan adalah kalsium 95,98 mg/kg,
magnesium 65,70 mg/kg, natrium 2397,73 mg/kg, seng 18,37 mg/kg, dan besi
36,92 mg/kg, sedangkan mineral tembaga mengalami kenaikan sebesar
0,38 mg/kg.
PERUBAHAN KOMPOSISI
ASAM AMINO DAN MINERAL BELUT SAWAH
(Monopterus albus) AKIBAT PROSES PENGGORENGAN
IKA ASTIANA
C34080034
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Departemen Teknologi Hasil Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul
: Perubahan Komposisi Asam Amino dan Mineral Belut Sawah
(Monopterus albus) Akibat Proses Penggorengan
Nama
: Ika Astiana
NRP
: C34080034
Program studi : Teknologi Hasil Perairan
Menyetujui,
Pembimbing I
Dr. Ir. Nurjanah, M.S.
NIP: 19591013 198601 2 002
Pembimbing II
Dr. Ir. Ruddy Suwandi MS, M.Phil
NIP: 19580511 198503 1 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi MS.,Mphil
NIP : 19580511 198503 1 002
Tanggal lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Perubahan
Komposisi Asam Amino dan Mineral Belut Sawah (Monopterus albus)
Akibat Proses Penggorengan” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 20 April 2012
Ika Astiana
C34080034
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
berkat rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “Perubahan Komposisi Asam Amino dan Mineral Belut Sawah
(Monopterus albus) Akibat Proses Penggorengan”
Skripsi ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar sarjana
perikanan di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada :
1. Ibu Dr. Ir. Nurjanah, MS. selaku dosen pembimbing I, atas segala
bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada penulis.
2. Bapak Dr. Ir. Rudy Suwandi, MS. M.Phil. selaku dosen pembimbing
II, dan kepala departemen Teknologi Hasil Perairan atas bimbingan
dan pengarahan yang diberikan kepada penulis.
3. Ayah dan Ibu atas doa, dorongan, dan dukungan baik moril maupun
materiil kepada penulis.
4. Anggraeni Ashory Suryani selaku partner dalam pengerjaan penelitian,
atas kebersamaan dan semangat yang diberikan.
5. Teman-teman THP
45 atas kebersamaan dan semangat yang
diberikan.
6. Kakak kelas THP 43 dan 44 yang telah membantu penulis atas
informasi yang mendukung penyelesaian skripsi ini.
7. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat
disebutkan satu pesatu.
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk perbaikan usulan
ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, 20 April 2012
Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kendal, Jawa Tengah pada
tanggal 28 Mei 1990. Penulis merupakan anak pertama dari 3
bersaudara dari pasangan Bapak Ir. Agus Hasto Yuwono
M.Si. dan Ibu Isnindyah S.Pd.
Penulis telah menempuh jalur pendidikan SDN 1
Patukangan lulus pada tahun 2002, SLTPN 2 Kendal lulus
pada tahun 2005 dan SMAN 1 Kendal lulus pada tahun 2008. Penulis diterima
sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa Teknologi Hasil
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menjadi mahasiswa,
penulis aktif di dalam kegiatan organisasi mahasiswa daerah (OMDA Kendal) dan
Himpunan Mahasiswa Hasil Perikanan (HIMASILKAN). Penulis juga aktif
sebagai Asisten Luar Biasa pada Mata Kuliah Ekologi Perairan di Departemen
Manajemen Sumber Daya Perairan dan Pengolahan Hasil Perairan di Departemen
Teknologi Hasil Perairan.
Penulis telah melaksanakan penelitian dengan judul “Perubahan
Komposisi Asam Amino dan Mineral Belut Sawah (Monopterus albus)
Akibat Proses Penggorengan” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor dibawah bimbingan Dr. Ir. Nurjanah, MS. dan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL …........................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………. ix
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................
x
1 PENDAHULUAN .....................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................
1
1.2 Tujuan .................................................................................................
2
2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
3
2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Belut ............................................................
3
2.2 Protein ..................................................................................................
5
2.3 Asam Amino ........................................................................................
6
2.4 Mineral .................................................................................................
7
2.4.1 Mineral makro .............................................................................. 8
2.4.2 Mineral mikro ............................................................................... 10
2.4 Penggorengan ....................................................................................... 11
2.5 High Performance Liquid Chromatography (HPLC) ............................ 12
2.6 Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS)....................................... 14
3 METODOLOGI ........................................................................................ 16
3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................. 16
3.2 Bahan dan Alat .................................................................................... 16
3.3 Metode Penelitian ................................................................................. 17
3.3.1
3.3.2
3.3.3
3.3.4
Rendemen ..................................................................................
Analiasis proksimat ....................................................................
Analisis asam amino...................................................................
Analisis total mineral .................................................................
18
18
21
22
4 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 24
4.1 Karakteristik Bahan Baku .................................................................... 24
4.2 Rendemen ............................................................................................ 24
4.3 Hasil Analisis Proksimat ...................................................................... 26
4.3.1
4.3.2
4.3.3
4.3.4
4.3.5
Kadar air ...................................................................................
Kadar abu ..................................................................................
Kadar protein ............................................................................
Kadar lemak ..............................................................................
Kadar karbohidrat ......................................................................
27
28
30
31
33
4.4 Komposisi Asam Amino ..................................................................... 34
4.5 Komposisi Mineral ............................................................................. 39
5 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 44
5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 44
5.2 Saran .................................................................................................. 44
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 45
LAMPIRAN ................................................................................................ 48
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1
Komposisi zat gizi belut………………………………………….........
4
2
Komposisi kimia daging segar dan goreng belut sawah………………
27
3
Komposisi asam amino belut sawah dalam basis kering……………… 35
4
Kandungan beberapa jenis mineral belut sawah segar dan goreng……. 39
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1
Belut (Monopterus albus)………………………………………..……….. 3
2
Struktur umum asam amino….………………………………………… 16
3
Komponen-komponen dalam HPLC…………………………………... 14
4
Diagram alir metode penelitian………………………………………… 18
5
Persentasi rendemn belut sawah……………………………………….. 25
6
Grafik perbandingan asam amino belut sawah segar dan belut sawah
goreng basis kering…………………………………………………….. 35
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1
Gambar proses preparasi belut...…………………………………......... 49
2
Data dan ukuran berat belut…………………………...……………….. 50
3
Data komposisi kimia daging belut…………………….……………… 51
4
Peak asam amino belut segar…………………………………….……. 52
5
Peak asam amino belut goreng…...…………………………………… 54
6
Area HPLC asam amino………………………………………………. 56
7
Konsentrasi asam amino (%b/b basis basah)………………………….. 57
8
Hasil uji mineral Ca………………………………………………….... 58
9
Hasil uji mineral Mg ..……………………………………………….... 59
10 Hasil uji mineral Na………………………………………………….... 60
11 Hasil uji mineral K…………………………………………………...... 61
12 Hasil uji mineral Zn………………………………………………….... 62
13 Hasil uji mineral Fe…………………………………………………....
63
14 Hasil uji mineral Cu………………………………………………….... 64
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Belut merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang banyak dikenal dan
dikonsumsi oleh masyarakat. Jenis belut yang banyak dikonsumsi adalah belut
sawah (Monopterus albus), karena jenis belut ini yang paling banyak terdapat di
perairan dibandingkan jenis belut lain seperti belut rawa (Synbrancus bengalensis)
maupun belut laut (Macrotema caligans). Hewan ini banyak ditemukan di sawah
maupun rawa yang berlumpur. Belut termasuk makanan sumber protein dan
mineral (Roy 2009). Permintaan belut terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada
tahun 2008 volume ekspor belut mencapai 2.676 ton meningkat dibandingkan
tahun 2007 yang hanya 2.189 ton. Tahun 2009 ekspor belut terus meningkat
menjadi 4.744 ton atau meningkat 77,2 % dibandingkan tahun 2008. Permintaan
belut tidak hanya datang dari luar tetapi permintaan dalam negeri pun melimpah
seperti Jakarta yang membutuhkan belut 20 ton per hari dan Yogjakarta yang
membutuhkan belut 30 ton per hari (WPI 2010).
Protein dari ikan lebih mudah dicerna oleh tubuh dibandingkan dengan
protein dari hewan terestrial. Protein memiliki fungsi sebagai bahan pembangun
dan membantu pertumbuhan sel-sel tubuh. Protein tersusun atas dua puluh
monomer-monomer asam amino yang berbeda. Mutu protein dinilai dari
perbandingan asam-asam amino yang terkandung dalam protein tersebut
(Winarno 2008). Tubuh manusia tidak dapat mensintesis beberapa jenis asam
amino seperti isoleusin, leusin, lisin, methionin, fenilalanin, threonin, triptofan,
valin, dan histidin. Asam amino tersebut merupakan asam amino esensial yang
hanya di dapat dengan mengkonsumsi sejumlah makanan (DGKM et al. 2008).
Beberapa jenis asam amino yang terkandung dalam belut sangat berperan
dalam karakterisasi rasa spesifik belut. Jenis-jenis asam amino tersebut adalah
glisin, valin, alanin, methionin, dan asam glutamat. Selain itu pula nukleotida dari
jenis IMP (inosin mono phosphat) dan GMP (guanosin mono phosphat) juga ikut
mempengaruhi karakterisasi rasa, terutama dalam pembentukan rasa ”umami”,
yaitu rasa khas seperti golongan daging (Subagio et al. 2004).
2
Belut merupakan sumber makanan yang kaya dengan mineral yaitu besi (Fe),
seng (Zn), selenium (Se), kalsium (Ca), kalium (K), fosfor (P), dan flour (F),
selain itu, mineral dari ikan lebih mudah diserap tubuh dibandingkan mineral yang
berasal dari kacang-kacangan dan serealia. Mineral berperan dalam berbagai tahap
metabolisme, terutama sebagai kofaktor dalam aktivitas enzim. Keseimbangan
ion-ion mineral di dalam cairan tubuh diperlukan untuk pengaturan pekerjaan
enzim, pemeliharaan keseimbangan asam-basa, membantu transfer ikatan-ikatan
penting melalui membran sel dan pemeliharaan kepekaan otot dan saraf terhadap
rangsangan (Almatsier 2006).
Jenis olahan belut
yang
sering dijumpai adalah belut
goreng.
Penggorengan merupakan suatu proses pemanasan bahan pangan menggunakan
medium minyak goreng sebagai pengantar panas. Tujuan proses penggorengan
adalah untuk melakukan pemanasan pada bahan pangan, pemasakan, dan
pengeringan. Menggoreng dengan minyak atau lemak mampu meningkatkan cita
rasa dan tekstur makanan dan jumlah kalori akan meningkat setelah digoreng.
Bahan yang digoreng akan menghasilkan produk yang kering, renyah, dan tahan
lama. Jenis makanan yang digoreng tidak mudah dicerna karena adanya lemak
yang terserap dalam makanan (Winarno 1999).
Proses pemasakan akan mempengaruhi kadar asam amino dan mineral
yang terkandung di dalam bahan makanan. Kadar asam amino dan mineral akan
berkurang akibat adanya proses pemanasan saat pemasakan, oleh karena itu perlu
diketahui seberapa besar kandungan asam amino dan mineral yang hilang selama
penggorengan.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan kadar asam amino
dan mineral yang terdapat pada belut setelah pemasakan dengan cara digoreng,
sehingga dapat diketahui kadar gizi belut goreng saat dikonsumsi.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Belut
Klasifikasi belut (Monopterus albus) menurut Saanin (1968) adalah
sebagai berikut:
Filum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub kelas
: Teleostei
Ordo
: Synbranchoidea
Famili
: Synbranchoidae
Genus
: Monopterus
Spesies
: Monopterus albus
Secara taksonomi, belut termasuk kedalam Kelas Pisces, akan tetapi ciri
fisiknya sedikit berbeda dengan Kelas Pisces lainnya. Tubuh belut hampir
menyerupai ular, yaitu gilig (silindris) memanjang, tidak bersisik, hanya dilapisi
kulit yang hampir mirip dengan plastik. Kulit belut berwarna kecoklatan, mulut
dilengkapi dengan gigi-gigi runcing kecil-kecil berbentuk kerucut dengan bibir
berupa lipatan kulit yang lebar di sekitar mulut. Belut merupakan hewan
karnivora, oleh karena itu memiliki lambung yang besar, palsu, tebal, dan elastis.
Panjang tubuhnya mencapai 90 cm. Belut hidup di perairan dangkal dan
berlumpur, tepian sungai, kanal, serata danau dengan kedalaman kurang dari 3
meter. Belut di habitat aslinya hidup pada media berupa 80% lumpur dan 20% air
(Roy 2009). Morfologi ikan belut dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Belut sawah (Monopterus albus)
Belut merupakan kelompok air breathing fishes, yaitu ikan yang mampu
mengambil oksigen langsung dari udara selama musim kering tanpa air di
sekelilingnya. Belut memiliki alat pernapasan tambahan yakni berupa kulit tipis
4
berlendir yang terdapat di rongga mulut. Alat tersebut berfungsi menyerap
oksigen secara langsung dari udara (Sarwono 2003).
Belut
beraktivitas pada
malam hari (nocturnal) dan cenderung
bersembunyi di lubang atau di celah-celah tanah liat. Belut memangsa berbagai
jenis serangga dan merupakan predator bagi berbagai jenis hewan kelas ikan,
cacing-cacingan, siput, dan hewan kecil yang hidup di perairan (Roy 2009). Belut
termasuk hewan hemaprodit protogini, yaitu sebutan bagi ikan yang mengalami
masa hidup sebagai betina pada awalnya dan kemudian berubah menjadi jantan.
Belut memiliki kelenjar kelamin (gonad) yang mampu melakukan proses
diferensiasi, dari fase betina ke fase jantan. Kelamin belut saat muda adalah betina
namun ketika berumur 9 bulan (fase dewasa) belut akan mengalami pergantian
kelamin menjadi jantan (Bahri 2000). Belut yang masih muda memiliki gonad
testes dan ovarium, setelah jaringan ovariumnya berfungsi dan dapat
mengeluarkan telur, kemudian terjadi masa transisi yaitu membesarnya jaringan
testes dan ovariumnya mengecil. Belut yang telah tua, telurnya telah tereduksi
sehingga sebagian besar gonadnya terisi oleh jaringan testes (Effendie 1997).
Komposisi gizi belut (Monopterus albus) tidak kalah jika dibandingkan
dengan sumber protein hewani lainnya. Belut memiliki kandungan protein, lemak,
mineral, dan vitamin terutama vitamin A yang tinggi. Komposisi zat gizi belut
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi zat gizi belut
Zat Gizi
Belut
Protein (g)
14,0
Lemak (g)
27,0
Karbohidrat (g)
0,0
Kalori (kal)
303
Kalsium (mg)
20
Fosfor (mg)
200
Besi (mg)
1,0
Vitamin A (SI)
1600
Kadar Air (g)
58,0
Sumber: Sarwono (2003)
5
2.2 Protein
Protein adalah molekul makro yang mempunyai berat molekul antara lima
ribu hingga beberapa juta. Protein terdiri atas rantai-rantai panjang asam amino
yang terikat dalam ikatan peptida (Almatsier 2006). Protein adalah sumber
asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak
dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Molekul protein mengandung pula fosfor,
belerang, dan ada jenis protein yang mengandung unsur logam seperti besi dan
tembaga. Protein sebagai pembentuk energi akan menghasilkan 4 kalori tiap gram
protein. Fungsi protein di dalam tubuh adalah sebagai enzim, alat pengangkut, alat
penyimpan, pengatur pergerakan, penunjang mekanis, pertahanan tubuh, media
perambatan impuls saraf, dan pengendalian pertumbuhan (Budiyanto 2002).
