10 BAB II KAJIAN TEORI DAN TELAAH PUSTAKA Pada Bab ini

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI DAN TELAAH PUSTAKA
Pada Bab ini diuraikan teori-teori yang relefan dengan tujuan kajian ini
dilakukan. Sebagai teori utama dalam penelitian ini adalah Teori Interaksionisme
Simbolik. Teori ini digunakan dalam studi komunikasi karena it places communication
at the forefront of the study of human social existence (Littlejohn dan Foss, 2009: 945).
Teori ini peneliti gunakan secara signifikan sebagai perspektif untuk menjelaskan objek
penelitian dan membantu peneliti menentukan ke mana kajian ini diarahkan. Teori
Interaksionisme Simbolik yang digunakan terutama adalah tiga premis Blumer.
Sebelum menjelaskan Teori Interaksionisme Simbolik, pada Bab ini peneliti
terlebih dahulu memaparkan komunikasi pada tataran yang lebih umum. Lebih awal
peneliti menjelaskan konseptualisasi komunikasi yang sesuai dengan konteks kajian ini.
Pada kajian ini peneliti memahami komunikasi sebagai proses. Ini merupakan perspektif
yang kemudian menjadi kerangka bagi peneliti dalam melihat fenomena-fenomena
komunikasi yang ditemukan.
Fenomena-fenomena komunikasi dalam kajian ini cenderung berada pada level
komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok. Komunikasi interpersonal
menurut Littlejohn dan Foss (2009: 547) is communication that occurs between people
in relationships. Sedangkan komunikasi kelompok dapat didefinisikan as three or more
people who interact over time, depend on each other, and follow shared rules of
conduct in order to reach a common goal (Wood, 2000: 246).
Berdasarkan tradisi teori komunikasi, maka kajian ini masuk dalam
sociocultural tradition. Tradisi ini fokus pada pola interaksi antara manusia. Penelitian
dalam tradisi ini dimaksudkan untuk memahami bagaimana cara manusia secara
bersama-sama menciptakan realitas sosial mereka. Teori-teori yang tergabung dalam
tradisi ini cenderung tertarik untuk mengkaji bagaimana makna diciptakan dalam
interaksi sosial (Littlejohn dan Foss, 2005: 45).
Secara umum konsep-konsep ini peneliti paparkan dengan maksud untuk
memberikan gambaran posisi kajian yang sedang peneliti lakukan dalam studi
10
11
komunikasi. Ini penting untuk memastikan bahwa kajian yang peneliti lakukan adalah
bagian dari studi komunikasi.
A. KOMUNIKASI SEBAGAI PROSES
Dalam kajian ini peneliti memahami komunikasi sebagai a systemic process in
wich individuals interact with and through symbols to create and interpret meanings
(Wood, 1997: 14). Definisi ini menekankan beberapa poin. Pertama, komunikasi
merupakan proses. Komunikasi bukanlah suatu produk jadi dari suatu aktifitas. Justru
komunikasi merupakan suatu aktifitas atau serangkaian perilaku. Sebagai proses maka
komunikasi berlangsung dan berubah secara terus-menerus. Dua orang yang sedang
terlibat dalam komunikasi, maka masing-masing terus berubah. Demikian juga dengan
lingkungan tempat komunikasi tersebut berlangsung terus berubah. Komunikasi
berlangsung secara dinamis.
Pemahaman komunikasi sebagai proses sudah diungkapkan David Berlo, salah
satu generasi awal penggagas Ilmu Komunikasi. Berlo (dalam Pearson dan Nelson,
2000: 7) menulis dalam bukunya The Process of Communication (1960):
If we accept the concept of process, we view events and relationships as
dynamic, ongoing, ever changing, continuous. When we label something as a
process, we also mean that it does not have a beginning, an end, a fixed
sequence of events. It is not static, at rest. It is moving. The ingredient, within a
process interact; each affects all the others.
Dengan pemahaman ini menegaskan bahwa komunikasi tidak berlangsung
secara linear. Model yang sesuai dengan pemahaman ini adalah transactional model
(Wood, 2000: 18). Model ini menggambarkan bahwa setiap elemen komunikasi
senantiasa berubah. Sebagai implikasi dari model transaksi adalah setiap pelaku
komunikasi menjadi komunikator dan komunikan dalam waktu bersamaan. Devito
(2003: 21) menyatakan each person is seen as both speaker and listener, as
simultaneously sending and receiving messages. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam
bagan berikut:
12
social systems
communicator A’s
Field of experience
Time 1
communicator A
Time 2
shared
Field of
Experience
symbolic
interaction
over time
Noise
communicator B
Time n
communicator B’s
Field of experience
Sumber: Wood, Julia T. 2000. Communication in Our Lives. 2nd edition.
Belmont: Wadsworth. Page: 18
Bagan ini menerangkan bahwa setiap manusia dalam komunikasi transaksional
selalu bertindak dan memberikan respon berdasarkan situasi yang tengah berlangsung.
Namun situasi yang sedang berlangsung tersebut dipengaruhi oleh latar belakang
masing-masing komunikator, yaitu: pengalaman masa lalu, sikap, budaya, keyakinan,
gambaran diri, harapan, dan emosi. Bagan ini juga menerangkan adanya noise yang
menghambat proses komunikasi. Noise is anything that interferes with the intended
communication (Wood, 2000: 19).
Kedua, komunikasi sebagai proses berjalan secara sistemik. Ini artinya di dalam
proses komunikasi terdiri dari sejumlah elemen. Tiap elemen tersebut memiliki
hubungan yang saling bergantung (interdependent). Ketika komunikasi berlangsung,
tiap elemen saling memengaruhi elemen yang lain. Dengan kata lain, keberadaan tiap
elemen karena berhubungan dengan elemen-elemen komunikasi lainnya. Sebagai
contoh: adanya sumber (source) mensyaratkan adanya penerima (receiver), pesan
(message) muncul karena ada sumber (source), atau feedback tidak akan pernah muncul
kalau tidak ada penerima (receiver). Akibat dari hubungan yang saling bergantung ini
maka perubahan yang terjadi pada satu atau lebih elemen akan memengaruhi elemenelemen yang lain.
Elemen-elemen komunikasi yang dimaksud meliputi: communication context,
sources-receivers, messages and channels, noise, communication effects dan ethics
(Devito, 2003: 2-11).
13
Communication context. Setiap proses komunikasi berlangsung dalam konteks
yang meliputi beberapa dimensi, yaitu: fisik, psikologi-sosial, waktu, dan budaya
(Devito, 2003: 3). Konteks-konteks di mana komunikasi berlangsung ini akan
memengaruhi cara-cara berkomunikasi dan makna pesan yang dipertukarkan. Dimensi
fisik merupakan lingkungan fisik di mana komunikasi berlangsung, seperti ruang rapat,
ruang kelas, pasar, ruang terbuka dan sebagainya. Konteks psikologi sosial misalnya:
status, peran, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Konteks waktu
merupakan waktu di mana kita melakukan komunikasi. Konteks budaya meliputi;
keyakinan, nilai-nilai, dan adat-istiadat.
Sources-receivers. Dalam proses komunikasi melibatkan setidaknya dua pelaku
komunikasi. Namun berapa pun jumlahnya, para pelaku komunikasi dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu satu pihak sebagai source dan yang lain sebagai
receiver. Source merupakan pelaku komunikasi yang menyampaikan pesan sedangkan
receiver adalah yang menerimanya. Dalam komunikasi model transaksional,
sebagaimana sudah dijelaskan di atas, dua status ini melekat secara bersamaan pada
setiap pelaku komunikasi (Devito, 2003: 4).
Messages and channels.
Message is the verbal and nonverbal form of idea, thought, or feeling that one
person (the source) wishes to communicate to another person or group of people
(the receiver). Channel is the means by which a message moves from the source
to the receiver of the message (Pearson dan Nelson, 2000: 11).
Message dapat disampaikan dalam dua bentuk, yaitu verbal dan nonverbal.
Pesan verbal merupakan pesan yang disampaikan menggunakan bahasa. Sedangkan
pesan nonverbal disampaikan dalam wujud seperti: gestur, sentuhan, warna, posisi
tubuh, jarak dan sebagainya. Dalam komunikasi langsung atau tatap muka, pesan
disampaikan menggunakan saluran yaitu gelombang suara dan gelombang cahaya.
Noise. Setiap proses komunikasi selalu memiliki gangguan. Tidak satupun
proses komunikasi yang terbebas dari gangguan. Gangguan dalam proses komunikasi
tidak dapat dihilangkan, melainkan dapat dikurangi. Gangguan komunikasi dapat
