RESPON BIBIT STUM MATA TIDUR TANAMAN KARET (Hevea brasilliensis Mull Arg) TERHADAP PEMBERIAN KINETIN Oleh : Elly Sarnis Pukesmawati, SP.,MP. I. PENDAHULUAN Tanaman karet (Hevea brasilliensis Mull Arg) merupakan komoditas perkebunan yang sangat penting peranannya di Indonesia. Selain sebagai sumber devisa kedua dari perkebunan setelah sawit, karet juga mampu mendorong pertumbuhan sentra – sentra ekonomi baru di wilayah-wilayah pengembangannya (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2003). Copyright: www.bppjambi.info Menurut Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, (2003) produktivitas perkebunan besar Negara 1,136 kg/ha dan perkebunan besar swasta sebesar 1,143 kg/ha. Rendahnya produktivitas tersebut disebabkan oleh usia tanaman telah lebih dari 20 tahun, pemeliharaan yang tidak intensif dan sebagian besar tanaman berasal dari benih sapuan, bukan dari klon unggul. Gambar 1. Kebun yang kurang terpelihara 1 Untuk meningkatkan produktivitas perkebunan karet rakyat pemerintah telah menempuh berbagai upaya antara lain perluasan tanaman, penyuluhan, intensifikasi, rehabilitasi dan peremajaan serta penyebaran klon-klon unggul bibit karet. Dalam menunjang keberhasilan peningkatan produktivitas perkebunan karet, khususnya untuk peremajaan dan perluasan tanaman karet rakyat perlu diupayakan pengadaan klon unggul bibit karet (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2003). Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperbanyak bibit tanaman karet dari klon - klon unggul adalah dengan menggunakan teknik okulasi (Setiawan dan Andoko, 2005). Menurut Setyamidjaja (1993), hasil okulasi pada tanaman karet salah satunya adalah stum mata tidur. Copyright: www.bppjambi.info Gambar 2. Stum Mata Tidur yang telah di okulasi Kuswanhadi (1991) menyatakan bahwa seringkali mata okulasi stum mata tidur mengalami dormansi sehingga tidak jarang batang bawah mati sebelum tunas berkembang, dalam keadaan normal tunas akan berkembang setelah 21 hari. Selanjutnya Soemomarto dan Pudji Hardjo (1982) menyatakan bahwa mata 2 okulasi tanaman karet memerlukan waktu 23 hari untuk mekar setelah pemotongan batang bawah. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah lamanya masa dormansi adalah dengan menggunakan zat pengatur tumbuh (Kusumo, 1994). Selanjutnya Sutarmi (1974), menyatakan kinetin merupakan salah satu zat pengatur tumbuh yang dapat menumbuhkan mata atau tunas tidur tanaman. Kinetin tidak terdapat secara alami di dalam tanaman. Zat ini dibuat dari pemecahan deoxyribonucleic acid adalah 6-(fulfurylamino) purine. Zat yang secara alami mempunyai pengaruh morfologi dan fisiologi yang sama dengan kinetin dan terdapat di dalam tanaman adalah sitokinin (Kusumo, 1984). Dari uraian di atas jelas bahwa kinetin sebagai zat pengatur tumbuh dapat Copyright: www.bppjambi.info digunakan untuk memacu pemecahan dormansi yang terjadi pada mata tunas okulasi stum mata tidur tanaman karet dan meningkatkan pertumbuhan tunas selanjutnya, yang pada akhirnya dapat memperpendek masa siap tanam bibit karet asal stum mata tidur. Percobaan ini bertujuan untuk mendapatkan interaksi konsentrasi kinetin dan asal stum okulasi yang tepat, mendapatkan konsentrasi kinetin yang tepat, dan mendapatkan stum mata tidur yang baik terhadap pemecahan mata tunas dan pertumbuhan bibit tanaman karet. 