Protein terdapat dalam bentuk serabut, globular, dan konjugasi. Protein
dalam bentuk serabut terdiri dari beberapa rantai peptida berbentuk spiral yang
terjalin satu sama lain seperti batang yang kaku. Karakteristik protein serabut
adalah rendahnya daya larut, mempunyai kekuatan mekanis yang tinggi, dan tahan
terhadap enzim pencernaan. Protein jenis ini adalah kolagen, elastin, keratin, dan
myosin. Protein globular berbentuk bola, terdapat dalam cairan jaringan tubuh,
larut dalam larutan garam dan asam encer, mudah berubah di bawah pengaruh
suhu, serta mudah mengalami denaturasi. Protein jenis ini adalah albumin,
globulin, histon dan protamin. Protein konjugasi adalah protein sederhana yang
terikat dengan bahan-bahan non asam amino. Gugus non asam amino ini disebut
gugus prostetik. Protein ini terdiri dari nukleoprotein, lipoprotein, fosfoprotein,
dan metsloprotein (Almatsier 2006)
Protein sebagai salah satu komponen penyusun bahan pangan mempunyai
peranan yang sangat besar dalam menentukan mutu produk pangan. Protein
mampu berinteraksi dengan senyawa-senyawa lain, baik secara langsung maupun
tidak langsung, sehingga berpengaruh pada aplikasi proses, mutu, dan penerimaan
produk. Sifat-sifat inilah yang disebut sifat fungsional protein, seperti water
binding, kelarutan, viskositas, pembentukan gel, flavor binding, dan aktivitas
permukaan. Protein dari berbagai sumber dapat dikembangkan menjadi produk
yang mempunyai sifat-sifat fungsional tinggi menjadi emulsifier, flavor enhancer,
texturizer stabilizer, dan pembentuk gel (Subagio et al. 2004).
6
Kebutuhan manusia terhadap protein dapat diketahui dengan jumlah
nitrogen yang hilang (obligatory nitrogen). Setiap harinya nitrogen yang keluar
dari tubuh rata-rata 54 mg/kg berat badan. Terbuangnya protein bervariasi
tergantung individu, ukuran badan, jenis kelamin, dan umur (Budiyanto 2002).
Secara umum, kebutuhan protein adalah 0,8 sampai 1,0 g/kg BB/hari, tetapi bagi
mereka yang bekerja berat kebutuhan protein bertambah (Irianto 2006).
2.3 Asam Amino
Asam amino merupakan komponen penyusun protein yang dihubungkan
oleh ikatan peptida (Sitompul 2004). Awal pembentukan protein hanya tersusun
dari 20 asam amino yang dikenal sebagai asam amino dasar atau asam amino
baku. Struktur asam amino secara umum adalah satuan atom C yang mengikat
empat gugus, yaitu gugus amina (NH2), gugus karboksil (COOH), atom hidrogen
(H) dan satu gugus sisa (R dari residu) atau disebut juga gugus rantai samping
yang membedakan satu asam amino dengan asam amino lain (Winarno 2008).
Asam amino memiliki atom C pusat yang mengikat empat gugus yang berbeda,
maka asam amino memiliki dua konfigurasi yaitu konfigurasi D dan konfigurasi
L. Molekul asam amino mempunyai konfigurasi L apabila gugus –NH2 terdapat
disebelah kiri atom karbon alfa dan bila posisi gugus NH2 disebelah kanan
(Lehninger 1982). Molekul asam amino dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Struktur umum asam amino
Sumber: Winarno (2008)
Asam amino biasanya larut dalam air dan tidak larut dalam pelarut organik
non polar yaitu eter, aseton dan kloroform (Sitompul 2004). Berdasarkan sifat
kimia rantai sampingnya, asam amino dapat dibedakan menjadi empat kelompok,
yaitu asam amino yang bersifat basa lemah, asam lemah, hidrofilik jika polar dan
hidrofobik jika nonpolar (Almatsier 2006).
7
Terdapat tiga jenis asam amino yang menyusun protein yaitu asam amino
esensial, semi esensial dan non-esensial (Kartasapoetra dan Marsetyo 2008).
Asam amino esensial merupakan asam amino yang tidak dapat disintesa oleh
tubuh
sehingga
harus
dimasukkan
dari
luar
tubuh
manusia
(Suryaningrum et al. 2010). Asam amino jenis ini yaitu leusin, isoleusin,
metionin, fenilalanin, treonin, triptofan, lisin, dan valin (DGKM et al. 2009).
Asam amino semi esensial yaitu asam amino yang dapat menjamin proses
kehidupan jaringan orang dewasa, tetapi tidak mencukupi untuk masa
pertumbuhan anak-anak. Terdapat 6 asam amino semi esensial yaitu arginin,
histidin, tirosin, sistin, glisin dan serin (Kartasapoetra dan Marsetyo 2008). Asam
amino non esensial adalah asam amino yang dapat disintesa oleh tubuh manusia
dengan bahan baku asam amino lainnya (Suryaningrum et al. 2010). Asam amino
jenis ini adalah alanin, asparagin, asam aspartat, sistin, asam glutamat, glutamin,
glisin, hidroksi prolin, prolin, serin, dan tirosin (DGKM et al. 2009).
Mutu protein dinilai dari perbandingan asam-asam amino yang terkandung
dalam protein tersebut. Protein yang mengandung asam amino esensial menyamai
kebutuhan manusia, memiliki mutu yang lebih baik daripada protein yang
kekurangan satu atau lebih asam amino esensial. Jumlah asam amino non-esensial
tidak dapat digunakan sebagai pedoman karena asam amino tersebut dapat
disintesis oleh tubuh. Asam amino yang biasanya sangat kurang dalam bahan
makanan disebut asam amino pembatas (Budiyanto 2002).
2.4 Mineral
Mineral merupakan bagian dari tubuh yang memegang peranan penting
dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ, maupun
fungsi tubuh secara keseluruhan. Mineral berperan dalam berbagai tahap
metabolisme,
terutama
sebagai
kofaktor
dalam
aktivitas
enzim-enzim.
Keseimbangan ion-ion mineral di dalam cairan tubuh diperlukan untuk pengaturan
pekerjaan enzim-enzim, pemeliharaan keseimbangan asam-basa, membantu
transfer ikatan-ikatan penting melalui membran sel dan pemeliharaan kepekaan
otot dan saraf terhadap rangsangan (Almatsier 2006).
Sifat keasaman dan kebasaan suatu bahan makanan tergantung jumlah dan
jenis mineral yang dikandungnya. Bahan makanan yang banyak mengandung
8
mineral Na, K, Ca, Fe, dan Mg yang di dalam tubuh akan membentuk komponen
basa (basa forming foods). Mineral Cl, P, dan S membentuk sifat asam (acid
forming foods) (DGKM et al. 2009). Mineral digolongkan kedalam mineral makro
dan mineral mikro. Mineral makro adalah mineral yang dibutuhkan tubuh dalam
jumlah lebih dari 100 mg sehari, sedangkan mineral mikro dibutuhkan kurang dari
100 mg sehari. Jumlah mineral mikro dalam tubuh kurang dari 15 mg
(Almatsier 2006).
2.3.1 Mineral makro
Mineral makro adalah unsur mineral yang dibutuhkan dalam jumlah besar,
yaitu lebih dari 100 mg sehari. Kelompok mineral makro terdiri dari natrium,
kalium, kalsium, magnesium, sodium, potassium, dan fosfor. Kebutuhan harian
mineral makro dalam tubuh. Mineral makro berperan sebagai zat pembangun
tubuh, selain itu mineral ini juga berperan dalam mempertahankan tekanan
osmotik dan keseimbangan asam basa tubuh (DGKM et al. 2009).
a.
Kalsium (Ca)
Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh,
yaitu 1,5-2% dari berat badan orang dewasa atau kurang lebih sebanyak 1 kg.
Berdasarkan jumlah tersebut, 99% berada dalam jaringan keras, yaitu tulang dan
gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit dan sisanya tersebar di dalam tubuh
(Almatsier 2006). Kalsium berperan dalam proses pembentukan gigi dan tulang,
selain itu kalsium yang berada dalam sirkulasi darah dan jaringan berperan dalam
transmisi impuls syaraf, kontraksi otot, penggumpalan darah, pengaturan
permeabilitas membran sel, serta keaktivan enzim (Winarno 2008).
Konsumsi makanan sangat berpengaruh terhadap absorpsi kalsium.
Konsumsi fosfor dan protein yang tidak seimbang dengan kalsium cenderung
akan menurunkan penyerapan kalsium. Konsumsi serat dan lemak yang
berlebihan juga akan menurunkan absorpsi kalsium jika dikonsumsi bersamaan
dengan kalsium. Sumber kalsium utama adalah susu dan produk olahannya, yaitu
keju, yoghurt, es krim, serta ikan. Beberapa sayur, brokoli dan bayam juga
mengandung kalsium, namun absorpsinya tidak setinggi kalsium pada susu karena
sayur umumnya berserat tinggi (DGKM et al. 2009).
9
b. Natrium (Na)
Natrium dan klorida biasanya berhubungan sangat erat baik sebagai bahan
makanan maupun fungsinya dalam tubuh. Sebagian besar natrium terdapat dalam
plasma darah dan cairan di luar sel (ekstraseluler), beberapa diantaranya juga
terdapat dalam tulang. Jumlah natrium dalam tubuh manusia diperkirakan
100-110 g (Winarno 2008). Natrium merupakan bagian terbesar dari cairan
ekstraseluler dan berfungsi mengatur tekanan osmotik, yaitu menjaga cairan tidak
keluar dari darah dan masuk ke dalam sel-sel. Natrium juga berfungsi menjaga
keseimbangan asam basa tubuh, transmisi saraf, kontraksi otot, absorpsi glukosa,
dan alat angkut zat gizi lain melalui membran (Almatsier 2006).
Tanda pertama kekurangan natrium adalah rasa haus. Kekurangan natrium
juga menyebabkan kejang dan kehilangan nafsu makan. Kelebihan natrium akan
menyebabkan hipertensi (tekanan darah tinggi). Kasus hipertensi banyak
ditemukan pada masyarakat Asia yang sudah terbiasa mengkonsumsi natrium
dalam jumlah besar pada makanannya (7,6-8,2 g/hari) (Winarno 2008).
c.
Magnesium (Mg)
Magnesium merupakan kation nomor dua paling banyak setelah natrium
dalam cairan ekstraseluler. Kurang lebih 60% dari 20-28 mg magnesium dalam
tubuh terdapat pada tulang dan gigi, 26% di dalam otot, dan sisanya di jaringan
lunak lainnya serta cairan tubuh (Almatsier 2001). Magnesium merupakan
aktivator enzim peptidase dan enzim lain yang berfungsi memecah dan
memindahkan gugus fosfat (fosfatase) (Winarno 2008).
Sumber magnesium diantaranya sayuran hijau, daging, susu dan
turunannya, biji-bijian, dan kacang-kacangan. Kekurangan magnesium terjadi
apabila kurangnya konsumsi protein dan energi, yang dapat mengakibatkan
gangguan dalam pertumbuhan, kurangnya nafsu makan, kejang, gangguan sistem
saraf pusat, koma, dan gagal jantung. Kelebihan magnesium biasanya terjadi pada
penyakit gagal ginjal (Almatsier 2006).
d. Kalium
Kalium memegang peranan penting dalam pemeliharaan keseimbangan
cairan dan elektrolit serta keseimbangan asam basa. Kalium berperan dalam
transmisi saraf dan relaksasi otot. Kalium berfungsi sebagai katalisator dalam
10
reaksi biologi didalam sel, terutama dalam metabolisme energi dan sintesis
glikogen dan protein. Kalium banyak terdapat dalam bahan makanan baik
tumbuh-tumbuhan maupun hewan. Kebutuhan minimum akan kalium ditaksir
sebanyak 2000 mg sehari (Almatsier 2006).
2.3.2 Mineral mikro
Mineral mikro adalah unsur mineral pada tubuh manusia yang dibutuhkan
dalam jumlah sedikit. Mineral mikro dibutuhkan tubuh dalam jumlah kurang dari
100 mg sehari. Kelompok mineral mikro terdiri dari besi, seng, tembaga,
selenium, iodium, mangan, seng, kobalt, dan fluor. Mineral mikro berfungsi
dalam proses metabolisme tubuh serta merupakan bagian dari enzim, hormon dan
vitamin (DGKM et al. 2009).
a. Besi (Fe)
Besi adalah mineral mikro yang paling banyak terdapat dalam tubuh
manusia. Besi merupakan bagian penting dari hemoglobin, mioglobin, dan enzim.
Besi tergolong zat gizi essensial sehingga harus disuplai dari makanan. Sumber
utama besi adalah pangan hewani terutama berwarna merah, yaitu hati, daging,
ayam, dan ikan, sedangkan sumber lain adalah sayuran berdaun hijau
(DGKM et al. 2009).
Besi mempunyai beberapa fungsi penting di dalam tubuh, yaitu sebagai
alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron
di dalam sel dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan
tubuh. Defisiensi besi merupakan defisiensi gizi yang paling umum terjadi, baik di
negara maju maupun negara berkembang. Defisiensi gizi secara klasik selalu
dikaitkan dengan anemia gizi besi. Kelebihan besi jarang terjadi karena makanan,
tetapi karena konsumsi suplemen besi. Kelebihan besi dapat menyebabkan
muntah,
diare,
sakit
kepala,
denyut
jantung
meningkat,
dan
pingsan
(Almatsier 2006).
Zat besi dapat diabsorpsi sekitar 5-15% dari makanan oleh tubuh dalam
kondisi normal, sedangkan dalam kondisi kekurangan zat besi dapat mencapai
50%. Absorpsi besi dalam pencernaan dipengaruhi oleh simpanan serta hal-hal
lain terkait dengan cara besi dikonsumsi. Zat penghambat absorpsi besi
diantaranya adalah tanin (teh), phitat (serelia), dan serat. Zat peningkat absorpsi
11
besi adalah sistein (daging), vitamin C, sitrat, malat, dan laktat yang umum
terdapat dalam buah-buahan (DGKM et al. 2009).
b. Seng (Zn)
Seng memiliki peranan penting dalam banyak fungsi tubuh, diantaranya
dalam
berbagai
aspek
metabolisme,
sintesis
dan
degradasi
kolagen,
pengembangan fungsi reproduksi laki-laki serta berperan dalam fungsi kekebalan
tubuh (Almatsier 2006). Dalam tubuh, zat gizi ini terdapat dalam jumlah yang
sangat sedikit dan banyak tersimpan di dalam pankreas, hati, ginjal, paru, otot,
tulang, dan mata. Seng dapat diperoleh dari pangan hewani, terutama daging,
telur, kerang, dan serelia (DGKM et al. 2009).
Kekurangan seng dapat terjadi pada golongan rentan, yaitu anak-anak, ibu
hamil dan menyusui serta orang tua. Kekurangan seng dapat menyebabkan fungsi
pencernaan terganggu, gangguan pertumbuhan dan kematangan seksual, gangguan
sistem saraf dan fungsi otak serta gangguan pada fungsi kekebalan tubuh.
Kelebihan seng dapat menurunkan absorpsi tembaga serta mempengaruhi
metabolisme kolesterol (Almatsier 2006).
c. Tembaga (Cu)
Tembaga dalam tubuh manusia umumnya terdapat pada hati, ginjal, dan
rambut. Tembaga berperan dalam beberapa kegiatan enzim pernapasan, yaitu
sebagai kofaktor enzim tiroksinase dan sitokrom oksidase. Tembaga juga
diperlukan dalam proses pertumbuhan sel-sel darah merah yang masih muda
(Winarno 2008). Kekurangan tembaga pernah dilihat pada anak-anak kekurangan
protein dan menderita anemia kurang besi serta pada anak-anak yang mengalami
diare. Kelebihan tembaga secara kronis menyebabkan penumpukan tembaga di
dalam hati yang dapat mengakibatkan nekrosis hati atau serosis hati
(Almatsier 2006).
2.5 Penggorengan
Penggorengan merupakan suatu proses pemanasan bahan pangan
menggunakan medium minyak goreng sebagai pengantar panas. Tujuan proses
penggorengan adalah untuk melakukan pemanasan pada bahan pangan,
pemasakan, dan pengeringan. Menggoreng dengan minyak atau lemak mampu
meningkatkan cita rasa dan tekstur makanan dan jumlah kalori akan meningkat
12
setelah digoreng. Bahan yang digoreng akan menghasilkan produk yang kering,
renyah, dan tahan lama. Jenis makanan yang digoreng tidak mudah dicerna karena
adanya lemak yang terserap dalam makanan (Winarno 1999). Bahan mengalami
perubahan fisik, kimia dan sensoris selama proses penggorengan. Penggorengan
pada teanan atmosfir dengan suhu tinggi akan mengakibatkan kerusakan pada
bahan (Sutarsi et al. 2009).
