I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Belut sawah merupakan komoditi perikanan Indonesia yang memiliki ceruk pasar tinggi, hal ini dapat diketahui melalui semakin banyaknya para pembudidaya belut pada sektor hulu dan pengolahan belut pada sektor hilir diberbagai daerah baik berorientasi domestik maupun ekspor. Permintaan akan belut untuk pasar domestik relatif tinggi pasalnya untuk wilayah DKI Jakarta dibutuhkan 20 ton per hari. Yogyakarta membutuhkan 30 ton per hari untuk mencukupi 150 industri pengolahan belut, Pati membutuhkan 100 kg per hari dan Pekalongan membutuhkan 50 kg per hari. Wilayah Sumatera terutama Sumatera Barat membutuhkan 480 kg per bulan untuk mendukung sentra pengolahan belut dan harga belut di berbagai daerah berkisar antar Rp.30.000- Rp. 50.000 (Kordi. 2010). Pasar ekpor menunjukan angka yang lebih menarik terutama pasar Jepang membutuhkan baik belut dan sidat mencapai 130 ribu ton per tahun dalam bentuk segar dan 230 ribu ton dalam bentuk olahan. Selama ini produsen terbesar untuk komoditas belut dan sidat adalah China mencapai produksi 70% total produksi belut dan sidat dunia. Sedangkan ekspor Indonesia untuk komoditas belut dan sidat pada tahun 2007 mencapai 2.009 ton, terus meningkat pada tahun 2008 mencapai 2.318 ton dan tahun 2009 meningkat sebesar 77,2% mencapai 4.774 ton dalam bentuk beku, olahan dan segar baik belut dan sidat (Anonim, 2010). Ceruk pasar masih terbuka, sehingga peningkatan produksi secara simultan harus didukung oleh sistem budidaya yang baik, karena sebagian besar produk belut masih tergantung dari alam. Perkembangan budidaya belut sawah hanya sebatas pada pembesaran. Hal ini dikarenakan pada tingkat pembenihan masih tergantung pada alam dan serupa dengan kebutuhan induk yang masih diperoleh dari alam. Pengambilan dari alam secara terus menerus akan menyebabkan ekploitasi baik benih dan induk belut sehingga saat ini induk belut yang matang gonad sulit ditemukan. Dampak negatif dari eksploitasi belut adalah kesulitan dalam memperoleh benih belut guna peningkatan produksi pembesaran belut dan induk belut matang gonad sulit diperoleh, karena belut hanya memijah pada awal musim penghujan dan akhir 1 musim penghujan (Kordi, 2011. Oleh karena itu, upaya penyediaan induk belut matang gonad guna langkah awal pembenihan belut secara semi alami sehingga diperlukan rekayasa maturasi gonad melalui kombinasi hormon dan antidopamin. Belut merupakan hewan hermaprodit protogini yang mengalami pergantian kelamin dari betina ke jantan, sehingga untuk ukuran tubuh terhadap kelamin belut sulit dibedakan. Belut mengalami fase intersex yaitu fase diantara perpindahan kelamin betina ke jantan yang menghasilkan dua gamet dalam satu individu yang disebut ovotestes (Shi, 2005 dalam Chu et al., 2011). Kelamin belut berbeda tergantung pada daerah karena hal ini terkait dengan faktor lingkungan seperti bahan organik, suhu dan ketersediaan makanan (Elis, 2003), ukuran jantan dan betina belut dibeberapa daerah di Indonesia. Belut betina ukuran 20-28 cm dan jantan berukuran 36 cm ke atas untuk wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah (Handjojo, 1986 dalam Kordi, 2010), belut betina ukuran 19-32 cm dan jantan mencapai ukuran 37 ke atas (Kordi, 1994 dalam Kordi, 2010), hasil penelitian di Tasikmalaya belut betina berukuran kurang dari 29 cm dan jantan melebihi 29 cm ke atas (Elis, 2003), sedangkan di Vietnam belut betina berukuran 30-40 cm dan belut jantan berukuran lebih dari 50 cm (Khanh dan Ngan, 2010). Variasi perbedaan belut jantan dan betina pada berbagai wilayah merupakan permasalahan tersendiri sehingga untuk memastikan kelamin jantan dan betina belut salah satunya dapat melalui pematangan gonad belut sehingga jenis