3 II. BAHAN DAN METODE Percobaan ini dilaksanakan di Kelurahan Mayang Mengurai Kecamatan Kota Baru Kota Jambi dengan ketinggian tempat ± 35 m dari permukaan laut. Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah bibit karet asal okulasi stum mata tidur yang belum tumbuh hasil pertautan antara klon PB 260 sebagai batang atas dan klon GT 1 yang berumur 12 bulan dengan diameter 2 cm sebagai batang bawah. Bibit dibongkar dari kebun pembibitan 1 hari sebelum penanaman di polybag. Percobaan ini berbentuk percobaan faktorial 5 x 2 dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi Kinetin (K) Copyright: www.bppjambi.info yaitu 0 ppm, 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, dan 20 ppm sedangkan faktor kedua adalah asal Entres (E) yaitu entres hijau dan entres coklat. Dengan demikian terdapat 30 satuan percobaan, masing-masing satuan percobaan ada 4 tanaman. Secara kelseluruhan terdapat 120 buah tanaman atau polybag. Data yang diperoleh dianalisis secara startistik dengan menggunakan sidik ragam (uji F) untuk RAL pada taraf nyata 5 % dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DNRMT taraf 5 %. 4 III. HASIL DAN PEMBAHASAN Kecepatan Pemacahan Mata Tunas Pengaruh interaksi antara perlakuan konsentrasi kinetin dan asal entres berbeda nyata terhadap kecepatan pemecahan mata tunas. Pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi kinetin dengan asal entres terhadap rata – rata waktu kecepatan pemecahan mata tunas dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pengaruh konsentrasi kinetin dan asal entres terhadap kecepatan pemecahan mata tunas. Konsentrasi Asal Entres Kinetin (ppm) Hijau (HST) Coklat (HST) 27,83 A 30,50 A 0 b a 19,17 C 22,17 D 5 b a 16,33 D 21,67 D 10 b a 20,17 C 23,50 C 15 b a 26,50 B 24,67 B 20 b a Copyright: www.bppjambi.info Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf kecil yang sama dan angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf besar yang sama berbeda tidak nyata menurut DNMRT 5 %. Dari Tabel 1 di atas, kenyataan menunjukkan bahwa pemberian kinetin dengan konsentrasi 5 ppm – 20 ppm pada entres hijau dan coklat mampu mempercepat pemecahan mata tunas dibandingkan perlakuan tanpa pemberian kinetin, perlakuan pemberian kinetin dengan konsentrasi 10 ppm adalah konsentrasi yang tepat untuk percepatan pemecahan mata tunas baik pada entres hijau maupun entres coklat. Hal ini diduga karena kinetin dikenali dan diikat erat oleh kelompok sel membran plasma dan dapat mengaktifkan enzim fosfilase C (PLC) yang berdekatan dengan membran sel, yang selanjutnya mengendalikan 5 proses kimia dalam sel akhirnya berpengaruh pada kecepatan pemecahan mata tunas. Gambar 3. Mata Tunas Pada Entres Hijau dan Coklat Guttman (1996) cit Wilkins (1989), menyatakan bahwa kinetin berperan Copyright: www.bppjambi.info selama antara fase mitosis dalam sel-sel akar bawang (Allium cepa) untuk memacu profase selanjutnya. Kecepatan pemecahan mata tunas entres hijau baik pada perlakuan tanpa pemberian kinetin maupun pada perlakuan pemberian kinetin dengan konsentrasi 5 ppm, 10 ppm, dan 15 ppm lebih cepat dibandingkan dengan entres coklat, tetapi pada perlakuan pemberian kinetin dengan konsentrasi 20 ppm kecepatan pemecahan mata tunas entres coklat lebih cepat dari entres hijau. Pemberian kinetin dapat mempercepat proses pembelahan sel dan selanjutnya mempercepat kecepatan pemecahan mata tunas, sedangkan pada entres coklat sel-sel tanaman relatif sudah tua, kinetin yang diberikan memerlukan waktu yang lama untuk menembus jaringan sel tanaman, sehingga pengaktifan hormon yang ada pada tanaman juga lambat. 