BAB II KAJIAN TEORI DAN TELAAH PUSTAKA Pada Bab ini diuraikan teori-teori yang relefan dengan tujuan kajian ini dilakukan. Sebagai teori utama dalam penelitian ini adalah Teori Interaksionisme Simbolik. Teori ini digunakan dalam studi komunikasi karena it places communication at the forefront of the study of human social existence (Littlejohn dan Foss, 2009: 945). Teori ini peneliti gunakan secara signifikan sebagai perspektif untuk menjelaskan objek penelitian dan membantu peneliti menentukan ke mana kajian ini diarahkan. Teori Interaksionisme Simbolik yang digunakan terutama adalah tiga premis Blumer. Sebelum menjelaskan Teori Interaksionisme Simbolik, pada Bab ini peneliti terlebih dahulu memaparkan komunikasi pada tataran yang lebih umum. Lebih awal peneliti menjelaskan konseptualisasi komunikasi yang sesuai dengan konteks kajian ini. Pada kajian ini peneliti memahami komunikasi sebagai proses. Ini merupakan perspektif yang kemudian menjadi kerangka bagi peneliti dalam melihat fenomena-fenomena komunikasi yang ditemukan. Fenomena-fenomena komunikasi dalam kajian ini cenderung berada pada level komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok. Komunikasi interpersonal menurut Littlejohn dan Foss (2009: 547) is communication that occurs between people in relationships. Sedangkan komunikasi kelompok dapat didefinisikan as three or more people who interact over time, depend on each other, and follow shared rules of conduct in order to reach a common goal (Wood, 2000: 246). Berdasarkan tradisi teori komunikasi, maka kajian ini masuk dalam sociocultural tradition. Tradisi ini fokus pada pola interaksi antara manusia. Penelitian dalam tradisi ini dimaksudkan untuk memahami bagaimana cara manusia secara bersama-sama menciptakan realitas sosial mereka. Teori-teori yang tergabung dalam tradisi ini cenderung tertarik untuk mengkaji bagaimana makna diciptakan dalam interaksi sosial (Littlejohn dan Foss, 2005: 45). Secara umum konsep-konsep ini peneliti paparkan dengan maksud untuk memberikan gambaran posisi kajian yang sedang peneliti lakukan dalam studi 10 11 komunikasi. Ini penting untuk memastikan bahwa kajian yang peneliti lakukan adalah bagian dari studi komunikasi. A. KOMUNIKASI SEBAGAI PROSES Dalam kajian ini peneliti memahami komunikasi sebagai a systemic process in wich individuals interact with and through symbols to create and interpret meanings (Wood, 1997: 14). Definisi ini menekankan beberapa poin. Pertama, komunikasi merupakan proses. Komunikasi bukanlah suatu produk jadi dari suatu aktifitas. Justru komunikasi merupakan suatu aktifitas atau serangkaian perilaku. Sebagai proses maka komunikasi berlangsung dan berubah secara terus-menerus. Dua orang yang sedang terlibat dalam komunikasi, maka masing-masing terus berubah. Demikian juga dengan lingkungan tempat komunikasi tersebut berlangsung terus berubah. Komunikasi berlangsung secara dinamis. Pemahaman komunikasi sebagai proses sudah diungkapkan David Berlo, salah satu generasi awal penggagas Ilmu Komunikasi. Berlo (dalam Pearson dan Nelson, 2000: 7) menulis dalam bukunya The Process of Communication (1960): If we accept the concept of process, we view events and relationships as dynamic, ongoing, ever changing, continuous. When we label something as a process, we also mean that it does not have a beginning, an end, a fixed sequence of events. It is not static, at rest. It is moving. The ingredient, within a process interact; each affects all the others. Dengan pemahaman ini menegaskan bahwa komunikasi tidak berlangsung secara linear. Model yang sesuai dengan pemahaman ini adalah transactional model (Wood, 2000: 18). Model ini menggambarkan bahwa setiap elemen komunikasi senantiasa berubah. Sebagai implikasi dari model transaksi adalah setiap pelaku komunikasi menjadi komunikator dan komunikan dalam waktu bersamaan. Devito (2003: 21) menyatakan each person is seen as both speaker and listener, as simultaneously sending and receiving messages. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan berikut: 12 social systems communicator A’s Field of experience Time 1 communicator A Time 2 shared Field of Experience symbolic interaction over time Noise communicator B Time n communicator B’s Field of experience Sumber: Wood, Julia T. 2000. Communication in Our Lives. 2nd edition. Belmont: Wadsworth. Page: 18 Bagan ini menerangkan bahwa setiap manusia dalam komunikasi transaksional selalu bertindak dan memberikan respon berdasarkan situasi yang tengah berlangsung. Namun situasi yang sedang berlangsung tersebut dipengaruhi oleh latar belakang masing-masing komunikator, yaitu: pengalaman masa lalu, sikap, budaya, keyakinan, gambaran diri, harapan, dan emosi. Bagan ini juga menerangkan adanya noise yang menghambat proses komunikasi. Noise is anything that interferes with the intended communication (Wood, 2000: 19). Kedua, komunikasi sebagai proses berjalan secara sistemik. Ini artinya di dalam proses komunikasi terdiri dari sejumlah elemen. Tiap elemen tersebut memiliki hubungan yang saling bergantung (interdependent). Ketika komunikasi berlangsung, tiap elemen saling memengaruhi elemen yang lain. Dengan kata lain, keberadaan tiap elemen karena berhubungan dengan elemen-elemen komunikasi lainnya. Sebagai contoh: adanya sumber (source) mensyaratkan adanya penerima (receiver), pesan (message) muncul karena ada sumber (source), atau feedback tidak akan pernah muncul kalau tidak ada penerima (receiver). Akibat dari hubungan yang saling bergantung ini maka perubahan yang terjadi pada satu atau lebih elemen akan memengaruhi elemenelemen yang lain. Elemen-elemen komunikasi yang dimaksud meliputi: communication context, sources-receivers, messages and channels, noise, communication effects dan ethics (Devito, 2003: 2-11). 