bersifat fisik, seperti: suara yang keras dari sumber yang tidak kita kehendaki, tulisan
yang tidak jelas sehingga susah dibaca, cahaya yang redup atau terlalau terang dan
sebagainya. Gangguan komunikasi dapat juga bersifat psikologis, seperti: curiga,
keraguan, stereotip, dan sebagainya. Permasalahan semantik juga sering menjadi
14
gangguan yang signifikan dalam komunikasi. Gangguan semantik yang paling sering
ditemui yaitu perbedaan bahasa atau istilah-istilah tertentu (Devito, 2003: 10).
Communication effects. Setiap tindakan komunikasi akan menimbulkan efek.
Efek sebagai akibat dari pesan yang dipertukarkan ada tiga macam yaitu: efek kognitif,
afektif dan psikomotorik atau behavioral (Devito, 2003: 11). Efek kognitif yaitu apabila
pesan yang dipertukarkan membuat kita memiliki pengetahuan, pemahaman atau
kemampuan analisis. Efek afektif yaitu apabila pesan yang dipertukarkan mampu
mengubah sikap, keyakinan, emosi atau perasaan kita. Sedangkan efek psikomotorik
atau behavioral yaitu ketika pesan yang dipertukarkan mampu mendorong kita
berperilaku atau melakukan tindakan tertentu.
Ethics. Karena komunikasi mengakibatkan sejumlah konsekuensi, maka timbul
penilaian baik-buruk terhadap komunikasi tersebut. Penilaian tersebut didasarkan pada
etika komunikasi. Masalahnya, tidak satupun etika bersifat universal. Etika selalu
bersifat khusus dan relatif. Etika selalu berkaitan dengan pandangan hidup dan budaya
seseorang, di mana dia tumbuh. Dengan demikian penilaian seseorang dengan orang
lain akan berbeda tergantung latar belakang sosial budaya yang mereka terima.
Ketiga, proses komunikasi berlangsung dengan dan melalui simbol. Simbol
merupakan representasi dari sesuatu. Melalui simbol kita bisa berbagi gagasan, perasaan
dan pengalaman dengan orang lain. Simbol bisa berwujud verbal yaitu bahasa ataupun
isyarat-isyarat nonverbal.
Simbol memiliki beberapa karakter, yaitu: abstrak, arbitreer dan ambigu (Wood,
1997: 109-111). Pertama simbol bersifat abstrak atau tidak nyata. Simbol
merepresentasikan gagasan, orang, kejadian, perasaan, dan objek lainnya namun simbol
bukanlah sesuatu yang direpresentasikannya tersebut.
Kedua simbol bersifat arbitrer, yang artinya bahwa simbol tidak secara intrinsik
berhubungan dengan objek yang direpresentasikannya. Simbol bersifat sembarang dan
suka-suka. Tidak ada alasan rasional mengapa orang yang mengajar disebut sebagai
guru atau dosen sementara orang yang mengikuti perkuliahan disebut sebagai
mahasiswa.
Simbol merupakan hasil kesepakatan dari masyarakat yang menggunakannya.
Objek atau fenomena yang sama, akan disimbolkan berbeda di satu daerah dengan
daerah yang lain. Sebagian daerah di Jawa Tengah memasang bendera merah untuk
15
melambangkan ada kematian. Namun di daerah yang lain kejadian yang sama
disimbolkan dengan memasang bendera warna putih.
Ketiga simbol bersifat ambigu, karena makna dari tiap simbol tidak pernah jelas
dan terukur. Simbol yang sama bisa memiliki makna yang beraneka ragam tergantung
konteks dan siapa yang memaknainya. Kata jihad dimaknai secara berbeda pada orang
Islam. Sebagian komunitas memaknai kata jihad identik dengan perang. Sebagian yang
lain memaknai bahwa jihad yang paling besar adalah memerangi hawa nafsu.
Sementara sebagian yang lain menyebut segala usaha dengan sungguh-sungguh sebagai
jihad.
Keempat, setiap simbol memiliki makna. Setiap simbol baik berupa kata-kata
ataupun isyarat-isyarat nonverbal memiliki makna. Namun makna tidak melekat secara
intrinsik dalam simbol. Tidak ada hubungan khusus antara simbol dengan makna.
Dengan kata lain simbol tidak pernah secara alami membangun dan membawa
maknanya sendiri. Manusialah yang memberikan makna pada tiap simbol yang
digunakannya.
Sebagaimana sifat simbol yaitu arbitrer, abstrak dan ambigu maka makna tidak
pernah melekat pada objek dan bersifat tidak mutlak. Makna dari suatu simbol yang
sama bisa sangat berbeda pada satu masyarakat dengan masyarakat lain. Perbedaan
makna ini disebabkan karena berbeda dalam menafsirkan objek yang dimaksud. Dengan
demikian makna merupakan hasil dari interpretasi.
B. KOMUNIKASI INTERPERSONAL
Littlejohn dan Foss dalam bukunya Theories of Human Communication (2005:
142) menyebut komunikasi interpersonal dengan istilah conversation. Demikian juga
Devito (2003: 159) menjelaskan:
conversation is essence of interpersonal communication; in many scholarly
views they’re equivalent, and among non scholars the world conversation and
interpersonal communication often mean the same thing.
Secara deskriptif Wood (2000: 22) menjelaskan bahwa komunikasi interpersonal
merupakan komunikasi yang berlangsung antar manusia. Dengan demikian semua
fenomena komunikasi sosial, yaitu komunikasi yang berlangsung antara manusia,
merupakan komunikasi interpersonal. Satu-satunya fenomena komunikasi yang tidak
16
termasuk dalam komunikasi interpersonal yaitu komunikasi intrapersonal. Komunikasi
intrapersonal tidak termasuk komunikasi antar manusia karena berlangsung dalam diri
setiap manusia tanpa melibatkan orang lain.
Komunikasi interpersonal berlangsung bisa sangat impersonal sampai sangat
interpersonal. Komunikasi menjadi sangat impersonal misalnya ketika kita menolak
kehadiran seseorang atau ketika kita menganggap lawan bicara kita sebagai objek.
Sementara komunikasi bisa sangat interpersonal misalnya komunikasi yang berlangsung
pada dua orang sahabat atau antara suami dan istri yang sedang berbagi cerita.
Pada komunikasi yang sangat interpersonal biasanya melibatkan keterbukaan
diri (self-disclosure) pada masing-masing pelaku komunikasi. Self-disclosure is
revealing personal information about ourselves that others are unlikely to discover on
their own (Wood, 2000: 194). Keterbukaan diri bisa ditemukan misalnya ketika kita
menyatakan harapan atau rasa takut, menyampaikan perasaan, atau berbagi pengalaman
yang semua bersifat pribadi. Semuanya tadi tidak disampaikan kepada setiap orang
kecuali pada orang yang dekat dengan kita.
Melalui komunikasi interpersonal manusia memiliki konsep diri (self concept).
Your self concept is your image of who you are, demikian Devito (2003: 96) menulis.
Jadi konsep diri merupakan gambaran, penilaian atau persepsi mengenai diri kita. Di
sini diri menjadi subjek yang mengamati sekaligus objek yang mengamati.
Konsep diri tidak dibawa orang sejak lahir. Konsep diri merupakan konstruksi
sosial. Konsep diri diperoleh manusia melalui komunikasi dengan orang lain. Devito
(2001: 60-61) menyebut setidaknya ada empat aspek yang membentuk konsep diri
seseorang, yaitu:
1.
2.
3.
4.
The image of you that others have and that they reveal to you.
The comparisons you make between yourself and others.
The teaching of your culture.
The way you interpret and evaluate your own thoughts and behaviours.
C. KOMUNIKASI KELOMPOK
Sejumlah orang di suatu tempat tidak bisa serta merta disebut sebagai kelompok.
Ada sejumlah syarat sehingga kumpulan orang tersebut dapat disebut sebagai
kelompok. Wood (2000: 246) mendefinisikan kelompok as three or more people who
interact over time, depend on each other, and follow shared rules of conduct in order to
reach a common goal.
17
Dengan demikian suatu kelompok memiliki beberapa karakter, yaitu: pertama,
kelompok terdiri dari sejumlah orang yang tidak terlalu banyak sehingga masingmasing dapat berkomunikasi dengan yang lain dengan mudah. Kedua, setiap anggota
kelompok saling terhubung dengan yang lain melalui suatu atau sejumlah tujuan
bersama. Tindakan dan perilaku seorang anggota kelompok akan menjadi rangsangan
penting bagi yang lain. Ketiga, setiap anggota kelompok harus terhubungkan melalui
beberapa aturan dan struktur (Devito, 2003: 246).
Wood (2000: 260-261) membagi komunikasi yang berlangsung secara kelompok
menjadi empat tipe, yaitu: task communication, procedural communication, climate
communication, dan egocentric communication. Masing-masing tipe ini memiliki
karakter yang khusus sebagaimana dapat dilihat dalam tabel perbandingan berikut:
Task Communication
Climate Communication
 initiates ideas