6 Perlakuan pemberian konsentrasi kinetin 20 ppm pada entres hijau justru memperlambat laju kecepatan pemecahan mata tunas. Hal ini diduga proses metabolisme sel terhambat karena konsentrasi kinetin yang tinggi, sedangkan pada entres coklat pemberian konsentrasi kinetin 20 ppm adalah konsentrasi yang memperlihatkan kecepatan pemecahan mata tunas yang baik, karena mampu mengaktifkan sel-sel yang berpengaruh pada proses metabolisme yang selanjutnya berpengaruh kepada laju kecepatan pemecahan mata tunas. Persentase Tunas Yang Tumbuh Berdasarkan hasil sidik ragam pengaruh interaksi antara perlakuan konsentrasi kinetin dan asal entres tidak berbeda nyata terhadap persentase tunas Copyright: www.bppjambi.info yang tumbuh. Pengaruh konsentrasi kinetin dan asal entres terhadap persentase tunas yang tumbuh dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pengaruh konsentrasi kinetin dan asal entres terhadap persentase tunas yang tumbuh Konsentrasi Kinetin (ppm) 0 5 10 15 20 Rerata Asal Entres Asal Entres Hijau (%) Coklat (%) 75,00 75,00 91,67 91,67 100,00 91,67 91,67 91,67 83,33 83,33 88,33 86,67 Rerata Pengaruh Konsentrasi Kinetin (%) 75,00 A 91,67 A 95,84 A 91,67 A 83,33 A Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf kecil yang sama dan angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf besar yang sama berbeda tidak nyata menurut DNMRT 5 %. 7 Dari Tabel 2 di atas, terlihat bahwa terjadinya perbedaan yang tidak nyata terhadap persentase tunas tumbuh akibat dari berbagai perlakuan konsentrasi kinetin dan asal entres diduga karena karbohidrat dan protein yang ada pada batang bawah bibit tanaman karet sudah mampu mensuplai nutrisi yang dibutuhkan tunas untuk tumbuh, sehingga perlakuan pemberian berbagai konsentrasi kinetin dan asal entres tidak mempengaruhi persentase tunas yang tumbuh baik pada entres hijau maupun pada entres coklat bibit tanaman karet di polybag. Cadangan karbohidrat yang cukup dan lingkungan yang sangat mendukung merupakan faktor penyebab tingginya angka persentase tunas yang tumbuh. Apalagi sitokinin endogen yang terdapat pada bibit tanaman karet Copyright: www.bppjambi.info tersebut dapat meningkatkan sintesa protein sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Karyadi, et al, (1986), menyatakan cadangan karbohidrat yang terdapat pada batang bawah sangat diperlukan untuk pertumbuhan awal tanaman. Panjang Tunas Hasil Okulasi Pengaruh interaksi antara konsentrasi kinetin dengan asal entres berbeda nyata terhadap panjang tunas hasil okulasi. Panjang tunas hasil okulasi hanya dipengaruhi oleh perlakuan konsentrasi kinetin. Pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi kinetin dengan asal entres terhadap rata-rata panjang tunas hasil okulasi dapat dilihat pada Tabel 3. 8 Tabel 3. Pengaruh Konsentrasi Kinetin dan Asal Entres terhadap Panjang Tunas Hasil Okulasi Konsentrasi Kinetin Asal Entres (ppm) Hijau (cm) Coklat (cm) 0 15,70 A 18,33 A a a 5 22,40 AB 19,67 A a a 10 28,75 B 20,20 AB b a 15 22,30 AB 24,88 AB a a 20 16,97 A 25,59 B b a Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf kecil yang sama dan angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf besar yang sama berbeda tidak nyata menurut DNMRT 5 %. Dari Tabel 3 di atas dapat diketahui bahwa pemberian kinetin dapat mempercepat metabolisme dalam tubuh tanaman yaitu dengan menginduksi pembelahan sel dan selanjutnya menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan Copyright: www.bppjambi.info tunas. Gambar 4. Pertumbuhan Tunas Hasil Okulasi 9 Sitokinin eksogen menyebabkan pertumbuhan dengan cara mendorong pemanjangan sel. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Wright (1966) cit Salisbury dan Ross (1955), yang menunjukkan bahwa pemberian sitokinin benarbenar memacu pemanjangan potongan koleoptil muda tanaman gandum. Selanjutnya dari hasil penelitian loy (1980), menunjukkan bahwa pemberian sitokinin memacu pemanjangan hipokotil utuh tanaman semangka terutama dari kultivar katai atau kerdil. Hormon pada konsentrasi yang sangat rendah mampu menimbulkan suatu respon fisiologis. Respon pada organ tanaman tidak hanya bersifat memacu tetapi juga menghambat pertumbuhan (Salisbury dan Ross, 1995). Pemberian kinetin dengan konsentrasi 20 ppm pada entres coklat Copyright: www.bppjambi.info menghasilkan rata-rata panjang tunas terpanjang yaitu 25,59 cm berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pemberian kinetin (kontrol) dan pemberian kinetin dengan konsentrasi 5 ppm, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan pemberian kinetin 10 ppm, 15 ppm, sedangkan panjang tunas terpendek terjadi pada perlakuan tanpa pemberian kinetin (kontrol) yaitu rata-rata 18,33 cm. Kenyataan ini menunjukkan bahwa setiap penambahan konsentrasi kinetin akan menambah panjang tunas hasil okulasi. Panjang tunas hasil okulasi pada perlakuan tanpa pemberian kinetin dan perlakuan pemberian kinetin dengan konsentrasi 5 ppm dan 15 ppm antara entres hijau dengan entres coklat walau secara visual memperlihatkan perbedaan namun setelah diuji dengan sidik ragam memperlihatkan perbedaan yang tidak nyata. Hal ini diduga karena tanpa pemberian kinetin, pemberian kinetin dengan konsentrasi 5 ppm dan 15 ppm 10 antara entres hijau dan entres coklat tidak berpengaruh terhadap panjang tunas yang dihasilkan, karena entres hijau dan entres coklat memberikan respon yang sama terhadap perlakuan yang diberikan. Pada perlakuan pemberian konsentrasi kinetin 10 ppm antara entres hijau dengan entres coklat berbeda nyata. Pada perlakuan pemberian kinetin dengan konsentrasi 10 ppm panjang tunas hasil okulasi entres hijau lebih panjang rata-rata 8,55 cm dari entres coklat. Pada perlakuan pemberian kinetin 20 ppm, panjang tunas hasil okulasi entres coklat lebih panjang rata-rata 8,62 cm berbeda nyata dengan panjang tunas entres hijau. Hal ini diduga karena pada entres coklat, kinetin yang diberikan masih direspon dengan baik sehingga metabolisme sel tetap terus berlangsung dan Copyright: www.bppjambi.info meningkatkan laju pertambahan panjang tunas, sedangkan pada entres hijau pertumbuhan tunas menjadi terhambat. Wareing dan Phillip (1981), menyatakan bahwa sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh yang secara umum mampu merangsang pembelahan sel, menghambat pembelahan akar, merangsang pertumbuhan dan pembentukan tunas axilar dengan jalan menurunkan dominansi apikal. Diameter Batang Hasil Okulasi Berdasarkan hasil sidik ragam, pengaruh interaksi antara perlakuan konsentrasi kinetin dengan asal entres tidak berbeda nyata terhadap diameter batang hasil okulasi. Diameter batang hasil okulasi hanya dipengaruhi oleh perlakuan