13 Communication context. Setiap proses komunikasi berlangsung dalam konteks yang meliputi beberapa dimensi, yaitu: fisik, psikologi-sosial, waktu, dan budaya (Devito, 2003: 3). Konteks-konteks di mana komunikasi berlangsung ini akan memengaruhi cara-cara berkomunikasi dan makna pesan yang dipertukarkan. Dimensi fisik merupakan lingkungan fisik di mana komunikasi berlangsung, seperti ruang rapat, ruang kelas, pasar, ruang terbuka dan sebagainya. Konteks psikologi sosial misalnya: status, peran, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Konteks waktu merupakan waktu di mana kita melakukan komunikasi. Konteks budaya meliputi; keyakinan, nilai-nilai, dan adat-istiadat. Sources-receivers. Dalam proses komunikasi melibatkan setidaknya dua pelaku komunikasi. Namun berapa pun jumlahnya, para pelaku komunikasi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu satu pihak sebagai source dan yang lain sebagai receiver. Source merupakan pelaku komunikasi yang menyampaikan pesan sedangkan receiver adalah yang menerimanya. Dalam komunikasi model transaksional, sebagaimana sudah dijelaskan di atas, dua status ini melekat secara bersamaan pada setiap pelaku komunikasi (Devito, 2003: 4). Messages and channels. Message is the verbal and nonverbal form of idea, thought, or feeling that one person (the source) wishes to communicate to another person or group of people (the receiver). Channel is the means by which a message moves from the source to the receiver of the message (Pearson dan Nelson, 2000: 11). Message dapat disampaikan dalam dua bentuk, yaitu verbal dan nonverbal. Pesan verbal merupakan pesan yang disampaikan menggunakan bahasa. Sedangkan pesan nonverbal disampaikan dalam wujud seperti: gestur, sentuhan, warna, posisi tubuh, jarak dan sebagainya. Dalam komunikasi langsung atau tatap muka, pesan disampaikan menggunakan saluran yaitu gelombang suara dan gelombang cahaya. Noise. Setiap proses komunikasi selalu memiliki gangguan. Tidak satupun proses komunikasi yang terbebas dari gangguan. Gangguan dalam proses komunikasi tidak dapat dihilangkan, melainkan dapat dikurangi. Gangguan komunikasi dapat bersifat fisik, seperti: suara yang keras dari sumber yang tidak kita kehendaki, tulisan yang tidak jelas sehingga susah dibaca, cahaya yang redup atau terlalau terang dan sebagainya. Gangguan komunikasi dapat juga bersifat psikologis, seperti: curiga, keraguan, stereotip, dan sebagainya. Permasalahan semantik juga sering menjadi 14 gangguan yang signifikan dalam komunikasi. Gangguan semantik yang paling sering ditemui yaitu perbedaan bahasa atau istilah-istilah tertentu (Devito, 2003: 10). Communication effects. Setiap tindakan komunikasi akan menimbulkan efek. Efek sebagai akibat dari pesan yang dipertukarkan ada tiga macam yaitu: efek kognitif, afektif dan psikomotorik atau behavioral (Devito, 2003: 11). Efek kognitif yaitu apabila pesan yang dipertukarkan membuat kita memiliki pengetahuan, pemahaman atau kemampuan analisis. Efek afektif yaitu apabila pesan yang dipertukarkan mampu mengubah sikap, keyakinan, emosi atau perasaan kita. Sedangkan efek psikomotorik atau behavioral yaitu ketika pesan yang dipertukarkan mampu mendorong kita berperilaku atau melakukan tindakan tertentu. Ethics. Karena komunikasi mengakibatkan sejumlah konsekuensi, maka timbul penilaian baik-buruk terhadap komunikasi tersebut. Penilaian tersebut didasarkan pada etika komunikasi. Masalahnya, tidak satupun etika bersifat universal. Etika selalu bersifat khusus dan relatif. Etika selalu berkaitan dengan pandangan hidup dan budaya seseorang, di mana dia tumbuh. Dengan demikian penilaian seseorang dengan orang lain akan berbeda tergantung latar belakang sosial budaya yang mereka terima. Ketiga, proses komunikasi berlangsung dengan dan melalui simbol. Simbol merupakan representasi dari sesuatu. Melalui simbol kita bisa berbagi gagasan, perasaan dan pengalaman dengan orang lain. Simbol bisa berwujud verbal yaitu bahasa ataupun isyarat-isyarat nonverbal. Simbol memiliki beberapa karakter, yaitu: abstrak, arbitreer dan ambigu (Wood, 1997: 109-111). Pertama simbol bersifat abstrak atau tidak nyata. Simbol merepresentasikan gagasan, orang, kejadian, perasaan, dan objek lainnya namun simbol bukanlah sesuatu yang direpresentasikannya tersebut. Kedua simbol bersifat arbitrer, yang artinya bahwa simbol tidak secara intrinsik berhubungan dengan objek yang direpresentasikannya. Simbol bersifat sembarang dan suka-suka. Tidak ada alasan rasional mengapa orang yang mengajar disebut sebagai guru atau dosen sementara orang yang mengikuti perkuliahan disebut sebagai mahasiswa. Simbol merupakan hasil kesepakatan dari masyarakat yang menggunakannya. Objek atau fenomena yang sama, akan disimbolkan berbeda di satu daerah dengan daerah yang lain. Sebagian daerah di Jawa Tengah memasang bendera merah untuk 15 melambangkan ada kematian. Namun di daerah yang lain kejadian yang sama disimbolkan dengan memasang bendera warna putih. Ketiga simbol bersifat ambigu, karena makna dari tiap simbol tidak pernah jelas dan terukur. Simbol yang sama bisa memiliki makna yang beraneka ragam tergantung konteks dan siapa yang memaknainya. Kata jihad dimaknai secara berbeda pada orang Islam. Sebagian komunitas memaknai kata jihad identik dengan perang. Sebagian yang lain memaknai bahwa jihad yang paling besar adalah memerangi hawa nafsu. Sementara sebagian yang lain menyebut segala usaha dengan sungguh-sungguh sebagai jihad. Keempat, setiap simbol memiliki makna. Setiap simbol baik berupa kata-kata ataupun isyarat-isyarat nonverbal memiliki makna. Namun makna tidak melekat secara intrinsik dalam simbol. Tidak ada hubungan khusus antara simbol dengan makna. Dengan kata lain simbol tidak pernah secara alami membangun dan membawa maknanya sendiri. Manusialah yang memberikan makna pada tiap simbol yang digunakannya. Sebagaimana sifat simbol yaitu arbitrer, abstrak dan ambigu maka makna tidak pernah melekat pada objek dan bersifat tidak mutlak. Makna dari suatu simbol yang sama bisa sangat berbeda pada satu masyarakat dengan masyarakat lain. Perbedaan makna ini disebabkan karena berbeda dalam menafsirkan objek yang dimaksud. Dengan demikian makna merupakan hasil dari interpretasi. B. KOMUNIKASI INTERPERSONAL Littlejohn dan Foss dalam bukunya Theories of Human Communication (2005: 142) menyebut komunikasi interpersonal dengan istilah conversation. Demikian juga Devito (2003: 159) menjelaskan: conversation is essence of interpersonal communication; in many scholarly views they’re equivalent, and among non scholars the world conversation and interpersonal communication often mean the same thing. Secara deskriptif Wood (2000: 22) menjelaskan bahwa komunikasi interpersonal merupakan komunikasi yang berlangsung antar manusia. Dengan demikian semua fenomena komunikasi sosial, yaitu komunikasi yang berlangsung antara manusia, merupakan komunikasi interpersonal. Satu-satunya fenomena komunikasi yang tidak 