Berteologi Tanpa Allah, Bagaimana Jadinya?

advertisement
Berteologi Tanpa Allah, Bagaimana Jadinya?
Ditulis oleh Manati I. Zega
Senin, 27 April 2009 23:21
Berteologi tanpa Allah, bagaimana jadinya? Judul ini tentunya aneh
bukan? Sebelum
membahas lebih lanjut, terlebih dahulu kita harus memahami apa arti berteologi.
Sederhananya, berteologi adalah melakukan tindakan atau aktifitas
teologi.
Tindakan tersebut bisa berupa mempelajari teologi melalui
buku-buku teologi atau
mempelajari Kitab Suci dengan menggunakan
metode ilmiah dan langkah-langkah
teologis sehingga dapat
memunculkan suatu teori mengenai Allah. Kemudian, teori
tersebut
akhirnya memunculkan suatu doktrin yang dapat menjadi gaya hidup
orang beriman.
Secara etimologis, Teologi berasal dari dua akar kata Yunani (Theos = Allah
dan Logos = Ilmu). Apabila didefiniskan
secara sederhana, maka dapat dikatakan
bahwa Teologi adalah disiplin
ilmu yang mempelajari tentang Allah.
Dari pemahaman ini, sebagian orang beranggapan skeptis dengan
berkata
"apabila seorang telah belajar teologi, maka dia mampu
memahami tentang pribadi
Allah secara utuh". Benarkah demikian
? Mungkinkah dengan belajar teologi seseorang
bisa mengerti pribadi
yang Mahakudus? Bagaimana menurut Anda?
Disiplin ilmu teologi sangat berbeda dengan disiplin ilmu-ilmu
sekuler lainnya.
Dalam ilmu-ilmu sekuler, seseorang hanya berhadapan
dengan teori dan metode ilmiah
semata-mata, sedangkah teologi
berbeda. Selain berhadapan dengan teori, juga harus
bertanggungjawab
kepada Allah. Secara horizontal harus mampu mengerti teori,
sekaligus secara vertikal harus berhubungan dengan pribadi yang
tidak terbatas, yakni
Allah sendiri. Antara yang terbatas dengan
yang tak terbatas, di sinilah teologi
memainkan perannya, untuk
menyatakan kebenaran Allah secara bertanggung jawab
dan jujur.
Yang harus dipikirkan adalah, bagaimana jikalau dalam berteologi
Allah tidak
diizinkan intervensi dalam segala aspek kebenaran yang
sedang digumulkan. Beranikah
kita mengklaim bahwa yang sedang kita
pikirkan adalah kebenaran Allah.
Sebagai contoh sederhana, ketika Anda disuruh untuk menyampaikan
renungan atau ketika Anda sedang membuat konsep khotbah, Apakah Anda
masih
memohon Roh Kudus menguasai seluruh pemikiran dan rasio Anda?
Ataukah Anda
hanya bergantung pada "hermeneutika" (metode
penafsiran Alkitab) dan "homelitika"
(metode berkhotbah)
yang kaku? Ketika Anda hanya bergantung penuh pada metode di
atas,
masihkah Anda berani mengklaim bahwa yang Anda sampaikan bersumber
dari Allah? Masihkah Anda berdoa dengan serius dan memohon
pimpinan-Nya? Apa
yang penulis sampaikan di sini merupakan realitas
yang sering terjadi dalam pelayanan
kita.
Dalam Teologi seseorang belajar banyak hal tentang Allah. Belajar
banyak hal
tentang kebenaran Alkitab yang secara pribadi, penulis akui sebagai Firman Allah yang
Kudus yang telah diilhami
oleh Roh Kudus. Persoalannya apakah dengan belajar
teologi,
merupakan garansi bagi manusia untuk menyelami pribadi Allah yang
1/3
Berteologi Tanpa Allah, Bagaimana Jadinya?
Ditulis oleh Manati I. Zega
Senin, 27 April 2009 23:21
Agung, Kudus, dan Mulia? Pribadi yang Kudus tidak mungkin
pribadi yang telah rusak akibat dosa.
mampu diselami oleh
Seorang Teolog berkata: "sangat tidak mungkin bagi seseorang
menyelami
pikiran dan kekudusan Allah secara utuh, meskipun belajar
Teologi, berpuluh-puluh
tahun." Hal senada masih
dikuatkan melalui pernyataan Rev. Dr. Stephen Tong dalam
sebuah
bukunya yang berbunyi demikian "Walaupun seseorang belajar
Teologi
sampai mendapatkan gelar Profesor, Doktor, semakin belajar
semakin sadarlah dia
bahwa Alkitab adalah buku yang sungguh
mengagungkan dan menyatakan dengan jujur
kebesaran dan kehebatan
Allah sebab di dalamnya ditemukan dengan tidak
habis-habisnya
mutiara-mutiara berharga yang setiap saat mengilhami dan
mempengaruhi pemikiran manusia, apabila digumuli dengan serius
disertai takut akan
Allah."
Benarkah Teologi ilmu yang mempelajari tentang Allah? Ya, secara
etimologis
kita harus mengakui hal itu. Tetapi dalam praktek setiap
hari, Penulis berpendapat
bahwa Teologi adalah belajar tentang Allah
dari Allah. Maksudnya, seorang teolog,
seorang pelayan Tuhan awam,
seorang aktifis gereja harus bergantung penuh kepada
Allah, sebab
sumber kebenaran hakiki adalah Allah sendiri. Kebenaran mutlak
bersumber dari Allah melalui FirmanNya. Karena itu, Allah harus
menjadi sentral (Theo
Centris) dalam setiap aktifitas teologi dan
praktek hidup semua orang percaya dan para
teolog.