establishes and maintains healthy climate
 seeks information

energizes group process
 gives information

harmonizes ideas
 elaborates ideas

recognizes conflict
 evaluates, offers critical analysis

builds enthusiasm for group
Procedural Communication
Egocentric Communication
 establishes agenda

agress toward others
 provides orientation

blocks ideas
 curbs digressions

seeks personal recognition (brags)
 guides participation

dominates interaction
 coordinates ideas

pleads for special intersts
 summarizes other’s contributions

confesses, self-discloses, seeks personal
 records group progress
help

disrupt task

devalues others

trivializes group and work
Sumber: Wood, Julia T. 2000. Communication in Our Lives. 2nd edition. Belmont:
Wadsworth. Hal. 260
18
D. INTERAKSIONISME SIMBOLIK
1. Akar Pemikiran: Pragmatisme dan Behaviorisme Psikologi
Interaksionisme Simbolik merupakan sebuah gerakan dalam sosiologi yang
fokus pada cara-cara manusia membentuk makna dan struktur masyarakat melalui
percakapan (Littlejohn dan Foss, 2005: 154). Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes
(dalam West dan Turner, 2008: 96) mengatakan bahwa interaksionisme simbolik pada
intinya adalah sebuah kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia,
bersama dengan yang lainnya, menciptakan dunia simbolik dan sebaliknya, bagaimana
dunia ini membentuk perilaku manusia.
Interaksionisme Simbolik termasuk dalam kelompok teori tindakan. Di tengahtengah teori yang lain dalam kelompoknya, perspektif ini merupakan teori yang populer
(Jones, 2009: 142). Sejak istilah Interaksionisme Simbolik dimunculkan Herbert Blumer
pada tahun 1937, sampai sekarang perspektif ini masih banyak digunakan. Ini
menunjukkan bahwa Teori Interaksionisme Simbolik memuaskan, setidaknya dari
kriteria waktu.
Sebagai tokoh yang paling populer dalam menggagas perspektif interaksionisme
simbolik adalah George Herbert Mead (Littlejohn dan Foss, 2005: 82; Poloma, 2007:
255; Wallace dan Wolf, 1999: 190). Mead sebenarnya adalah profesor Filsafat di
University of Chicago. Namun demikian, Mead juga dikenal baik oleh para sosiolog
karena dinilai telah mengajarkan pikiran-pikiran yang luar biasa pada bidang Sosiologi
(Griffin, 2000: 53-54).
Teori Interaksionisme Simbolik menjadi sumbangan terbesar Mead dalam ilmu
sosial. Gagasan-gagasan Mead mengenai interaksionisme simbolik diwujudkan dalam
buku yang berjudul Mind, Self, and Society: from Understandingpoint of a Social
Behaviorist.
Buku ini menjadi dasar dari Teori Interaksionisme Simbolik. Selain
pemikiran-pemikiran yang menarik dalam buku ini, menarik juga untuk diketahui
bahwa Mead sendiri tidak pernah menyusun buku ini. Adalah murid-muridnya, selepas
Mead meninggal, mengumpulkan materi-materi perkuliahan dan ceramah-ceramah
Mead, kemudian menyusunnya menjadi sebuah buku. Meskipun bukan Mead yang
menyusun buku Mind, Self, And Society namun semua pemikiran di dalamnya berasal
dari Mead.
19
Mead juga tidak pernah memunculkan istilah interaksionisme simbolik. Adalah
Herbert Blumer, salah seorang murid Mead, yang memberikan nama pada gagasangagasan Mead dengan istilah tersebut (Griffin, 2000: 54; Wallace dan Wolf, 1999: 189;
Salim, 2008: 10; Deddy Mulyana, 2004: 70; West dan Turner, 2008: 96). Istilah tersebut
dimunculkan Blumer pada tahun 1937 dalam artikelnya yang berjudul Social
Psychology (Zeitlin, 1995: 331). Nama tersebut muncul tanpa melalui pengkajian yang
mendalam. Sebagaimana dinyatakan Blumer:
a somewhat barbaric neologism that I coined in an offhand way in an article
written in “Man and Society”. The term somehow caught on and is now general
use (Wallace dan Wolf, 1999: 190; Allan, 2006: 6).
Secara historis pemikiran Mead mengenai Interaksionisme Simbolik dipengaruhi
oleh dua aliran filsafat yaitu pragmatisme dan behaviorisme psikologi. Pemikiranpemikiran filsafat pragmatisme yang memengaruhi pemikiran Mead terutama yaitu:
pertama, realitas tertinggi tidak berada di dunia nyata melainkan secara aktif diciptakan
ketika kita bertindak di dalam dan terhadap dunia. Dengan kata lain realitas diciptakan
melalui interaksi. Kedua, orang mengingat dan mendasarkan pengetahuan mereka
tentang dunia pada apa yang terbukti bermanfaat bagi mereka. Ketiga, orang
mendefinisikan objek sosial dan fisik yang mereka temui di dunia ini menurut
manfaatnya bagi mereka. Keempat, untuk memahami pelaku tindakan (aktor) kita harus
mendasarkan pemahaman itu pada apa yang sebenarnya mereka lakukan di dunia nyata
(Ritzer dan Goodman, 2004: 374; Deddy Mulyana, 2004: 64-65; Salim, 2008: 9-10).
Aliran Behaviorisme Psikologi juga ikut memengaruhi pemikiran Mead
mengenai interaksionisme simbolik. Berbeda dengan pragmatisme yang nyaris
disepakati secara utuh, Mead menerima gagasan-gagasan behaviorisme psikologi
sekaligus mengkritiknya. Oleh karena itu kemudian Mead menyebut pemikirannya
sebagai behaviorisme sosial untuk membedakan dengan pemikiran behaviorisme John
B. Watson yang dinilainya radikal (Ritzer dan Goodman, 2004: 375; Deddy Mulyana,
2004: 65).
Sebagaimana keyakinan pandangan kalangan behaviorisme, Mead juga sepakat
bahwa untuk memahami manusia harus didasarkan pada apa yang mereka lakukan
(Deddy Mulyana, 2004: 65). Namun selebihnya Mead tidak sepakat dengan
behaviorisme radikal Watson karena melihat perilaku individu hanya dari aspek yang
20
nampak atau dapat diamati. Sementara Mead meyakini bahwa aspek tertutup juga
penting untuk diperhatikan dalam memahami perilaku individu, dan ini diabaikan oleh
behaviorisme radikal Watson.
Mead juga mengkritik Behaviorisme Radikal Watson yang menyamakan
perilaku manusia dengan binatang. Tampaknya kritik yang kedua ini sebagai akibat dari
perbedaan pandangan yang pertama di atas. Behaviorisme Radikal Watson melihat
perilaku
manusia
hanya
dari
aspek
luar
sehingga
wajar
kalau
kemudian