Jenis minyak yang umum dipakai untuk menggoreng adalah minyak nabati
seperti minyak sawit, minyak kacang tanah, dan minyak wijen. Minyak
merupakan campuran dari ester asam lemak dan gliserol. Minyak goreng jenis ini
mengandung 80% asam lemak tak jenuh jenis asam oleat dan linoleat, kecuali
minyak kelapa. Proses penyaringan minyak kelapa sawit sebanyak 2 kali
(penegambilan lapisan jenuh) menyebabkan kandungan asam lemak tak jenuh
menjadi lebih tinggi. Tingginya kandungan asam lemak tak jenuh menyebabkan
minyak mudah rusak oleh proses penggorengan., karena selama proses
menggoreng minyak akan dipanaskan terus menerus pada suhu tinggi serta
terjadinya kontak dengan oksigen dari udara luar yang memudahkan terjadinya
oksidasi pada minyak (Khomsan 2003 diacu dalam Sartika 2009).
Makanan yang digoreng mempunyai struktur yaitu lapisan permukaan,
lapisan tengah, dan lapisan dalam. Lapisan dalam makanan masih mengandung
air, lapisan tengah makanan adalah bagian luar makanan yang merupakan hasil
dehidrasi saat menggoreng. Minyak yang diserap untuk mengempukkan makanan
sesuai dengan jumlah air yang menguap pada makanan saat digoreng. Jumlah
yang terserap tergantung dari perbandingan antara lapisan tengah dan lapisan
dalam. Semakin tebal lapisan tengah maka semakin banyak minyak yang akan
terserap. Lapisan permukaan merupakan hasil reaksi Maillard yang terdiri dari
polimer yang larut, dan tidak larut dalam air serta berwarna coklat kekuningan.
Biasanya senyawa polimer ini terbentuk bila makanan jenis gula dan asam amino,
protein serta senyawa yang mengandung nitrogen digoreng secara bersamaan
(Sartika 2009).
2.6 High Performance Liquid Chromatography (HPLC)
Metoda HPLC menggunakan kolom C18 dan sistem deteksi UV. HPLC
merupakan suatu metode yang sensitive dan akurat untuk penentuan kuantitatif
13
dan pemisahan senyawa yang tidak mudah menguap seperti asam amino dan
protein. HPLC diopersikan pada suhu kamar, dimana senyawa yang tidak tahan
panas dapat ditentukan dengan mudah dan sifat fase gerak dapat diubah dengan
merubah komposisi dari fase gerak yang digunakan (Nurhamidah 2005).
Teknik HPLC memerlukan pre-collum derivatization untuk analisis asam
amino, biasanya dengan menggunakan densil klorida. Turunan densil fluoresens
dapat dipisahkan oleh sebuah reverse phase column dengan menggunakan multistep non linear elution. Asam amino dianalisis dengan fluorescene detector.
Bahan yang digunakan dalam kolom ialah gel silika yang mengandung gugus
fungsional nonpolar hidrokarbon sebagai fase stasioner, dan cairan elusi
digunakan campuran asetonitril dan air. Cara fluoresens mampu mendeteksi
sampai kisaran psikogram (Budiyanto 2002).
Pemisahan dengan HPLC mempunyai beberapa keuntungan yaitu waktu
analisis cepat, biaya rendah, mudah dioperasikan, kepekaan tinggi, mampu
memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran, dapat menghindari kerusakan
bahan yang dianalisis, resolusi yang baik, dapat digunakan bermacam-macam
detektor, kolom dapat digunakan kembali dan kemungkinan untuk menganalisis
sampel yang tidak stabil (Putra 2004).
Analisis dengan HPLC, fase gerak yang digunakan harus bebas dari gas,
sehingga perlu dilakukan proses penghilangan gas (degassing) terlebih dahulu
sebelum alat dioperasikan. Proses penghilangan gas ini diperlukan untuk
menghindari noise pada detektor terutama fasa organik berair. Proses
penghilangan gas ini juga diperlukan untuk menghindari terbentuknya gelembung
udara jika pelarut yang berbeda dicampurkan. Degassing dapat dilakukan dengan
beberapa cara seperti pemakuman diatas fasa gerak, pemanasan sambil diaduk,
ultrasonik, dan lain-lain (Nurhamidah 2005).
Komponen-komponen penting yang harus ada dalam HPLC adalah
pompa, injektor, kolom, detektor, elusi gradien, pengolahan data, dan fase gerak.
Suatu larutan dapat digunakan sebagai fase gerak jika memenuhi syarat murni,
tidak bereaksi dengan wadah, sesuai dengan detektor, melarutkan sampel, dan
memiliki viskositas rendah. Penentuan fase gerak juga dapat dilihat dari kelarutan
sampel. Sampel yang larut air, dapat menggunakan air sebagai fase gerak, bila
14
dapat larut dalam pelarut organik maka digunakan pelarut organik sebagai fase
gerak (Putra 2004). Komponen-komponen dalam HPLC dapat dilihat pada
Gambar 3.
Gambar 3 Komponen-komponen dalam HPLC
Sumber: Putra (2004)
2.7 Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS)
Atomic absorption spectrophotometer (AAS) merupakan salah satu teknik
analisis untuk mengukur jumlah unsur berdasarkan jumlah energi cahaya yang
diserap oleh unsur tersebut dari sumber cahaya yang dipancarkan (Arifin 2008).
atomic absorption spectrophotometer merupakan suatu metode yang digunakan
untuk mengukur kandungan logam dan metalloid. Metode ini sangat tepat untuk
analisis zat pada konsentrasi rendah. Instrumen ini dapat mendeteksi hingga
satuan ppm. Khusus untuk logam-logam yang mudah menguap (mempunyai titik
didih yang lebih rendah) sulit dianalisa dengan AAS (Cahyady 2009).
Prinsip kerja alat ini berdasarkan penguapan larutan sampel, kemudian
logam yang terkandung di dalamnya diubah menjadi atom bebas. Atom tersebut
mengabsorbsi radiasi dari sumber cahaya yang dipancarkan dari lampu katoda
(hallow cathode lamp) yang mengandung unsur yang akan dianalisis. Banyaknya
penyerapan radiasi kemudian diukur pada panjang gelombang tertentu
(Arifin 2008).
Komponen-komponen penting yang terdapat pada AAS adalah sumber
radiasi untuk memancarkan spektrum atom dari unsur yang ditentukan, nyala
untuk mengubah sampel yang berupa padatan atau cairan menjadi bentuk uap
atomnya, system pembakar-pengabut yang mengubah larutan uji menjadi atomatom dalam bentuk gas, monokromator berfungsi memisahkan garis resonansi dari
15
semua garis yang tak diserap yang dipancarkan oleh sumber radiasi, detektor
untuk mengubah intensitas radiasi yang dating menjadi arus listrik, dan read out
merupakan sistem pencatat hasil (Cahyady 2009).
Gangguan pada AAS secara luas dikelompokkan menjadi gangguan
spektral dan gangguan kimia. Gangguan spektral disebabkan terjadinya tumpang
tindih absorbsi antara apesies pengganggu dengan yang diukur. Adanya hasil
pembakaran pada nyala dapat menyebabkan gangguan spektral. Gangguan kimia
dapat berupa pembentukan senyawa volatilitas rendah, dan kesetimbangan
disosiasi ionik dalam nyala. Biasanya anion membentuk senyawa dengan
volatilitas rendah dan menurunkan laju atomisasi. Pembentukan senyawa yang
stabil menyebabkan tidak sempurnanya disosiasi zat yang akan dianalisa.
Gangguan tersebut dapat dieliminasi dengan meningkatkan temperatur nyala,
pemakaian reagensia pelepas, dan ekstraksi analit unsur-unsur pengganggu
(Cahyady 2009).
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2011 sampai
Januari 2012. Preparasi sampel dilakukan di Laboratorium Karakteristik Bahan
Baku Hasil Perairan, proses penggorengan dilakukan di Laboratorium Preservasi
dan Pengolahan Hasil Perairan, dan uji proksimat dilakukan di Laboratorium
Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis asam amino
dilakukan di Laboratorium Terpadu Kimia Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Analisis mineral dilakukan di Laboratorium Pengujian Nutrisi Pakan, Departemen
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging belut
sawah segar dan digoreng. Bahan pembantu yang digunakan adalah minyak
goreng kelapa sawit, air, es, abu, garam dan dalam analisis proximat
menggunakan bahan aquades, H2SO4, NaOH, HCl, H3BO4 dan pelarut heksana.
Bahan yang digunakan dalam analisis asam amino adalah natrium hidroksida,
asam borat, larutan brij-30 30 %, 2-merkaptoetanol, larutan standar asam amino
0,5 mikromol/ml, Na EDTA, methanol, aquades, Na-asetat, tetrahidrofuran (THF)
dan larutan ortoftalaldehid. Bahan yang digunakan untuk analisis mineral adalah
HNO3, HClO4, H2SO4 dan HCl.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah deep frying, pisau,
talenan, meteran, aluminium foil, baskom, thermometer, timbangan analitik,
kertas label, plastik tahan panas, alat pendingin, dan botol jar. Analisis proksimat
menggunakan alat berupa cawan porselen, oven, desikator (analisis kadar air);
tabung reaksi, gelas erlenmeyer, tabung kjeldhal, tabung sokhlet, pemanas
(analisis kadar lemak); tabung kjeldhal, desikator, destilat, dan buret (analisis
kadar protein); cawan porselen, tanur, dan desikator (analisis kadar abu). Analisis
asam amino menggunakan alat labu takar, ampul, oven, syringe, pipet mikro,
timbangan digital, erlenmeyer, water bath, mortar, kertas saring milipore, vial, dan
17
hight performace liquid chromatrografi (HPLC). Analisis mineral menggunakan
alat hotplate, labu takar, timbangan dan alat AAS.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian diawali dengan pengumpulan data-data berupa asal, ukuran
belut, dan pengukuran rendemen tubuh (daging, tulang dan jeroan), selanjutnya
dilakukan analisis proksimat, asam amino dan mineral total. Pengumpulan datadata berupa asal, ukuran, dan pengukuran rendemen belut dilakukan pada kondisi
segar sedangkan analisis proksimat, asam amino, dan mineral dilakukan pada
kondisi segar dan setelah digoreng.
Belut (Monopterus albus) diperoleh dari kolam budidaya PKBM Baitul
Ilmi Desa Cipambuan RT 3 RW 3 Babakan Madang Bogor. Belut yang diambil
adalah ukuran konsumsi dengan size 20. Bahan baku belut yang diambil diberi
pakan berupa cacing tanah. Kolam tempat
2
1,5x2 m
budidaya belut
berukuran
dengan dilengkapi penutup. Bahan baku selanjutnya dianalisis
morfometrik meliputi berat total, panjang, dan diameter. Belut sawah yang
digunakan dalam pengukuran morfometrik berjumlah 30 ekor. Setelah
pengukuran morfometrik, belut kemudian dipreparasi dengan cara mengeluarkan
jeroan, dan memisahkan bagian kepala, kulit dan daging untuk mengetahui
rendemennya. Daging belut yang sudah dipisahkan dari tulang, kulit, kepala, dan
jeroan kemudian digoreng.
Proses penggorengan dilakukan dengan menggunakan metode deep frying
sehingga seluruh badan belut dapat terendam minyak. Belut yang akan digoreng
memiliki ukuran yang hampir seragam yaitu panjang 4 cm, lebar 3 cm dan tebal
0,5 cm. Belut yang akan digoreng dipreparasi terlebih dahulu dengan membuang
jeroan, tulang, dan kulitnya. Belut kemudian digoreng menggunakan minyak
kelapa sawit dengan kedalaman minyak 6 cm suhu penggorengan 180 oC, waktu
penggorengan 5 menit. Belut segar dan goreng kemudian masing-masing
dihancurkan dan dihomogenkan, kemudian dibagi menjadi tiga bagian yaitu untuk
analisis proksimat, analisis asam amino dan analisis mineral. Diagram alir
penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
18
Belut
Pengukuran berat dan morfometrik
Preparasi sampel (pemisahan jeroan, kulit, kepala, daging, dan tulang)
Pengukuran rendemen
Penggorengan sebanyak 1 kg suhu 180 oC selama
5 menit
Segar
Analisis proksimat, mineral, asam amino
Gambar 4 Diagram alir metode penelitian
3.3.1 Rendemen
Rendemen dihitung sebagai presentase bobot bagian tubuh belut yang
digunakan dari bobot belut total. Bobot bagian tubuh yang digunakan diperoleh
dengan metode by different, yaitu menghitung bobot total belut, kemudian
menghilangkan jeroan. Bagian tubuh belut yang di pisahkan adalah kepala, jeroan,
dan kulit. Selisih antara bobot total dengan jeroan merupakan bobot yang
digunakan sehingga rendemennya dapat dihitung dengan oresentase bobot bagian
tubuh yang digunakan per bobot total.
3.3.2 Analisis proksimat
Analisis proksimat yang dilakukan meliputi uji kadar air dan kadar abu
menggunakan metode oven, uji kadar lemak menggunakan metode sokhlet dan uji
kadar protein menggunakan metode kjeldhal.
19
(1) Analisis kadar air (AOAC 2005)
Cawan yang akan digunakan dioven terlebih dahulu selama 30 menit pada
suhu 100-150 oC, kemudian didinginkan di dalam desikator untuk menghilangkan
uap air dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 2 g dalam cawan yang
sudah dikeringkan (B), kemudian dioven pada suhu 100-150 oC selama 6 jam lalu
didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (C). Tahap ini
diulangi hingga dicapai bobot konstan.
Keterangan: A=Berat cawan kosong (g)
B=Berat cawan dengan daging belut (g)
C=Berat cawan dengan daging belut setelah dikeringkan (g)
(2) Analisis kadar abu (AOAC 2005)
Cawan yang akan digunakan dioven terlebih dahulu selama 30 menit pada
suhu 100-150 oC, kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan
uap air dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 2 g dalam cawan yang sudah
dikeringkan, kemudian dibakar diatas nyala pembakar sampai tidak berasap dan
dilanjutkan dengan pengabuan di dalam tanur dengan suhu 550-600 oC sampai
pengabuan sempurna. Sampel yang sudah diabukan didinginkan dalam desikator
dan ditimbang. Kadar abu dihitung dengan rumus:
Keterangan : A= Berat cawan abu porselen kosong (g)
B= Berat cawan abu porselen dengan daging belut (g)
C=Berat cawan abu porselen dengan daging belut setelah
dikeringkan (g)
(3) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)
Daging belut seberat 3 g (W1) dimasukkan ke dalam selongsong lemak,
kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya
(W2), dan disambungkan dengan tabung sokhlet. Selongsong lemak dimasukkan
ke dalam ruang ekstraktor tabung sokhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 oC dengan
menggunakan pemanas listrik selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu
lemak didestilasi hingga semua pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke
20
dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu
105 oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan
(W3). Perhitungan kadar lemak pada daging belut:
Keterangan:
W1= Berat belut (g)
W2= Berat labu lemak tanpa lemak (g)
W3= Berat labu lemak dengan lemak (g)
(4) Analisis kadar protein (AOAC 2005)
Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap
yaitu destruksi, destilasi dan titrasi.
a)
Tahap destruksi
Daging belut ditimbang seberat 0,5 g kemudian dimasukkan ke dalam
tabung kjeltec. Satu butir kjeltab dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan
ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke
dalam alat pemanas dengan suhu 410 oC ditambahkan 10 ml air. Proses dekstruksi
dilakukan sampai larutan bening.
b)
Tahap destilasi
Isi labu dituangkan ke dalam alat destilasi, labu dibilas dengan akuades 20
ml. Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan
NaOH 40-60 % sebanyak 20 ml. Cairan dalam ujung tabung ditampung dengan
Erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO4 dan 3 tetes indikator (campuran metal
merah 0,2 % dan metal biru 0,2 % dalam alkohol dengan perbandingan 2:1) yang
ada dibawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh kira-kira 200 ml
destilat yang bercampur dengan H3BO4 dan indikator dalam erlenmeyer.
c)
Tahap titrasi
Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCL 0,1 N sampai larutan
berwarna merah muda. Perhitungan kadar protein pada daging belut:
% Kadar Protein = % Nitrogen x factor konversi
21
3.3.3 Analisis asam amino (AOAC 2005)
Komposisi asam amino ditentukan dengan menggunakan HPLC.