konsentrasi kinetin. Pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi kinetin 11 dengan asal entres terhadap rata-rata diameter batang hasil okulasi dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Pengaruh Konsentrasi Kinetin dan Asal Entres terhadap Diameter Batang Hasil Okulasi Konsentrasi Asal Entres Rerata Pengaruh Kinetin (ppm) Kinetin (cm) Hijau (cm) Coklat (cm) 0 0,38 0,40 0,39 A 5 0,47 0,42 0,45 AB 10 0,56 0,44 0,50 B 15 0,43 0,46 0,45 AB 20 0,41 0,50 0,46 AB Rerata Pengaruh 0,45 0,44 Entres Angka-angak pada kolom yang sama diikuti huruf besar yang sama berbeda tidak nyata menurut DNMRT 5 %. Dari Tabel 4 di atas dapat diketahui bahwa pada pemberian konsentrasi kinetin 10 ppm memberikan rata-rata diameter batang ahsil okulasi tertinggi yaitu Copyright: www.bppjambi.info 0,50 cm, berbeda nyata dengan tanpa pemberian kinetin tetapi tidak berbeda nyata dengan pemberian konsentrasi kinetin 5 ppm, 15 ppm, dan 20 ppm, sedangkan rata-rata diameter batang hasil okulasi terendah pada tanpa pemberian kinetin yaitu 0,39 cm. Hal ini diduga pada pemberian konsentrasi kinetin 10 ppm dapat memacu aktivitas meristem yang secara aktif terlibat dalam pembelahan dan pertumbuhan sel, selanjutnya akan mendorong pertumbuhan dan menentukan arah perkembangan batang. Bila fotosintat tersedia dalam jumlah cukup, maka aktivitas jaringan meristem untuk membelah dan memperbesar sel akan semakin cepat sehingga pertumbuhan diameter batang akan semakin besar. Selain itu adanya pengaruh terhadap peningkatan diameter batang hasil okulasi dikarenakan terjadinya proses metabolisme yang merubah zat makanan menjadi karbohidrat dan protein. Menurut Lakitan (1995), sebagian dari karbohidrat dan protein 12 tersebut ditranslokasikan ke daerah titik tumbuh dan batang selanjutnya akan digunakan dalam proses pembelahan, perpanjangan dan penebalan sel yang pada akhirnya terlihat dengan bertambahnya diameter batang. Gambar 5. Pengukuran Diameter Batang Tunas Hasil Okulasi Copyright: www.bppjambi.info Pada pemberian kinetin dengan konsentrasi 5 ppm, 15 ppm, dan 20 ppm terjadi penurunan diameter batang hasil okulasi namun berdasarkan hasil sidik ragam tidak berbeda nyata dengan pemberian konsentrasi kinetin 10 ppm. Hal ini diduga karena pada konsentrasi tersebut masih dalam batas kecukupan jumlah yang dibutuhkan untuk mengaktifkan jaringan meristem pada pembelahan dan pembesaran sel. Gardner, et al (1991), menyatakan bahwa kinetin mempengaruhi pertumbuhan lebih kepada pembelahan sel. Bobot Kering Akar Berdasarkan hasil sidik ragam pengaruh interaksi antara perlakuan konsentrasi kinetin dengan asal entres berbeda nyata terhadap bobot kering akar. Bobot kering akar hanya dipengaruhi oleh perlakuan konsentrasi kinetin. 13 Pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi kinetin dengan asal entres terhadap ratarata bobot kering akar dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Pengaruh Konsentrasi Kinetin dan Asal Entres Terhadap Bobot Kering Akar. Konsentrasi Kinetin Asal Entres (ppm) Hijau (g) Coklat (g) 0 0,79 A 1,13 A a a 5 1,74 BC 1,41 AB a a 10 2,19 C 1,65 AB b a 15 1,70 BC 1,88 B a a 20 1,42 B 1,97 B b a Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf kecil yang sama dan angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf besar yang sama berbeda tidak nyata menurut DNMRT 5 % Copyright: www.bppjambi.info Dari Tabel 5 di atas dapat diketahui