menyamakannya dengan perilaku binatang. Bagi Mead perbedaanya sangat mendasar,
antara perilaku manusia dengan binatang. Binatang berperilaku secara spontan.
Sementara manusia memiliki pikiran yang mendasari setiap perbuatanya.
Charles Morris menyampaikan tiga perbedaan antara Mead dengan Watson
dalam memandang perilaku manusia. Dalam kata pengantarnya untuk buku Mead,
Mind, Self and Society, Morris menulis tiga perbedaan tersebut (Ritzer dan Goodman,
2004: 376). Pertama, Mead menganggap pandangan Watson tentang perilaku terlalu
simplistis. Bahkan Watson dituduh telah menarik perilaku dari konteks dunia yang lebih
luas. Kedua, Mead menuduh Watson enggan memperluas behaviorisme pada proses
mental. Ketiga, Mead menganggap Watson memahami aktor sebagai individu yang
pasif. Sementara Mead justru melihat aktor bersifat dinamis dan kreatif.
Sejumlah ilmuwan, mulai dari generasi klasik sampai modern, disebut-sebut
telah ikut dalam mengagas dan mengembangkan perspektif interaksionisme simbolik.
Para ilmuwan yang dimaksud yaitu: Max Weber, George Simmel, Williams James,
Charles Horton Cooley, John Dewey, W. I. Thomas, Herbert Blumer, Erving Goffman,
dan Peter Berger (Sunarto Kamanto, 2004: 222-225).
Max Weber dan George Simmel merupakan tokoh Sosiologi klasik. Meskipun
kedua ilmuwan ini belum pernah menyebut istilah interaksionsime simbolik namun
pemikiran
mereka
dalam
teori
interaksi
sosial
telah
mendasari
perspektif
interaksionisme simbolik. Sehingga kemudian kedua sosiolog ini disebut-sebut sebagai
tokoh interaksionisme simbolik klasik.
Pemikiran Weber yang mendasari gagasan interaksionisme simbolik terutama
yaitu Teori Tindakan Sosial. Teori ini menekankan pada proses interpretasi individu
terhadap situasi dan makna subjektif (Wallace dan Wolf, 1999: 192; Deddy Mulyana,
21
2004: 61). Baik Weber maupun Mead menolak anggapan bahwa individu bersifat pasif,
di mana perilakunya ditentukan oleh faktor-faktor di luar dirinya.
Pemikiran Simmel jelas ikut mendasari perspektif interaksionisme simbolik.
Mead pernah belajar pada Simmel secara langsung di Universitas Berlin untuk program
doktornya, meskipun tidak sampai selesai (Antoni, 2004: 277). Simmel memahami
masyarakat sebagai suatu sistem interaksi (Wallace dan Wolf, 1999: 194). Simmel
berpandangan bahwa kepribadian seseorang muncul dan berkembang bergantung pada
web of group affiliation, yaitu jaringan hubungan sosial yang dimiliki individu (Sunarto
Kamanto, 2004: 221-222). Dengan kata lain kepribadian seseorang bergantung pada
kelompok atau komunitas yang diikutinya.
Sedangkan para ilmuwan bersama pemikirannya yang terkategori dalam
interaksionisme simbolik modern yaitu (Sunarto Kamanto, 2004: 222-225):
1. Williams James, ia termasuk penganut pragmatisme. James merumuskan dan
mengembangkan konsep diri (self). Ia menyatakan bahwa “a man has as many
social selves as there are individuals who recognize him.” Ia beranggapan
bahwa perasaan seseorang mengenai dirinya sendiri adalah hasil dari
interaksinya dengan orang lain.
2. Charles Horton Cooley, ia sepakat bahwa dunia subjektif masyarakat sangat
penting untuk diperhatikan. Cooley terkenal dengan konsep looking glass self.
Konsep ini menjelaskan bahwa seseorang mengidentifikasi dirinya berdasarkan
sikap dan perilaku orang lain kepadanya.
3. John Dewey, ia termasuk penganut pragmatisme. Dewey meyakini bahwa
realitas bersifat dinamis. Sumbangan Dewey yang populer yaitu merumuskan
gagasan bahwa pikiran (mind) seseorang berkembang dalam rangka usahanya
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan pikiran tersebut ditunjang
oleh interaksinya dengan orang lain.
4. George Herbert Mead, dianggap sebagai bapak interaksionisme simbolik. Mead
merumuskan hubungan antara diri (self), pikiran (mind) dan masyarakat
(society). Mead beranggapan bahwa self berkembang melalui tahap play, the
game, dan generalized other dan proses perkembangan self berlangsung melalui
jalan mengambil peran orang lain (taking the role of the other).
22
5. W. I. Thomas, sepakat bahwa dunia subjektif masyarakat sangat penting untuk
dipertimbnagkan. Thomas mengajukan konsep the definition of the situation. Ia
beranggapan bahwa manusia tidak langsung memberikan respon terhadap
stimulus, melainkan melakukan penilaian dan pertimbangan terlebih dulu.
6. Herbert Blumer, sangat terkenal dengan tiga premisnya yang mendasari
interaksionisme simbolik, yaitu a). manusia bertindak terhadap sesuatu atas
dasar makna sesuatu tersebut bagi mereka; b). makna merupakan suatu produk
sosial yang muncul dalam proses interaksi antara manusia; c). penggunaan
makna oleh para pelaku berlangsung melalui proses penafsiran.
7. Erving Goffman, berbeda dengan tokoh yang lain. Goffman menganggap
individu bukan memberikan reaksi terhadap tindakan individu lain, melainkan
individu adalah mempengaruhi individu lain dalam interaksi. Konsep Goffman
biasa dikenal dengan sebutan Dramaturgi.
8. Peter Berger, merumuskan kerangka pemikiran yang menghubungkan antara
individu dengan masyarakat. Menurutnya dalam masyarakat terdapat proses
dialektis yang terdiri dari tiga proses: eksternalisasi, objektivasi dan
internalisasi.
2. Pemikiran-pemikiran George Herbert Mead
Sebenarnya Mead sepakat dengan pandangan Behaviorisme radikal Watson,
yang melihat perilaku manusia dengan hewan adalah sama. Namun Mead tidak berhenti
di situ. Mead menyamakan manusia dengan hewan yaitu ketika perilaku dan
interaksinya bersifat langsung atau spontanitas (Zeitlin, 1995: 339). Dari sini dapat
disimpulkan bahwa perilaku manusia, dalam pandangan Mead, ada dua macam yaitu
yang spontan dan direncanakan.
Mead menjelaskan pandangannya ini melalui ilustrasi yang sangat populer yaitu
dua anjing yang berkelahi (Zeitlin, 1995: 339). Pada fenomena dua ekor anjing yang
berkelahi maka setiap gerakan dan serangan muncul secara spontan tanpa melalui