Apabila Allah "dibuang" dalam bidang teologi, maka teologi
tidak ada bedanya
dengan Filsafat, Biologi, Psikologi dan ilmu-ilmu
eksakta atau ilmu-ilmu sosial lainya.
Teolog yang bergantung hanya
pada disiplin ilmu teologi yang ditekuninya dan tidak
punya hubungan
pribadi dengan sumber kebenaran, kemungkinan dia tidak mampu
membawa
manusia kepada pengenalan akan Allah melalui pertobatan dan
kehidupan yang suci. Mengapa? Kitab Suci dengan tegas menyatakan:
"Bahwa orang
datang kepada Tuhan hanya melalui kuasa Roh Kudus
yang menginsyafkannya akan
dosa dan kebenaran", dan bukan
melalui teologi.
Saya adalah orang yang mempercayai bahwa tidak semua teolog masuk ke
dalam kerajaan surga, meskipun telah belajar teologi selama
bertahun-tahun.
Mengapa? Karena hanya teolog yang mengenal dan
percaya kepada Kristus sebagai
Tuhan dan Juruselamat, yang akan
masuk kerajaan surga. Percaya kepada Tuhan tidak
hanya sebatas
konsep, tetapi harus menjadi gaya hidup.
Apakah hal ini berarti teologi tidak diperlukan? Tentunya bukan.
Penulis
berpendirian bahwa teologi bisa dipakai Allah sebagai sarana
bagiNya untuk
menyadarkan kaum intelektual, para filsuf, para cerdik
pandai agar mereka datang
kepada kesucian Allah.
Apabila orientasi seseorang hanya berpusat pada teologi semata-mata,
kita
harus waspadai. Mengapa? Sebab bahaya besar sedang menunggu.
Artinya, iman
seseorang hanya sebatas ilmu yang dapat dipahami
dengan nalar, dihafalkan, atau
2/3
Berteologi Tanpa Allah, Bagaimana Jadinya?
Ditulis oleh Manati I. Zega
Senin, 27 April 2009 23:21
dianalisa. Pada hal kalau kita
berbicara mengenai iman bukanlah hanya sebatas ilmu
yang bisa
dipelajari, tetapi iman adalah penyerahan diri secara mutlak
dan total
di hadapan Allah. Artinya percaya tanpa bertanya dan
berdebat.
Orang yang beriman adalah seseorang yang sampai pada pemahaman
seperti
tersebut di atas. Bagi penulis, tidak layak seseorang
menyebut dirinya sebagai orang
beriman, apabila tak pernah
menyerahkan diri kepada Allah di dalam Kristus.
Apakah hal ini berarti menjadi orang Kristen tidak perlu kritis
terhadap iman
yang diyakininya? Tentunya bukan juga! Alasannya
adalah Iman yang hanya sebatas
tingkat intelektual dan tidak pernah
mengundang Yesus sebagai Tuhan dan penguasa
hidupnya, tidak mungkn
mampu bertahan dalam menapaki realita kehidupan yang
penuh
pergumulan dan tantangan di dalam dunia.
Adakalanya dalam perjalanan iman, kita harus melewati tempat-tempat
yang
menantang kita untuk mempertanyakan eksistensi Allah. Benarkah
Allah eksis?
Benarkah Allah mampu menolong saya? Di sinilah teologia
kurang mampu memberi
solusi. Yang mampu memberi solusi adalah
pengenalan dan perjumpaan secara pribadi
dengan Tuhan.
Dalam hal ini, sekali lagi penulis tidak bermaksud merendahkan arti
Teologi,
sebab penulis sendiri sedang berjuang dengan terus belajar
dengan sungguh-sungguh
tentang teologi. Bahkan penulis berharap,
setiap hamba Tuhan, juga sekaligus menjadi
seorang teolog. Dalam hal
ini, yang dimaksudkan adalah supaya dalam setiap aktifitas
teologi
para teolog, para Intelektual Kristen, dan semua anak Tuhan, kiranya
tidak lupa menghadirkan Allah dalam kehidupannya. Prof. DR. Stanley
Health dalam
bukunya "Sains, Iman dan Teknologi" berkata
"Sarjana yang tidak melibatkan Allah
dalam setiap aktifitas
ilmiahnya adalah sarjana yang tidak berbobot."
Harapan penulis, kiranya Allah selalu dinantikan kehadiranNya dalam
setiap
aspek intelektual dan kehidupan kita, termasuk aktifitas
ilmiah. Kiranya, semua
anak-anak Tuhan, hati dan pemikirannya
dikuasai kehadiran Allah. Kita adalah manusia
yang terbatas untuk
mengerti kehendak dan pikiranNya yang tak terselami.
Allah dan firman-Nya harus menjadi standart dan prioritas tertinggi
dalam
kehidupan pribadi dan aktifitas teologi para teolog,
intelektual Kristen setiap pribadi yang
menyebut dirinya sebagai
anak Tuhan.
Solo, 21 Oktober 2002
Manati I Zega
3/3
Download