Perangkat HPLC harus dibilas terlebih dahulu dengan eluen yang akan digunakan
selama 2-3 jam. Begitu pula dengan syringe yang akan digunakan dibilas dengan
akuades sampai syringe benar-benar bersih. Analisis asam amino dengan
menggunakan HPLC terdiri dari empat tahap, yaitu: tahap pembuatan hidrolisat
protein, tahap pengeringan, tahap derivatisasi dan tahap injeksi serta analisis asam
amino.
a. Tahap pembuatan hidrolisat protein
Preparasi sampel, yaitu tahap pembuatan hidrolisat protein, sampel
ditimbang, sebanyak 0,1 gram dan dihancurkan. Sampel yang telah hancur
ditambahkan HCl 6 N sebanyak 10 ml yang kemudian dipanaskan dalam
oven pada suhu 100
o
C selama 24 jam. Pemanasan dilakukan untuk
mempercepat reaksi hidrolisis.
b. Tahap pengeringan
Sampel disaring dengan kertas saring milipore. Penyaringan ini bertujuan
agar larutan yang dihasilkan benar-benar bersih, terpisah dari padatan. Hasil
saringan diambil sebanyak 30 mikroliter dan ditambahkan dengan 30
mikroliter larutan pengering. Larutan pengering dibuat dari campuran
methanol, pikotiosianat dan trietilamin dengan perbandingan 4:4:3.
c. Tahap derivatisasi
Larutan derivatisasi sebanyak 30 mikroliter ditambahkan pada hasil
pengeringan, larutan derivatisasi dibuat dari campuran metanol, natrium
asetat dan trietilamin dengan perbandingan 3:3:4. Proses derivatisasi
dilakukan agar detektor mudah untuk mendeteksi senyawa yang ada pada
sampel, selanjutnya dilakukan pengenceran dengan cara menambahkan 20 ml
asetonitrit 60 % atau buffer natrium asetat 1M, lalu dibiarkan selama
20 menit.
d. Tahap injeksi ke HPLC
Hasil saringan diambil sebanyak 40 mikroliter untuk diinjeksikan ke dalam
HPLC. Perhitungan konsentrasi asam amino yang ada pada bahan dilakukan
dengan pembuatan kromatogram standar dengan menggunakan asam amino
22
yang telah siap dipakai yang mengalami perlakuan yang sama dengan sampel.
Kandungan asam amino pada bahan dapat dihitung dengan rumus:
Keterangan :
C = Konsentrasi standar asam amino (µg/ml)
Fp = faktor pengenceran
BM = Bobot molekul dari masing-masing asam amino (g/mol)
Kondisi HPLC pada saat berlangsungnya hidrolisis asam amino adalah
sebagai berikut:
Kolom
: Ultra techspere
Laju aliran fase mobil
: 1 ml/menit
Detektor
: Fluoresensi
Fase mobil
: Bufer A(Na-Asetat, Na-EDTA, Metanol, THF),
Bufer B (methanol 95 % dan air)
Panjang gelombang
: 350-450 nm
3.3.4 Analisis total mineral (K, Na, Ca, Mg, Zn, Fe, Cu)
Sampel yang akan diuji kadar mineralnya dilakukan pengabuan basah
terlebih dahulu. Proses pengabuan basah dilakukan dengan sampel ditimbang
sebanyak 1 g, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 150 ml. Ke dalam labu
ditambahkan 5 ml HNO3 dan dibiarkan selama 1 jam. Labu ditempatkan di atas
hotplate selama ± 4 jam dan ditambahkan 0,4 ml H2SO4 pekat, campuran (HClO4
dan HNO3) sebanyak 3 tetes, 2 ml akuades dan 0,6 ml HCl pekat. Larutan contoh
kemudian diencerkan menjadi 100 ml dalam labu takar. Sejumlah larutan stok
standar dari masing-masing mineral diencerkan dengan menggunakan akuades
sampai konsentrasinya berada dalam kisaran kerja logam yang diinginkan.
Larutan standar, blanko dan contoh dialirkan ke dalam atomic absorption
spectrophotometer (AAS). Kemudian diukur absorbansi atau tinggi puncak dari
standar, blanko dan contoh pada panjang gelombang dan parameter yang sesuai
untuk masing-masing mineral dengan spektrofotometer. Kadar mineral di dalam
bahan dihitung dengan rumus:
23
Kadar mineral (mg/100g basis basah (bb)) =
Kadar mineral (mg/100g basis kering (bk)) =
Keterangan: a = konsentrasi larutan sampel (ppm)
b = konsentrasi larutan blanko (ppm)
fp = faktor pengenceran
w = berat sampel (g)
x 100 %
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Bahan Baku
Karakteristik bahan baku merupakan sifat penting untuk mengetahui
potensi yang terdapat pada bahan tersebut. Berdasarkan hasil pengukuran,
diperoleh data mengenai ukuran dan bobot belut sawah (Monopterus albus) yang
terdiri atas parameter panjang, diameter badan, dan berat total. Belut sawah
memiliki panjang rata-rata 42,63±2,03 cm, diameter rata-rata 1,05±0,13 cm,
lingkar badan rata-rata 1,61±0,11 cm dan berat rata-rata 62,33±8,01 gr.
Pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam
merupakan faktor yang tidak dapat dikontrol misalnya genetik. Faktor luar
merupakan faktor yang dapat dikontrol misalnya pemberian nutrisi, suhu, air, pH,
jenis kelamin dan umur.
Belut sawah yang digunakan dalam penelitian ini hanya bagian dagingnya
saja. Daging segar yang digunakan berwarna putih, tekstur kompak, dan aroma
spesifik belut. Daging yang digoreng berwarna coklat keemasan, tekstur agak
krispi, dan aroma lezat. Daging segar dan goreng masing-masing dilumatkan
kemudian dibungkus dengan alumunium foil dan disimpan ke dalam lemari es
agar tidak mengalami kemunduran mutu saat dianalisis komposisi gizinya.
4.2 Rendemen
Rendemen digunakan untuk memperkirakan berapa bagian dari bobot
tubuh yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Rendemen merupakan
parameter yang paling penting untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas
suatu produk atau bahan terutama bahan pangan. Semakin tinggi rendemen, maka
semakin tinggi pula nilai ekonomisnya. Perhitungan rendemen didapatkan dengan
membandingkan berat masing-masing bagian tubuh dengan bobot totalnya.
Rendemen dari belut terdiri dari daging, kulit, kepala dan jeroan. Belut ditimbang
utuh kemudian dipreparasi dengan membagi menjadi daging, kulit, kepala, dan
jeroan, kemudian ditimbang. Persentasi rendemen belut dapat dilihat pada
Gambar 5.
25
Tulang
14,72 %
Kulit
10,39 %
Daging
55,09 %
Jeroan
9,69 %
Kepala
10,12 %
Gambar 5 Persentasi rendemen belut sawah
Rendemen tertinggi terdapat pada daging belut yaitu 55,09 % dari berat
totalnya. Bagian tubuh belut yang paling banyak dimanfaatkan adalah bagian
dagingnya untuk diolah sebagai lauk sumber protein. Berdasarkan perhitungan
rendemen daging belut di atas, belut memiliki nilai potensi yang baik untuk
dimanfaatkan dagingnya sebagai makanan sumber protein.
Hasil lain yang didapat yaitu rendemen tulang belut. Tulang belut
memiliki rendemen 14,72 % dari berat total tubuhnya. Tulang ikan saat ini banyak
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan gelatin. Gelatin yang terbuat dari
tulang ikan memiliki respon yang baik di pasaran. Produksi gelatin dunia terbesar
berasal dari bahan baku kulit babi. Gelatin yang berasal dari kulit babi ini tidak
menguntungkan bila dipasarkan di negara-negara yang mayoritas penduduknya
muslim, sehingga penggunaan tulang ikan sebagai bahan baku gelatin merupakan
alternatif yang prospektif (Astawan et al. 2002). Tulang belut juga dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan tepung tulang ikan. Tepung tulang
ikan memiliki keunggulan dibandingkan tepung ikan biasa. Tepung tulang ikan
memiliki kandungan mineral seperti kalsium dan fosfor yang tinggi, sehingga
dapat menjadi sumber pemenuhan kebutuhan akan kalsium dan fosfor
(Kaya et al. 2007).
Rendemen kulit belut sebesar 10,39 %. Kulit belut memiliki tektur yang
licin, plastis dan tidak bersisik. Kulit ikan biasa dimanfaatkan sebagai kerupuk
kulit, bahan baku pembuatan gelatin, dan penyamakan kulit ikan. Rendemen
kepala belut sebesar 10,12 %. Kepala belut dapat dimanfaatkan sebagai bahan
baku pembuatan pupuk tanaman. Kepala belut memiliki kandungan protein yang
26
tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai perangsang pertumbuhan tanaman.
Rendemen jeroan belut sebesar 9,69 %. Jeroan banyak dimanfaatkan sebagai
pupuk dan diambil ekstrak enzimnya. Enzim yang dapat diambil dari jeroan ikan
antara lain protease, kolagen dan katepsin.
Berat belut sawah segar mengalami penurunan bobot setelah proses
penggorengan. Penyusutan bobot belut sawah segar setelah digoreng adalah 74 %
dari bobot awal. Penyusutan ini terjadi karena kandungan air menguap dari bahan
dan digantikan oleh minyak (Ketaren 1986). Banyaknya kandungan minyak yang
masuk ke dalam belut adalah 23 ml per 100 gram. Jumlah ini diperoleh dari
pengurangan minyak yang digunakan sebelum penggorengan dan setelah
penggorengan.
4.3 Hasil Analisis Proksimat
Bahan pangan memiliki komposisi gizi tertentu yang menyusunnya. Sifat
komposisi gizi pada bahan pangan perlu diketahui untuk pemanfaatan dan
pengembangan bahan makanan tersebut. Bahan pangan berupa daging, biasa
dikonsumsi dalam bentuk olahan. Bahan baku segar maupun olahan perlu
diketahui kandungan gizinya agar dapat diketahui perubahan kandungan gizi di
dalam bahan tersebut akibat pengolahan. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat
pengolahan dapat menyebabkan perubahan nilai gizi dari suatu bahan baku segar.
Salah satu proses pengolahan belut yang banyak dilakukan adalah
penggorengan. Penggorengan merupakan suatu proses pemanasan bahan pangan
menggunakan medium minyak goreng sebagai pengantar panas. Tujuan proses
penggorengan adalah untuk melakukan pemanasan pada bahan pangan,
pemasakan, dan pengeringan. Menggoreng dengan minyak atau lemak mampu
meningkatkan cita rasa dan tekstur makanan dan jumlah kalori akan meningkat
setelah digoreng. Bahan yang digoreng akan menghasilkan produk yang kering,
renyah, dan tahan lama (Winarno 1999).
Bahan pangan yang digoreng biasanya digoreng menggunakan sistem
deep frying. Proses penggorengan dapat merubah karakter bahan pangan. Lapisan
luar akan berwarna coklat keemasan karena adanya reaksi browning. Komposisi
gizi dari bahan pangan juga berubah karena ada beberapa zat gizi makanan yang
27
tidak tahan panas. Suhu pemanasan saat menggoreng berkisar antara 163-200 oC
(Ketaren 1986).
Salah satu metode yang paling lazim digunakan untuk mengetahui
kandungan gizi suatu bahan adalah analisis proksimat. Analisis proksimat
dilakukan untuk mengetahui kandungna gizi secara kasar (crude) yang meliputi
kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat. Kandungan karbohidrat dihitung
secara by different. Komposisi kimia daging segar dan goreng belut sawah dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi kimia daging segar dan goreng belut sawah
Komposisi
kimia rata-rata (%)
Kadar air
Kadar abu
Kadar protein
Kadar lemak
Kadar karbohidrat
Segar
Basis basah
Basis kering
(%)
(%)
78,90
0
0,33
1,56
15,90
75,32
0,12
0,58
4,75
22,54
Goreng
Basis basah
Basis kering
(%)
(%)
23,47
0
3,15
4,12
55,47
72,48
11,52
15,05
6,39
8,35
Nilai gizi suatu bahan dipengaruhi oleh kadar air. Kandungan kadar air
yang rendah pada bahan pangan akan menyebabkan bahan menjadi lebih padat
sehingga konsentrasi zat gizi akan terlihat lebih besar dibandingkan bahan pangan
yang memiliki kadar air yang lebih tinggi. Nilai kandungan gizi yang sebenarnya
dilakukan dengan pengasumsian perhitungan kandungan gizi tanpa kandungan air
atau kandungan air diabaikan yang disebut basis kering, sehingga dapat terlihat
perbandingan nilai gizi bahan baku segar dan bahan baku setelah digoreng.
4.3.1 Kadar air
Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat
mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Bahan makanan
mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda. Kandungan air dalam bahan
pangan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan itu. Air
dalam bahan makanan biasanya terbagi dua yaitu air imbibisi dan air kristal. Air
imbibisi merupakan air yang masuk ke dalam bahan pangan dan akan
menyebabkan pengembangan volume, tetapi air ini tidak termasuk komponen
penyusun bahan tersebut. Air kristal adalah semua air yang terikat di bahan
pangan maupun nonpangan yang berbentuk kristal (Winarno 2008).
28
Kandungan air dan aktivitas air mempengaruhi perkembangan reaksi
pembusukan secara kimia dan mikrobiologi dalam makanan. Makanan yang
dikeringkan mempunyai kestabilan tinggi pada penyimpanan, biasanya dengan
rentang kadar air antara 5-15 %. Makanan semi basah memiliki kadar air 20-40 %.
Makanan semi basah memiliki aktivitas air 0,5. Berbagai mikroorganisme
mempunyai aw minimum agar dapat tumbuh dengan baik, yaitu bakteri aw 0,9,
khamir aw 0,8-0,9, dan kapang aw 0,6-0,7 (deMan 1997).
Penetapan kandungan air pada belut segar dan belut goreng dilakukan
dengan mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 110 oC sampai beratnya
konstan. Selisih berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air
yang diuapkan (Winarno 2008). Kandungan air dalam belut sawah yang segar
adalah 78,90 % dan belut sawah goreng 23,47 %. Kandungan air belut sawah
segar lebih besar daripada belut sawah goreng. Kadar air pada hewan diikat oleh
protein otot. Kemampuan otot mengikat air disebabkan oleh aktomiosin
komponen utama myofibril (deMan 1997). Kandungan air belut sawah goreng
lebih kecil bila dibandingkan dengan kandungan air belut sawah segar.
Penggorengan dengan suhu 180 oC selama 5 menit menyebabkan 55,43 % kadar
air belut segar menguap. Pemanasan saat penggorengan menyebabkan pori-pori
permukaan bahan terbuka, sehingga air dalam bahan akan menguap. Kekosongan
air pada bahan pangan kemudian digantikan oleh minyak yang berdifusi ke dalam
bahan makanan (Ketaren 1986).
Belut sawah yang digoreng memiliki kadar air 23,47 %. Kadar air tersebut
menandakan bahwa bahan makanan tersebut termasuk dalam golongan makanan
semi basah. Menurut deMan (1997) makanan semi basah memiliki aktivitas air
0,5 dimana bakteri, kamir dan kapang tidak bisa hidup pada jangka waktu tertentu.
Hal ini menunjukkan bahwa belut goreng memiliki waktu simpan lebih lama
daripada belut segar apabila disimpan pada suhu ruang.
4.3.2 Kadar abu
Kandungan mineral pada bahan pangan hewani sekitar 4 % yang dalam
analisis bahan makanan tertinggal sebagai kadar abu, yaitu sisa yang tertinggal
bila suatu sempel bahan makanan dibakar sempurna di dalam suatu tungku. Kadar
abu menggambarkan banyaknya mineral yang tidak terbakar menjadi zat yang
29
menguap (Sediaoetama dan Achmad 2008). Unsur mineral disebut sebagai zat
anorganik. Pembakaran akan menguapkan bahan-bahan organik, tetapi zat organik
tetap utuh (Winarno 2008). Penentuan kadar abu dengan cara tersebut, abu tidak
mengandung nitrogen yang terdapat pada protein, sehingga berbeda dengan
kandungan mineral yang sebenarnya pada bahan. Anion organik menghilang
selama pembakaran, dan logam diubah menjadi oksidanya (deMan 1997).