pemikiran. Gerakan dan serangan seekor anjing merupakan stimulus bagi anjing
lawanya yang juga akan merespon secara spontan. Karena tidak melalui proses berpikir
maka setiap gerakan dan serangan masing-masing anjing tidak memiliki makna.
23
Terkadang manusia bertindak dan berinteraksi demikian tanpa dijembatani oleh
pikiran. Ketika manusia bertindak dan berperilaku tanpa didasari pikiran maka tindakan
dan perilaku tersebut tidak memiliki makna. Mead mencontohkan gerakan dan perilaku
yang dilakukan para petinju atau pemain anggar yang sedang bertanding (Zeitlin, 1995:
339). Masing-masing mereka merespon gerakan lawannya secara spontan tanpa didasari
pikiran. Maka dalam hal ini gerakan dan perilaku mereka, dalam pandangan Mead,
adalah sama dengan hewan.
Dari ilustrasi tadi tampak jelas bahwa Mead sangat menekankan pentingnya
pikiran (mind). Dalam interaksionisme simbolik berpikir merupakan proses yang sangat
penting karena menjadi landasan setiap tindakan menusia (Littlejohn dan Foss, 2005:
156). Pikiran, oleh Mead dipahami sebagai suatu proses bukan suatu benda (thing) atau
struktur (structure).
Mead mendefinisikan pikiran (mind) sebagai kemampuan untuk menggunakan
simbol yang memunyai makna sosial yang sama, dan Mead percaya bahwa manusia
harus mengembangakan pikiran melalui interaksi dengan orang lain (West dan Turner,
2008: 104-105). Definisi ini menjelaskan pada kita beberapa hal. Pertama, simbol
merupakan sesuatu yang sangat penting bagi manusia dalam proses berpikir. Tanpa
simbol maka mustahil manusia dapat menggunakan pikirannya. Simbol-simbol yang
biasa digunakan manusia dalam berinteraksi disebut sebagai bahasa. Bahasa bergantung
pada apa yang disebut Mead sebagai simbol signifikan (significant symbol). Simbol
signifikan yaitu simbol-simbol yang memunculkan makna yang sama bagi banyak
orang (West dan Turner, 2008: 105).
Kedua, Mead memahami pikiran sebagai proses sosial. Memang pikiran
merupakan proses interaksi seorang individu dengan dirinya. Namun dalam pemahaman
Mead, proses yang dimaksud bukan berlangsung dalam diri individu melainkan berada
dalam wilayah sosial. Pikiran merupakan produk dari proses sosial. Melalui interaksi
sosial yang dijembatani oleh bahasa, maka manusia mengembangkan pikirannya.
Terkait erat dengan konsep pikiran adalah pemikiran (thought), yaitu
percakapan yang terjadi di dalam diri individu. Salah satu aktivitas penting yang
berlangsung melalui pemikiran adalah pengambilan peran (role taking), atau
kemampuan untuk menempatan diri seseorang di posisi orang lain (West dan Turner,
2008: 105).
24
Konsep Mead yang kedua yaitu diri (self). Sebagaimana pikiran (mind), diri juga
dipahami Mead sebagai produk sosial. Seorang bayi yang baru lahir, menurut Mead,
dapat disamakan dengan hewan karena tidak memiliki diri. Manusia memiliki diri
setelah memunyai pengalaman sosial yang didapatkannya dari interaksi dengan orang
lain. Dengan kata lain melalui interaksilah manusia memiliki diri.
Dari sini tampak jelas bahwa diri yang dimaksud Mead bukanlah diri secara fisik
atau biologis, sebagaimana yang dipahami dalam Biologi atau Ilmu Kedokteran. Namun
demikian, konsep diri Mead tidak bisa muncul tanpa melalui diri fisik atau biologis. Diri
muncul dalam konteks pengalaman dan interaksi sosial secara spesifik, dan ia akan terus
berkembang berhubungan dengan proses sosial dan berhubungan dengan para individu
yang ada di dalamnya (Zeitlin, 1995: 347).
Mead mendefinisikan diri sebagai kemampuan merefleksikan diri sendiri dari
perspektif orang lain (West dan Turner, 2008: 106). Cara manusia merefleksikan diri
melalui perspektif orang lain, menurut Mead adalah dengan jalan pengambilan peran
(role taking) (Littlejohn dan Foss, 2005: 156). Allan (2006: 14) mendefinisikan
pengambilan peran (role taking) yaitu: it is the process through wich we place our self
in the position (or role) another in order to see our own self.
Dari proses ini maka manusia akan mendapatkan suatu gambaran bagaimana
dirinya dalam pandangan orang lain. Meminjam konsep Charles Cooley, Mead
menyebut gambaran ini sebagai cermin diri (the looking-glass self) (Griffin, 2000: 57;
West dan Turner, 2008: 106; Wallace dan Wolf, 1999: 195; Sunarto Kamanto, 2004:
222). Yaitu kemampuan kita untuk melihat diri sendiri dalam pantulan dari pandangan
orang lain.
Dalam kehidupan bermasyarakat kita bertemu dan berinteraksi dengan banyak
orang. Masing-masing orang memberikan gambaran sehingga kita memiliki sebuah
gabungan gambaran tentang diri kita yang disebut Mead sebagai generalized others
(Griffin, 2000: 58; West dan Turner, 2008: 108). Jadi generalized others kita adalah
gabungan dari respon-respon dan harapan-harapan yang kita dapatkan dari orang-orang
di sekitar kita. Generalized others merujuk pada cara pandang dari sebuah kelompok
sosial atau budaya sebagai suatu keseluruhan.
Cooley meyakini tiga prinsip pengembangan yang dihubungkan dengan cermin
diri, yaitu: a). kita membayangkan bagaimana kita terlihat di mata orang lain; b). kita
25
membayangkan penilaian mereka mengenai penampilan kita; c). kita merasa tersakiti
atau bangga berdasarkan perasaan pribadi ini. Kita belajar mengenai diri kita sendiri
dari cara orang lain memperlakukan kita, memandang kita dan memberi label pada kita
(West dan Turner, 2008: 106).
Mead melihat diri sebagai sebuah proses yang mengintegrasikan antara dua
aspek yang dia sebut sebagai I dan me. Melalui bahasa orang memunyai kemampuan
untuk menjadi subjek dan objek untuk dirinya sendiri. Sebagai subjek manusia
bertindak, dan sebagai objek manusia mengamati dirinya sendiri bertindak. Mead
menyebut subjek, atau diri yang bertindak, sebagai I, dan objek atau diri yang
mengamati adalah me (West dan Turner, 2008: 107).
I memiliki beberapa karakter, yaitu: pertama, I adalah dimensi proses kedirian di
mana seseorang tidak dapat menangkapnya kecuali setelah adanya fakta-fakta. Pelaku