bahwa pada pemberian kinetin dengan konsentrasi 10 ppm menghasilkan rata-rata bobot kering akar terberat pada entres hijau yaitu 2,19 g, berbeda nyata dengan tanpa pemberian kinetin dan pada pemberian konsentrasi kinetin 20 ppm, sedangkan terendah pada perlakuan tanpa pemberian kinetin yaitu 0,79 g . Hal ini diduga karena fotosintat yang berasal dari daun tunas hasil okulasi ditranslokasikan dengan sempurna melalui batang ke bagian tanaman yang berguna untuk pertumbuhan dan perkembangan akar. Kuswanhadi dan Boerhendi (1994) menyatakan bahwa akar pada stum mata tidur diperkirakan sangat terbatas menyerap hara dari tanah. Suplai hara lewat daun diduga sangat berguna untuk pertumbuhan akar tanaman. Gardner, et al, (1985) menyatakan bahwa faktor-faktor di atas tanah mempengaruhi 14 pertumbuhan pucuk, terutama transfer karbohidrat ke akar dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan akar. Gambar 6. Perakaran pada entres Hijau dan Coklat Menurutnya bobot kering akar pada pemberian kinetin konsentrasi 15 ppm dan 20 ppm diduga disebabkan oleh terciptanya ketidakstabilan nisbah kinetin dan auksin yang tinggi, sehingga menghambat aktifitas auksin pada pembentukan Copyright: www.bppjambi.info akar. Bhaskaran dan Smith (1990), menyatakan bahwa diferensiasi organ diatur oleh kerja saling pengaruh mempengaruhi antara auksin dan sitokinin. Jika sitokinin relatif lebih tinggi dari auksin pada konsentrasi yang sudah efektif akan mendorong pembentukan tunas sebaliknya bila auksin relatif lebih tinggi dari sitokinin akan mengarah pada pembentukan akar. Pada perlakuan pemberian konsentrasi kinetin 20 ppm bobot kering akar entres coklat terberat yaitu rata-rata 1,97 g, berbeda nyata dengan tanpa pemberian kinetin, tetapi tidak berbeda nyata dengan pemberian kinetin dengan konsentrasi 5 ppm, 10 ppm, dan 15 ppm. Perlakuan tanpa pemberian kinetin bobot kering akar terendah yaitu rata-rata 1,13 g, semakin tingginya pemberian konsentrasi kinetin bobot kering akar semakin berat. Hal ini diduga adanya korelasi antara panjang tunas dengan bobot kering akar dimana tunas yang 15 terbentuk mampu menyuplai fotosintat yang berasal dari daun yang berguna bagi pertumbuhan akar. Bobot kering akar pada perlakuan tanpa pemberian kinetin dan perlakuan pemberian kinetin dengan konsentrasi 5 ppm, dan 15 ppm antara entres hijau dengan entres coklat tidak berbeda nyata, sedangkan pada perlakuan pemberian kinetin dengan konsentrasi 10 ppm, dan 20 ppm antara entres coklat dan entres hijau berbeda nyata. Pada perlakuan pemberian kinetin dengan konsentrasi 10 ppm bobot kering akar entres hijau lebih berat dari entres coklat yaitu rata-rata 0,54 g, sedangkan pada perlakuan pemberian kinetin dengan konsentrasi 20 ppm bobot kering akar entres coklat lebih berat rata-rata 0,55 g dari entres hijau. Fenomena ini terjadi diduga sangat berkaitan dengan panjang tunas hasil Copyright: www.bppjambi.info okulasi. Pada panjang tunas hasil okulasi yang terpanjang terdapat daun dan diameter batang yang relatif lebih besar dari pada panjang tunas hasil okulasi yang lebih pendek. Daun berfungsi sebagai organ utama fotosintesis pada tumbuhan tingkat tinggi yang menghasilkan gula heksosa yang selanjutnya akan banyak perubahan yang terjadi karena ditranslokasikan ke sel-sel yang lain seperti ke tempat yang aktif tumbuh termasuk ke akar. Gardner, et al (1995), menyatakan produk fotosintesis digunakan