Mineral di dalam tubuh ada yang bergabung dengan zat organik, dan ada
yang berbentuk ion bebas. Mineral yang bergabung dengan zat organik berasosiasi
dengan bagian daging non lemak misalnya protein. Daging tidak berlemak
biasanya memiliki kandungan mineral yang tinggi (deMan 1997). Daging ikan
memiliki kadar abu berkisar antara 1-2 % dari berat totalnya (Ruiter 1995).
Kadar abu pada belut sawah segar dalam basis kering adalah 1,56 %,
sedangkan kadar abu belut sawah goreng adalah 4,12 %. Kadar abu belut sawah
segar setelah penggorengan naik sebesar 2,56 %. Menurut Ghidurus et al. (2010),
penggorengan tidak mengurangi secara signifikan kandungan mineral bahan
pangan karena beberapa jenis mineral tidak larut di dalam minyak tetapi larut di
dalam air. Mineral bukan merupakan senyawa volatile, sehingga tidak mudah
menguap. Kenaikan kandungan mineral ini dapat disebabkan oleh minyak yang
digunakan saat penggorengan mengandung sejumlah mineral, sehingga mineral
dari minyak terdifusi ke dalam bahan pangan. Minyak yang berasal dari kelapa
sawit memiliki beberapa kandungan mineral seperti Cu, P, dan Fe yang kadarnya
masing-masing 0,0200-0,047 ppm, 0,35-0,89 ppm, dan 0,0157-0,093 ppm.
(Hasibuan dan Nuryanto 2011). Selain mineral di atas, dimungkinkan masih
terdapat beberapa mineral yang terdapat pada minyak goreng yang belum
terdeteksi. Kenaikan jumlah kadar abu setelah penggorengan, hampir dua kali
lipat dibandingkan kadar abu belut sawah segar. Hal ini juga dapat disebabkan
oleh proses penggorengan. Menurut Winarno (2008) bahan yang dipanaskan akan
kehilangan bahan organiknya dan yang tersisa adalah bahan anorganiknya. Proses
penggorengan akan menghilangkan sejumlah bahan organik di dalam bahan
makanan, sehingga secara proporsional akan meningkatkan kadar abu tersebut
karena berat total bahan setelah digoreng lebih ringan dibandingkan bahan yang
30
masih segar. Kandungan abu dan komponennya tergantung pada jenis bahan dan
proses pengabuannya (Sudarmadji dan Suhardi 1989 dalam Jacoeb et al. 2008).
4.3.3 Kadar protein
Protein merupakan makromolekul yang paling berlimpah di dalam sel dan
menyusun lebih dari setengah berat kering pada hampir semua organisme. Protein
terdiri dari 20 asam amino baku, yang molekulnya sendiri tidak memiliki aktivitas
biologi (Lehninger 1982). Protein dibagi menjadi protein struktural dan protein
metabolik. Protein struktural merupakan bagian integral dari struktur sel dan tidak
dapat diekstraksi tanpa menyebabkan disintegrasi sel tersebut. Protein metabolik
ikut serta dalam reaksi-reaksi biokimiawi dan mengalami perubahan bahkan
destruksi atau sintesa protein baru. Protein metabolik dapat diekstraksi tanpa
merusak integritas struktur sel tersebut (Sediaoetama dan Achmad 2008).
Kandungan protein ikan erat kaitannya dengan kandungan lemak dan air.
Ikan yang mengandung lemak rendah rata-rata memiliki protein dalam jumlah
besar (deMan 1997). Kandungan protein ikan umumnya lebih tinggi jika
dibandingkan dengan hewan darat. Kandungan protein ikan cukup tinggi yaitu
8-25 % dan tersusun atas sejumlah asam amino yang berpola mendekati pola
kebutuhan asam amino tubuh. Protein yang terkandung di dalam ikan terdiri dari
tiga jenis yaitu protein myofibril, sarkoplasma, dan kolagen yang masing-masing
sebesar 65-80 %, 15-25 %, dan 1-12 % dari total protein (Ruiter 1995). Daging
ikan mempunyai nilai biologis sebesar 90 %. Nilai biologis adalah nilai
perbandingan antara jumlah protein yang diserap dengan jumlah protein yang
dikeluarkan. Protein ikan mengandung sedikit sekali tendon, sehingga sangat
mudah dicerna. Tendon ini terdiri atas serat-serat pendek myosin, aktin,
aktomyosin, dan tropomiosin (deMan 1997).
Kandungan protein belut sawah segar adalah 15,90 % dan kandungan
protein belut sawah goreng adalah 55,47 % pada berat basah. Kandungan protein
belut sawah goreng lebih tinggi disebabkan kadar air pada belut sawah goreng
lebih rendah dibandingkan belut sawah segar, sehingga secara proposional akan
meningkatkan kadar proteinnya. Semakin rendah kadar air, maka konsentrasi
protein di dalam bahan semakin pekat, sehingga presentasinya akan terlihat lebih
besar. Kandungan protein yang sebenarnya dapat dilihat pada perhitungan basis
31
kering dimana kadar air dianggap tidak ada. Kandungan protein belut sawah segar
basis kering adalah 75,32 % dan belut sawah goreng sebesar 72,48 %. Penurunan
kadar protein belut sawah setelah penggorengan adalah 2,84 %. Penurunan
kandungan protein belut sawah setelah digoreng tidak terlalu tinggi. Penurunan ini
disebabkan oleh suhu penggorengan yang tinggi yaitu 180
o
C. Menurut
deMan (1997), pemanasan bahan makanan dengan suhu 180 oC selama 5 menit
akan mendenaturasi protein sebesar 50 %.
Protein mengalami perubahan selama penggorengan. Proses perubahan
yang terjadi selama penggorengan pada protein adalah deaminasi, interaksi
dengan basa-basa volatil dari aldehid, dan terbentuknya reaksi maillard. Proses
perubahan ini akan mempengaruhi rasa dari produk yang digoreng. Senyawasenyawa yang mempengaruhi rasa dari produk yang digoreng adalah aldehid,
pirazin, dan turunan dari senyawa amina (Ghidurus et al. 2010).
4.3.4 Kadar lemak
Lemak adalah sekelompok ikatan organik yang terdiri atas unsur karbon,
hydrogen dan oksigen yang mempunyai sifat tidak larut dalam air tetapi dapat
diekstrak dengan pelarut nonpolar (Lehninger 1982). Lemak di dalam makanan
yang memegang peranan paling penting disebut lemak netral, atau triglicerida,
yang molekulnya terdiri dari satu molekul gliserol dan tiga molekul asam lemak,
yang diikatkan pada gliserol tersebut dengan ikatan ester. Jaringan lemak di dalam
tubuh dianggap tidak aktif, sehingga tidak ikut di dalam proses-proses
metabolisme
dan
merupakan
simpanan
energi
yang
tidak
terpakai
(Sediaoetama dan Achmad 2008).
Lemak hewani mengandung banyak sterol yang disebut kolesterol. Lemak
hewani ada yang berbentuk padat yang biasanya berasal dari lemak hewan darat.
Lemak hewan laut berbentuk cair dan disebut minyak. Lemak dalam jaringan
hewan terdapat pada jaringan adipose (Winarno 2008). Kandungan lemak setiap
bahan pangan berbeda, bergantung pada asal dari bahan pangan tersebut
(deMan 1997). Lemak daging ikan mengandung asam lemak jenuh dengan
panjang rantai C14-C22 dan asam lemak tidak jenuh dengan jumlah ikatan 1-6.
Meskipun daging ikan memiliki kandungan lemak yang cukup tinggi (0,1-8%),
akan tetapi 25 % dari jumlah tersebut merupakan asam lemak tak jenuh yang
32
sangat
dibutuhkan manusia dan kadar kolesterol yang sangat
rendah
(Ruiter 1995).
Berdasarkan kandungan lemaknya, ikan dikategorikan menjadi tiga yaitu
ikan kurus dengan kandungan lemak lebih dari 2 %, ikan lemak sedang dengan
kandungan lemak antara 2-5 %, dan ikan berlemak dengan kandungan lemak
diatas 5 % (Sun 2006). Belut sawah segar memiliki kandungan lemak pada basis
basah sebesar 0,13 %. Berdasarkan pengelompokan Sun (2006), belut sawah
tergolong kedalam ikan kurus. Kandungan lemak belut sawah segar basis kering
adalah 0,58 % dan kandungan lemak belut sawah goreng basis kering adalah
15,05 %. Proses penggorengan akan meningkatkan kadar lemak pada bahan
pangan dikarenakan minyak goreng merupakan lemak cair yang berfungsi sebagai
penghantar panas dan penambah kalori bahan pangan (Winarno 2008). Selama
proses penggorengan, maka sebagian minyak akan masuk ke dalam bahan pangan
untuk menggantikan kadar air yang menguap akibat panas yang ditimbulkan saat
penggorengan (Ketaren 1986). Kandungan minyak yang masuk ke dalam belut
goreng tersebut adalah 14,47 % yang didapatkan dari selisih lemak setelah
penggorengan dan lemak belut segar.
Lemak mengalami perubahan bentuk selama penggorengn. Proses
perubahan lemak yang terjadi selama proses penggorengan adalah oksidasi,
pengikatan dengan gugus amina dan komponen sulfur, hidrolisis, dan
polimerisasi. Proses perubahan ini akan mempengaruhi rasa dari produk yang
digoreng. Senyawa-senyawa dari lemak yang mempengaruhi rasa dari produk
yang digoreng adalah aldehid, pirol, tiol, dan sulfida (Ghidurus et al. 2010).
Lemak terdiri dari asam lemak yang menyusunnya. Asam lemak dibagi dua
golongan yaitu asam lemak jenuh dan tak jenuh. Asam lemak jenuh bertitik leleh
lebih tinggi dibandingkan asam lemak tak jenuh (deMan 1997). Tingginya
kandungan asam lemak tak jenuh menyebabkan lemak menjadi mudah rusak oleh
proses penggorengan, karena lemak akan dipanaskan dengan suhu tinggi serta
terjadinya kontak dengan oksigen dari udara luar yang memudahkan terjadinya
oksidasi. Umumnya kerusakan oksidasi terjadi pada asam lemak tak jenuh, tetapi
bila dipanaskan pada suhu 100 oC atau lebih, asam lemak jenuh pun dapat
teroksidasi. Proses penggorengan akan merubah ikatan rangkap cis yang
33
terisomerisasi menjadi konfigurasi trans yang secara termodinamik sifatnya lebih
stabil daripada cis. Secara kimiawi, konfigurasi asam lemak tak jenuh trans
mengikat atom hidrogen secara berseberangan (opposite), sedangkan bentuk cis
sebaliknya (Sartika 2009). Ikatan trigliserol pada lemak akan terputus selama
proses penggorengan dan membentuk di- dan monoasilgliserol, gliserol, dan asam
lemak bebas. Hidrolisis lemak, lebih reaktif pada lemak dengan asam lemak tak
jenuh rantai pendek dibandingkan dengan asam lemak jenuh rantai panjang
dikarenakan asam lemak tak jenuh rantai pendek lebih mudah terpecah oleh air
dibandingkan asam lemak jenuh rantai panjang. Air dari bahan makanan akan
mudah diikat pada asam lemak rantai pendek (Choe dan Min 2007).
4.3.5 Kadar karbohidrat
Karbohidrat memegang peranan penting sebagai sumber energi utama bagi
manusia dan hewan. Karbohidrat terdiri dari gula sederhana yang mudah larut
dalam air dan mudah diangkut ke seluruh sel-sel guna penyedian energi
(Almatsier 2006). Karbohidrat memiliki peranan penting dalam menentukan
karakteristik bahan makanan misalnya rasa, warna, dan tekstur. Karbohidrat di
dalam tubuh manusia dapat dibentuk dari beberapa asam amino dan sebagian
gliserol lemak (Winarno 2008).
Karbohidrat dalam daging ikan merupakan polisakarida yaitu glikogen.
Glikogen terdapat di dalam sarkoplasma di antara myofibril, dan terkadang
membentuk senyawa komplek dengan protein myosin dan miogen. Glikogen
dalam daging bersifat tidak stabil, mudah berubah menjadi asam laktat melalui
proses glikolisis (deMan 1997).
Hasil perhitungan by difference pada belut sawah segar dalam basis kering
didapatkan kandungan karbohidrat sebesar 22,54 % sedangkan belut sawah
goreng memiliki kandungan karbohidrat sebesar 8,35 %. Kandungan karbohidrat
pada belut sawah segar cukup tinggo dikarenakan masih ada kandungan lain
selain karbohidrat karena tidak dilakukan pengujian khusus.
Karbohidrat mengalami perubahan bentuk selama penggorengan. Proses
perubahan karbohidrat yang terjadi selama proses penggorengan adalah pirolisis
(karamelisasi), reaksi Maillard, dan dekomposisi karbohidrat. Proses perubahan
ini akan mempengaruhi rasa dari produk yang digoreng. Senyawa-senyawa dari
34
karbohidrat yang mempengaruhi rasa dari produk yang digoreng adalah turunan
furan dan pirol (Ghidurus et al. 2010). Proses pirolisis atau karamelisasi adalah
proses yang terjadi ketika gula sukrosa dipanaskan terus menerus hingga
kandungan airnya hilang sehingga membentuk karamel sukrosa. Titik lebur
sukrosa adalah 160 oC. Reaksi Maillard adalah reaksi terjadi antara gula pereduksi
dan amina primer ketika dipanaskan (Winarno 2008).
4.4 Komposisi Asam Amino
Kualitas suatu protein dapat dinilai dari perbandingan asam-asam amino
yang menyusun protein tersebut. Terdapat dua jenis asam amino yang menyusun
protein yaitu asam amino esensial dan asam amino non esensial. Asam amino
esensial merupakan asam amino yang tidak dapat disintesis oleh tubuh yaitu
leusin, isoleusin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan, lisin, dan valin. Asam
amino nonesensial adalah asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh. Asam
amino jenis ini adalah alanin, asparagin, asam aspartat, sistin, asam glutamat,
glutamin,
glisin,
hidroksi
prolin,
prolin,
serin,
dan
tirosin
(Suryaningrum et al. 2010). Kandungan asam amino pada masing-masing spesies
memiliki proses fisiologis yang berbeda. Perbedaan kandungan asam amino ini
juga dapat disebabkan oleh umur, musim penangkapan serta tahapan dalam daur
hidup organisme (Litaay 2005).
Asam amino dikelompokan berdasarkan sifat kimia rantai sampingnya
yang dapat bersifat polar dan nonpolar. Kandungan bagian asam amino polar yang
tinggi dalam protein meningkatkan kelarutannya dalam air. Asam amino yang
yang disambungkan dengan ikatan peptida membentuk struktur ikatan primer
protein. Susunan asam amino menentukan sifat struktur sekunder dan tersier.
Jumlah asam amino esensial yang terdapat dalam protein menentukan kualitas gizi
protein (deMan 1997). Komposisi asam amino belut sawah segar dan goreng pada
Tabel 3, dan grafik perbandingan asam amino belut sawah segar dan goreng dapat
dilihat pada Gambar 6.
35
Tabel 3 Komposisi asam amino belut sawah dalam basis kering
Hasil (g/100g)
Belut
Belut
Kehilangan
Clarias
Kebutuhan
Jenis asam amino
sawah
sawah
asam amino
gariepinus (g/100g)***
segar
goreng
segar**
Asam aspartat
7,39
5,39
2,00
6,20
~
Asam glutamat
12,89
9,06
3,83
9,12
~
Serin
3,22
2,34
0,88
2,30
~
Histidin*
1,54
1,18
0,36
1,60
1,9
Glisin
3,90
2,43
1,47
3,00
~
Treonin*
3,12
2,35
0,77
2,59
2,8
Arginin
5,02
3,53
1,49
3,86
~
Alanin
4,82
3,29
1,53
3,70
~
Tirosin*
2,55
1,90
0,65
2,30
2,2
Methionin*
2,22
1,62
0,60
1,43
2,2
Valin*
3,34
2,29
1,05
3,24
2,5
Fenilalanin*
3,88
2,01
1,87
2,79
2,2
I-leusin*
3,27
2,28
0,99
2,63
2,8
Leusin*
5,99
4,12
1,87
5,22
4,4
Lisin*
7,13
4,91
2,22
6,12
4,4
Keterangan: *
asam amino esensial
** Rosa et al. (2007)
*** FAO/WHO (1985) diacu dalam Almatsier (2006)
14
12
10
8
g/
100g 6
4
2
0
Asam amino
Gambar 6 Grafik asam amino belut segar
dan belut goreng
basis kering.