16 termasuk dalam komunikasi interpersonal yaitu komunikasi intrapersonal. Komunikasi intrapersonal tidak termasuk komunikasi antar manusia karena berlangsung dalam diri setiap manusia tanpa melibatkan orang lain. Komunikasi interpersonal berlangsung bisa sangat impersonal sampai sangat interpersonal. Komunikasi menjadi sangat impersonal misalnya ketika kita menolak kehadiran seseorang atau ketika kita menganggap lawan bicara kita sebagai objek. Sementara komunikasi bisa sangat interpersonal misalnya komunikasi yang berlangsung pada dua orang sahabat atau antara suami dan istri yang sedang berbagi cerita. Pada komunikasi yang sangat interpersonal biasanya melibatkan keterbukaan diri (self-disclosure) pada masing-masing pelaku komunikasi. Self-disclosure is revealing personal information about ourselves that others are unlikely to discover on their own (Wood, 2000: 194). Keterbukaan diri bisa ditemukan misalnya ketika kita menyatakan harapan atau rasa takut, menyampaikan perasaan, atau berbagi pengalaman yang semua bersifat pribadi. Semuanya tadi tidak disampaikan kepada setiap orang kecuali pada orang yang dekat dengan kita. Melalui komunikasi interpersonal manusia memiliki konsep diri (self concept). Your self concept is your image of who you are, demikian Devito (2003: 96) menulis. Jadi konsep diri merupakan gambaran, penilaian atau persepsi mengenai diri kita. Di sini diri menjadi subjek yang mengamati sekaligus objek yang mengamati. Konsep diri tidak dibawa orang sejak lahir. Konsep diri merupakan konstruksi sosial. Konsep diri diperoleh manusia melalui komunikasi dengan orang lain. Devito (2001: 60-61) menyebut setidaknya ada empat aspek yang membentuk konsep diri seseorang, yaitu: 1. 2. 3. 4. The image of you that others have and that they reveal to you. The comparisons you make between yourself and others. The teaching of your culture. The way you interpret and evaluate your own thoughts and behaviours. C. KOMUNIKASI KELOMPOK Sejumlah orang di suatu tempat tidak bisa serta merta disebut sebagai kelompok. Ada sejumlah syarat sehingga kumpulan orang tersebut dapat disebut sebagai kelompok. Wood (2000: 246) mendefinisikan kelompok as three or more people who interact over time, depend on each other, and follow shared rules of conduct in order to reach a common goal. 17 Dengan demikian suatu kelompok memiliki beberapa karakter, yaitu: pertama, kelompok terdiri dari sejumlah orang yang tidak terlalu banyak sehingga masingmasing dapat berkomunikasi dengan yang lain dengan mudah. Kedua, setiap anggota kelompok saling terhubung dengan yang lain melalui suatu atau sejumlah tujuan bersama. Tindakan dan perilaku seorang anggota kelompok akan menjadi rangsangan penting bagi yang lain. Ketiga, setiap anggota kelompok harus terhubungkan melalui beberapa aturan dan struktur (Devito, 2003: 246). Wood (2000: 260-261) membagi komunikasi yang berlangsung secara kelompok menjadi empat tipe, yaitu: task communication, procedural communication, climate communication, dan egocentric communication. Masing-masing tipe ini memiliki karakter yang khusus sebagaimana dapat dilihat dalam tabel perbandingan berikut: Task Communication Climate Communication initiates ideas establishes and maintains healthy climate seeks information energizes group process gives information harmonizes ideas elaborates ideas recognizes conflict evaluates, offers critical analysis builds enthusiasm for group Procedural Communication Egocentric Communication establishes agenda agress toward others provides orientation blocks ideas curbs digressions seeks personal recognition (brags) guides participation dominates interaction coordinates ideas pleads for special intersts summarizes other’s contributions confesses, self-discloses, seeks personal records group progress help disrupt task devalues others trivializes group and work Sumber: Wood, Julia T. 2000. Communication in Our Lives. 2nd edition. Belmont: Wadsworth. Hal. 260 18 D. INTERAKSIONISME SIMBOLIK 1. Akar Pemikiran: Pragmatisme dan Behaviorisme Psikologi Interaksionisme Simbolik merupakan sebuah gerakan dalam sosiologi yang fokus pada cara-cara manusia membentuk makna dan struktur masyarakat melalui percakapan (Littlejohn dan Foss, 2005: 154). Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (dalam West dan Turner, 2008: 96) mengatakan bahwa interaksionisme simbolik pada intinya adalah sebuah kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan yang lainnya, menciptakan dunia simbolik dan sebaliknya, bagaimana dunia ini membentuk perilaku manusia. Interaksionisme Simbolik termasuk dalam kelompok teori tindakan. Di tengahtengah teori yang lain dalam kelompoknya, perspektif ini merupakan teori yang populer (Jones, 2009: 142). Sejak istilah Interaksionisme Simbolik dimunculkan Herbert Blumer pada tahun 1937, sampai sekarang perspektif ini masih banyak digunakan. Ini menunjukkan bahwa Teori Interaksionisme Simbolik memuaskan, setidaknya dari kriteria waktu. Sebagai tokoh yang paling populer dalam menggagas perspektif interaksionisme simbolik adalah George Herbert Mead (Littlejohn dan Foss, 2005: 82; Poloma, 2007: 255; Wallace dan Wolf, 1999: 190). Mead sebenarnya adalah profesor Filsafat di University of Chicago. Namun demikian, Mead juga dikenal baik oleh para sosiolog karena dinilai telah mengajarkan pikiran-pikiran yang luar biasa pada bidang Sosiologi (Griffin, 2000: 53-54). Teori Interaksionisme Simbolik menjadi sumbangan terbesar Mead dalam ilmu sosial. Gagasan-gagasan Mead mengenai interaksionisme simbolik diwujudkan dalam buku yang berjudul Mind, Self, and Society: from Understandingpoint of a Social Behaviorist. Buku ini menjadi dasar dari Teori Interaksionisme Simbolik. Selain pemikiran-pemikiran yang menarik dalam buku ini, menarik juga untuk diketahui bahwa Mead sendiri tidak pernah menyusun buku ini. Adalah murid-muridnya, selepas Mead meninggal, mengumpulkan materi-materi perkuliahan dan ceramah-ceramah Mead, kemudian menyusunnya menjadi sebuah buku. Meskipun bukan Mead yang menyusun buku Mind, Self, And Society namun semua pemikiran di dalamnya berasal dari Mead. 19 Mead juga tidak pernah memunculkan istilah interaksionisme simbolik. Adalah Herbert Blumer, salah seorang murid Mead, yang memberikan nama pada gagasangagasan Mead dengan istilah tersebut (Griffin, 2000: 54; Wallace dan Wolf, 1999: 189; Salim, 2008: 