untuk cadangan makanan, struktur, respirasi dan pertumbuhan. Selanjutnya dikatakannya bahwa fotosintesis mengakibatkan meningkatnya bobot kering akar. Guritno dan Sitompul (1995), menyatakan bahwa bahan kering adalah hasil dari penumpukan fotosintat pada sel dan jaringan tanaman, dimana produksi yang lebih besar akan menghasilkan pertumbuhan organ tanaman yang lebih besar 16 seperti daun dan akar. Selanjutnya Wilkins (1989) menyatakan bahwa, berat kering akar akan bertambah apabila terjadi kelebihan dari hasil fotosintesis yang dilaksanakan oleh tanaman. Pertumbuhan dan perkembangan akar sangat berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan tunas, karena fotosintst yang dihasilkan daun membantu proses pembentukan akar. Copyright: www.bppjambi.info 17 IV. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan. Konsentrasi kinetin 10 ppm dapat merangsang kecepatan pemecahan mata tunas dan memberikan pertumbuhan yang terbaik pada stum mata tidur entres hijau tanaman karet, sedangkan pada entres coklat konsentrasi kinetin 10 ppm hanya dapat merangsang kecepatan pemecahan mata tunas tetapi untuk pertumbuhannya belum didapat konsentrasi yang tepat karena sampai dengan pemberian kinetin 20 ppm masih menunjukkan peningkatan laju pertumbuhan. Saran Copyright: www.bppjambi.info Untuk mempercepat pemecahan mata tunas pada pembibitan tanaman karet stum mata tidur entres coklat dapat menggunakan kinetin dengan konsentrasi 10 ppm. 18 DAFTAR PUSTAKA Bhaskaran, S and R.H. Smith, 1990. Cell Biology and Molekuler Genetik Regeneration in Cereal Tissue Culture. Jour. Crop. Science. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. 2003. Statistik Perkebunan Indonesia Tahun 2001 – 2003. Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Jakarta. Gardner,P.F, Pearce,R.B dan Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Penterjemah Herawati Susilo. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Guritno dan S.M. Sitompul. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Karyadi, N.H.S dan Sunarwidi, 1986. Penggunaan Stum Akar Tunggang Pendek Sebagai Bahan Tanaman Karet I. Pengaruh Panjang Akar Tunggang dan Rootone F Terhadap Pertumbuhan Tanaman. Balai Penelitian Perkebunan Sungai Putih. Sumatera Utara. Copyright: www.bppjambi.info Kusumo. 1984. Zat Pengatur Tumbuh. CV. Yasaguna. Jakarta. Kuswanhadi dan I. Boerhendy, 1994. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh dan Pupuk Daun Pada Tanaman Karet di Polybag. Pusat Penelitian Karet Sembawa. Sumatera Utara. Lakitan, B. 1993. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Loy, J.B. 1980. Promotion of Hypocotyl Elongation in Watermelon Seedlings by 6 – Benzyladenine, journal of Experimental Botani. Salisbury, F.B dan C.W.Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. Alih Bahasa oleh Diah R Lukman dan Sumaryono. Setiawan, D.H dan Andoko, A. 2005. Petunjuk Lengkap Budidaya Karet. Agromedia Pustaka. Jakarta. Soemomarto dan Puji Hardjo. 1982. Pengaruh Berbagai Senyawa Kimia untuk Merangsang Meleknya Mata Tidur Pada Okulasi Stum Pendek Karet. RC – Getas. Salatiga. Sutarmi. 1974. Merawat Anggrek. Yayasan Kanisius. Jakarta. 19 Wareing, P.F and I.D.J. Philips. 1991. Growth and Diferentation in Plant. Pergamon Press. Wilkins, M.B. 1989. Fisiologi Tanaman. Alaih Bahasa oleh Mulyadi Sutedjo dan A.g. Kartasapoetra. Bina Aksara. Jakarta. Copyright: www.bppjambi.info 20