Hasil analisis asam amino belut sawah segar dan goreng didapatkan 15
asam amino yang terdiri atas 9 asam amino esensial dan 6 asam amino non
esensial. Asam amino esensial yang terdapat pada belut sawah segar adalah
histidin, treonin, tirosin, metionin, valin, fenilalanin, I-leusin, leusin, dan lisin.
Asam amino nonesensial belut sawah adalah asam aspartat, asam glutamat, serin,
glisin, arginin, dan alanin. Asam amino esensial yang tidak terdapat pada belut
36
sawah adalah sistin dan triptofan. Kehilangan dua asam amino ini tidak terlalu
berpengaruh terhadap gizi di dalam tubuh bila mengkonsumsi makanan yang
mengandung asam amino tadi. Hal tersebut dijelaskan oleh Almatsier (2006)
bahwa jika dua protein yang memiliki jenis asam amino yang berbeda dikonsumsi
bersama-sama, maka kekurangan asam amino dari suatu protein dapat ditutupi
oleh asam amino sejenis yang berlebihan pada protein lain. Dua protein tersebut
saling mendukung sehingga mutu gizi menjadi lebih tinggi.
Asam amino esensial dan nonesensial belut sawah segar lebih tinggi
dibandingkan
belut sawah setelah proses penggorengan (Gambar 3). Proses
penggorengan dengan suhu 180 oC dapat merusak asam amino yang terkandung
dalam bahan pangan. Kandungan asam amino yang hilang pada belut sawah
setelah penggorengan bervariasi antara 22-48 % dari berat awal asam amino pada
belut sawah segar. Hal ini dapat disebabkan oleh ketahanan masing-masing asam
amino terhadap suhu tinggi. Menurut penelitian Ito et al. (2009), asam amino akan
mengalami kerusakan apabila dipanaskan lebih dari 100 oC, akan tetapi bila
dipanaskan dalam larutan alkali, maka kestabilan asam amino dapat dinaikkan
sampai suhu 200 oC. Proses penggorengan akan menyebabkan terjadinya reaksi
Maillard. Reaksi Maillard adalah reaksi yang terbentuk antara gula pereduksi dan
gugus asam amino yang menyebabkan warna coklat pada bahan makanan yang
digoreng (Winarno 2008). Kandungan asam amino di dalam belut sawah yang
digoreng sebagian diubah menjadi pigmen melanoid, sehingga jumlahnya di
dalam bahan pangan menjadi berkurang. Jenis asam amino yang paling banyak
berkurang setelah penggorengan adalah asam glutamat dan lisin. Asam amino
yang paling berperan dalam pembentukan reaksi Maillard adalah lisin dan asam
glutamate karena asam amino ini merupakan asam amino yang paling reaktif dan
merupakan gugus amino bebas. Kecepatan dan pola reaksi dipengaruhi oleh sifat
asam amino atau protein yang bereaksi dan sifat karbohidrat. Hal ini berarti bahwa
setiap jenis makanan dapat menunjukkan pola pencoklatan yang berbeda. Faktor
lain yang mempengaruhi reaksi pencoklatan adalah suhu, pH, kandungan air,
oksigen, logam, fosfat, belerang oksida, dan inhibitor lainnya. Kandungan asam
amino yang menurun setelah proses penggorengan juga disebabkan beberapa
37
asam amino dapat teroksidasi oleh radikal bebas yang terbentuk karena oksidasi
lipid (deMan 1997).
Penelitian ini menggunakan ikan lele segar sebagai pembanding
kandungan asam amino belut sawah segar. Ikan lele memiliki beberapa kesamaan
dengan belut sawah diantaranya adalah hidup di perairan tawar berlumpur,
memiliki kulit yang plastik, licin dan tanpa sisik, dan merupakan ikan karnivora.
Berdasarkan hasil analisis asam amino esensial yang paling tinggi pada belut
sawah segar dan goreng adalah lisin. Kandungan asam amino lisin yang terdapat
pada belut sawah segar adalah 7,13 g/100g dan belut sawah goreng adalah
4,91 g/100g. Ikan lele segar juga memiliki kandungan asam amino esensial
tertinggi yaitu lisin dengan jumlah 6,12 g/100g (Rosa et al. 2007). Lisin
merupakan asam amino esensial yang sangat dibutuhkan sebagai bahan dasar
antibodi darah, memperkuat sistem sirkulasi, dan mempertahankan pertumbuhan
sel-sel normal. Lisin bersama prolin dan vitamin C akan membentuk jaringan
kolagen dan menurunkan kadar trigliserida darah yang berlebih. Kekurangan lisin
menyebabkan
mudah
lelah,
sulit
konsentrasi,
rambut
rontok,
anemia,
pertumbuhan terhambat, dan kelainan reproduksi (Suryaningrum et al. 2010).
Kandungan asam amino non esensial yang paling besar pada belut sawah
segar dan goreng adalah asam glutamat yaitu 12,89 g/100g pada belut sawah segar
dan 9,06 g/100g pada belut sawah goreng. Ikan lele segar juga memiliki
kandungan asam amino non esensial tertinggi yaitu asam glutamat yang berjumlah
9,12 g/100g (Rosa et al. 2007). Hal ini dapat disebabkan oleh asam amino
glutamin
yang
mengalami
deaminasi
membentuk
asam
glutamat
(Murray et al. 2003). Asam glutamat merupakan salah satu sumber rasa umami
(gurih) yang dominan pada bahan pangan, yang merupakan rasa dasar kelima
disamping rasa manis, asin, asam dan pahit (Suryaningrum et al. 2010).
Bahan pangan yang mengandung protein memiliki asam amino pembatas.
Asam amino pembatas adalah asam amino yang jumlahnya paling sedikit di dalam
bahan pangan. Asam amino pembatas pada belut sawah segar dan goreng adalah
histidin dengan nilai masing-masing 1,54 g/100g dan 1,18 g/100g. Asam amino
histidin juga merupakan asam amino pembatas pada asam amino essensial belut
sawah baik segar maupun goreng. Asam amino nonesensial pembatas pada belut
38
sawah segar dan goreng adalah serin dengan kandungan masing-masing
3,22 g/100g dan 2,34 g/100g. Asam amino pembatas pada ikan lele segar adalah
methionin dengan jumlah 1,43 g/100g. Asam amino metionin juga merupakan
asam amino pembatas pada asam amino essensial ikan lele segar. Asam amino
nonesensial pembatas pada ikan lele segar adalah serin dengan jumlah
2,30 g/100g (Rosa et al. 2007).
Beberapa kebutuhan asam amino esensial yang diperlukan oleh anak
sekolah
usia
10-12
tahun
menurut
FAO/WHO
(1985)
diacu
dalam
Almatsier (2006) yang terdapat pada Tabel 3 menunjukkan bahwa asupan asam
amino esensial yang berasal dari belut sawah dapat kurang dapat mencukupi
kebutuhan asam amino esensial baik dalam bentuk goreng. Proses penggorengan
menyebabkan belut sawah kehilangan asam amino yang cukup besar yaitu
berkisar 30% dari asam amino awal, sehingga untuk pemasakan belut goreng
lebih baik menggunakan suhu yang lebih rendah. Karakteristik belut sawah
setelah digoreng yaitu renyah dan agak kering. Oleh karena itu, disarankan untuk
tidak melakukan proses penggorengan ikan yang menghasilkan tekstur yang
terlalu renyah dan kering apabila ingin mendapatkan manfaat dari kandungan
asam amino dari ikan belut sawah.
Hampir semua asam amino mempunyai fungsi khusus. Triptofan adalah
prekursor vitamin niasin dan pengantar saraf serotonin. Metionin memberikan
gugus metal guna sintesis kolin dan kreatinin. Metionin juga merupakan prekursor
sistein dan ikatan yang mengandung sulfur lainnya. Fenilalanin adalah prekursor
tirosin dan bersama-sama membentuk hormon-hormon tiroksin dan epinefrin.
Tirosin merupakan prekursor bahan yang membentuk pigmen kulit dan rambut.
Arginin dan sentrulin terlibat dalam sintesis ureum dalam hati. Glisin mengikat
bahan-bahan toksik dan mengubahnya menjadi bahan yang tidak berbahaya.
Glisin juga digunakan dalam sintesis porfirin nukleus hemoglobin dan merupakan
bagian dari asam empedu. Histidin diperlukan untuk sintesis histamin. Kreatinin
yang disintesis dari arginin, glisin, dan metionin bersama fosfat membentuk
kreatinin fosfat, suatu simpanan penting fosfat berenergi tinggi didalam sel.
Glutamin yang dibentuk dari asam glutamat dan asparagin dari aspartat
39
merupakan simpanan asam amino di dalam tubuh. Asam glutamat juga merupakan
prekursor pengantar saraf gamma amino-asam butirat (Almatsier 2006).
4.5 Komposisi Mineral
Bahan makanan mengandung 96 % bahan organik dan air, dan sisanya
terdiri dari unsur-unsur mineral, yang didalam bahan pangan tertinggal sebagai
kadar abu, yaitu sisa yang tertinggal bila suatu sampel bahan makanan dibakar
sempurna didalam suatu tungku (Sediaoetama 2010). Bahan mineral dapat berupa
garam anorganik atau organik, atau gabungan dari keduanya seperti fosfoprotein
dan logam yang digabung dengan enzim. Mineral dikelompokkan menjadi dua
golongan, komponen mineral makro (garam utama) dan mineral mikro (sesepora).
Komponen mineral makro mencakup kalium, natrium, kalsium, fosfat,
magnesium, klorida, sulfat, dan bikarbonat. Mineral mikro mencakup Fe, Cu, I,
Co, Mn, Zn. Unsur ini biasanya ditemukan dalam jumlah kurang dari 50 ppm di
dalam tubuh (deMan 1997). Kandungan mineral di dalam setiap bahan makanan
berbeda-beda bergantung kepada jenis dan kondisi hidupnya. Kandungan
beberapa jenis mineral belut sawah segar dan goreng dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Kandungan beberapa jenis mineral belut sawah segar dan goreng
Mineral
Makro
Ca
Mg
Na
K
Mikro
Zn
Fe
Cu
Daging
belut
sawah
segar
Daging
belut
sawah
goreng
542,25
446,28
148,27
82,57
2.745,69
347,96
8.049,45 5.025,08
99,79
75,09
1,92
Hasil (mg/kg)
Clarias
Kehilangan gariepinus
mineral
segar*
Clarias
gariepinus
goreng*
Kehilangan
mineral
95,98
65,70
2.397,73
3.924,37
121,00
420,00
-
37,00
232,00
-
84,00
188,00
-
18,37
36,92
0,38
22,00
12,20
-
14,00
8,00
-
8,00
4,20
81,41
38,17
2,30
Keterangan: * Salawu et al. (2005)
Kandungan mineral yang diteliti pada belut sawah segar dan goreng adalah
mineral makro yaitu Ca, Mg, Na, dan K, sedangkan mineral mikro adalah Zn, Fe,
dan Cu. Kandungan mineral makro paling tinggi pada belut sawah dan goreng
adalah Kalium, yang masing-masing 8.949,45 mg/kg dan 5.025,28 mg/kg.
40
Kandungan kalium tinggi di dalam bahan makanan karena mineral ini terdapat
didalam jaringan otot dan setiap cairan intrasel (deMan 1997). Bersama natrium,
kalium memegang peranan penting dalam pemeliharaan keseimbangan cairan dan
elektrolit serta keseimbangan asam-basa. Kalium juga berfungsi sebagai
katalisator dalam banyak reaksi biologis, terutama dalam metabolisme energi,
pertumbuhan sel, dan sintesis glikogen dan protein (Almatsier 2006). Kalium
mudah diserap oleh tubuh, diperkirakan 90 % dari yang dicerna akan diserap di
dalam usus halus. Kalium mempunyai fungsi yang hampir sama dengan natrium
dan terkadang saling mendukung dalam melakukan fungsinya di dalam tubuh
sehingga kandungan natrium di dalam tubuh juga tinggi (Winarno 2008).
Kandungan kalium yang tinggi pada belut dapat mencegah hipokalemia.
Hipokalemia adalah gejala kekurangan kalium pada tubuh yang ditandai badan
yang
lemah,
kelelahan
otot,
tidak
nafsu
makan,
dan
muntah
(Widjajanti dan Agustini 2005).
Kandungan natrium di dalam tubuh sekitar setengah dari kandungan
kalium. Penyerapan natrium di dalam tubuh juga tinggi yaitu berkisar antara 95 %
(Winarno 2008). Fungsi kalium dan natrium di dalam tubuh yang sangat besar dan
daya serapnya yang tinggi di dalam pencernaan menyebabkan kandungannya di
dalam tubuh juga tinggi. Kandungan natrium di dalam belut sawah segar berada
di urutan kedua terbesar setelah kalium yaitu 2.745,69 mg/kg. Menurut Winarno
(2008), kebutuhan kalium perhari adalah 2-6 gram perhari dan natrium 2,5-3 gram
perhari. Berdasarkan kandungan kalium dan natrium di dalam belut sawah segar
dan goreng, untuk mencukupi kebutuhan kalium dan natrium tubuh, memerlukan
500 g sampai 1.000 g per hari belut untuk dikonsumsi.
Kandungan mineral makro lain yaitu kalsium yang terdapat pada belut
sawah segar yaitu 542,25 mg/kg dan belut sawah goreng adalah 446,28 mg/kg.
Kandungan mineral kalsium pada belut sawah segar lebih tinggi bila
dibandingkan dengan ikan lele baik segar maupun goreng yang masing-masing
bernilai 121 mg/kg dan 37 mg/kg. Menurut Salawu et al. (2005) kalsium pada lele
setelah proses penggorengan turun sebesar 84,00 mg/kg dari jumlah kalsium awal,
sedangkan pada penelitian ini belut setelah digoreng kehilangan 95,98 mg/kg dari
jumlah kalsium awal. Menurut Osaki et al. (2003) minyak kelapa sawit
41
mengandung mineral kalsium di dalamnya. Dimungkinkan minyak goreng
mempengaruhi kandungan kalsium pada makanan yang digoreng. Kalsium yang
berada di dalam jaringan tubuh berperan dalam transmisi impuls saraf, kontraksi
otot, penggumpalan darah, pengaturan permeabilitas membran sel, serta keaktifan
enzim. Kebutuhan kalsium di dalam tubuh adalah 800-1.000 mg/hari, dan daya
serapnya berkisar antara 10-40 % pada orang dewasa (Winarno 2008).
Berdasarkan kandungan kalsium di dalam belut sawah segar dan goreng, untuk
mencukupi kebutuhan kalsium tubuh, memerlukan 1.000 g/hari belut untuk
dikonsumsi. Kandungan kalsium dapat ditambah dengan memberikan asupan gizi
dari makanan lain yang mengandung kalsium tinggi misalnya susu.
Kandungan mineral makro paling kecil yang diteliti adalah Mg yaitu
148,27 mg/kg pada belut sawah segar dan 82,57 mg/kg pada belut sawah goreng.
Kandungan magnesium pada belut sawah lebih kecil dibandingkan dengan lele
pada penelitian Salawu et al. (2005). Penurunan kandungan magnesium pada
belut dan lele setelah digoreng masing-masing adalah 65,70 mg/kg dan
188 mg/kg. Magnesium memegang peranan penting dalam lebih dari tiga ratus
jenis sistem enzim di dalam tubuh. Magnesium bertindak di dalam reaksi biologis
termasuk reaksi yang berkaitan dengan metabolisme energi, karbohidrat, lemak,
protein, dan asam nukleat. Peran magnesium di dalam cairan ekstraseluler yaitu
dalam transmisi saraf, kontraksi otot, dan pembekuan darah. Kecukupan
magnesium untuk orang dewasa yaitu 250-280 mg/hari, sedangkan daya serapnya
di dalam tubuh 30-60 % (Almatsier 2006). Berdasarkan kandungan magnesium di
dalam belut sawah segar dan goreng, untuk mencukupi kebutuhan magnesium
tubuh, memerlukan 1.000-1.500 g belut perhari untuk dikonsumsi.
Kandungan mineral mikro yang paling tinggi pada belut sawah segar dan
goreng adalah seng, dengan nilai masing-masing 99,79 mg/kg dan 81,41 mg/kg.