10; Deddy Mulyana, 2004: 70; West dan Turner, 2008: 96). Istilah tersebut dimunculkan Blumer pada tahun 1937 dalam artikelnya yang berjudul Social Psychology (Zeitlin, 1995: 331). Nama tersebut muncul tanpa melalui pengkajian yang mendalam. Sebagaimana dinyatakan Blumer: a somewhat barbaric neologism that I coined in an offhand way in an article written in “Man and Society”. The term somehow caught on and is now general use (Wallace dan Wolf, 1999: 190; Allan, 2006: 6). Secara historis pemikiran Mead mengenai Interaksionisme Simbolik dipengaruhi oleh dua aliran filsafat yaitu pragmatisme dan behaviorisme psikologi. Pemikiranpemikiran filsafat pragmatisme yang memengaruhi pemikiran Mead terutama yaitu: pertama, realitas tertinggi tidak berada di dunia nyata melainkan secara aktif diciptakan ketika kita bertindak di dalam dan terhadap dunia. Dengan kata lain realitas diciptakan melalui interaksi. Kedua, orang mengingat dan mendasarkan pengetahuan mereka tentang dunia pada apa yang terbukti bermanfaat bagi mereka. Ketiga, orang mendefinisikan objek sosial dan fisik yang mereka temui di dunia ini menurut manfaatnya bagi mereka. Keempat, untuk memahami pelaku tindakan (aktor) kita harus mendasarkan pemahaman itu pada apa yang sebenarnya mereka lakukan di dunia nyata (Ritzer dan Goodman, 2004: 374; Deddy Mulyana, 2004: 64-65; Salim, 2008: 9-10). Aliran Behaviorisme Psikologi juga ikut memengaruhi pemikiran Mead mengenai interaksionisme simbolik. Berbeda dengan pragmatisme yang nyaris disepakati secara utuh, Mead menerima gagasan-gagasan behaviorisme psikologi sekaligus mengkritiknya. Oleh karena itu kemudian Mead menyebut pemikirannya sebagai behaviorisme sosial untuk membedakan dengan pemikiran behaviorisme John B. Watson yang dinilainya radikal (Ritzer dan Goodman, 2004: 375; Deddy Mulyana, 2004: 65). Sebagaimana keyakinan pandangan kalangan behaviorisme, Mead juga sepakat bahwa untuk memahami manusia harus didasarkan pada apa yang mereka lakukan (Deddy Mulyana, 2004: 65). Namun selebihnya Mead tidak sepakat dengan behaviorisme radikal Watson karena melihat perilaku individu hanya dari aspek yang 20 nampak atau dapat diamati. Sementara Mead meyakini bahwa aspek tertutup juga penting untuk diperhatikan dalam memahami perilaku individu, dan ini diabaikan oleh behaviorisme radikal Watson. Mead juga mengkritik Behaviorisme Radikal Watson yang menyamakan perilaku manusia dengan binatang. Tampaknya kritik yang kedua ini sebagai akibat dari perbedaan pandangan yang pertama di atas. Behaviorisme Radikal Watson melihat perilaku manusia hanya dari aspek luar sehingga wajar kalau kemudian menyamakannya dengan perilaku binatang. Bagi Mead perbedaanya sangat mendasar, antara perilaku manusia dengan binatang. Binatang berperilaku secara spontan. Sementara manusia memiliki pikiran yang mendasari setiap perbuatanya. Charles Morris menyampaikan tiga perbedaan antara Mead dengan Watson dalam memandang perilaku manusia. Dalam kata pengantarnya untuk buku Mead, Mind, Self and Society, Morris menulis tiga perbedaan tersebut (Ritzer dan Goodman, 2004: 376). Pertama, Mead menganggap pandangan Watson tentang perilaku terlalu simplistis. Bahkan Watson dituduh telah menarik perilaku dari konteks dunia yang lebih luas. Kedua, Mead menuduh Watson enggan memperluas behaviorisme pada proses mental. Ketiga, Mead menganggap Watson memahami aktor sebagai individu yang pasif. Sementara Mead justru melihat aktor bersifat dinamis dan kreatif. Sejumlah ilmuwan, mulai dari generasi klasik sampai modern, disebut-sebut telah ikut dalam mengagas dan mengembangkan perspektif interaksionisme simbolik. Para ilmuwan yang dimaksud yaitu: Max Weber, George Simmel, Williams James, Charles Horton Cooley, John Dewey, W. I. Thomas, Herbert Blumer, Erving Goffman, dan Peter Berger (Sunarto Kamanto, 2004: 222-225). Max Weber dan George Simmel merupakan tokoh Sosiologi klasik. Meskipun kedua ilmuwan ini belum pernah menyebut istilah interaksionsime simbolik namun pemikiran mereka dalam teori interaksi sosial telah mendasari perspektif interaksionisme simbolik. Sehingga kemudian kedua sosiolog ini disebut-sebut sebagai tokoh interaksionisme simbolik klasik. Pemikiran Weber yang mendasari gagasan interaksionisme simbolik terutama yaitu Teori Tindakan Sosial. Teori ini menekankan pada proses interpretasi individu terhadap situasi dan makna subjektif (Wallace dan Wolf, 1999: 192; Deddy Mulyana, 21 2004: 61). Baik Weber maupun Mead menolak anggapan bahwa individu bersifat pasif, di mana perilakunya ditentukan oleh faktor-faktor di luar dirinya. Pemikiran Simmel jelas ikut mendasari perspektif interaksionisme simbolik. Mead pernah belajar pada Simmel secara langsung di Universitas Berlin untuk program doktornya, meskipun tidak sampai selesai (Antoni, 2004: 277). Simmel memahami masyarakat sebagai suatu sistem interaksi (Wallace dan Wolf, 1999: 194). Simmel berpandangan bahwa kepribadian seseorang muncul dan berkembang bergantung pada web of group affiliation, yaitu jaringan hubungan sosial yang dimiliki individu (Sunarto Kamanto, 2004: 221-222). Dengan kata lain kepribadian seseorang bergantung pada kelompok atau komunitas yang diikutinya. Sedangkan para ilmuwan bersama pemikirannya yang terkategori dalam interaksionisme simbolik modern yaitu (Sunarto Kamanto, 2004: 222-225): 1. Williams James, ia termasuk penganut pragmatisme. James merumuskan dan mengembangkan konsep diri (self). Ia menyatakan bahwa “a man has as many social selves as there are individuals who recognize him.” Ia beranggapan bahwa perasaan seseorang mengenai dirinya sendiri adalah hasil dari interaksinya dengan orang lain. 2. Charles Horton Cooley, ia sepakat bahwa dunia subjektif masyarakat sangat penting untuk diperhatikan. Cooley terkenal dengan konsep looking glass self. Konsep ini menjelaskan bahwa seseorang mengidentifikasi dirinya berdasarkan sikap dan perilaku orang lain kepadanya. 3. John Dewey, ia termasuk penganut pragmatisme. Dewey meyakini bahwa realitas bersifat dinamis. Sumbangan Dewey yang populer yaitu merumuskan gagasan bahwa pikiran (mind) seseorang berkembang dalam rangka usahanya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan pikiran tersebut ditunjang oleh interaksinya dengan orang lain. 4. George Herbert Mead, dianggap sebagai bapak interaksionisme simbolik. Mead merumuskan hubungan antara diri (self), pikiran (mind) dan masyarakat (society). Mead beranggapan bahwa self berkembang melalui tahap play, the game, dan generalized other dan proses perkembangan self berlangsung melalui jalan mengambil peran orang lain (taking the role of the other). 