komunikasi tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh ‘I’ kecuali setelah tindakan itu
dilakukan. Kedua, I merupakan proses pikiran dan tindakan yang aktual. Ketiga, I
bersifat tidak tentu, relatif dan tidak bisa diramalkan. I merupakan aspek kreatif diri.
Karakter-karakter inilah yang membawa Mead pada kesimpulan bahwa manusia
tidaklah bersifat pasif. Berbeda dengan I, me memiliki karakter: pertama, merupakan
proses reflektif. me melakukan tindakan secara sadar, terencana dan melibatkan
tanggung jawab. Dengan kata lain ‘me’ berada di bawah kontrol individu. Kedua, me
muncul dengan mengambil sikap-sikap orang lain (Zeitlin, 1995: 352-353; Griffin,
2000: 58; Littlejohn dan Foss, 2005: 156; Ritzer dan Goodman, 2004: 389-390; West
dan Turner, 2008: 107).
Konsep Mead yang ketiga yaitu masyarakat (society). Dalam judul buku Mead
konsep Society diletakkan pada urutan terakhir yaitu setelah Mind dan Self. Urutan ini
mengesankan seolah Mead memandang masyarakat sebagai entitas sekunder setelah
pikiran dan diri. Namun sebenarnya justru masyarakatlah yang menjadi pusat perhatian
Mead. Sebagaimana yang dikatakan Ellswort Faris ketika menanggapi buku Mead
Mind, Self and Society, “Barangkali yang menjadi pendapat Mead adalah bahwa bukan
pikiran yang pertama muncul lalu diikuti masyarakat, tapi masyarakatlah yang lebih
dulu muncul” (Ritzer dan Goodman, 2004: 378).
Mead memandang masyarakat bukanlah sesuatu yang sudah utuh atau stabil,
melainkan suatu proses sosial yang berjalan terus menerus (Ritzer dan Goodman, 2004:
26
391). Dengan kata lain Mead meyakini bahwa masyarakat tidak akan pernah mencapai
kondisi sempurna. Masyarakat akan terus berubah bersama sebagai hasil dari interaksi
manusia sebagai anggotanya.
Pandangan interaksionisme simbolik mengenai masyarakat berbeda dengan
aliran struktural fungsional. Pertama, interaksi simbolik melihat masyarakat merupakan
suatu kerangka di mana tindakan sosial berlangsung, bukan penentu tindakan. Kedua,
organisasi yang demikian dan perubahan yang terjadi di dalamnya adalah produk dari
kegiatan unit-unit yang bertindak dan bukan oleh kekuatan-kekuatan yang membuat
unit-unit itu berada di luar penjelasan (Poloma, 2007: 263-264).
3. Tiga Premis Dasar Interaksionisme Simbolik Herbert Blumer
Herbert Blumer merupakan salah seorang murid Mead. Bersama Mead, Blumer
melakukan sistematisasi gagasan-gagasan interaksionisme simbolik. Blumer pula yang
memberikan nama pada gagasan-gagasan Mead dengan istilah Symbolic Interactionism
(Griffin, 2000: 54; Wallace dan Wolf, 1999: 189; Salim, 2008: 10; Deddy Mulyana,
2004: 70; West dan Turner, 2008: 96). Bahkan Blumer telah mengembangkan
perspektif ini menjadi lebih lengkap dengan merumuskan suatu metode dan model
penyelidikan dengan perspektif interaksionisme simbolik (Wallace dan Wolf, 1999:
218-220).
Blumer
sangat
bersungguh-sungguh
dalam
mengembangkan
gagasan
interaksionisme simbolik. Kesungguhan Blumer tampak dari keberhasilannya dalam
merumuskan tiga premis utama dari perspektif interaksionisme simbolik (Blumer, 1984:
2), yaitu:
1. Human beings act toward things on the basis of meanings that the things
have for them.
2. The Meaning of the such things is derived from, or arises out of, the social
interaction that one has with ones’s fellows.
3. These meanings are handled in, and modified through, an interpretive
process used by the person in dealing with the things he encounter.
Ketiga premis utama tersebut, masing-masing penulis jelaskan lebih lanjut
sebagai berikut di bawah ini:
27
3.1 Manusia Bertindak terhadap Sesuatu Berdasarkan Makna
Tindakan yang dilakukan manusia merupakan respon terhadap rangsangan yang
diterimanya. Mead menjelaskan bahwa tindakan dan perilaku manusia
terdiri dari
empat elemen, yaitu: rangsangan, persepsi, manipulasi dan perilaku (Allan, 2006: 17).
Empat elemen ini yang membedakan tindakan dan perilaku manusia dengan hewan.
Pada hewan, proses dari rangsangan sampai timbul perilaku bersifat langsung.
Ketika manusia menerima rangsangan, maka dia mempersepsi setiap rangsangan
tersebut. Setelah melakukan persepsi manusia memanipulasi elemen-elemen yang
berbeda dan mempertimbangkan berbagai perilaku yang akan dilakukan untuk
menanggapi rangsangan. Maka pada kondisi ini manusia dalam posisi siap bertindak.
Dengan demikian, manusia tidak serta-merta bertindak terhadap suatu objek atau
realitas sosial. Manusia bertindak dengan menafsirkan dan mendefinisikan objek atau
realitas sosial yang ditemuinya. Objek yang dimaksud adalah meliputi: objek fisik
(seperti meja, tanaman atau mobil); objek sosial (seperti ibu, guru, menteri, atau teman);
objek abstrak (seperti nilai-nilai, hak dan peraturan) (Poloma, 2007:264).
Dari proses menafsirkan dan mendefinisikan menghasilkan makna. Dengan
makna yang diberikannya terhadap objek atau realitas sosial tersebut kemudian menjadi
dasar dalam menentukan tindakan. Dengan kata lain, tindakan manusia merupakan
tindakan interpretif yang dibangunnya sendiri. Dengan pemahaman ini maka sebenarnya
manusia membuat realitasnya sendiri. Manusia tidak hidup dalam suatu realitas yang
sudah baku.
Dalam keyakinan filsafat pragmatisme, bahwa realitas tertinggi tidak berada di
luar sana, di dunia nyata, melainkan secara aktif dibangun ketika manusia bertindak di
dalam dan terhadap dunia (Ritzer dan Goodman, 2004: 374). Pemikiran ini kemudian
diadopsi oleh interaksionisme simbolik. Mead tidak sepakat dengan pemikiran yang
menyatakan bahwa realita berada di luar diri manusia. Realita justru ada karena
pemaknaan yang diberikan manusia, sebagaimana pernyataan Mead: Once people define
a situation as real, it’s very real in the consequences (Griffin, 2000: 54).
Pernyataan Mead ini menegaskan bahwa makna sesuatu bergantung pada
bagaimana manusia memberikan makna terhadapnya. Sehingga suatu objek atau realitas