Kandungan seng pada belut sawah lebih tinggi bila dibandingkan dengan ikan lele
(Salawu et al. 2005). Penurunan kadar seng setelah penggorengan pada belut
sawah lebih besar bila dibandingkan dengan lele yaitu 18,37 mg/kg pada belut
sawah dan 8,00 mg/kg pada lele. Seng memiliki fungsi sebagai bagian dari enzim
atau kofaktor pada kegiatan lebih dari 200 enzim, berkaitan dengan sintesis dan
degradasi karbohidrat, protein, lipid, dan asam nukleat (Almatsier 2006). Seng
42
dalam daging terikat kuat pada myofibril dan diduga mempengaruhi daya ikat airdaging
(deMan
1997).
Kecukupan
seng
untuk
orang
dewasa
adalah
5,5-12 mg/hari (Winarno 2008). Berdasarkan kandungan seng di dalam belut
segar dan goreng, untuk mencukupi kebutuhan seng tubuh, memerlukan
100-170 g belut perhari untuk dikonsumsi. Seng ditemukan hampir diseluruh
jaringan hewan. Seng lebih banyak terakumulasi di dalam tulang dibanding dalam
hati yang merupakan organ utama penyimpan mineral mikro. Jumlah terbanyak
terdapat dalam jaringan epidermal dan sedikit dalam tulang, otot, darah, dan
enzim (Arifin 2008).
Kandungan mineral mikro lain yang terdapat pada belut sawah segar dan
goreng adalah besi (Fe), dengan nilai masing-masing adalah 75,09 mg/kg dan
38,17 mg/kg. Kandungan mineral besi pada belut sawah lebih besar dibandingkan
dengan ikan lele pada penelitian Salawu et al. (2005). Pengurangan jumlah besi
pada belut sawah yaitu 36,92 mg/kg dan ikan lele yang digoreng yaitu
4,20 mg/kg. Kandungan besi dalam tubuh hewan bervariasi bergantung pada
status kesehatan, nutrisi, umur, jenis kelamin, dan spesies. Besi di dalam tubuh
berasal dari tiga sumber yaitu perusakan sel darah merah, penyimpanan dalam
tubuh, dan pencernaan (Arifin 2008). Besi memiliki beberapa fungsi esensial
tubuh yaitu sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh, alat
angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di
dalam jaringan tubuh. Kebutuhan tubuh akan besi adalah 10-26 mg/hari,
sedangkan daya penyerapan besi oleh tubuh adalah 5-15 % (Almatsier 2006).
Berdasarkan kandungan besi di dalam belut segar dan goreng, untuk mencukupi
kebutuhan besi tubuh, memerlukan 1.000 g belut perhari untuk dikonsumsi.
Kandungan mineral paling rendah pada belut sawah segar dan goreng yang
diteliti adalah tembaga (Cu), dengan nilai masing-masing 1,92 mg/kg dan 2,30
mg/kg. Tembaga berperan dalam beberapa kegiatan enzim pernafasan, sebagai
kofaktor bagi enzim tirosinase, dan sitokrom oksidase. Tembaga juga diperlukan
dalam proses pertumbuhan sel-sel darah merah yang masih muda (Winarno 2008)
jumlah tembaga yang aman untuk dikonsumsi adalah 1,5-3 mg/hari, sedangkan
daya serapnya 35-70 %. Berdasarkan kandungan tembaga di dalam belut segar
43
dan goreng, untuk mencukupi kebutuhan tembaga tubuh, memerlukan 1.000 g
belut perhari untuk dikonsumsi.
Kandungan mineral belut sawah setelah dilakukan proses penggorengan
akan berubah. Ada mineral yang berkurang setelah penggorengan dan ada pula
yang mengalami peningkatan. Mineral yang mengalami penurunan jumlah setelah
penggorengan adalah kalsium (Ca) 95,98 mg/kg, magnesium (Mg) 65,70 mg/kg,
natrium (Na) 2.397,73 mg/kg, kalium (K) 3.924,37 mg/kg, seng (Zn)
18,37 mg/kg, dan besi (Fe) 36,92 mg/kg. Mineral yang mengalami penurunan
paling tinggi setelah penggorengan adalah natrium. Natrium terutama terdapat
dalam cairan ekstraseluler bersama-sama dengan klorida dan bikarbonat. Jika
cairan di dalam daging hilang, maka unsur utama yang hilang adalah natrium
(deMan 1997). Selama proses penggorengan, sebagian besar air akan menguap
karena panas dan digantikan oleh minyak, sehingga mineral natrium juga sebagian
menguap bersama air. Kalium, magnesium, dan kalsium berada di dalam cairan
ekstraseluler dan intraseluler bersama dengan natrium, sehingga kandungannya
juga berkurang akibat pemanasan (deMan 1997). Mineral besi bersifat kurang
stabil, dan mudah berubah menjadi ferro dan ferri (Arifin 2008). Perubahan ini
kemungkinan akan mengurangi kandungan besi di dalam belut sawah setelah
digoreng, selain faktor pemanasan yang juga merusak kandungan besi di dalam
bahan makanan. Mineral seng juga mengalami penurunan kandungan setelah
proses penggorengan, akan tetapi jumlahnya tidak terlalu tinggi bila dibandingkan
mineral lain. Hal ini dimungkinkan karena seng lebih stabil terhadap panas
dibandingkan mineral lain.
Mineral yang mengalami peningkatan kadar pada belut sawah setelah
digoreng adalah tembaga yaitu sebesar 0,38 mg/kg. Peningkatan kandungan
tembaga pada belut sawah goreng adalah sebesar 19,81 %. Hal ini dapat
disebabkan oleh minyak yang digunakan mengandung sejumlah mineral tembaga
yang dapat meningkatkan kandungan tembaga dalam belut goreng. Minyak yang
berasal dari kelapa sawit memiliki beberapa kandungan mineral seperti Cu, P, dan
Fe yang kadarnya masing-masing 0,0200-0,047 ppm, 0,35-0,89 ppm, dan 0,01570,093 ppm. Sedangkan kadar Fe dan P belum dicantumkan dalam standar tersebut
(Hasibuan et al. 2011).
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Rendemen belut sawah (Monopterus albus) terdiri dari kepala, daging,
kulit, dan jeroan. Rendemen daging belut sebesar 55,08 %. Proses penggorengan
merubah komposisi gizi belut sawah. Komposisi gizi yang mengalami penurunan
jumlah didalam daging belut sawah setelah penggorengan adalah kadar air sebesar
55,43 %, kadar protein 2,56 %, dan kadar karbohidrat 14,19 % sedangkan
komposisi gizi yang mengalami kenaikan setelah penggorengan adalah kadar
lemak sebesar 14,47 % dan kadar abu 2,56 %.
Asam amino esensial yang terdapat pada belut sawah segar adalah
histidine, threonine, tyrosine, methionin, valin, phenilalanin, I-leucine, leucine,
dan lysine sedangkan asam amino nonesensial adalah asam aspartat, asam
glutamate, serin, glysin, arginin, dan alanin. Komposisi asam amino pada belut
goreng secara keseluruhan mengalami penurunan. Asam amino esensial terbanyak
adalah lisin dengan penurunan sebesar 2,22 g/100g. Asam amino nonesensial
terbanyak adalah asam glutamat dengan penurunan sebesar 3,83 g/100g. Asam
amino pembatas pada belut sawah segar dan goreng adalah histidin yang
jumlahnya masing-masing 1,54 g/100g dan 1,18 g/100g.
Kandungan mineral yang diteliti pada belut sawah segar dan goreng adalah
mineral makro yaitu Ca, Mg, Na, dan K, sedangkan mineral mikro adalah Zn, Fe,
dan Cu. Mineral yang mengalami penurunan jumlah setelah penggorengan adalah
kalsium 95,98 mg/kg, magnesium 65,70 mg/kg, natrium 2.397,73 mg/kg, kalium
3.024,37 mg/kg, seng 18,37 mg/kg, dan besi 36,92 mg/kg. Mineral tembaga
mengalami kenaikan sebesar 0,38 mg/kg.
5.2 Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah penggunaan berbagai teknik
pemasakan yang berbeda seperti pengukusan dan presto untuk mendapatkan
teknik pemasakan yang paling efisien agar pemanfaatan gizi belut optimal saat
dikonsumsi. Selain itu dapat digunakan suhu yang berbeda untuk mengetahui
jumlah kandungan gizi yang rusak tiap kenaikan suhu tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
[AOAC] Association of Official Analytical Chemyst. 2005. Official Method of
Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington,
Virginia, USA: Association of Official Analytical Chemist, Inc.
Arifin Z. 2008. Beberapa unsur mineral esensial mikro dalam sistem biologi dan
metode analisisnya. Jurnal Litbang Pertanian. Vol 27 (3) : 99-105.
Astawan M, Hariyadi P, Mulyani A. 2002. Analisis reologi gelatin dari kulit ikan
cucut. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Vol 13 (1): 38-46.
Bahri F. 2000. Studi mengenai aspek biologi ikan belut sawah (Monopterus albus)
di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Budiyanto MAK. 2002. Dasar-Dasar
Muhammadiyah Malang.
Ilmu
Gizi.
Malang:
Universitas
Cahyady B. 2009. Studi tentang kesensitifan spektrofotometer serapan atom
(SSA) teknik vapour hydride generation accessories (VGHA) dibandingkan
dengan SSA nyala pada analisa unsure arsen (As) yang terdapat dalam air
minum. [Tesis]. Medan: Universitas Sumatra Utara.
Choe E, Min DB. 2007. Chemistry of deep fat frying oils. Journal of Food
Science. Vol 72 (5): 77-86.
deMan JM. 1997. Kimia Makanan. Penerjemah: Kosasih P. Bandung: ITB.
[DGKM] Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat. 2009. Gizi dan Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: Rajawali Press.
Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Bogor: Yayasan Pustaka Nusatama.
Ghidurus M, Turtoi M, Boskou G, Niculita P, Stan V. 2010. Nutritional and
health aspects related to frying. Romanian Biotechnological Letters. Vol 15
(6): 5675-5682.
Hasibuan HA, Nuryanto E. 2011. Kajian kandungan P, Fe, Cu dan Ni pada
minyak sawit, minyak inti sawit dan minyak kelapa selama proses rafinasi.
Jurnal Standardisasi. Vol 13 (1): 67-71.
Ito M, Yamaoka K, Masuda H, Kawahata H, Gupta L. 2009. Thermal stability of
amino acid in biogenic sediments and aqueous solutions at seafloor
hydrothermal temperatures. Geochemical Journal. Vol 43: 331-341
46
Irianto DP. 2006. Panduan Gizi Lengkap Keluarga dan Olahraga. Yogyakarta:
Andi
Jacoeb AM, Hamdani M, Nurjanah. 2008. Perubahan komposisi kimia dan
vitamin daging udang ronggeng (Harpiosquilla raphidea) akibat perebusan.
Buletin Teknologi Hasil Perikanan. Vol 11 (2): 76-89.
Kartasapoetra G, Marsetyo H. 2008. Ilmu Gizi (Korelasi Gizi, Kesehatan, dan
Produktivitas Kerja. Jakarta: Rineka Cipta.
Kaya AOW, Santoso J, Salamah E. 2007. Pemanfaatan tepung tulang ikan patin
Pangasius sp sebagai sumber kalsium dan fosfor dalam pembuatan biskuit.
Ichthyos. Vol 7 (1): 9-14.
Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI
Press.
Lehninger A. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Penerjemah: Maggy T. Jakarta:
Erlangga.
Litaay M. 2005. Peranan nutrisi dalam siklus reproduksi abalone. Oseana.
Vol 3:1-7.
Murray KK. Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Biokimia Harper.
Jakarta: Buku kedokteran EGC.
Nurhamidah. 2005. Penentuan kondisi optimum HPLC untuk pemisahan residu
pestisida imidakloprid, profenofos dan deltametrin pada cabai
(Capsicumannum). Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Vol 7 (2): 87-93.
Osaki M, Watanabe T, Ishizawa T, Nilnod C, Nuyim T, Shinano T, Urayama M,
Tuah SJ. 2003. Nutritional characteristics of the leaves of native plants
growing in adverse soils of humid tropical lowlands. Plants Foods for
Human Nutrition. Vol 58 (2): 93-115.
Putra EDL. 2004. Kromatografi cair kinerja tinggi dalam bidang farmasi.
[Makalah]. Fakultas Ilmu pengetahuan Alam. Universitas Sumatra Utara.
Rosa R, Bandarra NM, Nunes ML. 2007. Nutritional quality of African catfish
Clarias gariepinus (Burchell 1822): a positive criterion for the future
development of the Europian production of Siluroidei. International Journal
of Food Science and Technology. Vol 42: 342-351.
Roy R. 2009. Budi Daya dan Bisnis Belut. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Ruiter A. 1995. Fish and Fishery Product: Composition, Nutritive, Properties,
and Stability. Wllingford: CABI.
Saanin H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan I. Jakarta: Binacipta.
47
Salawu SO, Adu OC, Akindahunsi AA. 2005. Nutritive value of fresh and
brackish water catfish as a function of size and processing methods. Eur
Food Res Technol. Vol 220: 531-534.
Sartika RAY. 2009. Pengaruh suhu dan lama proses menggoreng (Deep Frying)
terhadap pembentukan asam lemak trans. Makara Sains. Vol (13) 1: 23-28.
Sarwono B.2003. Budi Daya Belut dan Sidat. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.
Sediaoetama, Achmad Djaeni. 2008. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi di
Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat
Sitompul S. 2004. Analisis asam amino tepung ikan dan bungkil kedelai. Buletin
Teknik Pertanian. Vol 9 (1): 33-37.
Subagio A, Windrati WS, Fauzi M, Witono Y. 2004. Karakteristik protein
myofibril dari ikan kuniran (Upeneus moluccensis) dan ikan mata besar
(Selar crumenophthalmus). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Vol 12
(1): 70-78.
Sun DW. 2006. Thermal Food Processing: New Technologies and Quality Issues.
Boca Rason: CRC Press Taylor and Francis Group.
Suryaningrum TD, Muljanah I, Tahapari E. 2010. Profil sensori dan nilai gizi
beberapa jenis ikan patin dan hybrid nasutus. Jurnal Pascapanen dan
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Vol 5 (2): 153-164.
Sutarsi, Rahardjo B, Hasuti P. 2009. Difusivitas air pada wortel selama
penggorengan hampa udara. Agritech. Vol 29 (3): 184-188.
Widjajanti A, Agustini SM. 2005. Hipokalemik periodic paralisis. Indonesian
Journal of Critical Pathology and Medical Laboratory. Vol 12 (1): 19-22
Winarno FG. 1999. Minyak Goreng dalam Menu Makanan Masyarakat. Jakarta:
Balai Pustaka.
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: MBrio Press.
[WPI] Warta Pasar Ikan. 2010. Belut dan Sidat Permintaanya Semakin
Meningkat. Edisi April Vol. 80. Jakarta: Direktorat Pemasaran Dalam
Negeri.
LAMPIRAN
49
Lampiran 1 Gambar proses preparasi belut
Habitat belut sawah
Pengukuran diameter belut
Daging belut setelah diskinless
Pencacahan belut
Pematian belut dengan abu
Pengukuran panjang belut
Penggorengan belut deepfrying
Pengukuran asam amino dengan HPLC
50
Lampiran 2 Data dan ukuran berat belut
No.
Bobot
(g)
Badan
(g)
Kepala
(g)
Jeroan
(g)
Kulit
(g)
Tulang
(cm)
Panjang
(cm)
Lebar
(cm)
1
57
30
6
6
6
9
39
1
2
59
31
6
6
7
9
43
1
3
71
40
7
6
8
10
44
1
4
75
45
6
6
7
11
43,5
1,5
5
58
31
6
6
7
8
42
1,2
6
66
36
7
7
7
9
44
1
7
53
29
5
6
5
8
41
1
8
74
44
6
7
7
10
43
1
9
71
42
6
6
7
10
42,5
1
10
50
25
6
6
5
8
40
1
11
49
24
5
6
6
8
41
1
12
62
34
7
6
6
9
44
1
13
57
31
6
5
6
9
39,5
1
14
50
25
6
5
6
8
40
1
15
59
32
6
6
6
9
41,5
1
16
70
39
7
7
7
10
43
1
17
59
33
5
5
7
9
42,5
1
18
63
35
7
6
6
9
43
1
19
50
25
5
6
6
8
43
1
20
77
45
7
7
8
10
45
1,3
21
52
28
5
5
6
8
39
0,8
22
60
34
6
5
6
9
42
1
23
72
40
7
7
7
11
44
1
24
51
26
6
6
5
8
40,5
1
25
72
42
7
7
7
9
47
1,3
26
69
40
7
6
6
10
42
1,2
27
70
39
7
6
7
11
45
1,2
28
69
38
7
6
8
10
44
1
29
61
31
7
7
7
9
45
1
30
62
35
8
5
5
9
46
1
Jumlah
1868
1029
189
181
194
275
1279
31,5
48,43
rerata
standar
dev.