22 5. W. I. Thomas, sepakat bahwa dunia subjektif masyarakat sangat penting untuk dipertimbnagkan. Thomas mengajukan konsep the definition of the situation. Ia beranggapan bahwa manusia tidak langsung memberikan respon terhadap stimulus, melainkan melakukan penilaian dan pertimbangan terlebih dulu. 6. Herbert Blumer, sangat terkenal dengan tiga premisnya yang mendasari interaksionisme simbolik, yaitu a). manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna sesuatu tersebut bagi mereka; b). makna merupakan suatu produk sosial yang muncul dalam proses interaksi antara manusia; c). penggunaan makna oleh para pelaku berlangsung melalui proses penafsiran. 7. Erving Goffman, berbeda dengan tokoh yang lain. Goffman menganggap individu bukan memberikan reaksi terhadap tindakan individu lain, melainkan individu adalah mempengaruhi individu lain dalam interaksi. Konsep Goffman biasa dikenal dengan sebutan Dramaturgi. 8. Peter Berger, merumuskan kerangka pemikiran yang menghubungkan antara individu dengan masyarakat. Menurutnya dalam masyarakat terdapat proses dialektis yang terdiri dari tiga proses: eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. 2. Pemikiran-pemikiran George Herbert Mead Sebenarnya Mead sepakat dengan pandangan Behaviorisme radikal Watson, yang melihat perilaku manusia dengan hewan adalah sama. Namun Mead tidak berhenti di situ. Mead menyamakan manusia dengan hewan yaitu ketika perilaku dan interaksinya bersifat langsung atau spontanitas (Zeitlin, 1995: 339). Dari sini dapat disimpulkan bahwa perilaku manusia, dalam pandangan Mead, ada dua macam yaitu yang spontan dan direncanakan. Mead menjelaskan pandangannya ini melalui ilustrasi yang sangat populer yaitu dua anjing yang berkelahi (Zeitlin, 1995: 339). Pada fenomena dua ekor anjing yang berkelahi maka setiap gerakan dan serangan muncul secara spontan tanpa melalui pemikiran. Gerakan dan serangan seekor anjing merupakan stimulus bagi anjing lawanya yang juga akan merespon secara spontan. Karena tidak melalui proses berpikir maka setiap gerakan dan serangan masing-masing anjing tidak memiliki makna. 23 Terkadang manusia bertindak dan berinteraksi demikian tanpa dijembatani oleh pikiran. Ketika manusia bertindak dan berperilaku tanpa didasari pikiran maka tindakan dan perilaku tersebut tidak memiliki makna. Mead mencontohkan gerakan dan perilaku yang dilakukan para petinju atau pemain anggar yang sedang bertanding (Zeitlin, 1995: 339). Masing-masing mereka merespon gerakan lawannya secara spontan tanpa didasari pikiran. Maka dalam hal ini gerakan dan perilaku mereka, dalam pandangan Mead, adalah sama dengan hewan. Dari ilustrasi tadi tampak jelas bahwa Mead sangat menekankan pentingnya pikiran (mind). Dalam interaksionisme simbolik berpikir merupakan proses yang sangat penting karena menjadi landasan setiap tindakan menusia (Littlejohn dan Foss, 2005: 156). Pikiran, oleh Mead dipahami sebagai suatu proses bukan suatu benda (thing) atau struktur (structure). Mead mendefinisikan pikiran (mind) sebagai kemampuan untuk menggunakan simbol yang memunyai makna sosial yang sama, dan Mead percaya bahwa manusia harus mengembangakan pikiran melalui interaksi dengan orang lain (West dan Turner, 2008: 104-105). Definisi ini menjelaskan pada kita beberapa hal. Pertama, simbol merupakan sesuatu yang sangat penting bagi manusia dalam proses berpikir. Tanpa simbol maka mustahil manusia dapat menggunakan pikirannya. Simbol-simbol yang biasa digunakan manusia dalam berinteraksi disebut sebagai bahasa. Bahasa bergantung pada apa yang disebut Mead sebagai simbol signifikan (significant symbol). Simbol signifikan yaitu simbol-simbol yang memunculkan makna yang sama bagi banyak orang (West dan Turner, 2008: 105). Kedua, Mead memahami pikiran sebagai proses sosial. Memang pikiran merupakan proses interaksi seorang individu dengan dirinya. Namun dalam pemahaman Mead, proses yang dimaksud bukan berlangsung dalam diri individu melainkan berada dalam wilayah sosial. Pikiran merupakan produk dari proses sosial. Melalui interaksi sosial yang dijembatani oleh bahasa, maka manusia mengembangkan pikirannya. Terkait erat dengan konsep pikiran adalah pemikiran (thought), yaitu percakapan yang terjadi di dalam diri individu. Salah satu aktivitas penting yang berlangsung melalui pemikiran adalah pengambilan peran (role taking), atau kemampuan untuk menempatan diri seseorang di posisi orang lain (West dan Turner, 2008: 105). 24 Konsep Mead yang kedua yaitu diri (self). Sebagaimana pikiran (mind), diri juga dipahami Mead sebagai produk sosial. Seorang bayi yang baru lahir, menurut Mead, dapat disamakan dengan hewan karena tidak memiliki diri. Manusia memiliki diri setelah memunyai pengalaman sosial yang didapatkannya dari interaksi dengan orang lain. Dengan kata lain melalui interaksilah manusia memiliki diri. Dari sini tampak jelas bahwa diri yang dimaksud Mead bukanlah diri secara fisik atau biologis, sebagaimana yang dipahami dalam Biologi atau Ilmu Kedokteran. Namun demikian, konsep diri Mead tidak bisa muncul tanpa melalui diri fisik atau biologis. Diri muncul dalam konteks pengalaman dan interaksi sosial secara spesifik, dan ia akan terus berkembang berhubungan dengan proses sosial dan berhubungan dengan para individu yang ada di dalamnya (Zeitlin, 1995: 347). Mead mendefinisikan diri sebagai kemampuan merefleksikan diri sendiri dari perspektif orang lain (West dan Turner, 2008: 106). Cara manusia merefleksikan diri melalui perspektif orang lain, menurut Mead adalah dengan jalan pengambilan peran (role taking) (Littlejohn dan Foss, 2005: 156). Allan (2006: 14) mendefinisikan pengambilan peran (role taking) yaitu: it is the process through wich we place our self in the position (or role) another in order to see our own self. Dari proses ini maka manusia akan mendapatkan suatu gambaran bagaimana dirinya dalam pandangan orang lain. Meminjam konsep Charles Cooley, Mead menyebut gambaran ini sebagai cermin diri (the looking-glass self) (Griffin, 2000: 57; West dan Turner, 2008: 106; Wallace dan Wolf, 1999: 195; Sunarto Kamanto, 2004: 222). Yaitu kemampuan kita untuk melihat diri