sosial memiliki lebih dari satu makna, sesuai dengan yang diberikan orang-orang
terhadapnya. Untuk menjelaskan ini Poloma (2007: 259) mengilustrasikan dengan
28
sebuah ular. Bagi sebagian orang, ular merupakan binatang melata yang menjijikkan,
binatang beracun yang bisa mematikan. Sementara bagi sebagian orang yang lain,
mereka melihat ular sebagai binatang yang indah.
Pemaknaan yang berbeda ini tentu akan memunculkan sikap dan tindakan yang
berbeda pula terhadap ular. Orang pertama cenderung akan bereaksi negatif ketika
bertemu ular, mungkin bergerak menjauh, selalu waspada atau bahkan membunuhnya
untuk memastikan keselamatan dirinya tidak terancam. Sementara orang yang melihat
ular sebagai binatang yang indah, cenderung akan memberikan reaksi positif,
memperlakukannya dengan lembut dan menjaganya.
3.2 Makna Muncul dari Interaksi Sosial Seseorang dengan Orang Lain.
Blumer menjelaskan terdapat tiga pendekatan yang melihat asal sebuah makna.
Pendekatan pertama mengatakan bahwa makna adalah sesuatu yang bersifat intrinsik,
melekat dalam suatu objek atau realitas sosial. Pendekatan kedua melihat makna itu
diberikan oleh seseorang terhadap suatu objek atau realitas sosial kemudian digunakan
oleh banyak orang. Interaksionisme simbolik mengambil pendekatan ketiga, yaitu
makna sebagai sesuatu yang terjadi di antara orang-orang (West dan Turner, 2008: 100).
Interaksionisme simbolik meyakini bahwa makna merupakan hasil dari interaksi
dengan orang lain (West dan Turner, 2008: 100; Littlejohn dan Foss, 2005: 155).
Blumer mengatakan (dalam Poloma, 2007: 259); bagi seseorang makna dari sesuatu
berasal dari cara-cara orang lain bertindak terhadapnya dalam kaitannya dengan
sesuatu itu. Tindakan-tindakan yang mereka lakukan akan melahirkan batasan sesuatu
bagi orang lain. Dengan kata lain, makna tidak melekat dalam suatu objek, demikian
juga makna tidak tersedia lebih dulu di alam.
Dua orang yang memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap ular di atas,
didasarkan pada pengalaman yang mereka miliki bersama lingkungannya. Orang
pertama mungkin sejak kecil dipesan agar selalu waspada terhadap ular, karena ular itu
binatang yang beracun, berbahaya dan bisa mematikan. Sedangkan orang kedua
barangkali tinggal di lingkungan pecinta ular. Sehingga sikap dan perilaku yang
diajarkan lingkungan kepadanya berbeda dengan orang pertama.
Setiap makna diwujudkan dalam suatu simbol. Simbol adalah a stimulus that has
a learned meaning and value for people (Griffin, 2000: 55). Jadi melalui simbol ini
29
manusia bisa belajar memaknai suatu objek atau realitas sosial. Tingkat pemahaman
manusia terhadap suatu objek atau realitas sosial bergantung pada sejauh mana simbolsimbol yang tersedia mampu merepresentasikan makna yang dimaksud. Tanpa simbol
maka manusia tidak mungkin bisa memaknai objek dan realitas sosial di sekitarnya.
Kemudian melalui simbol ini pula makna terus dinegosiasikan (Griffin, 2000:
55). Simbol lebih banyak tidak memiliki hubungan logis dengan objek yang
diwakilinya. Karena itu simbol bersifat arbitrer atau semena-mena.
3.3 Makna Suatu Simbol bagi Individu Dimodifikasi Melalui Proses Interpretif
Makna dimodifikasi melalui proses interpretif. Suatu makna yang diperoleh
manusia tidaklah serta-merta diinternalisasi karena ada berbagai makna yang ditemui
manusia. Blumer menulis: pelaku memilih, memeriksa, menahan, menyusun kembali,
dan mengubah makna untuk mengetahui situasi di mana ia ditempatkan dan arah dari
tindakan-tindakannya (Littlejohn dan Foss, 2005: 155; Poloma, 2007: 259). Blumer
menyebut proses ini sebagai self indication, yaitu proses komunikasi yang sedang
berjalan di mana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberikan makna, dan
memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna itu (Poloma, 2007: 261).
Blumer menyatakan bahwa proses manusia dalam menginterpretasi sesuatu
melalui dua langkah (West dan Turner, 2008: 100; Riyadi Soeprapto, 2002: 142), yaitu:
a. Langkah pertama, para pelaku menentukan benda-benda yang memunyai
makna.
b. Langkah kedua melibatkan si pelaku untuk memilih, mengecek, dan
melakukan transformasi di dalam konteks di mana mereka berada.
Jadi interpretasi bukanlah proses memahami makna-makna yang sudah ada
untuk kemudian bertindak menurut makna tersebut. Poloma (2007: 260) mengatakan
bahwa interpretasi seharusnya tidak dianggap hanya sebagai penerapan makna-makna
yang telah ditetapkan, tetapi sebagai suatu proses pembentukan di mana makna yang
dipakai dan disempurnakan sebagai instrumen bagi pengarahan dan pembentukan
tindakan.
Dalam interpretasi melibatkan proses berpikir. Interaksionisme Simbolik
mendeskripsikan berpikir sebagai suatu percakapan dalam diri (inner conversation).
30
Mead menyebut dialog yang terjadi dalam diri ini sebagai minding, yaitu jeda sekitar
dua detik saat kita siap untuk bertindak (Griffin, 2000: 56).
E. PENELITIAN YANG RELEVAN
Kajian dengan objek Jamaah Tabligh sudah banyak dilakukan, terutama oleh
para peneliti di luar Indonesia. Sepanjang penelusuran yang peneliti lakukan banyak
kajian mengenai Jamaah Tabligh dilakukan dalam kerangka politik, pertahanan dan
keamanan. Cukup sulit bagi peneliti untuk menemukan kajian atau penelitian mengenai
Jamaah Tabligh yang bersifat akademis. Berikut beberapa penelitian mengenai Jamaah
Tabligh yang telah dilakukan dengan objek kajian yang berlainan.
Priya Sumi Nelson (2010) melakukan penelitian untuk tesisnya dengan judul
The Delegation of Authority in the Tablighi Jamaat. Pertanyaan utama yang diajukan
Nelson dalam tesisnya ini adalah mengapa terdapat berbagai sikap terhadap Jamaah
Tabligh? Sebelumnya Nelson menemukan bahwa terdapat perbedaan bahkan
kontradiksi antara pernyataan karkun atau pekerja dakwah dengan hasil kajian. Setiap
karkun atau pekerja dakwah selalu mengatakan bahwa gerakan mereka bersifat apolitis.