62,27
34,30
6,30
6,03
6,47
9,17
42,63
1,05
1,61
8,59
6,36
0,79
0,67
0,86
0,95
2,04
0,13
0,11
Contoh perhitungan rendemen kepala:
Diameter
(cm)
1,52
1,52
1,75
1,75
1,75
1,59
1,46
1,68
1,65
1,52
1,52
1,56
1,59
1,49
1,59
1,59
1,56
1,59
1,43
1,56
1,43
1,75
1,91
1,52
1,75
1,71
1,81
1,68
1,49
1,59
51
Lampiran 3 Data komposisi kimia daging belut
Kadar air
jenis belut
Ulangan
1
2
1
2
Segar
Goreng
berat cawan
(g)
28, 68
19,63
27,96
25,42
berat sampel
(g)
5,04
5,01
3,05
3,00
berat sth dioven
(g)
29,75
20,68
30,29
27,72
berat cawan
(g)
23,85
40,19
22,90
19,57
berat sampel
(g)
3,10
3,01
3,03
3,01
berat sth ditanur
(g)
23,86
40,20
23,00
19,66
berat labu
(g)
88,56
80,69
82,50
82,72
berat sampel
(g)
30,16
31,02
43,45
44,01
berat sth dioven
(g)
88,74
80,87
89,08
89,27
berat sampel
(g)
0,16
0,16
0,16
0,16
Titrasi H2SO4
(ml)
Kadar abu
jenis belut
Ulangan
1
2
1
2
Segar
Goreng
Kadar lemak
jenis belut
Ulangan
1
2
1
2
Segar
Goreng
Kadar protein
jenis belut
Segar
Goreng
Ulangan
1
2
1
2
Contoh perhitungan kadar air:
Berat cawan
: 28,68 g
Berat sampel
: 5,04 g
Berat cawan setelah di oven : 29,75 g
= 78,77 %
13,6
12,8
Protein (%)
29,75
20,68
30,29
27,72
52
Lampiran 4 Peak asam amino belut segar
53
54
Lampiran 5 Peak asam amino belut goreng.
55
56
Lampiran 6 Area HPLC asam amino
Area
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Asam
amino
Aspartat
Bobot
Mol
133,1
Glutamat
147,1
Serina
105,09
Histidina
155,16
Glysina
75,07
Threonina
119,12
Arginina
174,2
Alanina
89,09
Tyrosina
181,19
Methionina 149,21
Valina
117,15
Fenilalanin 165,19
Ileusina
131,17
Leusina
131,17
Lysina
146,19
Bobot contoh (ug)
Standar
Segar1
37429970
29324751
Segar
2
36692649 45152476
43804052 19023276
29080232
4089514
50858010 35544928
48316437 18036295
46272318 18568264
44855388 33918461
46468949
9235344
50493960 10612217
53857813 21865870
48402503 19114541
54878978 19285539
47864526 30732217
24084988 15516468
32700
Rumus
Bbt Mol
Aspartat
133,1
Glutamat
1471
Serina
105,09
Histidina
155,16
Glysina
75,07
Threonina
119,12
Arginina
174,2
Alanina
89,09
Tyrosina
181,19
Methionina
149,21
Valina
117,15
Fenilalanina
165,19
Ileusina
131,17
Leusina
131,17
Lysina
146,19
Bobot contoh (ug)
Area
Standar
37791636
36829377
44548792
29493410
49697619
49503956
46632422
45193054
46360593
50412484
53553269
43017002
54785645
47404979
23137182
Segar2
28732365
44242150
18609078
4058046
37386912
17609297
18568212
33439807
8999251
10221648
20457099
11094604
18692478
29770088
16398279
33100
Goreng1
Goreng2
80340138
11936756
4
51795942
11778170
88185655
50056323
49416919
87661353
25810984
29067242
55855347
31282298
50271489
78275148
43481748
33600
72152454
10782921
3
46390047
10478700
77196158
45773197
44887004
79171190
23213342
25951521
49980386
28157072
45654259
72777658
37863116
32000
57
Lampiran 7 Konsentrasi asam amino (% b/b basis basah)
Kons. %
b/b
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Rumus
Aspartat
Glutamat
Serina
Histidina
Glysina
Threonina
Arginina
Alanina
Tyrosina
Methionina
Valina
Fenilalanina
lleusina
Leusina
Lysina
Bbt
Kons.
Mol
Std
Segar1
Segar2
Goreng1
Goreng2
133,1
0,5
1,59
1,53
4,25
4,01
147,1
0,5
2,77
2,67
7,12
6,75
105,09
0,5
0,70
0,66
1,85
1,74
155,16
0,5
0,33
0,32
0,94
0,87
75,07
0,5
0,80
0,85
1,94
1,78
119,12
0,5
0,68
0,64
1,84
1,76
174,2
0,5
1,07
1,05
2,77
2,64
89,09
0,5
1,03
1,00
2,59
2,46
181,19
0,5
0,55
0,53
1,50
1,41
149,21
0,5
0,48
0,46
1,28
1,20
117,15
0,5
0,73
0,68
1,81
1,70
165,19
0,5
1,00
0,64
1,59
1,50
131,17
0,5
0,70
0,68
1,79
1,71
131,17
0,5
1,29
1,24
3,19
3,12
146,19
0,5
1,44
1,57
3,93
3,59
15,16
14,51
38,37
36,24
Contoh perhitungan asam amino basis basah
ug AA= (area AA sampel/area AA standar) x kons. Std x volume tera
% AA = (ug AA x bm AA x 100)/ug sampel
contoh perhitungan:
Asam aspartat belut A
ug AA = (29324751/37429970) x 0,5 x 10
% AA = (3,917282194 x 133,1 x 100)/32700
% AA = 1,59 %
58
Lampiran 8 Hasil uji mineral Ca
Standar (ppm) Absorban
0
0
2
0,0703
4
0,1378
8
0,2628
12
0,428
16
0,5158
Kode Sampel
Belut segar I 1
Belut segar I 2
Belut segar I 3
Bobot
ppm
ppm x FP /
Kadar
sampel Absorban sampel
ppm x FP gr sampel
Ca(mg/kg)
2,649
0,1166 3,412121 341,2121 128,8078978 129,1892119
2,649
0,1169 3,421212 342,1212 129,1510805
2,649
0,1173 3,433333 343,3333 129,6086574
Belut segar II 1
Belut segar II 2
Belut segar II 3
2,679
2,679
2,679
0,0919
0,0932
0,0912
2,663636
2,70303
2,642424
266,3636
270,303
264,2424
99,426516
100,8969878
98,63472349
99,65274243
Belut goreng I 1
Belut goreng I 2
Belut goreng I 3
2,627
2,627
2,627
0,2746
0,2697
0,2725
8,2
8,051515
8,136364
820
805,1515
813,6364
312,143129
306,4908699
309,7207323
309,4515771
Belut goreng II 1
Belut goreng II 2
Belut goreng II 3
2,77
2,77
2,77
0,3452
0,3447
0,3467
10,33939
10,32424
10,38485
1033,939
1032,424
1038,485
373,2633191
372,716333
374,9042774
373,6279765
59
Lampiran 9 Hasil uji mineral Mg
Standar (ppm) Absorban
0
0
0,2
0,2326
0,4
0,4284
0,6
0,6176
0,8
0,7903
1,2
1,1162
Kode Sampel
Belut segar I 1
Belut segar I 2
Belut segar I 3
Bobot
sampel Absorban
2,649
0,1872
2,649
0,1928
2,649
0,1877
ppm
ppm x FP /
Kadar
sampel
ppm x FP gr sampel
Mg(mg/kg)
0,161822 80,91106 30,54400261 30,96026359
0,167896 83,94794
31,6904263
0,162364 81,18221 30,64636187
Belut segar II 1
Belut segar II 2
Belut segar II 3
2,679
2,679
2,679
0,1945 0,16974
0,1961 0,171475
0,192 0,167028
84,86985 31,67967456
85,73753 32,00355622
83,5141 31,17360947
31,61894675
Belut goreng I 1
Belut goreng I 2
Belut goreng I 3
2,627
2,627
2,627
0,1647 0,137419
0,165 0,137744
0,1687 0,141757
171,7733 65,38763566
172,18 65,54246037
177,1963 67,45196512
66,12735371
Belut goreng II 1
Belut goreng II 2
Belut goreng II 3
2,77
2,77
2,77
0,1577 0,129826
0,1633
0,1359
0,1624 0,134924
162,2831 58,58594955
169,8753 61,32681269
168,6551 60,88631683
60,26635969
60
Lampiran 10 Hasil uji mineral Na
Standar (ppm)
0
0,1
0,2
0,4
0,6
0,8
Kode Sampel
Belut segar I 1
Belut segar I 2
Belut segar I 3
Absorban
0
0,0766
0,1613
0,3546
0,5297
0,7143
Bobot
ppm
ppm x
ppm x FP /
Kadar
sampel Absorban sampel
FP
gr sampel
Na(mg/kg)
2,649
0,2572
0,29545 1477,248 557,6623265 578,8208144
2,649
0,2619 0,300666
1503,33 567,5083555
2,649
0,2828 0,323862 1619,312 611,2917613
Belut segar II 1
Belut segar II 2
Belut segar II 3
2,679
2,679
2,679
0,2778
0,2778
0,2572
0,318313 1591,565
0,318313 1591,565
0,29545 1477,248
594,0891855
594,0891855
551,4175076
579,8652928
Belut goreng I 1
Belut goreng I 2
Belut goreng I 3
2,627
2,627
2,627
0,1283
0,1234
0,1279
0,152386 761,9312
0,146948 734,7392
0,151942 759,7114
290,0385183
279,6875442
289,1935408
286,3065345
Belut goreng II 1
Belut goreng II 2
Belut goreng II 3
2,77
2,77
2,77
0,1167
0,1125
0,1126
0,139512 697,5583
0,13485 674,2508
0,134961 674,8058
251,8260897
243,4118529
243,6121918
246,2833781
61
Lampiran 11 Hasil Uji mineral K
Standar (ppm)
0
0,2
0,4
0,8
1,2
2
Kode Sampel
Belut segar I 1
Belut segar I 2
Belut segar I 3
Absorban
0
0,1152
0,2241
0,4297
0,631
1,0083
Bobot
ppm
ppm x
ppm x FP /
Kadar
sampel Absorban sampel
FP
gr sampel
K(mg/kg)
2,649
0,5238 1,011554 5057,769 1909,312542 1910,315201
2,649
0,5245 1,012948 5064,741 1911,944521
2,649
0,5239 1,011753 5058,765 1909,688539
Belut segar II 1
Belut segar II 2
Belut segar II 3
2,679
2,679
2,679
0,5099 0,983865 4919,323
0,5088 0,981673 4908,367
0,5353 1,034462 5172,311
1836,253344
1832,163693
1930,687106
1866,368048
Belut goreng I 1
Belut goreng I 2
Belut goreng I 3
2,627
2,627
2,627
1,081 2,121514 10607,57
1,0559 2,071514 10357,57
1,0529 2,065538 10327,69
4037,902444
3942,736856
3931,362483
3970,667261
Belut goreng II 1
Belut goreng II 2
Belut goreng II 3
2,77
2,77
2,77
1,0413
2,04243 10212,15
1,0587 2,077092 10385,46
1,0523 2,064343 10321,71
3686,697254
3749,262876
3726,250234
3720,736788
62
Lampiran 12 Hasil uji mineral Zn
standar (ppm)
0
0,4
0,8
1,4
2,5
3
Kode Sampel
Belut segar I 1
Belut segar I 2
Belut segar I 3
Absorban
0
0,0987
0,2176
0,3828
0,627
0,8306
Bobot
ppm
ppm x
ppm x FP /
Kadar
sampel Absorban sampel
FP
gr sampel
Ca(mg/kg)
2,649
0,148 0,559701 55,97015 21,12878417 20,97383975
2,649
0,147
0,55597 55,59701
20,9879256
2,649
0,1457 0,551119 55,11194 20,80480947
Belut segar II 1
Belut segar II 2
Belut segar II 3
2,679
2,679
2,679
0,1503 0,568284
0,1538 0,581343
0,1452 0,549254
56,82836
58,13433
54,92537
21,21252639
21,70001059
20,50219229
21,13824309
Belut goreng I 1
Belut goreng I 2
Belut goreng I 3
2,627
2,627
2,627
0,4502 1,687313
0,4477 1,677985
0,4512 1,691045
168,7313
167,7985
169,1045
64,22967007
63,8745746
64,37170826
64,15865098
Belut goreng II 1
Belut goreng II 2
Belut goreng II 3
2,77
2,77
2,77
0,4517
1,69291
0,4428 1,659701
0,446 1,671642
169,291
165,9701
167,1642
61,11590064
59,91702139
60,3480791
60,46033371
63
Lampiran 13 Hasil uji mineral Fe
Standar (ppm)
0
1
2
3
4
6
Kode Sampel
Belut segar I 1
Belut segar I 2
Belut segar I 3
Absorban
0
0,0698
0,1388
0,1994
0,252
0,3955
Bobot
ppm
ppm x
ppm x FP /
Kadar
sampel Absorban sampel
FP
gr sampel
Fe(mg/kg)
2,649
0,0277 0,385938 38,59375 14,56917705 14,35290047
2,649
0,0278
0,3875
38,75 14,62816157
2,649
0,0265 0,367188 36,71875 13,86136278
Belut segar II 1
Belut segar II 2
Belut segar II 3
2,679
2,679
2,679
0,0334
0,475
0,0324 0,459375
0,0324 0,459375
47,5
45,9375
45,9375
17,73049645
17,14725644
17,14725644
17,34166978
Belut goreng I 1
Belut goreng I 2
Belut goreng I 3
2,627
2,627
2,627
0,0602
0,89375
89,375
0,0591 0,876563 87,65625
0,0604 0,896875
89,6875
34,02169775
33,36743434
34,14065474
33,84326228
Belut goreng II 1
Belut goreng II 2
Belut goreng II 3
2,77
2,77
2,77
0,0476
0,0462
0,046
25,15794224
24,36823105
24,25541516
24,59386282
0,696875
0,675
0,671875
69,6875
67,5
67,1875
64
Lampiran 14 Hasil uji mineral Cu
Standar (ppm)
0
0,2
0,4
0,8
1,2
2
Kode Sampel
Belut segar I 1
Belut segar I 2
Belut segar I 3
Absorban
0
0,0195
0,04
0,0728
0,1078
0,1817
Bobot
ppm
ppm x
ppm x FP /
Kadar
sampel Absorban sampel
FP
gr sampel
Cu(mg/kg)
2,649
0,0026 0,017978 1,797753 0,678653382 0,636237546
2,649
0,0022 0,013483 1,348315 0,508990037
2,649
0,0027 0,019101 1,910112 0,721069218
Belut segar II 1
Belut segar II 2
Belut segar II 3
2,679
2,679
2,679
0,0012
0,0015
0,0016
0,002247 0,224719
0,005618 0,561798
0,006742 0,674157
0,08388171
0,209704275
0,25164513
0,181743705
Belut goreng I 1
Belut goreng I 2
Belut goreng I 3
2,627
2,627
2,627
0,008
0,0073
0,0072
0,078652 7,865169
0,070787 7,078652
0,069663 6,966292
2,993973559
2,694576203
2,651805152
2,780118305
Belut goreng II 1
Belut goreng II 2
Belut goreng II 3
2,77
2,77
2,77
0,0028
0,0027
0,003
0,020225 2,022472
0,019101 1,910112
0,022472 2,247191
0,730134264
0,689571249
0,811260293
0,743655268
Download