sendiri dalam pantulan dari pandangan orang lain. Dalam kehidupan bermasyarakat kita bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang. Masing-masing orang memberikan gambaran sehingga kita memiliki sebuah gabungan gambaran tentang diri kita yang disebut Mead sebagai generalized others (Griffin, 2000: 58; West dan Turner, 2008: 108). Jadi generalized others kita adalah gabungan dari respon-respon dan harapan-harapan yang kita dapatkan dari orang-orang di sekitar kita. Generalized others merujuk pada cara pandang dari sebuah kelompok sosial atau budaya sebagai suatu keseluruhan. Cooley meyakini tiga prinsip pengembangan yang dihubungkan dengan cermin diri, yaitu: a). kita membayangkan bagaimana kita terlihat di mata orang lain; b). kita 25 membayangkan penilaian mereka mengenai penampilan kita; c). kita merasa tersakiti atau bangga berdasarkan perasaan pribadi ini. Kita belajar mengenai diri kita sendiri dari cara orang lain memperlakukan kita, memandang kita dan memberi label pada kita (West dan Turner, 2008: 106). Mead melihat diri sebagai sebuah proses yang mengintegrasikan antara dua aspek yang dia sebut sebagai I dan me. Melalui bahasa orang memunyai kemampuan untuk menjadi subjek dan objek untuk dirinya sendiri. Sebagai subjek manusia bertindak, dan sebagai objek manusia mengamati dirinya sendiri bertindak. Mead menyebut subjek, atau diri yang bertindak, sebagai I, dan objek atau diri yang mengamati adalah me (West dan Turner, 2008: 107). I memiliki beberapa karakter, yaitu: pertama, I adalah dimensi proses kedirian di mana seseorang tidak dapat menangkapnya kecuali setelah adanya fakta-fakta. Pelaku komunikasi tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh ‘I’ kecuali setelah tindakan itu dilakukan. Kedua, I merupakan proses pikiran dan tindakan yang aktual. Ketiga, I bersifat tidak tentu, relatif dan tidak bisa diramalkan. I merupakan aspek kreatif diri. Karakter-karakter inilah yang membawa Mead pada kesimpulan bahwa manusia tidaklah bersifat pasif. Berbeda dengan I, me memiliki karakter: pertama, merupakan proses reflektif. me melakukan tindakan secara sadar, terencana dan melibatkan tanggung jawab. Dengan kata lain ‘me’ berada di bawah kontrol individu. Kedua, me muncul dengan mengambil sikap-sikap orang lain (Zeitlin, 1995: 352-353; Griffin, 2000: 58; Littlejohn dan Foss, 2005: 156; Ritzer dan Goodman, 2004: 389-390; West dan Turner, 2008: 107). Konsep Mead yang ketiga yaitu masyarakat (society). Dalam judul buku Mead konsep Society diletakkan pada urutan terakhir yaitu setelah Mind dan Self. Urutan ini mengesankan seolah Mead memandang masyarakat sebagai entitas sekunder setelah pikiran dan diri. Namun sebenarnya justru masyarakatlah yang menjadi pusat perhatian Mead. Sebagaimana yang dikatakan Ellswort Faris ketika menanggapi buku Mead Mind, Self and Society, “Barangkali yang menjadi pendapat Mead adalah bahwa bukan pikiran yang pertama muncul lalu diikuti masyarakat, tapi masyarakatlah yang lebih dulu muncul” (Ritzer dan Goodman, 2004: 378). Mead memandang masyarakat bukanlah sesuatu yang sudah utuh atau stabil, melainkan suatu proses sosial yang berjalan terus menerus (Ritzer dan Goodman, 2004: 26 391). Dengan kata lain Mead meyakini bahwa masyarakat tidak akan pernah mencapai kondisi sempurna. Masyarakat akan terus berubah bersama sebagai hasil dari interaksi manusia sebagai anggotanya. Pandangan interaksionisme simbolik mengenai masyarakat berbeda dengan aliran struktural fungsional. Pertama, interaksi simbolik melihat masyarakat merupakan suatu kerangka di mana tindakan sosial berlangsung, bukan penentu tindakan. Kedua, organisasi yang demikian dan perubahan yang terjadi di dalamnya adalah produk dari kegiatan unit-unit yang bertindak dan bukan oleh kekuatan-kekuatan yang membuat unit-unit itu berada di luar penjelasan (Poloma, 2007: 263-264). 3. Tiga Premis Dasar Interaksionisme Simbolik Herbert Blumer Herbert Blumer merupakan salah seorang murid Mead. Bersama Mead, Blumer melakukan sistematisasi gagasan-gagasan interaksionisme simbolik. Blumer pula yang memberikan nama pada gagasan-gagasan Mead dengan istilah Symbolic Interactionism (Griffin, 2000: 54; Wallace dan Wolf, 1999: 189; Salim, 2008: 10; Deddy Mulyana, 2004: 70; West dan Turner, 2008: 96). Bahkan Blumer telah mengembangkan perspektif ini menjadi lebih lengkap dengan merumuskan suatu metode dan model penyelidikan dengan perspektif interaksionisme simbolik (Wallace dan Wolf, 1999: 218-220). Blumer sangat bersungguh-sungguh dalam mengembangkan gagasan interaksionisme simbolik. Kesungguhan Blumer tampak dari keberhasilannya dalam merumuskan tiga premis utama dari perspektif interaksionisme simbolik (Blumer, 1984: 2), yaitu: 1. Human beings act toward things on the basis of meanings that the things have for them. 2. The Meaning of the such things is derived from, or arises out of, the social interaction that one has with ones’s fellows. 3. These meanings are handled in, and modified through, an interpretive process used by the person in dealing with the things he encounter. Ketiga premis utama tersebut, masing-masing penulis jelaskan lebih lanjut sebagai berikut di bawah ini: 27 3.1 Manusia Bertindak terhadap Sesuatu Berdasarkan Makna Tindakan yang dilakukan manusia merupakan respon terhadap rangsangan yang diterimanya. Mead menjelaskan bahwa tindakan dan perilaku manusia terdiri dari empat elemen, yaitu: rangsangan, persepsi, manipulasi dan perilaku (Allan, 2006: 17). Empat elemen ini yang membedakan tindakan dan perilaku manusia dengan hewan. Pada hewan, proses dari rangsangan sampai timbul perilaku bersifat langsung. Ketika manusia menerima rangsangan, maka dia mempersepsi setiap rangsangan tersebut. Setelah melakukan persepsi manusia memanipulasi elemen-elemen yang berbeda dan mempertimbangkan berbagai perilaku yang akan dilakukan untuk menanggapi rangsangan. Maka pada kondisi ini manusia dalam posisi siap bertindak. Dengan demikian, manusia tidak serta-merta bertindak terhadap suatu objek atau realitas sosial. Manusia bertindak dengan menafsirkan dan mendefinisikan objek atau realitas sosial yang ditemuinya. Objek yang dimaksud adalah meliputi: objek fisik (seperti meja, tanaman atau mobil); objek sosial (seperti ibu, guru, menteri, atau teman); objek abstrak (seperti nilai-nilai, hak dan peraturan) (Poloma, 2007:264). Dari proses menafsirkan dan