Sementara sebuah kajian menyatakan bahwa sikap para pemimpin Jamaah Tabligh
mempertahankan sikap apolitisnya sebenarnya merupakan kedok bagi aktifitas politik
anggota jamaah di wilayah Asia Selatan bahkan lebih luas lagi.
Penelitian yang dilakukan Nelson mendapatkan temuan bahwa pendelegasian
otoritas dalam Jamaah Tabligh sangat kompleks. Struktur otoritas dalam organisasi
sangat mempertimbangkan keseimbangan pada para pemimpin elit, juga berdasarkan
pada mistik dan otoritas yang dimiliki dalam hukum serta kepemimpinan mandat.
Kekuasaan diperoleh dari berbagai sumber termasuk kharisma, pendidikan syariah,
pengalaman dalam organisasi dan pengamalan agama.
Penelitian Nelson menyimpulkan bahwa gerakan Jamaah Tabligh sangat mudah
untuk berubah bergantung pada para pemimpin cabang lokal. Berdasarkan hasil analisis
yang dilakukannya, Nelson juga menyimpulkan bahwa terdapat berbagai perbedaan
pendapat dalam literatur sejarah mengenai Jamaah Tabligh. Di sisi lain, analisis yang
dilakukan Nelson menolak anggapan beberapa pengamat yang menyatakan bahwa sikap
apolitis yang dibangun Jamaah Tabligh merupakan topeng untuk menutupi agenda
politik para pengikutnya.
31
Penelitian mengenai Jamaah Tabligh juga dilakukan oleh Zahra McDonald
(2005) dalam sebuah mini-dessertation-nya. Secara khusus McDonald meneliti
pembentukan identitas Jamaah Tabligh di Johannesburg. Dalam mini disertasinya yang
berjudul Place, Meaning, and Experience: the Construction of Tabligh Jamaat Identity
in Johannesburg, McDonald mengajukan pertanyaan penelitian yaitu bagaimana
identitas terbentuk dan apa saja yang memengaruhinya? Dari hasil penelitian diperoleh
temuan bahwa identitas adalah hasil konstruksi yang berlangsung dalam ruang dan
waktu, bukan sesuatu yang dibawa sejak lahir. Interelasi antar bagian dan makna yang
berlangsung dalam ruang dan waktu berefek pada tempat. Tempat, kemudian akan
berpengaruh pada konstruksi identitas.
Dalam konteks Jamaah Tabligh di Johannesburg, McDonald mendapati bahwa
gerakan yang dilakukan Jamaah Tabligh berupa berkorban dengan diri dan harta
memengaruhi konstruksi identitas mereka. Dua faktor ini, secara bersama-sama
membentuk suatu makna yang berlangsung dalam sebuah tempat, dan berkaitan dengan
pertukaran pengalaman.
Penelitian berikutnya yang dilakukan Bulbul Siddiqi (2010) mengenai Jamaah
Tabligh secara khusus mengkaji tentang ijtima. Ijtima yaitu sebuah pertemuan besar
skala nasional atau internasional yang dihadiri para karkun atau pekerja dakwah. Acara
ini biasa diselenggarakan Jamaah Tabligh secara rutin setiap tahun. Penelitian yang
dilakukan Siddiqi dengan judul ‘Purification of self’: Ijtema as a New Islamic
Pilgrimage, menyimpulkan bahwa ijtima bukanlah sebuah gagasan baru atau pengganti
ibadah haji bagi Muslim Bangladesh sebagaimana anggapan yang banyak menyebar.
Penelitian Siddiqi juga mendapati temuan bahwa kehadiran para karkun atau pekerja
dakwah dalam ijtima telah meningkatkan otoritas religius, status dan wewenang
mereka. Kemudian, ijtima juga ikut membangun identitas Muslim melalui konsep
persaudaraan dan umat.
Penelitian mengenai Jamaah Tabligh juga pernah dilakukan untuk konteks
Indonesia. Adalah Farish A. Noor (2009) melakukan penelitian dengan judul The
Spread of The Tablighi Jamaat Accros Western, Central, and Eastern Java and The
Role of The Indian Muslim Diaspora. Secara umum penelitian Noor ini berusaha
mencari tahu bagaimana pertumbuhan Jamaah Tabligh di Jawa.
32
Penelusuran yang dilakukan Noor mendapati bahwa Jamaah Tabligh datang ke
pulau Jawa untuk pertama kali pada Februari 1955. Satu rombongan yang terdiri dari 8
orang waktu itu dikirim dari markas Jamaah Tabligh di India untuk melakukan dakwah
di Indonesia. Tiba di Indonesia rombongan bertemu dengan Haji Zaristan Khan, seorang
migran dari India. Melalui Haji Zaristan rombongan kemudian melakukan dakwah di
Masjid Bandengan yang berlokasi di Kampung Pandan, Jakarta Utara. Masjid ini
kemudian berkembang dan menjadi markas Jamaah Tabligh pertama di Jakarta dan
seluruh Pulau Jawa. Maka kemudian masjid ini menjadi pintu masuk dakwah Jamaah
Tabligh di Pulau Jawa.
Noor mendapatkan temuan bahwa persebaran Jamaah Tabligh di Jawa tidak bisa
lepas dari peran orang-orang Muslim India ataupun Muslim keturunan India yang lebih
dulu tinggal di Indonesia. Merekalah yang pertama kali menerima dan menjadi pengikut
gerakan Jamaah Tabligh.
Pada Agustus 1955 dari Masjid Bandengan mereka mengirim rombongan untuk
melakukan dakwah ke Surakarta. Tiba di Surakarta mereka berdakwah dan membangun
akar gerakan. Dari sini kemudian secara bertahap gerakan Jamaah Tabligh menyebar ke
berbagai wilayah di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur.
Noor (2010) juga melakukan penelitian yang serupa di lokasi lain dari wilayah
Indonesia yaitu Papua. Penelitian ini berjudul The Arrival and Spread of the Tablighi
Jamaat in West Papua (Irian Jaya), Indonesia. Sebagaimana penelitian Noor di atas,
penelitian ini berusaha melihat bagaimana persebaran dan metode dakwah Jamaah
Tabligh di Papua, terutama terhadap suku pedalaman.
Dalam penelitian ini diperoleh temuan Jamaah Tabligh datang ke wilayah Papua
pada pertengahan tahun 1988. Rombongan dikirim langsung dari Jakarta yang dipimpin
oleh dr. Nur, seorang dokter spesialis paru-paru. Rombongan kedua dikirim pada tahun
1989 yang dipimpin oleh karkun atau pekerja dakwah dari India, Maulana Imam
Nurudin. Rombongan sebanyak 12 orang yang terdiri dari orang India dan Indonesia.
Misi kedua rombongan adalah melakukan dakwah dan mewujudkan adanya
markas Jamaah Tabligh di Papua. Mereka berhasil membangun masjid sebagai markas
pada tahun 1998 dengan nama Masjid Serambi Mekah. Selesai membangun masjid
kemudian mereka membangun pesantren pertama di Papua, dan diberi nama Pondok
Pesantren Darul Ulum.
Download