kelamin dapat diketahui dengan jelas dan terukur. Pematangan gonad secara buatan dengan rekayasa hormon telah banyak dilakukan pada ikan budidaya seperti, patin dan lele. Penggunaan jenis hormon seperti HCG (Human Chorionic Gonadotropin), PMSG (Pregnant Mare Serum Gonadotropin) dan LHRH (Luetenezing Hormon Releasing Hormone) analog telah banyak digunakan. Penggunaan teknologi hormon pada ikan patin dapat merangsang rematurasi gonad selama enam minggu melalui kombinasi hormone 20 IU PMSG dan 10 IU HCG per kg ikan serta penambahan vitamin mix sebesar 100 mg/kg ikan (Febriana, 2010). Sedangkan pada belut penggunaan hormon LHRH analog sebesar 150 µg/kg ikan memberikan tingkat pemijahan sebesara 75 % dan HCG 2 IU dapat meningkat pembuahan hingga 86% (Huong et al., 2008 dalam Khanh dan Nganh, 2010). Oleh karena itu, penggunaan hormon pematangan 2 gonad PMSG dengan antidopamin diharapkan mampu memperkuat penelitian sebelumnya. PMSG merupakan serum kuda bunting atau glikoprotein dengan bobot molekul 68.000 dan memiliki kandungan karbohidrat tertinggi sebesar 49% (Turner dan Bagnara, 1995 dalam Purba, 2001) dan dibentuk didalam mangkuk endometrium kuda bunting sekitar 40 hari (Jillella, 1982 dalam Purba, 2001) dan konsentari tetap tinggi sampai hari ke-120 kemudian menurun dan menghilang sesudah hari ke 180 (Turner dan Bagnara, 1995 dalam Purba, 2001). PMSG memiiki masa paruh waktu yang lama sekitar 26 jam pada tikus (Mc.Donald, 1980 dalam Purba, 2001) dan pada sapi sebesar 123 jam (Supriana et al., 1998). PMSG memiliki pengaruh seperti FSH (Folikel Stimulating Hormone) dan LH (Luetinizing Hormone), namun pengaruh FSH lebih besar disbanding ketimbang LH. Pemberian PMSG pada tikus memberikan efek yang berbeda tergantung pada dosis kecil bertindak sebagai FSH, sedangkan dosis yang besar memberikan pengaruh seperti LH untuk ovulasi atau luteinasi korpus luteum (Susetyarini, 2007). Antidopamin merupakan suatu zat kimia yang biasa digunakan untuk menyuntik ikan sebelum ditemukannya ovaprime. Seperti yang dikatakan Chen et al., (2003) dalam Tarsim (2007) yang menyatakan bahwa antidopamin adalah bahan kimia yang dapat menghentikan kerja dopamin. Dopamin merupakan neurotransmitter yang berperan dalam menghambat pematangan gonad udang. Dopamin menghambat pematangan gonad dengan menstimulasi sekresi hormon penghambat perkembangan gonad (GIH) (Fingerman, 1997). Antidopamin yang terkandung dalam ovaprim berfungsi untuk memblok dopamin sehingga menstomilasi sekresi gonadotropin (Harker, 1992). Cara kerja dari kombinasi hormon PMSG dan antidopamin tersaji pada Gambar 1 sehingga diharapkan kedua jenis bahan yang digunakan dalam penelitian ini mampu memberikan hasil yang optimal pada pematangan gonad belut sawah. Mekanisme PMSG sebagai FSH eksogeneus yang berasal dari luar merangsang gonad untuk pematangan awal melalui perangsangan pada sel teka dan antidopamin sebagai neurotransmitter berfungsi untuk menghambat kerja dopamin dan hormon lain yang pada hipotalamus, kemudian merangsang hipotalamus untuk menghasilkan 3 GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone) dan merangsang hipofisa untuk menghasilkan gonadotropin yaitu FSH endogeneus yang memiliki fungsi yang sama yaitu pematangan awal atau vitelogenesis. ANTIDOPAMIN FSH EKSOGENEUS FSH ENDOGENEUS Gambar 1. Mekanisme kerja hormon PMSG dan Antidopamin dalam rematurasi gonad. Penelitian ini bertujuan untuk mempercepat pematangan gonad ikan belut sawah (Monopterus albus) dalam upaya penyediaan induk matang sebagai awal pemijahan alami dan penentuan status gonad pada belut sawah. Tujuan khusus penelitian ini untuk mengetahui pengaruh PMSG (Pregnant Mare Serum Gonadotropin) dan antidopamin terhadap kematangan gonad belut secara buatan. 4