mendefinisikan menghasilkan makna. Dengan makna yang diberikannya terhadap objek atau realitas sosial tersebut kemudian menjadi dasar dalam menentukan tindakan. Dengan kata lain, tindakan manusia merupakan tindakan interpretif yang dibangunnya sendiri. Dengan pemahaman ini maka sebenarnya manusia membuat realitasnya sendiri. Manusia tidak hidup dalam suatu realitas yang sudah baku. Dalam keyakinan filsafat pragmatisme, bahwa realitas tertinggi tidak berada di luar sana, di dunia nyata, melainkan secara aktif dibangun ketika manusia bertindak di dalam dan terhadap dunia (Ritzer dan Goodman, 2004: 374). Pemikiran ini kemudian diadopsi oleh interaksionisme simbolik. Mead tidak sepakat dengan pemikiran yang menyatakan bahwa realita berada di luar diri manusia. Realita justru ada karena pemaknaan yang diberikan manusia, sebagaimana pernyataan Mead: Once people define a situation as real, it’s very real in the consequences (Griffin, 2000: 54). Pernyataan Mead ini menegaskan bahwa makna sesuatu bergantung pada bagaimana manusia memberikan makna terhadapnya. Sehingga suatu objek atau realitas sosial memiliki lebih dari satu makna, sesuai dengan yang diberikan orang-orang terhadapnya. Untuk menjelaskan ini Poloma (2007: 259) mengilustrasikan dengan 28 sebuah ular. Bagi sebagian orang, ular merupakan binatang melata yang menjijikkan, binatang beracun yang bisa mematikan. Sementara bagi sebagian orang yang lain, mereka melihat ular sebagai binatang yang indah. Pemaknaan yang berbeda ini tentu akan memunculkan sikap dan tindakan yang berbeda pula terhadap ular. Orang pertama cenderung akan bereaksi negatif ketika bertemu ular, mungkin bergerak menjauh, selalu waspada atau bahkan membunuhnya untuk memastikan keselamatan dirinya tidak terancam. Sementara orang yang melihat ular sebagai binatang yang indah, cenderung akan memberikan reaksi positif, memperlakukannya dengan lembut dan menjaganya. 3.2 Makna Muncul dari Interaksi Sosial Seseorang dengan Orang Lain. Blumer menjelaskan terdapat tiga pendekatan yang melihat asal sebuah makna. Pendekatan pertama mengatakan bahwa makna adalah sesuatu yang bersifat intrinsik, melekat dalam suatu objek atau realitas sosial. Pendekatan kedua melihat makna itu diberikan oleh seseorang terhadap suatu objek atau realitas sosial kemudian digunakan oleh banyak orang. Interaksionisme simbolik mengambil pendekatan ketiga, yaitu makna sebagai sesuatu yang terjadi di antara orang-orang (West dan Turner, 2008: 100). Interaksionisme simbolik meyakini bahwa makna merupakan hasil dari interaksi dengan orang lain (West dan Turner, 2008: 100; Littlejohn dan Foss, 2005: 155). Blumer mengatakan (dalam Poloma, 2007: 259); bagi seseorang makna dari sesuatu berasal dari cara-cara orang lain bertindak terhadapnya dalam kaitannya dengan sesuatu itu. Tindakan-tindakan yang mereka lakukan akan melahirkan batasan sesuatu bagi orang lain. Dengan kata lain, makna tidak melekat dalam suatu objek, demikian juga makna tidak tersedia lebih dulu di alam. Dua orang yang memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap ular di atas, didasarkan pada pengalaman yang mereka miliki bersama lingkungannya. Orang pertama mungkin sejak kecil dipesan agar selalu waspada terhadap ular, karena ular itu binatang yang beracun, berbahaya dan bisa mematikan. Sedangkan orang kedua barangkali tinggal di lingkungan pecinta ular. Sehingga sikap dan perilaku yang diajarkan lingkungan kepadanya berbeda dengan orang pertama. Setiap makna diwujudkan dalam suatu simbol. Simbol adalah a stimulus that has a learned meaning and value for people (Griffin, 2000: 55). Jadi melalui simbol ini 29 manusia bisa belajar memaknai suatu objek atau realitas sosial. Tingkat pemahaman manusia terhadap suatu objek atau realitas sosial bergantung pada sejauh mana simbolsimbol yang tersedia mampu merepresentasikan makna yang dimaksud. Tanpa simbol maka manusia tidak mungkin bisa memaknai objek dan realitas sosial di sekitarnya. Kemudian melalui simbol ini pula makna terus dinegosiasikan (Griffin, 2000: 55). Simbol lebih banyak tidak memiliki hubungan logis dengan objek yang diwakilinya. Karena itu simbol bersifat arbitrer atau semena-mena. 3.3 Makna Suatu Simbol bagi Individu Dimodifikasi Melalui Proses Interpretif Makna dimodifikasi melalui proses interpretif. Suatu makna yang diperoleh manusia tidaklah serta-merta diinternalisasi karena ada berbagai makna yang ditemui manusia. Blumer menulis: pelaku memilih, memeriksa, menahan, menyusun kembali, dan mengubah makna untuk mengetahui situasi di mana ia ditempatkan dan arah dari tindakan-tindakannya (Littlejohn dan Foss, 2005: 155; Poloma, 2007: 259). Blumer menyebut proses ini sebagai self indication, yaitu proses komunikasi yang sedang berjalan di mana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberikan makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna itu (Poloma, 2007: 261). Blumer menyatakan bahwa proses manusia dalam menginterpretasi sesuatu melalui dua langkah (West dan Turner, 2008: 100; Riyadi Soeprapto, 2002: 142), yaitu: a. Langkah pertama, para pelaku menentukan benda-benda yang memunyai makna. b. Langkah kedua melibatkan si pelaku untuk memilih, mengecek, dan melakukan transformasi di dalam konteks di mana mereka berada. Jadi interpretasi bukanlah proses memahami makna-makna yang sudah ada untuk kemudian bertindak menurut makna tersebut. Poloma (2007: 260) mengatakan bahwa interpretasi seharusnya tidak dianggap hanya sebagai penerapan makna-makna yang telah ditetapkan, tetapi sebagai suatu proses pembentukan di mana makna yang dipakai dan disempurnakan sebagai instrumen bagi pengarahan dan pembentukan tindakan. Dalam interpretasi melibatkan proses berpikir. Interaksionisme Simbolik mendeskripsikan berpikir sebagai suatu percakapan dalam diri (inner conversation). 30 Mead menyebut dialog yang terjadi dalam diri ini sebagai minding, yaitu jeda sekitar dua detik saat kita siap untuk bertindak (Griffin, 2000: 56). E. PENELITIAN YANG RELEVAN Kajian dengan objek Jamaah Tabligh sudah banyak dilakukan, terutama oleh para peneliti di luar Indonesia. Sepanjang penelusuran yang peneliti lakukan banyak kajian mengenai Jamaah Tabligh dilakukan dalam kerangka politik, pertahanan dan keamanan. Cukup sulit bagi peneliti untuk menemukan kajian atau penelitian mengenai Jamaah Tabligh yang bersifat akademis. Berikut beberapa penelitian mengenai Jamaah Tabligh yang telah dilakukan dengan objek kajian yang berlainan. Priya Sumi Nelson (2010) melakukan penelitian untuk tesisnya dengan judul The Delegation of Authority in the Tablighi Jamaat. Pertanyaan utama yang diajukan Nelson dalam tesisnya ini adalah mengapa terdapat berbagai sikap terhadap Jamaah Tabligh? Sebelumnya Nelson menemukan bahwa terdapat perbedaan bahkan kontradiksi antara pernyataan karkun atau pekerja dakwah dengan hasil kajian. Setiap karkun atau pekerja dakwah selalu mengatakan bahwa gerakan mereka bersifat apolitis. Sementara sebuah kajian menyatakan bahwa sikap para pemimpin Jamaah Tabligh mempertahankan sikap apolitisnya sebenarnya merupakan kedok bagi aktifitas politik anggota jamaah di wilayah Asia Selatan bahkan lebih luas lagi. Penelitian yang dilakukan Nelson mendapatkan temuan bahwa pendelegasian otoritas dalam Jamaah Tabligh sangat kompleks. Struktur otoritas dalam organisasi sangat mempertimbangkan keseimbangan pada para pemimpin elit, juga berdasarkan pada mistik dan otoritas yang dimiliki dalam hukum serta kepemimpinan mandat. Kekuasaan diperoleh dari berbagai sumber termasuk kharisma, pendidikan syariah, pengalaman dalam organisasi dan pengamalan agama. Penelitian Nelson menyimpulkan bahwa gerakan Jamaah Tabligh sangat mudah untuk berubah bergantung pada para pemimpin cabang lokal. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukannya, Nelson juga menyimpulkan bahwa terdapat berbagai perbedaan pendapat dalam literatur sejarah mengenai Jamaah Tabligh. Di sisi lain, analisis yang dilakukan Nelson menolak anggapan beberapa pengamat yang menyatakan bahwa sikap apolitis yang dibangun Jamaah Tabligh merupakan topeng untuk menutupi agenda politik para pengikutnya. 31 Penelitian mengenai Jamaah Tabligh juga dilakukan oleh Zahra McDonald (2005) dalam sebuah mini-dessertation-nya. Secara khusus McDonald meneliti pembentukan identitas Jamaah Tabligh di Johannesburg. Dalam mini disertasinya yang berjudul Place, Meaning, and Experience: the Construction of Tabligh Jamaat Identity in Johannesburg, McDonald mengajukan pertanyaan penelitian yaitu bagaimana identitas terbentuk dan apa saja yang memengaruhinya? Dari hasil penelitian diperoleh temuan bahwa identitas adalah hasil konstruksi yang berlangsung dalam ruang dan waktu, bukan sesuatu yang dibawa sejak lahir. Interelasi antar bagian dan makna yang berlangsung dalam ruang dan waktu berefek pada tempat. Tempat, kemudian akan berpengaruh pada konstruksi identitas. Dalam konteks Jamaah Tabligh di Johannesburg, McDonald mendapati bahwa gerakan yang dilakukan Jamaah Tabligh berupa berkorban dengan diri dan harta memengaruhi konstruksi identitas mereka. Dua faktor ini, secara bersama-sama membentuk suatu makna yang berlangsung dalam sebuah tempat, dan berkaitan dengan pertukaran pengalaman. Penelitian berikutnya yang dilakukan Bulbul Siddiqi (2010) mengenai Jamaah Tabligh secara khusus mengkaji tentang ijtima. Ijtima yaitu sebuah pertemuan besar skala nasional atau internasional yang dihadiri para karkun atau pekerja dakwah. Acara ini biasa diselenggarakan Jamaah Tabligh secara rutin setiap tahun. Penelitian yang dilakukan Siddiqi dengan judul ‘Purification of self’: Ijtema as a New Islamic Pilgrimage, menyimpulkan bahwa ijtima bukanlah sebuah gagasan baru atau pengganti ibadah haji bagi Muslim Bangladesh sebagaimana anggapan yang banyak menyebar. Penelitian Siddiqi juga mendapati temuan bahwa kehadiran para karkun atau pekerja dakwah dalam ijtima telah meningkatkan otoritas religius, status dan wewenang mereka. Kemudian, ijtima juga ikut membangun identitas Muslim melalui konsep persaudaraan dan umat. Penelitian mengenai Jamaah Tabligh juga pernah dilakukan untuk konteks Indonesia. Adalah Farish A. Noor (2009) melakukan penelitian dengan judul The Spread of The Tablighi Jamaat Accros Western, Central, and Eastern Java and The Role of The Indian Muslim Diaspora. Secara umum penelitian Noor ini berusaha mencari tahu bagaimana pertumbuhan Jamaah Tabligh di Jawa. 32 Penelusuran yang dilakukan Noor mendapati bahwa Jamaah Tabligh datang ke pulau Jawa untuk pertama kali pada Februari 1955. Satu rombongan yang terdiri dari 8 orang waktu itu dikirim dari markas Jamaah Tabligh di India untuk melakukan dakwah di Indonesia. Tiba di Indonesia rombongan bertemu dengan Haji Zaristan Khan, seorang migran dari India. Melalui Haji Zaristan rombongan kemudian melakukan dakwah di Masjid Bandengan yang berlokasi di Kampung Pandan, Jakarta Utara. Masjid ini kemudian berkembang dan menjadi markas Jamaah Tabligh pertama di Jakarta dan seluruh Pulau Jawa. Maka kemudian masjid ini menjadi pintu masuk dakwah Jamaah Tabligh di Pulau Jawa. Noor mendapatkan temuan bahwa persebaran Jamaah Tabligh di Jawa tidak bisa lepas dari peran orang-orang Muslim India ataupun Muslim keturunan India yang lebih dulu tinggal di Indonesia. Merekalah yang pertama kali menerima dan menjadi pengikut gerakan Jamaah Tabligh. Pada Agustus 1955 dari Masjid Bandengan mereka mengirim rombongan untuk melakukan dakwah ke Surakarta. Tiba di Surakarta mereka berdakwah dan membangun akar gerakan. Dari sini kemudian secara bertahap gerakan Jamaah Tabligh menyebar ke berbagai wilayah di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur. Noor (2010) juga melakukan penelitian yang serupa di lokasi lain dari wilayah Indonesia yaitu Papua. Penelitian ini berjudul The Arrival and Spread of the Tablighi Jamaat in West Papua (Irian Jaya), Indonesia. Sebagaimana penelitian Noor di atas, penelitian ini berusaha melihat bagaimana persebaran dan metode dakwah Jamaah Tabligh di Papua, terutama terhadap suku pedalaman. Dalam penelitian ini diperoleh temuan Jamaah Tabligh datang ke wilayah Papua pada pertengahan tahun 1988. Rombongan dikirim langsung dari Jakarta yang dipimpin oleh dr. Nur, seorang dokter spesialis paru-paru. Rombongan kedua dikirim pada tahun 1989 yang dipimpin oleh karkun atau pekerja dakwah dari India, Maulana Imam Nurudin. Rombongan sebanyak 12 orang yang terdiri dari orang India dan Indonesia. Misi kedua rombongan adalah melakukan dakwah dan mewujudkan adanya markas Jamaah Tabligh di Papua. Mereka berhasil membangun masjid sebagai markas pada tahun 1998 dengan nama Masjid Serambi Mekah. Selesai membangun masjid kemudian mereka membangun pesantren pertama di Papua, dan diberi nama Pondok Pesantren Darul Ulum.